TRANSMISI RADIASI MATAHARI DI BAWAH KANOPI HUTAN (Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor)
ERNAWATI APRIANI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ABSTRACT ERNAWATI APRIANI, Transmission of Solar Radiation Through Canopy (Case Study: Forest Research and Development Agency Ministry of Forestry Bogor/ Hutan Penelitian Dramaga). Supervised by IDUNG RISDIYANTO. Radiation transmission is part of the essential components of energy balance and known as energy for plant in the understory. Recently, remote sensing is solution for limited measurement in a wider scale. However, the calculation transmission of radiation using satellite needs to be corrected because the quantity of radiation transmission depends on solar elevation which is an error source for satellite imagery. For that reason, diurnal measurement of radiation transmission is important to be analyzed. This study has done in Forest Research and Development Agency Ministry of Forestry Bogor and also known as ‘Hutan Penelitian Dramaga’ using solarimeter. Three sample locations shown different density and distribution stands. Radiation was measured under trees, poles and sampling canopy. Transmission of solar radiation under tree canopy (17%) was higher than under pole (14%) and sapling (14%). There was a lag between peak of transmission under tree canopies with poles and sapling canopies. Diurnal observation shown that transmission in the morning (17%) was higher than the late afternoon (12%) and the highest was during midday (19%). This study also gave a distribution class of radiation transmission under canopy based on amount of incoming solar radiation and time. The amount of radiation transmission was strongly influenced by canopy architecture, level of cloudiness and solar elevation. Key Word: Radiation transmission, trees-poles-sapling canopy, difusse radiation
ABSTRAK ERNAWATI APRIANI, Transmisi Radiasi Matahari Di bawah Kanopi Hutan (Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Bogor). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO. Radiasi transmisi merupakan bagian dari komponen neraca energi dan merupakan sumber energi untuk kehidupan tanaman di lantai hutan. Saat ini metode penginderaan jauh menjadi solusi untuk pengukuran dalam skala yang lebih luas. Namun, pendugaan radiasi transmisi menggunakan satelit perlu dikoreksi karena besarnya radiasi transmisi dipengaruhi oleh sudut datang matahari yang merupakan sumber error bagi citra satelit. Untuk itu dilakukan pengukuran radiasi transmisi secara diurnal menggunakan solarimeter di Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Bogor. Tiga sampel lokasi menunjukkan kerapatan dan distribusi tegakan yang berbeda. Radiasi diukur di bawah tegakan pohon, tiang dan pancang. Transmisi radiasi matahari di bawah pohon (17%) lebih tinggi dibanding di bawah tiang (14%) dan pancang (14%). Terdapat lag terjadinya pucak transmisi matahari antara di bawah pohon dengan dibawah tiang dan pancang. Pengamatan diurnal menyatakan bahwa pada pagi hari (17%) nilai radiasi transmisi lebih besar dibanding dengan sore hari (12%) dan yang tertinggi terjadi pada siang hari (19%). Selain itu juga didapatkan proporsi pada setiap rentang nilai radiasi dalam rentang waktu tertentu yang dapat digunakan sebagai pembanding jika akan menggunakan data satelit dalam pengestimasian nilai radiasi transmisi. Besarnya transmisi matahari sangat dipengaruhi oleh arsitektur kanopi, tingkat keawanan dan sudut datang matahari. Kata kunci: Radiasi transmisi, kanopi pohon-tiang-pancang, radiasi difus
© Hak cipta milik IPB (Institut Pertanian Bogor), tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentngan yang wajar di IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
TRANSMISI RADIASI MATAHARI DI BAWAH KANOPI HUTAN (Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor)
ERNAWATI APRIANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul
: Transmisi Radiasi Matahari di Bawah Kanopi Hutan (Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor)
Nama
: Ernawati Apriani
NIM
: G24080012
Menyetujui, Pembimbing
Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc in IT NIP. 19730823 199802 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan sholawat serta salam penulis haturkan kepada nabi besar Muhammad SAW, atas rahmat dan hidayahNya berupa ilmu dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Transmisi Radiasi Matahari di Bawah Kanopi Hutan (Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor). Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian tugas akhir ini terdapat keterlibatan banyak pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak dan Ibu tercinta, Ayuk Syusiana Amelia dan Adek Benny Erlangga yang telah memberikan doa, cinta, perhatian dan dukungan mereka untukku. Semoga Allah SWT membalas dengan surga-Nya 2. Bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc in IT atas segala bentuk bantuan, saran, nasihat dan bimbingan serta waktu yang telah diberikan yang sangat besar peranannya selama proses pengerjaan tugas akhir ini. 3. Teman perjuangan satu bimbingan dalam lab Meteorologi dan setim asisten Meteorologi Satelit Aulia Maharani, Fauzan Nurrachman, Bambang Triatmojo, dan Dicky Sucipto atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian lapang dan pengerjaan tugas akhir. 4. Teman-teman yang telah memberiku keluarga di sini Cupu, Widia, Devi, Lista, dewi, Steffi, Nanda, Muti atas bantuan semangat, doa dan kekeluargaan yang selama ini dibangun. 5. Sahabat selama perkuliahan Sarah Purnamawati, Ratna dila, Citra Pratiwi, Sintong Pasaribu, Asep Ferdiansyah, dan terimakasih pula untuk Fella Fauziah, Ferdy Aprihatmoko, sebagai penyemangat dan penyelamat suka duka perkuliahan, serta Adi Mulyadi, Emod, dan Taufiq yang telah membantu proses dilapangan. 6. Teman-teman seperjuangan di GFM 45 (Faiz, Fe, Yuda, Nipong, Joy, Fida, Dewa, Firman, Iput, Dody, Akfia, Fitra, Okta, Dilper, Mirna, Dewi, Fitri, Maria, Tiska, Putri, Geno, Ruri, nia, Dora, Nadita, Widia, Fatchah, Ria, Farrah, Aila, Usel, Annisa, Diyah, Fithra, Pungki, Adit, Adi, Yoga, Mail, Ian, Arif, Adiyat) atas persahabatan, kekeluargaan dan kenangannya. 7. Teman-teman omda (Rika, Eko, Ani, Hardi, Erik, Mike, Gina, Puni dkk) atas semangat dan perhatiannya. 8. Teman-teman divisi Sains dan Aplikasi di Himagreto (Dody, Fella, Sintong, Faiz, Silvi, Normi, Lidia, Ika Farrah, Ika Pur) atas kerja sama dan bantuannya selama di Himagreto. 9. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebut satu per satu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Masukan dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Bogor, Juli 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Ernawati Apriani, lahir di Curup Kabupaten rejang lebong Provinsi Bengkulu pada tanggal 27 Februari 1990 merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Erwan Effendi dan Ibu Ngatmi. Penulis menamatkan pendidikan Menengah Atas (SMAN 1 Curup) pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui Jalur Undangan (USMI) dengan program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif disejumlah organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan yakni sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) pada Departemen Sains dan Aplikasi tahun 2011-2012, sempat mengkoordinasi acara Meteorology Day pada peringatan hari Meteorologi 23 Maret 2011. Pada tahun yang sama penulis melakukan kegiatan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Pekayon Jakarta, bagian Lembaga Mitigasi dan Bencana. Pada tahun 2012 penulis mendapat kesempatan menjadi asisten praktikum Meteorologi Satelit. Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Transmissi Radiasi Matahari di Bawah Kanopi Hutan (Studi Kasus Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor), dibimbing oleh Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc in IT.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................ xi I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan ........................................................................................................... 2.2 Radiasi Surya ................................................................................................................ 2.3 Alat Pengukur Intensitas Surya ..................................................................................... 2.4 Interaksi Cahaya (Radiasi Matahari) dengan Kanopi ................................................... 2.4.1 Cahaya dan PAR ............................................................................................... 2.4.2 Distribusi Cahaya dalam Kanopi .......................................................................
2 3 4 4 4 5
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................................... 3.2 Alat dan Bahan.............................................................................................................. 3.3 Metode Penelitian ........................................................................................................ 3.3.1 Pengukuran Radiasi ........................................................................................... 3.3.2 Pengukuran Suhu permukaan ............................................................................ 3.3.3 Pengolahan Data Menggunakan Microsoft Excel ..............................................
5 5 6 6 6 6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ................................................................................. 4.2 Radiasi Matahari di Titik Pengukuran .......................................................................... 4.3 Profil Proposi Radiasi Transmisi di Titik Pengukuran .................................................. 4.4 Profil Temporal Proposi Radiasi Transmisi .................................................................. 4.5 Suhu Permukaan Beberapa Penutupan Lahan ............................................................... 4.6 Clustering Proporsi Radiasi Transmisi.......................................................................... 4.7 Profil Radiasi Difus .......................................................................................................
7 7 9 11 12 13 15
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 16 5.2 Saran ............................................................................................................................. 16 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 16 LAMPIRAN .............................................................................................................................. 19
ix
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4.
