TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015
MAKALAH PESERTA
PERANCANGAN NASKAH AKADEMIK PADA WILAYAH KABUPATEN TENTANG PERLINDUNGAN LAYAK ANAK BERALASKAN PRINSIP RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Tri Susilowati
Perancangan Naskah Akademik Pada Wilayah Kabupaten Tentang Perlindungan Layak Anak beralaskan Prinsip Rule of Law dan Hak Asasi Manusia Oleh Tri Susilowati 1 A. Pendahuluan Guna menjamin hak hidup anak yang layak pada daerah - daerah kabupaten dan kotadiperlukan dukungan kebijakan untuk tumbuh kembang anak. Hal ini diimaksudkan agar anak
berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta bagian dari pembangunan bangsa,
maka untuk kepentingan penjaminan hak hidup anak yang layak
diperlukan adanya regulasi untuk hidup anak yang layak, pada saat ini dan situasi yang tertentu, diharapkan negara juga memberikan perlindungan pada anak dari kekerasan dan diskriminasi. Sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah disahkan oleh negara Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang harus ditindak lanjuti oleh pemerintah dalam upaya pelaksanaan pemenuhan hak anak secara efektif. Untuk membangun inisiatif pemerintah Kabupaten / Kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak Hak Anak ( Convention on the rights of Child ) dalam kerangka hukum pada
definisi, strategi dan intervensi
pembanganunan , maka diperlukan kehadiran adanya Kebijakan yang berbasis hak anak, pada tata aturan Kelembagaan, program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hak hak anak pada suatu wilayah kabupaten/kota. Guna kebutuhan memfasilitasi pemenuhan tentang perubahan kebijakan dan berbagai regulasi di tingkat pemerintah daerah diperlukan standar dasar perlindungan terhadap hak anak, maka di perlukan perubahan mengenai menempatkan hak anak diberbagai kebijakan kabupaten dengan mengubah regulasi yang ramah anak sesuai dengan semangat pemerintah atas perlindungan dan pengelolaan hak anak dimanapun anak bertempat tinggal .
1
DR Tri Susilowati ,SH.MHum, Dosen Pasca Sarjana Hukum, Fakultas Hukum UNDARIS Ungaran Kabupaten Semarang Jawa Tengah
1
Sesungguhnya sudah
sejaktahun 2006 telah disusun rancangan
kebijakan Kota /Kabupaten Layak Anak (KLA) diinisiasi oleh (Kementerian Pemberdayaan Perempuan). (KPP)Setelah itu pada tahun 2006 dibuat model KLA di 5 Kabupaten/Kota (Padang, Jambi, Surakarta (Solo), Malang, Manado dan Kupang ). Model tersebut pada tahun 2007 diperluas menjadi di 10 kabupaten/kota sehingga terus berkembang sampai sekarang.
melalui
kementerian Pemberdayaan Perempuan yang telah menerbitkan Peraturan Meneteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomer 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kota/ Kabupaten Layak Anak. Berdasarkan Peraturan tersebut pada tahun 2010 telah ditetapkan target 20 kab/ kota dengan didukung : -
Pedoman Pengembangan KLA Tingkat Provinsi (Peraturan Meneg PP&PA No. 13/2010) – UKP4 .
-
Petunjuk Teknis KLA di Desa/Kelurahan (Peraturan Meneg PP&PA No. 14/2010) – UKP4
Pada tahun 2014 ditargetkan KLA di 100 kabupaten kota di seluruh Indonesia. Berdasarkan UU. No. 23/2002 yaitu tentang Perlindungan Anak dan Konvensi hak anak
dapat dikelompokkan sebagai berikut . Terdapat lima klaster hak
anak antara lain : − Hak sipil dan kebebasan; − Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative; − Kesehatan dasar dan Kesejahteraan; − Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan seni budaya; −
Perlindungan khusus.
