PENINGKATAN SDM PENGRAJIN ULOS BATAK MELALUI MODEL PENDIDIKAN NON-FORMAL BERBASIS KEWIRAUSAHAAN (Jonni Sitorus)
PENINGKATAN SDM PENGRAJIN ULOS BATAK MELALUI MODEL PENDIDIKAN NON-FORMAL BERBASIS KEWIRAUSAHAAN Jonni Sitorus Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan 20126 Email:
[email protected]
ABSTRAK Permasalahan SDM pengrajin Ulos Batak adalah sulitnya melakukan inovasi terhadap produk kerajinan Ulos Batak karena kemampuan dan keahlian mereka sangat terbatas hanya pada tenunan ulos Batak semata. Kebutuhan pengrajin Ulos Batak sebagai peserta didik adalah memahami dan memiliki keahlian dan keterampilan untuk memodifikasi Ulos Batak kedalam berbagai bentuk dan pemanfaatannya serta menggunakan fasilitas media elektronik dan media online. Tujuan pendidikan non-formal berbasis kewirausahaan adalah meningkatkan kesejahteraan, mutu dan taraf hidup masyarakat pengrajin Ulos Batak, sementara fungsinya adalah meningkatkan sumber daya manusia pengrajin Ulos Batak sebagai pelaku dalam pembangunan perekonomian daerah Kabupaten Tapanuli Utara. Program untuk mewujudkan tujuan dimaksud adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia dengan kegiatan: belajar di kelas; magang; dan studi banding. Materi pelajaran berupa: perancangan model yang inovatif berbasis teknologi; penggunaan fasilitas internet dan teknologi komputer; managemen pemasaran; dan proses penenunan bagi pengrajin pemula. Tempat belajar di kantor Dekranasda setempat. Sarana prasarana berupa: fasilitas internet, komputer/laptop, ATBM, ATM, dan gedhogan. Satuan pendidikan disepakati adalah “Satuan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat”. Tingkat kegiatan belajar dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap pemula, menengah, dan mahir, masing-masing dalam waktu belajar 1 semester. Jadwal pembelajaran paruh waktu dengan menyesuaikan waktu luang peserta didik. Kata Kunci: SDM, Pengrajin Ulos Batak, Pendidikan Non-Formal, Tapanuli Utara ABSTRACT The problem of craftsmen Ulos Batak HR is they get difficulty to innovate Ulos Batak into various products because of their very limited abilities and skills. The needs of craftsmen Ulos Batak as learners is to understand and have the expertise and skills to modify Ulos Batak into various shapes and utilization as well as taking advantage of the electronic and online media. The purpose of non-formal education based entrepreneurship is to improve the welfare and quality of craftsmen Ulos Batak lifes, while its function is to improve human resources craftsmen Ulos Batak as actors in the development of the regional economy of North Tapanuli Regency. The program for realizing these objectives is improving the quality of human resources with activities: learning in the classroom; internships; and comparative study. The subject matter of learning process are: designing innovative model based technology; expert of internet and computer technology; marketing management; and the weaving process for novice craftsmen. A place of learning at Dekranasda office. The needed infrastructure such as: internet facilities, computer / laptop, ATBM, ATM, and gedhogan. Agreed educational unit is “Unit Community Learning Center”.
47
JURNAL VOLUME 10 - November 2016 : 47-58
Level of learning process is divided into three stages are beginner, intermediate, and advanced, in study for 1 semester each other. Learning schedule is part-time by adjusting the learners. Keywords: HR, Craftmen Ulos Batak, Non-Formal Education, Tapanuli Utara PENDAHULUAN Secara harfiah, Ulos artinya selimut berupa kain didominasi warna merah, hitam, dan putih yang biasanya ditenun dengan benang warna emas atau perak. Sebutan “marulos” dalam bahasa Batak Toba berarti memakai ulos untuk tujuan tertentu, misalnya: menghangatkan badan, tampil sopan, merasa aman dan menjaga kesehatan, sebagai hiasan (jagar-jagar), lebih indah (hajogjon), dan sebagai simbol status (harajaon). Ulos telah dimodifikasi fungsinya yang tidak hanya digunakan sebagai selendang, namun juga dapat dipakai sebagai fashion dan lain sebagainya, misalnya: sovenir, sarung bantal, ikat pinggang, tas, pakaian (batik daerah), alas meja, dasi, dompet, dan gorden. Ulos Batak merupakan salah satu ikon budaya yang mudah dijumpai di berbagai daerah, khususnya di Sumatera Utara, salah satunya di Kabupaten Tapanuli Utara. Salah satu kebijakan daerah Kabupaten Tapanuli Utara untuk memasyarakatkan