73
Dengan demikian, syariat Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Artinya, cakupan syariat Islam meliputi akidah dan syariat. Dengan kata lain, syariat Islam tidak hanya mengatur seluruh aktivitas fisik manusia (af‘âl al-jawârih), tetapi juga mengatur seluruh aktivitas hati manusia (af‘âl al-qalb) yang disebut dengan akidah Islam. Berdasarkan hal itu, syariat Islam tidak dapat dimaknai hanya oleh sebagian ketentuan Islam dalam masalah hudûd, seperti hukum rajam, hukum potong tangan, dan sebagainya atau sebatas pada bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, dan segala bentuk yang menggunakan kata syariah. Ruang Lingkup Syariat Islam Pengertian syariat Islam, baik secara etimologis maupun terminologis menunjukkan bahwa ruang lingkupnya seluruh ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah maupun peraturan kehidupan yang menjadi turunannya. Akidah Islam adalah keimanan kepada Allah dan para malaikat-Nya; pada kitab-kitab-Nya; kepada para rasul-Nya; serta pada Hari Akhir dan takdir, yang baik dan buruknya berasal dari Allah SWT. semata. Akidah Islam juga meliputi keimanan pada adanya surga, neraka, dan setan, serta seluruh perkara yang berkaitan dengan semua itu. Demikian pula dengan hal-hal gaib dan apa saja yang tidak bisa dijangkau oleh indra yang berkaitan dengannya (Muhammad Muhammad Ismâ’îl, al-Fikr al-Islâmi, Beirut, 1958, hlm. 9-10). Akidah Islam merupakan pemikiran yang sangat mendasar (fikr asâsi). Ia mampu memecahkan secara sahih problem mendasar manusia seputar persoalan dari mana manusia berasal; untuk apa manusia ada; dan mau ke mana manusia setelah mati. Artinya, akidah Islam merupakan pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) yang menjadi sumber dari seluruh pemikiran cabang. Ia adalah pemikiran mendasar yang membahas persoalan di seputar: (1) alam semesta, manusia, dan kehidupan; (2) eksistensi Pencipta dan Hari Akhir; (3) Hubungan alam, manusia, dan kehidupan dengan Pencipta dan Hari Akhir. Dalam konteks manusia, hubungan yang dimaksud adalah hubungan dirinya sebagai hamba dengan Allah, artinya ia harus tunduk pada syariat-Nya. Sebab, syariat Allah merupakan standar akuntalibitas bagi seluruh aktivitas manusia di hadapan-Nya. Adapun, peraturan bagi pengaturan kehidupan, Islam merupakan kumpulan ketentuan yang mengatur seluruh urusan manusia; baik yang berkaitan dengan ubudiah, akhlak, makanan, pakaian, muamalat, maupun persanksian. Tentu saja, untuk bisa disebut sistem Islam, itu semua harus digali berdasarkan dalil-dalil tafshîli (terperinci); baik yang bersumber dari al-Quran, Hadis Nabi, Ijma’ Sahabat, maupun Qiyas. Al-Quran, misalnya, dengan tegas menyatakan:
ْ ٍء َ ُِ ً َ ِْ ب َ َِ ْ ا َ ْ َ َ َْ َ َو
73
“Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS an-Nahl : 89).
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Hadis Nabi juga telah menjelaskan hal yang sama:
0ِ ِ َ 1َ ُ2 َو3 ِ با َ ََ َ َ"ُْ!ْ ِ َِ ِآ# ا$%& ِ َ ْ'َ ' ِ ْ()َ ْ#ِ ُ!ْ َأ+ ُ,َْ َل َ َ)آ/
“Aku telah meninggalkan dua perkara yang menyebabkan kalian tidak akan sesat selamanya selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya” (HR at-Turmudzî, Abû Dâwud, dan Ahmad).
Berdasarkan pada nash itu, tampak jelas bahwa syariat Islam yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. telah mengatur segala urusan tanpa kecuali; mulai dari hubungan manusia dengan Penciptanya—dalam konteks akidah dan ibadah, misalnya shalat, puasa, zakat, haji; hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti dalam urusan pakaian, makanan, dan akhlak; hingga hubungan manusia dengan sesamanya, seperti dalam urusan pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri. Secara konseptual, semuanya telah diatur oleh Islam dengan sejelas-jelasnya. Adapun dalam tataran aplikatif, Islam juga memiliki tata cara tertentu yang digunakan untuk mengaplikasikan hukum-hukumnya, memelihara akidahnya, dan mengembannya sebagai risalah dakwah. Dengan demikian, yang pertama bersifat konseptual dan tidak mempunyai pengaruh secara fisik sehingga disebut sebagai fikrah (konsepsi) saja, sedangkan yang kedua bersifat praktis dan aplikatif sehingga disebut dengan tharîqah (metode). Sebab, yang terakhir ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga bersifat praktis dan aplikatif karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik, di samping bersifat konstan. Kedua fakta di atas bisa dijelaskan lebih jauh. Akidah Islam, kewajiban shalat, zakat, haji, dan puasa, misalnya, adalah fikrah. Sementara itu, jihad, dakwah, dan sanksi atas tindakan kriminal (‘uqûbât) adalah tharîqah karena merupakan aktivitas fisik yang mempunyai pengaruh secara fisik dan bersifat tetap; tidak berubah karena situasi dan kondisi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam mencakup fikrah dan tharîqah. Jadi, karena syariat Islam terdiri atas konsepsi dan metode pelaksanaan, maka keduanya harus diyakini secara utuh; tidak boleh dipisahkan satu sama lain. Mengimani fikrah-nya saja (misalnya kewajiban menegakkan shalat dan haramnya meninggalkan zakat) tanpa meyakini tharîqah untuk mengaplikasikannya (seperti keharusan memberlakukan sanksi ta’zîr bagi para pelanggarnya) bukan hanya akan mengakibatkan terabaikannya pelaksanaan syariat Islam, tetapi juga akan mengantarkan siapa saja yang mengingkarinya pada kekufuran—jika yang diingkarinya adalah hukum-hukum yang bersifat tegas/pasti (qath‘î) dari segi sumber (tsubût) dan makna (dalâlah)-nya. Dengan ungkapan lain, syariat Islam, sesungguhnya, meliputi keyakinan spiritual (‘aqîdah rûhiyyah) dan ‘aqîdah siyâsiyyah. Spiritualitas Islam telah membahas hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya yang terangkum dalam akidah dan ubudiah; membahas pahala dan dosa manusia; serta membahas seluruh urusan keakhiratan manusia seperti surga dan neraka. Sebaliknya, sebagai ‘aqîdah siyâsiyyah, Islam telah membahas seluruh urusan keduniaan yang terangkum dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri ataupun dengan sesamanya; baik
74
75
hubungan yang menyangkut bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, maupun yang lainnya. Istilah ‘aqîdah (keyakinan, prinsip dasar) sengaja digunakan untuk menyebut kedua konsepsi di atas. Alasannya, setiap aspek tersebut merupakan ajaran Islam yang harus diyakini oleh setiap muslim dan merupakan persoalan agama yang telah sama-sama diketahui urgensinya (ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah). Penolakan terhadap salah satu atau kedua-duanya sekaligus dapat mengakibatkan seseorang terpelanting dari jalan Islam. Dengan demikian, hanya Islamlah—dengan syariatnya—yang merupakan satusatunya entitas di dunia ini yang membahas seluruh urusan dan persoalan keduniaan ataupun keakhiratan dengan sempurna. Artinya, hanya Islamlah satusatunya syariat di dunia ini yang utuh dan sempurna, yang dapat diimplementasikan sebagai agama dan pengaturan hidup manusia sekaligus. Keluasan dan Fleksibilitas Syariat Islam Berdasarkan uraian di atas, dapat dibuktikan bahwa syariat Islam mempunyai lingkup yang sangat luas; mencakup seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT. berfirman:
ْ ٍء َ ُِ ً َ ِْ ب َ َِ ْ ا َ ْ َ َ َْ َ َو
“Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini kepadamu (Muhammad) untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS an-Nahl : 89).
ً(ِ َم د7 َ ْ2ِْ8ُ َُ!ُ ا, ِ9ْ َِ َو َر6 ِ ْ!ُْ َ َ ُ,َْ ُْ َُ!ْ دِ( َُ!ْ َوَأ,َْ ْْ َم َأآ$ َ ْا
“Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian” (QS al-Mâ-idah : 3).
