BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep Pondok Pesantren 1. Pengertian Pesantren Pesantren sebagai komunitas dan sebagai lembaga pendidikan yang besar dan luas penyebarannya di Seluruh pelosok Tanah air telah banyak memberikan nilai positif dalam pembentukan manusia Indonesia yang religius. Lembaga tersebut telah banyak melahirkan pimpinan bangsa dimasa lalu, kini, dan masa yang akan datang. Lulusan pesantren tak pelak lagi banyak yang mengambil keaktifan dalam partisipasi pembangunan. Pesantren berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain yang bukan pesantren, serta produknya pun berbeda dan khusus. Ciri khusus dari kehidupan pesantren adalah kesederhanaan dengan tujuan membentuk manusia yang baik. Menurut H. A Timur Djaelani (1983: 50) pesantren adalah lingkungan masyarakat dimana para santri menuntut ilmu dan bermukim. Perkataan Pesantren berasal dari kata santri, yang dan berawalan pe dan akhiran an yang dapat diartikan tempat tinggal para santri. Menurut Mastuhu (1994 : 55) “Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari dan memahami dan mengamalkan ajaran Islam sebagai pedoman perilaku”. Dengan demikian, pesantren selain sebagai lembaga penyebar agama Islam juga berperan ganda sebagai sebuah lembaga sosial kemasyarakatan yang bertujuan untuk membentuk lapisan masyarakat yang berakhlak mulia, beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT. Dalam hal ini peran pesantren sangatlah besar guna memberikan perubahan pada akhlak manusia. 2. Sejarah Pesantren Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam di Indonesia yang bersifat tradisional untuk belajar ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian atau disebut Taffaquh Fiddin, dengan menekankan pentingnya modal hidup dalam bermasyarakat. Menurut Mastuhu (1994 : 19) kapan pesantren yang pertama didirikan, dimana dan oleh siapa, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985 diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 atas nama pesantren Jan Tapes II di Pamekasan Madura. Tetapi hal ini diragukan karena tentunya ada Pesantren Jan Tapes I yang lebih tua, dan dalam buku Departemen agama banyak Pesantren di Indonesia tanpa identitas tahun pendirian. Kecuali itu tentunya pesantren didirikan setelah ada Islam masuk ke Indonesia. Bukti sejarah telah menunjukkan bahwa penyebaran dan pendalaman agama Islam secara intensif terjadi pada masa abad ke-13M sampai akhir abad ke 17 M. Pada masa itu berdiri pusat kekuasaan dan studi Islam , seperti di Aceh, Demak, Giri, Ternate dan Makasar. Melalui data tentang masuknya Islam ke Indonesia yang bersifat global dan makro tersebut sangat sulit menunjuk dengan tepat kapan pesantren pertama didirikan. Dari pusat inilah Islam tersebar keseluruh pelosok nusantara, melalui perdagangan wali, ulamaaa, mubalig dan sebagainya, dengan mendirikan pesantren Dayah dan Surau. Sejak abad ke 15,
Islam praktis telah mengantikan dominasi ajaran Hindu, dan sejak abad ke 16 melaui kerajaan Islam yang pertama, yaitu demak, Seluruh Jawa telah dapat di Islamkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di Indonesia ini pada abad ke 15 M-16 M. Melalui data sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, dapat dihitung sedikitnya pesantren telah ada sejak 300-400 yang lalu. Dengan usianya kini sudah cukup beralasa untuk menyatakan bahwa pesantren telah menjadi ciri khas bangsa dalam bidang pendidikan dan telah ikut serta mencerdaskan bangsa. Dalam masa sekitar abad ke 18-an, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat terasa sangat berbobot terutama dalam penyiaran agama Islam. Kelahiran pesantren baru selalu diawali dengan cerita “perang nilai” antara pesantren dengan masyarakat yang ada disekitarnya, dan akan diakhiri dengan kemenangan pesantren, sehingga pesantren dapat diterima untuk hidup dimasyarakat dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selama zaman kolonoial, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang paling banyak berhubungan dengan rakyat, dan tidak berlebihan apabila pesantren dinyatakan sebagai lembaga pendidikan Grass root people yang sangat menyatu dengan mereka selama zaman kolonial, pesantren lepas dari perencanaan pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Pada zaman revolusi, pesantren merupakan salah satu pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk
merebut kemerdekaan. Banyak santri membentuk barisan Hisbullah yang kemudian menjadi salah satu embrio bagi para Tentara Nasional Indonesia. Uraian tersebut diatas menggambarkan bukti bahwa pesantren mampu mengemban tantangan zaman, sehingga bobot pesantren menjadi tinggi dimata masyarakat. Pengaruh dominan pesantren mulai menurun drastis setelah Penyerahan kedaulatan pada tahun 1949. Setelah Penyerahan kedaulatan tersebut, pemerintah Indonesia mengembangkan sekolah umum seluas-luasnya, dan disamping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern terbuka luas bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum itu. Namun demikian, tidak semua pesantren mengalami perubahan yang sama. Kini telah berkembang macam-macam tipe pendidikan pesantren yang masing-masing mengikuti kecenderungan yang berbeda-beda. Secara garis besar lembaga pesantren pada dewasa ini dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu : a. Pesantren Salafi yang tetap mempertahankan pengajaran kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di Pesantren. Sistem madrasah ditetapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengajarkan pengetahuan umum. Masih cukup besar jumlah pesantren yang mengikuti pola ini, Diantaranya Pesantren Maslakul Huda di Pati, Pesantren Ploso di Kediri, dan Pesantren Tremas di Pacitan. b. Pesantren Khalafi yang telah memasukan pelajaran yang sifatnya umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe –tipe sekolah
