TRANSFORMASI MORAL EKONOMI PENGRAJIN MELALUI PENDIDIKAN NON FORMAL Oleh; Prof. Dr. Yus Darusman, M,Si A. Latar Belakang Industrialisasi dan modernisasi dengan muatan nilai yang dibawanya yaitu nilai-nilai kapitalisme, menurut beberapa ahli dapat menghancurkan
tatanan
ekonomi
perdesaan.
Pergeseran
mata
pencaharian dari pertanian ke industri rumah tangga dengan pola pemasaran yang bersifat nasional bahkan internasional, membawa muatan baru yaitu paraktik ekonomi formal atau kapitalisme. Manakala masyarakat lupa akan tatanan nilainya, maka dapat berakibat hancurnya tatanan ekonomi desa oleh pengusaha dan para pemilik modal dari kota, sehingga dapat terjadi pengusaha desa dan pengrajin hanya berperan sebagai makloon, calo, dan pekerja yang tidak mempunyai kewenangan untuk
menentukan
harga
pada
produksinya
sendiri
(analisis
desa
memiliki
keterasingan). Namun
kenyataan
sebaliknya,
masyarakat
kelembagaan desa yang kuat, yang berakar pada nilai-nilai agama dan tradisi yang di junjung tinggi, maka terjadi “adaptasi” dan “akulturasi” yang kemungkinan ada yang lebih dominan dalam pencampuran. Karena itulah kehidupan pengrajin tradisional, seperti kerajinan Asmat, Ukiran Bali, pengrajin Kayu Jepara, dan pengrajin Bordir Tanjung memiliki
seperangkat
nilai
(Culture
core)
yang
menjamin
kelestariannya. PNF
sebagai salah satu jalur pendidikan dalam pendidikan
nasional, yang meliputi satuan keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis, bertujuan untuk melayani warga masyarakat supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
1
sepanjang
hayatnya
guna
meningkatkan
martabat
dan
mutu
kehidupannya. PNF memiliki peran penting dalam penyebarluasan dan pelembagaan ekonomi
pada masyarakat pengrajin pada berbagai
kelompok usaha seperti unit usaha keluarga, kelompok pengusaha kerajinan, kelompok pemasaran, kelompok pembinaan desa, kelompok belajar keterampilan, dsb. Orang Tanjung terkenal sebagai petualang ekonomi, banyak berhubungan dengan kota-kota besar, terutama dalam hubungan pemasaran produksi. Dari 234 orang pengusaha desa, terdapat 5 orang yang telah menjadi eksportir, dan 2 diantaranya telah memperoleh Piagam Upakarti dari Presiden Soeharto, yaitu Bapak H.Jarkasyie dan H.Turmudi. Setiap pengusaha adalah kelompok kerja yang memiliki buruh ratarata 30 orang. Rekrutmen buruh dilakukan dan dibina oleh para pengusaha, sehingga menjadi pengusaha kecil yang kemudian menjadi rekanan yang tersebar di beberapa Desa di Kabupaten Tasikmalaya. Warga desa pada umumnya berperan sebagai pengusaha, pedagang, dan pengrajin mahir. Perilaku ekonomi masyarakat nampaknya berpedoman pada tatanan moral yang merupakan perpaduan antara nilai-nila tradisional, moral agama, dan nilai-nilai kapitalis. Pola pembinaan yang bercorak “patron client”, pengusaha, pengrajin mahir, dan orang tua memainkan peran sebagai patron atau pelindung/ pembina bagi para client-nya (anak, bawahan, buruh) dan clientnya mempunyai kewajiban moral untuk mematuhi dan mengabdi kepada patron. Keunikan yang tampak adalah ciri khas pengusaha dan pengrajin Tanjung (Darusman, 1996) “Walaupun rata-rata pendidikan sekolahnya
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
2
hanya tamatan Sekolah Dasar, tetapi mereka memiliki semangat, keuletan, keberanian, dan petualangan dalam usaha ekonomi yang menarik untuk dikaji”. Latar belakang sebagai tukang kredit dan keterampilan merenda bagi wanita sebagai pengisi waktu senggang, telah berubah menjadi para pengusaha bordir yang handal. Perilaku kapitalis yang dibawa dari kota-kota besar bercampur dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai tradisi desa, menjadi tampilan prilaku ekonomi yang menarik. B. Kajian Teoretis 1. Moral ekonomi. Moral adalah ajaran tentang baik dan buruk yang menyangkut perbuatan dan kelakuan yang berdasarkan kepada kodrat manusia. Seseorang individu yang tingkah lakunya yang sesuai dengan harkatnya sebagai manusia disebut baik secara moral. Dan jika sebaliknya disebut buruk, secara moral atau imoral. Secara moral, ekonomi yang lebih layak diterima adalah sistem ekonomi campuran, yaitu ekonomi tradisional, ekonomi pasar atau kepitalis, dan ekonomi totaliter (kolektif). Ada beberapa sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan tergantung pada ideologi yang dianut dan diperjuangkan oleh negaranya. Ekonomi kapitalis berbeda dengan ekonomi kolektif, dan keduanya memiliki moral ekonomi yang tidak sama. Sistem ekonomi kapitalis berakar pada ideologi liberalis yang menjunjung tinggi kebebasan individu, setiap orang diperbolehkan dan didorong untuk berusaha sendiri memenuhi kebutuhannya. Ekonomi pasar bebas ternyata telah membawa pada kemakmuran dalam waktu yang singkat bagi penduduknya terutama negara barat. Namun sistem tersebut tidak
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
3
berarti sistem tanpa kelemahan dampak menimbulkan semakin lebarnya jarak antara kaya dan miskin, yang menjadi kesenggangan sosial. Masyarakat menjadi terpolarisasi ke arah dua kutub kaya dan miskin, menindas dan ditindas, pandai dan bodoh. Ekonomi totaliter yang dipropagandakan oleh ideologi komunis sering disebut ekonomi kolektif. Ekonomi ini melarang adanya kebebasan individu harta milik pribadi dihapus yang ada milik kolektif. Penggunaanya diatur oleh pemerintah sebagai pemegang komando tidak ada pasar bebas karena diatur oleh komando. Kedua sistem ekonomi ini sulit untuk diterima secara normal karena ideologi tersebut mengabaikan prinsip moral. Kurang menghargai kepentingan bersama dan individual. Sebagai jalan keluar dari kelemahan dua sistem tadi, muncul sistem ekonomi campuran karena punya ciri campuran antara ekonomi pasar dan ekonomi komando. Ekonomi ditentukan oleh pasar dan tercampur oleh pemerintah sebagian dikelola dan diawasi oleh swasta. Besar kecilnya swasta dan negeri tergantung pada ideologi dan peran politik suatu negara. Dari segi moral, ekonomi campuran lebih berterima, sebab sistem ini memungkinkan masyarakat berkembang baik individu ataupun sosial. Seseorang dituntut untuk memerhatikan kebutuhan bersama terutama anggota masyarakat yang kurang mampu untuk kebutuhan sendiri. Moral ekonomi dipandang sebagai kesatuan ukuran atau norma yang mengatur pola berpikir dan tindakan berdasarkan ideologi tertentu. Ekonomi yang berdasarkan moral berarti berakar pada budaya dan agama. Budaya bangsa Indonesia dalam kajian moral ekonomi