Halaman Karakteristik area studi ....................................................................................................... 8 Penelitian sebelumnya mengenai light transmission ......................................................... 10 Presentase rata-rata radiasi transmisi harian di Hutan Penelitian Dramaga ....................... 11 Rata-rata radiasi transmisi diurnal ...................................................................................... 12
x
DAFTAR GAMBAR Halaman Titik lokasi pengambilan data pada Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor (square area : lokasi titik pengukuran yang berukuran 30 m x 30 m). ..................................................................................................... 7 2. Profil radiasi matahari di lokasi 1 ...................................................................................... 8 3. Profil radiasi matahari di lokasi 2 ....................................................................................... 9 4. Profil radiasi matahari di lokasi 3 ....................................................................................... 9 5. Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 1 ........................................................................ 10 6. Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 2 ........................................................................ 10 7. Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 3 ........................................................................ 11 8. Distribusi temporal harian transmisi radiasi matahari berdasarkan sudut waktu ................................................................................................................................. 12 9. Profil suhu permukaan penutupan lahan ............................................................................. 13 10. Profil suhu permukaan tanah dengan transmisi radiasi matahari ........................................ 13 11. Diagram proporsi transmisi (rata-rata 11 hari pengukuran) berdasarkan Rs↓ dan waktu ............................................................................................................................ 14 12. Profil radiasi difus menggunakan persamaan empiris oleh Erbs et al. (1982) dalam Essery et al. (2007) .................................................................................................. 15 1.
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5.
Halaman Grafik kalibrasi alat solarimeter ......................................................................................... 20 Kelas proporsi radiasi transmisi matahari berdasarkan rentang Rs↓ dan waktu di Hutan Penelitian Dramaga ................................................................................... 21 Presentase sebaran jumlah data radiasi yang diterima di puncak kanopi terhadap waktu di Hutan Penelitian Dramaga..................................................................... 22 Dokumentasi pengukuran di lapangan ................................................................................ 23 Alat pengukur intensitas surya ............................................................................................ 24
1
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Radiasi matahari adalah sumber energi penting untuk seluruh vegetasi di permukaan bumi. Hampir seluruh energi di ekosistem hutan tropis berasal dari energi matahari yang diterima oleh kanopi dan permukaan tanah dalam beberapa spektrum gelombang pendek. Radiasi gelombang pendek yang penting untuk fotosintesis tanaman adalah radiasi dengan panjang gelombang 400-700 nm yang dikenal sebagai photosynthesis active radiation (PAR). Penilaian kondisi pencahayaan tegakan hutan merupakan informasi yang penting untuk mengetahui pertumbuhan tanaman (baik tanaman kayu maupun tumbuhan herba) di lantai kanopi. Bahkan perubahan yang kecil pada struktur puncak kanopi dapat menghasilkan perubahan penetrasi radiasi matahari dan juga status iklim mikro yang berpengaruh penting terhadap pertumbuhan dan ketahanan spesies tanaman yang terlibat (Whitmore et al. 1993; Brown 1993, 2000; Hale dan Brown 2005; diacu dalam Jarcuska 2008). Cahaya (visible light) adalah salah satu faktor lingkungan utama yang mengontrol proses ekologi dan biologi di dalam hutan. Jumlah dan kualitas cahaya mengontrol keberhasilan pembentukan dari suatu benih perkecambahan dan pertumbuhan benih pohon di lantai hutan. Toleransi setiap spesies pohon muda bervariasi menurut status suksesinya, semakin toleran suatu spesies maka dapat berkembang baik dan beregenerasi di lantai hutan yang gelap dibanding dengan yang intoleran. Cahaya juga merupakan suatu kunci yang penting dalam regenerasi hutan. Cahaya meningkatkan perkembangan vegetasi di lantai hutan, yang terdiri dari graminoids, forbs1, semak dan pohon muda, dimana selain cahaya komposisinya bervariasi bergantung pada kondisi lokasi dan spesies pohon di sekitar lantai hutan. Keragaman jumlah cahaya yang diterima pada hutan bisa disebabkan oleh celah kecil cahaya yang disebut ‘sunflecks’, dimana sunflecks ini masuk melewati celah hutan kanopi. Sunflecks-light terdiri dari cahaya matahari langsung, cahaya yang dipantulkan oleh vegetasi, cahaya difus, dan cahaya difus 1
Graminoids, forbs merupakan kelompok vegetasi herba. Graminoids adalah semua rumput herba dan tanaman rerumputan seperti alang-alang dan tebu. Forbs adalah tanaman herba berdaun lebar seperti bunga matahari.
yang diserap oleh vegetasi (Morgan dan Smith 1981 dalam Longman 1992). Saat ini terdapat trend dalam pengelolaan hutan dengan beberapa tujuan, khususnya untuk meningkatkan biodiversity dan sustainability. Salah satunya adalah perhatian terhadap vegetasi di bawah kanopi hutan sebagai suatu cara untuk meningkatkan jumlah spesies dan secara tidak langsung untuk mendukung pelestarian fauna serta berperan dalam peningkatan kualitas tanah (Balandier 2008). Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah hutan tropis yang besar. Kelestarian hutan saat ini semakin menurun dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kemiskinan. Untuk itu diperlukan suatu sistem yang dapat mengoptimalkan fungsi hutan sehingga dapat menengahi kepentingan kelestarian dan kepentingan masyarakat di sekitar hutan. Salah satu caranya adalah dengan pola distribusi tanaman sela di dalam hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan penilaian terhadap energi radiasi matahari di dalam hutan. Perhitungan radiasi melalui celah kanopi (radiasi transmisi) dapat dilakukan dengan metode pengukuran langsung dan tidak langsung. Metode remote sensing saat ini menjadi alat yang sering digunakan karena kelebihannya secara cakupan wilayah kajian. Untuk itu dibutuhkan suatu koreksi dengan menggunakan data lapangan agar keakuratan pendugaan menggunakan satelit lebih tinggi. Dalam penelitian ini radiasi yang diukur adalah radiasi yang ditransmisikan melalui celah kanopi di beberapa strata tumbuhan di bawah kanopi. 1.2
Tujuan Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu : 1. Mencari fraksi antara radiasi matahari di bawah kanopi dengan radiasi matahari di atas kanopi pada strata tumbuhan pohon, pancang dan tiang. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis transmisi radiasi matahari dan distribusi temporal pada beberapa strata tumbuhan. 3. Membuat kelas sebaran transmisi radiasi matahari secara temporal. 4. Menghitung dan menganalisis radiasi difus dalam hubungannya dengan radiasi transmisi.
2
II 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Hutan Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan yang terletak pada 100LU hingga 100LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk pada daerah dengan curah hujan 2000-4000 mm per tahun, rata-rata temperatur 250C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembaban udara 80%. Arief (1994) dalam Indriyanto (2008) mengemukakan bahwa hutan hujan tropis yang telah mencapai klimaks mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum A, B, dan C atau bahkan memiliki lebih dari tiga stratum tajuk. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A, stratum B, stratum C, stratum D dan stratum E (Arief 1994; Ewusie 1990; Soerianegara dan Indrawan 1982; diacu dalam Indriyanto 2008). Masing-masing stratum diuraikan sebagai berikut : 1. Stratum A (A-storey), yaitu lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehingga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran (tidak tahan naungan). Menurut Ewusie (1984) diacu dalam Indriyanto (2008), sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon tersebut sering digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah. 2. Stratum B (B-storey), yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat sehingga tajuk pohon-pohonnya cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang ada, bersifat toleran (tahan naungan) atau kurang memerlukan cahaya. Batang pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu tinggi. 3. Stratum C (C-storey), yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai
bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Pada stratum C pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan memanjat, dan parasit (Vickery 1984 diacu dalam Indriyanto 2008). 4. Stratum D (D-storey) yaitu lapisan tajuk keempat dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Pada stratum itu juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan (seedling), terdapat palma-palma kecil, herba besar, dan paku-pakuan besar. 5. Stratum E (E-storey) yaitu tajuk paling bawah (lapisan kelima dari atas) yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah (ground cover) yang tingginya 0-1 m. Keanekaragaman spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya. Klasifikasi pohon dalam suatu tegakan hutan sangat berguna untuk pengelolaan hutan itu sendiri. Menurut Kadri dkk (1992) dalam Indriyanto (2008) klasifikasi pohon dapat didasarkan pada ukuran pohon dan posisi tajuk pohon di dalam hutan. 1. Klasifikasi Pohon Berdasarkan Ukuran a. Semai (seedlings), yaitu pohon yang tingginya kurang dari atau sama dengan 1.5 m. b. Sapihan atau pancang (saplings), yaitu pohon yang tingginya lebih dari 1.5 m dengan diameter batang kurang dari 10 cm. c. Tiang (poles), yaitu pohon dengan diameter batang 10-19 cm. d. Pohon inti (Nucleus trees), yaitu pohon dengan diameter 20-49 cm. Pohon besar (tress), yaitu pohon dengan diameter batang lebih dari 50 cm. 2. Klasifikasi Pohon Berdasarkan Posisi Tajuk a. Pohon dominan (dominant trees), yaitu pohon yang tajuknya menonjol paling atas dalam hutan sehingga mendapat cahaya matahari penuh. Tajuk pohon tumbuh meninggi di atas tingkat kanopi yang umum. Terkadang terdapat pada tegakan seumur meskipun lebih sering terdapat pada tegakan tidak seumur yang kondisinya tidak sempurna. Pohon dominan ukurannya paling besar dibandingkan dengan pohon-pohon lainnya karena kemampuan bersaing dengan pohon
3
b.
c.
d.
e.
