TRI PUSAT PENDIDIKAN SEBAGAI LEMBAGA PENGEMBANGAN TEORI PEMBELAJARAN
Ilham1 Abstract: Islam is a religion that is concerned about education. Instructions
holy scripture and the Sunnah of the Prophet clearly recommends Muslims to enhance youth skills and morals. Because education is an investment in human capital for the future to provide young people with a noble character and high skills. Even education is an activity that can not be eparated from life and human life. This activity is essentially an effort to realize the spirit of Islam is an attempt to realize the spirit of human life in the face of life's challenges which must be accompanied with the nuances of Islam and start with the religious values in all aspects of life. Education is for the child, because the child's education without having backwardness and ignorance that led the child away from the noble character and will fall into elinquency, brawl and actions that do not conform to religious norms.Therefore, the education of children or students which includes three non-family education is the responsibility of parents, school education is the responsibility of teachers and public education is the responsibility of all citizens / community leaders, the three institutions should be established partnership in the learning process of students to create a generation that could be useful for the nation and religion.
Key words: Islam, Education, Holy scripture
Pendahuluan Islam mengenal pendidikan dengan pengertiannya yang menyeluruh, dengan pengertian ia berputar sekitar pengembangan jasmani, akal, emosi rohani, dan akhlak. Begitu juga ia mengenal pendidikan dalam pengertiannya yang utuh, dengan pengertian bukan terbatas di sekolah saja, tetapi meliputi segala yang mempengaruhi pelajar-pelajar di rumah, dijalankan dan lain-lain. Juga ia
mengenal pendidikan
seumur hidup, 13 abad sebelum pendidikan modern mengenalnya. Islam mengenal lembaga pendidikan semenjak detik-detik awal turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Rumah al-Arqam bin al-Arqam merupakan Lembaga pendidikan pertama. Guru yang Agung yang pertama yaitu Nabi 1
Dosen STAI DDI Pangkep dan Guru SMP Negeri 1 Balocci Pangkep, Sulawesi Selatan. E-mail:
[email protected].
1
Muhammmad saw. mengumpulkan sekumpulan kecil pengikut-pengikutnya yang percaya kepadanya secara diam-diam. Di rumah inilah beliau mengajar kumpulan kecil ini ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan melalui malaikat Jibril, dan membentuk idiologinya sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang mulia.2 Lembaga pendidikan Islam itu bukanlah lembaga beku, tetapi berkembang dan menurut kehendak waktu dan tempat. Perkembangan lembaga pendidikan Islam terus maju seiring dengan perkembangan zaman, sehingga muncullah mesjid yang dijadikan tempat belajar ilmu-ilmu agama secara bersama-sama. Selanjutnya timbullah kuttab yang merupakan cikal bakal terbentuknya madrasah
dan sekolah. Dari
perjalanan sejarah pendidikan Islam tersebut, maka muncullah lembaga-lembaga pendidikan yang kemudian dikenal dengan tri pusat pendidikan sebagai lembaga pengembangan teori pembelajaran yang dapat mendidik dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Berdasarkan latar belakang di atas maka dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: Pertama, apa yang dimaksud tri pusat pendidikan? Kedua, Bagaimana peranan tri pusat pendidikan sebagai lembaga pengembangan teori pembelajaran? Pengertian Tri Pusat Pendidikan Sebelum dibahas lebih jauh tentang peranan lembaga pendidikan sebagai lembaga pengembangan teori pembelajaran, maka terlebih dahulu akan di kemukakan pengertian tri pusat pendidikan sebagai lembaga pendidikan Islam. Dalam dunia pendidikan Sebagaimana dinyatakan Ki Hajar Dewantara yang di kutip oleh Wahjoetomo di kenal adanya istilah “Tri Pusat Pendidikan”. Yaitu tiga lingkungan (lembaga) pendidikan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian anak didik. Tiga lembaga pendidikan tersebut: pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat.3 Adapun H. A. Rahman Getteng membagi menjadi tiga macam tri pusat pendidikan, yaitu informal (pendidikan yang dilaksanakan di rumah tangga dimana 2Hasan
Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2000), h.
122. 3 Wahjoetomo,
Penguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa depan (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 21.
