TRANSFORMASI CERPEN KE FILM DAN FUNGSINYA (STUDI KASUS EMAK INGIN NAIK HAJI) Rianna Wati Abstrak Proses adaptasi dari novel ke bentuk film dalam Eneste (1991: 60) disebut ekranisasi. Di Indonesia, ekranisasi memang bukan hal baru. Sudah banyak karya film yang diangkat dari novel, terutama novel-novel yang best seller. Perbedaan yang sering muncul dalam proses ekranisasi selama ini lebih sering disebabkan oleh perbedaan sistem sastra (dalam hal ini cerpen) dan sistem film. Hal-hal teknis seperti media cerpen (berupa kata-kata dan bahasa) sedangkan media utama film adalah audio visual (suara dan gambar) memang menjadi kewajaran jika keduanya berbeda. Dalam kasus cerpen dan film EINH, perbedaan muncul bukan sebatas masalah teknis tersebut, tetapi karena disengaja untuk fungsi tertentu. Artikel ini menelaah transformasi cerpen ke film EINH yang kemudian menemukan fungsi makna perbedaannya. Kata kunci: ekranisasi, cerpen, film
1. Pendahuluan Fenomena novel dan cerpen yang diangkat ke dalam layar lebar sudah menjadi hal yang tidak asing lagi sekarang ini. Banyak kita tahu, film-film yang muncul merupakan adaptasi dari novel atau karya sastra. Di Indonesia, proses adaptasi semacam ini sudah dimulai sejak masih Hindia Belanda, yaitu ketika novel Siti Noerbaja karya Marah Rusli (1922) difilmkan dengan judul yang sama oleh sutradara Lie Tek Swie tahun 1942. Siti Noerbaja versi Lie masih dalam bentuk film hitam putih dan diiklankan sebagai film pencak bergaya Padang. Film ini ditayangkan pertama kali di Surabaya, pada 23 Januari 1942. Sumber lain menyebut, film Lie ini sebetulnya sudah rilis sejak 1941. (www. Wikipedia.org/wiki/Siti_Noerbaja). Selanjutnya, kendati bisa dikatakan tidak terlalu sering, tetapi proses adaptasi ini terus saja dilakukan, tidak saja dari drama ke dalam film (layar lebar) tetapi juga dari novel ke dalam bentuk film dan sinetron (layar kaca). Beberapa di antaranya yang disebutkan Eneste (1991: 9-11) adalah film Atheis karya Sjumandjaja (1975) yang diangkat berdasarkan novel Atheis karya Achdiat K. Mihardja, Si Doel Anak Betawi (1932) karya Sjumandjaja yang diangkat dari novel Si Doel Anak Betawi (1972) karya Aman Dt. Madjoindo, film Salah Asuhan (1972) karya Asrul Sani yang diangkat berdasarkan novel Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis, film Darah dan Mahkota Ronggeng
29
(1983) karya Ami Priyono yang diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, film Jangan Ambil Nyawaku (1981) yang diangkat dari novel karya Titi Said, film Roro Mendut karya Ami Priyono (1984) yang diangkat dari novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, film Ca Bau Kan karya Nia Dinata yang diangkat dari novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado (2002). Pada dasarnya, adaptasi dari satu media tertentu ke dalam bentuk lain dalam menciptakan karya sudah sering dilakukan oleh para seniman. Dalam sejarah perfilman dunia—khususnya Hollywood—karya skenario film dan televisi berasal dari proses pengadaptasian. Sebut saja, film Harry Potter yang merupakan adaptasi dari novel karya J.K. Rowling yang berjudul Harry Potter, film The Lord of the Rings yang diadaptasi dari novel The Lord of the Rings karya Tolkien tahun 1954, film Doctor Zhivago adaptasi dari novel karya Boris Pasternak yang berjudul Doctor Zhivago, Malcom X (autobiografi), dan masih banyak lagi (Firman Hadiansyah, 2006: 1). Meskipun demikian, fenomena adaptasi ini diterima di masyarakat Indonesia sejak difilmkannya novel Ayat-ayat Cinta pada tahun 2008. Film Ayat-ayat Cinta adalah salah satu fenomena adaptasi yang banyak menyedot perhatian masyarakat luas segala kalangan dan usia. Media massa-baik cetak maupun elektronik-mencatat film Ayat-ayat Cinta memecahkan rekor sebagai film yang banyak ditonton orang di bioskop, mengungguli film Ada Apa dengan Cinta pada tahun 2002 yang juga menggebrak dunia perfilman di