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
4
Indonesia (Mubyarto 1988;244) bercirikan altruisme lebih menonjol dibandingkan mementingkan diri sendiri, memiliki kemampuan untuk megendalikan diri, mencintai, tenggang rasa dan penuh tepa selira. Manusia ekonomi Indonesia lebih etik dibanding manusia ekonomi barat. 2. Transformasi Budaya Perubahan budaya ialah proses perubahan tentang susunan masyarakat yang ada, meliputi peradaban, kerohanian, kebendaan dan tukar menukar yang berubah menjadi masyarakat yang lain. Malinowski (1961), mengemukakan bahwa perubahan budaya merupakan “evolusi bebas dan proses difusi”. Sebagai evolusi bebas karena didorong oleh faktor-faktor secara serempak, sedangkan proses difusi merupakan hasil dari adanya hubungan dengan budaya lain. Kebudayaan bergerak dalam ritme triganda, “membenarkan, menolak dan mengintegrasikan” Bakker (1992). Integrasi diwujudkan parsial dan suksesi. Ketika satu sektor diintegrasikan secara memuaskan, sektor lain telah masuk taraf labil yang berakhir dengan status survival saja. Oleh karena itu, kebudayaan tidak dapat dipahami secara statis dan “sinkronitis”saja, melainkan juga secara “diakronis”, mengikuti proses perkembangan dalam peredaran zaman. Dalam proses pencampuran kebudayaan, kebudayaan primitif sebagian besar merupakan potensi yang apabila labil akan roboh tanpa daya tahan dibawah tekanan budaya tinggi yang impor. Sebaliknya kebudayaan asli ditantang dan diuji oleh struktur budaya luar. Struktur asli akan berkembang, baik menurut polanya sendiri maupun dengan asimilasi unsur infor tanpa tenggelam dalam proses itu.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
5
Dikemukakan oleh Leur (Bakker 1992) “in any discussion of the pre hindu cultural situation in Indonesia—or at least on java—the term'primitife need to be discarded as suggestiing a comlpetely falacious assumption and saying nothing”. Perubahan
kebudayaan
berlangsung melalui proses-proses asasi,seperti inkulturasi, akulturasi dan modernisasi. Ketika proses ini mempunya hubungan yang timbal balik dan berganti-ganti, dapat merupakan penghalang atau pendorong satu sama lainnya. Inkulturasi adalah sebagai proses latihan dimana seorang diintegrasikan kedalam kebudayaan sejaman dan setempat. Saluran inkulturasi yang utama adalah pendidikan dari mulai kecil didalam keluarga masyarakat, warga negara, dan penduduk dunia untuk ikut serta dalam mendukung dan memajukan kebudayaan. Objeck inkulturasi adalah aspirasi, intuisi, sikap keyakinan, harapan, perasaan dan penilaian yang merupakan komponen kepribadian dasar (basic personality structure). Jadi, yang menjadi obyek dari inkulturasi adalah “kepribadian dasar”. Pengertian akulturasi dikemukakan oleh panitia dari “Social Sicence Research Council” (Bakker, 1992) adalah “Acculturation comprehends those phoenomena which result when group of individuals having different cultures come into continous firs-hand contact, with subsequent chenges in the original cultural patterns of either or both groups”. Hal ini sering diubah dan ditafsirkan, misalkanya”cultural transmission process”, tetapi kemudian disepakati bahwa terdapat dua kebudayaan bertemu muka, terdapat penerimaan dari nilai-nilai kebudayaan lain, nilai baru “diinkorporasi” dalam kebudayaan lama.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
6
Untuk dapat berhasil baik akulturasi perlu dipenuhi dengan beberapa syarat, yaitu: persenyawaan, keseragaman, fungsi dan seleksi. Peroses perubahan meliputi perubahan yang bersipat individu terjadi melalui proses “difusi, adopsi, modernisasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi”. Perubahan pada sistem sosial terjadi melalui proses pembangunan spesialisasi dan integrasi atau adopsi. Dalam kenyataan kedua perubahan ini berhubungan erat. Proses belajar dan proses difusi dalam perubahan sosial pada dasarnya adalah proses pengkomunikasian ide-ide baru. Difusi merupakan proses inovasi yang tersebar kepada anggota di dalam suatu sistem sosial. Unsur-unsur difusi (penyebaran ) meliputi (1) inovasi yang (2) dikomunikasikan melalui saluran tertentu (3)dalam jangka waktu tertentu, kepada (4)anggota sistem sosial. Perubahan terjadi diawali dengan perubahan struktur sosial seperti hilangnya kasta diganti dengan gelar kesarjanaan tetapi tata nilai masih tradisional sehingga keadaan menjadi campuran dalam ekonomi sering disebut “dualisme ekonomi” (Booke 1973) maka akan terjdai “solidaritas sapu lidi” atau “solidaritas vertikal” yang tali pengikatnya lemah, biasanya tergantung kepada orang-orang tertentu yang dianggap kuat atau pemimpin. Hasil penelitian Soejito (1991) “kegagalan koperasi didesa dan kegagalan penghijauan yang dilakukan secara gotong royong adalah disebabkan karena belum ada tradisi team work dan pembagian kerja serta belum ada tradisi saling percaya”. Salah satu nilai yang menjadi penghalang dalam modernisasi adalah tidak adanya nilai-nilai yang mengatur kerjasama horizontal. Nilai-nilai dan norma-norma ditimbulkan didalam keluarga, semenjak bayi dilahirkan. Ada dua macam nilai, yaitu nilai-nilai dasar
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
7
yang berhubungan erat dengan bakat, dan nilai nilai sosial yang datang dari pergaulan yang datang dari masyarakat. Nilai dasar dipupuk di dalam keluarga sampai seorang anak sudah siap untuk bergaul
di
dalam
masyarakat.
Keluarga
merupakan
pertahannan bagi pertumbuhan jiwa anak.
benteng
Cinta kasih dan
kewibawaan orang tua amat penting untuk untuk pertumbuhan jiwa anak dan pembentukan nilai-nilai dasar. Jepang tumbuh sebagai negara industri modern. Jepang berhasil mempertahankan
niali-nilai tradisional yang
digunakan untuk
menghadapi masalah-masalah industri, seperti kesetiaan buruh kepada majikan, kewajiban majikan kepada buruh merupakan hal penting bagi pengikat kedua pihak, pengunduran diri seorang menteri karena keasalahan pegawainya dan resiko bunuh diri demi kesetiaan kepada kaisar pada perang dunia kedua. Semua itu, karena nilai dasarnya, yaitu jiwa “bushido” atau jiwa kesatria bangsa Jepang.
