D.02
PENINGKATAN TOLERANSI MELALUI BUDAYA TEPA SARIRA (Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) Tri Rejeki Andayani Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
Abstraksi. Pendidikan karakter bertujuan membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti dan pembelajaran nilai-nilai hidup. Toleransi merupakan salah satu nilai-nilai hidup yang penting bagi setiap anak untuk hidup rukun dan harmonis dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Budaya Jawa yang mengedepankan kerukunan dan keharmonisan sosial tentu saja memiliki nilai-nilai budaya yang menunjang terwujudnya hal tersebut, salah satu diantaranya adalah tepa sarira. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peningkatan sikap dan perilaku toleransi pada anak usia Sekolah Dasar melalui penerapan model pendidikan karakter yang berbasis budaya tepa sarira. Desain dalam penelitian ini menggunakan pendekatan quasi eksperimen dengan bentuk pretest-posttest one-group design experiment (before and after only with no control design). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas atas Program Inklusi di SD Al Firdaus Surakarta sebanyak 88 siswa. Pengumpulan data menggunakan Skala Sikap Toleransi (Reliabilitas 0,939) dan Kuesioner Perilaku Toleransi (Reliabilitas 0,843). Teknik analisis data dilakukan dengan teknik Uji-t. Hasil penelitian membuktikan bahwa melalui sistem integrasi pembelajaran di sekolah, model pendidikan karakter yang berbasis budaya tepa sarira terbukti dapat meningkatkan sikap dan perilaku toleransi pada anak usia sekolah dasar. Untuk memperluas manfaat penelitian, maka penerapan model pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya tepa sarira ini perlu ditingkatkan dari segi waktu dan tempat penyelenggaraan, peningkatan kompetensi dan profesionalitas guru melalui Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan dan Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan Karakter, dan melibatkan peran orangtua (keluarga) sebagai salah satu sumber sosialisasi nilai-nilai hidup dan budaya yang menunjang pendidikan karakter. Kata kunci:toleransi, tepa sarira, pendidikan karakter
Tidak
dapat
bahwa
karakter yang mengajarkan nilai-nilai hidup,
perkembangan masyarakat pada saat ini
termasuk nilai toleransi telah menjadi satu
makin diwarnai dengan peritiwa-peristiwa
kesadaran bagi setiap bangsa, terutama yang
yang
memiliki kemajemukan seperti Indonesia.
menjauh
dipungkiri
dari
kerukunan
dan
keharmonisan sosial. Perbedaan bukan lagi
Salah satu program yang berkembang
dipandang sebagai kekayaan kehidupan
pesat dalam merealisasikan upaya-upaya
bersama tetapi justru pemicu perpecahan
pendidikan
karena
Pendidikan Nilai-nilai Hidup (Living Values
tidak
Sesungguhnya
adanya
toleransi.
pentingnya
pendidikan
Education
397
karakter
adalah
Programme/LVEP)
Program
yang
398 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
dikembangkan oleh Tillman (2001). Salah
Transformatif
satu tujuan program ini adalah membantu
diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam
individu merefleksikan dan menerapkan 12
dan Sosial (LKiS) yang memiliki tiga tema,
nilai-nilai universal dalam kehidupan, nilai-
yaitu: (a) Islam dan Gender, (b) Islam dan
nilai
kesederhanaan,
Politik Kewarganegaraan, (c) Islam dan
toleransi, kejujuran, menghargai, damai,
Relasi Agama. Program ini menggunakan
tanggung jawab, kebahagiaan, persatuan,
empat prinsip
kasih sayang, rendah hati, kerjasama dan
pengalaman, terbuka dan jujur, refleksi, dan
kebebasan. Sampai dengan saat ini sebanyak
dialogis.
84 negara di dunia, termasuk Indonesia telah
transformasi sosial, penghormatan hak-hak
menerapkan LVEP.
asasi, dan penghargaan pada pluralisme
tersebut
adalah
Selanjutnya
Indonesia
Heritage
dan
Toleran
utama,
yang
yaitu belajar dari
Sedangkan
tujuannya
adalah
(Salim, 2003).