Indonesia dan menandai bangkitnya film nasional setelah sekian lama mati suri. Setelah AyatAyat Cinta direspon positif oleh masyarakat, maka ramailah perfilman Indonesia mengangkat novel atau karya sastra sebagai cikal bakalnya, seperti film Perempuan Berkalung Sorban (2008), Ketika Cinta Bertasbih (2009), Laskar Pelangi (2009), Sang Pemimpi(2010), Sang Penari (2010), Surat Kecil untuk Tuhan (2011), Di Bawah Lindungan Ka’bah (2011), Negeri Lima Menara (2012) dan sebagainya. Perkembangan tersebut diikuti oleh adaptasi yang tidak saja berasal dari novel, melainkan dari cerita pendek (cerpen). Misalnya film Tentang Dia (2005), Mereka Bilang Saya Monyet (2008), Emak Ingin Naik Haji (2009), dan Rumah Tanpa Jendela (2010). Adaptasi dari cerpen ini menarik diteliti karena cerpen adalah cerita yang singkat, membacanya tak membutuhkan waktu lama seperti membaca novel, dan intensitas ceritanya yang padat. Namun, cerpen kemudian diubah menjadi film yang standar durasi tayangnya sekitar 120 menit. Hal ini pastilah menyebabkan adanya perubahan, baik pengurangan maupun penambahan adegan, seperti yang disampaikan Pamusuk Eneste (1991: 60) bahwa pemindahan novel atau cerpen ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya perubahan. Proses adaptasi ini disebut ekranisasi, yaitu
30
pelayarputihan atau pemindahan/ pengangkatan sebuah novel (karya sastra) ke dalam film (ecran dalam bahasa Prancis berarti layar). Sebuah novel atau cerpen yang ditransformasikan ke bentuk film memang akan mengalami perubahan. Hal tersebut adalah sebuah kewajaran karena perbedaan sistem sastra dengan sistem film. Namun, menganalisis tentang perbedaan-perbedaan yang ada bukan semata disebabkan oleh perbedaan sistem sastra dan sistem film, tapi selanjutnya menemukan makna akibat perubahan itu adalah tindakan yang penting untuk dilakukan. Perbedaan yang muncul antara novel dan film tidak jarang menimbulkan kekecewaan karena hal tersebut dapat dapat dilepaskan dari proses pembacaan para pekerja film terhadap novel yang akan diadaptasinya. Menurut Iser (1987: 169), teks merupakan keseluruhan sistem yang di dalamnya terdapat blank. Blank tersebut tidak dapat diisi oleh sistem dalam teks itu sendiri. Blank dalam teks tersebut diisi oleh pembaca yang menginterpretasinya. Sementara itu, interpretasi pembaca sebagai bentuk pengisian blank tersebut terpenuhi melalui storage pembaca. Oleh karena itu, interpretasi karya sastra antara pembaca satu dengan pembaca lainnya berbeda-beda tergantung storage masing-masing pembaca tersebut. Adanya pengisian blank sebagai bentuk komunikasi antara pembaca dengan teks tersebut menumbuhkan asumsi bahwa ada perbedaan antara film dengan novel yang diadaptasinya. Bluestone (1957: 31) menyatakan bahwa perbedaan bahan mentah antara novel dan film tidak dapat sepenuhnya dijelaskan berdasarkan perbedaan isi. Untuk setiap medium mensyaratkan suatu keistimewaan melalui heterogenitas dan overlapping, kondisi permintaan audiens, dan bentuk artistiknya. Selain itu, faktor film yang terikat dengan durasi menyebabkan para pekerja film harus dapat kreatif untuk memilah dan memilih peristiwa-peristiwa yang penting untuk difilmkan. Oleh karena itu, sering ditemui adanya perbedaan-perbedaan dan pergeseran khususnya berkaitan dengan alur cerita mengingat masing-masing memiliki karakter yang menyesuaikan dengan fungsi dari media karya. Dalam proses adaptasi terkandung konsep konversi, disertai pemahaman terhadap karakter yang berbeda antara media yang satu dengan media yang lainnya. Pemindahan novel ke layar putih merupakan peralihan media yang berarti terjadinya perubahan alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia katakata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana, dan gaya diungkapkan melalui gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan kata-kata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar.