Ulos batak adalah menggunakan batik daerah sebagai turunan atau produk inovasi Ulos Batak pada hari atau momen tertentu di beberapa lembaga atau instansi daerah. Sebagai misal: di setiap sekolah bahwa 1 hari dalam 1 minggu para siswa maupun guru wajib mengenakan batik daerah, begitu juga para Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) wajib memakai batik daerah untuk 1 hari dalam 1 minggu atau pada momen tertentu (Balitbang Sumut, 2014). Tapanuli Utara memiliki memiliki 30 kelompok pengrajin Ulos Batak dengan jumlah pengrajin 87 orang (Disperindag & UKM Provsu, 2013). Ketersediaan SDM yang mencukupi menjadi salah satu faktor pengembangan suatu usaha industri. Hal ini semakin membuka peluang besar bahwa kerajinan Ulos Batak berpotensi untuk dapat dikembangkan, yang tidak hanya di Kabupaten 48
Tapanuli Utara atau Sumatera Utara, namun juga memiliki pangsa pasar secara nasional maupun mancanegara. Kegiatan kerajinan Ulos Batak di Kabupaten Tapanuli Utara secara umum dilakukan secara turun temurun. Orang tua menjadi tutor (pendamping) untuk membimbing anak mereka melakukan pekerjaan dimaksud, baik atas kemauan anakanak mereka sendiri maupun keinginan orang tua untuk meneruskan usaha mereka. Artinya, dalam satu kelompok pengrajin terdiri dari ayah, ibu serta anak-anaknya. Ketika pekerjaan harus diselesaikan secepat mungkin, maka anak-anak beserta keluarga lainnya dapat membantu pekerjaan dimaksud (Balitbang Sumut, 2014). Para pengrajin merasa bahwa jumlah SDM saat ini masih kategori cukup. Artinya untuk menambah jumlah pekerja dalam satu tim pengrajin bukan sesuatu hal yang sangat diperlukan. Kebutuhan SDM sangat tergantung jumlah pesanan produk kerajinan. Ketika jumlah pesanan sedikit, maka orangorang yang melakukan pekerjaan itu cukup orang tua saja, namun ketika pesanan banyak, maka dapat memberdayakan anak-anak serta keluarga lainnya, bahkan memilih untuk melakukan lembur, (Balitbang Sumut, 2014). Beberapa pengrajin harus membagi pekerjaan tersebut kepada pengrajin lainnya ketika tidak sanggup memenuhi permintaan konsumen. Kemampuan untuk memenuhi permintaan konsumen merupakan hal yang sangat penting, walaupun dengan skala yang kecil, (Balitbang Sumut, 2014). Realita yang ada, ternyata tidak semua pengrajin memiliki tingkat keterampilan dan keahlian yang memadai yang dapat menunjang pengembangan industri kerajinan Ulos Batak di Kabupaten Tapanuli Utara, (Balitbang Sumut,
PENINGKATAN SDM PENGRAJIN ULOS BATAK MELALUI MODEL PENDIDIKAN NON-FORMAL BERBASIS KEWIRAUSAHAAN (Jonni Sitorus)
2014). Pekerjaan kerajinan Ulos Batak harus dikerjakan minimal 3 orang yang ahli, yaitu pangikat (pengikat benang), panonun (tukang tenun), dan panirat (orang sirat). Artinya bahwa pekerjaan kerajinan Ulos Batak tidak dapat dikerjakan oleh satu orang pengrajin karena tidak menguasai ketiga pekerjaan sekaligus. Jumlah SDM pengrajin Ulos Batak yang memadai tidak diimbangi dengan kualitas SDM yang ada. Untuk pekerjaaan-pekerjaan tertentu, para pengrajin harus memiliki keahlian dan keterampilan khusus. Keahlian dan keterampilan ini hanya dimiliki jumlah pengrajin yang sangat sedikit. Artinya, industri kerajinan Ulos Batak sangat membutuhkan penambahan jumlah pengrajin yang memiliki keahlian dan keterampilan yang profesional. Kelemahan lain untuk mengembangkan produk kerajinan Ulos Batak adalah bahwa para pengrajin kesulitan untuk memperoleh informasi pasar, baik informasi pemasaran, bahan baku, alat atau informasi penting lainnya, dan hal ini tidak akan terjadi andai para pengrajin dapat mengakses semua informasi melalui media elektronik (internet). Hal ini menggambarkan bahwa SDM para pengrajin Ulos Batak di Kabupaten Tapanuli Utara tidak hanya minim pada keahlian/keterampilan proses penenunan saja, akan tetapi juga bermasalah pada kemampuan mengakses semua informasi, (Balitbang Sumut, 2014; Sudaryanto, 2011; Sudaryanto & Hanim, 2002). Hadinata (2014) dan Kuncoro (1997, 2003, 2010) mengatakan bahwa kualitas SDM merupakan salah satu faktor penentu dalam pengembangan usaha. Lebih lanjut, dalam penelitian Hadinata dinyatakan bahwa sebagian besar usaha mikro kecil di Magetan tumbuh dan berkembang secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turuntemurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilan sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelola usaha sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang secara optimal.