Foundation (IHF), lembaga pendidikan
Pusat Studi Budaya dan Perubahan
yang didirikan oleh Ratna Megawangi
Sosial
(2008)
ini
Surakarta, telah menyelenggarakan program
mengembangkan suatu model Pendidikan
Pendidikan Apresiasi Seni (PAS), yang
Holistik Berbasis Karakter. Model tersebut
ditujukan pada para siswa sekolah dasar di
sudah diterapkan di lebih dari 700 sekolah
Surakarta sejak tahun 2002. Program
Semai Benih Bangsa (TK Nonformal) dan
dimaksudkan
TK Formal lainnya. Melalui program Semai
penghargaan terhadap seni tradisi dan
Benih
pluralisme budaya
pada
Bangsa,
Tahun
2000
ditumbuhkan
sembilan
Universitas
Muhammadiyah
untuk
ini
menanamkan
kepada
para
siswa
karakter pada anak-anak yakni : (1) cinta
sekolah dasar melalui program pendidikan
Tuhan
(2)
apresiasi seni. Adapun jenis seni yang
dan
dijadikan sarana adalah seni tari, seni
dan
tanggung
segenap jawab,
kemandirian; (3)
ciptaanNya; kedisiplinan
kejujuran/amanah dan
pedalangan,
dan seni karawitan. Program
arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan,
PAS ini dipraktikkan melalui kegiatan
suka
gotong-
ekstra kurikuler pada empat sekolah dasar di
royong/kerjasama; (6) percaya diri, kreatif
Surakarta sejak tahun 2002 sampai 2006
dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan
(Khisbiyah dan Sabardila, 2004).
menolong
dan
keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi, kedamaian dan kesatuan. Selain program
melalui
pendidikan
LVEP
(2008)
dalam
penelitiannya mengenai model pembelajaran
dan IHF,
karakter
Prihartanti
yang
nilai toleransi menemukan
bahwa akar
permasalahan yang sering terjadi pada anak
mengutamakan nilai toleransi terdapat pula
usia
dalam
kemampuan penghargaan terhadap orang
Program
Belajar
Bersama
sekolah
dasar
adalah
rendahnya
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira” (Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 399 Andayani, T.R. [hal.397-406] lain,
rendahnya
perbedaan,
dan
menerima
tingkatan ketiga setelah “nandhing salira”
kemampuan
dan “ngukur salira”. Untuk mewujudkan
kesediaan kurangnya
penyelesaian konflik secara damai. Lebih
kerukunan,
lanjut dikatakan Prihartanti bahwa melalui
seseorang masih dalam tingkatan nanding
model
sarira, karena nandhing sarira merupakan
pembelajaran
yang
telah
tidak
menghargai diri sendiri, mengembangkan
pengkajian diri dimana seseorang masih
keterampilan sosial dalam memberi dan
mengutamakan "aku" yang berarti lebih
menerima penghargaan dalam berinteraksi
kearah egosentrisme. Penelitian Andayani,
dengan orang lain, mengenal tindakan
Yusuf dan Hardjajani (2010, 2011) telah
toleran dan tidak toleran serta mampu saling
menyusun
menghargai dalam keragaman, serta mampu
model pembelajaran nilai toleransi berbasis
menyelesaikan konflik secara damai.
budaya tepa sarira pada anak usia sekolah
berbagai
program
rendah
bila
tingkatan
dan
paling
tercapai
dikembangkannya siswa diharapkan dapat
Mencermati
yang
akan
mengembangkan
dalam
suatu
dasar.
pembelajaran di atas, pengembangan Living
Model
tersebut
Values Education yang berbasis kearifan
sebagai
lokal masih sangat jarang dikembangkan.
