TRAINING TINGKAT LANJUT RULE OF LAW DAN HAK ASASI MANUSIA BAGI DOSEN HUKUM DAN HAM Jakarta, 3-6 Juni 2015
MAKALAH PESERTA
HUKUM WARISAN ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA (Pemenuhan Hak Warisan bagi Beberapa Kondisi) Oleh: Maslahul Falah, S.Ag., M.Ag.
HUKUM WARISAN ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA (Pemenuhan Hak Warisan bagi Beberapa Kondisi) Oleh : Maslahul Falah, S.Ag., M.Ag. 1
A. PENDAHULUAN Dalam perspektif ke-Islaman, kehadiran manusia di muka bumi (baca juga konteks dunia) ini membawa dua hal pokok, yakni hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini sangat terikat dengan identitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah ayat 30). Makna khalifah bagi manusia yang disimbolkan dengan Adam, menurut mufasir Al-Maraghi adalah bisa juga mencakup seluruh makhluk (manusia) yang bercirikan mempunyai kemampuan berfikir yang luar biasa, sekalipun kita tidak mengerti secara pasti rahasia khalifah jenis ini, termasuk tidak mengetahui bagaimana prosesnya. 2 Hak manusia secara hakiki adalah mendapatkan fasilitas dan keistimewaan dari Sang Pencipta. Hal ini secara jelas dinyatakan Allah SWT, di antaranya dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 29 bahwa Tuhan semesta alam itu yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. Dalam alam pemikiran Sayyid Quthb, bahwa perkataan “untuk kalian” (lakum) dalam ayat 29 Surat Al-Baqarah itu memiliki makna yang dalam dan memiliki kesan yang dalam pula. Hal ini merupakan kata pasti yang menetapkan bahwa Allah menciptakan manusia ini untuk urusan yang besar. Sebagai khalifah di muka bumi ini untuk menguasai dan mengelolanya. Manusia merupakan makhluk tertinggi di dalam kerajaan
yang
terhampar luas ini, dan menjadi majikan pertama dengan warisan yang sebanyak ini. Kalau begitu, peranannya dalam berinovasi dan mengembangkannya merupakan peranan utama. 3 Demikian pula manusia sebagai anak Adam diberikan kemuliaan dan diangkut di daratan dan lautan serta diberikan rizki dari sesuatu yang baik dan dilebihkan secara sempurna di atas makhluk-Nya yang lain (QS. Al-Isra` ayat 70). Menurut Thahir bin ‘Asyur dalam Kitab Tafsirnya At-Tahrir wa at-Tanwir, ada empat karunia Allah yang diberikan kepada manusia, yakni : a. Menjadikan manusia sebagai bangsa yang mulia, baik dalam fisik (tubuh), gerakan, maupun langkahnya. Karena hewan tidak memahami arti kebersihan,
1
Dosen STAI Muhammadiyah Pondok Pesantren Karangasem Paciran Lamongan Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Anshori Umar Sitanggal dkk, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, cet. Ke-2, 1992), hlm. 136. 3 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur`an Di Bawah Naungan Al-Qur`an, terj. As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), I, hlm, 90. 2
1
pakaian, tidak tahu bagaimana memanjakan tempat tidur dan makanan, tidak bisa memperindah cara makan dan minum, dan sebagainya. b. Allah memberikan berbagai macam alat transportasi dan kemampuan manusia untuk mempergunakannya. c. Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk berkreasi dan berinovasi dalam menghidangkan berbagai jenis makanan yang dikehendaki dan disukainya. Berbeda dengan hewan yang hanya mengkonsumsi satu jenis atau beberapa jenis makanan secara terbatas. d. Allah memberikan karunia akal sehingga manusia dapat mengurus segala permasalahan dan menghindari madarat (hal-hal negative). Selain itu, Allah memberikan berbagai pengetahuan dan ilmu. 4 Adapun kewajiban manusia sebagai khalifah adalah menjaga harmoni alam semesta. Makna alam semesta di sini adalah selain Allah SWT. Sehingga di dalamnya ada manusia, lingkungan hidup dan makhluk-Nya yang lain. Upaya menjaga harmoni ini selaras dengan larangan bagi manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi ini. Kita bisa memperhatikan Al-Qur`an Surat al-A’raf ayat 56 dan 85. Menjaga harmoni dan tidak merusak di bumi ini mempunya hakikat menjaga martabat manusia dan saling menjaga identitas dirinya. Hal inilah yang sudah selayaknya menjelma dalam kesadaran dan aksi makhluk manusia sejagat. Komitmen dan kesadaran ini dalam sejarahnya sudah pernah lahir di tengah-tengah berkecamuknya perang di bumi ini. Itulah yang mewujud dalam kesepakatan universal pada 10 Desember 1948 dengan lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Deklarasi itu sudah membahana seantero jagat hingga kini. Dan deklarasi ini menjaga komitmen bahwa kita adalah manusia yang bermartabat dan dijaga nilai kemartabatannya tersebut. Dalam DUHAM dinyatakan bahwa semua orang dilahirkan merdeka mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani, karena itu hendaknya mereka bergaul satu sama lain dalam persaudaraan. 5 Demikian pula setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan yang tercantum dalam DUHAM dengan tidak ada pengecualian apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
4
Keterangan ayat tersebut dalam Mushaf Al-Qur`an Tafsir Jalalain Per kata, yang diterbitkan oleh PT. Suara Agung Jakarta, cet. Ke-2, 2013. 5 Pasal 1 DUHAM.
2
kelahiran ataupun kedudukan lain. 6 Kedua pasal tersebut sangat jelas berbicara mengenai manusia dengan nilai martabat dan hak-hak yang melekat dalam dirinya serta kebebasan, yang kesemuanya itu ada dan tumbuh dalam diri manusia karena sebagai manusia. HAM itu sendiri berkaitan dengan konsep dasar tentang manusia dan hak. 7 Dan yang lebih bermakna adalah bahwa DUHAM merupakan sebuah pengakuan mendasar umat manusia di bumi ini bahwa hidup damai dan bahagia sebagai makhluk Tuhan menjadi harapan bagi semua orang. Oleh karena itu, saling menghargai dan menghormati sesama manusia menjadi agenda utama yang sudah diserukan sejak Tahun 1948 dalam dokumen kemanusiaan universal, yang kita kenal dengan DUHAM ini. Salah satu wujudnya adalah saling pengakuan terhadap hak untuk memiliki harta. Dalam DUHAM juga ditulis bahwa setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. 8 Di samping itu juga Hak Asasi Manusia mempunyai prinsip sebagai panduan dalam setiap kebijakan individu dan negara untuk melindungi setiap warga negara atau setiap individu yang hidup di bumi ini. Prinsip itu adalah (1) kesetaraan; (2) pelarangan diskriminasi; dan (3) kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu. 9 Elaborasi secara sedehana bahwa prinsip kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan dalam perdebatan ,di mana pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Sedangkan prinsip pelarangan diskriminasi adalah salah satu bagian penting prinsip kesetaraan. Maknanya adalah jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan. Diskriminasi itu sendiri adalah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara. Prinsip kewajiban positif untuk melindungi hakhak tertentu yang dilakukan oleh negara ini untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan. 10 6 7