3. Beberapa Penelitian Tentang Transformasi Moral Ekonomi Penelitian Weber (1958), mengenai transformasi struktural dan lintasan struktural agama dengan ekonomi, bahwa di dunia Eropa pemimpin-pemimpin perusahan dan para pemilik modal, buruh terampil (akhli), dan karyawan perusahaan modern, kebanyakan pemeluk agama protestan. Selanjutnya, menurut weber bahwa perkembangan ekonomi terutama dengan munculnya semangat kapitalisme modern didunia Barat dipandang sebagai suatu yang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil kumulatif kekuatan sosial, politik dan ekonomi serta agama yang berakar pada sejarah eropa.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
8
Weber
menempatkan
agama
protestan
sebagai
faktor
yang
determinan. Peneliti lain tentang Islam dengan prilaku ekonomi, khususnya di Indonesia. Kegiatan agama Islam yang menonjol di Indonesia adalah serikat Islam yang bertujuan meningkatkan kedudukan para anggotanya dengan meningkatkan semangat dagang. Dikemukakan oleh Gani (1985) bahwa “munculnya kelas kapitalis kecil di pulau jawa bersama dengan munculnya industri-industri kecil yang dimiliki oleh orangorang muslim”. Menurut Van Leur (1955) agama Islam diperkenalkan di Asia Tenggara melalui pedagang, yang pada awalnya tahun 674 Masehi ditemukan perkampungan Arab di Sumatra Barat. Kemudian pada abad ke-13 diketahui adanya kerajaan muslim di Sumatra Utara. Kapitalisme dalam Islam nampak hampir sama dengan etika protestan terdapat nilai-nilai kejujuran dalam perbuatan kerja keras, hemat, kebebasan individual, pembagian waktu, kalkulasi rasional, konsep ikhtiar dan konsep panggilannya atau berkat Tuhan. Perbedaanya (Sudrajat, 1994) terletak pada, “etika Islam tidak mengajarkan tentang
kekayaan sebagai
kemungkinan pertanda
penyelamat”. Islam tidak menolak gagasan tentang takdir seperti yang dipersepsikan oleh protestan tidak ada persepsi tentang siapa yang akan terpilih masuk surga dan siapa yang akan terkutuk. Penelitian tentang transformasi nilai agama di Minangkabau, Yogya, dan Kudus pada awalnya penduduk daerah tersebut adalah para petani
yang
percaya
pada
kepercayaan
kekuatan
gaib
yang
mendampingi dan memelihara siklus kehidupan (animis) dengan menghargai pawang dan benda-benda keramat. Kemudian datang agama Islam dan beradaptasi melalui tambahan ritus-ritus keagamaan yang
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
9
telah ada sebelumnya. Menurut Tsuyoshi Kato (1986) bahwa “keluarga raja di Minangkabau walaupun sudah masuk Islam tetapi tidak meninggalkan pawing dan benda benda keramat untuk meningkatkan kekuatan bathin atau kesaktian mereka”. Penelitian Peacock di yogyakarta (Sudrajat,1994) ada perbedaan kehidupan antara orang jawa yang sinkretik dengan golongan reformis. Ideal orang jawa yang sinkretik adalah menjadi pegawai negeri, golongan reformis memperlihatkan kecenderungan untuk “aktif terlibat dalam kehidupan bisnis dan wiraswasta lainnya”. Suatu kenyataan di Kudus tengah (Castles, 1982) menyimpulkan bahwa “aktifitas para santri mempunyai hubungan yang erat dengan aktivitas perdagangan, terutama pada perkembangan industri rokok”. Selanjutnya Castle menjelaskan karakteristik yang menarik dari mereka adalah para pengusaha yang memiliki sikap yang sederhana, sanggup kerja keras, usahawan yang cekatan dan terutama sebagai seperti santri-santri yang saleh. Mereka adalah kaum reformis dari Muhammadiyah.
Niel
(1984)
berkesimpulan
bahwa
“diantara
oraganisasi yang paling mempengaruhi perkembangan elite selama jangka waktu menjelang revolusi Indonesia adalah Muhamadiyah”.
C. PEMBAHASAN 1. Transformasi Moral Ekonomi Pengrajin Akulturasi adalah proses pencampuran kebudayaan yang berbeda antara kebudayaan yang ada dengan kebudayaan dari luar. Akulturasi yang terjadi di Desa Tanjung, khususnya tata nilai yang berhubungan dengan perilaku ekonomi, tampak ada tiga ciri nilai yang
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
10
berlaku di Desa Tanjung, yaitu nilai tradisional, nilai keagamaan, dan nilai kapitalisme. Pada awalnya nilai yang berlaku adalah nilai tradisional, yang tumbuh dan berkembang serta diyakini kebenarannya oleh masyarakat pertanian. Ketika terjadi perubahan mata pencaharian dari pertanian ke industri kerajinan, maka sebagai tata nilai mengalami perubahan dan penyesuaian secara fungsional. Demikian pula perubahan keyakinan hidup beragama dari Hindu ke Islam, tata nilai mengalami perubahan dan penyesuaian. Ada beberapa cara dalam proses akulturasi nilai, diantaranya: a. Persenyawaan (affinity) Dalam nilai-nilai usaha ekonomi terjadi persenyawaan (affinity). Nilai-nilai tradisional adalah nilai yang pertama dianut. Munculnya tata nilai yang baru dari keyakinan hidup beragama dan nilai kapitalisme yang dibawa dari luar sebagai akibat terbukanya hubungan antara desa dengan kota, sehingga perilaku ekonomi banyak berorientasi kekota. Desa hanya memiliki keterampilan dan tenaga, sementara bahan baku dan pemasaran berasal dari kota. Lalu lintas perdagangan dari kota ke desa dan kembali kekota; bahkan perilaku ekonomi banyak bergantung pada permintaan pasar yang datang dari kota. Nilai-nilai yang tidak memiliki perubahan, disebabkan memiliki unsur kesamaan, sehingga terjadi persenyawaan, di antaranya; 1) Kerja keras, rajin, ulet, dan hemat
Dalam nilai tradisional terdapat konsep “wajib ikhtiar” dan dalam nilai agama, terdapat konsep “ibadah”; kerja merupakan panggilan untuk beribadah; segala yang dikerjakan harus mendapat
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
11
ridha Allah dan bekerja untuk meningkatkan kehidupan beragama. Perilaku orang Tanjung sudah dari dahulu para orang tua menanamkan agar hidup; kerja keras, rajin, tekun, ulet, dan berhemat. Tampilan kemajuan orang Tanjung merupakan buah dari keyakinan akan hidup yang kreatif, banyak inisiatif, kerja keras, ulet, tekun, dan perilaku hemat. Pengakuan tradisional bahwa hidup harus kerja keras “lamun hayang nyapek kudu ngopek” (kalau ingin makan harus kerja), diperkuat oleh keyakinan agama “kewajiba untuk bekerja” serta diperkuat lagi tatanan perilaku kapitalis (etika potestan) “bekerja keras merupakan keterpilihan Tuhan, bermalas-malasan adalah perbuatan berdosa”. Nilai tersebut semakin kuat, karena terjadi proses kesamaan yang saling menguatkan. Perilaku rajin bekerja dan rajin beribadah, bekerja dalam rangka ibadah, adalah ciri keuletan dan kesalehan masyarakat Tanjung.