umum dalam lingkungan pesantren. Pondok pesantren modern Gontor selain mengajarkan ajaran Islam murni juga mengajarkan pengetahuan umum. 3. Unsur-Unsur Pesantren Menurut Zamaksyari Dhofier (1985 : 45) suatu lembaga pendidikan dapat dikatakan sebagai pesantren apabila mempunyai tiga unsur yaitu, Kyai, Samtri dan Sarana fisik. a. Kiyai Tampak semakin membudaya bahwa seorang kyai itu mesti ahli agama Islam, ia mesti alim serta lillahi ta’ala. Pengertian ini timbul akibat dari kesimpulan tradisional. Gelar kyai dapat dibedakan menjadi 3 dimensi sebagai berikut: 1). Kyai ulamaaa, adalah seseorang yang ilmunya luas dan bertaqwa kepada Allah dengan ilmu yang dimilikinya tersebut. 2). Kyai sebutan, yaitu gelar kyai diberikan kepada orang yang mempunyai kelebihan (bukan kemuliaan bidang di sisi Allah) 3). Kyai aku-akuan, adalah kyai yang sebetulnya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Menurut DR. M Rhochlah Mansoer (Ta’limul Muta,allim 1978 : 5) gelar kyai adalah bukan gelar yang religius semata ( religius semacam Nabi, Rasul, Ulamaaa dan sebagainya) gelar itu hanya ada di Indonesia dan itupun hanya berlaku di pulau Jawa. b. Pondok Ciri khas sistem pendidikan di pondok pesantren dengan sistem pendidikan lainnya adalah adanya pondokan atau asrama bagi para santrinya untuk tinggal
bersama dan belajar di bawah bimbingan kiyai. Keberadaan pondokan adalah untuk memudahkan proses belajar mengajar dan memudahkan pembinaan serta kontrol terhadap santri secara berkesinambungan. c. Masjid Masjid merupakan salah satu elemen pesantren yang memegang peran penting. Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah sholat saja, tetapi sebagai pusat kegiatan dan tempat berlangsungnya proses belajar mengajar bagi santri. Zamakhsyari Dzofier (1985: 49) mengatakan bahwa di mana kaum muslimin berada, mereka selalu mempergunakan masjid sebagai tempat pertemuan dan pusat pendidikan. d. Santri Santri menurut Zamakhsyari Dzofier (1985: 52) dikelompokan kedalam dua kelompok; 1. Santri muqim, yaitu peserta didik yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren, 2. Santri kalong, yaitu peserta didik yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan tidak menetap dalam pesantren. Cara belajar santri kalong dilakukan pulang pergi dari pesantren ke kampungnya. Ciri yang menentukan pesantren itu besar atau kecil, bisa dilihat dari jumlah santri mukim dan santri kalong. Jika santri mukim lebih banyak dari santri kalong dalam suatu pesantren, maka pesantren tersebut pesantren besar.
e. Pengajian kitab kuning Kitab kuning adalah kitab-kitab keagaman berbahasa Arab. Produk pemikiran ulamaaa masa lalu yang ditulis ulamaaa pengikut madzhab Syafi'i. Masdar F. Mashudi (1988: 1) rnengartikan kitab kuning sebagai kitab yang ditulis oleh ulamaaa-ulamaaa Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulamaaa-ulamaaa dahulu. Pengajaran kitab kuning di pondok pesantren mengunakan metode sorogan dan bandongan. 4. Pola Pembinaan di Pesantren Pola pembinaan di Pesantren dibagi kedalam dua bagian, bagian yang pertama adalah dengan menggunakan metode-metode tradisional (sorogan dan bandongan), sedangkan bagian yang kedua adalah dengan mengunakan metodemetode kombinatif. a. Metode tradisional Dalam hal ini metode tradisional merupakan metode pembelajaran yang dilakukan oleh pesantren tradisional yang terbagi kedalam dua bagian sebagai berikut : (1) Sorogan Metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau terkadang di rumah-rumah. Penyampaian pelajaran kepada santri secara bergilir ini biasanya dipraktekkan pada santri yang jumlahnya sedikit
Di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Al-Qur’an. Melalui sorogan, perkembangan intelektual santri dapat ditangkap kiyai secara utuh. Dia dapat memberikan bimbingan penuh
kejiwaan sehingga dapat
memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu atas dasar observasi langsung terhadap tingkat kemampuan dasar dan kapasitas mereka. (2) Bandongan Metode wetonan. atau disebut bandongan adalah metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Zamakhsyari Dhofier menerangkan bahwa metode wetonan (bandongan) ialah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya. Mereka mernperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Penerapan metode tersebut mengakibatkan santri bersikap pasif. Sebab kreativitas dalam proses belajar-mengajar didominasi ustadz atau kiai, sementara santri hanya mendengarkan dan memperhatikan keterangannya. Dengan kata lain, santri tidak dilatih mengekspresikan daya kritisnya guna mencermati kebenaran suatu pendapat. Wetonan dalam prakteknya selalu berorientasi pada pemompaan materi tanpa melalu kontrol tujuan yang tegas. Dalam metode ini, santri bebas mengikuti pelajaran karena tidak diabsen. Kiai sendiri mungkin tidak mengetahui santri-santri yang tidak mengikuti pelajaran terutama jika jumlah mereka puluhan atau bahkan ratusan orang. Ada peluang
bagi santri untuk tidak mengikuti pelajaran. Sedangkan santri vang mengikuti pelajaran melalui metode wetonan ini adalah mereka yang berada pada tingkat menngahapal. b. Metode kombinatif Mengenai metode pesantren pada mulanya menggunakan metode-metode tradisional yaitu metode sorogan, wetonan, muhawarah, nadzakaiih, dan metode majelis ta'lim. Metode wetonan atau terkadang disebut metode bandongan ini adalah hasil adaptasi dengan metode pengajaran agama di Timur Tengah terutama Mekah dan al-Azhar Mesir. Kemudian pesantren perlu mengambil alih metodik pendidikan nasional. Para kiai pesantren yang tergabung dalam Rabithat al-Ma'ahid dalam muktamar ke-I pada 1959 memutuskan metode: tanya jawab, diskusi, imla, muthala'ah/recital, proyek, dialog, karyawisata, hafalan/ verbalism, sosiodrarna, widyawisata, problem solving, pernberian situasi, pembiasaan/habituasi, dramatisasi/percontohan tingkah laku, reinforcement, stimulus-respon, dan sistem modul (meskipun agak sulit). Tetapi metode-metode tersebut belum diterapkan secara optimal.
