TRANSAKSI HUBUNGAN ISTIMEWA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TARIF PAJAK EFEKTIF PERUSAHAAN Oktavia Septian Bayu Kristanto Subagyo Universitas Kristen Krida Wacana Herni Kurniawati Universitas Tarumanagara Abstract This research wants to investigate the effect of related parties transaction or special parties, to effective tax rate in indonesia companies. Researchers try to explore the differences of special parties related to Tax Act and Article No.7 of Indonesian GAAP, based on conceptual to practical evidence. The results show that liability transaction has significant effect, than receivables, to effective tax rates. The negative effect confirms that special transaction make a government loss from tax revenue. This result only applied to Manufacturing Company. For further investigation, researchers suggest to use new measurement based on qualitative data. It’s more valuable to make a judgement about special transcation. Keyword: effective tax rate, special transaction, related parties, and tax act
PENDAHULUAN Transaksi hubungan istimewa merupakan ancaman yang cukup serius bagi otoritas pajak di Indonesia maupun di berbagai Negara. Ancaman ini timbul karena harga transfer (transfer price) yang digunakan dalam transaksi ini cenderung tidak wajar, dan menyebabkan laba perusahaan menurun. Apabila laba perusahaan menurun, maka beban pajak yang dibayar oleh perusahaan juga semakin kecil. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena berbagai bentuk transaksi hubungan istimewa yang terjadi di dunia nyata dilakukan untuk tujuan penghindaran pajak (Ompusunggu, 2011).
701
702
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716
Apakah penghindaran pajak melalui praktik transaksi hubungan istimewa diperbolehkan oleh otoritas pajak?. Pada dasarnya otoritas pajak memperbolehkan praktik penghindaran pajak asalkan masih tetap berada dalam bingkai ketentuan perpajakan (Suandy, 2011). Tetapi jika penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan sangat agresif dan mengarah pada tindakan penggelapan pajak, maka tentunya akan sangat merugikan penerimaan kas negara dari sektor pajak. Menariknya, meskipun transaksi hubungan istimewa (khususnya transfer pricing) berpotensi merugikan penerimaan pajak negara, namun ternyata aparat pajak sendiri sulit untuk mendeteksi dan membuktikan apakah dalam suatu transaksi hubungan istimewa terdapat tindakan penggelapan pajak (Alfirman, 2010). Di Indonesia, kasus-kasus penggelapan pajak akibat adanya transaksi hubungan istimewa marak terjadi. Salah satu contoh kasus penggelapan pajak yang terkenal di Indonesia adalah kasus penggelapan pajak melalui mekanisme transfer pricing yang dilakukan oleh PT Asian Agri Group (AAG). Terungkapnya kasus ini bukan karena peran dari aparat pajak, tetapi karena adanya pengaduan dari pegawai di perusahaan tersebut kepada KPK. Modus penggelapan pajak PT AAG dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Praktik transfer pricing ini menyebabkan beban pajak PT AAG di dalam negeri bisa ditekan. Negara diperkirakan mengalami kerugian pajak penghasilan sebesar Rp 786,3 miliar akibat dari tindakan penggelapan pajak oleh PT AAG (Dharmasaputra, Tempo 21 Mei 2007). Bayangkan saja, bagaimana jika pengaduan tersebut tidak pernah ada?. Apakah aparat pajak mampu mendeteksi tindakan penggelapan pajak yang merugikan Negara hingga miliaran rupiah ini? Selain contoh kasus di atas, masih banyak kasus penggelapan pajak melalui transaksi hubungan istimewa, salah satunya adalah kasus transfer pricing antara PT Adaro dengan perusahaan terafiliasi di Singapura (Coaltrade Service International Pte Ltd). Kasus PT Adaro mencuat seiring laporan masyarakat ke Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari laporan tersebut, PT Adaro diduga menjual batu bara di bawah standar harga internasional dengan rata-rata US$ 26,3 per ton selama tahun 2005 sampai dengan tahun 2006. Penjualannya dilakukan PT Adaro dengan perusahaan afiliasinya yang bermarkas di Singapura, yaitu Coaltrade Service International Ltd. Akibat praktik transfer pricing ini, diperkirakan Negara Indonesia merugi sedikitnya Rp 10
Transaksi Hubungan Istimewa
703