2.2
lain cukup besar. Banyak percabangan pohon dengan ukuran cabang yang besar sehingga kadang-kadang mendesak dan menekan pohon-pohon lainnya (Kadro dkk 1992 diacu dalam Indriyanto 2008). Pohon kodominan (codominant trees), yaitu pohon yang tidak setinggi pohon dominan, tetapi masih mendapatkan cahaya penuh dari atas meskipun cahaya dari samping terganggu oleh pohon dominan. Pohon kodominan bersama-sama dengan pohon dominan merupakan penyusun kanopi atau tajuk utama dalam suatu tegakan hutan, Pohon tengahan (intermediate trees), yaitu pohon yang tajuknya menempati posisi lebih rendah dibandingkan pohon dominan dan pohon kodominan. Pohon tersebut masih mendapatkan cahaya matahari dari atas, tetapi tidak lagi mendapatkan cahaya matahari dari arah samping. Dengan demikian, pohon dari kelas tersebut mendapatkan persaingan yang keras terhadap pepohonan lainnya. Pohon tertekan (suppresed trees), yaitu pohon yang sama sekali ternaungi oleh pepohonan lain dalam suatu tegakan hutan, sehingga tidak mendapatkan cahaya yang cukup baik dari atas maupun dari samping. Pepohonan yang demikian biasanya lemah dan tumbuh lambat. Pohon mati (dead trees), yaitu pepohonan yang mati atau dalam proses kematian. Pada tegakan hutan yang memiliki permudaan banyak, tetapi tidak dikelola dengan baik, maka lambat laun sejumlah besar pohon akan mengalami tekanan dan akhirnya mati. Seberapa jauh kecepatan terjadinya proses tersebut bergantung pada kualitas tempat tumbuh dan tingkat toleransi pohon.
Radiasi Surya Radiasi adalah sumber energi untuk proses-proses sirkulasi atmosfer dan laut, serta siklus hidrologi dan satu-satunya alat pertukaran energi antara bumi dan alam semesta. Radiasi adalah suatu bentuk energi yang dipancarkan oleh setiap benda yang memiliki suhu di atas nol mutlak dan merupakan satu-satunya bentuk energi yang dapat menjalar di dalam vakum luar angkasa. Matahari yang mempunyai suhu permukaan 6000 K memancarkan energi dalam bentuk radiasi ke semua arah dengan kecepatan jalar sebesar 3x108 m/s. Radiasi surya merupakan gelombang elektromagnetik dengan kisaran panjang
gelombang 0.1-3.5 µm, namun yang sampai ke permukaan bumi terkosentrasi pada gelombang dengan panjang 0.3-3.0 µm (Monteith 1973). Energi yang sampai dipuncak amosfer sebelum mengalami pemantulan dan penyerapan oleh atmosfer adalah 1360 Wm-2 (Handoko 1994). Ketika melalui atmosfer, radiasi matahari akan mengalami proses refleksi dan absorbsi akibat adanya awan, debu, uap air dan molekul udara, sehingga jumlah yang benar-benar ditransmisikan mencapai permukaan bumi dalam bentuk radiasi global akan lebih kecil dari nilai 1360 Wm-2. Jumlah energi yang ditransmisikan bergantung kepada keawanan, humidity dan turbidity atmosferik yang diserap atau dihamburkan oleh atmosfer serta sudut matahari (Jones 2003). Semua benda mengemisikan radiasi sebagai fungsi dari temperatur, dimana energi yang diemisikan dan panjang gelombangnya berubah terhadap temperatur sebagaimana dijelaskan pada hukum Stefan-Bolzman dan hukum Plank (Jones 2003). Neraca energi merupakan kesetimbangan antara masukan energi dari matahari dengan kehilangan energi oleh permukaan bumi setelah melalui proses-proses yang kompleks (Risdiyanto dan Rini 1999). Radiasi netto merupakan selisih antara energi radiasi yang diabsorbsi dan yang dipancarkan oleh permukaan bumi, atmosfer dan subsistem bumi atmosfer. Pemanasan atmosfer ditentukan oleh jumlah radiasi yang diterima oleh permukaan dan respon permukaan terhadap radiasi yang diterima. Persamaan neraca energi bumi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut : ..………….(1) Keterangan : : Radiasi netto : Radiasi gelombang pendek yang datang : Radiasi gelombang pendek yang meninggalkan bumi : Radiasi gelombang panjang yang datang : Radiasi gelombang panjang yang meninggalkan bumi Sebagian dari radiasi gelombang pendek yang datang ada yang dipantulkan, ada yang diserap dan ada yang diteruskan. Besarnya energi yang dipantulkan bergantung pada albedo (α) permukaan. Albedo merupakan nisbah antara radiasi pantulan dengan radiasi datang (Risdiyanto dan Rini 1999). Nilai albedo pada vegetasi beragam dipengaruhi oleh tipe vegetasi, warna vegetasi, geometri
4
kanopi, kandungan kelembaban, ukuran dan luas daun serta tahap (fase) pertumbuhan tanaman. Selain itu nilai albedo juga dipengaruhi oleh musim, penutupan lahan, dan waktu dalam satu hari (Rosenberg 1974). Dalam Geiger et al. (1961) nilai albedo dipengaruhi oleh besarnya sudut datang matahari dan panjang gelombang. 2.3
Alat Pengukur Intensitas Surya Intensitas radiasi matahari ialah jumlah energi yang jatuh pada suatu bidang persatuan luas dalam satu satuan waktu yang merupakan ukuran penerimaan energi surya gelombang pendek di permukaan bumi. Terdapat berbagai macam radiasi surya yang dapat diukur, yaitu : a. Global Radiation (Q) yaitu radiasi total yang terdiri dari radiasi langsung dan radiasi difus. Alat yang umum digunakan untuk mengukur besarnya radiasi total adalah pyranometer dan solarimeter yang memiliki sensor thermophile. b. Diffuse Radiation (D) merupakan radiasi yang berasal dari pantulan oleh awan dan pembauran partikel di atmosfer. Dapat diukur dengan menggunakan pyranometer dimana pada alat diberi occulting ring (shadow band) untuk menghalangi radiasi langsung, sehingga yang didapat adalah nilai radiasi difus. c. Reflectivity (Albedo) merupakan pantulan radiasi surya gelombang pendek yang dapat diukur dengan menggunakan pyranometer dengan cara membalik alat tersebut kearah permukaan untuk melihat pantulan permukaan. Namun pengukuran dengan cara ini tidak signifikan untuk area berbayang di bawah alat. d. Sunshine duration yaitu lamanya penyinaran yang dapat diukur dengan menggunakan alat campbell stock. e. Net radiometers yaitu alat yang secara ideal menyerap radiasi dari semua panjang gelombang yang menuju dan yang dipantulkan permukaan bumi. f. Light Intensity yaitu intensitas cahaya matahari yang dapat dimanfaatkan tumbuhan dengan rentang panjang gelombang 400-700 nm dapat diukur dengan menggunakan alat quantum sensor. Pada prinsipnya sensor alat pengukur intensitas radiasi matahari dibagi menjadi dua jenis : a. Sensor Actinograph dimana sensor ini dibuat dari bimetal yaitu dua jenis logam yang memiliki koefisien muai panjang yang berbeda dan diletakkan satu sama lainnya.