2
orang tua sebagai penanggung jawab), non formal (pendidikan yang dilaksanakan di dalam masyarakat), dan formal (pendidikan yang dilaksanakan di sekolah).4 H. Abu Ahmadi dan Nur uhbiyati menggunakan bahwa lembaga pendidikan ialah badan usaha yang bergerak dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak-anak didik. 5 Sedangkan yang diamksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan dan proses tersebut dimulai dari lingkungan keluarga,6 kemudian ke lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi tri pusat pendidikan adalah lembaga pendidikan Islam yang merupakan tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan anak yang berorientasi pada lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sedangkan menurut M. J Langeveld, sebagaimana dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur uhbiyati, mengemukakan 3 (tiga) macam lembaga pendidikan, yaitu: keluarga, negara, dan gereja. Dasar yang digunakan oleh Langeveld dalam pembagian tersebut adalah wewenang dan wibawa: 1. wewenang berkeluarga bersifat kodrati 2. wewenang negara Berdasarkan undang-undang 3. wewenang gereja berasal dari tuhan.7 Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa tri pusat pendidikan adalah lembaga pendidikan yang mendorong terjadinya proses pembelajaran yang mencakup tiga tempat yakni lembaga pendidikan keluarga (rumah tangga), lembaga pendidikan sekolah, dan lembaga pendidikan masyarakat.
4 A.
Rahman Getteng, Pendidikan Islam dalam Pembangunan, moral, remaja, wanita, Pembangunan (Ujung Pandang: Al-Ahkam, 1997), h. 27. 5Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h.
170. 6Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 127.
7 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op. cit., h. 171. Gereja adalah tempat ibadah, sedangkan menurut Langeveld tempat ibadah itu besar sekali pengaruhnya terhadap pendidikan Islam Dalam Pendidikan mental spritual. Pendapat Langeveld tersebut tidak salah sebab mesjid sebagai tempat ibadahkaum muslimin juga diakui besar pengaruhnya terhadap pendidikan mental spritual oleh kaum muslimin. Lihat: Ibid., h. 173.
3
Peranan Tri Pusat Pendidikan sebagai Lembaga Pengembangan Teori Pembelajaran 1. Lembaga Pendidikan Keluarga (rumah tangga) Keluarga yang dalam Islam dikenal dengan istilah usrah atau āli8 adalah lembaga yang asasi dan alamiah yang pasti dialami oleh setiap manusia. Keluarga dalam prespektif antropologi merupakan unit terkecil dalam kehidupan masyarakat, yang terdiri atas seorang kepala rumah tangga (ayah), pengatur kehidupan (ibu), dan anggota keluarga (anak), dengan kerjasama ekonomi, pendidikan, perawatan, perlindungan, dan sebagainya. Karenanya keluarga dapat juga dikatakan sebagai masyarakat dalam arti mikro. Dalam proses pendidikan, sebelum mengenal masyarakat yang lebih luas dan sebelum mendapat bimbingan dari sekolah, seorang anak lebih dahulu memperoleh bimbingan dari keluarga. Dari kedua orang tua, terutama ibu, untuk pertama kali seorang anak mengalami pembentukan watak (kepribadian) dan mendapat pengarahan moral. Dalam keseluruhannya, kehidupan anak juga lebih banyak dihabiskan dalam pergaulan keluarga. Itulah sebabnya pendidikan keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama, serta merupakan peletak fondasi dari watak dan pendidikan keluarga.9 Hal tersebut sejalan dengan hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ما من مو لود اال يولود:عن ابى هريرة انه كان يقول 10
) على الفطرة فابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسا نه ( رواه مسلم
Artinya: Tidaklah seorang Anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah 11 . Kedua orang tuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR. Muslim). 8Mahmud
Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Cet. VIII; Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 41.
9Wahjoetomo,
op. cit., h. 22-23.
10 Abū Ḥusaini Muslim Bin Ḥajjaj, Şaḥiḥ Muslim, Juz IV (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1992), h. 2047. 11 Fiṭrah adalah suatu kemampuan dasar berkembang manusia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Di dalamnya terkandung berbagai komponen psikologis yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menyempurnakan bagi hidup manusia. Komponen-komponen potensial fitrah tersebut ialah (a). kemampuan dasar untuk beragama Islam (ad-dīnul qayyimah) dimana faktor iman
4
Hadis tersebut di atas menunjukkan betapa besar pengaruh orang tua dalam pertumbuhan dan proses pendidikan seorang anak, karena dari merekalah. Anak mula-mula
menerima pendidikan, dengan Demikian bentuk pertama
pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situsi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud tersebut adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.12 Olehnya itu, orang tua yang berperan dan bertanggung jawab atas kehidupan keluarga harus memberikan dasar dan pengarahan yang benar terhadap anak, yakni dengan menanamkan ajaran agama dan akhlak karimah. Agama Islam sebagai agama yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. lebih memberikan gambaran-gambaran tentang cara-cara pembentukan suatu keluarga yang Islami, sehingga mampu menciptakan proses pendidikan yang baik dalam kehidupan keluarga. Pembentukan identitas anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak itu diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga. Sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut baligh-berakal. 13 Dalam keluarga mesti melalui tiga tahap, yang dikenal dengan istilah prakonsepsi, prenatal, dan postnatal. a. Prakonsepsi Prakonsepsi adalah satu upaya persiapan pendidikan yang dimulai sejak seseorang memiliki pasangan hidup hingga terjadi pembuahan dalam rahim ibu.14 merupakan intinya beragama manusia, (b). Mawāhib (bakat) dan Qabliyyat (tendensi dan kecenderungan) yang mengaju kepada keimanan kepada Allah. Lihat: M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 97. 12
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 35.