B. Konsep Akhlak 1. Pengertian akhlak Akhlak secara umum terbagi dua, yaitu pengertian secara lughat (bahasa) dan pengertian secara istilah. Pengertian akhlak secara lughat, Bakri Rahman dan Bidawai Zubir (1984) ; 1) mengemukakan sebagai berikut : “akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu khulukun yang artinya budi pekerti, perangan dan tingkah laku
atau tabi’at”. Jadi secara etimologi akhlak berarti perangai, adat, atau tabiat serta pola perilaku yang diatur dan ditentukan oleh suatu masyarakat. Akhlak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 : 15) adalah “budi pekerti” , dalam kamus yang sama budi pekerti adalah “tingkah laku, perangai, akhlak”. Budi pekerti mengandung perilaku yang baik, bijaksana dan manusaiwi. Perkataan budi pekerti jika dihubungkan dengan perangai, maka mengandung arti yang lebih dalam karena mengenai sifat dan watak yang dimiliki seseorang. Perangai sekali saja, tidak dikatakan akhlak. Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir atau ditimbang berulang-ulang, karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. Jika perbuatan dilakukan setelah dipikirkan terlebih dahulu dan karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah penceminan akhlak (Ensiklopedi Islam jilid 1, 1993: 102). Sedangkan akhlak menurut istilah terdapat macam-macam pendapat seperti dibawah ini : Pengertian akhlak menurut Imam Al Ghazali dalam buku Ihya Ulimudin mengatakan sebgai berikut: akhlak ialah sesuatu sifat yang bertahan dalam jiwa yang daripadanya akan timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbanagn
akan
timbul
perbuatan
yang
mudah
tanpa
memerlukan
pertimbangan pikirang terlebih dahulu” (Bakri dan Badawi Z 1984 : 2). Ahmad Amin mengemukakan pengertian Akhlak ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagaian manusia kepada yang lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat. (Bakri A Rahman dan Bidawai Zubir 1984: 2) Ahmad Amin memberikan pengertian akhlak ini lebih menitik beratkan pada baik dan buruk, dan juga bahwa akhlak itu menerangkan kepada manusia kepada yang lainnya dan melarang apa-apa yang tidak patut dilakukan. Aristoteles mengemukakan pengertian tentang Akhlak ialah suatu perbuatan yang dari padanya akan timbul perbuatan-perbuatan yang baik secara terus menerus, sebagaimana pohon dikenal dengan buahnya , demikian juga akhlak yang baik secara terus dan berlanjut” (Ahmad Amin 1977 : 75). Seperti diketahui, akhlak itu terbagi 2 (dua) macam yaitu akhlakul mahmudah dan akhlakul madzmumah , yang pertama budi pekerti terpuji dan kedua budi pekerti tercela, yaitu : Berikut ini merupakan budi pekerti yang terpuji : a. Al Amanah yaitu terpercaya b. Al Afwu yaitu pemaaf c. Aniesatun yaitu tekun sambil menundukkan diri d. Al Haya yaitu malu kalau diri tercela e. Al Ikhau yaitu rasa persaudaraan f. Ar Rahmah yaitu belas kasih dan lemah lembut g. Ash Shalihat yaitu beramal soleh h. Ash Shabru yaitu bersabar i. At Ta’un yaitu tolong menolong.
