NOSTALGIA SEBAGAI PEMBENTUK RUANG KOTA UTOPIA DALAM FILM (Studi Kasus: Film Pleasantville dan Midnight in Paris) Maulina Fajrini dan Herlily Program Sarjana Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Film berperan sebagai media representasi utama yang digunakan oleh para ahli sejarah dalam menampilkan kembali ruang kota di masa lalu lewat nostalgia. Memori-memori memberikan identitas ruang dalam set film sebagai karakter utama sehingga memunculkan ruang lain yang bersifat imajiner, salah satunya merupakan ruang utopia. Ruang utopia masa lalu di dalam film direpresentasikan lewat simbol yang menjadi kunci utama dalam mengaitkan plot cerita dan mengandung nilai-nilai tradisional yang dapat mendukung keadaan utopia masa lalu sebagai tema utama representasi. Skripsi ini menggunakan 2 film berbeda yang diproduksi dalam 15 tahun terakhir, Pleasantville (1998) dan Midnight in Paris (2011) untuk melihat bagaimana representasi yang dihadirkan terhadap ruang kota utopia masa lalu berdasar pada persepsi personal. Kata kunci: film; nostalgia; memori; ruang kota; utopia Nostalgia as a Factor in the Production of Utopian Urban Space in Film (Case Study: Film Pleasantville and Midnight in Paris) Abstract Films are used, by historian, as the primary media of representing urban space in the past through nostalgia. Memories are the main characteristics of the identity in film set space. Hence the production of another space, an imaginary space, the utopia. Utopian space of the past in films are represented in symbols which become the key in story plots. These contain traditional values that enhances the utopia state of the past as the representation main theme. This writing utilises two different films which are produced within the last fifteen years, “Pleasantville” (1998) and “Midnight in Paris” (2011), in order to analyze how the representation of the past utopian urban space are based on personal perception. Keywords: film; nostalgia; memory; urban space; utopia 1. Pendahuluan Di era modern saat ini, terdapat banyak sekali bentuk seni. Mulai dari seni rupa, seni gerak, seni vokal, seni sastra dan seni teater. Namun, ada dua bentuk seni yang memiliki keterkaitan kuat dengan ruang (spasial art), yakni film dan arsitektur. “It is architecture that
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
has had the most privileged and difficult relationship to film.” (Anthony Vidler dikutip oleh Michael Dear, 1994:9) Film dan arsitektur merupakan dua seni yang hubungannya paling istimewa serta juga paling kompleks. Maka di dalam tulisannya Michael Dear, Between Architecture and Film disebutkan bahwa kedua bentuk seni ini dijembatani oleh konsep ruang dan waktu yang mengikuti disiplin ilmu geografi (geografi sebagai ilmu pengetahuan dasar mengenai ruang). Dengan menjadikan geografi sebagai basis, maka lingkungan datang terlebih dahulu pada representasi melalui film yang nantinya akan diisi oleh narasi dan karakter. Lingkungan tidak hanya berperan sebagai latar, namun sebagai karakter utama film yang perannya dapat dimainkan sendiri. Menurut Boake (2005), dalam beberapa abad terakhir ini,\ film telah menjadi sebuah medium yang dapat membantu kita memahami ruang-ruang urban (urban spaces) dan pengalaman arsitektural secara tiga dimensi yang sebelumnya hanya dapat diungkapkan atau dideskripsikan melalui kata-kata dan representasi lewat dua dimensi. Sebelum munculnya film, ruang yang “diungkapkan” tersebut hanya berada di dalam imajinasi manusia dan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Dapat disimpulkan bahwa visi kita terhadap ruang pada masa itu sangat terbatas. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Grigor (1994) dalam tulisannya di Space in Time. Filming Architecture, bahwa di masa lalu, pengetahuan kita terhadap bangunan hanya sebatas tampak fasad yang terisolir (bangunan sebagai lukisan) dan bentuk bangunan (bangunan sebagai sculpture). Hanya film yang dapat menyampaikan esensi-dimensi secara spasial dari ruang dan volume bangunan tersebut. Sehingga melalui film lah pengalaman ke-„ruang‟-an manusia bertambah. “After all, this is how we all experience buildings, inside and outside: we walk, we look, we pass through space. Perspectives are revealed. Corners turned. Scale changes. The depth dimension is revealed. Details can be explored,” (Grigor, 1994:19). Menurut Grigor (1994), pada dasarnya manusia dapat merasakan ruang dalam suatu bangunan dengan berjalan, melihat dan melalui ruang tersebut. Setelah aktivitas ini dilakukan, pengalaman ruang yang dirasakan tersebut memberikan visi baru yang lebih mendalam terhadap ruang, dimana skala dan sudut pada ruang berubah, sudut pandang dan kedalaman dimensi pada ruang tersebut menjadi terungkap sehingga detail pada ruang juga dapat dieksplorasi. Visi baru terhadap ruang yang ada di pikiran manusia tersebut kemudian mulai
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
dikolaborasikan dengan imajinasi untuk mengisi celah-celah kosong pada ruang dalam keadaan yang sebenarnya (reality) (Toy, 1994). Imajinasi berkembang memunculkan adanya suatu ide untuk menampilkan gambaran “other spaces” (ruang lain) terhadap set yang sudah ada. Menariknya, ide mengenai representasi “ruang lain” telah menjadi tren kontemporer pada film-film masa sekarang, terutama dalam 15 tahun terakhir (1998-2013). Gambaran “other spaces” ini berupa utopia dan dystopia. Utopia merupakan gambaran/gagasan mengenai ruang yang keadaan di dalamnya berada pada kondisi ideal, sementara dystopia menggambarkan hal yang sebaliknya (Foucault, 2008). Dengan adanya representasi mengenai „other spaces‟ ini, maka film dimaksudkan agar dapat mengkomunikasikan sebuah gagasan yang ingin disampaikan oleh pembuat film dengan adanya pesan yang tersirat. Gagasan mengenai utopia muncul karena adanya persepsi mengenai ruang utopia yang tidak pernah tercapai pada masa sekarang, kemudian dicari di masa lalu melalui nostalgia. Berdasarkan penjelasan mengenai latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka muncul pertanyaan: seperti apakah keterkaitan antara nostalgia dan utopia jika direpresentasikan di dalam film yang diproduksi pada 15 tahun terakhir (1998-2013)? 2. Tinjauan Teoritis 2.1.Film sebagai Media Representasi Ruang dan Waktu “Screen representations of real life, fantasy, future or past involve us by drawing our imaginations into an image of reality with a narrative time, space, look, and sound similar to the senses of apprehending the world we learn as very young children,” (Barta, 1998:9). Penerapan teori ini dilakukan dengan cara menggambarkan imajinasi kita menjadi gambar-gambar realitas yang memiliki konten waktu, ruang serta tampilan dalam bentuk naratif sehingga dapat terlihat layaknya indera kita belajar memahami dunia pada saat kita masih anak-anak. Pada fase ini dapat disebut sebagai fase “belajar” dikarenakan proses tumbuh kembang yang menstimulasi indera dan otak kita untuk mengeksplorasi dunia dengan berbagai cara, sehingga memunculkan imajinasi yang tanpa batas.