1) Identifikasi Masalah Beberapa permasalah pokok yang terkait dengan penyelenggaraan perancangan peraturan di daerah untuk menetapkan sebagai Kabupaten Layak Anak yang beralaskan prinsip Rule Of Lawdan Hak Asasi Manusia memerlukan adanya naskah akademik yang berkaitan pada a Menetapkan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah
bagi
Rancangan Peraturan Daerah yang peduli anak dalam rangka pemenuhan kategori Kabupaten Layak Anak melalui pengintegrasian sumberdaya dan potensi daerah; 2
b Belum adanya kajian akademis secara filosofis, sosiologis maupun yuridis untuk menetapkan bahwa Purworejo sudah saatnya menjadi Kabupaten Layak Anak. c Bahwa Kerangka landasan menetapkan sebagai kabupaten layak anak diperlukan berbagai materi dasar untuk menjadi Peraturan Daerah ( Perda) 2) Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik Naskah akademis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dasar dan alternatif solusi terhadap persoalan penyelenggaraan Wilayah yang layak di huni anak di wilayah kabupaten. Gambaran yang tertulis diharapkan dapat menjadi panduan bagi pengkajian materi rancangan Perda. a
Tujuan :
Dibuatnya naskah akademis ini adalah: 1) Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Kabupaten Layak Anak. 2) Memberikan kajian dan kerangka filosofis, sosiologis, dan yuridis serta teknis tentang perlunya untuk Meningkatkan peran, fungsi dan kemandirian lembaga pemerintah dan
masyarakat dalam rangka
menyelenggarakan Perda di kabupaten dengan fokus pada kapasitas layak anak. 3) Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi yang harus ada dalam Rancangan Perda tentang peraturan
pada suatu daerah setingkat
Kabupaten untuk menjadi layak anak (KLA). b Kegunaannya: 1. Mewujudkan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah bagi Rancangan Peraturan Daerah yang peduli anak dalam rangka pemenuhan kategori Kabupaten Layak Anak sesuai prinsip prinsip hak asasi manusia melalui pengintegrasian sumberdaya dan potensi daerah; 2. Memberikan Kajian dan Kerangka Filosofis, sosiologis dan yuridis serta teknis untuk Meningkatkan peran, fungsi dan kemandirian lembaga pemerintah dan masyarakat dalam
3
rangka menyelenggarakan Kabupaten Layak Anak berdasarkan prinsip hak asasi manusia 3. Mengkaji dan meneliti pokok- pokok materi berkaitan dengan karakter kabupaten layak anak yang beralaskan hak asasi manusia untuk dijadikan landasan terbentuknya peraturan daerah sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) 3) Metode Pendekatan dan Pengorganisasian Penyusunan naskah akademik ini perlu dilakukan dengan metode penelitian Yuridis Emperis atau bisa di sebut dengan penelitian socio legal reseach yang dilakukan melalui studi literatur dan pustaka terutama menelaah data sekunder serta dilengkapi dengan kondisi dan situasi data lapangan atau disebut sebagai data primer pada karakter setiap kabupaten. Data sekunder yang digunakan adalah data hasil pemetaan kebijakan dalam hal sebagai acuan untuk mendukung rencana perancanagan pembuatan peraturan daerah
sebagai
kabupaten layak anak dengan pendekatan sistem yang merupakan standar baku data bagi naskah akademik peraturan daerah ini yang sesuai ketentuan Undangundang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. B. Pembahasan 1. Amanat
Hak Anak Sebagai Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi
Indonesia Sila kedua dari Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengamanatkan
kepada
artinya secara konstitusional negara telah seluruh
warga
negara
Indonesia
untuk
mempertimbangkan secara sungguh-sungguh aspek kemanusiaan, keadilan dan keberadaban dalam melaksanakan pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk didalamnya adalah pembangunan untuk kepentingan anak anak. Bab X A Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
4
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sedangkan pada tataran Internasional Sebagai dasar berpijak adalah adanya Prinsipprinsip umum Konvensi Hak Anak (KHA) harus menjiwai atau menjadi mainstreaming bagi setiap langkah legislasi atau pembuatan undang-undang dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, demikian pula terhadap legislasi kabupaten layak anak. yang terdiri dari: nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta menghargai pandangan/pendapat anak.
Strategi
penyelenggaraan
dengan
pemenuhan
hak
anak
dilaksanakan
mengintegrasikan hak anak ke dalam setiap kegiatan pembangunan yang sejak penyusunan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari berbagai peraturan daerah, kebijakan, program dan kegiatan dengan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Amanat tentang hak anak nyata tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan II, 18 agustus 2000), Pasal 28B
ayat 2 yang
berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta
berhak
atas
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi”, berlanjut pada Pasal 34 (Perubahan IV, 10 Agustus 2002) yang berbunyi: (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; dan (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Kedua ayat tersebut memberi kepastian bahwa hak anak adalah hal yang wajib dipenuhi untuk mencapai kondisi masyarakat sebagaimana dicita-citakan dalam bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Mengingat kembali pada hak anak dalam kerangka Konvensi Hak Anak yang merupakan landasan bagi kebijakan KLA dikelompokkan dalam 5 klaster, yaitu 1) Hak Sipil dan Kebebasan, 2) Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, 3) Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, 4) Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya, 5) Perlindungan Khusus. Dalam kelima klaster tersebut terdapat 31 indikator hak-hak anak.