triliun. Ironisnya, hasil penyelidikan tim Kejaksaan Agung menyimpulkan tidak ditemukan bukti pelanggaran dalam kasus dugaan manipulasi harga batubara oleh PT Adaro. Disamping merugikan otoritas pajak negara, ternyata transaksi hubungan istimewa ini juga dapat merugikan investor minoritas. Sebagai argumen bahwa transaksi hubungan istimewa dapat merugikan investor minoritas, maka Darussalam dan Denny Septriadi (2008) memberikan ilustrasi mengenai kasus abuse of transfer pricing yang disidangkan di Pengadilan Tinggi di Karachi (The High Court of Sindh). Dalam kasus tersebut, pemegang saham minoritas dari suatu perusahaan farmasi (A Ltd) yang berdomisili di Pakistan, melapor ke Pengadilan Tinggi di Karachi dengan alasan A Ltd melakukan praktik transfer pricing yang merugikan mereka. A Ltd membebankan biaya pembelian bahan baku obat yang dibelinya dari B Inc. dengan harga yang tinggi, padahal B Inc sendiri merupakan pemegang saham mayoritas dari perusahaan A Ltd. Akibat praktik transfer pricing ini, kinerja meuangan A Ltd menjadi buruk, sehingga mengakibatkan modal pemegang saham menjadi berkurang. Pemegang saham minoritas dari A Ltd tersebut berpendapat bahwa mark-up harga beli bahan baku obat yang sangat tinggi tersebut menyebabkan A Ltd menderita kerugian. Dengan adanya potensi yang merugikan tersebut di atas, maka Direktur Jenderal Pajak, Menteri Keuangan, maupun Dewan Standar Akuntansi keuangan di Indonesia menerbitkan berbagai regulasi untuk meminimalkan potensi kerugian yang mungkin timbul karena adanya transaksi hubungan istimewa ini. Dari segi perpajakan, ketentuan mengenai hubungan istimewa maupun upaya mengantisipasi potensi timbulnya kerugian yang disebabkan oleh harga transfer yang tidak wajar diatur dalam UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 18, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2010, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2010, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-48/PJ/2010, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-69/PJ/2010. Sedangkan dari segi akuntansi, hubungan istimewa diatur secara khusus dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 (Revisi 2010) Tentang Pengungkapan Pihak-pihak yang Berelasi. Keberadaan regulasi-regulasi ini sekali lagi membuktikan bahwa transaksi hubungan istimewa merupakan isu yang krusial bagi Pemerintah Indonesia. Meskipun Pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi mengenai perlakuan atas transaksi hubungan istimewa, baik dari segi perpajakan maupun akuntansi, namun hingga saat ini Pemerintah (khususnya otoritas pajak) masih kesulitan untuk mendeteksi apakah dalam suatu transaksi hubungan
704
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716
istimewa terdapat tindakan penggelapan pajak, bahkan Pemerintah seringkali “kecolongan” dan merugi hingga miliaran Rupiah. Terungkapnya kasus-kasus penggelapan pajak karena adanya laporan dari masyarakat, seperti kasus PT AAG dan kasus PT Adaro, membuktikan ketidakmampuan aparat pajak dalam mendeteksi transaksi hubungan istimewa yang berpotensi merugikan Negara. Ketidakmampuan aparat pajak dalam mendeteksi transaksi tersebut, menimbulkan pertanyaan apakah kriteria hubungan istimewa menurut pajak sudah dirumuskan secara tepat?. Jika otoritas pajak menganggap bahwa kriteria hubungan istimewa yang dirumuskannya sudah tepat, mengapa mereka masih mengalami kesulitan dalam mendeteksi transaksi hubungan istimewa yang berpotensi merugikan Negara. Jika dibandingkan dengan kriteria hubungan istimewa menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK), kriteria hubungan istimewa menurut UU PPh Tahun 2008 pasal 18 ayat (4) jauh lebih sempit (terbatas). Hal ini dapat dilihat dari kriteria-kriteria berikut ini: (i) persentase penyertaan modal yang dianggap mempunyai hubungan istimewa adalah paling rendah 25%, dan; (ii) hubungan keluarga yang dianggap mempunyai hubungan istimewa adalah hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Menurut PSAK No. 7 (Revisi 2010), kriteria dari pihak-pihak yang berelasi (pihak yang mempunyai hubungan istimewa) jauh lebih luas dan tidak dibatasi oleh suatu persentase penyertaan modal tertentu. Di samping itu, standar ini juga tidak membatasi bentuk hubungan keluarga yang seperti apa, yang dianggap mempunyai hubungan istimewa. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan aturan pajak, dimana hubungan keluarga yang dianggap mempunyai hubungan istimewa adalah hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Perbedaan kriteria di atas menimbulkan pertanyaan apakah kriteria hubungan istimewa menurut peraturan perpajakan yang begitu sempit (terbatas) mampu menjelaskan suatu hubungan istimewa dengan baik?. kriteria hubungan istimewa menurut Standar Akuntansi Keuangan justru dirasakan lebih reasonable dalam menjelaskan suatu hubungan istimewa. Oleh karena itu, maka penelitian ini bertujuan untuk meneliti apakah transaksi hubungan istimewa menurut PSAK No. 7 (Revisi 2010) mempengaruhi besaran tarif pajak efektif perusahaan. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka variabel transaksi hubungan istimewa pada penelitian ini diukur dengan menggunakan piutang hubungan istimewa dan hutang hubungan istimewa yang terdapat di dalam laporan