75
Keluasan syariat Islam terlihat dari cakupannya yang meliputi seluruh urusan dan persoalan kehidupan manusia; mulai dari yang bersifat duniawi hingga yang bersifat ukhrawi; dari yang bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya), horisontal (hubungan manusia dengan sesamanya), hingga persoalan personal (hubungan manusia dengan dirinya sendiri). Semua itu terefleksikan dalam urusan akidah dan ubudiah; pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, dan sanksi hukum; akhlak, makanan, dan pakaian. Semuanya telah dibahas tuntas dan jelas oleh syariat Islam. Penggalian berbagai hukum terhadap nash-nash syariat, yakni al-Quran dan Sunah Nabi, memungkinkan dipecahkannya berbagai kasus dan persoalan yang beragam. Namun, tidak semua nashh syariat yang bersumber dari al-Quran dan Sunah Nabi membahas seluruh persoalan kehidupan manusia secara terperinci/mendetail (mufashshal). Sebagian besar nash-nash tersebut bahkan hanya menjelaskan hukumhukum tertentu secara global (mujmal) dengan makna-makna yang bersifat generik (ma’ân ‘âmmah). Sementara itu, perinciannya diserahkan pada mekanisme ijtihad para mujtahid, yaitu ketika bentuk dan makna yang bersifat global dan generik tersebut hendak diimplementasikan sesuai dengan kondisi kasus-per kasus pada setiap waktu dan tempat. Hukum waris, misalnya, di satu sisi dinyatakan secara terperinci (mufashshal) di dalam al-Quran. Akan tetapi, dalam sebagian kasus . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
tertentu, hukum waris memerlukan ijtihad seorang mujtahid, seperti dalam kasus kalâlah. Allah SWT. berfirman:
ُ>ُس%"َُْ ا#ِ >ٍ ? ِ ُِ وَا+َ , ٌ ْAُخ َأوْ أ ٌ ُ َأ0َْ َ)َأ ٌة َو# َأ ِو ا1ً َ7 َ َرثُ َآ$ُ( ٌ ُEن َر َ ََوِإنْ آ
”Jika seseorang yang mati—baik laki-laki maupun perempuan—adalah kalâlah, sedangkan ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi setiap saudaranya itu seperenam harta” (QS an-Nisâ’ : 12). Ketika Abû Bakar ditanya mengenai pengertian kalâlah, beliau menjawab, “Kalâlah adalah orang yang tidak memiliki bapak ataupun anak.” (Lihat al-Qurthûbi, al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr as-Sya’b, Kaero, cet. II, 1373, juz V, hlm. 76. Sebaliknya, ‘Umar bin al-Khaththâb memiliki pendapat berbeda dengan Abû Bakar. Menurutnya, kalâlah adalah orang yang tidak mempunyai anak saja. Akan tetapi, sebelum meninggal, ‘Umar meninggalkan pendapatnya dan kembali merujuk pada pendapat Abû Bakar. Lihat ‘Abd ar-Razzâq, Mushannaf, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, cet. II, 1403, juz X, hlm. 304). Perbedaan antara Abû Bakar dan ‘Umar ini wajar terjadi karena nash yang menjelaskan kasus kalâlah ini tidak terperinci (ghayr mufashshal). Dengan adanya nash-nash syariat yang bersifat global (mujmal) dan generik (‘âmmah), setiap dinamika persoalan yang berlangsung di tengah manusia sangat mungkin direspon dan diselesaikan dengan cepat oleh para mujtahid. Sekalipun demikian, adanya perubahan dan perkembangan realitas yang terjadi bukan berarti menunjukkan bahwa nash-nash syariat tunduk pada realitas yang ada. Sebaliknya, realitas tersebutlah yang harus tunduk pada nash-nash syariat. Dalam hal ini, Islam telah mensyariatkan satu metode untuk menyelesaikan seluruh problem yang berkembang, yakni menyeru para mujtahid untuk mempelajari problem yang terjadi sampai benar-benar dipahami, kemudian memahami nash-nash syariat yang relevan dengan kasus yang terjadi. Setelah itu, baru menggali atau mengimplementasikan hukum atau pemecahan atas problem tersebut. Dengan cara seperti ini, keluasan nash-nash syariat untuk menghasilkan berbagai hukum syariat dan fleksibilitasnya sehingga dapat diimplementasikan dalam berbagai kasus telah menjadi ciri khas syariat Islam. Dengan karakter seperti inilah, syariat Islam mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan seluruh problem dalam kehidupan manusia, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang. Hukum Tidak Berubah karena Faktor Waktu dan Tempat Karakteristik hukum Islam dibangun atas dasar nash-nash syariat yang tetap. Dalam Islam, nash-nash syariat adalah sumber hukum yang kemudian menghukumi realitas. Pada saat yang sama, nash-nash tersebut tidak tetap dan tidak pernah mengalami perubahan. Karena itu, produk hukum tersebut harus selalu terikat dengan nash dan tunduk pada segala hal yang dinyatakan oleh dalâlah-nya. Pertimbangan atas dasar ‘perubahan zaman’ dan perbedaan tempat tidak mempunyai nilai sama sekali, sebagaimana pertimbangan atas dasar kemaslahatan atau kemadaratan.
76
77
Perbedaan kultur, kebiasaan, dan adat istiadat masyarakat juga tidak boleh mempengaruhi hukum Islam. Alasannya, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat bukanlah ‘illat (motif diberlakukannya hukum) dan sumber hukum. Bahkan, kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat acapkali banyak yang bertentangan dengan syariat. Apalagi kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat yang ada pada masa sekarang pada dasarnya merupakan kristalisasi pemikiran dan hukum-hukum yang bersumber dari sistem sekuler yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan masyarakat. Namun, jika kultur, kebiasaan, dan adat-istiadat tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam, ia diperbolehkan (mubah). Akan tetapi, kebolehannya bukan karena pertimbangan apa-apa, kecuali karena memang dibolehkan oleh nash-nash syariat. Syariat Islam tidak pernah berubah. Yang halal akan tetap halal dan yang haram akan tetap haram. Selamanya begitu hingga Hari Kiamat karena wahyu Allah telah terputus dan syariat Islam telah sempurna. Karena itu, khamar, misalnya, tidak akan pernah haram pada satu waktu, kemudian berubah menjadi halal pada waktu lain. Demikian pula keharaman riba, memata-matai orang Islam, menipu, suap, dan sebagainya. Statemen bahwa hukum harus berubah karena faktor perubahan waktu dan tempat tentu merupakan bentuk keberanian yang luar biasa terhadap Allah. Allah SWT. berfirman:
Gَ َ ن َ ْ َ)ُوH(َ ' َ (ِFب ِإن ا َ Fِ َ ْ ا3 ِ اGَ َ ْ َ)ُواHَ ِ ?)َا ٌم َ َاFَ ٌل َوه7 َ? َ َاFب َه َ Fِ َ ْ" َُُ!ُ ا ِ ُْ َأJK ِ َ َِ ا$ُ$ُLَ Mَ َو ن َ $ُNِْHُ( Mَ ب َ Fِ َ ْ ا3 ِ ا
“Janganlah kalian berdusta dengan sebab apa yang disifatkan oleh lidah kalian, “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan sesuatu yang dusta terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang berdusta terhadap Allah tidak akan berhasil” (QS an-Nahl : 116).