13Zakiah
Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Cet. II; Jakarta: Ruhama, 1995),
h. 41. 14
Wahjoetome, op. cit., h. 24.
5
Abdullah Nashih Ulwān mengemukakan bahwa Islam dengan tasyri’nya yang agung dan peraturannya yang komprehensif telah meletakkan aturan-aturan dan hukum-hukum bagi pelamar dan dilamar (dalam perkawinan), jika semua orang berjalan atas garisnya, niscaya perkawinannya akan diliputi saling pengertian, cinta kasih, dan keserasian. Keluarga yang terdiri atas putera dan puteri akan berada pada puncak keimanan yang mantap, berbadan sehat, berakhlak mulia, berakal masak, dan berjiwa tenang lagi bersih. 15 Di sinilah pentingnya memilih pasangan hidup yang memiliki agama (akhlak mulia). b. Prenatal Prenetal adalah upaya pendidikan yang dilakukan oleh calon ayah dan ibu saat anak masih berada dalam kandungan. Orang tua melakukan pendidikan terhadap calon anak secara lahir dan batin.16 Seperti diketahui, perkembangan anak dalam kandungan melalui beberapa tahap. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. al-Mu’minūn/23: 12-14 yang berbunyi:
ثُم خَ لَقنَا. ثُم َج َعلنَاهُ نُطفَة فِي قَ َرار َم ِكين.اْلن َسانَ ِمن س ََُللَة ِمن ِطين ِ وََ لَقَد خَ لَقنَا ُالنُّطفَةَ َعلَقَة فَخَ لَقنَا ال َعلَقَةَ ُمضغَة فَخَ لَقنَا ال ُمض َغةَ ِعظَاما فَ َك َسونَا ال ِعظَا َم لَحما ثُم أَن َشأنَاه )21 -21:اركَ هللاُ أَح َس ُن الخَ الِقِينَ (المؤ منون َ َخَ لقا َءاخَ َر فَتَب Terjemahnya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.17
15 Abdullah
Salām, 2999), h. 19.
Nashih Ulwān, Tarbiyah al-Aulād fi al-Islām, Jilid I (Cet. XXXII; Kairo: Dār al-
16Wahjoetomo,
527
17Departemen
op. cit., h. 27.
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Toha Putra, 1989), h.
6
Ayat di atas menjelaskan tentang proses penciptaan manusia khususnya ketika berada dalam kandungan (rahim ibu). Pada saat terpenting inilah sang ibu mendidik bayi yang dikandungnya dengan memperbanyak doa kepada Allah agar anaknya menjadi pribadi yang saleh dan berguna bagi agama dan masyarakat. Selain melalui pendidikan batin dengan berdoa, ibu juga mendidik janinnya secara lahiriah melalui suplai makanan bergizi yang baik dan halal. Hal ini sangat penting bagi pertumbuhan janin baik secara fisik maupun psikis. Sehingga diharapkan lahir bayi yang kuat, sehat, dan cerdas. Makanan bergizi juga bermanfaat bagi kesehatan ibu menjelang melahirkan dan setelahnya, sehingga mampu menyusui anaknya dengan baik.18 Ahmad Tafsir mengemukakan bahwa setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan mereka yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, bereketerampilan, cerdas, pandai dan beriman. 19 Di sinilah fungsi agama dalam memberikan gambaran terhadap umatnya untuk mendidik dan membina anak baik secara batiniah (dalam kandungannya) maupun secara lahiriah (secara lahir). c. Postnatal Postnatal adalah pendidikan anak dimulai sejak lahir sampai dewasa, bahkan hingga wafatnya yang dikenal istilah pendidikan seumur hidup.