Sedangkan yang termasuk budi pekerti tercela, yaitu : a. An Naniah yaitu egois b. Al Bukhlu yaitu kikir c. Al Buthan yaitu berdusta d. Al Khianat yaitu berkhianat e. Al Junub yaitu dosa besar f. Al Fawashy yaitu dosa besar g. Al Ghibah yaitu menggunjing atau mengumpat h. Al Hasad yaitu dengki i. Al Ifsad yaitu berbuat kerusakan j. Al Israf yaitu belebih-lebihan Dengan demikian dari beberapa pengertian serta pendapat, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian akhlak adalah sebagai berikut : a. Akhlak adalah suatau ilmu yang memberikan batasan diantara yang baik dan buruk, antara yang terpuji yang tercela baik perkataan maupun perbuatan manusia untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan lahir dan batin. b. Akhlak ialah ilmu pengetahuan yang memberikan arti tentang baik dan buruk serta mengatur pergaulan umat manusia guna mencapai tujuan hidup yang diinginkan sesuai dengan pranata yang bersumber pada AlQuran dan Sunah Rasul
2. Akhlak Dalam Ajaran Islam Akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik, sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Di sinilah letak peran dan fungsi lembaga pendidikan. Dengan demikian pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk individu, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguhsungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adatah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat. Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah-satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dalam salahsatu hadisnya beliau menegaskan (HR- Ahmad) (Hanya saja aku diutus untuk menyempumaki akhlak yang mulia). Perhatian Islam yang demikian terhadap pembinaan akhlak ini dapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatanperbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah melakukan
Pembentukan Akhlak Perhatian Islam dalam pembinaan akhlak selanjutnya dapat dianalisis pada muatan akhlak yang terdapat pada seluruh aspek ajaran Islam. Ajaran Islam tentang keimanan misalnya sangat berkaitan erat dengan mengerjakan serangkaian amal salih dan perbuatan terpuji. Iman yang tidak disertai dengan amal salih dinilai sebagai iman yang palsu, bahkan dianggap sebagai kemunafikan. Dalam Al-Qur’an kita misalnya membaca ayat yang berbunyi: Dan di antara manusia (orang munafik) itu ada orang 'yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir, sedang yang sebenarnya mereka bukan orang beriman." (QS- al-Baqarah, 2:8-9). Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian itu mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan dirinya di jalan Allah.itulah orangorang yang benar (imannya). (QS. al-Hujurat, 49:15). Ayat-ayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa iman yang dikehendaki Islam bukan iman yang hanya sampai pada ucapan dan keyakinan, tetapi iman yang disertai dengan perbuatan dan akhlak yang mulia, seperti tidak ragu-ragu menerima ajaran yang dibawa Rasul, mau memanfaatkan harta dan dirinya. untuk berjuang di jalan Allah dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa keimanan harus membuahkan akhlak, dan juga memperlihatkan bahwa Islam sangat mendambakan terwujudnya akhlak yang mulia. Pembinaan akhlak dalam Islam juga terintegrasi dengan pelaksanaan rukun iman. Hasil analisis Muhammad al-Ghazali terhadap rukun Islam yang lima telah menunjukkan dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima itu terkandung konsep pembinaan akhlak. Rukun Islam yang pertama adalah mengucapkan dua kalimah syahadat, yaitu “bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya manusia hanya tunduk kepada aturan dan tuntutan Allah. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan Allah dan Rasul'Nya sudah dapat dipastikan akan menjadi orang yang baik. Selanjutnya rukun Islam yang kedua adalah mengerjakan shalat lima waktu. Shalat yang dikerjakan akan membawa pelakunya terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar. (QS. al-Ankabut, 29: 45). Dalam hadis Qudsi dijelaskan pula sebagai berikut: Senyumanmu (bermuka manis) untuk saudaramu adalah shadaqah, dan amal ma'ruf serta nahi munkar juga shadaqah, dan memberikan petunjuk kepada laki-laki (atau kepada siapa saja) yang ada di bumi yang sedang sesat, bagimu shadaqah. Dan (apabila engkau suka) menyingkirkan batu, duri atau tulang-tulang yang mengganggu jalan bagimu juga merupakan shadaqah.(HR.Bukhari). Begitu Juga Islam mengajarkan ibadah puasa sebagai rukun Islam yang keempat, bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum dalam waktu yang terbatas, tecapai lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang. Dalam hubungan ini Nabi mengingatkan: Siapa yang tidak suka meninggalkan kata-kata dusta, dan perbuatan yang palsu, maka Allah tidak membutuhkan daripadanya, puasa meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Bukhari). Bukanlah puasa itu hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tetapi bahwasyahnya puasa itu menahan diri dari perkataan-perkataan kotor dan omongan-omongan yang keji. Kalau ada seorang datang kepadamu memarahi dan mengatakan engkau bodoh (dan sebagainya), katakanlah "aku sedang berpuasa". (HR.Ibnu Khuzaimah).
Berdasarkan anaisis yang didukung dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadis tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa Islam sangat memberi perhatian yang besar terhadap pembinaan akhlak, termasuk cara-caranya. Hubungan antara rukun Iman dan rukun Islam terhadap pembinaan akhlak sebagaimana digambarkan di atas, menunjukkan bahwa pembinaan akhlak yang ditempuh Islam adalah menggunakan cara atau sistem yang integrated, yaitu sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara simultan untuk diarahkan pada pembinaan akhlak. Cara lain yang dapat ditempuh untuk pembinaan akhlak ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara kontinyu. Berkenaan dengan ini Imam al'Ghazali mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang jahat. Untuk ini al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia. Jika seseorang menghendaki agar ia menjadi pemurah, maka ia harus dihiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersirat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabi'atnya yang mendarah daging. Dalam tahap-tahap tertentu, pembinaan akhlak, khususnya akhlak lahiriah dapat pula dilakukan dengan cara paksaan yang lama-kelamaan tidak lagi terasa dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan kata-kata yang bagus misalnya, pada mulanya ia harus memaksakan tangan dan mulutnya menuliskan
atau mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus. Apabila pembinaan ini sudah berlangsung lama, maka paksaan tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai paksaan. Cara lain yang tidak kalah ampuhnya dari cara-cara di atas dalam hal pembinaan akhlak ini adalah melalui keteladanan. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, instruksi dan larangan, sebab tabi'at jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu. Menanamkan sopan-santun memerlukan pendidikan. yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberian contoh teladan yang baik dan nyata. Cara yang demikian itu telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Keadaan ini dinyatakan dalam ayat yang berbunyi: Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat contoh-teladan yang baik bagi kamu sekalian, yaitu bagi orang yang mengharapkan (keridhaan) Allah dan (berjumpa dengan'Nya di) hari Kiamat, dan selalu banyak menyebutnama Allah. (QS. aL-Ahzab, 33:21). Selain itu pembinaan akhlak dapat pula ditempuh dengan cara senantiasa menganggap diri ini sebagai yang banyak kekurangannya daripada kelebihannya. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama, hendaknya ia lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya itu tidak terwujud dalam kenyataan. Namun ini bukan berarti bahwa ia menceritakan dirinya sebagai orang yang paling bodoh, paling miskin dan sebagainya di hadapan orang-orang, dengan tujuan justru merendahkan orang lain. Hal yang demikian dianggap tercela dalam Islam.