pendidikan karakter
Indonesia
kemajemukan
dengan pertimbangan sebagai berikut : (1)
kulturalnya memiliki kekayaan budaya dan
Visi bangsa Indonesia dalam Pembukaan
nilai-nilai
UUD
landasan
dengan segala
luhur
yang
dapat
pengembangan
menjadi
pendidikan
salah
1945,
Pemerintah
satu
dikembangkan alternatif
dalam
di sekolah dasar,
yakni
Negara
”....membentuk Indonesia
yang
karakter. Sebagaimana diungkapkan dalam
melindungi segenap bangsa Indonesia dan
penelitian Hildred Geertz (1983) pada
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
keluarga Jawa bahwa pembentukan karakter
memajukan
anak Jawa menuju pada pribadi yang
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
memiliki prinsip kerukunan dan prinsip
melaksanakan
hormat. Dalam
berdasarkan
konteks budaya Jawa,
kesejahteraan
ketertiban
umum,
dunia
kemerdekaan,
yang
perdamaian
pendidikan karakter/watak di keluarga Jawa
abadi, dan keadilan sosial,...”; (2) Indonesia
dianggap tercapai bila anak Jawa memiliki
adalah satu dari 84 negara di dunia yang
sikap hormat dan rukun.
menerapkan
Salah satu nilai Budaya Jawa yang dapat
dijadikan
landasan
LVEP
Education Programme),
(Living
Values
suatu program
menciptakan
kemitraan antara para pendidik di seluruh
kerukunan (integrasi) bangsa adalah budaya
dunia dan didukung oleh UNESCO. LVEP
“tepa sarira”. Menurut Bratakesawa (dalam
fokus pada pembelajaran 12 nilai-nilai
Darminta, 1980), tepa sarira merupakan
universal, yakni : kesederhanaan, toleransi,
400 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
kejujuran, menghargai, damai, tanggung
pendidikan
jawab,
pembelajaran.
kebahagiaan,
sayang,
rendah
persatuan,
hati,
ke
dalam
Sehingga
model
penuangan
dan
ide/gagasan, materi dan media pendidikan
kebebasan; dan (3) Salah satu pencapaian
karakter acapkali menjadi pekerjaan yang
target
dinilai sulit dirancang dan diterapkan oleh
Millenium
(MDGs)
kerjasama
kasih
karakter
Development
2015
adalah
Goals
pemerataan
para guru.
pendidikan dasar (memastikan bahwa setiap anak,
baik
laki-laki
mendapatkan pendidikan
dan
pada
Teori
Sosialisasi
perempuan
Primer (Primary Socialization Theory) yang
menyelesaikan tahap
diungkapkan oleh Oetting and Donnermeyer
dasar);
dan
Mengacu
Secara
(1998) bahwa keluarga (orangtua), sekolah
psikologis, anak usia sekolah dasar memiliki
(guru) dan teman sebaya merupakan sumber
tugas perkembangan yang khas, salah
sosialisasi bagi anak. Tulisan ini akan
satunya adalah mengembangkan hati nurani,
menyajikan
pengertian moral dan tata nilai (Hurlock,
pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya
1990). Oleh karena itu, tepat apabila model
tepa
pembelajaran nilai ini dikembangkan pada
integrasi
anak usia sekolah dasar untuk mendukung
Pembelajaran (RPP) di sekolah dasar.
pembentukan pribadi-pribadi yang utuh
Dengan harapan, dari hasil pemaparan ini
sejak dini.
maka hasil-hasil penelitian tersebut dapat
Pada
dan
awalnya,
(4)
program
ini
sarira
hasil
yang
dalam
dimanfaatkan
penerapan
disampaikan Rencana
secara
lebih
model
melalui
Pelaksanaan
luas,
baik
dikembangkan untuk membantu para guru
diselenggarakan oleh guru-guru di sekolah
menindaklajuti pemerintah
kebijakan
kebijakan
dasar lainnya, maupun oleh para orangtua
(Kementerian
Pendidikan
selaku salah satu sumber sosialisasi bagi
Nasional, sekarang menjadi Kementerian Pendidikan
dan
Kebudayaan)
anak.
yang
menetapkan bahwa mulai 2011 pendidikan
Metode Penelitian
karakter harus sudah menjadi bagian yang
Desain
tidak
terpisahkan
dalam
dalam
penelitian
ini
proses
menggunakan pendekatan quasi eksperimen
pembelajaran di sekolah menuntut para
dengan bentuk pretest-posttest one-group
pendidik mampu mengimplementasikannya.
design experiment atau sering disebut
Meskipun pentingnya pendidikan karakter
dengan before and after design atau before
telah disadari penuh oleh para guru, namun
and after only with no control design.
pada kenyataannya tidak setiap guru dengan
Subjek penelitian ini adalah siswa
mudah mengintegrasikan nilai-nilai hidup
kelas atas Program Inklusi di SD Al Firdaus
yang
Surakarta (selaku sekolah mitra penelitian),
menjadi
bagian
penting
dalam
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira” (Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 401 Andayani, T.R. [hal.397-406] sebanyak 88 siswa. Siswa kelas atas SD
pembelajaran (awal semester) dan sesudah
(Kelas IV, V, dan VI) rata-rata berusia 10-
pembelajaran (tengah semester).
