TRAUMA KAPITIS
A. PENDAHULUAN Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurology dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif. Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan; sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama. “Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45 tahun dan merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor menrupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya, 75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanent” (York, 2000). Sedangkan menurut Brunner & Suddarth (2000), trauma capitis adalah “gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina dan tidak mengganggu jaringan otak” Manajemen trauma kapitis sendiri pada dasarnya dibagi dalam : Manajemen non operatif (kasus terbanyak), ditangani keilmuan penyakit saraf. Manajemen operatif ditangani oleh keilmuan bedah saraf Manajemen trama kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran kualitas hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya yang mayoritas berusia muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk pengembangan karirnya.
1
B. DEFINISI Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997) Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara Langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi, 2003) Cedera kepala adalah cedera yang Menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan. (Lukman, 1993) Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan ( accelerasi – decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk. Dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan. C. ETIOLOGI Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki. Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain : 1. Benda Tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat. 2. Benda Tumpul, dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan kepada otak.
2
Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada : 1. Lokasi 2. Kekuatan 3. Fraktur infeksi/ kompresi 4. Rotasi 5. Delarasi dan deselarasi Mekanisme cedera kepala 1. Akselerasi, ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam. Contoh : akibat pukulan lemparan. 2. Deselerasi. Contoh : kepala membentur aspal. 3. Deformitas. Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan integritas bagan tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak. D. PATOFISIOLOGI Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala – gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebal blood flow (CBF) adalah 50–60 ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
3
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel, takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
4
E. KLASIFIKASI Klasifikasi trauma kapitis berdasarkan: 1. Patologi -
Komosio cerebri
-
Kontusio cerebri
-
Laseratio cerebri
2. Lokasi lesi - Lesi difus
5
- Lesi kerusakan vaskuler otak - Lesi fokal i.
Kontusio dan laserasi cerebri
ii.
Hematom intrakranial 1. hematom ekstradural 2. hematom subdural 3. hematom intraparenkimal -
hematom sub arachnoid
-
hematom intraserebral
-
hematom intrserbellar
3. Derajat kesadaran berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale) Kategori GCS Minimal 15 Ringan 13-15 Sedang 9-12
Gambaran klinik Pingsan (-), defisit neurologi (-) Pingsan <10 menit, defisit neurologi (-) Pingsan >10 menit s.d 6 jam, defisit
CT-Scan Otak Normal Normal Abnormal
Berat
neurologi (+) Pingsan >6 jam, defisit neurologi (+)
Abnormal
3-8
Catatan: 1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di unit gawat darurat 2. Jika abnormalitas Ct-Scan berupa perdarahan intrakranial penderita dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat.
Tipe-Tipe Trauma : 1. Trauma Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural, Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan meatus auditorius internal dan eustachius. 2. Trauma Kepala Tertutup Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala. The Traumatic Coma Data Bank mendefinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (cited in Mansjoer, dkk, 2000: 4): 6
Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)
Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif)
Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala
Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor)
Konkusi
Amnesia pasca trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)
Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
Annegers ( 1998 ) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan lama amnesia pasca trauma yang di bagi menjadi : 1. Cidera kepala ringan,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia berlangsung kurang dari 30 menit 2. Cidera kepala sedang,apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30 menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak 3. Cidera kepala berat,apabiula kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam,perdarahan subdural dan kontusio serebri.
7
Arif mansjoer, dkk (2000) mengklasifikasikan cidera kepala berdasarakan mekanisme, keparahan dan morfologi cidera. 1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter:
Trauma tumpul
: Kecepatan tinggi(tabrakan mobil). Kecepatan rendah(terjatuh,di pukul).
Trauma tembus(luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya. 2. Keparahan cidera
3.
Ringan
: Skala koma glasgow(GCS) 14-15.
Sedang
: GCS 9-13.
Berat
: GCS 3-8.
Morfologi
Fraktur tengkorak
: kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi;
terbuka/tertutup. Basis:dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII.