Pembinaan
akhlak
secara
efektif
dapat
pula
dilakukan
dengan
memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Menurut hasil penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya lebih menyukai kepada hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam bentuk permainan. Hal ini pernah dilakukan oleh para ulamaaa di masa lalu. Mereka menyajikan ajaran akhlak lewat shalawat yang berisi sifat-sifat Allah dan rasul, anjuran beribadah dan berakhlak mulia dan lain-lainnya. Syair tersebut dibaca ketika saat menjelang dilangsungkannya pengajian, ketika akan melaksanakan shalat lima waktu, dan acara-acara peringatan hari-hari besar Islam. 3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya, ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama aliran Nativisme. Kedua, aliran Empirisme, dan keriga aliran konvergensi. Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang baik, maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik. Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, dan hal ini kelihatannya erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal Penentuan baik dan buruk
sebagaimana telah diuraikan di atas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang memperhitungkan peranan pembinaan dan pendidikan. Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan dan pembinaan yang.diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu. Demikian jika sebaliknya. Aliran ini tampak lebih begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran. Dalam pada itu aliran konvergensi berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fithrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada di dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode. Aliran yang ketiga, yakni aliran konvergensi itu tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dapat dipahami dari ayat berikut “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, pengilhatan dan hati, agar kamu. bersyukur. (QS. al-Nahl, 16:78)”. Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa manusia memiliki potensi untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran dan hati sanubari. Potensi. tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan. ajaran dan pendidikan. Kesesuaian teori konvergensi tersebut di atas, juga sejalan dengan hadis Nabi yang berbunyi; “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (membawa) fitrah (rasa ketuhanan dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kedua orang
tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Bukhari)”. Ayat dan hadis tersebut di atas selain menggambarkan adanya teori konvergensi juga menunjukkan dengan jelas bahwa pelaksana utama dalam pendidikan adalah kedua orang tua itulah sebabnya orang tua, khususnya ibu mendapat gelar sebagai madrasah, yakni tempat berlangsungnya kegiatan. 4. Manfaat Akhlak Mulia Uraian tersebut di atas telah menggambarkan bahwa Islam menginginkan suatu masyarakat yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia ini demikian ditekankan karena disamping akan membawa kebahagiaan bagi individu, juga sekaligus membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain bahwa akhlak utama yang ditampilkan seseorang, manfaatnya adalah untuk orang yang bersangkutan. Al-Qur’an dan Al-Hadis banyak sekali memberi informasi tentang manfaat akhlak yang mulia itu. Allah beefirman; Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesugguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS- al-Nahl, 16:97). Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami. (QS. al-Kahfi.l8:88). Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi. rezeki di dalamnya tanpa hisab. (QS. al-Mu'min, 40: 40).
Ayat-ayat tersebut di atas dengan jelas menggambarkan keuntungan atau manfaat dari akhlak yang mulia, yang dalam hal ini beriman dan beramal saleh. Mereka itu akan memperoleh kehidupan yang baik, mendapatkan rezeki yang berlimpah ruah, mendapatkan pahala yang berlipat ganda di akhirat dengan masuknya ke dalam surga. Hal ini menggambarkan bahwa manfaat dari akhlak mulia itu adalah keberuntungan hidup di dunia dan akhirat. Menurut M.Quraish Shihab, janji-janji Allah yang demikian itu pasti akan terjadi, karena ia merupakan sunnatullah sama kedudukannya dengan sunnatullah yang bersifat alamiah, misalkan hal tersebut ditempuh dengan cara-cara yang tepat dan benar. Dalam hukum alam jika air dipanaskan mencapai 100 derajat Celsius, akan mendidih, maka dalam hukum yang bersifat sosial dan keimanan seperti tersebut di atas pun akan terjadi pula, yaitu bahwa orang yang beriman dan beramal saleh (berakhlak mulia) akan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat itu pasti terjadi. Dan Jika orang masih meragukan ketetapan ini, menunjukkan bahwa imannya masih perlu diperkuat.
C. Wanita Dalam Perpekstif Islam Allah Swt telah memproklamirkan wanita sebagai makhluk yang sempurna, memiliki kecakapan untuk menerima hak-haknya dengan sempurna. Al-Qur’an mengajarkan bahwa wanita merupakan unsur yang aktif dalam membangun masyarakat, keutuhan dan kesejahteraannya (Mustofa al-Sibai, 1977: 38).