Disamping itu, keterbatasan kualitas SDM-nya unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan. Selain itu, rendahnya SDM berdampak pada produk yang mereka hasilkan. Pengrajin mengalami kesulitan dalam menginovasi produk mereka sesuai dengan permintaan pasar sehingga produk yang mereka produksi sulit untuk diterima oleh konsumen. Lebih lanjut, Hadinata menyatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan SDM, pengrajin menambah tenaga kerja dengan melatih sendiri tenaga kerja mulai dari nol karena Kabupaten Magetan sendiri belum memiliki balai latihan kerja. Namun dalam melatih atau mendidik tenaga kerja baru membutuhkan waktu yang cukup lama, hal ini juga dipengaruhi dari keinginan dari tenaga kerja baru itu sendiri. Pendidikan nonformal berbasis kewirausahaan sebagai salah satu jalur penyelenggaraan pendidikan nasional memberikan peran yang nyata dalam penataan kualitas SDM. Pendidikan nonformal dengan keluwesan yang dimilikinya mampu memposisikan dirinya untuk terus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan manusia seiring dengan dinamika peradaban manusia yang mengalami perubahan dan peningkatan, (Rogers, 2004; Kamil, 2007, Hopper, 2007). Keberadaan pendidikan nonformal seperti ini, dapat diartikan bahwa pendidikan nonformal sebagai subsistem pendidikan nasional dilihat sebagai human investment yang mempunyai perspektif multidimensional baik itu sosial, budaya, ekonomi maupun politik, (La Belle, Thomas. J., 2002; Nath, Samir R, Sylva, Kathy, dan Grimes, Janice, 1999). Sebagai subsistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal dipandang memiliki beberapa keunggulan, sebagaimana dikemukakan Sudjana (2004), adalah: (1) biaya penyelenggaraannya relatif lebih murah karena adanya program-program pendidikan yang dilakukan dalam waktu singkat untuk memenuhi 49
JURNAL VOLUME 10 - November 2016 : 47-58
kebutuhan belajar tertentu. Selain itu, biaya bisa dikurangi dengan cara menggunakan seoptimal mungkin fasilitas yang dimiliki, membuat alatalat belajar dengan memanfaatkan bahan yang terdapat di lingkungan setempat yang murah harganya, menyelenggarakan kegiatan belajar bersamaan dengan kegiatan berusaha; (2) program pendidikan nonformal lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya a) tujuan program berhubungan erat dengan kebutuhan peserta didik, kebutuhan masyarakat setempat dan/ atau kebutuhan lembaga tempat peserta didik itu bekerja, b) adanya hubungan erat antara isi program pendidikan dengan dunia kerja atau kegiatan usaha yang ada di masyarakat, c) pengorganisasian program pendidikan dilakukan dengan memanfaatkan pengalaman belajar baik dari peserta didik, nara sumber teknis maupun sumber-sumber belajar lainnya yang ada di lingkungan setempat, d) program pendidikan diarahkan untuk kepentingan peserta didik bukan mengutamakan penyelenggara program, e) kegiatan belajar tidak dipisahkan dari kegiatan bekerja atau kefungsian peserta didik di masyarakat, (Haralambos dan Holborn, 2004), f) adanya kecocokan antara pendidikan dengan dunia kerja, maka program pendidikan nonformal dapat memberikan hasil balik yang relatif lebih cepat; dan (3) pendidikan nonformal memiliki program yang fleksibel, (Omerzel, Doris G., 2010; Sungsri, Sumalee, and Mellor, Warren L., 2004). Hal ini ditandai oleh a) adanya program yang bermacam ragam dan menjadi tanggungjawab berbagai pihak baik pemerintah, swasta, perorangan atau kelompok, b) pengendalian dan pengawasan secara terpusat dilakukan sesederhana mungkin, c) otonomi dikembangkan pada tingkat pelaksana program dan daerah sehingga dapat mendorong program yang bercorak ragam sesuai dengan keragaman kebutuhan daerah, d) perubahan atau pengembangan program disesuaikan dengan perubahan kebutuhan peserta didik dan perkembangan lingkungannya, (Harker dkk, 2005), sehingga dengan demikian program pendidikan yang sudah tidak relevan dengan 50
kebutuhan akan cepat diketahui dan dapat segera dimodifikasi atau diakhiri. Penelitian Wardani (2013) menyatakan bahwa model pembelajaran magang yang dilakukan oleh para karyawan dapat meningkatkan keahlian dan keterampilan mereka. Pembelajaran menggunakan model belajar orang dewasa dengan mengutamakan pembelajaran praktek langsung. Jadwal pembelajaran disesuaikan dengan jam kerja karyawan pabrik serta materi meliputi seluruh pekerjaan yang ada di pabrik. Untuk mendukung proses pembelajaran, tutor dan mesin pabrik digunakan sebagai sumber belajar. Adapun tujuan penelitian pada tulisan ini adalah merancang model pendidikan non-formal berbasis kewirausahaan untuk meningkatkan SDM pengrajin Ulos Batak. METODE Penelitian dilakukan secara kualitatif di Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu tiga (3) bulan, mulai April s.d Juni 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan 3 cara: (1) observasi, terhadap pelaku pengrajin dan produk-produk kerajinan Ulos Batak; (2) wawancara, dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) & wawancara mendalam. Subjek yang diwawancarai adalah pemilik industri kerajinan atau pengrajin Ulos Batak, kepala Dinas Koperasi & UKM (Diskop & UKM), kepala Dinas Perindustrian & Perdagangan (Disperindag), kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnasker), dan ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda); kepala Dinas Komunikasi & Informatika (Diskominfo); dan (3) dokumentasi, profil kerajinan Ulos Batak, serta program dan kegiatan di instansi terkait. Teknik analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Langkah
PENINGKATAN SDM PENGRAJIN ULOS BATAK MELALUI MODEL PENDIDIKAN NON-FORMAL BERBASIS KEWIRAUSAHAAN (Jonni Sitorus)
berikutnya adalah mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada didalamnya. Langkah selanjutnya adalah membandingkan antara data sekunder dan data primer serta menyusunnya, kemudian dikategorikan pada langkah berikutnya. Dari hasil analisis data dan informasi diperoleh gambaran atau potret realita kondisi riil di lapangan, selanjutnya dilakukan rancangan model pendidikan non-formal berbasis kewirausahaan, dengan langkahlangkah sebagai berikut: (1) identifikasi kebutuhan peserta didik; (2) penetapan tujuan dan fungsi pendidikan non-formal; (3) analisis kesesuaian program & kegiatan pendidikan serta materi pelajaran; (4) penentuan lokasi belajar; (5) sarana prasarana belajar; (6) satuan pendidikan; dan (7) waktu & tingkat kegiatan belajar. HASIL DAN PEMBAHASAN Rancangan model pendidikan non-formal berbasis kewirausahaan berdasarkan kondisi dan permasalahan riil para pengrajin yang diperoleh dari lapangan dengan beberapa tahapan di bawah ini. 1.