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Maka dengan menggunakan metode inilah para pembuat film berlomba-lomba mengasah kreativitas mereka dalam berkarya dengan kembali berimajinasi seperti saat mereka masih berada pada fase ini. Lewat film, mereka dapat menyalurkan persepsi mengenai sebuah ide di dalam imajinasi mereka dengan lebih jelas yang serta merta melibatkan konsep mengenai ruang dan waktu. Konsep mengenai keterikatan ruang dan waktu di dalam film dicetuskan oleh Pallasmaa, yakni
gambaran
mengenai
lived
space
(ruang
hidup)
dan
bagaimana
sinema
mengkonstruksikan ruang di dalam pikiran kita, sama halnya dengan bagaimana arsitektur menciptakan a sense of place (arti dan persepsi dari keberadaan tempat) serta domesticated space (ruang yang ditempati). Kegunaan arsitektur dalam film adalah untuk mengaitkan setiap peristiwa di dalam cerita serta memberikannya identitas. Hal ini juga untuk mengaktifkan imajinasi penonton sehingga gambaran yang ditangkap melebihi apa yang direpresentasikan lewat frame (Bergfelder, Harris, & Street, 2007). Pallasmaa (2001) menambahkan bahwa film dan arsitektur keduanya dapat menyiratkan secara kinestetik pengalaman terhadap ruang dan citra yang tersimpan di dalam memori kita dan diwujudkan dalam bentuk gambaran haptic sebanyak gambar yang kita terima lewat retina mata. Identitas ruang di dalam film akan selalu terikat dengan konsep waktu. Film tidak hanya sebagai media yang dapat menampilkan rekonstruksi ruang pada tempat bersejarah di masa lalu, namun juga dapat menampilkan ruang dan tempat yang masih bersifat visionary atau imaginary. Menurut Alsayyad (2006), waktu lah yang dapat mendefinisikan hubungan yang terbentuk antara individual dengan masyarakatnya. Seiring dengan perubahan waktu, maka terjadi pula perubahan di antara hubungan masyarakat dan individu yang membentuknya. Pernyataan ini juga didasari oleh adanya saran dari G.J. Whitrow bahwa pada saat ini, orang-orang menganggap waktu di masa sekarang lebih signifikan sehingga kerap melupakan waktu di masa lalu. Oleh karena kondisi inilah para ahli sejarah melihat film sebagai alat untuk menampilkan masa lalu. Hal ini dirasakan karena adanya kebutuhan untuk kembali bernostalgia, melihat memori di masa lalu sebagai proyeksi akan fantasi mengenai hal-hal dinamis yang dijadikan basis untuk mengkonstruksikan masa depan (Vidal, 2012).
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
2.2.Film sebagai Media Rekonstruksi Masa Lalu (Nostalgia) “Nostalgia: n. 1 Sentimental yearning for a period of the past. 2 regretful of wistful memory of an earlier time 3. Severe homesickness,” (Oxford English Dictionary). Nostalgia juga dapat didefinisikan sebagai kerinduan akan sesuatu di dalam memori yang sudah tidak lagi ada – atau tidak pernah ada. Perasaan kehilangan ini dipicu oleh adanya rasa kepemilikan terhadap masa lalu (Legg, 2004). Kemudian lewat film sebagai media representasi dalam merekonstruksi masa lalu diwujudkanlah sebuah genre film yang disebut period film. Period film adalah film yang menceritakan/ menggambarkan kembali suatu periode tertentu di masa lalu. Menurut Ellis-Christensen (2003), period film dibagi menjadi 2 kategori, yakni yang pertama dijadikan sebagai suatu usaha dalam merepresentasikan secara realistis sebuah kejadian yang bersejarah (biopic). Kategori satunya adalah yang menggunakan sejarah sebagai latar untuk membuat karakter-karakter baru atau plot cerita yang tidak memiliki dasar-dasar nilai sejarahnya (menambahkan karakter-karakter yang dapat dimasukkan ke dalam satu periode tertentu secara sempurna). Unsur-unsur yang terdapat di dalam period film biasanya memiliki arti tersendiri sebagai simbol yang merepresentasikan keadaan pada masa lampau. Period film merepresentasikan budaya yang sudah sangat familiar namun berada sangat „jauh‟. Jauh dalam artian tidak dapat dijangkau karena adanya jarak yang dipisahkan oleh waktu. Di balik nostalgia yang ada dalam memunculkan esensi dari sesuatu yang hilang, period film juga dapat merepresentasikan masa lalu lewat imajinasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan ekspektasi untuk masa sekarang kepada banyak generasi (Vidal, 2012). Karena adanya kebutuhan dan ekspektasi inilah period film banyak yang ditampilkan sebagai representasi dimana keadaan pada masa lampau jauh lebih baik daripada masa sekarang. Period film dapat dilihat sebagai cara untuk mengangkat isu yang mendominasi selera masyarakat terhadap nostalgia dengan memproses dan menginterpretasikan kembali suatu tradisi di dalam budaya (Vidal, 2012). Dengan adanya nostalgia dan keinginan untuk menginterpretasikan kembali suatu tradisi ini serta tampilan di masa lalu yang lebih baik, munculah representasi dunia lewat imajinasi yang dikenal dengan utopia. 2.3.Utopia Masa Lalu Dalam Konteks Urban dan Society
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
“The word utopia was first originated in the literary works of the 1st century BC Classical Greek philosopher and mathematician, Plato. Created from the Greek words eu ("good"), ou ("no") and topos ("place"), utopia represented an unobtainable perfect society or community, in which social, economic, environmental, and scientific conditions were ideal. These intentionally created perfect fictional communities were frequently the focus of many philosophical literary works over the centuries. It has also spawned other concepts, most notably anti-utopia or dystopia (which describes societies where the way of life is heavily influenced by the oppressive and all-powerful state control),” (Utopia Definition, n.d.) Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Utopia merupakan sebuah gagasan yang didasari oleh adanya keinginan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang ideal, serta dapat hidup berdampingan. Gagasan ini sudah hadir sejak satu abad sebelum Masehi, dimana kata utopia yang berasal dari bahasa Yunani eu ("good"), ou ("no") and topos ("place"), memiliki arti sebuah masyarakat atau komunitas sempurna yang kondisi sosial, ekonomi, lingkungan dan ilmu pengetahuannya berada pada kondisi ideal – namun kondisi ini belum dapat tercapai, sehingga masih berupa gagasan dan persepsi. Pada awalnya utopia digagaskan oleh orang-orang yang berpengaruh sekaligus memiliki peran penting dalam mengontrol keadaan komunitas dan society ke arah yang lebih baik. Utopia ini kemudian memunculkan konsep lainnya, yang dikenal sebagai anti-utopia atau dystopia yang mana menggambarkan society berada di bawah pengaruh kekuatan dominan yang kejam. Society yang berarti juga masyarakat, dapat didefinisikan sebagai komunitas dimana orang-orangnya hidup di sebuah negara atau wilayah yang berbagi tradisi, hukum dan organisasi yang sama. Berbicara mengenai masyarakat, maka tentu kita berbicara tentang kota. Konteks kota telah direpresentasikan dalam berbagai macam gagasan mengenai utopia sejak berabad-abad lalu. Plato (424/423 Sebelum Masehi – 348/347 Sebelum Masehi) adalah orang yang pertama kali mencetuskan adanya gagasan mengenai utopia di dalam bukunya yang berjudul Republic. Di dalam bukunya Plato menggambarkan sebuah keadaan kota yang sempurna – pada era sebelum peradaban kristiani dimulai. Warga di kota ini dipisahkan dalam beberapa kelas yang telah didefinisikan secara kuat, dan diatur oleh „Golden Ruler‟ yang paling berkuasa. Tugas utama dari „Golden Philosopher Kings‟ ini adalah memusnahkan kemiskinan dan perbudakan.