5
Kepedulian atas kesejahteraan anak bermakna pada kesungguhan upaya untuk mendukung pemenuhan hak-hak yang dibutuhkan anak untuk bertahan hidup dan tumbuh kembang secara optimal seperti pemenuhan kebutuhan dasar, kualitas pengasuhan
dalam lingkungan keluarga,
kesempatan pendidikan yang berkualitas, serta kesempatan untuk belajar menjadi bagian dari proses di dalam masyarakatnya. Kepedulian atas perlindungan anak yang merupakan bagian dari Kabupaten Layak Anak bermakna pada kesungguhan upaya untuk memastikan bahwa setiap anak terhindar dari ancaman berbagai bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran yang tak hanya berdampak buruk pada keselamatan dan kesehatan fisik anak, namun juga terhadap kesehatan perkembangan mental, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu, adalah hal yang cukup krusial bagi kepentingan pada konteks Kabupaten/Kota untuk memiliki perangkat peraturan daerah yang bisa memberikan kepastian hukum dan kejelasan tanggungjawab pemangku kepentingan yaitu, pemerintah maupun masyarakat industri serta masyarakat luas, bahwa setiap anak akan terperhatikan kebutuhan kesejahteraannya dan terlindungi.
yang
pada
gilirannya
akan
mengamankan
pencapaian
Kabupaten/Kota menyelenggarakan peraturan yang berkaitan keberadaan dan kehadiran anak pada suatu wilayah kabupaten/ kota yang disebut layak Anak. Undang-undang Dasar 1945 sendiri memberikan kesempatan besar untuk itu melalui Pasal 18 (Perubahan II, 18 agustus 2000) ayat 5 yang berbunyi: “Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah”; dan ayat 6 yang berbunyi: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan
daerah
dan
peraturan-peraturan
lain
untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Masa depan Kabupaten/Kota dan kondisi sosial masyarakat didaerah sesungguhnya sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah daerah dan warganya saat ini dalam melindungi dan memenuhi hak-hak setiap anak yang hidup di kabupaten/kota hari ini, serta memberikan fasilitas untuk
6
tumbuh kembang guna pencapaian sebagai Kabupaten/kota
yang layak
dihuni anak. Mengingat keterlibatan Indonesia yang sudah sangat awal dan begitu intens tentang pemenuhan hak anak melalui KHA, dan mengingat Dunia Layak Anak merupakan komitmen global, maka Pemerintah Indonesia segera memberikan tanggapan positif terhadap rekomendasi Majelis Umum PBB tahun 2002 tersebut. Keikutsertaan Indonesia dalam komitmen Dunia Layak Anak merupakan bagian tujuan Indonesia sebagaimana terumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar. Setelah melakukan persiapan dan menguatkan institusi, Indonesia bergerak cepat dan memulai fondasi untuk mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sejak tahun 2006. Penetapan kabupaten adalah adaptasi yang juga dilakukan Indonesia mengingat bahwa pembagian wilayah administratif di Indonesia terbagi ke dalam dua jenis satuan berupa Kabupaten dan Kota, sementara tantangan yang dihadapi anak bukan hanya ada di kota namun juga dapat ditemukan di kabupaten. Untuk itu, maka perhatian pun diberikan kepada kabupaten yang memiliki tantangan tersendiri yang tidak kalah kompleksnya dengan yang dihadapi oleh kota. Dalam
perkembangannya,
antusiasme
terhadap
pengembangan
Kabupaten/ Kota Layak Anak terus berkembang dari tahun ke tahun. Semula hanya beberapa kabupaten/kota yang tergerak dan terlibat. Namun seiring dengan waktu, muncul kebutuhan dan inisiatif dari kabupaten/kota untuk ikut membangun dunia yang layak anak tersebut di daerahnya. Untuk menjawab tingginya antusiasme Pemerintah Daerah dan tantangan perubahan jaman yang berdampak serius terhadap anak, maka dirasakan mendesak untuk menyusun Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). a). Kajian FilosofisNaskah akademik tentang Daerah Layak Anak sesuai Hak Asasi Manusia. Amanat tentang hak anak nyata tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan II, 18 agustus 2000), Pasal 28B
ayat 2 yang
berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
7
berkembang
serta
berhak
atas