1. Fungsi dan Peran Wanita Fungsi dan peran wanita dalam Islam menurut Jumadi ismanto (1982:4045) sebagai berikur: a. Wanita sebagai Mahluk Pribadi Peranan wanita dapat dirasakan bila mereka mampu menunjukan identitas dirinya. Kewajiban setiap individu wanita adalah membina diri. Wanita sebagai individu yang bertanggung jawab akan melahirkan kualitas wanita yang bertaqwa kepada Allah Swt. Wanita sebagai individu berhak berbuat dengan akibat dari manfaat yang diperolehnya sebagaimana firman Allah Swt yang mengandung arti sebagai berikut : Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal soleh, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan mereka orang beriman, maka mereka akan masuk ke surga dan mereka tidak akan dianiaya walaupun sedikit (QS. An-Nisa: 1.24) Allah Swt. Juga berfirman dalam Surat an-Nur ayat 24 yang berbunyi: Artinya: Perempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah keduanya masing-masing seratus kali. Janganlah sayang kepada keduanya menjadikan halangan dalam menjalankan hukum Allah, kalau kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya hukuman itu disaksikan oleh sekumpulan orang yang beriman. Kedua ayat di atas memberikan penjelasan bahwa kegiatan kebaikan yang dilakukan laki-laki maupun perempuan akan mendapat imbalan yang sama. Penyebutan secara berulang-ulang antara laki-laki dan perempuan merupakan bukti otentik kesamaan kedudukan yang setaraf antara keduanya. Berharga atau rendahnya kaum wanita akibat salah arah dan langkah mereka masing-masing. Wanita sebagai manusia akan mengalami perubahan emosi, masa-masa puber, saat penuh dinamika dan romantika, serta celah-celah
yang rawan. Kaum wanita pada umumnya salah arah disebabkan kurangnya informasi dan pembinaan. b. Wanita sebagai Pendamping Suami Wanita sebagai individu yang membutuhkan pembinaan pada pribadinya, mereka juga mempunyai kodrat sebagai istri. Hak dan kewajiban wanita sebagai istri menurut pasal 31 Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa: " Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat”. c. Wanita sebagai Ibu Fungsi dan peran wanita sebagai ibu tidaklah ringan, Allah SWT telah menentukan kodrat wanita untuk melahirkan. Wanita sebagai ibu adalah pendidik paling primer bagi manusia. Kaum wanita tidak hanya sekedar berbibit (hamil) tetapi mereka harus berbobot (berkualitas), berhasil tidaknya generasi yang ideal berada di tangan kaum wanita. Nabi Muhammad Saw. Memberi penghargaan terhadap kaum ibu sesuai dengan sabdanya: Artinya: Surga berada di bawah telapak kaki ibu Prinsip-prinsip Islam tersebut di atas menggambarkan bahwa kaum wanita memiliki hak yang sama dengan pria kecuali yang ada kaitanya dengan bentuk jasmani dan jenis kelamin. 2. Hak dan Kewajiban Wanita Hak-hak yang diberikan Islam kepada wanita menurut Lembaga Darut Tauhid (1995: 24-27) adalah:
a. Hak Belajar Selain sebagai hak, belajar dalam Islam merupakan kewajiban wanita dan pria, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Saw. : "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimat". b. Hak Bekerja Islam memberikan hak bekerja bagi kaum wanita sebagaimana kaum pria. Tidak ada satu
pekerjaan yang dihalalkan agama, diharamkan
atas wanita
dan hanya diperbolehkan bagi kaum pria saja. Islam tidak membedakan dalam pembuatan syari'ah (tasyri') antara pria dan wanita. Berkaitan dengan hak bekerja, wanita bersuami tidak boleh bekerja tanpa persetujuan suami, sebab aturan-aturan keluarga dan hak-hak perkawinan menghendaki wanita agar memelihara kehidupan rumah tangga dan mementingkan kehidupan suamiistri. c. Hak Kenegaraan Islam telah memberikan hak perundang-undangan kepada wanita sama seperti memberikannya kepada pria. Kaum wanita boleh menguasai hak milik, jual beli, hibah, mengadakan perjanjian dan lain sebagainya. Wanita juga dapat menikmati hakikat kewanitaanya sesuai undang-undang dan memikul tanggung jawab sendiri. Akan tetapi wanita juga mempunyai kewajiban atas undang-undang yang berlaku. Demikianlah Islam memberikan hak dan kewajiban kepada wanita secara utuh dan memperlakukannya sebagaimana Islam memperlakukan kaum pria dalam aspek-aspek tersebut di atas.
D. Tinjauan Mengenai Wanita Tuna Susila 1. Pengertian Wanita Tuna Susila Membicarakan wanita tuna susila tidak dapat dilepaskan dari istilah prostitusi atau pelacuran. Prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu dari kata prostituere atau pro-staure yang berarti membiasakan
diri
berbuat zinah ,
melakukan persundelan, pencabulan, pergundikan. Sedangkan prostitusi adalah pelacur, atau dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila. Pengertian tuna susila di sini diartikan sebagai kurang beradab karena keroyalan relasi seksual dalam bentuk penyeralian diri kepada laki-laki untuk pemuasan seksualnya. Tuna susila dapat juga diartikan sebagai tidak susila atau gagal menyesuaikan diri terhadap norma-norma susila (Kartini Kartono, 1982: 119). Pengertian prostitusi menurut W.A.Bonger adalah "gejala kemasyarakatan, dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan seksual sebaqai mata pencaharian" (B. Simanjuntak,19881: 280), pelacuran diartikan sebagai "upaya penyerahan diri seorang wanita pada laki-laki yang secara bergantian tanpa pilih bulu dan penyerahan din. tersebut ditukar dengan sejumlah uang atau barang" (Soejono,3977: 16) atau "gejala kemasyarakatan dengan wanita menjual diri dan melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian, serta penyerahan din. tersebut dengan pembayaran". (Tjahyo Purnomo,1985: 10). Dalam Peraturan Pemerintah Jawa Barat, pelacuran adalah mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin di luar pernikahan yang sah"(Kartini Kartono, 1982: 206).