77
Apabila hukum Islam harus berubah karena faktor waktu dan tempat, berarti akan ada satu fakta atau kasus yang memiliki dua hukum sekaligus—halal dan haram—meskipun dalam wilayah dan rentang waktu yang tidak sama. Hal Ini jelas mustahil karena Allah tidak mungkin menurunkan dua hukum yang berlawanan untuk kasus yang sama. Hal ini juga sangat kontradiktif dengan karakter kesempurnaan syariat Islam. Memang, realitas yang menjadi objek hukum boleh jadi mengalami perubahan, tetapi hukum atas realitas itu sendiri tentu saja tidak berubah. Dalam istilah para ahli fikih (fuqahâ’), objek hukum biasa disebut manâth al-hukm (Lihat ‘Abd ar-Razzâq, Mushannaf, al-Maktab al-Islâmi, Beirut, cet. II, 1403, juz X, hlm. 304). Dalam al-Quran dan as-Sunah, misalnya, khamar sampai kapan pun dan di mana pun tetap diharamkan. Akan tetapi, ketika esensi khamar berubah menjadi cuka, maka ia menjadi halal. Dalam dua keadaan ini, sebetulnya tidak dapat dikatakan telah terjadi perubahan hukum. Yang terjadi adalah perubahan manâth alhukm yang memungkinkan dihasilkannya dua hukum yang berbeda: khamar tetap khamar dengan keharamannya; cuka tetaplah cuka dengan kehalalannya. Sebab, keduanya memiliki esensi dan manâth al-hukm yang berbeda. Demikianlah, setiap hukum syariat mempunyai manâth al-hukm. Setiap terjadi perubahan manâth, pasti ada hukum lain untuk manâth yang baru tersebut. Manâth, menurut al-Ghazâli, tidak sama dengan ‘illat (latar belakang/motif diberlakukannya hukum) (Al-Ghazâli, al-Mustashfâ, hlm. 304). . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Alasannya, tidak semua hukum mempunyai ‘illat, tetapi ia pasti mempunyai manâth. Karena itu, menurut as-Syâtibi, penentuan hukum atas manâth al-hukm harus tepat, dan hanya berlaku untuk manâth tersebut, tidak untuk yang lain (As-Syâtibi, alMuwâfaqât, juz III, hlm. 62) Contoh lain, orang sakit yang tidak mampu berdiri, boleh menunaikan shalat sambil duduk atau berbaring. Perubahan posisi dari sebelumnya wajib berdiri menjadi boleh duduk tidak dapat dikatakan sebagai perubahan hukum karena kondisi berbeda, tetapi karena memang adanya perbedaan hukum yang didasarkan pada dua manâth al-hukm yang memang berbeda, yaitu orang sehat tidak sama dengan orang sakit. Karena itu, orang sehat tetap wajib menunaikan shalat sambil berdiri, sedangkan orang sakit dibolehkan melaksanakan shalat sambil duduk atau berbaring. Jika hukum untuk orang sehat diberlakukan juga pada orang sakit, jelas keliru, karena masing-masing mempunyai manâth al-hukm yang berbeda. Demikian seterusnya. Di samping itu, syariat Islam diberlakukan atas manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia; bukan karena faktor suku, etnik, geografis, ataupun karena faktor Arab atau non-Arabnya. Di mana pun dan kapan pun, manusia, baik Arab atau nonArab, esensinya sama; sama-sama mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah yang sama. Kondisi ini tidak pernah berubah. Karena itu, gagasan bahwa hukum harus berubah karena faktor waktu dan tempat, sebenarnya, bukanlah merupakan keniscayaan hidup manusia. Sebab, esensi kemanusiaan pada diri manusia tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah sarana fisik dan wujud materi yang melingkupinya. Dengan demikian, dinamisasi, perkembangan, dan perubahan tersebut sebenarnya hanya menyangkut bentuk-bentuk materi atau sarana-sarana fisik yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah dan naluriahnya. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi tuntutan jasmaniah maupun naluriahnya, tidak pernah berubah. Contoh, manusia memerlukan makanan, minuman, pakaian, tidur, dan beristirahat. Semua itu diperlukan oleh manusia pada zaman mana pun dan di mana pun, meskipun boleh jadi alat pemuas dan kualitasnya berbeda-beda. Alat pemuas dan kualitas kebutuhan manusia zaman purba, misalnya, tentu berbeda dengan alat pemuas dan kualitas yang dibutuhkan manusia pada zaman modern, sekalipun kebutuhan mereka untuk makan, minum, berpakaian, tidur, dan istirahat tidak pernah berubah. Karena itulah, berkaitan dengan benda-benda sebagai alat pemuas kebutuhan manusia, Islam telah menggariskan kaidah hukum yang sama yang berlaku untuk segala tempat dan segala zaman, yakni:
!ِ ْ()ِ ْNََ!ْ َ( ِ)دْ َدِ ُْ ا# ُ1? َ َ 8ِ ْ ِ ِء اOَ ِْ ا+ ُْPOَ َا
Hukum asal benda (barang) adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Sebaliknya, berkaitan dengan perbuatan yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan jasmaniah ataupun naluriah—yang tidak pernah berubah itu— Islam menggariskan kaidah berikut:
1ِ َ ِ ْ)Q?َْ ِم اOَ ِْ ُ>ُ Lَ َلْ ا6ْ+Oَ ِْ ا+ ُْPOَ َا
Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syariat. 78
79
Jadi, gagasan bahwa hukum harus berubah karena waktu dan tempat tidak mempunyai pijakan syariat yang jelas dalam Islam.
79
Syariat Islam dan Aspek Kemaslahatan Pertimbangan kemaslahatan juga sering menjadi pijakan dalam menentukan hukum. Benarkah aspek kemaslahatan mempunyai tempat dalam penentuan hukum syariat ataukah sebaliknya, syariatlah yang menentukan ada dan tidaknya aspek kemaslahatan tersebut? Kemaslahatan pada dasarnya adalah diperolehnya manfaat dan terhindarkannya kerusakan (jalb al-manâfi’ wa daf‘ al-mudhirrah). Menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidak hanya otoritas syariat semata. Syariatlah yang dapat menentukan hakikat kemaslahatan tersebut. Sebab, kemaslahatan yang dimaksud tentu kemaslahatan bagi manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia yang mempunyai kebutuhan jasmaniah dan naluriah. Memang, kemaslahatan adakalanya dapat ditentukan oleh akal ataupun syariat. Masalahnya, mana kemaslahatan yang benar-benar sesuai dengan fitrah manusia: yang ditentukan oleh akal atau syariat? Jika akal dibiarkan menentukan kemaslahatan sendiri, padahal akal memiliki keterbatasan, pasti ia tidak akan mampu menjangkau hakikatnya, karena akal juga tidak mungkin mampu memahami hakikat manusia. Yang dapat memahami hakikat manusia hanyalah Pencipta manusia, yakni al-Khâliq, Allah SWT. Memang, manusia dapat saja menentukan suatu perkara itu maslahat atau tidak. Akan tetapi, dia tidak mungkin menentukannya secara pasti. Menentukan kemaslahatan berdasarkan asumsi atau klaim hanya akan menyeret manusia ke dalam kehancuran. Sebab, adakalanya manusia mengira suatu perkara mengandung kemaslahatan, tapi akhirnya terbukti menimbulkan kemadaratan. Demikian pula sebaliknya. Ini hanyalah tinjauan dari satu aspek. Sementara itu, dari aspek lainnya, dapat dikatakan bahwa penilaian akal atas aspek kemaslahatan tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya. Artinya, kemaslahatan yang ditentukan oleh akal manusia pastilah bersifat asumtif, tentatif, sekaligus relatif. Karena itu, akal tidak boleh dibiarkan untuk menentukan aspek kemaslahatan. Syariatlah yang bersumber dari Zat Yang Mahatahu yang harus menentukannya. Sebab, hanya syariatlah yang mampu menentukan kemaslahatan dan kemadaratan yang hakiki. Karena itu, yang mesti dilakukan akal adalah sekadar mencerap suatu realitas sebagaimana apa adanya, lalu memahami nash syariat mengenai realitas tersebut, baru kemudian menerapkan nashh tersebut atas realitas yang dimaksud. Jika relevan, di sana pasti ada kemaslahatan atau kemadaratan sebagaimana yang dinyatakan oleh syariat. Akan tetapi, jika tidak relevan, makna yang relevan dengan realitas tersebut harus dicari sehingga kemaslahatan atau kemadaratan yang dinyatakan oleh syariat tersebut dapat diketahui setelah hukum Allah atas realitas tersebut diketahui. Jadi, kemaslahatan yang hakiki pada dasarnya adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh syariat, bukan yang ditentukan oleh akal yang serba-relatif. Penting untuk dipahami, bahwa syariat pasti mengandung maslahat. Artinya, di mana ada syariat, di situ pasti ada maslahat. Demikianlah sebagaimana yang dinyatakan oleh kaidah ushul berikut: . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Di mana pun ada syariat, di situ pasti ada maslahat.