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi”, berlanjut pada Pasal 34 (Perubahan IV, 10 Agustus 2002) yang berbunyi: (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; dan (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Kedua ayat tersebut memberi kepastian bahwa hak anak adalah hal yang wajib dipenuhi untuk mencapai kondisi masyarakat sebagaimana dicita-citakan dalam bagian Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hak anak dalam kerangka Konvensi Hak Anak yang merupakan kebijakan KLA dikelompokkan dalam 5 klaster, yaitu 1) Hak Sipil dan Kebebasan, 2) Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, 3) Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, 4) Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Budaya, 5) Perlindungan Khusus. Dalam kelima klaster tersebut terdapat 31 indikator hak-hak anak. Kepedulian atas kesejahteraan anak bermakna pada kesungguhan upaya untuk mendukung pemenuhan hal-hal yang dibutuhkan anak untuk bertahan hidup dan tumbuh kembang secara optimal seperti pemenuhan kebutuhan dasar, kualitas pengasuhan dalam lingkungan keluarga, kesempatan pendidikan yang berkualitas, serta kesempatan untuk belajar menjadi bagian dari proses di dalam masyarakatnya. Kepedulian atas perlindungan anak yang merupakan bagian dari Kabupaten Layak Anak bermakna pada kesungguhan upaya untuk memastikan bahwa setiap anak terhindar dari ancaman berbagai bentuk kekerasan, perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran yang tak hanya berdampak buruk pada keselamatan dan kesehatan fisik anak, namun juga terhadap kesehatan perkembangan mental, moral, dan sosial anak. Kabupaten
/Kota dituntut untukmenyelenggarakan regulasi yaitu
untuk memiliki perangkat peraturan daerah yang bisa memberikan kepastian hukum dan kejelasan tanggungjawab berbagai pihak yang berkompeten bahwa setiap anak akan terperhatikan kebutuhan kesejahteraannya dan terlindungi,.
8
Masa depan Kabupaten/kota
dan masyarakat diberbagai daerah
sesungguhnya sangat ditentukan oleh keberhasilan pemerintah dan warganya saat ini dalam melindungi dan memenuhi hak-hak setiap anak yang hidup di di kabupaten/kota tersebut, serta memberikan fasilitas untuk tumbuh kembang guna pencapaian sebagai Kabupaten Layak Anak. b. Landasan Yuridis Naskah Akademik tentang Kabupaten dan Kota Layak Anak sesuai Hak Asasi Manusia. Pada tanggal 10 Mei 2002 Indonesia telah ikut menandatangani Deklarasi Dunia yang Layak Bagi Anak-anak (World FitFor Children). Dalam perspektif HAM, manusia hanya mempunyai hak, sedangkan kewajiban ada di pihak negara. Kekhususan konvensi/ kovenan di bidang HAM sebagai suatu bentuk perjanjian internasional ialah bahwa negaranegara yang meratifikasi konvensi/ kovenan dimaksud saling berjanji untuk terikat pada kewajiban guna memberikan hak kepada setiap individu yang berada di dalam wilayah hukum negara yang bersangkutan
Dengan
diratifikasinya konvensi-konvensi atau kovenan-kovenan internasional dan ditandatanganinya Deklarasi Dunia yang Layak Bagi Anak-anak, maka Negara Republik Indonesia telah terikat baik secara yuridis maupun politis dan moral untuk mengimplementasikan peraturan-peraturan tersebut di atas. Konvensi Hak-hak Anak (KHA) merupakan instrumen internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) yang paling komprehensif dibandingkan dengan konvensi-konvensi internasional lainnya. KHA yang terdiri dari 54 pasal, sampai kini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang HAM yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sehubungan dengan konvensi-konvensi atau kovenan-kovenan tersebut di atas, maka secara yuridis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Kabupaten Layak Anak di Indonesia dapat dijumpai dalam : 1. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak telah mengamanatkan hal yang sangat prinsip dalam mengadili perkara anak. 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
9
Pasal 52 ayat (2) menyatakan, bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungannya. 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention no 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment
(Konvensi
ILO
Mengenai
Usia
Minimum
untuk
Diperbolehkan Bekerja) 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) 5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 9. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah 11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI 12. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 13. Undang-Undang
No.