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Di bawah kuasanya, warga di kota ini diatur oleh hukum dan adanya toleransi dalam beragama (Utopia Definition, n.d.). Gagasan mengenai utopia yang dicetuskan oleh Plato ini kemudian disederhanakan menjadi Ou-topos (Utopia) yang tidak lain adalah tempat dimana kesempurnaan bersifat abadi dan tidak dapat berubah, karena perubahan apapun yang dilakukan akan berarti berkurangnya esensi dari utopia itu sendiri. Pada tahun 1516, Thomas More mencetuskan gagasannya ini untuk menggambarkan sebuah negara imajiner yang penghuninya hidup di bawah kondisi sosial yang ideal. Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya peradaban, gagasan mengenai utopia menjadi lebih kompleks. Persepsi serta pandangan dari beberapa ahli terkemuka mengenai utopia pun menjadi bermacam-macam. (Jorge dalam Krause & Petro, 2003). Dalam tulisan yang dimuat pada sebuah situs bernama www.utopiaanddsytopia.com, utopia merepresentasikan sebuah komunitas atau masyarakat sempurna yang hingga saat ini belum dapat terwujud, dimana keadaan sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi berada dalam keadaan yang ideal. Utopia dalam konteks ekologi mulai diusulkan seiring dengan munculnya industri di dunia Barat. Dideskripsikan bagaimana masyarakat menjalani kehidupan mereka dalam keseimbangan yang sempurna dengan alam, tanpa adanya kerusakan dan kontaminasi. Utopia ekologi sering diyakini sebagai inspirasi untuk gerakan politik yang berkembang di era modern ini, yakni green politic. Utopia dalam konteks perekonomian muncul selama ekspansi singkat dari awal dimulainya revolusi industri pada abad ke-19. Dipengaruhi oleh munculnya kemiskinan, komersialisme dan kapitalisme, beberapa utopia dalam ekonomi menggambarkan lingkungan dengan distribusi egaliter barang, penghapusan uang, dan lingkungan kerja di mana warga hanya mengerjakan pekerjaan yang mereka suka. Utopia secara politik menggambarkan lingkungan yang mana populasi dari seluruh dunia (termasuk galaksi dan alam semesta) hidup dalam kesempurnaan yang harmonis. Utopia dalam beragama dapat dipisahkan menjadi dua konsep, yang pertama dimana kondisi yang digambarkan adalah semua agama menyetujui untuk menghilangkan semua kepercayaan yang tidak memiliki dasar secara logika dan irasional, serta dapat menerapkan ilmu pengetahuan sebagai dasar dari kehidupan. Konsep lainnya menggambarkan dimana masyarakat hidup dalam damai, semua agama memutuskan untuk bergabung menjadi satu – membentuk sebuah agama utopia yang menyembah kepada satu kekuatan (baik yang sifatnya
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
ilmu pengetahuan, atau supernatural) yang mana telah menciptakan seluruh alam semesta. Agama yang sekarang ada masing-masing memiliki gambaran tersendiri bagaimana utopia sempurna tersebut – kebanyakan dikenal sebagai Garden of Eden atau surga. Utopia ini digambarkan sebagai tempat-tempat yang bisa dicapai dengan pengabdian penuh kepada kepercayaannya. Di tempat ini tidak dipenuhi dengan dosa, sakit, kemiskinan dan kematian. Lewat agama, pemikiran manusia dibentuk untuk percaya bahwa dunia utopia tersebut berada secara vertikal dari bumi – surga setelah kematian. Hal ini termasuk ke dalam penerapan representasi utopia lewat wawasan dan pikiran. Kemudian dengan adanya perkembangan waktu dan perkembangan teknologi, maka manusia mulai menciptakan dunia utopia yang berada di suatu tempat – dalam bentangan horizon bumi (Sands dalam Krause & Petro, 2003). Utopia dalam konteks ruang urban memiliki arsitek yang berperan sebagai pencetus ideologi masyarakat; individu merupakan objek yang tepat dalam merancang intervensi perencanaan kota. Peran yang dimiliki arsitek merupakan peran yang persuasif dan merupakan kritikan terhadap diri sendiri dalam menyelesaikan problem pengembangan kota yang dimulai dari pengembangan individunya (Tafuri, 1976). Representasi ruang utopia dalam konteks urban dan society dapat diterapkan lewat pikiran dan wawasan, praktik sosial, kekuatan politis. Ruang ini akan menjadi ruang dalam keseharian di masyarakat serta perannya dilindungi dalam tujuan mencapai representasi ruang utopia itu sendiri (Easthope dalam David B. Clarke, 1997). Penerapan gagasan utopia lewat wawasan dan pikiran adalah dengan menanamkan ideologi utopia itu kepada masyarakat sehingga dapat mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam penerapan ini. Kemudian dengan adanya penanaman ideologi ini, maka direpresentasikan bahwa Utopia di masa lalu di dalam masyarakat adalah masyarakat dapat memandang status gender setara; wanita dan anak-anak mendapatkan hak yang sama dengan pria, seperti yang diungkapkan oleh ahli filosofi dari Italia, Tommaso Campanella. Serta kesetaraan hak ini diharapkan dapat menghapus perbudakan. Hal ini telah digagaskan sejak sebelum abad ke-20, dimana diantaranya merupakan karya-karya fiksi yang terkenal. Lewat karya-karya inilah kita dapat mengetahui gagasan mengenai masyarakat yang ideal sebelum adanya modernitas. Melihat representasi utopia masa lalu sebagai bentuk nostalgia, diharapkan dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi masa sekarang dan masa depan, terutama pada ruang kota. Hal ini dikarenakan masa depan kota bergantung pada sisa dari public place yang tetap menjadi pusat pengembangan dan adanya ruang yang dapat menghubungkan