b. Sensor Thermopile seperti yang digunakan pada solarimeter dan pyranometer. 2.4
Interaksi Cahaya (Radiasi matahari) dengan Kanopi Tanaman Terdapat empat cara bagaimana radiasi berperan penting bagi pertumbuhan tanaman; a. Pengaruh termal (Thermal effect), sebagai hasil dari kesetimbangan energi antara tanaman dengan lingkungannya. Radiasi merupakan input energi utama dimana energi ini diubah menjadi bahang (heat) dan bentuk energi lain sesuai dengan neraca energi tanaman. b. Fotosintesis. Sebagian besar radiasi matahari diserap tanaman digunakan untuk mensintesis materi energi yang merupakan energi utama di dalam biosfer. c. Fotomorfogenesis. Jumlah dan distribusi spektral dari radiasi gelombang pendek juga berperan penting dalam regulasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. d. Mutagenesis. Dimana radiasi dengan gelombang yang sangat pendek (termasuk U, sinar-X dan dapat mempengaruhi struktur materi genetik yang mengakibatkan kerusakan dan mutasi sel-sel tanaman. Kanopi tanaman memiliki tiga sifat optikal yaitu reflektifitas (ρ) yang merupakan proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang dipantulkan oleh unit indeks luas daun, transmisivitas (τ) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit indeks luas, dan absorbsivitas (α) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun (Jones 1992). 2.4.1 Cahaya dan PAR Tanaman membutuhkan cahaya matahari untuk melakukan proses fotosintesis dimana pertumbuhannya tergantung terhadap jumlah radiasi yang diterima dengan asumsi parameter lingkungan lainnya dianggap konstan. Cahaya tampak (visible light) adalah gabungan panjang gelombang dengan rentang 380-770 nm dimana di dalamnya terdapat panjang gelombang yang disebut photosynthetic active radiation atau PAR (400-700 nm) yang merupakan panjang gelombang spesifik yang digunakan oleh tanaman untuk melakukan proses biokimia di dalam fotosintesis, yaitu mengubah energi cahaya menjadi biomassa. PAR didefenisikan sebagai unit kuanta dari energi cahaya dan diekspresikan sebagai
5
jumlah poton cahaya yang diterima per suatu unit area. Incident PAR adalah sejumlah PAR yang datang pada puncak atmosfer. Telah diketahui sebelumnya bahwa atmosfer tidak meneruskan semua panjang gelombang ke permukaan bumi melainkan hanya pada rentang tertentu saja (0.3-3.5 µm). Namun hampir 48.7% radiasi yang sampai ke permukaan bumi adalah dalam bentuk PAR (Guang Zhu 2008). Kondisi atmosfer di atas kanopi seperti kandungan uap air, debu, molekul udara dan keawanan mempengaruhi besarnya PAR yang sampai ke permukaan kanopi. Jumlah PAR yang datang ke puncak kanopi bervariasi tergantung dari letak lintang dan topografi, variasi diurnal akibat perbedaan sudut datang matahari, variasi penutupan awan dan gangguan atmosfer. Intercepted PAR (IPAR) adalah sejumlah PAR yang ditangkap oleh lapisan kanopi sebagai incident PAR pada kanopi yang terus menembus lapisan kanopi hingga tanah. Absorbed PAR (APAR) adalah sejumlah PAR yang diserap oleh kanopi sesungguhnya setelah dikurangi PAR yang dipantulkan (Reflected PAR). Reflektan pada kanopi tanaman cenderung lebih rendah karena efek multipler daun. 2.4.2 Distribusi Cahaya dalam Kanopi Distribusi radiasi diantara kanopi tanaman sulit untuk dideskripsikan karena dibutuhkan pengetahuan mengenai arsitektur kanopi, distribusi sudut radiasi matahari yang datang dan sifat optikal tanaman. Secara sederhana dengan asumsi distribusi tegakan horizontal dan seragam sehingga radiasi yang datang ke kanopi tanaman hanya berubah terhadap ketinggian. Secara umum rata-rata radiasi cenderung menurun secara ekponensial dengan meningkatnya kedalaman mengikuti Hukum Beer yang mengasumsikan kanopi adalah penyerap (absorber) yang homogen. Selain ketinggian, untuk distribusi kanopi yang seragam radiasi transmisi juga dipengaruhi oleh leaf area index (LAI) dan koefisien pemadaman (k). Berikut merupakan persamaan radiasi transmisi menurut Hukum Beer: …………………………….(2) Dimana I adalah radiasi yang ditransmisikan melalui tajuk, I0 adalah radiasi yang sampai ke puncak kanopi, dan k adalah koefisien
pemadaman. Persamaan ini valid untuk penutupan kanopi yang seragam dengan distribusi daun acak, sedangkan untuk kanopi yang diskontinu seperti yang ditemukan pada tanaman dengan struktur baris dan pada perkebunan buah-buahan, terdapat clumping factor (Ω) yang bervariasi antara 0 hingga 1 (Campbell and Norman 1998 diacu dalam Oyarzύn 2010). Koefisien pemadaman dapat menjelaskan hubungan karakteristik kanopi tanaman dan intersepsi radiasi. Monteith (1973) menjelaskan bahwa koefisien pemadaman memberikan hubungan terbalik dengan kandungan klorofil per satuan luas daun dan berkurang dengan bertambahnya reflektivitas daun. Nilai k bervariasi tergantung dari ukuran daun dan arsitektur kanopi. Nilai k total radiasi berkisar antara 0.30-0.45 untuk tanaman yang memiliki daun tegak (berbagai jenis serealia) sampai nilai 0.8 pada tanaman yang memiliki tipe daun horizontal (misal kacang tanah). Dalam komunitas tanaman, besarnya transmisi dan refleksi bergantung pada sudut datang sinar (Monteith 1973). Koefisien refleksi dan transmisi untuk sudut datang 00 hingga 500 hampir konstan. Semakin besar sudut datang sinar, koefisien refleksi semakin meningkat dan koefisien transmisi menurun, dimana perubahan tersebut bersifat komplementer sehigga keseluruhan nilai absorbsi yang dapat dimanfaatkan untuk proses fotosintesis besarnya relatif konstan (Impron 1999). Ketersedian dan variabilitas cahaya pada skala mikro di lantai hutan dipengaruhi oleh fenologi daun, posisi matahari, kondisi langit, lokasi gaps, ukuran gap, dan tinggi kanopi (Anderson 1970; Canham et al. 1990; Baldocchi dan Collineau 1994). III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor dan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Meteorologi Terapan. Penelitian berlangsung mulai bulan Maret 2012 sampai Juli 2012. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Solarimeter
6
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Meteran Patok Stopwatch Tripod Thermometer infrared Perangkat lunak Ms Office 2007 (Ms. Word 2007, Ms. Excell 2007)
3.3
Metode Penelitian Teknik dan prosedur pengumpulan data yang digunakan dilakukan dalam penelitian ini adalah pengamatan dan pengukuran langsung. 3.3.1 Pengukuran Radiasi Pengukuran Radiasi di bawah kanopi menggunakan alat solarimeter. Alat ini diletakkan pada beberapa strata tumbuhan di dalam hutan dan satu di luar hutan sebagai kontrol. Pengambilan data dilakukan di tiga titik di dalam hutan yang dapat mewakili strata hutan yang dapat ditemukan. Ukuran satu petak lokasi adalah 30 x 30 meter. Alat diletakkan di bawah strata tumbuhan seperti di bawah pohon, tiang dan pancang. Data diukur dengan interval 15 menit dari pukul 9 pagi hingga pukul 3 sore. Berikut kriteria untuk tingkat pohon, tiang dan pancang : Pohon (Trees) : diameter setinggi dada (1.3 m) ≥ 20 cm, bila pohon berbanir diameter di ukur 20 cm di atas banir. Tiang (Poles) : pohon muda dengan diameter setinggi dada (1.3 m) antara ≥10 sampai < 20 cm. Pancang (Sapling) : permudaan yang tingginya >1.5 m sampai pohon muda dengan diameter < 10 cm. Solarimeter diletakkan di atas tripod dengan ketinggian tripod untuk pengukuran radiasi di bawah pohon adalah 120 cm dan untuk pengukuran radiasi di bawah pancang dan tiang adalah 100 cm. Penggunaan tripod ini dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh tumbuhan semak di lantai hutan. Pengukuran dilakukan di tiga petak lokasi yang berbeda. Pada petak pertama dan kedua dilakukan 4 kali pengukuran pada titik yang sama pada hari yang berbeda selama 6 jam pengamatan, sedangkan pada petak ketiga dilakukan 3 kali pengukuran pada titik yang sama pada hari yang berbeda selama 6 jam pengamatan.
3.3.2 Pengukuran suhu permukaan Suhu permukaan yang diukur adalah suhu permukaan kanopi, lahan terbuka, badan air dan suhu permukaan tanah di dalam hutan. Alat yang digunakan adalah termometer inframerah. Alat ini mengukur suhu permukaan suatu objek dengan cara ditembakkan kearah objek tersebut. Sebelum menembakkan alat tersebut, kita harus menyesuaikan nilai emisivitas dari objek yang akan diukur temperaturnya. Dalam penelitian ini emisivitas yang digunakan untuk badan air adalah 0.98; lahan terbuka yang wakili oleh lapangan rumput adalah 0.95; kanopi hutan adalah 0.95 dan tanah di dalam hutan adalah 0.92 (Weng 2001). 3.3.3 Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel a. Menghitung proporsi radiasi di atas kanopi (I0), dengan yang ditransmisikan (Iτ) ke bawah pohon, tiang dan pancang. Untuk proporsi radiasi matahari di bawah pohon dilambangkan dengan Q0, di bawah tiang dengan Qt dan di bawah pancang dengan Qp.