20
Kelahiran
adalah salah satu kejadian yang sangat penting bagi perkembangan seorang anak manusia. Bahkan menurut Otto Rank sebagai yang dikutip oleh Wahjoetomo, bagi sang bayi, kelahiran merupakan trauma (keadaan tidak menyenangkan yang membekas secara mendalam), karena ia dipaksa keluar dari kandungan ibu yang hangat dan terlindung dari bahaya eksternal. Oleh karena itu bayi kemudian menangis. Jadi, tangisan pertama sang bayi setelah ia keluar 18
Wahjoetomo, op. cit., h. 28.
19 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Pesrpektif Islam Rosdakarya, 2000), h. 155.
(Cet. III; Bandung: Remaja
20 Konsep Pendidikan Seumur Hidup (Life long education) merumuskan suatu asas bahwa pendidikan adalah suatu proses yang terus menerus (kontinu) dari bayi sampai meninggal dunia. Konsep ini sesuai dengan konsep Islam seperti yang tercantum dalam hadis Nabi Muhammad saw, yang menganjurkan belajar dari buaian sampai ke liang kubur. Lihat: Furd Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan (Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 40.
7
dari rahim, bukanlah secara mekanis akibat terhimpaya udara untuk pertama kali, melainkan sebenarnya adalah tangisan traumatis, tangis kepedihan, tangis protes, dan tangis keengganan, karena ia terlampar ke alam yang penuh secara bahaya dan duka cita. Bayi lahir dalam kondisi fisik yang lemah dan tanpa daya, karena organ tubuhnya masih inferior dan belum berfungsi dengan baik untuk melindungi dirinya sendiri. Sehingga selalu bergantung kepada oarang lain.21 Dalam Q.S. al-Nahl/16: 78. Allah berfirman:
َار َواْلَفئِ َدة َ ص َ ون أُمهَاتِ ُكم َال تَعلَ ُمونَ َشيئا َو َج َع َل لَ ُك ُم السم َع َواْلَب ِ َُوهللاُ أَخ َر َج ُكم ِمن بُط )ѴɅ: (النحل. َلَ َعل ُكم تَش ُكرُون Terjemahnya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.22 Di antara keutamaan syariat Islam bagi umatnya telah dijelaskannya hukumhukum (pedoman) yang berhubungan dengan anak dan kaitannya dengan prinsip-prinsip penting pendidikan secara rinci, sehingga pendidik selaku mendapat petunjuk dan kejelasan tentang masalah yang harus dijalankan orang yang terbebani hak mendidik tersebut dapat melaksanakan kewajibannya dengan sempurna sebagai perwujudan dan pelaksanaan dasar-dasar yang diundangkan Islam dan prinsip-prinsip ajaran yang dirumuskan pendidik pertama Nabi Muhammad saw. Jelaslah bahwa tanggung jawab pendidikan itu dalam keluarga (rumah tangga) sebagai lembaga pendidikan pertama terletak di tangan orang tua dalam hal ini ibu dan ayah, olehnya itu mereka harus mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan anak baik sebelum di kandung masa dalam kandungan, maupun baik sebelum dilahirkan, karena anak yang dididik dengan baik sejak dini akan menjadi generasi penerus yang berguna bagi bangsa dan agama. 21Wahjoetomo, 22Departemen
op. cit., h. 29.
Agama RI, op. cit., h. 413
8
Pendapat di atas menggambarkan bahwa fungsi keluarga pada garis besarnya dititikberatkan pada pendidikan dan Pembinaan anak, karena tugas dan tanggung jawab keluarga dalam hal ini orang tua terhadap pendidikan anakanaknya lebih bersifat pembentukan watak dan budi pekerti, latihan keterampilan dan pendidikan sosial. Selama anak belum dewasa, maka orang tua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya untuk membawa anak kepada kedewasaan, maka orang tua harus memberi contoh yang baik, karena anak suka mengimitasi kepada orang tuanya. Dengan contoh yang baik anak tidak merasa dipaksa. Dalam memberikan sugesti kepada anak tidak dengan cara otoriter melainkan dengan sistem pergaulan sehingga dengan senang anak melaksanakannya.23 Dalam rangka pelaksanaan pendidikan nasional, peranan keluarga terhadap pendidikan semakin tampak dan penting. Peranan keluarga terutama dalam dan nilai hidup, pengembangan bakat dan minat serta pembinaan nilai-nilai pancasila, nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dimulai dalam keluarga. Agar keluarga dapat memainkan peranan tersebut, keluarga perlu juga dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan pendidikan, perlu adanya pembinaan. 2. Lembaga Pendidikan Sekolah Berdasarkan perspektif sejarah, kata sekolah berasal dari bahasa Yunani schole, kemudian bahasa jerman schule, dan bahasa Inggris school, yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “sekolah”. Dalam bahasa Yunani, schole berarti bebas dari kewajiban bekerja. Pada saat itu, masih berlaku perbudakan di Yunani, dan orang-orang yang disebut “bebas dari kewajiban bekerja” adalah orang merdeka (bukan budak). Orang-orang ini membentuk kelompok-kelompok intelektual dan mendiskusikan berbagai macam ilmu filsafat, serta problema aktual yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, kata schole berarti tempat mendiskusikan ilmu dan filsafat. Hingga sekarang sekolah diartikan sebagai tempat mengkaji
23Abu
Ahmadi dan Nur hbiyati, op. cit., h. 25.