Lesi intrakranial
: Fokal: epidural, subdural, intraserebral. Difus: konkusi
ringan, konkusi klasik, cidera difus. Jenis-jenis cidera kepala (Suddarth, dkk, 2000, l2210-2213) 1. Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi. 2. Fraktur tengkorak. Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan oleh trauma. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak. 3. Cidera Otak. Cidera otak serius dapat tejadi dengan atau tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cidera pada kepala yang menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak. Kerusakan tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena
8
darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi. 4. Komosio. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai beberapa menit. Komosio dipertimbangkan sebagai cidera kepala minor dan dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan komosio sering ada gangguan dan kadang efek residu dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan memori dan gangguan dalam kebiasaan kerja. 5. Kontusio. Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak sadarkan dari, pasien terbaring dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah, pernafsan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari. 6. Haemoragi intrakranial. Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah akibat paling serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat sampai hematoma tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta peningkatan TIK. 7. Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak dan dura. Keadaan ini karena fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus /rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. 8. Hematoma sub dural. Hematoma sub dural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik. Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi kontusio dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi karena cidera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
9
9. Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi intraserebral adalah perdaraan ke dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil). F. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama ( Hoffman, dkk, 1996): 1. Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus 2. Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks 3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :
Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran.
Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal.
Respon pupil mungkn lenyap.
Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK.
Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
HEMATOMA EPIDURAL Perdarahan yang terjadi diantara tabula interna-duramater. Hematom massif, akibat pecahnya arteri meningea media atau sinus venosus. Tanda diagnosis klinik: 1. Lucid interval (+) 2. Kesadaran makin menurun 3. Late hemiparese kontralateral lesi
10
4. Pupil anisokor 5. Babinsky (+) kontralateral lesi 6. Fraktur di daerah temporal HEMATOMA EPIDURAL DI FOSSA POSTERIOR Gejala dan tanda klinis: 1. Lucid interval tidak jelas 2. Fraktur cranii oksipital 3. kehilangan kesadaran cepat 4. Gangguan serebellum, batang otak dan pernafasan 5. Pupil Isokor Penunjang diagnosis: CT Scan Otak : gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan dura, umumnya di daerah temporal, dan tampak bikonveks HEMATOMA SUBDURAL Perdarahan yang terjadi di antara duramater-arachnoid, akibat rusaknya ‘bridging vein’ (vena jembatan) Jenis : 1. Akut
:
interval lucid
0-5 hari
2. Subakut
:
interval lucid
5 hari-beberapa minggu
3. Kronik
:
interval lucid
> 3 bulan
Hematoma Subdural Akut Gejala dan tanda klinis: - sakit kepala - kesadaran menurun +/Penunjang Diagnostik: -
CT Scan otak : gambaran hiperdens (perdarahan) diantara duramater dan arachnoid, umumnya karena robekan dari bridging vein, dan tampak seperti bulan sabit. 11
HEMATOM INTRASEREBRAL Adalah perdarahan parenkim otak, disebabkan karena pecahnya arteri intraserebral mono atau multiple FRAKTUR BASIS CRANII 1. Anterior Gejala dan tanda klinis: -
Keluarnya cairan liquor melalui hidung/rhinorhea
-
Perdarahan bilateral periorbital ecchymosis/raccon eye
-
Anosmia
2. Media Gejala dan tanda klinis: -
Keluarnya cairan liquor melalui telinga/otorrhea
3. Posterior Gejala dan tanda klinis: -
Bilateral mastoid ekimosis/battle’s sign
Penunjang diagnostik: -
Memastikan cairan cerebrospinal secara sederhana dengan tes halo
-
Scanning otak resolusi tinggi dengan irisan 3 mm (50% +) (high resolution and thin section)
DIFFUSE AXONAL INJURY (DAI) Gejala dan tanda klinis : -
Koma lama pasca trauma kapitis (prolonged coma)
-
Disfungsi saraf otonom
-
Demam tinggi
Penunjang diagnostik : CT Scan otak -
Awal-normal, tidak ada tanda adanya perdarahan, edema, kontusio
-
Ulangan setelah 24 jam-edema otak luas
12
PERDARAHAN SUBARACHNOID Gejala dan tanda klinis : -
Kaku kuduk
-
Nyeri kepala
-
Bisa didapati gangguan kesadaran
Penunjang diagnostik : -
CT Scan otak : perdarahan (hiperdens) di ruang subarachnoid
G. PENEGAKAN DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis -
Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
-
Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
-
Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis 3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial 4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal -
Linier
-
Impresi
-
Terbuka/tertutup
5. CT Scan Otak: Untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa -
Gambaran kontusio
-
Gambaran edema otak
-
Gambaran perdarahan (hiperdens)
-
Hematoma epidural
-
Hematoma subdural
-
Perdarahan Subarachnoid
-
Hematom intraserebral
6. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
13
7. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma. 8. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang. 9. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang). 10. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak.. 11. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak. 12. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid. 13. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan TIK. 14. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK. 15. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. 16. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. H. KOMPLIKASI 1. Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal. 2. Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). 3. Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiupetik.