2) Konsep pembagian waktu
Dalam budaya tradisional terdapat konsep pembagian waktu “miindung kawaktu mibapa ka jaman” (tergantung pada waktu dan zaman). Dalam Islam terdapat konsep pembagian waktu (waktu untuk kerja dan waktu untuk beribadah). Dalam etika kapitalis, penggunaan waktu yang efektif (waktu adalah uang); pekerjaan sekarang harus dikerjakan sekarag, besok mengerjakan pekerjaan lain; jangan menunda pekerjaan. Tedapat sedikit perbedaan dalam penggunaan waktu, yaitu dalam intensitas penggunaan waktu kerja.
b. Syarat fungsi
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
12
Unsur-unsur asing yang diambil untuk kepentingan gengsi dan kementerengan bersifat sementara dan kurang fungsional, ternyata tidak bisa bertahan lama, seperti; 1) Penggunaan modal bank Adanya anggapan kapitalis bahwa “pengusaha sejati adalah pengusaha yang menggunakan modal bank, uang sendiri sebaiknya dipakai sendiri”. Timbul kompetitif dalam memperoleh kepercayaan bank agar memperoleh kredit besar dari bank. Kepercayaan akan timbul, apabila terdapat jaminan rumah yang bagus dengan mobil yang bagus dan dianggap sebagai ciri kebonafidan seorang pengusaha. Anggapan tersebut ternyata tidak bertahan lama, karena dianggap kurang fungsional dalam menunjang usaha (permodalan) dan berakibat terperosok kedalam pola konsumsi yang besar dan kredit macet serta lemahnya para pengusaha. Nilai-nilai tersebut ternyata tidak melekat lama, bahkan ditolak, kemudian berusaha diserasikan. Nilai yang muncul sekarang adalah “berusaha untuk tidak meminjam kredit bank”", bank digunakan untuk pemilikan nomor rekening, sebagai jalan bagi lalu lintas pembayaran. 2) Ambisi kapitalis untuk memproduksi barang secara besarbesaran. Sebagai akibat dari penambahan modal bank dan nilai ambisi kapitalis untuk memperbanyak produksi, maka timbul persaingan ketat dalam pemasaran yang menyeret ke dalam kopetitif (persaingan) yang kurang sehat antar sesama pengusaha setempat, juga berakibat terjadinya eksploitasi tenaga buruh dan terjadinya over produksi, karena
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
13
permintaan yang tidak seimbang dengan penawaran hal itu berakibat terhadap lemahnya para pengusaha karena nilai produksi menjadi murah dan terjadi kelesuan pasar. Nilai tersebut telah berubah menjadi “keseimbangan antara permintaan dan penawaran”. Memperbesar modal dilakukan apabila terjadi permintaan produksi yang banyak, dengan batasbatas kemampuan dan pertimbangan resiko.
c. Syarat seleksi nilai Terjadi
proses
seleksi
dalam
pencampuran
tata
nilai.
Pengambilan nilai-nilai baru yang dianggap relevan, pengukuhan nilai-nilai lama, pengguguran nilai-nilai lama yang dianggap ketinggalan, dan terciptanya nilai-nilai baru yang merupakan perpaduan, seperti; 1) Usaha ulah make taktak tapi make otak (berusaha jangan
menggunakan tenaga, tetapi gunakan pikiran) Pengambilan nilai-nilai baru yang dianggap relevan, seperti “usaha ulah make taktak tapi kudu make otak”; perilakunya terlihat dari adanya kebutuhan akan informasi baru, selalu memikirkan selera konsumen, melek ilmu pengetahuan, kreatif dalam membuat desain, analisis kemampuan pasar, menciptakan pangsa pasar, dsb. Demikian pula penggunaan telepon, jasa angkutan, jasa pos dan giro, titipan kilat, jasa perbankan, dsb. 2) Pengukuhan nilai-nilai lama yang teruji, seperti;
pengembangan kepercayaan dengan mitra produksi dan
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
14
pemasaran, hubungan kekeluargaan dengan para pekerja (buruh), “ulah ngamomore kapercayaan sabab kapercayaan teh kahormatan diri”. 3) Penyesuaian nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru, seperti;
“ulah gaya memeh aya” dirubah menjadi “ulah gaya memeh boga”; buruh rumah dirubah menjadi dua kategori yaitu buruh tetap dan buruh rumah, meningkatnya penghargaan pada jenjang pendidikan formal bagi keluarga pengusaha. 4) Penciptaan nilai-nilai baru, seperti; (a) Berusaha untuk tidak meminjam modal perbankan (b) Melakukan diversifikasi usaha untuk aneka ragam pemesanan
dan konsumen (tidak bersandar disatu pagar) (c) Melakukan diversifikasi dalam produksi dan pemasaran
Inkulturasi moral ekonomi merupakan proses belajar, yaitu seseorang diintegrasikan ke dalam tatanan moral ekonomi yang dianut oleh masyarakat pada jamannya. Saluran inkilturasi yang utama adalah keluarga, masyarakat, sekolah dan lapangan pekerjaan. Pada masyarakat Desa Tanjung proses inkulturasi moral ekonomi dilakukan melalui lembaga pendidikan keterampilan, pendidikan keluarga sebagai unit usaha, pendidikan pada unit pengusaha dan kelompok masyarakat. Difusi tidak lepas dari adanya inovasi, dan inovasi tidak lepas dari adanya “invention” atau “re-invention”. Mesin bordir yang sering disebut “mesin zuki” merupakan barang baru alat produksi tahun 1968. Sebelumnya, membordir dengan menggunakan mesin jahit kecil yang
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
15
lambat dengan jumlah produksi yang sedikit, setelah adanya mesin besar zuki, produktivitas menjadi lebih banyak. Penggunaan alat mesin zuki yang dapat melipatgandakan hasil produksi dan melipatgandakan upah buruh,
telah
mendorong
orang-orang
untuk
segera
belajar
keterampilan bordir dengan menggunakan mesin zuki. Pada umumnya orang percaya atas anggapan bahwa “kalau ingin maju harus mencari pengalaman dahulu ke kota besar”, seperti pengalaman para pendahulunya, H. Rosyad, H. Zarkasyie, H. Sarbani, dan H. Sarhasih yang pulang mengembara dari Jakarta, kemudian mendirikan perusahaan border di Tanjung. Di Jakarta, mereka menemukan pangsa pasar yang meminta produksi bordiran. Mereka mengerjakannya secara “makloon”. Cara tersebut telah diikuti oleh beberapa pemuda dengan bekal keterampilan border, pergi Jakarta untuk mencari pekerjaan kepada pengusaha konfeksi border. Setelah memperoleh pengalaman, dan memperoleh kepercayaan tentang kualitas pekerjaan, ia pulang ke Tanjumg untuk menjadsi buruh rumah dari majikannya di Jakarta, dengan cara “ makloon”. Sampai sekarang pengalaman para pendahulunya menjadi etos bagi para pengusaha pemula, “ kalau ingin berusaha harus mencari pangsa pasar terlebih dahulu, ke kota-kota besar”, mencari pelanggan, pemasok bahan baku, penerima produksi dalam sekala besar. Difusi terjadi bukan hanya keterampilan dalam menggunakan mesimn baru melainkan juga pengalaman orang-orang yang dipandang sukses. Dalam perubahan yang terus menerus, proses difusi meliputi kain baru, model baru, motif baru, pemasaran baru, strategi baru, tat nilai baru dan sebagainya.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
16
Para pengusaha selalu kontak dengan kota-kota besar dan selalu harus dengan pembaharuan, karena merupakan pemasaran potensial. Setiap hal-hal baru yang relevamn selalu berdampak pada keuntungan besar. Sebaliknya apabila menatap dalam cara cara lama, keuntungan akan semakin menipis. Suatu rencana (model) pakaina bordiran, akan bertahan sekitar 2-3 tahun, pada tahun-tahun pertama keuntungan akan besar dan tahun berikutnya akan ketinggalan oleh munculnya rancangan baru. Inovasi dapat berasal dari kota-kota besar yang dibawa oleh para pengusaha dan pengrajin kemudian menyebar di dalam keluarga, melalui anggota keluarga, di dalam pekerjaan melalui buruh pekerja, dan di dalam masyarakat melalui para pengrajin. Inovasi dapat berasal dari desa yang dibawa oleh para pengusaha desa ke kota, kemudian kembali menyebar di desa, karena terjadi proses peniruan (imitasi) oleh pengusaha desa lainnya. Seorang pelopor inovator dalam hal model, gambar, dan motif di Desa Tanjung, yaitu Bapak H. Rosyad, yang kreativitasnya sering membuat gebrakan-gebrakan baru yang menjadi ciri khas bordiran Tanjung. Pengalaman satu atau beberapa orang pengusaha atau pedagang yang berhasil dan yang mengalami kegagalan, sering dijadikan dasar bagi penentuan tata nilai yang disepakati bersama oleh para pengusaha dan pengrajin. Salah satu contoh yaitu, para pengusaha muda yang terlalu berambisi untuk menjadi pengusaha besar dengan cara memproduksi
barang
secara
besar-besaran,
tetapi
kurang
mempertimbangkan pemasaran dan cara-cara pembayaran. Hal tersebut berakibat terjadinya pembayaran dengan cek mundur dan
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
17
bahkan cek kosong dan harga produksi menjadi rendah, yang pada gilirannya merugikan semua pengusaha desa. Sebagai jalan keluarnya “melunakkan ketergantungan dan mengalihkan pemasaran dengan merintis pemasaran baru, serta menolak sistem pembayaran dengan cek tetapi dengan uang kontan”. Nilai “ melakukan diversifikasi usaha” merupakan nilai yang disepakati
dan
diyakini
bersama,
untuk
menghilangkan