Transaksi Hubungan Istimewa
705
keuangan auditan. Ukuran tersebut digunakan karena akun piutang hubungan istimewa dan hutang hubungan istimewa yang ada di laporan keuangan, timbul karena adanya transaksi antara pihak-pihak yang berelasi (pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa).
TINJAUAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Hubungan Istimewa Menurut UU PPh vs. Hubungan Istimewa Menurut PSAK No. 7 Menurut UU PPh Tahun 2008 Pasal 18 ayat (4), hubungan istimewa dianggap ada, apabila: (a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; (b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (c) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 7 (Revisi 2010), definisi dari pihak-pihak berelasi (dulunya disebut pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa) adalah orang atau entitas yang terkait dengan entitas tertentu dalam menyiapkan laporan keuangannya: a. Orang atau anggota keluarga terdekat mempunyai relasi jika: i. memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor; ii. memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas pelapor; atau iii. personal manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induk entitas pelapor b. Suatu entitas terkait dengan entitas pelapor jika (salah satu): i. Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama. ii. Suatu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, dimana entitas lain tersebut adalah anggotanya). iii. Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga
706
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716
yang sama. iv. Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga. v. Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pasca kerja untuk imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor. vi. Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi dalam butir (a). vii. Orang yang diidentifikasi dalam butir (a) (i) memiliki pengaruh signifikan terhadap entitas atau anggota menejemen kunci entitas (atau entitas induk dari entitas). Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa kriteria hubungan istimewa yang ditetapkan dalam peraturan pajak di Indonesia, sangat sempit dan terbatas. Salah satu contoh alasan mengapa kriteria hubungan istimewa menurut pajak dirasakan sangat sempit adalah karena hubungan istimewa menurut peraturan perpajakan dianggap ada jika Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain. Jika demikian, apakah Wajib Pajak yang mempunyai penyertaan modal kurang dari 25% sudah dapat dipastikan bukan merupakan pihak yang berelasi (mempunyai hubungan istimewa) dengan perusahaan?. Kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyak pemegang saham yang mempunyai penyertaan modal kurang dari 25% tapi mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan dan bahkan sanggup mempengaruhi keputusan manajemen perusahaan. Di samping itu, alasan lainnya adalah hubungan keluarga yang diakui oleh pajak mempunyai hubungan istimewa adalah hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Dengan kata lain, aparat pajak hanya menganggap suami/istri, anak kandung, orang tua kandung, dan mertua sebagai anggota keluarga yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak. Padahal, anggota keluarga lain seperti paman/bibi, keponakan, dan kakak/adik ipar juga dapat mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak. Dari alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka kriteria hubungan istimewa menurut standar akuntansi keuangan justru dirasakan lebih baik dalam menjelaskan suatu hubungan istimewa daripada kriteria hubungan istimewa menurut pajak. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan transaksi hubungan istimewa menurut PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan).