12
tahun
telah
mencapai
tahap
Analisis data dilakukan dengan teknik
perkembangan kognitif operasional konkrit,
Uji-t untuk membuktikan adanya perbedaan
antara lain ditandai dengan hilangnya
sikap dan perilaku toleransi antara sebelum
egosentrisme, terbatas pada hal-hal konkrit
dan sesudah perlakuan (penerapan model
dan menuju tahap operasional formal.
pembelajaran).
Menurut Piaget (dalam Monks, dkk, 1996), tahap ini ditandai dengan berkembangnya
Hasil Penelitian
kemampuan reasoning dan logika, serta
Eksperimen dilakukan dalam kurun
munculnya pemikiran deduktif, induktif dan
waktu tiga bulan (setengah semester) sesuai
abstraktif. Kemampuan ini diperlukan dalam
dengan kesepakatan dan kesiapan dari pihak
diskusi saat penerapan model pembelajaran.
sekolah. Penerapan model pembelajaran
Program pendidikan inklusi adalah sistem
dengan
layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
dilaksanakan di sekolah yang menjadi mitra
berkebutuhan khusus (ABK) belajar di
penelitian tersebut dilaksanakan oleh guru-
sekolah-sekolah
guru mata pelajaran yang sebelumnya telah
terdekat
biasa/reguler
di
bersama
kelas
teman-teman
sistem
mengikuti
integrasi
Workshop
RPP
Penyusunan
yang
dan
seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil,
Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan
1994). Maka SD Al Firdaus selaku sekolah
Karakter
inklusi
Andayani, Yusuf dan Hardjajani (2010).
dipilih
sebagai
sekolah
mitra
yang
Setiap
adanya inklusi (keberadaan siswa yang
merancang dan mengembangkan RPP sesuai
merupakan Anak Berkebutuhan Khusus atau
dengan tujuan pembelajaran dan kesesuaian
ABK) tentu saja menuntut sikap dan
dengan aktivitas dalam model pembelajaran.
perilaku toleransi yang cukup tinggi dari
Secara rinci masing-masing perlakuan dan
siswa lain saat menjalin interaksi sosial
hasil pengukuran penerapan model disajikan
antara siswa ABK dan non ABK.
dalam tabel 1.
data
menggunakan
Sebelum
diberi
kebebasan
oleh
penelitian, karena konsekuensi dari kelas
Pengumpulan
guru
diselenggarakan
pembelajaran
untuk
yang
Skala Sikap Toleransi (Reliabilitas 0,939)
melibatkan aktivitas-aktivitas pilihan guru
dan
Toleransi
tersebut diterapkan, terdapat aktivitas dalam
dengan
model pembelajaran yang harus diberikan
pengukuran
pada setiap awal penerapan model adalah
Kuesioner
(Reliabilitas rancangan terhadap dilakukan
Perilaku
0,843). diatas,
sikap dua
Sesuai maka
dan kali,
perilaku
toleransi
Aktivitas No.1 (Nilai Positif) dan/atau
yakni
sebelum
Aktivitas No.5 (Ekspresi Seni). Kedua
402 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
aktivitas
tersebut
untuk
berkembang harga diri yang positif dari diri
menghargai
siswa, sehingga melalui harga diri yang
potensi diri (nilai positif) dari orang lain dan
positif, siswa akan lebih percaya diri dan
membangun harga diri setiap anak dengan
terdorong untuk melakukan hal-hal yang
cara
positif, termasuk sikap dan perbuatan yang
mendorong
siswa
menerima
penghargaan menimbulkan
bertujuan belajar
umpan
dari
orang
keberanian
balik
berupa
lain, anak
serta untuk
mencerminkan
adanya
kepedulian
dan
penghargaan pada orang lain.
berekpresi (kreativitas). Dengan demikan
Tabel 1. Penerapan Model dengan Sistem Integrasi RPP Kelas, Jml Siswa
Mata Pelajaran & Topik
Aktivitas Model yang Diterapkan
Tujuan Aktivitas Model 1.