ketergantungan kepada para pemilik modal besar di kota besar. Dengan cara merintis produksi ekspor, produksi untuk pedagang kecil, dan produksi untuk dijual sendiri melalui “show room” di rumah masing-masing, toko di beberapa tempat, dan produksi untuk dijual melalui para pengedar oleh anggota keluarga, melalui cara “komisioner dan cengkaw”. Perusahaan konfeksi border biasanya merupakan perusahaan keluargaan; terdapat pembagian kerja antara suami dan istri. Suami adalah seorang penjual produksi yang sering keluar rumah, istri seorang produsen, yang berkewajiban untuk merancang model, menggambar motif, mengontrol produksi, mengawasi pekerja, mengelola keuangan, dan sebagainya, yaitu semua pekerjaan yang dilakukan dirumah. Apabila hal ini tidak terjalin dengan baik, tidak mungkin perusahaan dapat dikelola secara baik. Orang luar yang tidak berpengalaman sejak kecil, akan sulit untuk berperan dan memikul tugas yang berat yang membutuhkan pengalaman sebelumnya. Nilai tersebut walaupun tidak menyebar melalui percakapan, diskusi atau kontak verbal, namun menyebar melalui perasaan masyarakat dan logika masyarakat, yang diyakini dalam hati masing-masing,
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
18
kemudian diindoktrinasikan kepada anak-anaknya dengan contoh kegagalan yang ada di desanya. 2. Peran Pendidikan Non Formal Dalam Transformasi Moral Ekonomi Pengjarin Kegiatan PNF selalu terklait erat dengan perubahan social. PNF dapat mempengaruhi terjadinya perubahan social. Ketika masyarakat Tanjung masih tradisional dengan mata pemncaharian pertanian, PNF yang berlangsung bersifat indigenous yang berupa pendidikan keagamaan
yang
diberikan
di
surau
dan
pendidikan
mata
pencahariaan yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat. Keluarga mempunyai peran besar sebagai lembaga pendidikan keterampilan dan moral ekonomi petani bagi turunanya. Ketika datang keterampilan yang baru yang bersyaratkan ekonomi yang lebih menguntungkan, peranan keluarga sebagai lembaga pendidikan keterampilan menjadi hilang, karena pendidikan dilakukan oleh unit perusahaan dan lembaga pendidikan yang diformalkan yaitu Lembaga Industri Kecil atau LIK dan CV Ciwulan. Pada saat itu pendidikan berperan sebagai komoditas ekonomi. Setelah hampir semua keluarga memiliki keterampilan kerajinan bahkan menjadi unit usaha, maka lembaga pendidikan yang diformalkan dengan sendirinya tidak berfungsi, peranan keluarga sebagai lembaga pendidikan keterampilan dan pendidikan moral ekonomi kembali berfungsi. Ketika hampir semua keluarga sudah berperan unit usaha dan semua anggota sudah habis diserap sebagai tenaga kerja, maka mulai terasa kebutuhan akan tenaga kerja dari luar komunitas. Untuk meningkatkan sekala usaha para pengusaha mendidik calon tenaga
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
19
kerja dari luar desa. Semua warga belajar pada unit pengusaha warga luar desa yang datang untuk mencari pekerjaan. Dengan demikian maka pendidikan keterampilan sudah mulai melintas keluar desa, yang kemungkinan akan melahirkan para pengusaha baru diluar desa dan dengan sendirinya pendidikan keterampilan bordir akan menyebar keluar desa Tanjung. Satuan pendidikan luar sekolah yang berperan dalam dalm mentransformasikan moral ekonomi, baik yang dilembagakan maupun tidak dilembagakan meliputi berbagai satuan, yaitu (1) satuan yang dilembagakan terdiri atas lingkungan industri kecil (LIK) daln lembaga pendidikan keterampilan CV Ciwulan; (2) satuan yang tidak dilembagakan terdiri atas keluarga sebagai unit usaha, unit pengusaha, kelompok mpengajian, kelompok siskamling, kelompok peamasaran Jakarta, dan kelompok binaan desa. D. Kesimpulan Keterbatasan pada pendidikan persekolahan yang sering ketinggalan dapat dilengkapi oleh Pendidikan Non Formal yang tidak terbatas oleh jenjang dan waktu belajar. PNF memiliki sifat yang fleksibel, dapat dilaksanakan dimana saja, kapan saja dan oleh siapa saja sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan belajar masyarakat yang mendesa. PNF sebagai proses pemberdayaan masyarakat “empowering process”
diartikan sebagai perolehan kemampuan seseorang,
masyarakat, bangsa
untuk memahami dan mengendalikan keadaan
social, ekonomi dan politik untuk meningkatkan derajat kehidupan. Pengembangan ekonomi pedesaan melalui pengembangan industri kerajinan yang berdasakan nilai nilai budaya setempat; seperti
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
20
kerja sama antar sesama pengrajin (hubungan horizontal),kerjasama antara buruh dengan majikan
dalam jalinan “patron – client”
(hubungan vertical) adalah sesuai dengan prinsip-prinsip PNF sebagai proses pemberdayaan masyarakat. Transformasi budaya adalah proses alih bentuk dari keadaan lama kepada keadaan baru yang disebabkan oleh banyak factor. Trasformasi moral ekonomi dimaksudkan sebagai proses perubahan dari keadaan moral ekonomi tradisional pertanian kepada moral ekonomi kerajinan melalui proses belajar masyarakat atau pendidikan non formal. Pendidikan telah melonggarkan kepercayaan terhadap nilai nilai lama, tuntutan untuk bertahan hidup telah memaksa untuk membentuk nilai nilai baru yang dipandang relevan. Secara ekonomi lebih menekan pada pementukan nilai nilai “efficient” perhitungan untung rugi. Transformasi moral ekonomi terjadi karena ada proses akulturasi, inkulturasi dan difusi. Akulturasi terjadi karena adanya pencampuran antara nilai tradisional, nilai agama dan kapitalisme. Craftsmen’s Moral Economic Transformation through nonformal Education By: Prof. Dr. Yus Darusman, M.Si. A. Background Industrialization and modernization by capitalism value within, according to some experts can break rural economic order. The changing of livelihood from agriculture to household industry by implementing both national and international marketing pattern brings new influence. It is formal economic practice or capitalism. When people forget its values, it can destroy rural economic order by
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
21
entrepreneurs and owners from the city. So it ‘s possible to consider the rural entrepreneurs and craftsmen as makloon, brokers, and workers who don’t have the authority to determine the price of its own production (alienation analysis). But unfortunately the villagers have a tough rural institution by holding deeply religious values and tradition. It causes adaptation and aculturation that possibly have more domination in combination. Because of traditional life of craftsmen, such as Asmat carft, Bali carving, Jepara wood craftsmen, and Tanjung embroidery have culture core which ensure their sustainability. PNF as a way in national education, including family unit, study groups, courses, and other similar education unit is aimed to serve people to grow and develop as early as possible along their life to increase the dignity and quality of life. PNF has an important role in distributing and institutionalizing economy on craftsmen’s society in various business unit like family business, craftsmen group, marketing group, rural development group, skill training group, and so on. Tanjung people are outstanding as economic adventurous. They interact with people in big city, especially in production marketing relationship. 5 of 234 rural entrepreneurs are exporters, and 2 of them have already got Upakarti certificate from President Soeharto. They are Mr. H. Jarkasyie and H. Turmudi. Every entrepreneur is working unit that has 30 employers in average. Workers recruitment is done and guided by entrepreneurs. So thatsmall entrepreneur will later be partnership that found in some villages in Tasikmlaya.Rural people usually act as entrepreneurs, traders, and skilled craftsmen.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
22
People’s economic attitude seems to be guided on moral arrangement which is combination among traditional, moral, and capitalism values. Patron client supervising pattern, entrepreneurs, skilled craftsmen, and olders act as patron or protector or supervisor for their clients (children, employers, laborers). The clients have moral obligation to obey and serve their patron. This uniqueness is the special characteristic of Tanjung entrepreneurs and craftsmen (Darusman, 1996) “Although the average of their education are only elementary school graduation, they have passion, tenacity, courage, and adventure in economic business which is interesting to observe. B. THEORITICAL STUDY 1. Economic Moral Moral is a theory about good and bad. It is related to the deed and behavior of human nature. A person who does something appropriate with his dignity is morally called good. In contrary, it is morally and immorally called bad. The more accepted economy morally is combination economic system. It is traditional economy, market or capitalist economy, and totalitarian economy (collective). There are several economic system adopted by a country will depend on its ideology. Capitalist economy is different from collective economy, and both of them have the same moral economy. Capitalist economic system is rooted from liberalist ideology with high individual freedom. It means everyone is allowed and supported to strive himself to fulfill the needs. Opened economic market actually has brought prosperity in short term for the citizen especially the western countries. But it doens’t mean to have no weakness in causing