Transaksi Hubungan Istimewa
707
Pentingnya Pengungkapan Atas Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa Berdasarkan PSAK No. 7 (Revisi 2010), perusahaan diharuskan mengungkapkan siapa saja pihak-pihak yang berelasi dengan perusahaan (memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan), terlepas dari apakah telah terjadi transaksi di antara mereka (Martani, 2011). Standar ini juga mengharuskan perusahaan mengungkapkan kompensasi anggota manajemen kunci secara total dan untuk kategori-kategori berikut: (a) imbalan kerja jangka pendek; (b) imbalan pasca-kerja; (c) imbalan kerja jangka panjang lainnya; (d) imbalan pemutusan hubungan kerja; dan (e) pembayaran berbasis saham. Selain itu, standar PSAK No. 7 (Revisi 2010) juga mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan transaksi yang terjadi dengan pihak-pihak yang berelasi dalam satu periode akuntansi secara terperinci. Pengungkapan pihak-pihak berelasi sangat penting karena hubungan antara pihak-pihak berelasi dapat berpengaruh terhadap laba rugi dan posisi keuangan perusahaan. Pihak-pihak berelasi dapat menyepakati transaksi di mana pihak-pihak yang tidak berelasi tidak dapat melakukannya (PSAK No. 7 (Revisi 2010) paragraf 6). Dengan adanya pengungkapan-pengungkapan tersebut, para investor diharapkan dapat memperoleh informasi yang transparan mengenai transaksi hubungan istimewa, karena nilai transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dapat membawa dampak keuntungan maupun kerugian bagi investor (Advianto, 2011). Jika investor memperoleh informasi yang transparan mengenai transaksi hubungan istimewa, maka pengambilan keputusan yang dilakukan oleh investor selaku pemegang saham akan didasarkan pada informasi yang benar. Dari segi perpajakan, transparansi juga diperlukan bagi otoritas perpajakan, karena dengan adanya keterbukaan dalam pengungkapan transaksi pihak-pihak dalam pengaruh hubungan istimewa, dapat menjadi dasar penetapan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Advianto, 2011). Transaksi Hubungan Istimewa dan Kaitannya Dengan Tarif Pajak Efektif (Effective Tax Rate) Transaksi hubungan istimewa menjadi sorotan khusus dalam ketentuan peraturan perpajakan, apalagi jika transaksi tersebut disinyalir untuk tujuan penghindaran pajak dengan cara melaporkan penghasilan kurang dari yang semestinya, atau pembebanan biaya yang tidak wajar (Advianto, 2011). Menurut Ompusunggu (2011), di berbagai bentuk transaksi hubungan istimewa terlihat
708
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716
upaya pengalihan sumber daya dan penghindaran pajak antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Hal ini terjadi karena dalam praktik bisnis, pembayaran pajak diidentikkan sebagai beban. Sebagai konsekuensinya, manajer perusahaan akan selalu berupaya menekan beban tersebut guna meningkatkan efisiensi dan arus kas perusahaan (Suandy, 2011). Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia banyak terjadi praktik transaksi hubungan istimewa yang sangat merugikan penerimaan pajak negara, misalnya kasus transfer pricing PT Adaro, kasus transfer pricing PT AAG, kasus privatisasi Indosat, kasus penjualan saham BCA kepada Farallon Capital, dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa praktik transaksi hubungan istimewa yang dilakukan oleh perusahaan, digunakan sebagai taktik untuk meminimalkan beban pajak perusahaan. Oleh karena itu, penelitian ini menduga bahwa transaksi hubungan istimewa yang dilakukan oleh perusahaan akan mempengaruhi besaran tarif pajak efektif perusahaan (effective tax rate).