31
Menurut Eneste (1991: 61-65) proses kreatif ekranisasi dapat berupa penambahan maupun pengurangan jalannya cerita dari novel yang akan diadaptasi tersebut. Selain itu, kemunculan variasi-variasi di dalam film adaptasi dapat dikarenakan oleh faktor estetik yang ingin dicapai. Berbagai penambahan atau pengurangan dengan berbagai variasi dapat memunculkan asumsi bahwa adanya perbedaan antara film adaptasi dan novel yang diadaptasi, akibat adanya perubahan fungsi khususnya dalam alur cerita. Biasanya, film adaptasi dibuat dari novel atau karya sastra yang best seller. Hal ini dilakukan karena novel atau karya sastra tersebut sudah mempunyai pembaca yang diasumsikan akan melihat filmnya. Umumnya, memang akan terjadi pengurangan atau tidak semua yang ada dalam novel dihadirkan di film. Namun, pada film adaptasi yang berasal dari cerpen, hal tersebut justru terbalik karena kisah yang pendek dalam cerpen justru membuat penambahan-penambahan dalam film. Artikel ini bukan bersumber pada novel yang diadaptasi, tapi dari cerpen yang notabene pendek dan singkat. 2. Pembahasan Film Emak Ingin Naik Haji yang ditayangkan perdana Minggu, 4 Oktober 2009, diadaptasi dari sebuah cerpen berjudul Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia yang pertama kali dimuat di majalah Noor tahun 2007. Cerpen dan film mengisahkan seorang emak yang sangat ingin naik haji tetapi tidak mampu karena masalah biaya, sedangkan tetangga sebelah rumahnya yang juragan kapal sudah sering naik haji dan umroh. Sementara di bagian cerita lainnya, ada politisi yang naik haji demi menaikkan pamor di mata masyarakat karena akan mengikuti pilihan wali kota. Ada nilai-nilai humanisme religius dalam Emak Ingin Naik Haji (selanjutnya disingkat EINH). Emak digambarkan sebagai ibu yang sangat menyayangi Zein—anaknya—meskipun hidup dalam kemiskinan. Emak juga mengasihi mantan menantunya dan rela memberikan tabungan hajinya untuk pengobatan cucunya. Emak tak pernah iri dengan juragan haji yang kaya raya dan sering ke tanah suci. Emak sangat mengasihi anak-anak tetangganya yang kelaparan dengan memberinya makan dan uang secukupnya. Sementara Zein yang hanya seorang penjual lukisan sangat ingin membahagiakan emaknya dengan memberangkatkannya haji. Namun, faktor uanglah yang menjadi kendalanya sehingga Zein berniat mencuri harta juragan kapal tetangganya yang sudah sering haji dan umrah. Persoalan-persoalan sosial kemudian menggerakkan pemiliknya (tokohtokohnya) melakukan interaksi dengan orang lain, melakukan pengorbanan, dan kerja keras untuk orang-orang yang mereka cintai. Menariknya, interaksi, pengorbanan, dan kerja keras itu digambarkan sebagai usaha tokoh-tokohnya
32
untuk menciptakan harmoni antara sesama dan harmoni kepada Tuhan sebagai refleksi pandangan humanisme religius. Pandangan humanisme religius yang direpresentasikan cerpen dan film EINH dapat dijadikan dasar yang membedakannya dengan film lain. Penggambaran yang berusaha menempatkan manusia seperti ini merupakan pencerminan dari prinsip-prinsip humanisme religius. Humanisme religius merupakan penggabungan dua konsep pandangan tentang kemanusiaan, yaitu pandangan humanisme dan religiusitas. Suseno (2002: 37) mengemukakan bahwa humanisme merupakan suatu keyakinan atau ideologi tentang kemanusiaan yang berusaha memanusiakan manusia dengan cara menghormati identitasnya, keyakinannya, kepercayaannya, cita-citanya, ketakutan-ketakutan dan kebutuhannya. Sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Suseno, sejarawan Kuntowijoyo (2001: 364-365) mengatakan bahwa dalam Islam konsep humanisme dikenal dengan amar ma’ruf nahi mungkar „mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran‟. Proses humanisasi berusaha memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaaan”, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian antarsesama manusia. Bentuk dari humanisme itu meskipun bermacam-macam, tetapi pada dasarnya menurut Hadi (2009a: 3-4) hanya terdiri dari tiga unsur. Pertama, humanum yaitu gambaran manusia dalam hakekat dan kedudukannya di dunia. Hakekat manusia sering dikatakan sebagai pribadi merdeka, makhluk Tuhan, bahkan dalam