23
Tahun
2006
Tentang
Administrasi
Kependudukan. 14. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 15. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana 16. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
10
17. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial 18. Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 19. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Kesehatan bayi s/d remaja diatur dalam Pasal 126 s/d 137. –diuraikan20. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1) menyatakan: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 21. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga 22. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention of the Rights of Person with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) 23. Peraturan
Pemerintah
Nomor
2
Tahun
1988
Tentang
Usaha
Kesejahteraan Anak bagi yang Mempunyai Masalah. 24. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. 25. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 26. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia tahun 2011-2014 27. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 28. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. 29. Keputusan Presiden Nomor 88 Tahhun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Trafiking). 30. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 31. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 11 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak
11
32. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Indikator Kabupaten/Kota Layak Anak 33. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Kabupaten dan kota diberbagai daerah di Indonesia
sedang
menghadapi permasalahan anak atas hidup yang layak sehingga masih perlu ditingkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk mengelola anak anak agar hidup layak dalam bentuk peraturan daerah, selain karena diberbagai daerah belum mempunyai perda perlindungan anak, maka guna melakukan pengelolaaan melalui regulasi yang ramah terhadap anak masih jauh dari harapan. Serta masih terdapat banyak anak yang perlu mendapat perlindungan
dari
berbagai
bentuk
diskriminasi,
tindak
kekerasan,
eksploitasi, pelecehan seksual, dan ketelantaran. Untuk dicanangkan menjadi Kabupaten Layak Anak,
di setiap Kabupaten maupun kota
sangat
memerlukan Peraturan Daerah tentang Kabupaten atau kota yang berkenaan Layak Anak. c. Landasan Sosiologis Naskah Akademik terhadap penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak Fenomena sosial yang ada memperlihatkan kondisi yang tidak kondusif
bagi
tumbuh
kembang
anak
berbagai
berita
cukup
memprihatinkan atas layak hidupnya anak hal ini contoh paling menarik ditelantarkannya 5 anak dosen di Ibukota Jakarta ditelantarkan orang tua sampai dengan masyarakat turut terlibat untuk memberikan perlindungan sampai dengan Komisi Perlindungan Anak turun tangan , sehubungan dengan hal tersebut maka setiap kabupaten ataupun kota harus disadari tidak pernah lepas dari pengaruh globalisasi sehingga dalam kehidupan keluarga, teman sebaya, masyarakat, media massa dan politik menerima imbasnya dari pesatnya kemajuan teknologi. Pada kehidupan keluarga menunjukkan terjadinya pelunturan nilai-nilai kekeluargaan; merenggangnya hubungan antara anak dan
12
orang tua; anak dengan anak; dan antar keluarga atau tetangga. Hal ini menyebabkan perlindungan anak belum terpenuhi. Sikap permisif terhadap nilai-nilai sosial yang selama dianut mulai ditinggalkan. Pada kenyataannya hubungan sosial sebaya telah menyebabkan kekhawatiran orang tua terhadap anak, ketika mereka berada di luar lingkup keluarga. Beberapa kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak teman sebaya melakukan tindakan di luar kepatutan seperti keterlibatan dalam kasus narkoba, seks bebas, tindakan amoral dan asosial lainnya Pada kehidupan
masyarakat,
nilai-nilai kebersamaan dan
kegotong-royongan, serta kesetiakawanan sosial sudah menjadi sesuatu yang langka. Gejala ini, terlihat dari ketidakpedulian pada kehidupan lingkungan sekitar, sehingga hal ini menyebabkan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perlindungan anak kurang optimal Media massa dengan pewartaan dan penayangan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak menjadi hal yang biasa, tidak hanya di kotakota besar tetapi juga di pelosok. Hal ini menambah sederet persoalan yang juga mengganggu tumbuh kembang anak. Pada kehidupan politik, anak belum menjadi isu utama. Partai politik sebagai agen perubahan belum mengakomodir kepentingan anak dalam programnya. Sehingga isu kesejahteraan dan perlindungan anak kurang mendapat perhatian d. Materi Pokok Yang Akan Diatur pada Kebijakan daerah yang berbasis Layak dihuni Anak 1. Tujuan Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak Membangun
inisiatif
pemerintahan
Kabupaten/Kota
yang
mengarah pada upaya transformasi konsep hak anak ke dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak di Kabupaten Purworejo 2.