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
23
the wider distance between the rich and the poor.It’s been social imbalance. The people are polarized into two poles; rich and poor, oppress or being oppressed, and clever and fool. Propagated totalitarian economy by communist ideology is often called collective economy. This prohibits individual freedom. Private belongings are removed. There is only collective possession. The usage is controlled by government as the holder of command. There is no opened market, because it is governed by the command. Both of eonomic systems are difficult to be accepted normally. Because that ideology ignores moral principles. The lack of respecting mutual and individual importance.the solution of both systems’ lack is mixed economic system. Economy id decided by market and blended by government. Some are organized and supervised by the private sector. Being big or small depends on ideology and political rule of a country. Mixed economy is morally more acceptable. Because people possibly grow well either individually or socially. Someone is supposed to pay attention on mutual needs, especially those who are hard to fill their needs. Economic moral is looked as size unity or norms that manage mindset and action based on certain ideology. Moral economy is rooted from culture and religion. Indonesian culture in moral economic discussion of Indonesia (Mubyarto 1988; 244) is caracterized by altruism. It is dependent, self controller, lover, tolerant, and respect each other. Human economic of Indonesia is more ethic than human economic of western. 2. Cultural Transformation
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
24
Cultural changing is a different process about the existance of people
order,
including
civilization,
spiritual,
material,
and
exchanging that become others. Malinowsli (1961) stated that cultural changing is “free evolution and difusion process”. As a free evolution which is supported by factors together. Besides difusion process is the result of the relationship with other cultures. Culture moves in triganda rhythm, verifying, ignoring, and integrating” Bakker (1992). Integration is proved partially and succession. When a sector is integrated well, other enters unstable level that ended only on survival status. So that, culture can not be understood only static and synchronous, but also diachronic, following development process in circulation era. In cultural combination process, most of the primitive culture is a potency which will be broken if it is unstable without resistance under imported high cultural pressure. In contrary, native culture is chalenged and examined by outer cultural structure. Native structure will develop, either based on its pattern or by assimilating unsure without being drown in that process. Stated by Leur (Bakker 1992) “in any discussion of the pre hindu cultural situation in Indonesia – or at leat on Java – the term primitive need to be discarded as suggesting a completely falacious assumption and saying nothing”. Cultural changing is going through human process, such as inculturation, acculturation, and modernization. When this process is iterconnected, it can be as barrier or supporter one another. Inculturation is a training process at which someone is integrated into the local culture. The main inculturation line is early education in
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
25
family, society, citizen, and people around the world to support and develop culture. Inculturation object is aspiration, intuition, attitude, beliefs, expectations, feelings, and assessment which are basic personality structure. So the object of this inculturation is basic personality. The definition of acculturation is stated by the committee of “social science research council” (Baker, 1992) is “acculturation comprehends those phenomena which result when group of individuals having different cultures come into continuous patterns of either or both groups”. It is often changed and defined, for example “cultural transmission process”, but later is agreed that there are two met cultures, the acceptance from other cultural values, new “incorpoated” value in old culture. To get good result, acculturation is needed to complete by some requirements; compounds, uiformity, function, and selesction. Changing process including individual happends through difusion process,
adoption,
modernization,
acculturation,
studying,
or
socialization”. Changing on social system happends through specialization building and integration or adoption. The fact, both of the changes is closely related. Learning process and difusion process in social changing basically is communication process of new ideas. Difusion is innovation process that spread to member in a social system. Difusion unsures (distribution) consist of (1) innovation that is (2) communicated through certain line (3) in certain time, to (4) social system member. Changing is started by social structure changing like the disappear of caste. It is replaced by scholar degree but the value order is still
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
26
traditional, so condition has been combination in economy is often called “dualism of economy” (Booke 1973). So vertical solidarity whose bond is weak, usually depends on certain people is considered as the tough or leader. The result of Soejito’s research (1991) “ the failure of rural cooperation and reforestation which is done by mutual cooperation is caused by the absence of teamwork tradition, job distribution, and trust”. One of the obstacle in modernization is there is no such values to set horizontal cooperation. Values and norms are appeared in family, since a baby’s birth. There are two values; basic value which is close with talent, and social value that comes from association in community. The basic value is fostered in family till a child is able to get along in society. Family is a fortificationin growing children’s soul. Parents’ love and authority is very essential for the growing of their soul and the form of basic values. Japan grew as modern industrial country. It keep succesfully traditional values to face industrial problems, such as the loyality of employee to the employer, the responsibility of employers to employees is very important for binding both parts, the resignation of a ministry because of his employees’ fault, and the risk of suicide for the sake of the loyality to emperor in the 2nd war. The basic values of all are soul “bushido” or the soul of Japanese warrior. 3. Some Researches about Economic Moral Transfrmation The research of Weber (1958), bout structural transformation and crossed religious structural with economy, that the leaders of company and the owners of capital in Europe, skilled labor, and employess of
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
27
modern enterprise are mostly Protestant. Weber then said that economic development in western especially by the existance of modern capitalism is seen as dependent thing. It means that it is the cumulative result of social, politic, economic, and religion strength that were rooted in Europe history. Weber put protestant as deteminant factor. Other researcher about Islam by economic ehaviour, especially in Indonesia. The outsatanding Islamic activities in Indoensia are Islamic Union (Serikat Islam) that aims to improve the position of its members by growing the passion of trading. Gani (1985) stated that “the appearance of small capitalist class in Java went along the existance of small industries that belongs to moslems”. According to Van Leur (1955) Islam was introduced in south east Asian through the traders. At the beginning of 674 AD Arab village was found in west Sumatra. Then in 13th century islamic kingdom was known in north Sumatera. Capitalism in islam is similar with Protestant’ ethics. There are the values of honesty in working hard, saving, individual freedom, timesharing, rational calculation, the concept of endeavor, and the concept of vocation or God’s blessing. The difference (Sudrajat, 1994) is at “Islamic ethics don’t teach abouth the wealth as a sign of savor”. Islam doesn’t ignore the notion about destiny same as Protestant perceived by. There in perception aboout who will be elected to go to heaven and who will be dammed. Research on religious values transformation in Minangkaau, Yogya, and Kudus showed that resident were initially farmers who believed in the invisible power that accompany and protect the cycle