I. MASALAH YANG TIMBUL DARI TRAUMA KEPALA:
14
Karena adanya kompresi langsung pada batang otak → gejala pernapasan abnormal :
Chyne stokes
Hiperventilasi
Apneu
2. Sistem Kardiovaskuler
15
Trauma kepala → perubahn fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tekanan vaskuler.
Perubahan saraf otonom pada fungsi ventrikel : Disritmia, Fibrilasi, Takikardia.
Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis → terjadi penurunan kontraktilitas ventrikel → curah jantung menurun → meningkatklan thanan ventrikel kiri → edema paru.
3. Sistem Metabolisme
Trauma kepala → cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah Nitrogen.
Dalam kedaan stress fisiologis.
16
17
J. PENATALAKSANAAN MEDIS Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000). Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000). Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut : -
A = Airway (jalan nafas) Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah, gigi yang patah, muntahan, dsb. Bila perlu lakukan intubasi (waspadai kemungkinan adanya fraktur tulang leher)
18
-
B = Breathing (pernafasan) Pastikan pernapasan adekuat Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada gangguan pernafasan, cari penyebab apakah terdapat gangguan pada sentral (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan atau paru-paru). Bila perlu, berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2>92%.
-
C = Circulation (sirkulasi) Pertahankan tekanan darah sistolik > 90 mmHg. Pasang sulur intravena. Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Hindari cairan hipotonus. Bila perlu berikan vasopresor dan inotropik.
-
D = Disability (yaitu untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi) Tanda-tanda vital, GCS, pupil, pemeriksaan neorologis cepat, luka-luka, anamnesa.
Penatalaksanaan lainnya: 1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. 2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi. 3. Pemberian analgetika 4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. 5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin). 6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
19
7. Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea N. Tindakan terhadap peningktatan TIK 1. Pemantauan TIK dengan ketat. 2. Oksigenisasi adekuat. 3. Pemberian manitol. 4. Penggunaan steroid. 5. Peningkatan kepala tempat tidur. 6. Bedah neuro. Tindakan pendukung lain 1. dukungan ventilasi. 2. Pencegahan kejang. 3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi. 4. Terapi anti konvulsan. 5. Klorpromazin untuk menenangkan pasien. 6. Pemasangan selang nasogastrik. Pola aktivitas sehari-hari 1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat; kebiasaan merokok, riwayat peminum alkohol, kesibukan, olah raga. 2. Pola nutrisi dan metabolisme; makan teratur, minum perhari, kesulitan menelan, diet khusus, BB, postur tubuh, tinggi badan. 3. Pola eliminasi; BAB dengan jumlah feses, warna feses dan khas, BAK dengan jumlah urine, warna urine dengan kejernihan, pada eliminasi alvi, relative tidak ada gangguan buang air. 4. Pola tidur dan istirahat; kebiasaan sehari-hari tidur dengan suasana tenang
20
5. Pola aktivitas dan latihan; aktivitas sehari-hari bekerja 6. Pola hubungan dan peran; hubungan dengan orang lain dan keluarga, kooperatif dengan sesamanya. 7. Pola sensori dan kognitif; mampu melihat dan mendengar serta meraba, disorientasi, reflek. 8. Pola persepsi dan konsep diri; melakukan kebiasaan bekerja terlalu keras, senang ngobrol dan berkumpul. 9. Pola seksual dan reproduksi 10. Pola mekanisme/pola penanggulangan stres dan koping; keluhan tentang penyakit. 11. Pola tata nilai dan kepercayaan; adnya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh. 12. Personal higiene; kebiasaan mandi/hari, gosok gigi/hari, dan cuci rambut/minggu. 13. Ketergantungan; ketergantungan terhadap orang lain terutama keluarga. 14. Aspek psikologis; cemas akan penyakit, merasa terasing,dan sedikit stres. 15. Aspek sosial/interaksi; hubungan antar keluarga, teman kerja, maupun masyarakat disekitar tempat tinggal. 16. Aspek spiritual; ajaran agama, dijalankan setiap saat, mengukui kegiatan agama, pemenuhan kebutuhan spiritualnya.
21
DAFTAR PUSTAKA Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Guyton dan Hall. 1996. Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC. Arif Mansjoer. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius.. Jakarta PERDOSSI. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Traum Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta : CV Prikarsa Utama.
22