Identifikasi Kebutuhan Peserta Didik Berdasarkan hasil wawancara melalui FGD diperoleh informasi bahwa permasalahan SDM para pengrajin Ulos Batak adalah sulitnya melakukan inovasi terhadap produk kerajinan Ulos Batak karena kemampuan dan keahlian mereka sangat terbatas hanya pada tenunan ulos Batak semata. Disisi lain, permintaan di pasar tidak hanya Ulos saja, akan tetapi produk-produk fashion atau semacamnya menjadi tuntutan konsumen yang tidak dapat dipenuhi para pengrajin Ulos Batak. Selain itu, kelemahan lainnya adalah bahwa para pengrajin masih menggunakan
pola lama untuk membuat atau merancang model atau motif-motif Ulos Batak secara manual atau hanya dengan menggunakan kemampuan tangan tanpa sentuhan teknologi., (hasil wawancara & observasi). Pengerjaan menenun satu ulos saja membutuhkan waktu hampir 1 bulan, mulai tahap pembuatan motif atau model, merakit/merajut benang, sampai proses penenunan. Andai pekerjaan ini dilakukan dengan bantuan teknologi, misalnya dalam membuat motif atau model, maka waktu pekerjaan yang dibutuhkan jauh lebih efektif dan motif yang dirancang pasti lebih variatif. Identifikasi permasalahan di atas sebagai langkah awal dan merupakan salah satu strategi pembelajaran yang akan diterapakan menggambarkan kondisi riil SDM masyarakat pengrajin Ulos Batak di Kabupaten Tapanuli Utara. Ini menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan atau dicari solusi pemecahannya, salah satunya melalui pendidikan non-formal berbasis kewirausahaan, yang secara operasional dilakukan melalui proses pembelajaran bagi masyarakat pengrajin Ulos Batak untuk meningkatkan SDM mereka. Hal yang harus dicapai adalah bahwa para pengrajin Ulos Batak dapat memahami dan memiliki keahlian dan keterampilan untuk memodifikasi Ulos Batak kedalam berbagai bentuk dan pemanfaatannya sebagai produk akhir kegiatan proses pembelajaran serta mereka dapat menggunakan fasilitas media elektronik dan media online untuk mempermudah pengerjaan dalam menenun Ulos Batak. Temuan di atas sejalan dengan pendapat Kamil (2002) bahwa identifikasi kebutuhan sebagai salah satu strategi pembelajaran dimaksudkan untuk mengumpulkan permasalahan kebutuhan akan pendidikan yang diperlukan. Kemudian dari berbagai
51
JURNAL VOLUME 10 - November 2016 : 47-58
macam permasalahan itu diambil salah satu masalah yang paling urgen dan membutuhkan pemecahan masalah yang sesegera mungkin. Hal ini berhubungan erat dengan kebutuhan individu peserta didik maupun kebutuhan pasar kerja. Dengan mengidentifikasi kebutuhan, peserta didik akan mengerti kebutuhan pendidikan apa yang dibutuhkan selama proses pembelajaran berlangsung, sehingga tidak mengalami kesulitan setelah selesai mengikuti pendidikan (Kamil, 2002: 52). 2.