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
antara warga kotanya dan orang-orang yang memimpin kota tersebut, serta dapat pula menghubungkan antara mimpi mereka dan realita (Jorge dalam Krause & Petro, 2003). 3.2. Representasi Utopia Masa Lalu dalam Konteks Urban dan Society di Dalam Film Menurut Rob Lapsley dalam buku David B. Clarke yang berjudul The Cinematic City (1997), kota di dalam film direkonstruksikan sebagaimana gambaran dan representasi yang ditampilkan lewat lingkungan buatan, pergeseran demografi dan potensi yang terdapat pada kota tersebut. Isu-isu utama di dalam permasalahan kota seperti gender, etnis, usia dan agama turut memberikan arti bagi citra dan representasi kota dalam menginformasikan adanya praktik sosial dalam upaya menghasilkan gagasan utopia. Terdapat 3 metode dalam merepresentasikan kota, yakni real, symbolic dan imaginary. Metode yang pertama menampilkan kota dalam keadaan senyata mungkin, namun akan memiliki kekurangan pada rasa kepemilikan dikarenakan set tidak memiliki karakteristik yang cukup kuat untuk mendukung kegiatan si tokoh protagonis dalam film. Metode kedua, metode symbolic memberikan kebebasan kepada penonton untuk mendefinisikan sendiri ruang yang terbentuk pada set kota tersebut. Metode ini dilakukan dengan memasukkan pesan yang unik lewat representasi kota sehari-hari di dalam scene filmnya. Sedangkan untuk metode imaginary, kota berperan sebagai citra dan representasi yang diangkat sebagai pesan dalam menyampaikan keinginan terhadap perubahan. Dalam merepresentasikan kota dan ruang di dalam set film lewat eksplorasi ketiga metode ini, maka terbentuklah 3 citra yang merepresentasikan kota dan ruangnya (Rob Lapsley dalam David B. Clarke, 1997). “I shall explore three attitudes toward representing the city and its spaces in 1960s Western cinema: 1. The city is „just there‟, naturalised; 2. A celebratory and utopian presentation of the city; 3. The city as sign and realisation of dystopia,” (Anthony Easthope dalam David B. Clarke, 1997:133). Keadaan kota yang ditampilkan natural (apa adanya) di dalam film memberikan kebebasan kepada penontonnya untuk mengintrepretasikan sendiri bagaimana gambaran mengenai kota tersebut yang dapat berupa utopia maupun dystopia. Kota dalam utopia dianalogikan seperti melihat sebuah lukisan dimana wujud keindahan menurut pandangan si seniman dipamerkan agar dapat diterima oleh orang-orang yang melihatnya (Will Straw dalam David B. Clarke, 1997).
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
“Glasgow is a magnificent city,‟ said Thaw.‟… Think of Florence, Paris, London, New York. Nobody visiting them for the first time is a stranger, because he‟s already visited them in paintings, novels, history books and films. But if a city hasn‟t been used by an artist not even the inhabitants live there imaginatively.” (Gray, (1981) dikutip oleh McArthur dalam David B. Clarke, 1997:19). Menurut pernyataan di atas yang disampaikan oleh Gray (1981), bahwa sebuah kota yang sering direpresentasikan lewat berbagai media representasi seperti Florence, Paris, London dan New York akan terlihat kurang menarik dibandingkan kota yang jarang direpresentasikan lewat media seperti Glasgow. Menurutnya, kota yang jarang direpresentasikan tersebut akan memberikan perasaan “asing” bagi orang-orang yang baru pertama kali mengunjunginya. Perasaan “asing” ini justru akan memberikan pengalaman ruang yang lebih eksploratif dan imajinatif karena pengunjungnya hanya dapat menunggu dan menebak-nebak rangkaian pengalaman yang akan diberikan oleh kota ini (Colin McArthur dalam David B. Clarke, 1997). Pengalaman imajinatif dalam merepresentasikan
identitas ruang kota yang baru
memberikan tujuan bagi para pembuat film untuk menyampaikan gagasan utopia lewat media film kepada masyarakat. Pengalaman imajinatif ini digambarkan dengan melintasi ruang dan waktu. Pandangan mengenai utopia yang tidak terjadi pada masa sekarang memicu keinginan bagi para pembuat film untuk menampilkan gagasan utopia dengan mencarinya ke masa lalu dalam bentuk nostalgia. Sebenarnya, kota-kota (ruang urban dan lansekap alam) di masa sekarang telah mengindikasikan situasi yang ideal. Namun, pandangan ini dikembalikan kepada orang yang melihat kota tersebut dan bagaimanakah pendefinisian mereka terhadap utopia dan dystopia itu sendiri (Colin McArthur dalam David B. Clarke, 1997). Representasi utopia masa lalu ditampilkan karena adanya keinginan bernostalgia untuk kembali ke masa lalu yang dirasa lebih baik – karena rasa ketidakpuasan terhadap masa sekarang. Oleh karena itu, representasi utopia masa lalu didominasi oleh tampilan nilai-nilai tradisional.Nilai-nilai tradisional yang ditampilkan dalam merepresentasikan identitas suatu masyarakat tentunya berbeda-beda. Secara umum, representasi nilai tradisional untuk set kota di masa lalu didominasi oleh tiga hal yakni „rumah‟, keluarga, dan komunitas. Ketiga nilai tradisional ini memiliki representasi ruang kota yang di dalamnya dapat mendukung gambaran utopia pada masa lalu.