Pasal 2 DUHAM. Hamid Awaludin, HAM, Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, (Jakarta: Kompas, 2012),
hlm. 60. 8
Pasal 17 DUHAM. Knut D. Asplund dkk (Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, cet. 2, 2010, hlm. 39. Mengenai prinsip kesetaraan ini pula, penulis pernah memaparkan dalam sebuah tulisan/naskah yang bertitel “Kesetaraan Manusia dalam Islam (Pemikiran Hak Asasi Manusia dalam Studi Hadits) dalam Eko Riyadi (editor), To Promote : Membaca Perkembangan Wacana Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Yogyakarta : PUSHAM UII, 2012), hlm. 455-487. 10 Penjelasan lebih lanjut silakan baca Knut D. Asplund dkk (Editor), Hukum Hak Asasi Manusia hlm. 39-41. 9
3
Tulisan berikut tidak berpretensi untuk mengungkap dan memaparkan nilai-nilai HAM dalam permasalahan hukum waris Islam secara panjang lebar. Tetapi lebih pada upaya pengkajian beberapa bagian dalam permasalahan hukum waris Islam, seperti pembagian warisan kepada khuntsa (banci), orang yang tidak diketahui rimbanya (mafqud), janin dalam kandungan, anak zina dan anak lian, harta gono-gini. Penguraian kelima permasalahan dalam tata hukum waris Islam ini dicoba untuk dikaji dengan menggunakan dimensi hak asasi manusia, terutama yang terkait dengan prinsip kesetaraan dan perlawanan terhadap diskriminasi. Di luar kedua prinsip tersebut, nilai HAM yang juga utama adalah adanya usaha menghargai dan menghormati martabat dan nilai moral setiap insan dalam kehidupan individu dan social kemasyarakatan. Beberapa orang yang menjadi permasalahan dalam hukum waris Islam tersebut murni hasil ijtihad para ulama. Kondisi inilah yang membuka pintu lebar bahwa ada sinergisitas antara pemikiran hukum Islam, yang dalam hal ini adalah hukum waris, dengan perkembangan dan perubahan zaman, yang meniscayakan adanya perubahan tempat, waktu dan manusianya. Dengan demikian hukum Islam secara umum berjalan dinamis, sehingga tidak ada kekosongan hukum. Untuk itulah, cara baca terhadap naskah ini adalah perangkaian konsep hukum waris Islam dengan membuka otak kesadaran bahwa manusia itu perlu dihargai dan dihormati, yang sangat dijunjung oleh nilai-nilai HAM universal. Termasuk adalah bagian-bagian yang sudah ditentukan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah. B. MEMAHAMI HUKUM WARIS ISLAM Kehidupan di dunia tak lekang dari persoalan harta dan cara distribusi serta peralihannya. Hak kepemilikan yang melekat dalam diri manusia secara integral memastikan terhadap hak Allah yang paling hakiki dan pendistribusiannya untuk masyarakat atau kepentingan umum. Hak kepemilikan ini diperoleh melalui salah satu dari tiga hal, yakni (1) ihraz, yakni mengamankan atau memiliki sesuatu yang belum dimiliki orang lain dan ini merupakan cara yang orisinil; (2) naqal, yakni transfer oleh pemilik; dan (3) khalf, yakni suksesi yang untuknya terdapat hukum waris khusus. 11 Di samping itu ada beberapa sebab kepemilikan, yakni (1) bekerja (al-a'mâl); (2) warisan (al-irts); (3) harta untuk menyambung hidup; (4) harta pemberian negara (a'thâu ad-daulah); (5) harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan upaya apapun. 12 11
Muhammad Muslehuddin, Wacana Baru Manajemen & Ekonomi Islam, terj. Dahlan Rosyidin dan Akhmad Afandi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), hlm. 191. 12 Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 25.