IVB (34)
VB (35)
IPA : Struktur Organ Tubuh
PKN : Negara Kesatuan Republik Indonesia IPS : Sejarah Nasional Hindu, Budha, Islam.
1. Integrasi Aktivitas No.3 (Empati Berbasis Tepa Sarira) 2. Integrasi Aktivitas No.11 (Cerita Si Jangkung dan Si Pendek).
Integrasi Model No.9 (Kuartet Toleransi Berbasis Tepa Sarira)
Eksplorasi Pustaka
1. Integrasi Aktivitas No.6 (Percobaan Kelihatan dan Tidak Kelihatan). 2. (Aktivitas No.10 Saat Tak Ada Budaya Antri. 3. Diskusi Tema Penelitian dari Studi Kepustakaan (Bagian dari Materi Pelajaran di Sekolah).
Agama Islam : Al Qur’an dan Hadist
1. Integrasi Aktivitas No.6 (Percobaan Kelihatan dan Tidak Kelihatan). 2. Guru kreatif menambah aktivitas sendiri, dengan materi ”Noktah Hati”
VIC (32)
Pembelajaran
berlangsung
Meningkatkan empati dan tenggang rasa pada sesama anak. 2.a. Mengenalkan tindakan toleran dan tidak toleran yang bersumber dari perbedaan fisik. 2.b. Memahami konsekuensi positif dari tindakan toleran dan konsekuensi negatif bila tidak toleran. 1. Mengenalkan tindakan toleran dan tidak toleran. 2. Memahami konsekuensi positif dari tindakan toleran dan kosekuensi negatif bila tidak toleran.
1. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang akibat dari bersikap dan/atau berperilaku tidak toleran. 2. Mengenalkan budaya antre dan memahami konsekuensi bila dunia ini tidak ada budaya antre. 3. Menghargai dan menerima perbedaan pendapat dalam tema-tema penelitian di sekolah. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang akibat dari perilaku tidak toleran.
seperti
sekolah dan dikuti oleh seluruh siswa (ABK
biasa, sesuai dengan jadwal pelajaran di
dan nonABK) dengan jumlah siswa 34 pada
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira” (Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 403 Andayani, T.R. [hal.397-406] Kelas IVB, 35 pada Kelas VB, dan 32 pada
dengan kelengkapan data pada pre-test dan
Siswa Kelas VIC. Pengambilan data pre-test
post-test).
(pengukuran sikap dan perilaku toleransi)
Hasil
analisis
data
menunjukkan
pada awal semester dan post-test pada
adanya peningkatan sikap dan perilaku
tengah semester. Data yang dapat dianalisis
toleransi pada siswa yang telah mengikuti
sejumlah 28 siswa Kelas IVB, 32 siswa
pembelajaran (pendidikan) karakter yang
Kelas VB, dan 28 siswa Kelas VIC (sesuai
berlangsung dengan sistem integrasi RPP.
Tabel 2. Hasil Analisis Data Kelas & Jml Data
Uji Asumsi Normal Homogen S P S P
IVB (28)
Mean Sikap (S) Pre Post 98,18
102,14
Mean Perilaku (P) Pre Post 22,46
Hasil Analisis Data Uji t S P
39,93
p: 0,00 p<0,05
p: 0,018 p< 0,05
p:0,033 p>0,05
p:0,001 p<0,05
VB (32)
97,28
101,03
25,5
27,688
p: 0,017 p<0,05
VIC (28)
100,2 5
104,11
34,32
38,54
p:0,01 p<0,05
Meskipun berlangsung
pembelajaran
dalam
waktu
Kesimpulan Peningkatan sikap dan perilaku signifikan. Peningkatan sikap dan perilaku signifikan. Peningkatan sikap dan perilaku signifikan
baru
diperlukan dua watak yakni: tepa selira dan
setengah
bisa rumangsa, keduanya merupakan nilai
semester, namun hasil analisis tersebut
kejawen
membuktikan bahwa pembelajaran nilai
kolektivitas,
toleransi yang berbasis tepa sarira dapat
kepentingan
meningkatkan sikap dan perilaku toleransi
pribadi atau mengutamakan kebersamaan
di kalangan siswa sekolah dasar.
dengan cara tidak mempertajam perbedaan.