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Representasi utopia masa lalu secara urban lewat media film pada umumnya menampilkan beberapa institusi yang mengatur kestabilan kawasan utopia ini. Representasi gagasan utopia pada umumnya bersetkan di sebuah tempat yang terisolir dan orang-orang yang tinggal di sana hidup dalam prinsip-prinsip yang mengatur tempat tersebut (Utopia Definition, n.d.). Mengkonstruksikan dan merepresentasikan sebuah kota utopia ke dalam pikiran memunculkan sebuah dunia dalam keadaan yang sempurna. Kita perlu mempertimbangkan pula kapasitas dari imajinasi manusia dalam keterkaitannya dengan ilmu pengetahuan. Halhal ini pada nantinya akan membahayakan kita dalam memberikan visi apakah kita membangun kota seperti mimpi kita atau malah berakhir dengan terwujudnya mimpi buruk (Annibal-Iribarne Jorge dalam Krause & Petro, 2003). “While so many of these dystopian visions are formulated as critiques of the Utopian ideal of the planned society, the escape from that society, framed as a new beginning, is often an escape to some more "natural" existence,”(Fitting, 1993:3). Mimpi buruk yang diungkapkan oleh Jorge ini dibenarkan pula oleh pernyataan dari Peter Fitting (1993). Adanya keinginan untuk melakukan perubahan dari keadaan sebelumnya (mengubah tradisi) memicu konflik utama dalam film yang merepresentasikan utopia. Kebanyakan konflik yang muncul pada film dengan tema masyarakat utopia adalah adanya pandangan dystopia yang diformulasikan sebagai kritikan terhadap idealnnya kondisi masyarakat yang telah diterapkan tersebut. Kemudian kritikan ini akan membentuk sebuah frame sebagai permulaan baru yang seringkali dijadikan sebagai pencarian cara untuk dapat “kabur” dari masyarakat utopia ini menuju ke keberadaan masyarakat yang kondisinya lebih “natural”. Tradisi dari pembuatan film dystopia berlanjut hingga saat ini digunakan sebagai kritikan terhadap visi dari utopia yang salah (AlSayyad, 2006). Kreasi dari dunia imajinasi utopia dan dystopia ini didasari pada persepsi optimis atau pesimis dari penggagasnya terhadap dunia tersebut. 3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu kajian literatur berupa pencarian literatur-literatur sebagai referensi kajian teori. Untuk selanjutnya, kajiankajian teori ini akan dikaitkan dengan studi kasus yang sudah ditentukan. Studi Kasus yang menampilkan dua film produksi dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (1998-2013) dengan
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
menampilkan set di periode lalu, tepatnya sebelum abad ke 21. Kedua film ini adalah film Pleasantville karya Gary Ross dan film Midnight in Paris karya Woody Allen. Kedua film ini akan membahas mengenai representasi utopia dalam keterkaitannya dengan nostalgia. 4. Hasil Penelitian Ruang kota utopia masa lalu direpresentasikan dengan berbasiskan referensi mengenai keadaan utopia masa lalu lewat memori. Berdasarkan analisis yang dilakukan pada 2 film produksi tahun 1998 dan 2011, Pleasantville dan Midnight in Paris menghadirkan seorang tokoh protagonis yang memiliki keinginan bernostalgia menjelajahi ruang dan waktu yang belum pernah mereka alami. Keinginan ini muncul karena adanya rasa tidak puas terhadap masa yang mereka jalani sekarang dan ekspektasi mengenai masa-masa terdahulu yang dinilai lebih baik daripada masa sekarang. Ekspektasi ini kemudian tersimpan di dalam memori karakter protagonis dan menimbulkan ruang imajinasi di dalam pikiran mereka untuk menjelajahi masa lalu. Ruang imajinasi ini berkembang dengan adanya ekspektasi terhadap keberadaan ruang lain yang dirasa lebih baik, yakni utopia. Keadaan utopia yang tidak terjadi di masa sekarang serta adanya ekspektasi personal mereka terhadap masa lalu yang lebih baik dalam bentuk nostalgia kemudian membawa mereka menemukan portal waktu untuk melakukan transisi ke ruang di masa lalu. Setelah melintasi ruang dan waktu menuju masa lalu, tokoh protagonis menjalani kehidupan di masa lalu sesuai dengan nilai-nilai tradisional yang telah ia impikan selama ini. Dapat kita simpulkan lewat film pertama, Pleasantville bahwa keadaan kota utopia di masa lalu yakni masyarakat menjalani kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai tradisional dan norma yang ada. Aspek-aspek yang akan membawa dampak negatif bagi nilai kesempurnaan masyarakat tersebut disingkirkan. Warga kota ini hidup dalam keharmonisan dengan menutup akses ke wilayah lain agar tidak adanya intervensi pada kota. Keadaan menyenangkan yang stagnan serta ruang kota yang tertata dengan baik menyebabkan tidak adanya kemiskinan, musibah dan penderitaan yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi pada kota. Sedangkan untuk representasi keadaan kota utopia di masa lalu dalam film Midnight in Paris, masyarakat berusaha untuk menciptakan keadaan utopia di dalam kota yang mereka tempati dengan membuka akses kunjungan bagi para pelancong dari seluruh penjuru dunia. Para pendatang ini diharapkan dapat menghidupkan komunitas seni dan budaya di dalam masyarakat yang pada masa itu sedang berkembang. Ruang kota diatur agar menjadi atraktif
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
dan dapat merepresentasikan kota Paris sebagai kota yang menyenangkan dalam pengembangan kota sebagai pusat seni dan budaya. Dua representasi masyarakat utopia di dalam kedua film ini memiliki gambaran yang bertolak belakang, dimana masyarakat dalam Pleasantville hidup dalam nilai-nilai kesempurnaan tanpa adanya intervensi dari pihak luar sedangkan masyarakat dalam film Midnight in Paris hidup dalam keberagaman budaya yang berasal dari berbagai tempat di dunia yang menambah nilai kesempurnaan mereka. Pada kedua film juga digambarkan bagaimana karakter masyarakatnya dalam usaha mencapai keadaan utopia tersebut turut mempengaruhi fungsi ruang kota dalam menciptakan representasi kota yang atraktif dan menyenangkan sehingga meninggalkan memori yang indah dan tidak terlupakan. Peran masyarakat menambah arti dari keberadaan ruang pada kota sehingga dapat menunjang kehidupan masyarakat agar menuju kesempurnaan. Simbol-simbol yang direpresentasikan di dalam kedua film dapat mendukung keadaan utopia di masa lalu. Dalam film Pleasantville, simbol-simbol disampaikan secara gamblang lewat sejumlah peraturan dan rutinitas yang dijalani oleh masyarakatnya. Sedangkan untuk film Midnight in Paris, pesta-pesta yang terdapat pada setiap bangunan dalam ruang kota membangun kesempurnaan pada masyarakatnya lewat seni dan budaya. Kemudian, sikap yang digambarkan para tokoh protagonis setelah menjalani nilai-nilai tradisional pada ruang utopia masa lalu adalah kesadaran akan rasa kepemilikan terhadap masa sekarang yang mereka jalani jauh lebih kuat dibandingkan dengan masa lalu. Keberadaan mereka di masa lalu dengan melintasi ruang dan waktu tidak lebih baik daripada masa sekarang yang mereka jalani, karena kehidupan dari satu masa ke masa lainnya tidak akan selalu menyenangkan dan dipenuhi kejutan. Perubahan pola pikir ini membawa mereka kembali ke kehidupannya di masa sekarang dan menyadari bahwa proses dalam menjalani kehidupan itulah esensi dari keadaan menyenangkan. Sikap yang diambil oleh para tokoh protagonis ini merupakan bentuk kritik terhadap nostalgia. 5. Pembahasan Penerapan ideologi utopia di dalam Pleasantville dilakukan dengan metode praktik sosial dimana warganya hidup dalam keharmonisan dan memiliki status sosial yang sama dalam mencapai nilai-nilai kesempurnaan. Representasi utopia ditampilkan bagaimana masyarakat di Pleasantville hidup dengan ideologi sosial yang ditanamkan serta norma-norma yang mengatur tindakan mereka sehari-harinya. Hidup saling tolong menolong dan peduli satu
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
sama lainnya sehingga mereka memiliki status sosial yang sama. Otoritas tertinggi di Pleasantville berada di tangan masyarakat itu sendiri sehingga tidak adanya sistem klasifikasi status sosial.
Gambar 4.1 Chamber of Commerce Sumber: Film Pleasantville, New Line Cinema
Pleasantville tidak memiliki pemerintahan yang bersifat formal. Satu-satunya institusi pemerintahan yang ada di Pleasantville adalah Chamber of Commerce. Institusi ini diatur oleh masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat akan langsung didengar dan dicarikan solusinya. Mereka hanya memiliki satu pemimpin kota, bernama Bob dan sebuah komite petinggi yang salah satunya adalah George Parker. Selama Pleasantville berada dalam keadaan yang menyenangkan serta aman terkendali, Chamber of Commerce tadinya hanya berfungsi sebagai wadah diskusi masyarakat. Namun, sejak terjadinya serangkaian perubahan yang ada di Pleasantville, institusi ini bertugas mengeksekusi tindakan yang dirasa dapat mengurangi makna kesempurnaan masyarakat Pleasantville.