9
berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat formal.
24
Lembaga pendidikan yang
melaksanakan pembinaan pendidikan dan pengajian dengan sengaja teratur dan terencana adalah sekolah. Guru-guru yang melaksanakan tugas pembinaan, pendidikan dan pengajaran tersebut adalah orang-orang yang telah dibekali dengan pengetahuan tentang anak didik, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas kependidikan.25 Sekolah sebagai
institusi
resmi di
bawah kelolaan pemerintah,
menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara terencana, sengaja dan terarah, sistematis. Oleh para pendidik profesional dengan program yang diterangkan ke dalam kurikulum untuk jangka waktu tertentu dan ikuti oleh para peserta didik pada setiap jenjang pendidikan tertentu. Misalnya sekolah dasar lama pendidikan enam tahun. Jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Menengah masing-masing selama tiga tahun. Untuk tingkat pendidikan program serta strata (Program Sarjana), selama empat tahun yang dibagi ke dalam delapan semester, program pendidikan strata dua atau Program Pascasarjaan (Program Magister), dua tahun dibagi dalam empat semester, dan untuk program strata tiga (Program Doktor) yang berlangsung selama tiga tahun yang dibagi dalam enam semester. Sekolah melakukan pembinaan pendidikan untuk peserta didiknya didasarkan atas Kepercayaan dan tuntutan lingkungan keluarga dan masyarakat yang tidak mampu atau mempunyai kesempatan untuk mengembangkan pendidikan di lingkungan masing-masing, mengingat berbagai keterbatasan yang dipunyai oleh orang tua anak. Namun tanggung jawab utama pendidikan tetap berada di tangan kedua orang tua anak yang bersangkutan. Sekolah hanyalah meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang telah diletakkan dasardasarnya oleh lingkungan keluarga sebagai pendidikan informal.26 Dalam lembaga pendidikan Islam dikenal dua model sekolah yakni sekolah Islam, dan Madrasah (pensantren). Kelompok pertama adalah sekolah Islam yang
24
Wahjoetomo, op. cit., h. 48–49.
25Zakiah 26Fuad
Daradjat, Pendidikan Islam…, op. cit., h. 77.
Ihsan. op. cit., h. 78.
10
menerima model sekolah negeri yang berada dibawah pengawasan Kementerian pendidikan dan Kebudayaan. Seperti sekolah negeri lainnya, sekolah Islam terdiri dari pendidikan dasar enam tahun, yang secara kelembagaan dikenal sebagai Sekolah Dasar (SD), pendidikan menengah tiga tahun (SMP Islam). Kemudian diikuti dengan pendidikan menengah kedua tiga tahun (SMA Islam). Dalam Undang-undang Pendidikan Nasional tahun 2003, sekolah Islam harus mengambil sistem sekolah negeri, maka sekolah Islam mengambil sepenuhnya kurikulum yang disusun dan dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan
dan
Kebudayaan
(sekarang
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan). Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara sekolah Islam dan sekolah umum (negeri). Yang membedakan mereka antara lain adalah pembelajaran khusus pada pelajaran agama; sekolah Islam memiliki lebih banyak mata pelajaran yang berhubungan dengan Islam, dan sebagai akibatnya, memiliki jam belajar yang lebih lama untuk pelajaran agama. Sekolah negeri juga memiliki pelajaran agama dalam kurikulum mereka; bahkan pelajaran agama bersifat wajib dalam sistem pendidikan nasional Indonesia yang harus diajarkan sejak tingkat taman kanak-kanak hingga universitas. Namun, jumlah jam belajar yang disediakan bagi pelajaran agama terbatas; hanya dua jam perminggu.27 Kelompok kedua adalah Madrasah. Meskipun pada kenyataannya “Madrasah” berarti “Sekolah”, di Indonesia istilah tersebut secara khusus mengacu pada “sekolah (agama) Islam”. Di nusantara sistem madrasah yang mulai berkembang pada dekade-dekade awal abad ke-20 pada mulanya memfokuskan diri nyaris secara eksklusif pada studi bahasa Arab dan studi-studi Islam, seperti Al-Qur’an, hadis, fikih, sejarah Islam, dan mata pelajaran Islam lainnya. Lama sebelumnya, madrasah secara perlahan mengadopsi sebagian ciri sistem pendidikan modern dan mata pelajaran modern, seperti matematika, geografi, dan ilmu-ilmu umum lainnya yang dimaksudkan ke dalam kurikulum mereka.28 Sedangkan pesantren sama halnya dengan madrasah, hanya saja dalam pesantren disamping mempelajari semua pelajaran madrasah ditambah dengan 27 Azyumandi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Cet. I; Jakarta: Logas Wacana Ilmu, 1999), h. 71. 28Ibid.,
h. 72.