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Maraknya kasus penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia, membuktikan bahwa transaksi hubungan istimewa berdampak negatif terhadap penerimaan Negara. Hal ini dikarenakan tindakan perusahaan yang berupaya menghindari pajak, dan bahkan menggelapkan pajak. Sayangnya, aparat pajak sendiri sulit membuktikan apakah terdapat ketidakwajaran dalam suatu transaksi hubungan istimewa. Dengan adanya berbagai kasus tersebut, timbul pertanyaan mengapa aparat pajak mengalami kesulitan dalam membuktikan transaksi hubungan istimewa yang merugikan, padahal peraturan pajak telah menetapkan kriteria apa saja yang harus dipenuhi agar suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai hubungan istimewa. Penelitian ini menganggap bahwa kriteria hubungan istimewa menurut PSAK lebih reasonable dalam menjelaskan suatu hubungan istimewa, daripada kriteria menurut peraturan pajak. Oleh karena itu, untuk menguji apakah transaksi hubungan istimewa mempengaruhi besaran tarif pajak efektif perusahaan, dipergunakan kriteria hubungan istimewa menurut PSAK No. 7 (Revisi 2010). Berdasarkan uraian tersebut, maka dikembangkan hipotesis-hipotesis penelitian berikut ini: H1: Piutang hubungan istimewa berpengaruh signifikan terhadap tarif pajak efektif H2: Hutang hubungan istimewa berpengaruh signifikan terhadap tarif pajak
Transaksi Hubungan Istimewa
709
efektif
METODE PENELITIAN Data dan Sampel Penelitian Data yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat kuantitatif, yang diperoleh dari publikasi laporan keuangan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) pada situs www.idx.co.id. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah data laporan keuangan (auditan) perusahaan manufaktur dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Periode pada penelitian ini meliputi periode tahun 2009 dan tahun 2010. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah perusahaan non keuangan yang telah go public dan sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sampai dengan akhir tahun 2010. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling (judgement sampling), yaitu pemilihan sampel secara tidak acak dengan kriteria sebagai berikut: 1. Perusahaan bergerak di sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2008 atau sebelumnya. 2. Perusahaan tersebut dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 secara konsisten memperoleh laba. 3. Mempunyai kelengkapan data laporan keuangan tahunan per 31 Desember yang telah diaudit untuk tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Model Penelitian Untuk menjawab hipotesis H1 dan H2 akan digunakan regresi berganda dengan model sebagai berikut: ETR = α + b1SPEC_REC + b2SPEC_LIAB + b3SIZE + b4LEVERAGE + b5ROA + ε Yang terdiri dari: ETR = Tarif Pajak Efektif SPEC_REC = Piutang Hubungan Istimewa SPEC_LIAB = Hutang Hubungan Istimewa SIZE = Ukuran Perusahaan LEVERAGE = Tingkat hutang ROA = Return on Assets
710
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716
Definisi Variabel a. Tarif pajak efektif (ETR) Ukuran ETR pada penelitian ini menggunakan ukuran yang digunakan oleh penelitian Derashid dan Zhang (2003). Berikut ini adalah rumus untuk menghitung ETR: ETR = (tax expenses − deferred tax expenses)/(operating cash flows) b. Transaksi hubungan istimewa Variabel ini diukur dengan menggunakan 2 (dua) ukuran, yaitu: (1) rasio piutang hubungan istimewa (SPEC_REC) dibagi dengan total aset akhir tahun, dan; (2) rasio hutang hubungan istimewa (SPEC_LIAB) dibagi dengan total aset akhir tahun. c. Variabel kontrol Variabel kontrol pada penelitian ini adalah ukuran perusahaan, tingkat hutang, dan return on assets. Variabel ini juga digunakan oleh Derashid dan Zhang (2003) sebagai variabel kontrol, ketika meneliti mengenai tarif pajak efektif dari perusahaan-perusahaan di Malaysia. 1. Ukuran perusahaan (SIZE) Variabel ukuran perusahaan (size) dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan logaritma natural aset. 2. Tingkat hutang (LEVERAGE) Variabel leverage pada penelitian ini diukur dengan menggunakan rasio kewajiban terhadap total aset akhir tahun. 3. Return on Assets (ROA) Variabel profitabilitas dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan rasio laba bersih sebelum pajak terhadap total aset akhir tahun.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Pengujian Pengaruh Transaksi Hubungan Istimewa Terhadap Tarif Pajak Efektif Hipotesis pada penelitian ini menyatakan bahwa transaksi hubungan istimewa berpengaruh signifikan terhadap tarif pajak efektif perusahaan. Transaksi hubungan istimewa dalam hipotesis H1 diukur dengan menggunakan piutang hubungan istimewa, sedangkan transaksi hubungan istimewa dalam hipotesis H2 diukur dengan menggunakan hutang hubungan istimewa. Tabel 1 berikut ini menunjukkan hasil pengujian hipotesis H1 dan H2.