4
Dengan demikian, warisan merupakan salah satu dari cara untuk memperoleh kepemilikan terhadap suatu benda. Sedangkan istilah yang berkaitan dengan warisan ini beragam, di antaranya ada yang menamakan al-mirats, ilmu faraidh, ilmu mawaris, hukum kewarisan, atau hukum waris Islam. 13 Adapun mengenai definisi hukum kewarisan Islam ini, di antaranya adalah salah satu definisi yang relatif baru, yakni hukum yang mengatur peralihan kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan. 14 Sedangkan menurut istilah syariat, ilmu faraidh adalah ilmu fikih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, dan pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. 15 Ilmu faradidh atau padanannya bersumberkan dari Al-Quran, Sunnah Nabi Muhammad SAW dan Ijtihad. Ayat-ayat al-Quran
yang mengatur pembagian
warisan terdapat dalam beberapa ayat surat An-Nisa` ayat 1, 7-12, 176,
harta
dan dapat
ditambahkan satu ayat dalam surat Al-Anfal ayat 75. Dalam Al-Qur`an memang sudah disebutkan secara terperinci beberapa ketentuan bagian ahli waris. Namun demikian Sunnah Nabi SAW juga menyebutkan hal-hal yang tidak disebutkan Al-Qur`an, antara lain tentang ahli waris laki-laki lebih dekat kepada pewaris itu lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu (HR. Bukhari dan Muslim). Sementara ada beberapa hal yang terkait dengan hasil ijtihad para ulama faraidh, di antaranya adalah bagian warisan banci, harta warisan yang tidak habis terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri. 16 Tidak hanya sumber-sumber hukum di atas, hukum waris Islam juga mempunyai beberapa prinsip, yakni :
13
Hal ini bisa kita perhatikan dalam beberapa judul buku atau bagian dari buku yang, minimal, menjadi referensi makalah atau naskah ini. 14 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2004), hlm. 108. 15 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1987), hlm. 32. Penulis buku ini juga mengutipnya dari Kitab Mughni al-Muhtaj karya Asy-Syarbini Juz III. 16 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, 1995), 10.
5
1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara memberi kebebasan penuh kepada seseorang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendaki, seperti yang berlaku dalam sistem kapitalis/individualis, dan melarang sama sekali bagian harta peninggalan seperti yang menjadi prinsip komunisme yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinya tidak mengenal sistem warisan. 2. Warisan adalah hukum, yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknya atas harta warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim. Tetapi tidak berarti bahwa dengan demikian ahli waris dibebani melunasi utang-utang pewaris. 3. Warisan terbatas dalam lingkunggan keluarga, dengan adanya hubungan perkawinan atau karena hubungan nasab/keturunan yang sah. Keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih jauh. Yang lebih kuat hubungannya dengan pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih lemah. Misalnya, ayah lebih diutamakan daripada kakek dan saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara seayah. 4. Hukum warisan Islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian-bagian tertentu krpada beberapa ahli waris. Misalnya apabila ahli waris terdiri dari ayah/ibu, suami/istri dan anak-anak , mereka semua berhak atas harta warisan. 5. Hukum waris Islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan anakanak yang sudah besar, yang masih kecil yang baru saja lahir semuanya berhak atas harta warisan orang tuanya. Tetapi perbedaan besar kecil bagian diadakan, sejalan dengan perbedaan besar kecil beban kewajiban yang harus ditunaikan dalam keluarga. Misalnya anak laki-laki yang memikul beban tanggungan nafkah keluarga mempunyai hak lebih besar daripada anak perempuan yang tidak dibebani tanggungan nafkah keluarga. 6. Hukum waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentui ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, di samping memandnag jauh dekat hubungannya dengan pewaris. 17
17
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 10-11.
6
Untuk lebih mensistematisasikan pembahasan hukum waris Islam ini, para ulama merumuskannya juga dalam rukun-rukun warisan, yakni : 1. Al-Mauruts (
), yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia yang bakal diwarisi atau dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat. Harta benda ini juga sering dinamakan at-tirkah ( 2. Al-Muwarrits (
) atau at-turats.