11
belajar kitab-kitab pengajian baik kitab-kitab klasik maupun kitab kontemporer, tradisional atau pesantren modern. Jusuf Amir Faisal mengemukakan bahwa kehadiran lembaga pesantren dapat menjadi salah satu komponen sistem pendidikan nasional yang berdiri sama tinggi dengan lembaga pendidikan lainnya yang juga merupakan komponen sistem pendidikan nasional, karena persyaratan, proses, mutu, ilmu dan keterampilannya secara kualitatif sudah bersaing dan relevan dengan kebutuhan Pembangunan nasional dan eksistensi umat. 29 Selanjutnya beliau mengungkapkan bahwa salah satu kekuatan pesantren adalah adanya keterkaitan psikologis orang tua muslim dengan lembaga-lembaga khususnya lembaga pendidikan agama yang masih kuat, serta tradisi keagamaan dan kemimpinan (informal) pada pesantren yang merupakan potensi nasional untuk Pembangunan khususnya pembinaan keimanan dan ketakwaan yang menjadi tujuan pendidika nasional.30 Kelebihan pesantren dibanding dengan model pendidikan yang lain, karena adanya beberapa pelajaran tambahan (pengajian) yang dilakukan oleh ustaz (kyai), serta pembinaan yang dilakukan bersifat menyeluruh, termasuk pembinaan kepribadian, karena pada lazimnya pesantren mengasramakan siswanya (santrinya), sehingga mudah dikontrol dan dibimbing oleh guru dan ustaz. Zakiah Daradjat mengemukakan, bahwa guru adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah meralakan dirinya dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Mereka ini tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru. Hal itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena tidak sembarang orang dapat menjadi guru.31 Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Orang yang 29Jusuf
Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.
188. 30
Ibid.
31
Zakiah Daradjat, dkk., op. cit., h. 39.
12
pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru di perlukan syarat-syarat khusus, apalagi guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu di bina dan dikembangkan melalui mata pendidikan tertentu.32 Ahmad Tafsir mengemukakan mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam -juga ahli pendidikan Barat- telah sepakat bahwa tugas guru ialah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas. Mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk memberikan dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.33 Kenyataan menunjukkan bahwa antara sekolah dan guru tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sekolah adalah lembaga pendidikan yang menyediakan segala fasilitas yang berkaitan dengan proses berlajar mengajar, sedangkan guru sebagai pendidik yang memberikan pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian yang baik kepada siswa dengan pembinaan keimanan dan ketakwaan, dalam rangka menyiapkan manusia Indonesia yang utuh, sebagai pemikir dan pelaku Pembangunan bangsa dan agama. Sekolah
memegang
peranan
penting
dalam
pendidikan
karena
pengaruhnya sangat besar sekali pada jiwa anak. Maka di samping keluarga sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak. Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsanya. Dengan sekolah, golongan atau partai mendidik kader-kadernya untuk meneruskan dan memperjuangkan cita-cita dari golongan atau partainya. Dengan sekolah kaum beragama mendidik putra-putranya untuk menjadi orang yang melanjutkan dan memperjuangkan agama. 34 Peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua, yakni melanjutkan fungsi pendidikan keluarga, disamping 32Moh.
Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional (Cet. XIII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
h. 5. 33Ahmad 34Untuk
Tafsir, op. cit., h. 78.
selengkapnya baca: Fuad Ihsan, op. cit., h. 86-90.