Transaksi Hubungan Istimewa
711
Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa Hipotesis H2 terbukti karena variabel hutang hubungan istimewa berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ETR. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai hutang hubungan istimewa, maka semakin rendah tarif pajak efektif perusahaan. Temuan ini mengindikasikan bahwa transaksi hubungan istimewa menurut kriteria standar akuntansi keuangan dapat mempengaruhi pembayaran pajak perusahaan. Semakin tinggi nilai transaksi hubungan istimewa, maka beban pajak yang dibayarkan oleh perusahaan juga akan menurun. Temuan ini juga mengindikasikan bahwa transaksi hubungan istimewa berdampak negatif terhadap penerimaan Negara dari sektor pajak. Namun jika transaksi hubungan istimewa diukur dengan menggunakan piutang hubungan istimewa, maka pengaruhnya menjadi tidak signifikan terhadap tarif pajak efektif (Hipotesis H1 tidak terbukti). Dari tabel 1 dapat dilihat pula bahwa nilai Adjusted R2 sebesar 0,148450, sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen pada penelitian ini mampu menjelaskan variabel ETR sebesar 14,84%. Nilai tersebut masih tergolong sangat kecil, sehingga belum mampu menjelaskan tarif pajak efektif perusahaan.
KESIMPULAN Transaksi hubungan istimewa menurut standar akuntansi keuangan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tarif pajak efektif perusahaan. Semakin besar nilai transaksi hubungan istimewa, maka tarif pajak efektif perusahaan semakin menurun. Dengan kata lain, keberadaan transaksi hubungan
712
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716
istimewa di perusahaan menyebabkan beban pajak yang dibayar oleh perusahaan. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa transaksi hubungan istimewa yang dilakukan perusahaan, berdampak negatif terhadap penerimaan Negara dari sektor pajak. Di samping itu, temuan ini juga membuktikan bahwa kriteria hubungan istimewa menurut standar akuntansi keuangan, mungkin lebih baik daripada kriteria hubungan istimewa menurut peraturan pajak, sehingga dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi keberadaan transaksi hubungan istimewa yang tidak wajar dan berpotensi merugikan Negara. Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan ukuran kualitatif dalam mengukur transaksi hubungan istimewa, misalnya pernyataan dari pihak manajemen mengenai dampak dari keberadaan transaksi hubungan istimewa terhadap laba perusahaan. Selain itu, perlu diteliti pula dampak dari transaksi hubungan istimewa terhadap hak minoritas pemegang saham.