Penetapan Tujuan & Fungsi Pendidikan Non-Formal Hal mendasar yang dirasakan oleh para pengrajin Ulos Batak di Kabupaten Tapanuli Utara adalah bahwa kerajinan Ulos Batak hanya dijadikan sebagai pekerjaan pilihan kedua setelah bertani, (hasil wawancara). Pekerjaan menenun belum menjadi prioritas di kalangan masyarakat Batak di Tapanuli Utara karena pekerjaan ini belum dapat mendongkrak kehidupan perekonomian mereka ke arah yang lebih mapan, bahkan beberapa pengrajin telah berhenti untuk menenun dan beralih pada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, (hasil wawancara). Konsumen pengguna Ulos Batak mayoritas berasal dari kalangan masyarakat Batak, dan hanya digunakan pada saat momen-momen tertentu saja, misalnya pada saat prosesi adat Batak, (hasil wawancara). Andai para pengrajin dapat berinovasi, maka Ulos Batak dapat dimodifikasi kedalam berbagai bentuk, sehingga konsumen dapat menggunakan produk-produk turunan kerajinan Ulos Batak untuk berbagai keperluan yang berdampak pada besarnya nilai perjualan/ pemasaran, pada gilirannya dapat membantu perekonomian masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara.
52
Berangkat dari permasalahan di atas, maka tujuan diselenggarakannya pendidikan non-formal berbasis kewirausahaan ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengrajin Ulos Batak serta merubah sikap mental dan pola berpikir warga masyarakat agar memiliki aktivitas dan kreativitas serta memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan sebagai syarat untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya. Selain itu, kegiatan pendidikan ini juga untuk menanamkan rasa nasionalisme masyarakat Batak Toba, khususnya pengrajin Ulos Batak terhadap budaya Batak sendiri melalui karya-karya kreativitas pengrajin dalam membuat dan merancang motif-motif serta bentuk dan kemanfaatan Ulos Batak sendiri. Hal ini dapat memperkuat kepribadian para pengrajin dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta budaya Batak Toba. Dari tujuan yang disebutkan diatas, hal ini berarti bahwa pendidikan nonformal harus bisa membina dan memperkembangkan potensi mental dan secara fisik selaras seimbang dan serasi bagi warga masyarakat supaya menyadari kodratnya sebagai mahluk Tuhan dan sebagai makhluk sosial (Sutarto, Joko, 2007: 46). Pendidikan nonformal harus mampu mengaktualisasikan setiap potensi warga masyarakat untuk menjadi manusia yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan sikapnya di dalam upaya meningkatkan mutu dan taraf hidupnya. Seluruh program dan kegiatan pendidikan nonformal harus diarahkan untuk membebaskan warga masyarakat dari dalam pikiran yang dogmatis dan kaku, dari cara berpikir tradisional dan negatif menjadi manusia yang mampu menemukan alternatif dan berani mengambil keputusan untuk merintis pola hidup baru yang sesuai dengan lingkungan dan kemampuannya.
PENINGKATAN SDM PENGRAJIN ULOS BATAK MELALUI MODEL PENDIDIKAN NON-FORMAL BERBASIS KEWIRAUSAHAAN (Jonni Sitorus)
Menurut Bachtiar, Harsja W. (Sutarto, 2007: 47), pendidikan nonformal harus dirancang agar mampu meningkatkan keterampilan warga masyarakat guna memanfaatkan dan mendayagunakan segala sumber yang ada di lingkungannya untuk membangun hidupnya. Menurut Sanapiah, pendidikan nonformal dapat mengembangkan sumber daya manusia, baik daya fisiknya, daya pikirnya, daya cipta, rasa dan karsanya, daya budi dan daya karyanya (Sutarto, Joko, 2007: 47). Lebih lanjut Sanapiah menyatakan bahwa pendidikan nonformal sebagai upaya meningkatkan taraf mutu warga masyarakat bangsa dan Negara. Berdasarkan hasil wawancara melalui FGD diperoleh informasi bahwa pusat kegiatan belajar masyarakat berbasis kewirausahaan seperti yang dirancang pada tulisan ini belum pernah dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara. Para pengrajin hanya mengikuti berbagai pelatihan dan sosialisasi yang diselenggarakan oleh Disnaker, Disperindag, atau Diskop & UKM, baik dari provinsi maupun dari Kabupaten Tapanuli Utara sendiri, (hasil wawancara). Mereka (pihak pengrajin) merasa bahwa kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah selama ini belum berdampak secara signifikan pada pengembangan usaha kerajinan Ulos Batak serta peningkatan SDM, (Hasil wawancara). Sejalan dengan hal di atas, fungsi diselenggarakannya pendidikan nonformal berbasis kewirausahaan adalah untuk meningkatkan sumber daya manusia pengrajin Ulos Batak sebagai salah satu pelaku dalam pembangunan perekonomian daerah Kabupaten Tapanuli Utara untuk menjadikan manusia yang handal dalam upaya memecahkan masalah yang timbul dan tidak dapat diperoleh melalui pendidikan sekolah
atau hanya mengandalkan pengalaman semata. Program pendidikan nonformal sebagai pelengkap yang dirasa sangat diperlukan dan memang belum pernah diterima oleh warga belajar masyarakat pengrajin Ulos Batak. Program pendidikan ini melayani kebutuhan belajar masyarakat (service education) serta membantu mempercepat program pembangunan, karena di dalam pembangunan diperlukan sejumlah besar tenaga-tenaga yang terampil, yang tidak bisa dilayani dalam waktu yang cepat dan juga tidak diperoleh melalui program pendidikan persekolahan. 3.