13
fungsi edukatif sekolah juga sebagai tempat pembinaan, mental dan agama anak khususnya dalam pengembangan teori pembelajaran. 3. Lembaga Pendidikan Masyarakat Masyarakat bila dilihat dari konsep sosiologi adalah sekumpulan manusia yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan dan saling berinteraksi sesamanya untuk mencapai tujuan. Secara kualitatif dan kuantitatif
anggota masyarakat,
terdiri dari berbagai ragam pendidikan, profesi, keahlian, suku bangsa, kebudayaan, agama, lapisan sosial, sehingga menjadi masyarakat majemuk.35 Secara makro memang demikianlah kenyataan masyarakat karena terdiri dari berbagai anggota keluarga yang heterogen. Setiap anggota masyarakat secara tidak langsung telah mengadakan kerjasama dan saling mempengaruhi untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuannya. Demikianlah dinamika masyarakat berjalan sejak dahulu sampai sekarang dan seterusnya.36 Dalam masalah pendidikan, masyarakat sebenarnya tidak melakukan pendidikan dalam pengertian yang sebenarnya, pendidikan dalam masayarakat dikatakan sebagai pendidikan yang bersifat non formal. Apa yang disebut sebagai pendidikan dalam masyarakat, sebenarnya hanyalah “pengaruh” masyarakat. Memang diakui bahwa pengaruh masyarakat berperan besar dalam pembentukan kepribadian anak. Pengaruh masyarakat ada yang bersifat positif dan ada pula yang negatif. Yang dimaksud dengan pengaruh masyarakat yang bersifat positif adalah segala kondisi di masyarakat yang dapat mengarahkan kepribadian dan watak anak ke arah yang baik. Biasanya berupa organisasi-organisasi atau perkumpulan pemuda saperti Remaja Masjid, Pramuka, Karang Taruna, forum diskusi, dan lain-lain. Sedangkan pengaruh masyarakat yang bersifat negatif adalah segala bentuk
35Dari lahir sampai mati manusia hidup sebagai anggota masyarakat. Hidup dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial dengan orang-orang di sekitar dan dengan demikian mengalami pengaruh dan mempengaruhi orang lain. Interaksi sosial sangat utama dalam tiap masyarakat. Manusia adalah makhluk sosial ia hidup dalam hubungannya dengan orang lain dan hidupnya bergantung pada orang lain. Karena itu manusia tak mungkin hidup layak di luar masyarakat. Lihat: S. Nasutiaon, Sosiologi Pendidikan (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara , 1999), h. 60. Bandingkan dengan Zakiah Daradjat, dkk., op. cit., h. 44. 36Fuad
Ihsan, op. cit., h. 84.
14
keadaan yang merugikan pendidikan dan perkembangan watak anak, misalnya yang berasal dari film porno, majalah seksi, dan pergaulan bebas.37 Masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak dididik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahny. Bila anak telah besar diharapkan menjadi anggota yang baik pula sebagai warga desa, earga kota, dan warga negara. Dengan demikian, di pundak meraka terpikul keikiutsertaan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Ini berarti bahwa pemimpin dan penguasa dari masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Sebab tanggung jawab pendidikan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab moral dari setiap orang dewasa baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok sosial. Tanggung jawab ini ditinjau dari segi ajaran Islam, secara implisit mengandung pula tanggung jawab pendidikan.38 Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan anak-anak menjelma dalam beberapa perkara dan cara yang dipanddang merupakan metode pendidikan masyarakat yang utama. Cara yang terpenting adalah: a. Allah menjadikan masyarakat sebagai penyuruh kebaikan dan pelarang kemungkaran. b. Dalam masyarakat Islam seluruh anak-anak dianggap anak sendiri atau anak saudaranya. c. Untuk menghadapi orang-orang yang membiasakan dirinya berbuat buruk, Islam membina meraka melalui cara membina dan mendidik manusia. d. Masyrakat pun dapat melakukan pembinaan melalui pengisolasian, pemboikotan, atau pemutusan hubungan kemasyarakatan.
37
Wahjotomo, op. cit., h. 42-43
38Zakiah
Daradjat, dkk., op. cit., h. 45.