Prinsip Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak
13
Penyelenggaraan kabupaten layak anak dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip yang meliputi: a. Prinsip Tata pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keterbukaan informasi dan supremasi hukum b. Prinsip Kepentingan terbaik untuk anak. Bahwa di dalam setiap keputusan yang diambil atau perlakuan atau tindakan yang ditujukan terhadap anak maka pertimbangan utamanya adalah demi kepentingan terbaik untuk anak. Ini berlaku dalam pembuatan
kebijakan
pemerintah
( langkah-langkah
legislasi,
administrative atau program ), dan perlu mendapat perhatian khusus dalam setiap keputusan yang berdampak pada pemisahan anak dari pengasuhan kewajiban
orangtua/keluarga, membantu
mengasuh/melindungi
ketika
keluarga anak,
pemerintah
yang
pelaksanaan
tidak
menjalankan
mampu
adopsi,
dalam
pelaksanaan
peradilan anak, atau dalam penanganan pengungsi anak. c. Prinsip Pemenuhan Hak Hidup, Tumbuh-kembang, dan Kelangsungan Hidup Anak Bahwa di dalam setiap keputusan yang diambil atau perlakuan atau tindakan yang ditujukan terhadap anak merupakan bagian dari atau melibatkan juga upaya sungguh-sungguh untuk semaksimal mungkin menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh-kembang anak secara penuh, baik aspek fisik, mental, sosial, dan moral. Dan bahwa hal yang diputuskan atau dilakukan tersebut tidak mengakibatkan terganggunya atau terhalanginya perkembangan seluruh aspek atau salah satu aspek tumbuh-kembang anak. d. Prinsip Non-diskriminatif Setiap keputusan yang diambil atau perlakuan atau tindakan yang ditujukan terhadap anak ditetapkan atau dijalankan tanpa adanya pertimbangan diskriminatif karena latar belakang jenis kelamin anak; kecatatan atau perbedaan kondisi fisik dan mental anak; agama, etnisitas, kebangsaan, kemampuan ekonomi, kelas sosial, atau pandangan politis anak dan orangtua/pengasuh anak; termasuk juga
14
perlakuan diskriminatif akibat pandangan salah dan stigmatisasi yang berkembang di masyarakat untuk anak-anak yang berada dalam situasi khusus seperti korban kekerasan, eksploitasi seksual, berkonflik dengan hukum, terinfeksi HIV/AIDs, dll. e. Prinsip Menghargai Pendapat Anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya,
diberikan
pandangannya
secara
kesempatan bebas
terhadap
untuk
mengekspresikan
segala
sesuatu
yang
mempengaruhi dirinya. 3. Upaya
Penyelenggaraan kebijakan berupa Paturan Daerah di
Kabupaten/kota untuk mencapai pada Implementasi Kepentingan Regulasi Layak anak Guna menuju pada bentuk regulasi yang konstruktif terhadap penyelenggaraan Kabupaten/Kota yang Layak Anak maka peraturan yang dihadirkan sebaiknya mengatur tentang a. Kelembagaan 1) Tercapai koordinasi lintas
Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD untuk pembentukan gugus tugas Kabupaten Layak Anak (KLA) dan menyusun rencana Aksi Daerah Kabupaten Layak Anak (RAD KLA) lima tahunan. 2) Penyusunan perda Kabupaten/Kota Layak Anak. 3) Fasilitasi pembentukan forum anak. 4) Sosialisasi RAD KLA dengan tujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang KLA. b. Hak Sipil dan Kemerdekaan Anak. 1) Sosialisasi kebijakan kependudukan dan pencatatan sipil agar dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kepemilikan dokumen kependudukan dan akta pencatatan sipil 2) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang pencatatan sipil 3) Meningkatkan tertib administrasi dan arsip pencatatan sipil
15
4) Pengadaan ruang baca anak dan penambahan koleksi buku perpustakaan keliling demi mengembangkan budaya baca pada anak 5) Pengadaan taman bermain anak c. Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 1) Pelatihan tenaga pendamping Bina Keluarga di kecamatan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tenaga pendamping 2) Sosialisasi tentang UU perkawinan agar pengetahuan masyarakat tentang pernikahan yang berkualitas meningkat. 3) Advokasi
tentang
kesehatan
reproduksi
remaja
demi
meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang kesehatan reproduksi remaja. 4) Tersedia lembaga konsultasi bagi orang tua/keluarga tentang pengasuhan dan perawatan anak. 5) Terbentuknya lembaga kesejahteraan sosial anak 6) Tersedianya panti asuhan bagi anak d. Hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan 1) Menurunkan angka kematian bayi dengan memberikan Jaminan Persalinan bagi keluarga miskin dan sosialisasi bagi ibu hamil untuk merawat bayi sejak dalam kandungan 2) Perbaikan gizi masyarakat demi mengurangi angka balita dengan gizi buruk. 3) Pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah agar derajat kesehatan anak sekolah meningkat. 4) Melakukan imunisasi di sekolah dasar demi menurunkan angka kesakitan. 5) Memberikan pelatihan bagi konselor ASI demi meningkatkan cakupan ASI eksklusif 6) Tersedianya pojok ASI 7) Pengadaan klinik laktasi di tempat pelayanan umum 8) Tersedianya lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi dan mental
16
9) Pendataan program perlindungan sosial untuk memperoleh data valid keluarga miskin untuk membentuk keluarga harapan 10) Peningkatan jumlah rumah tangga dengan akses air bersih 11) Tersedia kawasan tanpa rokok e. Hak Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Sosial Budaya 1) Perlunya sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pendidikan PAUD, SD, SMP, SMA (Wajib Belajar 12 Tahun) 2) Pengadaan dan penambahan ruang kelas PAUD, SD, SMP, dan SMA. 3) Pembinaan kelembagaan dan managemen SD, SMP, dan SMA dengan tujuan meningkatkan mutu dan daya saing peserta didik. 4) Tersedianya pendidikan non-formal yang berupa Kejar Paket A, B, C, dan pendidikan pelatihan ketrampilan serta beasiswa bagi pekerja anak di sector informal. 5) Pelatihan ketrampilan bagi anak terlantar, anak jalanan dan anak cacat dalam rangka pemberdayaan anak penyandang masalah kesejahteraan sosial 6) Terciptanya sekolah ramah anak 7) Sosialisasi dan pembinaan sekolah Adiwiyata untuk menambah wawasan dan pengetahuan anak sekolah 8) Pengadaan zona selamat sekolah (ZOSS) dan zebra cross di sekolah demi memberi perlindungan bagi peserta didik 9) Tersedianya fasilitas kegiatan kreatif dan rekreatif yang ramah anak f. Hak Perlindungan Khusus 1) Fasilitasi dan penanganan anak bermasalah demi meningkatkan pelayanan dan perlindungan terhadap anak bermasalah 2) Peningkatan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat demi meningkatkan pelayanan dan perlindungan dalam kegiatan penegakan hukum.
17
3) Tesedianya mekanisme penyelesaian kasus ABH melalui pendekatan keadilan restorative 4) Tersedianya “rumah aman” 5) Tersedianya pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak 6) Pembinaan mental dan psikis kepada anak korban kekerasan 7) Pembinaan pengentasan pekerja anak untuk meningkatkan perlindungan terhadap pekerja anak 8) Membatasi umur pekerja anak minimal 18 tahun. 9) Melindungi anak dari pekerjaan terburuk anak. 10) Tersedianya
mekanisme
penanggulangan
bencana
yang
memperhatikan kepentingan anak e. KETENTUAN SANKSI Pada intinya, penguatan atau sanksi yang diterapkan untuk tujuan penegakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini diarahkan untuk merujuk pada ketentuan dalam perundangan terkait yang
berlaku. Pemerintah kabupaten mengembangkan mekanisme
positif atau pemberian penghargaan untuk tujuan penguatan perilaku atau percepatan perbaikan layanan di lingkungan kelembagaan yang ada. C. Kesimpulan dan saran. Sudah saatnya disusun suatu acuan normatif yang dapat menjadi panduan dalam mengintegrasikan seluruh sumber daya pemerintah dan masyarakat, sehingga penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak dapat segera terwujud. Kajian secara normatif, empiris, dan teoritis menunjukkan bahwa pada akhirnya terdapat empat konsep utama di dalam penelitian ini, yaitu konsep kebijakan, perlindungan, lingkungan, dan perencanaan bagi anak.Keempat konsep tersebut tampaknya juga sudah diakomodasi dalam berbagai produk kebijakan di Indonesia salah satunya dalam bentuk peraturan daerah (PERDA), kecuali konsep perencanaan untuk anak yang belum terakomodasi secara eksplisit dalam kebijakan.