ُ1N َ َْKَ ْ ا, ِ Rَ +َ ُ)ْعQن ا َ ََُ آRْ ? َ
MUSLIM & SYARI’AT ISLAM Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT. dalam rangka untuk mengatur hubungan manusia dengan Khaliqnya, dengan dirinya sendiri, dan sesama manusia; termasuk dalam hal ini mengelola alam semsta. Pengaturan hubungan manusia dengan Khaliqnya tampak dalam aturan-aturan yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah. Pengaturan hubungan manusia dengan dirinya tampak dalam aturan-aturan yang berkenaan dengan pembentukan akhlaq, makanan dan pakaian. Pengaturan manusia dengan sesama manusia lainnya tampak dalam aturan yang berkenaan dengan mu’amalah dan uqubat (hukum pidana, sanksi, dan pelanggaran). Dengan demikian, Islam merupakan pedoman bagi kehidupan manusia, bukan sekedar kumpulan konsepsi teologi. Bahkan tidak terdapat kaitan sedikitpun juga dengan semacam sistem kepasturan. Begitu pula, Islam tidak berkaitan sama sekali dengan bentuk sistem otokrasi atau teokrasi (diktator sistem pemerintahan agama), sehingga di dalam Islam tidak terdapat sekelompok orang yang disebut sebagai ahli agama (disebut juga kaum rohaniwan) dan sebagian lainnya ditempatkan sebagai ahli politik (teknokrat). Semua kaum muslimin ditempatkan pada posisi yang sama di hadapan agama. Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan perbuatan atau amal merupakan perkara yang tidak lepas dari diri seorang manusia. Aktivitas manusia biasanya bertalian dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan aspek naluriah yang dimilikinya. Dengan demikian, dorongan untuk melakukan perbuatan atau amal itu inheren dalam kefitrahan manusia. Suatu perbuatan dilakukan manusia sangat mungkin disebabkan karena dorongan kebutuhan memenuhi jasmaninya, seperti makan, minum dan istirahat dan adakalanya didorong oleh aspek naluriahnya, seperti naluri seksualitas, rasa cinta, mempertahankan diri dan harta dari ancaman, dll. Manusia dalam menjalankan kehidupannya tentu saja memerlukan suatu sistem yang mengatur keberadaan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Tentu saja aturan dan sistem tersebut tidak mungkin berasal dari manusia, sebab manusia itu lemah dan tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu. Begitu pula pemahaman manusia terhadap tata aturan sangat dimungkinkan sekali akan terjadinya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan. Suatu hal yang hanya akan menimbulkan tata aturan dan sistem yang saling bertentangan yang pada akhirnya akan membawa manusia pada kesengsaraan kehidupannya. Oleh sebab itulah, aturan dan sistem hidup manusia tersebut haruslah berasal dari Al Khaliq (Pencipta), yaitu Allah SWT. Konsekuensinya adalah manusia harus menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan segenap aturan dan sistem yang bersumber dari Allah SWT. Berdasarkan hal ini maka seharusnya seluruh amal perbuatan manusia diatur berlandaskan perintah dan larangan Allah SWT. yang tentu saja harus pula dilandasi oleh kesadaran manusia terhadap hubungannya dengan Allah. Kemudian dengan kesadaran inilah manusia akan menyesuaikan seluruh amal perbuatannya sesuai 80
81
dengan perintah dan laranganNya. Inilah ruh Islam yang terwujudkan dalam setiap amal perbuatannya. Dengan demikian ruh merupakan wujud kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah SWT. ketika ia melakukan amal perbuatannya. Adapun tujuan amal perbuatan seorang muslim dalam hal ini hanyalah menggapai keridlaan Allah SWT., bukan sekedar mendapatkan manfaat-manfaat yang bersifat material. STATUS PERBUATAN MANUSIA Pada awalnya keberadaan status hukum seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya pernyataan dari syari’at. Amal perbuatan itu belum dapat dikategorikan pada sesuatu yang wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab, tidak ada ‘taklif’ (beban hukum) sebelum sampai pernyataan syara’. Allah SWT. berfirman:
Mً ْ$ُـ2 َرU َ َـ6ْ َ G' ?َـ َ ْ ِـFَـ6ُ# َـ آُـ# َو
“(Dan) Kami tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul/utusan”.(QS. Al-Isra’: 15) Berdasarkan ayat tersebut dapat difahami bahwa Allah SWT. menjamin tidak mendatangkan azab/siksa terhadap hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan, jika belum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi, manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun. Hanya saja, saat Allah SWT. mengutus seorang Rasul kepada mereka, atau telah sampai kepada suatu kaum penjelasan syara’, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Allah SWT. berfirman :
... ِ ُـ2%)ْـ َ> ا6َ 1ٌ ـWُ? 3 ِ اGَ َ س ِ ن ِـ َ ْ$ َ(ُـ7َـVِ ' َ ْ( ِرFِ ُْـ# ' َو َ ْ()ِ ـQَ ُ# 7 ً ُـ2ُر
81
“ (Mereka kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu”. (QS. An-Nisaa : 165) Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidakkeimanannya dan ketidakterikatannya dengan hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya, iapun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelewengan terhadap sebagian hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Untuk itu kaum muslimin diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT. Allah SWT. berfirman :
... ْا$َُ ْـَـ+ ُ0ْـ َ ْ!َُ َ َـآ# ُ َوYُْوFُـZ+َ ُْل$ُـ2)َ[ ءَاـَآُ!ُ ا# َو...
“... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” .(QS. Al-Hasyr :7)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Tidak berarti dikatakan di sini, bahwa barang siapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari Rasul secara langsung (karena masa Rasulullah SAW. telah lewat) maka ia termasuk “mukallaf”(orang yang terbebani hukum). Tidak dapat dikatakan demikian, sebab beban hukum menurut syara’ adalah ‘aam (bersifat umum), sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia. Selain itu, tidak dapat dinyatakan dengan pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan manusia yang lolos dari hukum syari’at. Dalam hal ini Allah SWT. berfirman : َ ً6 ِE َ ْ!ُْ َ ِإ0ِ َّلُ ا$ُ2ُْ (َ َأ(َُّ ا َّسُ ِإ ِ ّ َر/
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semua”. (QS. Al-A’raf :158)
Oleh karena itu, merupakan suatu kepastian bahwa hukum-hukum yang dibawa Rasulullah adalah mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik itu larangan atau perintahnya. Tidak ada satu perbuatan manusiapun yang lolos dari syariat, sehingga manusia bebas menentukan pilihannya. Karena jika terdapat perbuatan yang lolos dari hukum, maka itu berarti syariat mengandung kekurangan, bersifat kondisional atau temporal. Jelas itu bertentangan dengan jiwa dan fakta syariat itu sendiri. Memang benar, bahwa syariat Islam tidak datang dengan hukum-hukum yang terperinci tentang suatu permasalahan, tetapi syariat datang dengan maknamakna umum yang berkaitan dengan problematika hidup manusia dengan satu titik pandang terhadap segi kemanusiaan, tanpa pandang waktu dan tempat. Kemudian, dari makna-makna umum tersebut mengalir makna-makna atau hukum-hukum cabang lainnya. Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, harus dipahami dan dikaji secara mendalam, kemudian dilakukan proses istinbath (penetapan status) hukum. Standar itu bersifat langgeng (konstans), hingga sesuatu yang buruk atau baik, tidak akan berubah-ubah. Jadi, manusia akan menjalankan keputusannya berdasarkan petunjuk yang pasti. Apabila standar itu diserahkan kepada akal manusia, kebaikan atau keburukan akan bersifat nisbi (relatif). Oleh sebab itu, wajib bagi setiap orang untuk menjadikan hukum syariat sebagai ukuran atau standar untuk menilai semua perbuatan manusia, dengan memandang baik apa yang dikatakan baik oleh syara' dan memandang buruk apa yang dikatakan buruk oleh syara'. Berdasarkan hal itu telah menjadi suatu yang pasti bahwa apapun yang dibawa Rasul tentang suatu hukum akan mencakup setiap perbuatan dan apa-apa yang dilarang olehnya juga mencakup setiap perbuatan. Setiap muslim yang hendak melakukan suatu perbuatan untuk memenuhi kebutuhan atau mencari suatu kemaslahatan, maka wajib baginya secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut sebelum ia melakukannya, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’. Selain itu, bila ada perbuatan/hal baru yang belum diketahui nash syara’nya, maka manusia tetap tidak berhak menghukumi berdasarkan kemauannya. Jika ada anggapan bahwa terdapat perbuatan/hal yang tidak memiliki nash hukum; anggapan tersebut sama artinya dengan menganggap bahwa syari’at Islam mempunyai kekurangan dan tidak cocok kecuali untuk masa dan keadaan