Berdasarkan definisi di atas, maka yang disebut wanita tuna susila adalah wanita yang mata pencahariannya menjual diri demi kepentingan yang ada pada dirinya. 2. Ciri-Ciri Wanita Tuna Susila Ciri-ciri wanita susila menurut Kartini Kartono dalam buku Patologi Sosial (1982: 161) adalah : a. Ayu, rupawan, manis, atraktif, baik wajah atau tubuh yang dapat merangsang selera seks kaum pria. b. Masih muda-muda karena 75 % dari jumlah pelacur di kota-kota besar berada di bawah usia 30 tahun. Yang terbanyak adalah usia 17-25 tahun. Pelacur kelas rendah dan menengah sering mempekerjakan gadis-gadis pra puber antara 12-15 tahun dan ditawarkan sebagai barang baru. c. Pakaian sangat mencorok, beraneka warna, yang aneh-aneh (eksentrik) untuk menarik perhatian kaum laki-laki. d. Menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistis, cepat, tidak hadir secara psikis (emosi dan afeksi, tidak pemah bisa orgasme, sangat proaktif dalam bersenggama dan biasanya dilakukan dengan kasar). e. Berpindah-pindah tempat atau kota, dan biasanya orang itu memakai nama samaran. f. Pelacur pofesional dari kelas rendah dan menengah, kebanyakan dari strata ekonomi sosial rendah, kurang pendidikan, tidak memiliki skill.
g. 60-80% dan jumlah pelacur memiliki intelektual yang normal. Kurang dari 5% hilang ingatan dan selebihnya berada pada garis balas yang tidak menentu derajat intelegensinya. Adapun jenis prostitusi, menurut kartini Kartono (1982 : 240) terbagi atas, (1), Prostitusi yang terdaftar (registered); pelakunya diawasi oleh bagian kontrol dari kepolisian. Pada umunya mereka dilokalisir dalam tempat tertentu dan mendapat jaminan keamanan dan kesehatan.(2) Pelacuran tidak terdaftar (unregistered), pelacuran liar, tidak terorganisir, di sembarang tempat, tidak ada jaminan keamanan dan kesehatan. 3. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Wanita Tuna Susila Faktor penyebab praktek
pelacuran secara umum menurut Singgih D.
Gunarso (1982: 123) dikarenakan adanya perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, sehingga mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik eksternal, disorganisasi dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya wanita tuna susila menurut Kartini Kartono (1981: 234-237), antar lain: a. Adanya tekanan ekonomi. b. Adanya nafsu seks yang tidak terintegrasi dalam kepribadian. c. Adanya keinginan hidup mewah tapi malas bekerja. d. Kompensasi atas perasaan-perasan inferior e. Rasa ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks.
f. Sebagai upaya pemberontakan terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap terlalu mengekang diri anak remaja g. Karena bujuk rayu anak laki-laki yang akhirnya dijerumuskan ke dalam rumah-rumah pelacuran h. Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk ; film-film biru, gambargambar porno, bacaan cabul, dan lain sebagainya i. Adanya penundaan perkawinan j. Disorganisasi dan disintegrasi dari keluarga broken homes. k. Pekerjaan sebagai pelacur tidak memerlukan keterampilan atau skill, tidak memerlukan itelegensia tinggi, mudah dikerjakan asal orang mengerjakan memiliki kecantikan, kemudahan dan keberanian l. Oleh pengalaman tarumatik dan shock mental, misalnya gagal dalam bercinta atau gagal perkawinan m. Ajakan teman-teman yang sudah dulu terjun terlebih dahulu dalam dunia prostitusi n. Adanya kebutuhan seksual yang normal, akan tetapi tidak terpuaskan oleh suami Dalam kehidupan sosial, setiap individu wajib beriman dan menyesuaikan diri dengan norma-norma yang hidup dalam kelompoknya. Individu yang tidak dapat menaati dan menyesuaikan dengan norma kelompok, maka tingkah laku individu tersebut dapat dikatakan dengan tingkah laku yang menyimpang (deviasi) atau abnormal.