Gambar 5. Representasi Rumah Di Pleasantville Sumber: Film Pleasantville, New Line Cinema
Kawasan hunian yang terdapat di Elm Street memiliki rumah yang bergaya Neo-Colonial. Gaya yang terdapat pada rumah di Pleasantville mencirikhaskan kawasan hunian suburban di Amerika pada tahun 1950-an. Setiap rumah memiliki halaman dengan rumput dan tanaman yang dirawat dengan baik. Pagar halaman yang tidak tinggi mengindikasikan bahwa tidak
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
adanya rasa individualisme di Pleasantville. Ruang privat dan publik memiliki jarak yang cukup lebar. Karena warga Pleasantville saling mengenal satu sama lainnya, mereka dapat melakukan interaksi di beranda atau dalam rumah. Antara jalur pejalan kaki dan halaman rumah juga dapat digunakan sebagai ruang interaksi. Jalur pedestrian di kawasan hunian ini juga memiliki memiliki ukuran yang cukup lebar sehingga pejalan kaki dapat berjalan berkelompok. Jarak antara jalan dan rumah pun cukup jauh karena dipisahkan oleh lebarnya jalur pejalan kaki, sehingga terciptalah suasana rumah yang nyaman karena polusi udara dan suara dari jalanan tidak langsung masuk ke dalam kawasan rumah.
Gambar 5.2 Potret sebuah keluarga ideal dalam Pleasantville Sumber: Film Pleasantville, New Line Cinema
Di dalam keluarga Pleasantville, ayah berperan sebagai figur utama yang bekerja dari pagi hingga malam sementara ibu mengurus rumah tangga serta menyiapkan makanan yang bernutrisi untuk sarapan dan makan malam yang selalu tersedia pada pukul 6 sore. Anak-anak bersekolah setiap harinya dan membanggakan orang tua. Gambaran kedekatan dalam hubungan keluarga ini menunjukkan sebuah idealisme akan keluarga di masa lalu sehingga rumah di dalam Pleasantville dapat disebut home. Keluarga yang ideal akan membentuk komunitas yang ideal pula di dalam masyarakatnya.
Gambar 5.3 Ruang-ruang berkumpul Sumber: Film Pleasantville, New Line Cinema
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Pada gambar 5.16 menggambarkan perbedaan posisi pria berkeluarga, ibu rumah tangga dan remaja terhadap ruang kota. Pria berkeluarga cenderung untuk berkegiatan di luar rumah dan berkumpul di tempat-tempat umum seperti barbershop dan arena bowling atau sekedar duduk bersama di bangku-bangku jalan. Mereka akan berdiskusi mengenai hal-hal yang terjadi di Pleasantville. Di saat para suami bekerja dan beraktivitas di luar rumah, para ibu cenderung melakukan perkumpulan di salah satu rumah mereka dan bermain kartu sebagai hiburan. Mereka akan bertukar informasi seputar warga Pleasantville. Sedangkan para remaja banyak menghabiskan waktu senggangnya dengan mengunjungi Soda Shop atau Lover‟s Lane. Ruang-ruang berbeda yang dijadikan sebagai tempat berkumpul dengan jelas merepresentasikan bahwa ruang-ruang berkegiatan diatur dalam norma-norma bermasyarakat dan berdasarkan gender. Seorang wanita yang berumah tangga sebaiknya menghabiskan waktu di rumah, mengurus rumah dan menunggu suami pulang setelah selesai berkegiatan di luar rumah. Pada era 1950-an, para istri tidak boleh bekerja di luar rumah, berkegiatan di dalam rumah dan mengurus rumah tangga. Para wanita yang masih remaja memiliki tanggung jawab untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik pada generasi berikutnya. Bud dan Mary-Sue (David dan Jennifer) pergi ke sekolah yang sama dimana Jennifer mengetahui bahwa buku-buku yang ada di Pleasantville tidak memiliki tulisan. Informasi yang disampaikan lewat koran dan televisi hanya seputar keadaan yang terjadi di Pleasantville saja. Hal ini dapat diartikan bahwa tidak adanya pengetahuan baru di Pleasantville sehingga membuat warganya selalu berada di rutinitas yang sama – terisolir dari dunia dan perubahan. Utopia itu sendiri digambarkan sebagai keadaan yang menyenangkan yang bersifat stagnan dan tidak dapat diubah. Berbeda dengan representasi utopia dalam film Pleasantville yang ditampilkan dalam konteks urban dan society, representasi utopia dalam film Midnight in Paris lebih berdasarkan pada pandangan personal tokoh protagonisnya mengenai komunitas dalam masyarakat pada era tersebut. Plot cerita di dalam film ini dipicu oleh adanya keinginan Gil untuk bernostalgia yang dapat dinyatakan sebagai rasa penasaran terhadap suatu masa dimana ia belum pernah mengalami masa tersebut, sehingga dapat diartikan bahwa gambaran yang ia miliki bukan berasal dari memorinya sendiri, melainkan memori orang lain terhadap representasi mengenai masa-masa tersebut. Gambaran memori nostalgia yang dimiliki oleh Gil ini berupa harapan dan imajinasi mengenai masa lalu kota Paris yang utopia.
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Gambar 4.26 Periode-periode terkenal dari Kota Paris Sumber: (Paris: History) dengan olahan pribadi
Fokus utama cerita dalam Midnight in Paris adalah kota Paris dalam periode yang berbeda-beda berdasarkan persepsi harapan yang dimiliki oleh para tokoh protagonis mengenai kota ini. Representasi periode dari masa ke masa ini beralurkan mundur. Periode yang ditampilkan dalam mendukung nostalgia ke masa lalu sebagai representasi utopia kota Paris adalah Paris pada era Lost Generation, La Belle Epoque, dan Renaissance. Gil Pender mendapatkan persepsi mengenai utopia masa lalu kota Paris pada era Lost Generation melalui karya-karya literatur para idolanya dari masa itu.