b. Pengkelasan nilai proporsi radiasi transmisi di bawah pohon berdasarkan rentang komponen radiasi di atas kanopi (I0) dan waktu diurnal. c. Menghitung nilai radiasi difus menggunakan persamaan empiris. d. Radiasi difus di atas kanopi diestimasi menggunakan persamaan empiris oleh Erbs et al. (1982). Langkah pertama mencari transmisivitas atmosferik dengan persamaan sebagai berikut :
Dimana I0 = 1367 W m-2 sebagai konstanta. S0 merupakan radiasi yang diukur di atas kanopi. Dan θ merupakan sudut elevasi matahari. Dalam perhitungan pada penelitian ini sudut elevasi diasumsikan sebagai sudut jam. Persamaan radiasi difus :
7
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Hutan Penelitian Dramaga merupakan salah satu dari 13 hutan kepemilikan Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang terletak di Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Provinsi Jawa Barat. Lokasi HP Dramaga terletak pada ketinggian 244 m dpl. Secara geografis, HP Dramaga terletak pada 6033’8” – 6033’35” LS dan 106044’50” – 1060105’19” BT . Luas keseluruhan areal HP Dramaga sekitar 57.75 ha dimana sebagian besar (41.6%) merupakan hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1954. Berdasarkan data iklim selama 10 tahun (1995-2005) yang direkam oleh Stasiun Klimatologi Dramaga, suhu rata-rata tertinggi pada kawasan ini terjadi pada bulan Juni sebesar 27.50C dan terendah terjadi pada bulan Februari sebesar 240C. Kelembaban relatif rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 81%. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 1117.2 mm dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 9.8 mm (Komara 2008). Menurut sistem klasifikasi iklim Schmidth Ferguson kawasan ini beriklim basah tipe A dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3940 mm (Departemen Kehutanan 1994).
Sumber : maps.google.com.
Gambar 1 Titik lokasi pengambilan data pada Hutan Badan Litbang Kementrian Kehutanan Dramaga Bogor (square area : lokasi titik pengukuran yang berukuran 30 m x 30 m).
4.2 Radiasi Matahari Harian di Titik pengukuran Pengukuran radiasi dilakukan pada tiga titik yang berbeda dengan kerapatan tegakan tiap lokasi juga berbeda. Karakteristik dari ketiga titik lokasi disajikan pada Tabel 1. Radiasi matahari yang diukur di atas kanopi dan di dalam kanopi ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 2, 3, dan 4 dimana pengukuran menggunakan empat solarimeter. Pengukuran radiasi matahari di atas kanopi diasumsikan sama dengan radiasi yang sampai ke permukaan tanah tanpa melalui kanopi. Grafik tersebut menunjukkan 15 menit pengukuran selama enam jam (09.00-15.00) Radiasi di dalam kanopi diwakili oleh pengukuran yang dilakukan di bawah pohon (trees), tiang (poles), dan pancang (sapling). Lokasi 1 diwakili pengukuran pada hari ke 81, 84, 90, 91 2 . Pada hari-hari tersebut cuaca cerah pada siang hari dan cenderung mendung pada sore hari. Radiasi maksimum diatas kanopi pada lokasi satu mencapai 877 Wm-2. Pada lokasi dua diwakili pengukuran pada hari ke 99, 100, 101, dan 106 3. Jumlah radiasi maksimum yang sampai di atas kanopi adalah 864 Wm-2. Sedangkan pada lokasi tiga diwakili pengukuran pada hari ke 111, 113, dan 1164 dengan jumlah radiasi maksimumnya adalah 723 Wm-2. Faktor dominan yang mempengaruhi penerimaan radiasi di permukaan bumi adalah keadaan awan. Daerah padang pasir dengan tingkat keawanan rendah akan menerima jumlah radiasi yang besar. Namun, daerah Indonesia dengan curah hujan yang tinggi, radiasi akan lebih banyak dipantulkan oleh awan pada musim hujan sehingga akan lebih sedikit radiasi yang sampai ke permukaan bumi (Handoko 1994). Daerah kajian yaitu Bogor merupakan daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi, dengan demikian tingkat keawanan di daerah ini juga cukup tinggi yang akan mempengaruhi penerimaan radiasi surya. 2
81, 84, 90, 91 merupakan Julian date dari tanggal 21, 24, 30, 31 Maret 3 99, 100, 101, 106 merupakan Julian date dari tanggal 8, 9, 10, 15 April 4 111, 113, 116 merupakan Julian date dari tanggal 20, 22, 25 April
8
Tabel 1 Karakteristik area studi Variabel Lokasi Lokasi 1
Lokasi 2
Lokasi 3
Tegakan
Pohon, Tiang, pancang
Pohon, Pancang
Pohon, Tiang
Kerapatan Tegakan
Jarang
Tinggi
Sedang
Dominasi Pohon
Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten
Coumarouna odorata Anbl.
Coumarouna odorata Anbl.
Periode Pengukuran
21, 24, 30, 31 Maret 2012
8, 9, 10, 15, April 2012
20, 22, 25, April 2012
Radiasi matahari yang diteruskan ke bawah pohon lebih besar dibanding dengan yang diteruskan ke bawah tiang dan pancang. Namun, untuk radiasi matahari yang diteruskan di bawah tiang dan pancang jumlahnya hampir sama. Meskipun di lokasi 1 terdapat tiga struktur yang diamati yaitu pohon, tiang dan pancang (Tabel 1), namun kanopi tiang di lokasi ini tidak menutupi kanopi pancang sehingga radiasi yang ditransmisikan langsung dari kanopi pohon ke tiang, atau dari kanopi pohon ke pancang. Radiasi yang diukur merupakan radiasi global dengan rentang panjang gelombang 0.3-3.5 µm. Sebaran jumlah radiasi yang diterima berbeda-beda dengan rata-rata selama enam jam pengukuran (09.00-15.00) adalah sebesar 429 Wm-2.
Jika radiasi matahari yang sampai di puncak kanopi adalah 100% maka 83% dari radiasi ini akan diteruskan hingga mencapai puncak tiang dan hanya 19% yang sampai ke puncak pancang dan akhirnya hanya 12-14 % radiasi yang sampai ke lantai hutan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh beberapa lapisan tajuk menyebabkan berkurangnya radiasi matahari yang dapat mencapai lantai hutan. Berkurangnya jumlah radiasi yang diterima di lantai hutan disebabkan oleh koefisien pemadaman tajuk. Pengaruh yang paling besar terjadi pada lapisan tajuk pancang dimana sudah terjadi penyerapan radiasi pada lapisan tajuk di atasnya yaitu tiang dan kemudian terjadi penyerapan tajuk pada pancang, sehingga jumlah yang ditransmisikan ke lantai hutan menjadi kecil.
Gambar 2 Profil radiasi matahari di lokasi 1.
9
Gambar 3 Profil radiasi matahari di lokasi 2.
Gambar 4 Profil radiasi matahari di lokasi 3. 4.3
Profil Proporsi Radiasi Transmisi di Titik Pengukuran Radiasi matahari di atas kanopi di teruskan ke bawah hutan melewati celah pohon, dan kemudian melewati tiang atau pancang. Hal ini menyebabkan input radiasi matahari yang diteruskan ke bawah tiang atau pancang akan berkurang setelah proses transmisi pada celah pohon. Proporsi radiasi yang ditransmisikan di bawah pohon rata-rata cenderung lebih besar di banding dengan dengan yang di bawah tiang dan pancang. Pada lokasi satu, dapat dilihat bahwa celah kanopi (gap) berpengaruh nyata pada pukul 09.00-10.00 dan pukul 12.00 dimana proporsi radiasi yang ditransmisikan cenderung sangat tinggi. Pada pukul 13.0014.00 juga memperlihatkan pengaruh dari gap yang menyebabkan radiasi di bawah pancang lebih besar dibanding di bawah pohon. (Gambar 5). Pada lokasi dua, proporsi radiasi transmisi cenderung hampir sama pada pagi hari untuk pohon dan pancang, dan meningkat
perlahan seiring dengan pergerakan matahari ke posisi solar noon. Proporsi radiasi matahari yang ditransmisikan pohon cenderung lebih besar di banding dengan pancang (Gambar 6). Sebaran pepohonan pada lokasi dua lebih merata di banding lokasi satu menyebabkan pengaruh dari gap tidak terlalu nyata. Pada lokasi tiga proporsi radiasi transmisi rata-rata lebih besar untuk pohon dibanding untuk tiang (Gambar 7). Pengaruh dari gap terlihat pada pukul 11.00-13.00 dimana proporsi transmissi cenderung tinggi. Bahkan pada pukul 11.00-12.00 dan antara pukul 13.30-14.15 terlihat bahwa transmisi radiasi yang melalui tiang lebih besar dibandingkan dengan yang melalui pohon. Hal ini menjelaskan ketidakmerataan distribusi pohon di dalam hutan yang menyebabkan gap. Penilaian transmisi radiasi matahari di dalam hutan sangat dipengaruhi oleh gap, sehingga pemilihan lokasi dan penempatan alat pengukuran harus tersebar untuk mengurangi pengaruh gap tersebut.