Islam disebut sebagai khalifah atau wakil Tuhan di dunia. Sebagai individu, manusia merupakan unsur utama dalam kolektivitas (kehidupan bersama manusia lain). Dengan kata lain, manusia disebut anggota sosial. Kedua, humanitas yaitu hubungan baik dan harmonis antara seseorang dengan manusia lain yang ditandai oleh kehalusan budi pekerti dan adab, pengertian, apresiasi, simpati, kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, dan lain sebagainya. Ketiga, humaniora yaitu sarana pendidikan untuk mencapai humanitas berupa ilmu pengetahuan budaya warisan berbagai bangsa, termasuk warisan budaya bangsanya sendiri. Selanjutnya, religius atau religiusitas merupakan sikap keberagamaan manusia di hadapan Tuhan. Dalam The World Book Dictionary (Atmosuwito, 1989: 123) dikemukakan bahwa religiusitas berarti religious feeling or sentiment atau perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan merupakan segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan seperti perasaan takut dosa (guilt feeling), takut kepada Tuhan (fear to God), dan kebesaran Tuhan (God’s glory) (Atmosuwito, 1989: 124). Religiusitas dapat dikatakan mengatasi agama yang biasanya terbatas pada ajaran-ajaran (doctrines) dan peraturanperaturan (laws) (Atmosuwito, 1989: 123). Religiusitas lebih melihat aspek
33
yang “di dalam lubuk hati”, getaran hati nurani pribadi yang tidak dapat diketahui atau pun diukur orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (keimanan) dalam setiap pribadi manusia (Mangunwijaya, 1982: 11). Menurut Paul Tillich yang dikutip Wachid (2005: 150) religiusitas merupakan “dimensi kedalaman” seseorang yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam dari batas lahiriah semata, yang bergerak dengan dimensi vertikal (hubungan dengan Tuhan). Berdasarkan uraian tentang pandangan humanisme dan pandangan religiusitas di atas, dapat dirumuskan bahwa pandangan humanisme religius merupakan suatu pandangan tentang kesadaran dan ikhtiar manusia sesuai dengan kodrat kemanusiannya yang muncul dari dalam diri manusia secara personal yang wujud dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatannya yang utama. Muaranya adalah terbentuknya identitas manusia sebagai makhluk yang baik terhadap sesamanya sekaligus berbakti kepada Tuhan. Pandangan humanisme religius seperti dikatakan ini diasumsikan terdapat dalam EINH. Hal ini sesuai dengan realitas masyarakat di Indonesia terutama tentang ibadah haji. Film dan cerpen ibarat „potret‟ realitas yang dibingkai dengan cara yang berbeda tetapi mempunyai esensi yang sama. Haji adalah ibadah yang hubungannya dengan Tuhan atau religius. Haji menjadi humanisme karena sistem pelaksanaannya di Indonesia (letak yang jauh dari Mekah dan sistem kuota) melibatkan banyak orang sesama muslim. Ada keterkaitan antara kepentingan ibadah personal antara seseorang dengan Tuhan, tetapi menjadi tidak personal lagi manakala mekanisme ke tempat ibadah adalah kepentingan bersama (banyak orang) yang juga ingin beribadah pada Tuhan. Secara agama, kewajiban berhaji memang hanya sekali bagi setiap umat Islam, tapi tidak ada larangan jika ingin melakukannya berkali-kali asal mampu. Ukuran mampu ini untuk sementara hanya dipandang oleh masyarakat secara finansial sehingga orang yang punya banyak dana bisa berhaji tak hanya sekali. Ini menjadi masalah karena kuota keberangkatan haji Indonesia yang diberikan hanya terbatas. Orang yang sudah sangat ingin berhaji, menabung bertahun-tahun, bahkan sudah usia lanjut, belum tentu bisa berangkat haji karena kuotanya telah dipenuhi orang-orang yang mendaftar lebih dulu dengan dananya yang sangat mencukupi. Sistem pelaksanaan haji di Indonesia yang demikian itulah yang menyebabkan antrian berhaji menjadi sangat panjang, bahkan untuk orang yang akan berangkat sekali (belum pernah sebelumnya) dan dalam usia yang lanjut. Waiting list jamaah haji saat ini sudah mencapai lebih dari 1,7 juta orang dengan kuota sekali haji hanya sekitar 221 ribu orang. Ini berarti jika mendaftar tahun ini, kemungkinan akan berangkat haji adalah sekitar delapan tahun lagi. (www.haji.kemenag.go.id/assets/data/majalah/edisi_II_web.pdf).