Tingkah laku menyimpang atau abnormal menurut Kartini Kartono (1982: 13-14) adalah tingkah laku yang tidak adekwat (serasi atau tepat), tidak bisa diterima masyarakat pada umumnya, dan tidak sesuai dengan norma sosial yang ada. Tingkah laku yang abnormal itu pada umunya jauh dari status intergrasi, baik secara internal dalam batin sendiri, maupun secara eksternal dengan lingkungan sosialnya, Pada umunya mereka itu terpisahkan hidupnya dari masyarakat, sering didera oleh konflik batin, dan tidak jarang dihinggapi penyakit mental. Ciri-ciri tingkah laku menyimpang, dilihat dari sifatnya dapat dibedakan dalam deviasi tunggal dan deviasi jamak. Deviasi tunggal misalnya hanya menjadi wanita tuna susila saja, sedangkan deviasi jamak, misalnya seorang wanita tuna susila sekaligus kriminal. Ada juga kombinasi dari beberapa tingkah laku menyimpang, misalnya seorang wanita tuna susila sekaligus juga alkoholis, kriminal, dan juga penjudi (Kartini Kartono,1982 : 17-18).Dilihat dari lingkungan sosial-kultur, tingkah laku menyimpang atau deviasi dapat dibedakan dalam bagian berikut : a. Deviasi Individual Deviasi jenis ini merupakan gejala personal, pribadi atau individual, yang ditimbulkan dari individu itu sendiri berupa anomali-anomali (penyimpangan dari hukum, kelainan), dan kelainan psikis tertentu. b. Deviasi Situasional Deviasi jenis ini disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional atau sosial di luar individu atau oleh pengaruh situasi dimana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari
padanya. Situasi tersebut memberikan pengaruh yang memaksa sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar aturan , norma, dan hukum yang berlaku. c. Deviasi Sistematik Deviasi jenis ini pada hakekatnya merupakan satu subkultur atau satu sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status formal, peranan, nilai-nilai, rasa kebanggan, norma dan moral tertentu yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Semua perbuatan yang menyimpang dari norma umum kemudian dirasionalisir atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang meyimpang, sehingga deviasi itu berubah menjadi ter organisir dan sistematik. Praktek pelacuran merupakan salah satu bentuk deviasi sosial dan norma perkawinan, seperti yang dikatakan Soejono Soekanto (1990: 102) Sejak adanya norma perkawinan dalam pergaulan hidup manusia, sejak itu pula ada gejala penyimpangan dari norma perkawinan dalam masyarakat yang dikenal dengan pelacuran. Uraian di atas memberikan kejelasan bahwa wanita yang terjerumus ke dalam dunia prostitusi, maka metode tersebut merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial, artinya bahwa metode tersebut tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya dan tidak sesuai dengan norma, kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Aspek-aspek di atas perlu diperhatikan dalam membina metode (akhlak) para wanita tuna susila demi terwujudnya sosok
wanita sebagai individu manusia, sebagai dirinya sendiri yang dapat diakreditasi sebagai individu yang potensial untuk berkembang menjadi dirinya (Melly Sri Sulastri Rifa'i, 1996: 83 ). 4. Dampak Negatif Wanita Tuna Susila Kehadiran wanita tuna susila ditengah-tengah masyarakat menimbulkan dampak bisa merusak sendi-sendi norma, susila, dan agama, Dampak yang ditimbulkan dengan keberadaan WTS adalah sebagai berikut : a. Menimbulkan dan menularkan penyakit kelamin yang mematikan seperti; syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah). Syphilis adalah salah satu penyakit yang bila tidak diobati secara baik, maka dapat menimbulkan cacat fisik, dan mental baik bagi diri sendiri maupun bagi anak keturunannya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa syphilis tersebut dibagi menjadi; (1) Syphilis herediter (congenital syphilis) yang dapat menyerang bayi dalam kandung, sehingga kemungkinan terjadi abortus, bayi lahir mati, bayi setelah lahir cacat fisik, kurang intelegensi dan cacat mental. (2) Syphilis amentia yaitu syphilis yang mengakibatkan cacat mental ringan, retardasi atau lemah ingatan dan imbisitas, dan dapat juga menyebabkan epilepsi (ayan), kelumpuhan sebagian, dan kelumpuhan total, serta dapat menyebabkan idiot psikotik. b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.
c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan, khusunya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolensi. d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkoba (ganja, morfin, heroin dan lain-lain). e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan norma dan perkawinan, sehingga menyimpang dari adat, kebiasaan, norma hukum dan agama, karena diganti dengan pola pelacuran dan promiskuitas; yaitu dipenuhi dengan pola-pola pemuasan kebutuahn seks dan kenikmatan seks yang awut-awutan, murah, serta tidak bertanggungjawab. Bila pola pelacuran ini telah membudaya maka rusaklah sendi-sendi budaya keluarga yang sehat. f. Adanya eksploetasi manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita tuna susila cuma menerima upah sebagian kecil dari pendapatan yang diterimanya, karena sebagian besar harus diambil oleh germo-germo yang mempekerjakan mereka. g. Bisa
mengakibatkan
disfungsi
seksual,
misalnya
impotensi,
anorgasme, nymfomania, patiriasis, ejekulasi premature dan lain-lain. ( Kartini Kartono, 1981: 238-240 ) 5. Pandangan Islam Terhadap Wanita Tuna Susila Dalam hadist Nabi, wanita itu dimisalkan perhiasan yang sebaik-baiknya, yang nilainya sangat berharga, lebih berharga dari perhiasan dunia yang berbentuk benda, dan itulah dia wanita yang saleh. Kemudian dijelaskan pula dalam hadist
itu bahwa wanita itu adalah pemimpin dalam rumah-tangga suaminya, dan karena itu barang siapa orang yang memuliakan wanita, tandanya orang yang mulia, dan barangsiapa yang menghinakan wanita, tandanya orang itulah orang yang hinadina. Kemudian ditegaskan pula bahwa surga itu terletak di bawah telapak kaki wanita. Ini adalah kata kata kiasan yang halus yang mudah difahami. Untuk menjaga kesucian dan ketinggian martabat wanita-wanita, maka gama Islam memberikan ketentuan-ketentuan (hukum-hukum) dalam cara kehidupannya sehari-hari untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketentuanketentuan itu bukanlah mempersempit ruang gerak wanita, tapi untuk menjaga segala sesuatu yang akan menimbulkan yang tidak baik. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pandangan Islam mengenai wanita tuna susila adalah jelas-jelas mengharamkan perbuatan tersebut. Jika seorang perempuan berprofesi sebagai WTS hal tersebut mencerminkan bahwa wanita tersebut tidak bisa menjaga kehormatannya berserta kehormatan keluarganya. Oleh karenya dapat disimpulkan sebaik-baiknya wanita adalah wanita yang bisa menjaga kehormatan dirinya dan kehormatan keluarganya.