Gambar 4.27 Pesta yang mewarnai Ruang Kota Paris Sumber: Film Midnight in Paris, Sony Pictures Classics
Pada awal abad ke-20, kota Paris berada pada era Lost Generation yang merupakan era dimana kota Paris dikenal lewat komunitas budaya dan seninya. Paris di era 1920-an diisi dengan kegembiraan, semangat dan apresiasi terhadap seni. Kota ini dipenuhi oleh senimanseniman yang berkumpul dari berbagai negara. Para seniman yang beragam ini sering mengadakan perkumpulan dan pesta sehingga mengaktifkan kehidupan malam kota Paris. Bar-bar dan bistro pada era ini menjadi pusat hiburan yang paling ramai di kota Paris. Lost Generation berkisar pada akhir tahun 1920-an yakni pasca perang dunia I dimana menyisakan trauma bagi para pejuangnya. Hal ini diungkapkan oleh Hemingway pada saat bertemu dengan Gil di bar. Kegiatan berpesta pada setiap malam merupakan salah satu cara mereka untuk menghibur diri, mengusir rasa trauma akibat perang. Seperti yang diungkapkan oleh Hemingway dalam memoarnya bahwa kota Paris merupakan moveable feast dimana
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
dalam satu malam mereka dapat berpesta dari satu bar/bistro ke tempat lainnya sehingga sangat menginspirasinya untuk berkarya. Kegiatan berpesta yang dilakukan oleh komunitas seniman di Kota Paris ini menyiratkan bahwa pada era Lost Generation, komunitas ini hidup dalam gaya bohemian – mereka tinggal di mobile homes. Mobile homes dapat diartikan bahwa para seniman ini pergi, kembali dan menetap selama yang mereka inginkan karena rasa kepemilikan mereka terhadap kota ini sangat kecil hanya sebagai kota untuk bersenangsenang dan mencari inspirasi, bukan sebagai kampung halaman.
Gambar 4.28 Era La Belle Epoque Sumber: Film Midnight in Paris, Sony Pictures Classics
La Belle Epoque terjadi pada akhir abad ke-19, dimana kota Paris merupakan tempat yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan. Pada era ini, identitas kota Paris sebagai City of Lights dimulai dengan dibangunnya landmark kota Paris berupa Menara Eiffel yang kemudian turut menjadi identitas Negara Perancis. Pembangunan dan pengembangan teknologi dalam bidang arsitektural turut memajukan kota Paris pada era La Belle Epoque. Pembenahan kota Paris dimulai pada ruang kotanya sehingga dipenuhi dengan lampu-lampu jalan yang dapat memberikan atmosfer ketenangan dan keindahan kota sebagai City of Lights serta jalur-jalur pejalan kaki yang berukuran sangat lebar. City of Lights berkembang sebagai pusat kebudayaan dan seni dengan maraknya aktivitas pada teater pertunjukan. Pertunjukanpertunjukan budaya banyak digelar di pusat hiburan malam di kota ini, terutama pertunjukan Moulin Rouge. Salah satu teater pertunjukan yang menjadi relik nostalgia pada masa ini adalah Maxim‟s yang hingga saat ini masih dikunjungi oleh orang-orang.
Gambar 4.29 Era Renaissance Sumber: Film Midnight in Paris, Sony Pictures Classics
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Era Renaissance berkisar pada abad ke-15. Renaissance merupakan era pembangunan terhadap kota Paris dimulai. Gagasan kota Paris sebagai kota utopia dimulai pada abad ini dengan adanya pengklasifikasian antara bangsawan dan rakyatnya. Pada era ini, ruang-ruang publik pada kota Paris memiliki gaya arsitektur classical dengan memperlihatkan keagungan bangunan yang merepresentasikan kota Paris sebagai kota borjois. Bangunan-bangunan yang berasal dari era Renaissance ini masih dipertahankan hingga masa sekarang sebagai identitas sejarah bangsa Prancis. Tidak hanya bangunan, lansekap
dari masa Renaissance juga
menjadikan identitas kota Paris sebagai kota yang agung dan elegan. 6. Kesimpulan Film sebagai media representasi utama memiliki peran besar terhadap rekonstruksi ruang dan waktu di masa lalu yang didalamnya mengandung nilai-nilai nostalgia. Dalam merekonstruksi ruang kota dan waktu di masa lalu, metode penelusuran merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam terciptanya suatu kreasi set sebagai karakter utama di dalam film. Metode penelusuran berperan penting dalam menentukan identitas ruang kota sebagai identitas baru atau identitas lama yang ditafsirkan kembali. Identitas ini dibentuk dengan berdasar pada memori masa lalu yang sebelumnya telah direpresentasikan lewat karya-karya yang memiliki nilai sejarah dan sense of belonging terhadap masa tersebut. Sense of belonging ini dapat dirasakan oleh orang yang benar-benar memiliki memori mengenai masa-masa tersebut maupun orang yang tidak memiliki namun berekspektasi agar keberadaan masa-masa tersebut dapat kembali. Dalam merepresentasikan ruang kota lewat nostalgia, kita tidak hanya merekonstruksikan ruang kota sesuai dengan yang dibangun di dalam memori, namun juga dapat menghilangkan bagian dari memori tersebut. Ekspektasi terhadap masa lalu yang lebih baik juga muncul karena adanya rasa tidak puas dan kecewa terhadap keadaan di masa sekarang sehingga menimbulkan keinginan untuk bernostalgia lebih kuat. Ekspektasi ini mulai memicu imajinasi untuk membayangkan sebuah gagasan mengenai keberadaan “ruang lain” di masa lalu yang keadaannya dianggap sempurna - utopia masa lalu. Dengan adanya tren ini, maka diangkatlah sebuah isu mengenai tidak tercapainya keadaan utopia di masa sekarang, sehingga pencarian utopia pun dilakukan lewat kegiatan nostalgia. Peran film sebagai media nostalgia juga dapat diartikan sebagai mesin waktu. Penonton dapat melintas menuju ruang dan waktu di masa lalu serta masuk ke dalam memori-memori
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
masa lalu. Memori memiliki sejumlah nilai-nilai tradisional di dalamnya. Nilai-nilai tradisional direpresentasikan lewat simbol yang memiliki esensi nostalgia sebagai pendukung persepsi akan masa lalu yang lebih baik. Simbol-simbol ini tidak hanya ditampilkan secara kinestetik, namun juga lewat penggambarannya terhadap ruang. Simbol-simbol yang digambarkan lewat ruang dalam film dapat memberikan pemahaman bagi penonton untuk lebih mengerti kaitan antara ruang, waktu dan memori. Nostalgia sebagai pembentuk ruang utopia direpresentasikan lewat film Pleasantville (1998) dan Midnight in Paris (2010) dalam konteks urban dan kondisi masyarakatnya. Dalam film Pleasantville, kegiatan nostalgia ditampilkan dengan penggambaran karakter protagonisnya yang bersetkan pada tahun 1998 melakukan perjalanan waktu ke tahun 1958, menuju sebuah kawasan utopia di bagian Amerika yang masyarakatnya hidup dalam normanorma sebagai usaha pencapaian status kesempurnaan. Nilai-nilai tradisional dalam merepresentasikan sebuah keluarga ideal sebagai simbol utopia warga Amerika pada maa itu. Kondisi utopia dalam masyarakat Pleasantville bersifat stagnan, sampai ketika karakter protagonis melakukan intervensi sebagai bentuk kritikan terhadap keadaan utopia yang dirasa tidak menyenangkan dan ingin kembali kepada keadaan yang sebenarnya. Sedangkan untuk film Midnight in Paris, karakter protagonis melakukan kegiatan nostalgianya dengan menjelajahi era-era keemasan kota Paris dengan keadaan masyarakatnya yang dikelilingi oleh kecintaan mereka terhadap seni budaya. Utopia yang hadir pada kesempurnaan masyarakat di kota Paris ini lebih kepada interpretasi personal mereka terhadap era keemasan dan fantasi akan gemerlapnya kota Paris. Nilai-nilai tradisionalnya dihadirkan lewat simbol-simbol nostalgia menuju era keemasan di masa lalu. Karakter protagonis dalam film ini menyadari akan fantasi era keemasan yang menurutnya tidak akan pernah mencapai suatu titik kepuasan sehingga memutuskan untuk kembali ke era yang ia jalani. Dalam merepresentasikan aspek nostalgia di dalam film, kedua film telah sama-sama dapat merepresentasikan bagaimana keinginan bernostalgia dapat disalurkan melalui media film. Kedua film ini dapat menggambarkan bagaimana suatu ekspektasi personal yang dimiliki oleh tokoh protagonis terhadap masa lalu berupa hyperreality yang lahir akibat dari representasi mengenai masa lalu yang lebih baik. Untuk aspek representasi utopia lewat kegiatan nostalgia di dalam kedua film merupakan subyektif sehingga kedua film tidak dapat dibandingkan satu lawan satu, karena keduanya merupakan hasil interpretasi personal yang berbeda terhadap pengertian utopia itu sendiri.