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
28
of life (animist) by respecting the handler and sacred objects. Then Islam came, adapted through the previous religious rituals. According to Tsuyoshi Kato (1986) “The royal family in Minangkabau, although they had been moslem, but they didn’t leave the handler and sacred objects to increase the spiritual power or magic power”. The research of Peacock in Yogyakarta (Sudrajat, 1994) there is a difference of life between syncretic Javanese and reformist faction. The ideal syncretic Javanese is becoming civil sevant, a reformist showed the tendency to “they are actively involved in business life and other self-employed”. A reality in middle Kudus (Castles, 1982) concluded that “students’ activities have close relationship with trading activity, especially in the development of tobacco industry”. Furthermore, Castle explained that their interesting characteristic are entrepreneurs who are humble, hard worker, deft businessman, and foremost such a pious islamic students. They are reformist group of Muhammadiyah. Niel (1984) concluded that “among the most influencing organization to the improvement of elite over the period ahead of Indonesia revolution is Muhammadiyah”. C. DISCUSSION 1. Craftsmen’s Moral Economic Transformation Acculturation is the process of cultural combination that is different among the other cultures. The acculturation of Tanjung village, especially the values that relate with economic attitude, have 3 values characteristics. Those are traditional, religious, and capitalism values.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
29
At first the prevailing value is traditional which grows, develops, and believed as the truth of agricultural community. While the changes happened, the livelihood changed from agriculture to handicraft industry as well as the changes of values set and functional adaptation.The belief changed, hinduism to Islam. The values changed and adjusted. There are several ways in the process of acculturation values, including: a. Affinity Affinity happened in the values of economic activities. Traditional was the first adopted. The appearence of new religious belief and capitalism values whics were brought from outside as the result of opened relationship between village and city. So the economic behaviour are mostly city oriented. Village has only skill and power, while raw materials and marketing come from the city. Trading tracks are from citi to village and go back to city, even economic attitude depends more on request that come from city. Values that don’t have a change is caused by the siilar component. So the affinity is happened, including: 1) Working hard, diligent, tenacious, and saving In traditional values, there is a concept of “endeavour is a must” and in the religious value , there is a concept of “worship”; working is a call to worship; everything done should get Allah’s pleasure and working is to increase religious life. The attitude of Tanjung had been instilled from thehir ancestors to live; working hard, diligent, tenacious, and saving. Traditional recognition stated that working hard is a
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
30
must in running life “lamun hayang nyapek kudu ngopek” (if you want to it, you have to work). It is reinforced by religious belief that “working is a must” and strengthened by capitalism behaviour (Protestant ethics) “working hard is God’s choice, laziness is sinful deeds”. Those values are stronger, due to the similarity that mutually reinforce. Working and worshipping hard which means working for the sake of worshipping is the caracteristic of tenacious and piety of Tanjung. 2) The concept of timesharing In traditional culture, there is a concept of timesharing. It is “milindung ka waktu mibapa ka jaman” (depend on time and period). In islam, there is a concept of timesharing (the time for working and worshipping). In captalism ethics, the effective usage of time (time is money) means the recent work should finish now,tomorrow will do others; don’t postpone a work. There is a bit difference in timesharing. It is in the quantity of time for working. b. Requisite of Functions The strange elements are taken for the sake of prestige and magnificence. Those are temporary and less functional. In fact they can’t last long, like: 1) The Usage of Bank’s Capital Capitalist believed that “true enterpreneurs are those who use bank’s capital, theirs are used for themselves”. The competitive in gaining bank’s confidence arise to get high loans from the bank. Trust will arise if there is a guarantee of
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
31
nice house and fabulous car. Those are considered as the sign of someone’s prosperity. But unfortunately it did not last long, because it is considered to be less funtional in supporting a business (capital). It causes a big comsumptive, credit crunch, and weak employers. Those values didn’t last long, even ignored, and tried harmonized. The value that appears now is “trying not to borrow bank loans”. Bank is used for possessing account, as a way of payments. 2) The Ambition to Produce Goods on Large Scale As the impact of bank’s capital increase and capitalist’s ambition value to multiply the production, fierce competition occured in marketing that dragged into unfair competition among the entrepreneurs. It also causes the exploitation of labors and over production. Because the demands are not appropriate with the offer. It affects the weakness of entrepreneurs. Because the production value becomes cheap and sluggishness of market occured. Those values became “the balance between demand and offer”. Increasing the capital is done if it has many production demands, with the limitation of ability and risk consideration. c. Requisite of Grades Selection Selection process occurs in mixing values. Intake of new values are considered relevant. The affirmation and shedding of old values that are considered out of date, and the creation of new values are combination, like:
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
32
1) Usaha ulah make taktak tapi make otak (try not to force the power, but use the mind) Intake of new values that are considered relevant, such as “usaha ulah make taktak tapi kudu make otak”;the attitude is seen from the demand of new information, always thinking consumer taste, science literacy, creative in making design, analysis of market ability, create market share, and so on. Similarly, the use of telephones, transport services, postal services, express courier, banking services, etc. 2) Adoption of the examined old values, such as;the trust improvement of production partners and marketing, kinship with the workers, “ulah ngamomore kapercayaan sabab kapercayaan teh kahormatan diri”. 3) Adjustment of the old values with the new one, such as; “ulah gaye memeh aya” changed into “ulah gaya memeh boga”; home workers are clasified into two categories, they are permanent and home workers, the increasing of appreciation on formal education level for entrepreneurs’ family. 4) The creation of new values, like: (a) Trying not to borrow bank’s capital (b)Diversifying business to variety of orders and consumers (do not lean on one fence) (c) Diversifying in producing and marketing Economic moral inculturation is a learning process. Someone is intergrated into economic moral order
that was embraed by the
people at that time. Main incuturation is family, society, schools, and
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
33
job field. In Tanjung society, inculturation process of economic moral is done through institution of skill education, family education, as business unit, education in business unit and society. Diffusion can not be separated from innovation. Innovation is close with invention or re-invntion. Embroidery mechine that is often called “mesin zuki” is new thing as production tool in 1968. Preveiously, embroider using small slow sewing machine with a few production number, but the existance of large zuki mechine can multiply the productivity. The use of this mechine can multiply the production and employees’ wages. It supports people to learn soon the skill of embroidery by using zuki mechine. Generally, people believed that “if you want to get ahead, you must look after the experience to big city”, like the ancestors’ experience, H. Rosyad, H. Zarkasyie, H. Sarbani, and H. Sarhasih who returned from Jakarta. Then they built embroidery industry in Tanjung. In Jakarta, they found the market share that ask embroidery production. They did it by “makloon”. That way had been followed by some teenagers with their embroidery skill, went to Jakarta for gaining job to the embroidery confection businessman. After getting the experience, he went to Tanjung and became a home worker of his employer in Jakarata by “makloon”. The ancestors’ experience become ethos for the beginner “if you want to find the market share, get it in the big city”. Searching the customers, raw material suppliers, production receiver in large scale. Diffusion occurs not only skill in using the new mechine but also the people’s experience that is successful. In constant transformation,