Keterkaitan
antara
model
yang
kental
dengan
yakni bersama
spririt
mendahulukan diatas
kebutuhan
Sri Mangkunegara IV dalam Serat
pembelajaran nilai berbasis budaya tepa
Wedhatama
sarira dengan peningkatan toleransi dapat
mengilustrasikan
dijelaskan dari sudut makna budaya tepa
mencontohkan Panembahan Senopati ing
sarira, yang merupakan salah satu watak
Mataram
orang
sosial.
"karyenak tyase sesama" yang artinya
Sebagaimana dikatakan oleh Endraswara
membuat enak, senang, dan damai perasaan
(2013),
sesama”.
Jawa
untuk
dalam
pergaulan
memelihara
harmonisasi
(Ki
yang
Tepa
Jlitheng,
2005)
sarira
dengan
tepa
memiliki
selira
kepribadian
(tepa
sarira)
404 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
mengajarkan seseorang untuk mau dan
gelem dijiwit (jangan mencubit orang lain
mampu merasakan perasaan orang lain,
jika diri sendiri tidak mau dicubit), atau aja
memiliki sikap tenggang rasa, peduli pada
gawe laraning liyan lamun ora seneng
sesama, memiliki pikiran dan perasaan yang
digawe lara (jangan menyakiti orang lain,
positif, dan selalu berusaha membahagiakan
jika diri sendiri tidak senang dibuat sakit
dan menyenangkan orang lain (Suratno &
oleh orang lain); aja seneng ngina lamun
Astiyanto, 2009).
ora seneng diina (jangan menghina jika diri
Dari segi perkembangan kognitif,
sendiri tidak senang dihina); aja seneng
dikatakan Piaget (dalam Monks, Knoers &
daksiya lamun ora seneng disiya-siya
Haditono, 1989) bahwa siswa usia sekolah
(jangan menyia-nyiakan orang lain jika
dasar mencapai ”tahap operasional konkret”
tidak senang disia-siakan), dan sebagainya.
dalam berpikir. Anak tidak lagi memandang
Pendek kata, jangan melakukan A terhadap
konsep sebagai sesuatu yang abstrak atau
orang lain jika diri sendiri tidak senang
tidak jelas sebagaimana pada awal masa
diperlakukan A (Suratno dan Astiyanto,
kanak-kanak,
2009).
melainkan
mulai
mampu
memandang konsep sebagai sesuatu yang
Oleh
karena
itu,
dalam
setiap
konkret. Pada tahap ini anak mulai mampu
kesempatan baik sempit maupun luas, guru
menghubungkan arti baru dengan konsep
seyogyanya senantiasa memperkokoh empat
lama berdasarkan apa yang dipelajari setelah
pilar pendidikan UNESCO, yakni : learning
masuk sekolah, atau hal-hal yang dipelajari
to know (belajar mengetahui), learning to
melalui media massa. Dan pada usia 10/11 -
do (belajar berbuat), learning to be (belajar
13 tahun, anak SD kelas atas sudah mulai
menjadi diri sendiri) dan learning live
dapat berpikir kearah abstrak dan sanggup
together (belajar hidup bersama) tersebut,
melihat dari sudut pandang orang lain. Ia
dengan
sudah dapat membedakan motivasi yang
memperluas
melatarbelakangi sebuah perbuatan dan
anak/siswa
dapat mempertimbangkan konsekuensi dari
sehingga mereka dapat memberikan alasan-
setiap perbuatan.