), yaitu orang yang meninggal dunia, baik secara hakiki
maupun hukmi. Mati hukmi adalah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati. 3. Al-Warits (
), yaitu orang yang akan mewarisi harta peninggalan di si
muwarrits lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti ikatan pernikahan, nasab (keturunan), dan hubungan hak perwalian dengan si muwarits. Hal ini juga sering disebut ahli waris. 18 Dalam hal ini ada, ahli waris dapat P17F
P
digolongkan menjadi beberapa golongan atas dasar tinjauan dari segi kelamin dan segi haknya atas warisan tersebut. Dari segi jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yakni ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Sedangkan dari segi haknya atas harta warisan, maka ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yakni dzawil furudh atau ashhabul furudh, ashobah dan dzawil arham. 19 P18F
P
Di samping adanya rukun tersebut, dalam hukum waris Islam juga terdapat syaratsyarat mewarisi : a. Matinya muwaris (orang yang meninggalkan harta perninggalan). Menurut ulama kematian muwaris ini dibedakan pada 3 macam : i.
Mati haqiqi, yakni tiadanya kehidupan padanya atau hilangnya nyawa dari seseorang, yang memang sebelumnya sudah ada dalam dirinya. Kematian ini didasarkan pada kesaksian panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang valid.
ii.
Mati hukmi, yaitu suatu kematian yang disebabkan adanya vonis hakim, baik pada hakikatnya seseorang seseorang itu masih hidup, maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Dalam hal ini seperti vonis
hakim
terhadap
orang
yang
dikategorikan
mafqud.
Konsekwensinya adalah tanggal kematiannya dhitung sejak vonis hakim 18 19
Fatchur Rahman, Ilmu Waris,, hlm. 36. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…. hlm. 24.
7
tersebut, walaupun si mafqud itu sudah belasan tahun kepergiannya yang tidak diketahui rimbanya tersebut. iii.
Mati taqdiry, yakni suatu kematian yang bukan hakiki dan bukan pula hukmi, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras.
b. Hidupnya waris (orang-orang yang akan mewarisi); c. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi. Tetapi ada beberapa golongan ahli waris yang masih diragukan kejelasannya, seperti bagian ahli waris khuntsa (berdasarkan jenis kelamin), Dalam hukum waris Islam ini ada ketentuan yang dinamakan dengan furudh almuqaddarah, yakni bagian yang sudah pasti besar kecilnya. Yakni : a. Dua pertiga (2/3); b. Sepertiga (1/3); c. Seperenam (1/6); d. Separoh/setengah (1/2); e. Seperempat (1/4); f. Seperdelapan (1/8). Di samping bagian yang enam tersebut, masih terdapat satu bagian yang merupakan hasil ijtihad ulama, yakni bagian sepertiga sisa harta peninggalan. 20 Sedangkan ahli waris yang mendapatkannya dinamakan ashhabul furudh. 21 Walaupun dalam hukum waris Islam ini sudah ditentukan bagian-bagiannya, para ulama kembali merumuskan beberapa hal untuk mempermudah pembagiannya dan bisa dipastikan bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris dengan seperangkat metode perhitungannya.. Beberapa hal itu di antaranya : 1. Asal masalah Yang dimaksud asal masalah adalah angka Kali Persekutuan Terkecil (KPT). 22 Untuk mengetahui bagaimana cara menentukan asal masalah, dalam ilmu faraidh digunakan istilah-istilah dan cara-cara sebagai berikut : a. Mubayanah atau tabayun, yaitu apabila angka penyebut pada bagian yang diterima oleh ahli waris masing-masing berlainan, yang satu tidak dapat 20
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 128. Bagian 1/3 sisa ini menjadi bagian ibu, setelah diambil bagian suami atau istri apabila bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 10-11. 21 Mengenai ashhabul furudh ini silakan dibaca dalam buku-buku atau kitab yang membahas kewarisan ini. 22 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 18.