34
Realitas itulah yang menyebabkan adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat yang kemudian „dipotret‟ dalam sebuah karya sastra berjudul Emak Ingin Naik Haji. Di satu sisi ada orang yang sangat menginginkan naik haji— karena itu bagian dari rukun Islam—tapi tak mampu terkendala biaya. Namun di sisi lain ada yang dengan mudah berkali-kali haji dan umrah. Tokoh emak dalam EINH mewakili sekian banyak umat Islam yang tidak bisa berangkat haji karena beberapa faktor. Menjadi ironi karena tokoh tersebut kemudian disandingkan dengan kenyataan lain, orang bisa dengan mudah naik haji karena punya banyak uang dan berhaji yang hanya mengejar gelar atau status di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, terlihat ada tiga hal mendasar yang bisa disebut sebagai persamaan yaitu Zein dan ibunya yang sangat ingin naik haji, tetangga mereka—juragan haji—yang sudah naik haji berkali-kali, dan tokoh politisi yang naik haji karena hanya ingin mendapat gelar „haji‟ untuk mendongkrak suara saat pemilu nanti. Ketiga hal tersebut ada dalam cerpen dan film meskipun dengan pemunculan yang berbeda. Emak dan Zein sebagai tokoh sentralnya karena semua hal yang terjadi akan bersinggungan dengan mereka.
Haji Saun
NAIK HAJI
Joko Satrianto (Politisi)
Emak dan Zein Keterangan gambar: : keinginan berhaji tapi beda niat/sebab --- > : relasi/hubungan Selanjutnya akan dipaparkan makna yang dapat diungkap akibat perbedaan yang ditimbulkan antara cerpen dan film EINH. Perbedaan yang muncul memang ada yang disebabkan oleh perbedaan sistem sastra dan sistem film, tetapi ada juga perbedaan yang memang disengaja oleh tim produksi film. Perbedaan yang disengaja, dalam arti mempunyai maksud atau tujuan tertentu adalah sebuah kewajaran. Hal ini sejalan dengan yang dikemukan Iser. Iser
35
menyatakan bahwa pusat dari pembacaan semua karya sastra adalah interaksi antara struktur dan penerimanya. Hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan terhadap suatu karya sastra akan berpotensi untuk menyebabkan pemaknaan yang berbeda. Begitu juga dengan film EINH. Apa yang ada di dalam film adalah hasil pembacaan tim produksi film terhadap cerpen EINH. Sebuah teks sastra (dalam hal ini cerpen EINH) akan mengalami beragam perubahan jika ditransformasikan ke dalam wahana lain oleh orang (pembaca) yang baragam pula. Menurut Iser, sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai wilayah indeterminasi atau wilayah ketidakpastian (indeterminacy areas). Wilayah ketidakpastian merupakan “bagian-bagian kosong” atau “tempat-tempat terbuka” (leerstellen, open plek) yang “mengharuskan” pembaca untuk mengisinya. Dalam mengisi “tempat-tempat kosong” yang terdapat di dalam karya sastra, pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana yang memungkinkan untuk berdialog dan berkomunikasi dengan teks sastra. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau melalui teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari repertoire (bekal atau bahan yang berupa pengetahuan dan pengalaman pembaca) dengan strateginya sehingga lahirlah realisasi teks (Iser, 1978:20, 107). Realisasi teks berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari para pembaca disebabkan mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pula. Penyebab terjadinya perubahan antara alur dan penokohan di dalam cerpen dan di dalam film disebabkan oleh keinginan dari tim produksi film dengan tujuan tertentu. Beberapa tujuan yang dapat penulis tafsirkan antara lain dijabarkan berikut ini. Penambahan tokoh yang muncul di sekitar tokoh pusat merupakan upaya memperjelas kesenjangan sosial yang ada. Secara esensi cerita sama, namun dalam film dimunculkan tokoh dan alur tambahan agar konflik yang ada semakin kuat. Konflik yang riil didekatkan dengan masyarakat yakni perbedaan niat antara tiga tokoh yang sama-sama akan naik haji yaitu Emak, Haji Saun, dan politikus Joko Satrianto. Perubahan yang muncul berikutnya berdasarkan fakta yang ada setelah mencermati cerpen dan film EINH menurut penulis adalah perubahan yang bersifat akumulasi dari perubahan-perubahan sebelumnya. Ekspresi humanisme religius dalam cerpen mengalami pengembangan dalam film. Hal tersebut terjadi selain karena teks cerpen yang memang pendek—harus dikembangkan untuk film—juga kebutuhan bentuk transformasinya yang lebih detil. Film menuntut adanya penggambaran-