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Secara urban, pada kedua film dapat tergambarkan bagaimana peran masyarakat yang sangat besar dalam penggunaan fungsi ruang pada kota. Pada kedua film sama-sama memiliki permasalahan yang dimulai dari dalam diri sang protagonis untuk mencari rasa kepemilikan mereka terhadap suatu masa. Gambaran sikap yang diambil oleh para tokoh protagonis pada bagian akhir kedua film ini menggambarkan adanya kritik terhadap interpretasi mengenai gagasan utopia itu sendiri. Gagasan utopia memang akan selalu mendapatkan pro dan kontra, sehingga hal ini diserahkan kepada para penonton bagaimana cara mereka menginterpretasikan gagasan yang telah dihadirkan. Dari beberapa penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa peran kegiatan nostalgia dalam membentuk ruang kota utopia di dalam film tidak akan luput dari keberadaan memori sebagai penentu identitas ruang, semiotika, dan nilai-nilai tradisional. Film menceritakan bagaimana persepsi kita mengenai masa lalu dapat ditemukan dengan mengkaji masa lalu tersebut. Film-film bertemakan nostalgia yang membentuk representasi ruang kota utopia merupakan gambaran sebagai pengingat bahwa keadaan di masa lalu yang dirasa menyenangkan dapat dihidupkan kembali dalam penerapannya di masa sekarang dengan menjadikannya sebagai basis dalam pembentuk visi kehidupan untuk masa depan. Sulitnya menemukan film yang benar-benar tepat dalam merepresentasikan utopia dalam konteks urban menjadi kekurangan dalam penulisan ini. Namun, genre film ini memiliki potensi untuk dikembangkan. Perkembangan teknologi pada kreasi set digital akan memberikan sebuah dorongan baru agar dapat menggerakkan utopia dari film bersejarah sebagai genre baru yang kontemporer. DAFTAR KEPUSTAKAAN Buku: Alsayyad, N. (2006). Cinematic Urbanism: A History of the Modern from Reel to Real. New York: Routledge. Barta, T. (1998). Screening The Past: Film and The Representation of History: from Reel to Real. London: Praeger. Bergfelder, T., Harris, S., & Street, S. (2007). Film Architecture and the Transnational Imagination. Amsterdam: Amsterdam University Press. Boake, T. M. (2005). Architecture and Film: Ecperiential Realities and Dystopic Futures. University of Waterloo.
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Clarke, D. B. (2006). The Cinematic City. New York: Routledge. Krause, L., & Petro, P. (2003). Global Cities : Cinema, Architecture, and Urbanism in a Digital Age. New Brunswick, New Jersey, and London: Rutgers University Press. Legg, S. (2004). Memory and Nostalgia. Cultural Geographies , 99-107. Oxford University Press. (2008). Oxford Learner‟s Pocket Dictionary (4th ed.). Oxford: Author. Tafuri, M. (1976). Architecture and Utopia Design and Capitalist Development. Massachusetts: The Colonial Press Inc. Vidal, B. (2012). Figuring The Past: Period Film and The Mannerist Aesthetic. Amsterdam: Amsterdam University Press. Artikel Jurnal dan Majalah : Dear, M. (1994). Between Architecture and Film. A.D. Architectural Design Profile No. 112. Architecture & Film , pp. 9-15. Fitting, P. (1993). What Is Utopian Film? An Introductory Taxonomy. Utopian Studies, Vol. 4, No. 2 , pp. 1-17. Grigor, M. (1994). Space in Time. A.D. Architectural Design Profile No. 112. Architecture & Film. , pp. 16-19. Toy, M. (1994). A.D. Architectural Design Profile No. 112. Architecture & Film , 7. Sumber dari Internet: Utopia
Definition.
Diakses
pada
15
April
2013,
dari
Utopia
and
Dystopia:
http://www.utopiaanddystopia.com/utopia/utopian-society/ http://www.utopiaanddystopia.com/utopia/utopia-definition/ Ellis-Christensen, T. (2003). What is a Period Film. Diakses pada 4 Maret 4 2013, dari wisegeek.com: http://www.wisegeek.com/what-is-a-period-film.htm Moura, G. (2011). Mise-en-Scène. Diakses pada 29 Maret 2013, dari Elementsofcinema.com: http://www.elementsofcinema.com/directing/mise-en-scene.html Veloso, B. (2007, September 18). Culture and Nonverbal Communication. Diakses pada 28 April
2013,
dari
fervgroup's
weblog:
http://fevgroup.wordpress.com/2007/09/18/culture-and-nonverbal-communication/
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013
Lampiran: Keterangan Film dalam Studi Kasus Pleasantville Sutradara
: Gary Ross
Produser
: Gary Ross, Steven Soderbergh
Penulis
: Gary Ross
Pemain
: Tobey Maguire, Reese Witherspoon, William H. Macy
Distributor
: New Line Cinema
Tanggal Rilis : 17 September 1998 Durasi
: 124 menit
Bahasa
: Bahasa Inggris
Sumber
: http://www.imdb.com/title/tt0120789/ diakses pada 29 Mei 2013
Midnight in Paris Sutradara
: Woody Allen
Produser
: Letty Aronson
Penulis
: Woody Allen
Pemain
: Owen Wilson, Rachel McAdams, Kurt Fuller, Mimy Kennedy
Distributor
: Sony Picture Classics
Tanggal Rilis : 11 Mei 2011 Durasi
: 100 Menit
Bahasa
: Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, Bahasa Spanyol, Bahasa Jerman
Sumber
: http://www.imdb.com/title/tt1605783/ diakses pada 29 Mei 2013
Bermain bagi..., Sakinah Putri, FT UI, 2013