alasan moral (moral reasoning) yang tepat
Seseorang
dituntut
untuk
cara
sebagai
berikut
wawasan tentang
:
(1)
pengetahuan
nilai-nilai
hidup,
tidak
sebelum mereka mewujudkannya dalam
melakukan kegiatan bagi orang lain yang
tindakan; (2) membimbing anak/siswa agar
menyebabkan orang itu tersinggung, sakit
terampil melakukan suatu tindakan dari apa
hati, kecewa, menderita, celaka, dan akibat
yang diyakininya sebagai nilai kebenaran,
negatif yang lainnya. Wujud dari perbuatan
kebaikan dan kerukunan; (3) mengarahkan
tepa slira sering muncul dalam kehidupan
anak/siswa agar memiliki sifat-sifat baik
sehari-hari, misalnya aja njiwit lamun ora
yang melekat, agar konsistensi, intensitas,
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira” (Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 405 Andayani, T.R. [hal.397-406] dan frekuensi dalam melakukan hal-hal
toleransi yang berbasis budaya tepa sarira
yang terpuji menjadi satu kebiasaan sebagai
melalui sistem integrasi RPP di sekolah.
wujud adanya internalisasi nilai toleransi;
Untuk memperoleh kemanfaatan yang
dan (4) membimbing anak/siswa untuk
lebih
selalu harmonis dengan lingkungannya,
ditindaklanjuti
karena sebagai bagian dari masyarakat
memperluas penerapan model pembelajaran
mereka hidup selalu bersinggungan dengan
nilai toleransi berbasis budaya tepa sarira ini
orang lain. Teladan orangtua dan para guru
dari
(”digugu
Menyelenggarakan
lan
ditiru”)
dalam
menjaga
luas,
segi
hasil
penelitian
dengan
waktu
dan
ini
cara
perlu :
tempat;
Pelatihan
(2) dan
keharmonisan itu perlu dibiasakan agar anak
Pendampingan
senantiasa menampilkan perilaku-perilaku
Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan
yang
dan
Karakter secara berkesinambungan untuk
menghormati, sehingga dapat hidup bahagia
menunjang kompetensi dan profesionalitas
bersama dengan orang lain tanpa ada yang
guru dalam penyelanggaraan pendidikan
merasa dirugikan.
karakter; (3) melibatkan pihak orangtua
toleran,
saling
menghargai
(keluarga)
hasil
menyampaikan
dan
nilai
toleransi berbasis budaya tepa sarira ini
Simpulan dan Saran Dari
untuk
Penyusunan
(1)
penelitian
dapat
sebagai pembelajaran nilai-nilai hidup yang
disimpulkan bahwa ada peningkatan sikap
penting untuk membangun karakter anak
dan perilaku toleransi pada siswa sekolah
secara positif dan berbudaya.
dasar setelah mengikuti pembelajaran nilai
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, TR; Yusuf, M; dan Hardjajani, T. (2010). Strategi pengembangan living values education melalui model pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya “tepa sarira” pada anak usia sekolah dasar (suatu alternatif pendidikan karakter). Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional Tahun I. Surakarta : Prodi Psikologi FK UNS dan LPPM UNS. Endraswara, S. (2013). Memayu hayuning bawana: laku menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. Geertz, H.(1983). Keluarga Jawa. Jakarta : Grafiti Pers. Hurlock, E.B. (1990). Developmental psychology. A life span approach. Edisi 5. New Delhi: Tata Mc Graw Hill Publishing Company LTD.
406 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
Khisbiyah, Y. dan Sabardila, A. (2004). Pendidikan apresiasi seni : wacana dan praktek untuk toleransi pluralisme budaya. Surakarta : Pusat Studi Budaya-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta. Ki Jlitheng (Suparman/R.T. Gunocarito). (2005). Serat Wedhatama : Anggitanipun KGPAA Mangkunegara IV. Megawangi, R. (2008). Semua berakar pada karakter : isu-isu permasalahan bangsa. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE UI. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1989). Psikologi perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Prihartanti, N. (2008). Model pembelajaran toleransi pada siswa sekolah dasar. Proceedings Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia. Bandung : Universitas Padjajaran. Salim, H. (2003). “Belajar bersama pluralisme: sekelumit pengalaman”. Wacana, Volume XV, 2003: 223. Suratno, P. dan Astiyanto, H. (2009). Gusti ora sare : 90 mutiara niali kearifan budaya Jawa. Yogyakarta : ADIWACANA. Tillman, D. (2001). Living values activities for children ages 8-14. (Editor : Respati, dkk). Jakarta : PT Grasindo.