82
83
tertentu. Tentu saja ini bertentangan dengan syari’at itu sendiri serta kenyataan yang sesuai dengannya. Kita memahami bahwa Syari’at Islam tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut. Tetapi syariat Islam datang dengan makna-makna umum yang berkait dengan problema hidup manusia; yaitu dengan melihat ‘manusia sebagai manusia’, sehingga tidak terikat dengan waktu dan kondis/tempat. Kemudian mengalirlah dibawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain. Jika terjadi permasalahan atau kejadian baru, maka masalah itu harus dikaji dan difahami. Kemudian, dilakukan “isntinbath” hukum (penggalian staus hukum) dari dalil-dalil yang besifat umum yang terkandung dalam syari’at, maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam masalah tersebut. Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah SAW. sampai saat ini. Kaum muslimin tidak pernah behenti mengikatkan diri mereka kepada syari’at Islam dalam kehidupan mereka. Dengan istinbath terhadap nash-nash AlQur’an Al-Karim dan hadits Rasulullah SAW. itulah, kaum muslimin berupaya memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Hal ini dapat kita perhatikan bagaimana pada masa Abu Bakar ra muncul permasalahanpermasalahan baru yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah SAW.; begitu pula telah muncul permasalahan-permasalah baru di masa khalifah Harun Al-Rasyid yang tidak ditemui di zaman Abu Bakar ra. Di sini para mujtahidin berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang sebelumnya belum pernah ditemukan. Demikianlah, kaum muslimin telah melaksanakan syari’at Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena syari’at Islam telah mencakup seluruh perbuatan manusia; tidak satupun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
83
Pemutus Hukum Dalam Islam (AL-HAKIIM) Keberadaan manusia secara pasti membutuhkan adanya kepastian hukum yang akan mengatur kehidupan interaksi mereka. Artinya terdapat kepastian hukum atas perbuatan manusia dan status benda-benda yang berkaitan dengan perbuatan tersebut. Satu persoalan yang paling urgen dalam kaitannya dengan pembahasan ini adalah penjelasan mengenai siapakah yang layak dan seharusnya menjadi rujukan/sumber bagi penetap suatu status hukum. Dengan kata lain adalah menjelaskan siapakah Al Hakiim yang memiliki otoritas untuk menetapkan hukum atas perbuatan yang dilakukan manusia dan benda-benda yang digunakan dan berada dalam lingkaran kehidupan manusia. Dengan demikian maka Al Hakiim dalam kaitan dengan pembahasan ini bukanlah orang yang berperan untuk menerapkan hukum di pengadilan atau pemilik kekuasaan pemerintahan yang menerapkan hukuman atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat atau aparatur negara. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Frame berfikir yang hendak dijelaskan tentang Al Hakiim adalah siapakah yang berhak untuk menetapkan hukum atas masalah-masalah manusia ? Apakah Allah SWT., Dzat Pencipta dan pemilik alam semesta dan manusia ataukah akal manusia? Syara‘kah atau akalkah ? Karena yang menjelaskan kepada kita bahwa ini hukum Allah adalah syara‘ dan yang menjadikan manusia dapat menghukumi sesuatu adalah akal, sebab akal adalah memberikan penetapan atas fakta yang diamati. Topik penetapan hukum atas perbuatan manusia dan benda-benda yang berkaitan dengan perbuatan tadi adalah dalam rangka menentukan hasan (terpuji) atau qabiih (tercela). Hal ini disebabkan penetapan suatu hukum adalah berkenaan dengan sikap manusia atas suatu perbuatan, apakah ia akan melakukan perbuatan itu ataukah akan meninggalkan perbuatan itu; atau memilih antara melakukan dan meninggalkan perbuatan itu; serta penentuan sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan tadi, apakah ia mempergunakan benda-benda atau meninggalkan; atau memilih antara menggunakan dan mengabaikannya. Untuk menetapkan hukum atas perbuatan dan benda-benda, maka pembahasan hasan dan qabiih menjadi hal yang harus dipahami terlebih dahulu; termasuk dalam kaitan dengan hal ini adalah siapakah yang menetapkan hukum hasan dan qabiih suatu perbuatan atau benda, syara‘kah atau akalkah menjadi hal yang sangat urgen. Segi Penetapan Hukum Hukum atas perbuatan manusia atau benda dapat ditinjau dari aspek realitasnya: apakah itu? Adakalanya dapat ditinjau dari aspek kesesuaian dengan tabiat manusia serta kecenderungan fithri dan kebencian terhadapnya; atau adakalanya dapat ditinjau dari aspek ada atau tidaknya pujian serta pemberian pahala jika melakukannya dan celaan serta adanya iqaab (siksa) karena meninggalkannya. Dengan demikian maka penetapan hukum atas benda dan perbuatan manusia memiliki tiga faktor yang harus diperhatikan: 1. Segi faktanya 2. Segi kesesuaian dengan tabiat manusia dan kebenciannya 3. Segi pemberian pujian dan celaan dengan adanya pahala dan siksa. Penetapan hukum dari segi yang pertama, yaitu dari segi faktanya dan dari segi yang kedua berkaitan dengan kesesuaian dengan tabiat manusia dan kebenciannya, maka tidak terdapat keraguan bahwa kedua aspek itu dapat diketahui dan dipahami manusia, yaitu dapat dijangkau akal manusia; bukan oleh syara‘. Akal manusia dapat menetapkan hukum atas perbuatan dan benda-benda berdasarkan kedua aspek itu. Adapun syara‘ tidak menetapkannya karena memang tidak terdapat peranan syara‘ dalam hal tersebut. Sebagai contoh: ilmu atau orang berilmu itu dinyatakan sebagai sesuatu yang baik (hasan), sementara kebodohan/pandir itu merupakan hal yang buruk. Fakta ini sangat dipahami oleh akal secara jelas dilihat dari sisi kesempurnaan dan kekurangannya. Contoh lainnya: memiliki harta itu hasan (baik) dan keadaan faqir-miskin itu adalah qabiih (buruk); menolong orang yang tenggelam adalah baik, sementara mengambil harta milik orang lain secara zalim adalah buruk (qabiih). Dalam perkara seperti ini, maka tabiat manusia secara pasti akan menolak setiap hal yang berbentuk kezaliman dan
84
85
85
perkara-perkara yang dapat menimbulkan kerusakan/kehancuran. Demikian pula sesuatu yang manis itu hasan dan yang pahit itu adalah qabiih. Dengan demikian, keseluruhan aspek di atas penetapannya berdasarkan pada fakta yang dapat diindera manusia dan dipahami akalnya (semuanya dikembalikan pada fitrah dan tabiat manusia). Manusia dapat merasakan hal tersebut dengan pemahaman akalnya. Pada kondisi tersebut maka akal menghukumi benda-benda dan perbuatan manusia yang terjangkau olehnya dan menetapkan hukum bagi kedua hal itu (hasan atau qabih) bukan oleh syara‘. Pemutus hukum (hakim) dari aspek ini adalah manusia. Jadi, penetapan hal di atas adalah berdasarkan akal itu sendiri, yaitu pengamatan, adanya fakta, informasi sebelumnya, dan otak. Definisi akal adalah: memindahkan gambaran fakta melalui panca indera kepada otak dan adanya informasi sebelumnya, lalu informasi yang ada sebelumnya pada diri manusia itu digunakan untuk menafsirkan/ menjelaskan fakta yang diindera tadi. Pengamatan adalah perkara yang penting dalam pembentukan akal (berfikir). Apabila manusia tidak melakukan penginderaan terhadap sesuatu maka dapat dipastikan tidak mungkin bagi akalnya untuk memberikan ketetapan hukum bagi sesuatu yang tidak terindera. Adapun penetapan hukum atas perbuatan manusia dan benda ditinjau