Analisis Kesesuaian Program & Kegiatan Pendidikan serta Materi Pembelajaran Berdasakan hasil wawancara melalui FGD kepada sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Tapanuli Utara, diperoleh informasi bahwa masing-masing SKPD memiliki program “peningkatan kualitas sumberdaya manusia”. Para SKPD tersebut adalah Disnaker; Disperindag; Diskop & UKM; Dekranasda; dan Diskominfo. Program ini hampir setiap tahunnya dilakukan dan terencana di Rencana Kerja (Renja) tahunan. Program “peningkatan kualitas sumberdaya manusia” pada masingmasing SKPD di atas tentunya dapat dijadikan sebagai langkah awal dan sekaligus mendukung program peningkatan SDM pengrajin Ulos Batak di Kabupaten Tapanuli Utara. Masingmasing SKPD di atas memiliki komitmen untuk mengembangkan kerajinan Ulos Batak sebagai ikon daerah serta dapat mendongkrak perekonomian masyarakat Tapanuli Utara, mulai dari usaha mikro, kecil sampai pada tingkat usaha menengah. Untuk mendukung program di atas, beberapa hal kegiatan yang perlu
53
JURNAL VOLUME 10 - November 2016 : 47-58
dilakukan, diantaranya: kegiatan belajar di kelas; magang; dan studi banding ke daerah yang memiliki industri tenun yang dianggap maju, (hasil FGD & wawancara). Kegiatan belajar lebih diarahkan kepada kebutuhan para pengrajin Ulos Batak, yaitu: perancangan model yang inovatif berbasis teknologi, penggunaan fasilitas internet dan teknologi komputer; managemen pemasaran; dan kegiatan proses penenunan bagi pengrajin pemula. Diskominfo berkomitmen untuk membantu dan memfasilitasi para pengrajin sebagai peserta didik untuk memberikan sarana teknologi dan sekaligus narasumber sebagai tutor atau guru di dalam kelas saat proses pembelajaran berlangsung.
warga belajar sebagai pemagang akan membiasakan diri mengikuti proses pekerjaan yang dilakukan oleh pendidik atau orang yang bekerja disitu. Pembelajaran magang dikatakan berhasil apabila permagang (pendidik) mampu menyadarkan pemagang (peserta didik) untuk melakukan kegiatan belajar secara mandiri, Sudjana (2000). Kamil, (2002: 11) menggambarkan bahwa program pembelajaran magang adalah suatu pembelajaran dimana dalam proses pembelajarannya pemagang (peserta didik) turut membantu langsung dalam pekerjaan pemagang (pendidik) yang mana diharapkan pemagang (peserta didik) dapat memiliki keterampilan dan perubahan dalam pengetahuan dan sikap selama menjalani pekerjaan tersebut dan yang pada akhirnya pemagang (peserta didik) dapat melakukannya sendiri setelah proses pembelajaran magang selesai. Inti dari proses pembelajaran magang sendiri adalah adanya interaksi edukatif melalui belajar sambil bekerja atau bekerja sambil belajar dimana unsur peniruan memegang peranan penting dalam keberhasilan program pembelajaran.
Beberapa peserta FGD menyarankan untuk melakukan studi banding ke Yogyakarta yang dianggap memiliki produk kerajinan batik daerah yang inovatif dan dapat bersaing di kanca nasional maupun mancanegara. Hal ini tentunya belum menjadi kesepakatan bulat dari masing-masing SKPD karena terkait anggaran dan biaya perjalanan peserta didik yang tidak sedikit jumlahnya. Kegiatan magang hanya bagi pengrajin pemula dan dilakukan di daerah Kabupaten Tapanuli Utara. Kelompok pengrajin Ulos Batak sebanyak 30 kelompok dan kantor Dekranasda dapat dijadikan sebagai tempat magang. Para pengrajin Ulos Batak yang mahir dapat dijadikan sebagai tutor (pendamping) untuk mengarahkan kegiatan menenun, walaupun sifatnya secara tradisional, namun setidaknya akan menjadi modal dasar bagi pengrajin pemula untuk menenun. Kegiatan magang juga direncanakan di daerah lain sekitar Sumatera Utara yang dikelola secara industrial untuk menambah pengalaman kegiatan penenunan seacara industrial. Magang merupakan suatu proses pembelajaran yang mengandung unsur belajar sambil bekerja. Biasanya 54
Melalui suatu proses pengalaman kerja atau magang, diharapkan seseorang tidak hanya memiliki kemampuan mengembangkan diri dengan memiliki keterampilan teknis, tetapi juga mampu mengembangkan diri untuk memiliki kemampuan managerial, managerial know how untuk dapat memimpin atau mengatur orang lain (Soeharsono, 1989: 61). 4.