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
34
diffusion process including new fabric, new model, new motive, new marketing, new strategy, new values, and others. Entrepreneurs always communicate with big cities and must have a renewal. It is potencial marketing. Every new relevant thingsalways affects on the great advantage. In contrary, if looking at the old style, the profit will be smaller. A model of embroidery clothe will survive around 2-3 years, in the firts years the profit will be bigger and the next years will be left by the arrival of new models. Innovation comes from big cities that is brought by entrepreneurs and craftsmen, then it spreads in family, through its members, in working filed through the employees, and in society through the craftsmen. The innovation can be from village that is brought to cities by entrepreneurs, then return to village, because there is an imitation process by other entrepreneurs. A pioneer in model, design, and motive in Tanjung is Mr. H. Rosyad. His creativity often makes something new and becomes unique characteristics of Tanjung embroidery. An experience or some entrepreneurs or tarders who are successfull and fail, often become a basic in determining agreed values by entrepreneurs and craftsmen. On of the example is young entrepreneurs who want to produce the goods in large scale, but lack of thinking its marketing and payment. Those cause the postponed payment and even empty check and production price become low. It will hurt all rural entrepreneurs.The way to solve the problem is by “soften the dependence, divert the marketing, create new marketing, ad avoid payment system by check. But it should be paid cash.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
35
The value of “diversifying business” is an agreed and believed value of all. It removes the dependence of big capital owners in big cities. By exporting, producing for retailer, and producing for being sold alone through “show room” in each room, shop in some places, and producing to sell through the dealers of family member, through the way of “commissioner and cengkaw”. Ebroidery confection company is usually a family company; there is worksharing between husband and wife. Husband is a production seller who is often go out home. Wife is a producer who must design model, draw motive, control production, supervise employees, manage finance, and so on. All is done at home. If it doesn’t run well, it is impossible to manage company well. The outsiders who have no experience, will role hard and hold the big task that need previous experience. Those values, even it doesn’t spread through conversation, discussion, or verbal communication, but through the feeling and logical society that is believed in own heart, then it is indoctrinated to children by the example of failure in the village. 2. The Role of Non-Formal Education in Craftsmen’s Moral Economic Transformation The activities of PNF are always connected closely with social changing. PNF can affect the occur of social change. When Tanjung society is still traditional with agricluture as livelihood, PNF will be indigenous in form of religious education that is presented in Surau and livelihood education that is done by family and society. Family has a big role as the institution of skill education and economic moral of farmers as its descendants.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
36
While the new economic skill is more favorable, family role as the institution of skill education disappears. Because education is done by company unit and formalized education institution. It is the institution of small industry or LIK and Ciwulan CV. At that time, the role of education is as economic comodity. After nearly all families have craft skills, even become business unit, the formalized institution will be useless automatically. The role of family as skill education institution and economic moral education re-operate. When almost all families have had the role as business unit and all its members have been considered as the employees, the needs for manpower from ouside the community will occur. To increase business scale, entrepreneurs train the employees to be from outside. All residents learned in the business unit outside the community who come to seek the job. Thus, vocational education has passed along the village. It is possible to produce new entrepreneurs outside the village and embroidery educaion will spread automatically out of Tanjung. The role of non-formal education unit in transforming economic moral, either institutionalized or not including several units, namely (1) the institutionalized unit consist of the environment of small industry (LIK) and Ciwulan CV vocational education institution; (2) uninstitutionalized unit consist of family as business unit, entrereurs unit, craftsmen’s group, evironment security system group, Jakarta marketing system, and village partnership. D. Conclusion The limitation of school education that is often left without being completed by non-formal education. It is not limited by grade and period. PNF is flexible. It can be carried out wherever, whenever, and
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
37
whoever which is appropriate with the demands and the villageoriented
learning needs
of society. PNF
as
a community
empowerment process is defined as someone’s ability acquisition, society, nation to understand and control social, economic, and politic situation to increase life degree. Rural economic development through the growing of craft industry which is based on local wisdom; such as the cooperation among the craftsmen (horizontal relationship), between employees and employers in relation of “patron – client” (vertical relationship) is according to the PNF principles as society empowerment. Cultural transformation is a changing of old situation to the new one that caused by many factors. Economic moral transformation is supposed to be changing process from agricultural traditional economic moral into craft economic moral through society’s learning process or non-formal education. Education has been loosened the belief of old values, the demand for survival has forced to create new values which is relevant. Economically, it emphasizes more on creating eficient values, the accumulation of cost and benefit. Economic moral transformation occurs because of acculturation, inculturation, and diffusion. Acculturation happens because there is a combination among traditional, religious, and capitalism value.
E. Daftar Pustaka. Bakker Sj J.W.M. (1992) filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius Boeke J.H. Dr. (1973) Ekonomi Dualistis Terj. Sukaji Ranuwiharjo. Jakarta: Bharata.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
38
Castles, Lance (1982) Tingkah Laku Agama, Politik dan Agama di Jawa Industri Rokok Kudus. Terj. J. Sirait. Jakarta: Sinar Harapan. Darusman Yus (1996) Perubahan Mata Pencaharian Hidup dari Pertanian ke Industri Kerajinan (Kajian tentang Perubahan Sosial Pada Masyarakat Pengrajin Bordir di Tasikamalaya) Tesis Program S2 Pascasarjana UNPAD Bandung. Gani, MA (1985) Cita dasar dan Pola Perjuangan Sarekat Islam Jakarta: Bulan Bintang. Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Leur, JC Van (1955) Indonesia Trade and Society Essays in Asian Social and Economic History. Bandung: Van Hocve Ltd, The Hague. Malinowski Bronislaw (1983) Dinamik Bagi Perubahan Kebudayaan. Terj. Zahara Ahmad. Kuala Lumpur: Adabi Sdn Bhd. Mubyarto (1988) Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES. Neil, Robert Van (1984) Munculnya Elit Modern Indonesia Terj: Ny Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pusat Jaya. Soedjito S (1991) Transformasi Sosial Yogyakarta: Tiara Wacana. Sudrajat Ajat (1994) Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia Jakarta: Bumi Weber Max (1985) The Protestant Etnic and Spirit of capitalism Terj. New York: Charles Scribner Son's.
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
39
Transformasi moral ekonomi pengrajin melalui pendidikan non-formal
40