10
Tabel 2 Penelitian sebelumnya mengenai light transmission Jenis Hutan light transmission (%) Sumber Battaglia MA, Mitchell RJ, Mou PP, Longleaf Pine Woodland 38 – 80 Pecot SD (2003) Hutchinson & Matt (1997); Canham Temperate hardwood Forest 1 - 3.7 et al. (1990); Brown & Parker (1994) a Bjorkman & Ludlow (1972); bPearcy a b Tropical Evergreen Forest 0.44 – 2.4 1983 Boreal Coniferous Forest 14 – 30 Canham et al. 1999 Monodominant Congolese Vierling LA & Wessman CA (2000) 2 - 5.1 Rain forest
Gambar 5 Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 1.
Gambar 6 Profil proporsi transmisi radiasi di lokasi 2.
11
Gambar 7 Profil proporsi trasnmisi radiasi di lokasi 3. Distribusi rata-rata harian transmisi radiasi matahari di bawah pohon cenderung lebih besar dibandingkan dengan di bawah pancang dan tiang. Pada penelitian ini radiasi matahari yang datang di atas tiang dan pancang tidak diukur sehingga dapat dihitung dengan cara mengurangi radiasi yang datang di atas kanopi dengan radiasi yang diterima di bawah pohon. Transmisi radiasi matahari ratarata yang sampai di bawah pohon mencapai 17%, lebih tinggi dibandingkan dengan transmisi radiasi matahari di bawah pancang dan tiang yang secara rata-rata nilainya sama yaitu sebesar 14%. Tabel 3 Presentase rata-rata radiasi transmisi harian di Hutan Penelitian Dramaga τ0 τt τp Lokasi (Di bawah (Di bawah (Di bawah Pohon) tiang) pancang) 1
19
12
17
2
14
-
10
3
17
15
-
Rataan
17
14
14
Nilai transmisi radiasi pada tiap tutupan hutan berbeda bergantung juga dengan jenis hutannya. Pada penelitian yang sudah dilakukan besarnya transmisi cahaya sangat beragam (Tabel 2). Pada hutan pinus transmisi cahaya cenderung sangat tinggi mencapai 3880 % (Battaglia et al. 2003), dan paling rendah ditemukan pada hutan tropis yaitu 0.44a – 2.4b % (aBjorkman & Ludlow 1972 ;bPearcy 1983).
4.4
Profil Temporal Proporsi Radiasi Transmisi Pola distribusi temporal transmisi radiasi matahari menunjukkan transmisi radiasi di dalam hutan, baik di bawah pohon, tiang dan pancang mencapai maksimum pada mid-day (Gambar 8). Pengukuran di bawah pohon menunjukkan radiasi matahari yang cenderung tinggi pada pukul 12.00 hingga pukul 13.00. Sedangkan pengukuran di bawah tiang menunjukkan radiasi transmisi mulai meningkat pada pukul 12.00 dan mencapai puncaknya pada pukul 13.00. Pada pengukuran di bawah pancang, pola distribusi transmisi matahari hampir sama dengan yang di bawah tiang namun dengan presentase proporsi yang lebih kecil. Rata-rata radiasi yang di transmisikan pada pagi hari cenderung lebih besar di banding dengan sore hari dan mencapai puncaknya pada siang hari. Meskipun radiasi transmisi pada pagi hari cenderung lebih besar dibanding dengan sore hari, tidak mengindikasikan penyerapan (absorbsi) oleh tanaman yang lebih rendah pada pagi hari. Seperti yang sudah diulas sebelumnya, kondisi lokasi penelitian dimana pada pagi hari cenderung cerah menyebabkan radiasi yang terukur lebih besar dibanding dengan sore hari, dimana alat yang digunakan terganggu oleh proses keawanan dalam membaca nilai radiasi. Selain itu, telah dijelaskan sebelumnya juga bahwa penempatan alat di dalam lokasi hutan sangat
12
mempengaruhi distribusi transmisi radiasinya.
sebaran
nilai
(a)
17% sedangkan pada sore hari transmisi radiasi mencapai minimum (Tabel 4). Selain disebabkan kondisi cuaca yang cerah, besarnya transmisi radiasi matahari pada pagi hari ini dapat disebabkan oleh distribusi penempatan alat lebih ke arah timur, sehingga pada pagi hari alat lebih banyak menerima radiasi matahari dibanding dengan sore hari. 4.5
(b)
(c)
Gambar 8 Distribusi temporal harian transmisi radiasi matahari berdasarkan sudut waktu : (a) di bawah pohon, (b) di bawah tiang, (c) di bawah pancang. Tabel 4 Rata-rata radiasi transmisi diurnal Waktu %Transmisi 9:00-10:00 17 10:15-11:00 13 11:15-12:00 15 12:15-13:00 19 13:15-14:00 14 14:15-15:00 12 Secara nyata dapat dikatakan bahwa transmisi radiasi pada siang hari mencapai nilai maksimumnya. Namun untuk pagi hari nilai radiasi transmisinya cukup besar yaitu
Suhu Permukaan Beberapa Penutupan Lahan Suhu permukaan diukur menggunakan alat termometer inframerah yang memungkinkan kita mengukur suhu permukaan suatu jenis tutupan lahan tertentu tanpa bersentuhan dengan objek yang ingin diketahui suhunya. Cara mengukurnya adalah dengan menembakkan alat tersebut kearah permukaan objek yang ingin diamati. Pada penelitian ini penutupan lahan yang diukur suhu permukaannya adalah kanopi hutan, lahan terbuka, badan air dan suhu permukaan tanah di dalam hutan. Thermometer infrared adalah perangkat pengukuran temperatur non-kontak dimana mendeteksi energi inframerah yang dipancarkan oleh suatu objek pada suhu di atas nol mutlak (nol Kelvin) dan mengubah energi menjadi faktor pembacaan suhu. Dalam penggunaan termometer ini, kita harus menyesuaikan nilai emisivitas dari objek yang akan diukur temperaturnya. Emisivitas didefenisikan sebagai rasio energi yang dipancarkan oleh suatu benda pada suhu tertentu terhadap energi yang dipancarkan oleh radiator sempurna yang disebut dengan blackbody pada suhu yang sama. Suhu permukaan dari setiap penutupan lahan diukur setiap jam dari pukul 09.00 hingga pukul 15.00, kecuali untuk tutupan lahan badan air. Untuk suhu permukaan badan air hanya dilakukan 3 kali pengukuran yaitu pada pukul 09.00, 11.00 dan 15.00. Suhu permukaan lahan terbuka yang merupakan lapangan rumput memiliki nilai suhu permukaan tertinggi, diikuti oleh kanopi hutan kemudian suhu tanah di dalam hutan (Gambar 9). Jika dilihat dari polanya, suhu permukaan ketiga jenis tutupan lahan mengikuti pola sinusoidal.
13
Telah diketahui sebelumya bahwa peningkatan suhu udara disebabkan oleh sensible heat yang merupakan bagian dari radiasi matahari yang datang. Ketika radiasi matahari mencapai maksimum, suhu udara belum mencapai maksimum melainkan membutuhkan waktu sekitar 1 hingga 2 jam untuk mencapai maksimum.
Gambar 9 Profil suhu permukaan penutupan lahan. Ketika radiasi matahari di puncak kanopi mencapai maksimum pada saat solar noon, transmisi radiasi ke bawah kanopi juga mencapai maksimumnya. Namun, pada saat tersebut suhu permukaan tanah di dalam hutan masih membutuhkan waktu untuk mencapai maksimum karena proses penjalaran energi.