Penentuan Lokasi Belajar Tempat belajar bagi para peserta didik dapat dilakukan di kantor Dekranasda. Lokasi kantor Dekranasda sangat memungkinkan dijadikan lokasi pembelajaran untuk peserta didik, (hasil observasi), namun harus bekerjasama dengan dengan pihak Diskominfo
PENINGKATAN SDM PENGRAJIN ULOS BATAK MELALUI MODEL PENDIDIKAN NON-FORMAL BERBASIS KEWIRAUSAHAAN (Jonni Sitorus)
dalam penyediaan fasilitas internet dan teknologi komputer serta narasumber sesuai kebutuhan dimaksud.
kegiatan pendidikan non-formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. 7.
5.
Sarana Prasarana Belajar Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua Dekranasda, Beliau akan melakukan komunikasi dengan kepala daerah Kabupaten Tapanuli Utara untuk membantu para pengrajin Ulos Batak, baik dari segi sarana maupun prasarana serta fasilitas lain yang dibutuhkan. Sarana prasarana lain yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran maupun kegiatan magang dapat memanfaatkan alat tenun bukan mesin (ATBM) dan alat tenun mesin (ATM) serta alat tenun gedhogan yang dimiliki masyarakat pengrajin Ulos Batak, khususnya bagi pengrajin pemula yang melakukan kegiatan magang (hasil wawancara). ATBM dan ATM mengggunakan mesin cakar untuk membuat motif dengan loncatan benang. Alat tenun gedhogan merupakan model alat yang dikaitkan di punggung sehingga sangat sederhana dan tidak memerlukan tempat yang sangat luas, (hasil dokumen & Observasi. Ketika produk kerajinan akan dikembangkan, maka semua alat dan teknologi produk kerajnan dimaksud dalam bentuk mesin untuk mempermudah pekerjaaan serta efisiensi dan efektivitas waktu. Pekerjaanpekerjaan yang dilakukan dengan tangan manusia dialihkan dengan bantuan teknologi dan alat canggih.
6.
Satuan Pendidikan Berdasarkan hasil wawancara melalui FGD disepakati bahwa Satuan Pendidikan diberi nama “Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat”. Peserta FGD berharap adanya dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara sebagai SKPD yang menaungi semua program kegiatan belajar mengajar sebagai proses kegiatan belajar yang legal, termasuk
Waktu & Tingkat Kegiatan Belajar Tingkat kegiatan belajar dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap pemula, menengah, dan mahir. Masing-masing tahap membutuhkan waktu belajar 1 semester. Jadwal proses pembelajaran paruh waktu yang sifatnya dapat menyesuaikan waktu luang peserta didik (hasil wawancara). Untuk langkah awal, semua peserta didik digolongkan pada tahap pemula. Hal ini didasarkan pada pemahaman para pengrajin Ulos Batak terkait penggunaan fasilitas media elektronik memiliki karakter pengetahuan yang sama, artinya belum memiliki pengalaman antara satu sama lainnya, (hasil wawancara dan observasi).
PENUTUP Kebutuhan para pengrajin Ulos Batak sebagai peserta didik adalah dapat memahami dan memiliki keahlian dan keterampilan untuk memodifikasi Ulos Batak kedalam berbagai bentuk dan pemanfaatannya sebagai produk akhir kegiatan proses pembelajaran serta menggunakan fasilitas media elektronik dan media online untuk mempermudah pengerjaan dalam menenun Ulos Batak serta kemudahan pemasaran. Berangkat dari kebutuhan di atas, tujuan pendidikan non-formal berbasis kewirausahaan ditetapkan untuk meningkatkan kesejahteraan, mutu dan taraf hidup masyarakat pengrajin Ulos Batak. Adapun fungsi pendidikan nonformal adalah meningkatkan sumber daya manusia pengrajin Ulos Batak sebagai pelaku dalam pembangunan perekonomian daerah Kabupaten Tapanuli Utara untuk menjadikan manusia yang handal dalam upaya memecahkan masalah. Kesesuaian program dengan masingmasing SKPD untuk mewujudkan tujuan di atas adalah peningkatan kualitas sumberdaya 55
JURNAL VOLUME 10 - November 2016 : 47-58
manusia. Kegiatan yang dilakukan adalah: belajar di kelas; magang; dan studi banding. Materi pelajaran peserta didik adalah: perancangan model yang inovatif berbasis teknologi; penggunaan fasilitas internet dan teknologi komputer; managemen pemasaran; dan kegiatan proses penenunan bagi pengrajin pemula. Tempat belajar direncanakan di kantor Dekranasda Kabupaten Tapanuli Utara. Sarana prasarana yang dibutuhkan adalah fasilitas internet, komputer/laptop, ATBM, ATM, dan gedhogan. Untuk proses legalisasi program, maka satuan pendidikan disepakati adalah “Satuan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat”. Tingkat kegiatan belajar dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap pemula, menengah, dan mahir. Masing-masing tahap membutuhkan waktu belajar 1 semester. Jadwal proses pembelajaran paruh waktu yang sifatnya dapat menyesuaikan waktu luang peserta didik. Dari uraian diatas disarabkan 1.
Dinas Pendidikan Kabupaten Tapanuli Utara agar membantu pihak Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kabupaten Tapanuli Utara untuk proses legalisasi pendidikan non-formal dalam bentuk regulasi.
2.