dari segi ketiga adanya pujian (al madah) dan celaan (adz Dzamm) di dunia; dan adanya pahala (Ats tswab) dan siksa (al ’iqab) di akhirat, maka tidak dapat diragukan lagi bahwa kewenangan dalam menetapkan hal ini adalah Allah SWT. saja. Dalam pengertian yang lain, kewenangan itu merupakan kewenangan syara‘, bukan otoritas akal manusia. Contohnya adalah: orang yang beriman kepada Allah itu merupakan perbuatan yang hasan sementara perbuatan mengingkarinya adalah qabih, ketaatan seorang muslim kepada Rasulullah SAW. merupakan perbuatan yang hasan sementara maksiat kepadanya merupakan qabih, menikah sesuai dengan hukum agama adalah hasan sementara berzina adalah qabih. Kezaliman dilihat dari sisi pujian dan celaan itu tidak dapat diindera oleh manusia, sebab pujian dan celaan bukanlah sesuatu yang dapat diindera manusia, sehingga tidak mungkin untuk difikirkan oleh akal manusia. Jadi, tidaklah mungkin bagi akal manusia untuk memberikan penetapan hukum terhadap tindak kezaliman. Dalam hal ini, meskipun pujian dan celaan terhadap kezaliman dapat dirasakan oleh manusia dengan fitrahnya, begitu pula adanya penolakan dan kecenderungan manusia terhadap perbuatan zalim itu; akan tetapi perasaan manusia semata tidak aka bermanfaat dalam memberikan status hukum tentang sesuatu. Hal ini disebabkan pemberian suatu status hukum atas perbuatan dan benda yang terdapat di sekeliling manusia harus melalui proses penginderaan. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa tidak mungkin bagi akal manusia untuk memberikan suatu status hukum baik dan buruk (hasan dan qabih) terhadap perbuatan atau benda dari sisi perbuatan itu terpuji ataukah tercela. Begitu pula, dalam penetapan suatu status hukum dari sisi perbuatan itu terpuji atau tercela diserahkan pada kecenderungan manusia yang fitrah, sebab kecenderungan (muyul) manusia akan menetapkan sesuatu itu terpuji jika dirasakan cocok atau menguntungkan dirinya, dan manusia akan menetapkan sesuatu itu tercela jika dirasakan bertentangan dan merugikan dirinya. Akibat jika penilaian dan penetapan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
hukum diserahkan pada kecenderungan manusia adalah terjadinya kontradiksi/pertentangan satu dengan lainnya. Yang baik akan dipandang buruk atau yang buruk akan dipandang baik. Bisa jadi yang dianggap cocok itu adalah perkara yang tercela, seperti mencuri, mabuk, berzina, homoseksualitas, menghamba kepada manusia, dll; dan yang ditentangnya adalah perkara terpuji, seperti jihad fii sabilillah, sabar, memaafkan, berkata jujur dan benar meskipun berakibat timbulnya bahaya bagi dirinya, dll. Menyerahkan penetapan hukum hasan dan qabih (dari sisi terpuji dan tercela, pahala dan siksa) pada muyul (kecenderungan dan hawa nafsu) manusia maka secara pasti mengakibatkan kesalahan dalam penetapannya. Berdasarkan hal itu, maka yang berwenang untuk menetapkan hukum baik dan buruk (hasan dan qabih) dari sisi apakah perbuatan itu terpuji ataukah tercela dan adanya pahala dan siksa merupakan hak Allah SWT., Dzat Pencipta manusia dan alam semesta, karena hanya Dialah yang mengetahui hakekat suatu perbuatan dan benda yang terdapat disekeliling manusia dan bukan akal manusia. Begitu pula, seandainya manusia dibiarkan untuk menetapkan hukum baik dan buruk dari sisi adanya pujian dan celaan terhadap perbuatan dan benda maka secara pasti akan melahirkan perbedaan penghukuman karena terjadi perbedaan orang-orang dan zamannya; dalam keadaan seperti itu manusia tidak akan pernah mendapatkan suatu kepastian hukum. Untuk mendapatkan suatu kepastian hukum, maka yang berfungsi sebagai Al Hakim adalah Allah SWT. (syara‘) dan bukan manusia (akal manusia), karena akal tidak dapat berperan dalam menetapkan hukum baik dan buruk dari sisi adanya pujian dan celaan yang berakibat pada pahala dan siksa. Inilah penetapan baik dan buruk berdasarkan dalil Aqliy. Adapun berdasarkan dalil naqliy (syar‘iy) maka syara‘ mewajibkan penetapan baik dan buruk itu mengikuti Rasulullah SAW. Sebab Rasul SAW. merupakan orang diutus Allah SWT. dalam kerangka untuk menjelaskan hukum-hukum atas perbuatan mansuia dan benda. Berkaitan dengan hal ini terdapat satu kaidah ushul yang dikemukakan para ulama, yaitu: ”Sesungguhnya sesuatu itu terpuji karena dipuji oleh syara‘ dan sesuatu itu tercela karena dicela oleh syara‘ ”. Penetapan hukum baik dan buruk atas perbuatan dan benda adalah untuk menetapkan sikap dan perilaku manusia. Berkaitan dengan benda misalnya, apakah benda itu kategorinya halal atau haram. Berkaitan dengan perbuatan manusia adalah apakah perbuatan itu dituntut untuk dilakukan atau dituntut untuk ditinggalkan, sehingga berimplikasi pada penetapan apakah perbuatan itu wajib, sunnah, haram, makruh, atau mubah. Di samping itu pula, hukum yang menyangkut segi pelaksanaannya, apakah hal ini termasuk sebab, syarat, penghalang, shahih, bathil, fasid, ’azimah, atau rukshah. Semua perkara itu tidak dapat dilihat dari sisi apakah cocok atau tidaknya dengan tabiat manusia, bukan pula dari segi faktanya, tetapi sesungguhnya perkara itu ditetapkan berdasarkan segi pujian atau celaan di dunia dan berimplikasi pada adanya pahala atau siksa di akhirat. Jadi, jelas bahwa penetapan hukum baik dan buruk itu tidak mungkin dilakukan penetapannya kecuali oleh syara‘ dan wajib dikembalikan kepada ketentuan syara‘, bukan kepada akal manusia. Maka Al Hakim yang hakiki bagi perbuatan para hamba dan benda yang digunakan manusia ditetapkan berdasarkan ketentuan Allah (Syara‘). 86
87
Perhatikan pula ayat-aya berikut yang merupakan dalil naqliy: ”Menetapkan
' َ ِP ِ َHْ ْ)ُ اA َ $َ ُ]ّ َوه َ N َ ُْ^ُّ اL(َ 0ِ َِّ Mُِْ!ُ إNْن ا ِ ِإ
hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang terbaik“ (QS.Al An’aam:57)
ا$ُِّ" َ ُ( َو, َ ْ & َ /َ َّ #ِ ًE)َ ? َ ْ!ِ " ِ ُHْ ِ َأ+ >ُواW ِ (َ M ّ!َ ُ_ ْ!َُ ْ َ )َ W َ َ َ ِ+ ك َ $ُِّ N َ ُ( Gَّ ? َ ن َ $ُ#ِ ْaُ( M َ ِّ َو َر7َ+ ”Tidak,
ً ِْ"َ
demi Allah, mereka sekali-kali tidak beriman sampai mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perselisihan di antara mereka“ (QS. An Nisaa’:65)
”Maka
ن َ $ُ/ِ $ُ( ْ ٍم$Lَ ِ ًُْ? 0ِ َّ' ا َ #ِ ُ'" َ ْ?'ْ َأ#َ ن َو َ $ُbْ(َ 1ِ ّ َ َِ ِهWُْْ َ! اN+َ َأ
apakah hukum jahiliyah yang mereka cari ? Dan hukum siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al Maidah:50) Dari ayat-ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah mewajibkan seorang mukmin dan muslim menyelesaikan setiap persoalan kehidupan mereka dengan hukum dan aturanNya, dan Allah mengharamkan manusia memperturutkan hawa nafsunya atau akalnya. Hanya saja, fungsi akal dalam perkara ini adalah sebatas pada menggali dan memahami nash-nash (dlil) syara‘ sehingga dapat diketahui dan dipahami aturan-aturan Allah yang terdapat di dalamnya. SUMBER HUKUM ISLAM Pembahasan sumber hukum syariat Islam merupakan masalah pokok (ushul), karena dari sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karena itu, menetapkan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni). Allah SWT. berfirman :
M$ُVْ"#َ ُ0ْ َ ن َ َ آ َ Vِ ََا َد آُُّ أُوaُHْ َ) وَاK َ َ ْ وَاcَ ّْ" َ نّ ا َ ْ ٌ! ِإ ِ 0ِ ِ َ َ d َ ْ َ َ# ُJْLَ Mَو
“(Dan) janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya.” (QS. Al Isra : 36)
ًVْ َ ّ] ِ N َ ْ' ا َ #ِ ِْbُ( M ّ' َ ّe َ نّ ا َ َ ًّ ِإf Mِ)ُهُ!ْ إRَ ُْ َأآcِ َّ (َ َ#َو
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus : 36)
87
Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), sebab menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu hukum sudah salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh sebab itu menetapkan sumber syariat Islam tidak dapat dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka. Berdasarkan pengertian itu, maka yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur’ân, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat syar’i).