maksimum. Suhu maksimumnya terjadi pada saat solar noon (Gambar 10). Trend suhu tanah di dalam hutan mengikuti trend diurnal suhu udara. Suhu maksimum tanah terjadi pada pukul 12.00 hingga 13.00 dengan semakin meningkatnya radiasi matahari dan juga karena peningkatan suhu ambien udara (Behera 2012). Suhu tanah minimum pada pagi hari akibat pelepasan panas dari radiasi gelombang panjang malam harinya ke udara di atas tanah. Dengan adanya transmisi radiasi matahari gelombang pendek dan penyerapan oleh permukaan tanah, maka suhu permukaan tanah akan meningkat dengan semakin naiknya posisi matahari yang kemudian mencapai maksimum pada saat noon (Chen et al. 1999). Hasil pengukuran tidak menunjukkan terjadinya lag antara terjadinya suhu permukaan tanah maksimum dengan transmisi radiasi maksimum. Hal ini disebabkan karena pembacaan nilai suhu pada alat pengukur suhu permukaan (Termometer inframerah) hanya dilakukan satu jam sekali. Jika rentang waktu pengukuran suhu permukaan lebih rapat, mungkin lag dengan radiasi maksimum dapat terlihat. Meskipun demikian, keduanya menunjukkan distribusi yang sama bahwa pada siang hari saat posisi solar noon, baik suhu permukaan tanah dan radiasi transmisi mencapai maksimum. 4.6
Gambar 10 Profil suhu permukaan tanah dengan transmisi radiasi matahari. Dari hasil pengukuran tidak terjadi lag antara puncak terjadinya radiasi maksimum dengan terjadinya suhu permukaan tanah
Clustering Proporsi Radiasi Transmisi Penggunaan citra satelit sebagai cara atau alat untuk mengestimasi nilai radiasi matahari sudah sering dilakukan. Namun untuk mengestimasi nilai radiasi transmisi banyak faktor yang harus dipertimbangkan yang merupakan sumber error dalam pengestimasian radiasi transmisi menggunakan citra satelit. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai radiasi transmisi adalah indeks luas daun (LAI), koefisien pemadaman tajuk (k), celah kanopi (gap), sudut datang matahari dan faktor keawanan. Penelitian sebelumnya sudah menggunakan citra satelit untuk mengestimasi nilai radiasi transmisi di hutan. Satelit yang digunakan adalah satelit landsat. Satelit
14
Landsat memiliki waktu orbit ulang (revisit time) 16 hari untuk daerah tertentu, setiap perekaman data dilakukan pada pukul 11.00 siang. Sehingga, untuk mengestimasi radiasi yang ditransmisikan dengan menggunakan satelit, perlu dilakukan ground check pada pukul 11.00. Pada pukul 11.00, matahari baru akan naik atau memiliki sudut jam terhadap solar noon sekitar 150. Peningkatan nilai radiasi matahari yang diterima di atas kanopi tidak selalu meningkatkan nilai transmisi radiasinya (Gambar 11). Namun secara temporal dapat dikatakan bahwa radiasi matahari yang diterima dengan kisaran jumlah yang sama akan meningkat seiring dengan naiknya matahari menuju posisi solar noon. Pada pagi hari jumlah radiasi matahari yang datang tidak terlalu besar, pada pukul 09.00 hingga 10.00 besarnya radiasi dominan yang diterima adalah 200-500 Wm-2. Pada pukul 11.00 hingga 13.00 besarnya radiasi dominan yang diterima mencapai 500-700 Wm-2. Pada sore hari dikarenakan kondisi keawanan yang tinggi sehingga besarnya radiasi dominan yang diterima tidak terlalu besar yaitu sekitar 100-400 Wm-2 (Lampiran 3). Pengkelasan (clustering) nilai radiasi transmisi berdasarkan jumlah radiasi matahari yang datang dan berdasarkan waktu di Hutan Dramaga dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada pukul 11.00 hingga 12.00 hutan dapat mentransmisikan 5–25% radiasi matahari dengan rata-rata 13% dipengaruhi oleh faktor seperti keawanan dan keberadaan celah kanopi (gap) serta penempatan alat pengukuran. Apriandanu (2011) menggunakan data satelit Landsat yang diakuisisi pada 15 Agustus 2006, mengestimasi nilai transmisi radiasi sebesar 15% dari jumlah radiasi gelombang pendek yang datang (523 Wm-2). Jika dibandingkan dengan kelas sebaran radiasi pada Lampiran 2, nilai estimasi menggunakan data satelit memiliki kisaran nilai yang lebih tinggi. Maharani (2012) juga menggunakan data satelit Landsat, dimana diakuisisi pada 3 Desember 2000, mengestimasi nilai transmisi radiasi untuk hutan tanaman sebesar 34% dari
jumlah radiasi yang datang (700-800 Wm-2). Proporsi dari dugaan ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengkelasan proporsi radiasi berdasarkan data lapang dimana hanya 8-14% radiasi yang ditransmisikan (Lampiran 2).
Gambar 11 Diagram proporsi transmisi (ratarata 11 hari pengukuran) berdasarkan Rs↓ dan Waktu di Hutan Dramaga. Hal yang sama ditunjukkan dari hasil estimasi menggunakan data Landsat yang diakuisisi pada 12 Mei 2001 (Maharani 2012). Transmisi radiasi untuk hutan tanaman dari hasil estimasi adalah 19% dari jumlah radiasi datang (500-600 Wm-2). Nilai ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pengkelasan pada Lampiran 2 dimana hanya 11-14% radiasi yang ditransmisikan. Perbedaan hasil estimasi menggunakan pendekatan penginderaan jauh dan pengukuran lapang ini, dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik alat pengukuran
15
seperti sensor dan panjang gelombang yang digunakan. 4.7
Profil Radiasi Difus Radiasi matahari yang diukur menggunakan solarimeter adalah radiasi global dimana radiasi global ini terdiri dari radiasi langsung (direct radiation) dan radiasi difus (difuss radiation).
(a)
(b)
(c) Gambar 12 Profil radiasi difus menggunakan persamaan empiris oleh Erbs et al. (1982) dalam Essery et al. (2007). Garis hitam menunjukkan radiasi datang yang diukur di atas kanopi; garis putus-putus menunjukkan radiasi difus yang diestimasi menggunakan persamaan empiris. (Lokasi 1 (a), Lokasi 2 (b), Lokasi 3 (c))
Radiasi difus merupakan radiasi yang berasal dari pantulan oleh awan dan pembauran partikel di atmosfer. Sedangkan radiasi langsung adalah radiasi yang sampai ke permukaan bumi tanpa melalui proses pemantulan awan dan pembauran partikel di atmosfer. Profil radiasi difus yang dihitung menggunakan persamaan empiris (Gambar 12) memperlihatkan bahwa kebanyakan radiasi yang datang ke puncak kanopi adalah radiasi difus. Hal ini menunjukkan bahwa keawanan yang terjadi pada saat pengukuran cukup tinggi. Radiasi matahari yang ditransmisikan di bawah kanopi, tiang dan pancang terdiri dari radiasi langsung dan juga radiasi difus. Radiasi difus yang ditransmisikan tidak hanya berasal dari puncak kanopi, namun juga berasal dari pembauran dan pemantulan radiasi matahari oleh daun-daun, ranting dan cabang dari pohon, tiang dan pancang di dalam hutan. Menurut Miller (1981) pada saat berawan radiasi baur yang terjadi berpengaruh positif terhadap fotosintesis tanaman. Didukung juga oleh June (2002) dimana radiasi baur sebagai bagian dari radiasi global cukup berperan penting dalam proses fotosintesis tanaman. Peranan radiasi difus ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan di dalam hutan. Di dalam hutan radiasi yang dating, dipantulkan oleh daundaun dan cabang pohon yang kemudian diterima oleh daun lainnya. Tumbuhan di lantai hutan kebanyakan tidak mendapatkan radiasi langsung sehingga dapat memanfaatkan radiasi difus. Radiasi difus ini bisa berasal dari radiasi yang ditransmisikan oleh celah pohon yang kemudian dibaurkan. Baldocchi (2002) mengemukakan bahwa radiasi difus menghasilkan tingkat efisiensi penggunaan cahaya pada tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan PAR. Radiasi difus juga memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap kejenuhan fotosintesis dibanding PAR. Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai radiasi difus dalam kaitannya dengan radiasi transmisi di dalam hutan.
16
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 a.
b.
c.
d.
Kesimpulan Distribusi radiasi matahari di bawah pohon, tiang dan pancang memiliki besaran (magnitude) yang berbeda. Transmisi radiasi matahari tertinggi terjadi di bawah pohon (17%), kemudian diikuti di bawah tiang (14%) dan di bawah pancang (14%). Distribusi temporal transmisi radiasi matahari menunjukkan bahwa radiasi matahari tertinggi terjadi pada tengah hari (midday). Terdapat lag waktu saat transmisi radiasi matahari maksimum antara di bawah pohon dengan di bawah tiang dan pancang. Hasil pengkelasan radiasi transmisi di Hutan Penelitian Dramaga menunjukkan kisaran nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan estimasi menggunakan citra satelit, disebabkan oleh perbedaan sensor alat yang digunakan. Hubungan antara jumlah radiasi di atas kanopi dengan di bawah kanopi tidak selalu linier bergantung pada arsitektur kanopi dan distribusi tegakan. Keawanan pada saat pengambilan data cenderung besar dibuktikan dengan besarnya proporsi radiasi difus terhadap radiasi global.
5.2
Saran Pengukuran radiasi transmisi di dalam hutan masih menggunakan solarimeter dimana radiasi yang diukur adalah radiasi global. Untuk itu disarankan untuk menggunakan alat yang dapat mengukur radiasi PAR yang merupakan radiasi yang dapat dimanfaatkan tumbuhan untuk berfotosintesis. Penempatan alat di bawah kanopi disarankan lebih seragam agar pengaruh gap lebih kecil. Radiasi difus yang dihitung masih menggunakan persamaan empiris. Untuk itu disarankan untuk mengukur radiasi difus di dalam hutan agar diketahui seberapa besar peranannya dalam mempengaruhi radiasi transmisi di dalam hutan. DAFTAR PUSTAKA Anderson MC. 1970. Interpreting the fraction of solar radiation available in forest. Agricultural Meteorology 7: 19-28.