36
penggambaran yang nyata, runtut dan detil yang bisa ditangkap penonton sebagai kesatuan makna. Kalimat-kalimat pendek dalam cerpen berubah menjadi rangkaian gambar bergerak yang dinamis sehingga impresinya tetap mengena meskipun dengan media yang berbeda. Humanisme religius yang tetap muncul dalam cerpen maupun film EINH adalah sebagai berikut. 1. Tokoh pusat (Emak dan Zein) ditampilkan sebagai masyarakat kelas bawah yang religius, tapi tak bisa menunaikan rukun Islam yang kelima karena masalah materi. Namun demikan, tokoh tersebut selalu membantu orang lain yang kesusahan sehingga mereka mengesampingkan keinginan pribadinya untuk berhaji. 2. Tokoh Haji Saun dimunculkan sebagai kontras tokoh pusat, yaitu keluarga kaya raya yang sudah sering pergi ke tanah suci. 3. Tokoh politikus juga muncul sebagai orang yang bisa mudah berhaji dengan dana yang sangat tinggi, namun tujuan berhajinya karena masalah gelar untuk kepentingan politik. 3. Kesimpulan Dalam transformasinya di film, ketiga tokoh utama dalam EINH dikembangkan sedemikian rupa dengan perubahan bervariasi yang walau bagaimanapun tetap menunjukkan bahwa EINH ingin menyuguhkan kepada masyarakat kita sebuah realita sosial. Ada masyarakat yang sangat ingin naik haji tapi tidak mampu masalah dana, ada yang berkali-kali naik haji namun kelakuannya tidak berubah, dan ada yang naik haji karena mengejar gelar untuk kepentingan stasus di masyarakat. Penambahan-penambahan yang ada dalam film merupakan hal yang wajar karena memang keduanya mempunyai media yang berbeda. Cerpen EINH yang memang singkat, tidak bisa diterjemahkan apa adanya dalam film sehingga tim produksi membuat penambahan agar konflik semakin mengena dan durasinya mencukupi. 4. Daftar pustaka Atmosuwito, Subijantoro. 1989. Perihal Sastra dan Religiusitas dalam Sastra. Bandung: Penerbit C.V. Sinar Baru. Bluestone, George. Novel into Film. Berkeley Los Angeles, London: University of California Press. Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. Ithaca and London: Cornell University Press. Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah.
37
Hadiansyah, Firman. 2006. Adapatasi Novel Biola Tak Berdawai ke dalam Film: Kajian Perbandingan. Tesis. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia. Iser, Woflgang. 1978. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response.. London: The Johns Hopkins University Press. Jauss, Hans Robert. 1983. Toward an Aestetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press. Jong, Kess de. 2001. “Humanisme Trasendental yang Kadang Perlu Diteriakkan”. dalam Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Kolker, Robert Phillip. 2002. Film, Form, and Culture. New York: McGrawHill Education. Maddux, Rachel, Stirling Silliphant, and Neil D. Isaacs. 1970. Fiction into Film A Walk in the Spring Rain. New York: A Delta Book. Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Monaco, James. 1981. How to Read A Film. New York: Oxford University Press. Nadia, Asma. 2009. Emak Ingin Naik Haji. Jakarta: Asma Nadia Publishing. Sani, Asrul 1992. Cara Menilai Sebuah Film. Terjemahan The Art of Watching Film karangan Joseph M. Boggs. Jakarta: Yayasan Citra. Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo. Suseno, Frans Magnis. 1992. “Di Senja Zaman Ideologi: Tantangan Kemanusiaan Universal”. dalam Tantangan Kemanusian Universal: Antalogi Filsafat, Budaya, Sejarah-Politik & Sastra: Kenangan 70 Tahun Dick Hartoko. (ed) G. Moedjanto. Yogyakarta: Kanisius. Venayaksa, Firman. 2005. Keterpengaruhan Novel dan Film. Jakarta: Majalah Mata Baca.
38