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
A. AL-QUR’ÂN SUMBER HUKUM PERTAMA Al-Qur’ân adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril as. kepada Rasulullah SAW. dengan menggunakan bahasa Arab disertai kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya. Al-Qur’ân diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Jadi, apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak dapat dikatakan sebagai Al-Qur’ân. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’ân dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi, realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’ân adalah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad SAW. ataupun saduran dari kitabkitab sebelumnya. Al-Qur’ân tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masadan sebagai sumber segala sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia. a. Kehujjahan Al-Qur’ân Al-Qur’ân merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena AlQur’ân merupakan kalam Al Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak dapat diragukan lagi sedikitpun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah menunjukkan bahwa Al-Qur’ân itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Al-Qur’ân adalah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli sya’ir Arab atau siapapun. Allah SWT. berfirman :
i ٍ ْ6َ ِ ْ!ُُ&ْ6َ ن َ َْ آ$َ َو0ِ ِْRِ ِ ن َ $ُْg(َ M ن ِ hْ)ُLَْا اFَْ ِ هRِ ِ ا$ُْg(َ ْ َأنGَ َ ُّ'W ِ ُْ وَاdْ 8 ا, ِ 6َ َ َ ْE' ا ِ Vِ َ ُْ/ ِ )ًاf َ
“Katakanlah : Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’ân ini. Pasti mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS. Al Isra : 88)
ْ!ُُْ ِإنْ آ0ِ َّن ا ِ 'ْ دُو#ِ ْ!ُا ُ َ>َا َءآ$ُْ وَاد0ِ ِْR#ِ ْ'#ِ َر ٍة$ُ"ِ ا$ُْg+َ َ >ِ ْ َ Gَ َ ََّْ َ َّ #ِ j ٍ ْ(ِ َر+ ْ!َُُْوِإنْ آ
' َ ِ/َ ِدP
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’ân yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’ân , dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang benar.” (QS. Al Baqarah : 23)
88
89
Perhatikan pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah SAW., seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh nabi pada awalnya, ia berkata : “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’ân itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menhasilkan buah. Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Al-Qur’ân.” Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’ân sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya, perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan sebagainya. Selain isi Al-Qur’ân menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau kisah tentang sebagian iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, penyerbukan bunga-bunga oleh bantuan angin dan sebagainya ; pada akhirnya terbukti kebenarannya. Semua itu menunjukkan bahwa Al-Qur’ân memang bukan datang dari manusia melainkan dari Allah SWT., Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’ân sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. b. Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat. Klasifikasi ayat Al-Qur’ân dibagi dalam 2 kategori, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT. :
ت ٌ َِ َQَ ُ# ُ)A َ ُب َوأ ِ َِ ْ'ّ أُمُّ ا َ ُت ه ٌ ََ ْNُ# ت ٌ َ(h ُ0ْ#ِ ب َ َِ ْ ا َ ْ َ َ ِي َأ ْ َ َلFَّ ا$َ ُه
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’ân) kepadamu, di antaranya (isinya) ada ayatayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’ân dan lainnya (ayat-ayat) Mutasyabihat.” (QS. Ali Imran : 7) Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara nyata, jelas, tidak ambiguitas (samar), dan tidak memerlukan penafsiran, sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang mempunyai makna ambiguitas (samar), terselubung (tersembunyi) yang memerlukan penafsiran untuk memahaminya karena mengandung beberapa pengertian. Sebagai contoh dapat diperhatikan ayat yang menjelaskan tentang keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka, kejadian hari Qiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya, dijelaskan melalui ayat-ayat yang muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat muhkamat adalah haramnya riba, perjudian dengan segala bentuknya, khamar (minuman keras), dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan hukum-hukum Allah dan sebagainya. Adapun ayat-ayat Mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara tentang mu’amalah seperti QS Al-Baqarah 228 (lafadz quru’ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS Al-Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak istri), dan lain-lain. 89
c. Nasakh dalam Al-Qur’ân Jumhur ulama sepakat adanya nasakh dalam ayat-ayat Al-Quran. Lafadz nasakh memiliki beberapa arti etimologi (arti bahasa) yaitu : • Menghapuskan (izalah), seperti pada QS Al-Hajj : 52. • Mengganti (tabdil), seperti yang tercantum dalam QS An-Nahl : 101. . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Makna nasakh menurut syara’ adalah penghapusan suatu hukum dan diganti dengan penetapan hukum baru. Nasakh tidak terjadi kecuali menyangkut masalah perintah dan larangan. Contoh yang masyhur tentang nasakh adalah perubahan arah kiblat shalat seperti yang tercantum dalam QS Al-Baqarah 142-145, atau penggantian puasa Asy-Syura dengan Ramadlan (QS. Al-Baqarah 183-185), boleh suami istri bergaul di bulan Ramadlan (QS. Al-Baqarah : 187) Ayat Al-Qur’ân hanya dapat dinasakh dengan ayat Al-Qur’ân lainnya, tetapi tidak dapat dinasakh dengan sunnah. Adapun hadits mutawatir dapat menasakh hadits lain (baik yang mutawatir maupun yang ahad), sedangkan hadits ahad hanya dapat menasakh hadits ahad saja. Mengenai ijma’ dan qiyas tidak ada nasakh karena tidak ada nasakh setelah wafatnya Rasulullah SAW. d. Tasir Al-Qur’ân Tafsir adalah menerangkan maksud lafadz. Misalnya firman Allah SWT. ‘laa raiba fiihi” (tidak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz lain “laa syakka fiihi” (tidak ada kebimbangan di dalamnya). Tafsir Al-Qur’ân merupakan penjelasan makna kata demi kata dalam susunan kalimatnya serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bil ayat) atau oleh hadits Rasulullah SAW. tentang suatu ayat (tafsir bisSunnah), atau penjelasan para shahabat dan ahli ilmu terhadap suatu ayat. Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali tidak boleh ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain menurut kenyataannya Al-Qur’ân itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’ân melalui bahasa yang lain. Dengan demikian Al-Qur’ân tidak-bisa-tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’ân itu sendiri, yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan bahwasanya hidup ini tidak boleh diatur kecuali menurut aturan Allah SWT., maka tidak ada alternatif lain bagi kita melainkan berusaha semaskimal mungkin memahami Al-Qur’ân , menghayati dan mengkaji isinya sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’ân. ٍ ّ ً ِ ) َ َ ًُْ? ُYََْ ْ َأ َ ِFَ َو َآ
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’ân itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab.” (QS. Ar Ra’du : 37) Sesungguhnya kelalaian umat dalam mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’ân menyebabkan kedangkalam dalam memahami Al-Qur’ân. Ini menunjukkan bahwa umat sedang berjalan menuju arah yang menjauhi nilai-nilai Islam. Hendaknya disadari bahwa melakukan kajian terhadap isi kandungan AlQur’ân menuntut persyaratan tertentu. Di samping menuntut keikhlasan dan kesucian niat, juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’ân. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan inipun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu, haruslah berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’ân. 90
91
Juga harus disadari bahwa pengkajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’ân bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk mengakrabkan diri dengan Al-Qur’ân. Sedangkan tujuan akhirnya adalah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’ân dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang kita lakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’ân hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan. B. AS-SUNNAH As-Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW. terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sebagaimana Al-Qur’ân, karena Sunnah merupakan bagian dari wahyu. Firman Allah SWT. :
Gَ?$ُ( ٌ ْ? َوMِ إ$َ َُى ِإنْ ه$َ ْ' ا ِ َ ُ]n ِ ْ(َ َ#َو
“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. AnNajm : 3-4) Ayat di atas bermakna apa yang disampaikan Rasulullah SAW. (Al-Qur’ân dan As Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT., bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT. :
ّ َ َ ِإGَ?$ُ( َ# Mُِ إcِ َّ ِإنْ َأ.. ُْ/
“(Katakanlah Muhammad) ... aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’am : 50) Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW. tidak melakukan suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT. dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikannya. Al-Qur’ân telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’ân, Rasulullah SAW. juga menerima Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan As Sunnah, baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As Sunnah dapat ditemukan dalam QS Ali Imran : 164, QS. Al Jumu’ah : 3, dan QS. Al Ahzab : 34. Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa kehujjahan As- Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya ; sebagaimana Al-Qur’ân itu sendiri.