18
Konsep perencanaan bagi anak perlu dikaji lebih lanjut untuk diintegrasikan
dalam
kebijakan
yang
ada
secara
eksklusif
atau
dioperasionalisasikan sebagai bagian dari konsep kebijakan pemerintah daerah. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengeksplorasi relasi antar konsep yang ditemukan pada akhir penelitian ini dalam rangka memperoleh rumusan tentang kota layak anak berdasarkan kondisi lokal di setiap daerah. Dengan keterlibatan secara aktif dari berbagai pemangku kepentingan, diharapkan perwujudan KLA dapat lebih dipercepat pencapaiannya dan lebih penting dapat diciptakan Ownersip bersama, sehingga KLA dapat terlembaga. Kabupaten dan kota memiliki keterbatasan penganggaran terhadap pembangunan berbasis anak bahkan masih minim kapasitas sumber daya manusia yang menangani pembangunan anak bahkan mainstream pengambil kebijakan
di kabupaten/kota menunjukkan indikasi, perlunya berbagai
regulasi tentang anak masuk pada
regulasi lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab mengkoordinasikan dan menangani pembangunan anak.
19
DAFTAR PUSTAKA Bridgman, R. 2004. “Criteria for Best Practices in Building ChildFriendly Cities: Involving YoungPeople in Urban Planning and Design”, Canadian Journal of Urban Research 13 (2), 337- 346. Child Friendly Cities. 2011. The CFC Initiative. http://www.childfriendlycities.org/en/overview/thecfcinitiative. diakses tanggal 12 Maret 2011. Child Friendly Cities. 2011. What is a Child Friendly City?. http://www.childfriendlycities.org/en/overview/ what-is-achild-friendly-city. diakses tanggal 12 Maret 2011. Corsi, M. 2002. “The Child Friendly City Initiative in Italy”. Environment and Urbanization 14(2). 169-179. Irmawati, N. 2009. Responsivitas Pemerintah Kota Surakarta terhadap Perlindungan Anak Menuju Solo Kota Layak Anak (KLA). Skripsi. Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/173712312201007561.pdf. diakses tanggal 10 Maret 2011. Karsten, L & van Vliet, W. 2006. “Children in the City: Reclaiming the Street”. Children, Youth and Environments. 16(1). 151-167. KPMP. 2011.Isian Formulir Evaluasi Kota Layak Anak Kota Yogyakarta. KPMP. Yogyakarta. Lorenzo-Seva, Urbano, 2006. “FACTOR: A computer program to fit the exploratory factor analysis model”. Behavioral Research Methods. 38(1). 88-91. Lynch, K (Editor). 1977. Growing up in Cities: Studies of the Spatial Environment of Adolescence in Cracow, Melbourne, Mexico City, Salta, Toluca dan Warsawa, The MIT Press dan UNESCO, Cambridge. Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM: Mengurangi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009. Nachrowi Djalal Nachrowi dan Hardius Usman, Pekerja Anak di Indonesia: Kondisi . Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif), PT Grasindo, Jakarta, 2005. Riggio, E. 2002. “Child friendly cities: good governance in the best interest of the child”. Environment andUrbanization 14(2). 45-58. Rony Hanitojo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Rusli, Hardijan, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. Tranter, P., & Pawson, E. 2001. “Children Access to Local Environments: a case- study of Christchurch, New Zealand”. Local Environment 6(1). 27-48. Veitch, J., Salmon, J., & Ball,K. 2007. “Children’s Perception of the Use of Public Open Spaces for Active Free-play”. Children’s Geographies 5(4). 409-422.
20
Wilks, Judith. 2010. “Child-Friendly Cities: a place for active citizenship in geographical and environmental education”. International Research in Geographical and Environmental Education, 19(1). 25-38. Woolcock, G & Steele, Wendy. 2008. Child-Friendly Community Indicators- A Literature Review. Based on a Report Prepared by Urban Research Program for the NSW Commision for Children & Young People. Griffith University. Nathan. Woolcock, G., Gleeson, B., & Randolph, B. 2010. “Urban Research and Child-Friendly Cities: a New Australian Outline”. Children’s Geographies, 8(2). 177-192. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 2, Agustus 2012, hlm. 211 – 216 Undang-Undang: - Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. - Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. -
Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak.
21