15
e. Pendidikan kemasyarakatan dapat juga dilakukan melalui kerjasama yang utuh karena bagaimanapun, masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu. f. Pendidikan kemasyarakatan bertumpu pada landasan afeksi kemasyarakatan, khususnya rasa saling mencintai. g. Pendidikan masyarakat harus mampu mengajak generasi muda untuk memilih teman dengan baik dan Berdasarkan ketakwaan kepada Allah.39 Keluarga dan sekolah sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki beberapa fungsi, demikian pula halnya dengan lembaga pendidikan di masyarakat, memiliki beberapa fungsi, karena aktivitas masing-masing anggota masyarakat berjalan menurut fungsinya dalam mewujudkan masyarakat yang damai. Fuad Ihsan mengemukakan beberapa fungsi lembaga pendidikan masyarakat, ada tiga factor: pertama, mengawasi jalannya nilai sosio–budaya. Masyarakat Indonesia sejak dahulu sangat menjunjung tinggi sosio– budaya yang ada
dalam
masyarakat
ada
yang
berkehendak
melestarikan
dan
mengembangkannya. Untuk dapat lestari berkembangnya nilai-nilai luhur sosio – budaya ini diperlukan kewibawaan dalam melakukan pengawasan. Kedua, Menyalurkan aspirasi masyarakat. Keinginan masyarakat untuk hidup bahagia dan sejahtera serta aman sejak pemerintahan orde baru makin besar. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah antara lain dengan menggalakkan transmigrasi, sistem keamanan lingkungan, posyandu, dan lain-lain. Keberhasilan usaha ini tidak terlepas dari peran serta pemimpin informal dalam masyarakat. Ketiga, membina dan meningkatkan kualitas keluarga. Dewasa ini tampak kegiatan yang agak menonjol dari kaum ibu melalui program PKK. Kegiatan ini ada yang dilakukan di keluruhan atau rumah-rumah tangga yang dipimpin oleh perorangan atau oleh aganisasi wanita setempat, banyak ilmu dan keterampilan yang diperoleh kaum ibu dalam upaya meningkatkan kualitas dirinya dan kualitas keluarga.40 39Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca: Abdurrahman An Nahlawi, Usūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Asālibuha, diterjemahkan oleh: Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 176-186. 40
Ibid.
16
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan masyarakat memiliki peranan penting dalam proses pengembangan pembelajaran anak dalam berbagai bentuk kegiatan sehingga dapat mencerdaskan peserta didik. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tri Pusat Pendidikan yaitu tiga lingkungan (lembaga) pendidikan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian anak didik. Tiga lembaga pendidikan tersebut: pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga pendidikan Islam adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. 2. Peranan keluarga terutama dalam pengembangan teori pembelajaran adalah pengembangan bakat dan minat serta pembinaan nilai-nilai pancasila, nilai-nilai keagamaan, dan nilai-nilai kepercayaan terhadap Tuhan yang maha esa yang dimulai dalam lingkungan keluarga. Agar keluarga dapat memainkan peranan tersebut, keluarga perlu juga dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan pendidikan maka perlu adanya pembinaan. Adapun peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan kedua, yakni melanjutkan fungsi pendidikan keluarga. Di samping fungsi edukatif, sekolah juga sebagai tempat pembinaan mental dan agama anak khususnya dalam pengembangan teori pembelajaran. Sedangkan masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada di dalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menghendaki agar setiap anak didik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik di lingkungan keluarga, anggota sepermainannya, kelompok kelasnya dan sekolahnya.
17
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu, dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan. Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. IV ; Jakarta : Bumi Aksara, 1996. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Medernisasi Menuju Milennium Baru. Cet. I ; Jakarta : Logos Arcana Ilmu, 1999. al-Bukhari, Abdullah Muhammad Bin Ismail Ibrahim. Shahih Bukhari, Juz. IV, V; Bairut : Dar Al-Qalam, 1997. al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan. Tajribah al-Tarbiyyah al-Islāmiyah fi Miyān al’ ‘Amal, Damaskus: al-Maktabah al-Ummawiyah, 1961. Dardjat, Zakiah, et al., eds. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. III ; Jakarta : Bumi Aksara, 1996. ______. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Cet. II; Jakarta: Ruhama, 1995. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : CV. Toha Putra, 1989. Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Cet. II; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Faisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Getteng, A. Rahman. Pendidikan Islam Dalam Pembangunan: Moral, Remaja, Wanita, Pembangunan. Ujung pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1997. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Cet. II; Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Ihsan, Fuad. Dasar-Dasar Kependidikan. Cet. II; Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Langgulung, Hasan. Asas-Asas Pendidikan Islam, Cet. I ; Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 2000. Muslim bin Ḥajjaj, Abu Ḥusain. Ṣaḥiḥ Muslim, Juz. IV, Indonesia: Maktabah Dahlān, t. th. al-Nahlawi, Abdurrahman. Uṣūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Asālibuha, diterjemahkan oleh: Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara , 1999.
18
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Ulwān, Abdullah Nashih. Tarbiyah al-Aulād fi al-Islām, Jilid I. Cet. XXXII; Kairo: Dār al-Salām, 2999. Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: CV. Eko Jaya, 2003. Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional, Cet. XIII; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001. Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Cet. VIII; Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
19