Awal MA, Ishak W, Harun MH, Endan J. 2005. Methodology and measurement of radiation interception by quantum sensor of the oil palm plantation. J. Sci. Technol 27(5) : 1083-1093 Apriandanu B. 2011. Pendugaan Nilai Radiasi Transmisi pada Tutupan Lahan Hutan dengan Menggunakan Citra Landsat ETM+ (Studi kasus : Hutan kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga). [Skripsi] Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas MIPA IPB. Tidak dipublikasikan. Balandier P, Marquier A, Dumas Y, Gaudio N, Philippe G, Da Silve D, Adam B, Ginisty C, Sinoquet H. Light sharing among different forest strata for sustainable management of vegetation and regeneration. Forestry in achieving millennium goals – Novi Sad, Serbie – November 13-15, 2008 Baldocchi D, Gu L, Verna SB, Black TA, Vesala T, Falge EM, Dowty PR. 2002. Advantaged of diffuse radiation for terrestrial ecosystem productivity. Journal of Geophysical Researche : 107(D6) Baldocchi D & Collineau S. 1994. The physical nature of solar radiation in heterogeneous canopies: spatial and temporal attributes. In Exploitation of environmental heterogeneity by plants; Ecophysiological processes above and below ground. Edited by M.M. Caldwell and R.W. Pearcy. Academic Press, New York. pp.21-71. Battaglia MA, Mitchell RJ, Mou PP, Pecot SD. 2003. Light Transmittance Estimates in a Longleaf Pine Woodland. Forest Science : 49(5) Behera SK, Mishra AK, Sahu N, Kumar A, Singh N, Kumar A, Bajpai O, Chaundhary LB, Khare PB, Tuli R. 2012. The study of microclimate in response to different plant community association in tropical moist deciduous forest from northern India. Biodivers Conserv. Springer Bjorkman O & Ludlow M. 1972. Characterization of the light climate on
17
the floor of a Queensland rainforest. Carnegie Inst. Washington Yearbook 71:85-94 Brown MJ & Parker GG. 1994. Canopy light transmittance in a chronosequence of mixed-species deciduous forests. Can. J.For. Res. 24:1694–1702. Canham CD, Denslow JS, Platt WJ, Runkle JR, Spies TA and White PS. 1990. Light regimes beneath closed canopies and tree-fall gaps in temperate and tropical forests. Can. J. For. Res 20: 620–631. Chen J, Sari CS, Thomas RC, Robert JN, Kimberley DB, Glenn DM, Brian LB, Jerry FF. 1999. Microclimate in forest ecosystem and landscape ecology. Bioscience 49:288–297 [Departemen Kehutanan]. 1994. Kebun Percobaan Dramaga. Edisi pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta. Essery R, Bunting P, Janet H, Link T, Marks D, Melloh R, Pomeroy J, Rownlands A, Rutter N. 2007. Radiative transfer modeling of a coniferous canopy characterized by airbone remote sensing. Hydrometeorology : 9 Geiger R, Robert H, Aaron PT. 1961. The Climate Near The Ground. Ed ke-5. Cambridge : Harvard University Press. Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Bogor. Hutchinson BA, Matt DR. 1977. The distribution of solar radiation within a deciduous forest. Ecol. Monogr 47:185207 Impron. 1999. Neraca Radiasi Tanaman. Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat Dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor. Indian Meteorological Departement. 2008. Solar Radiation Handbook. India. Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Bumi Aksara : Jakarta Jarcuska B. 2008. Methodological overview to hemispherical photography, demonstrated on an example of the software GLA. Folia Oecologica : 35-1
Jones HG. 1983. Plants and Microclimate. Cambridge University Press. Cambridge. Jones HG, Archer N, Rotenberg E, Casa R. 2003. Radiation measurement for plant ecophysiology. Journal of Experimental Botany 54(384) : 879-889 June T. 2002. Generating hourly radiation, temperature, and fraction of diffuse irradiance from observed daily data. Pelatihan Dosen Pergurun Tinggi se Indonesia Barat dalam Bidang Pemodelan dan Simulasi Pertanian dan Lingkungan. Bogor 1-13 Juli 2002 . Longman KA & Jenik J. Tropical Forest and its environment Second edition. 1992 Longman Singapore Publishers (PTE) Ltd. Singapore. Komara A. 2008. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Shorea balngeran (Korth.) Burck., Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten dan Coumarouna odorata Anbl. di Hutan Penelitian Dramaga Bogor Jawa Barat. [Skripsi] Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan Maharani A. 2012. Metode Neraca Energi Untuk Perhitungan Radiasi Transmisi Menggunakan Data Citra Landsat ETM+. [Skripsi] Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas MIPA IPB. Tidak dipublikasikan Miller DH. 1981. Energi at the surface of the Earth An Introduction to the Energetic of Ecosystems. Academic Press Inc. New YorkNics, AD, Lane, LJ dan Gander, GA. 1995. Weather Generator. Technical Paper. Pp 2.1-2.9 Monteith J.L. 1973. Principles of Environmental Physics. Edward Arnold. London. Oyarzun R, Stockle C, Wu J, Whiting M. 2010. In field assessment on the relationship between photosynthetic active radiation (PAR) and global solar radiation transmittance through discontinuous canopies. Chilean Journal of Agricultural Research 71(1):122-131 (January-March 2011)
18
Pearcy RW. 1983. The light environment and growt of C3 and C4 species in the understory of a Hawaiian forest. Oecologia 58: 26-32 Risdiyanto I dan Rini H. 1999. Iklim Mikro. Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat Dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor Rosenberg NJ. 1974. Microclimate: The Biological Environment. John Wiley & Sons. New York. Vierling LA & Wessman CA. 2000. Photosynthetically active radiation heterogenety within a monodominant Congolese rain forest canopy. Agricultural and Forest Meteorology : 103(265-278) Weng Q. 2001. A Remote Sensing-GIS Evaluation of Urban Expansion and Its Impact on Surface temperature in The Zhujiang Delta, China. Int. Journal of Remote Sensing. 22(10): 1999-2014 http://www.microepsilon.com/download/products/dat--infraredbasics--en.pdf http://www.novalynx.com http://ars.sciencedirect.com
LAMPIRAN
20
Lampiran 1 Grafik kalibrasi alat solarimeter
21
Lampiran 2 Kelas proporsi radiasi transmisi matahari berdasarkan rentang Rs↓ dan waktu di Hutan Penelitian Dramaga Rs↓ (Wm-2) 100-200
200-300
300-400
400-500
500-600
600-700
700-800
> 800
Mean SD SE Mean SD SE Mean SD SE Mean SD SE Mean SD SE Mean SD SE Mean SD SE Mean SD SE
9:00-10:00
10:15-11:00
11:15-12:00
12:15-13:00
13:15-14:00
14:15-15:00
0.15 0.12 0.05 0.27 0.27 0.09 0.11 0.03 0.01 0.17 0.22 0.06 0.15 0.13 0.04 0.05 0.01 0.01 -
0.21 0.11 0.06 0.21 0.06 0.02 0.15 0.05 0.02 0.14 0.06 0.02 0.11 0.03 0.01 0.07 0.03 0.01 0.08 0.05 0.02 -
0.12 0.18 0.06 0.03 0.14 0.03 0.01 0.13 0.07 0.03 0.21 0.25 0.10 0.16 0.04 0.02 0.26 0.31 0.12 0.23 0.28 0.14
0.19 0.05 0.03 0.24 0.16 0.08 0.31 0.26 0.09 0.29 0.31 0.16 0.21 0.14 0.05 0.12 0.03 0.01 0.08 0.01 0.00 0.14 0.14 0.08
0.15 0.12 0.21 0.09 0.04 0.13 0.14 0.05 0.05 0.02 0.01 0.14 0.11 0.05 0.17 0.13 0.05 0.08 0.00 0.00 -
0.09 0.03 0.32 0.26 0.13 0.14 0.07 0.04 0.11 0.07 0.03 0.03
0.10 -
22
Lampiran 3 Presentase sebaran jumlah data radiasi yang diterima di puncak kanopi terhadap waktu di Hutan Penelitian Dramaga 100-200
200-300
300-400
400-500
500-600
600-700
700-800
>800
9:00-10:00
12
22
16
28
18
4
10:15-11:00
7
14
16
16
20
16
9
2
11:15-12:00
2
12
14
14
16
16
14
12
12:15-13:00
12
10
19
10
21
12
5
12
13:15-14:00
21
16
21
11
13
13
5
14:15-15:00
28
22
17
22
0
6
6
23
Lampiran 4 Dokumentasi pengukuran di lapangan
Tegakan Coumarouna odorata Anbl.
Tegakan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten
Solarimeter di bawah tegakan pancang
Tripod
Tiang
Pohon
24
Lampiran 5 Alat pengukur intensitas surya
Pyranometer Sumber : Solar radiation handbook 2008
Occulting Ring Sumber : http://ars.sciencedirect.com
Net Pyradiometer. Sumber : Solar radiation handbook 2008
Campbell Stockes Sumber : http://www.novalynx.com
Quantum Sensor Sumber : Methodology and measurement of radiation interception by quantum sensor of the oil palm plantation 2005