91
Korelasi Fungsional As-Sunnah Terhadap Al-Qur’ân Adapun mengenai korelasi fungsional As-Sunnah terhadap Al-Qur’ân dapat diuraikan sebagai berikut: 1. As Sunnah berfungsi untuk menguraikan ayat Al-Qur’ân yang bersifat mujmal (umum). Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya (dalalah/penunjukannya), yaitu dalil yang belum jelas maksud dan perinciannya. Misalnya, perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’ân hanya . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
menjelaskannya secara global dan tidak menjelaskan bagaimana tata cara pelaksanaannya. Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat ; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain. Ibnu Hazm, menjelaskan : “Sesungguhnya di dalam Al-Qur’ân terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada penjelasan lain , maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi SAW. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasuskasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara pasti wajib kembali kepada Sunnah.” 2. As Sunnah berfungsi untuk memberikan batasan khusus terhadap ayat Al-Qur’ân yang bersifat umum. Ayat Al Ql-Quran yang bersifat Umum ialah lafadz yang mencakup segala sesuatu makna yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘AlMuslimun’ (orang-orang Islam), ‘Ar-rijaalu’ (orang-orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’ân itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkan keumumannya Al-Qur’ân tersebut. Misalnya firman Allah SWT. :
'ّ ِ "َ ًء َ ُنْ آoِ+َ ' ِ ْ َ Rَ ْ Oّ اp ِ? َ ُْR#ِ )ِ ّ َآFَ ِ ْ!ُ ِدآMِْ َأو+ ُ0َِّ ُ!ُ اP$ُ(
“Allah mewajibkan kamu tentang anak-anakmu, untuk seorang anak laki-laki adalah dua bagian dari anak perempuan.” (QS. An Nisaa’ : 11) Berdasarkan ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Jadi setiap anak adalah pewaris ayahnya. Kemudian datang Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah SAW. : “Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (HR Imam Bukhari)
“Seorang pembunuh tidak mendapat warisan.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) Menurut hadits di atas, Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya untuk mendapat warisan dari ayahnya. 3. As-Sunnah memberikan Taqyid (persyaratan) terhadap ayat Al-Qur’ân yang bersifat Mutlak. Pengerian ayat yang bersifat Mutlak adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, misalnya lafadz budak, mu’min, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’ân banyak dijumpai ayatayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya :
َا ًءE َ َُ(َ >ِ ْ(ا َأ$ُ6n َ ْ/َ+ ُ1/َ "ّ ِر َ "ّرِقُ وَا َ وَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kamu potong tangan (keduanya).” (QS. Al Maidah : 38) Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian Sunnah memberikan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak moinimal seperempat dinar emas. Sabda Rasulullah SAW. : “Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang dari itu.” (HR Ahmad) 92
93
Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagaimana ayat 38 Surat Al-Maidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari tempat lainnya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. 4. As-Sunnah melengkapi keterangan sebagian hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran. Peranan Sunnah untuk memperkuat dan menetapkan apa yang telah tercantum dalam Al-Qur’ân, di samping melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang asalnya dari Al-Qur’ân. Al-Qur’ân menegaskan tentang pengharaman memperisteri dua orang bersaudara sekaligus.
ً ِ?رًا َر$ُHr َ ن َ َ آ0َ َّنّ ا َ ِإJ َ َ2 َ ْ>/َ َ# Mِ' إ ِ ْ َ ْAO' ا َ ْ َ ا$ُ6َ ْWَ َْوَأن
“(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An Nisaa’ : 23) Di dalam Al-Qur’ân tidak disebutkan tentang haramnya seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara laki-laki istri (kemenakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi : “Tidak boleh seseorang memadu wanita dengan ‘ammah (saudara bapaknya), atau dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya (kemenakan) dan tidak boleh memadu dengan anak perempuan saudara laki-lakinya , sebab kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.” (HR An Nasa’i dan Ibnu Majah).
4. As Sunnah Menetapkan hukum-hukum baru yang tidak terdapat dalam AlQur’ân. Sunnah juga berfungsi menetapkan hukum-hukum yang baru yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’ân dan bukan merupakan penjabaran dari nash yang sudah ada dalam Al-Qur’ân, akan tetapi merupakan aturan-aturan baru yang hanya terdapat dalam Sunnah. Misalnya, diharamkannya ‘keledai jinak’ untuk dimakan, setiap binatang yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula tentang keharaman memungut pajak (bea cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut tidak dikelola oleh negara, tidak bolehnya individu memiliki kepentingan umum seperti air, rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak , besi, sungai, laut, tempat penggembalan ternak dan lain-lain. Demikian antara lain ketentuan tambahan (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah SAW. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT. :
ُ!ُ ه َ Vِ ََْ َوأُو6t َ َْ َوَأ6ِ 2 َ ا$ُ$ُL(َ ُْْ َ! َ ْ َُ!ْ َأنN َ ِ ِ0ِ$ُ2 َو َر0ِ َّ اGَا ِإ$ُُ' ِإذَا د َ ِ#ِ ْaُْْ َل ا$/َ ن َ َِإ َ َّ آ
ن َ $ُNِْHُْا
93
“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memberikan ketentuan hukum diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan : Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An Nur : 51) Penggunaan nash As Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i, karena tidak boleh adanya keraguan sedikitpun dalam masalah
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/syari’ah masih dapat digunakan nash As Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka kuat atas kebenarannya). Hal ini karena dalam masalah syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang pasti terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah). C. IJMA’ SHAHABAT Secara etimologis Ijma’ memiliki pengertian kesepakatan dan berarti pula suatu tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh , Ijma’ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum bahwa hal itu merupakan hukum syara’. Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul Halli wal Aqdi, ijma’ Shahabat atau sebagainya. Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Di antara berbagai pendapat tentang ‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah SAW. dengan beberapa alasan: 1. Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya ? Akan pasti benarkah ijma’ mereka tesebut ? Benarkah semua ‘ulama’ tadi mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut ? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi sampai ia meninggal ? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas suatu masalah baru ? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah, Imam Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan mampu terwujud ijma’ setelah masa shahabat. Dan karena ketidakmungkinan itu pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’ ; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’. 2. Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jamaah, baik tercantum dalam Al-Qur’ân maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS Al Fath : 29, QS At Taubah: 100, QS Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah SAW. : “Sesungguhnya aku telah memilih para shahabatku atas segenap makhluk, selain para nabi.” (HR Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain). 94
95
“Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr) Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jamaah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para Shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’. 3. Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan menyampaikan Al-Qur’ân dan Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah SAW., hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan peristiwa apa suatu ayat Al-Qur’ân diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para shahabat) ? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat ? 4. Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab merekapun tetap manusia yang tidak ma’shum . Akan tetapi secara syar’i mereka mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’ân dan Hadits sebab merekalah yang menyampaikan Al-Qur’ân dan menuturkan Hadits Rasulullah SAW. pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah mustahil terjadi secara syar’i. Beberapa Contoh Ijma’ Shahabat Salah satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Al-Qur’ân menjadi mushaf. Al-Qur’ân dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’) para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT. berfirman :
ن َ $ُe+ِ َNَ ُ0َ ّ َ ّآْ َ) َوِإFِ ْ'ُ َ ََّْ اN َ ّ َ ِإ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’ân dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr : 9) 95
>ٍ ِ? َ !ٍ ِ? َ ْ'#ِ ٌ (َِْ 0ِ Hِ ْA َ ْ'#ِ Mَ و0ِ ْ(>َ (َ ' ِ ْ َ ْ'#ِ ُt ِ َْ ا0ِ ِْg(َ M
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’ân) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fushilat : 42)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’ân yang ada kini - yang merupakan ijma’ para shahabat - dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’ân. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’ân sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil terjadi. Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang masyhur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah SAW. wafat. D. QIYAS Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya, karena disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya. Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar’iy, karena dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama. Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’ân berarti dalil qiyas dalam hal tersebut adalah Al-Qur’ân. Sebagai contoh, transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat :
ْ ْ ٌ) َُ!ْ ِإنA َ ْ!ُِ َذcَ ْ َ ْ َو َذرُوا ا0ِ َّ ِذآْ ِ) اGَْا ِإ$6َ ْ2َ+ 1ِ 6َ ُُWْْ ِم ا$(َ ْ'#ِ ِة7ّK َ ِ ي َ ِد$ُ ا ِإذَا$ُ#َ h ' َ (ِFَّ(َ َأ(َُّ ا
ن َ $َُْ6َ ْ!ُُْآ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli .” (QS. Al Jumuah : 9) Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Jadi, sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.
96