DAFTAR REFERENSI Advianto, L.Y Hari Sih. Transaksi Hubungan Istimewa. Majalah Gagas Pajak edisi 3, Maret 2011. Baren, Oki, dan M. Husni Nanang. Usut Tuntas Kasus Adaro!. www.inilah. com. Cloyd, C.B., J. Pratt, and T.Stock. “The Use of Financial Accounting Choices To Support Aggressive Tax Position: Public and Private Firms”. Journal of Accounting Research. 1996: 23-43. Darussalam, dan Denny Septriadi. “Transfer Pricing dan Pemegang Saham Minoritas”. Artikel Danny Darussalam Tax Center, 6 Maret 2008. Dewan Standar Akuntansi Keuangan. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 7 (revisi 2010). Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia, 2010. Dewiwardhana. Lika-Liku Transfer Pricing, Mengendus Penghindaran Pajak Melalui Manipulasi Transfer Pricing. Kompasiana, 01 April 2010. Dharmasaputra, Metta. Berkat Dua Pucuk Surat. Majalah Tempo Edisi 13
Transaksi Hubungan Istimewa
713
Tahun 2007. Derashid, Check, and Hao Zhang. “Effective tax rates and the “industrial policy” hypothesis: evidence from Malaysia”. Journal of International Accounting, Auditing & Taxation 12. 2003: 45-62. Hanlon, Michelle. “The persistence and pricing of earnings, accruals and cash flows when firms have large book-tax differences”. The Accounting Review Vol. 80. 2005: 137-166. Hanlon, Michelle, Stacie Kelley Laplante, and Terry J. Shevlin. “Evidence on the Possible Information Loss of Conforming Book Income and Taxable income”. Journal of Law and Economics Vol. 48. 2005: 407-442. Heflin, Frank, and William Kross. “Book Versus Taxable Income”. SSRN Working Paper Series. 2005: 1-36. Kieso, Weygandt, & Warfield. Intermediate Accounting. Volume 1, IFRS Edition. USA: John Wiley & sons, Inc, 2011. Kieso, Weygandt, & Warfield. Intermediate Accounting. Volume 2, IFRS Edition. USA: John Wiley & sons, Inc, 2011. Lev, Baruch, and Dorron Nissim. “Taxable Income, Future Earnings, and Equity Values”. The Accounting Review Vol. 79. 2004: 1039-1074. Lilis Setiawati (2001). “Rekayasa Akrual untuk Meminimalkan Pajak”. Simposium Nasional Akuntansi V. Semarang, 2001. Mangoting, Yenni. “Tax Planning: Sebuah Pengantar Sebagai Alternatif Meminimalkan Pajak”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Universitas Petra Surabaya Vol 1. 1999: 43-53. Martani, Dwi. Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi IAS 24 – Related Party Disclosure. Powerpoint Kuliah, Departemen Akuntansi FEUI. Martfianto, Roy. (Susah-susah?) Gampangnya Menerapkan Kewajaran dan
714
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716
Kelaziman dalam Harga Transfer versi PERDirjen Pajak No. 43/ PJ./ 2010. www.bppk.depkeu.go.id. Mirza, Abbas Ali, Graham J. Holt, Magnus Orrell, dan Liesle Knorr. Practical Implementation Guide and Workbook for IFRS edition. USA: John Wiley & sons, Inc, 2010. Nachrowi, Nachrowi D, dan Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis EKONOMETRIKA Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ompusunggu, Arles P. Cara Legal Siasati Pajak. Jakarta: Puspa Swara, 2011. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2010 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2010 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-48/PJ/2010 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-69/PJ/2010 Resmi, Siti. Perpajakan Teori dan Kasus. Buku 1, Edisi 6. Jakarta: Salemba Empat, 2011. Suandy, Erly. Perencanaan Pajak. Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat, 2011 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Pajak Penghasilan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Waluyo. Perpajakan Indonesia. Buku 1, Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat, 2011. Winarno, Wing Wahyu. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan
Transaksi Hubungan Istimewa
715
Eviews (Edisi Kedua). Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. www.idx.co.id. Situs Resmi PT Bursa Efek Indonesia. Yin, Jennifer, and Agnes Cheng. “Earnings Management of Profit Firms and Loss Firms in Response to Tax Rate Reductions”. Review of Accounting and Finance volume 3. 2004: 67 – 92. Zain, Mohammad. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
716
Jurnal Akuntansi, Volume 12, Nomor 2, November 2012 : 701 - 716