Dinas Koperasi & UKM, Dinas Perindutrian & Perdagangan, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tapanuli Utara agar bekerjasama untuk menganggarkan biaya study tour bagi para pengrajin Ulos Batak.
3.
Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Tapanuli Utara agar bersedia memfasilitasi proses pembelajaran dalam bentuk fasilitas internet, media elektronik serta narasumber bidang IT.
4.
Dewan Kerajinan Nasional Daerah Kabupaten Tapanuli Utara agar bersedia memfasilitasi tempat belajar dan narasumber lain.
56
PENINGKATAN SDM PENGRAJIN ULOS BATAK MELALUI MODEL PENDIDIKAN NON-FORMAL BERBASIS KEWIRAUSAHAAN (Jonni Sitorus)
DAFTAR PUSTAKA Balitbang Sumut, 2014. Pemetaan Potensi Kerajinan di Sumatera Utara. Medan: Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Disperindag & UKM Provsu. 2013. Data UKM Sumatera Utara 2013. Medan: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara. Hadinata, Acep. 2014. Bahan Ajar Manajemen Aset. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Haralambos, M., dkk. 2004. Sociology: Themes and Perspectives. London: Collins. Harker, Richard, et.al (ed). 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komperehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, (diterjemahkan dari An Introduction to The Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory oleh Pipit Maizier). Bandung: Jalasutra Maliki. Hoppers, Wim. 2007. Integrating Formal and Non-Formal Basic Education: A Policy Case-Study from Uganda. International Institute for Educational Planning – UNESCO. Towards Systemic Integration of Non-Formal Education – Case-Study from Uganda – Draft 1, June’07. Kamil, M. 2002. Model Pembelajaran Magang Bagi Peningkatan Kemandirian Warga Belajar. Studi Pada Sentra Industri Kecil Rajutan dan Bordir di Ciamis. Disertasi PPS UPI. Bandung: tidak diterbitkan. Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi.Jakarta: Erlangga. …………………. 1997. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. 2010. Masalah, Kebijakan, dan Politik, Ekonomika Pembangunan. Jakarta: Erlangga. La Bella Thomas J. 2002. Formal, Nonformal and Informal Education: A Holistic Perspective on Lifelong Learning, Source: International Review of Education /Internationale Zeitschrift für Erziehungswissenschaft / Revue Internationale de l’Education, Vol. 28, No. 2, Formal, Nonformal and Informal Structures of Learning (2002), pp. 159175, Published by: Springer. ………………….. 2002. Non-formal Education and Social Change in Latin America . Los Angeles: UCLA Latin American Center. Nath, Samir. R. dkk. 1999. Raising Basic Education Levels in Rural Bangladesh: The Impact of a Non-Formal Education Programme. International Review of Education/ Internationale Zeitschrift für Erziehungswissenschaft/Revue Internationale de l’Education, Vol. 45, No. 1 (1999), pp. 5-26, Published by: Springer. Omerzel, Doris Gomezelj. 2010. The Motivation of Educational Institutions for Validation of Non-Formal and Informal Learning, Juni 2010, Vol. 8 Issue 2, p 71-88. http://www.fm.upr.si/zalozba/ ISBN/978-961-6573-65-8/105-116. Published by: Springer, diakses Agustus 2016. Roger, Iredale. 2004. Non-Formal Education in India: Dilemmas and Initiatives. Comparative Education, Vol. 14, No. 3, Special Number (2): Policies and Politics in Education (Oct., 1998), pp. 267-275, Published by: Taylor & Francis, Ltd.
57
JURNAL VOLUME 10 - November 2016 : 47-58
Soeharsono, Sagir. 1989. Membangun Manusia Karya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Sudaryanto dan Hanim, Anifatul. 2002. Evaluasi Kesiapan UKM Menyongsong Pasar Bebas Asean (AFTA): Analisis Perspektif dan Tinjauan Teoritis. Jurnal Ekonomi Akuntansi dan Manajemen, Vol 1 No 2, Desember 2002. Sudaryanto. 2011. The Need for ICT-Education for Manager or Agribusinessman to Increasing Farm Income: Study of Factor Influences on Computer Adoption in East Java Farm Agribusiness. International Journal of Education and Development, JEDICT, Vol 7 No 1 halm.56-67. Sudjana D. 2004. Pendidikan Non Formal Wawasan Sejarah Perkembangan, Filsafat dan Teori Pendukung, serta Asas. Bandung: Falah Production. …………… 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production. Sungsri, Sumalee, dkk. 2004. The Philosophy and Services of Non-Formal Education in Thailand, Source: International Review of Education/Internationale Zeitschrift für Erziehungswissenschaft/Revue Internationale de l’Education, Vol. 30, No. 4 (2004), pp. 441-455, Published by: Springer. Sutarto, Joko. 2007. Pendidikan Nonformal: Konsep dasar, Proses Pembelajaran & Pemberdayaan Masyarakat. Semarang: UNNES Press. Wardani, Pandu Yoda Aneke. 2013. Model Pembelajaran Magang: Studi pada Pengrajin Logam di Sentra Home Industri Logam Kelurahan Kejambon Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
58