8
untuk membagi yang lain, tidak mempunyai pembagi persekutuan. Misalnya angka pecahan ½ dan 1/3. Cara membagi asal masalahnya adalah dengan jalan mengalikan factorfaktor penyebut yang satu dengan yang lain. Misalnya apabila angka-angka pecahan yang ada terdiri dari ½ dan 1/3, asal masalahnya 2x3 =6. Apabila angka-angka pecahan yang ada terdiri dari 2/3 dan 1/8, asal masalahnya 3x8 =24. b. Mudakhalah atau tadakhul, yaitu apabila factor-faktor penyebut berlainan, tetapi yang satu tepat dibagi yang lain. Misalnya angka pecahan 2/3 dan 1/6. Dalam masalah ini, asal masalah diambil dari factor penyebut yang terbesar. Apabila angka-angka pecahan adalah 2/3 dan 1/6 asal masalahnya 6. c. Muwafaqah atau tawafuq, yaitu apabila factor-faktor penyebut berlainan, tetapi mempunyai pembagian persekutuan. Misalnya angka-angka pecahan 1/6 dan 1/8. Dalam masalah ini untuk mencari asal masalahnya harus kita ketahui dulu angka pembagi persekutuannya, yaitu selalu 2, kemudian kita lakukan perkalian ½ x salah satu penyebut x penyebut yang lain. Jadi jika angka-angka pecahan yang ada adalah ¼ dan 1/6, asal masalahnya adalah ½ x 4x6 = 12, angka-angka pecahan 1/6 dan 1/8 asal masalahnya ½ x 6 x 8 = 24. d. Mumatsalah atau tamatsul, yaitu apabila factor-faktor penyebut bersamaan. Misalnya ½ dan ½. Dalam hal ini, asal ,masalahnya diambil dari salah satu faktor penyebut yang ada. 23 2. Masalah “Aul” Aul adalah menaikkan asal masalah yang berakibat bagian-bagian ahli waris menjadi kurang dari ketentuan semula. Aul ini terjadi apabila jumlah bagianbagian ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya. Misalnya asalmasalahnya 24, tetapi jumlah bagian-bagian ahli waris adalah 27, maka asal masalahnya kita naikkan menjadi 27. Akibatnya bahwa bagian-bagian masingmasing ahli waris menjadi berkurang dari ketentuan semula. 24 3. Masalah “Radd”
23 24
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 18. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris….., hlm. 19.
9
Radd menjadi kebalikan dari aul. Radd adalah membagi sisa warisan atau pusaka kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing. Apabila terjadi jumlah bagian ahli waris kurang dari asal masalah, berarti ada sisa harta warisan. Apabila di antara ahli waris tidak ada yang berkedudukan sebagai ahli waris ashabah, kepada siapa sisa harta warisan itu dikembalikan ? dalam hal ini ada perbedaan di kalangan para sahabat Nabi dan Ulama, sebab tidak ada ketentuan khusus dalam Al-quran dan Sunnah Rasul. a. Sahabat Ali bin Abi Thalib dan banyak sahabat lainnya berpendapat bahwa sisa harta warisan itu dikembalikan kepada ahli waris yang ada, selain suami atau istri dengan perbandingan besar kecil bagian masing-masing. Pendapat Sahabat Ali bin Abi Thalib ini diiukuti banyak ulama tabiin dan dianut pula ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah. Negara Mesir juga mengikuti pendapat sahabat Ali ini dengan memasukkan ke dalam UU Waris Mesir no. 77 tahun 1943, kecuali apabila ahli waris yang ada hanya suami atau istri. Misalnya : apabila ada ahli waris yang terdiri dari istri dan seorang anak perempuan, maka bagian istri adalah 1/8 dan bagian anak perempuan adalah ½, asal masalahnya 8. Karena itu istri mendapat 1 bagian dan anak perempuan mendapat 4 bagian. Jadi jumlahnya menjadi 5 bagian. Berarti masih ada sisa 3 dari 8-5 = 3 bagian. Sisi ini dikembalikan kepada anak perempuan hingga dia mendapatkan 4+3 = 7 bagian. b. Sahabat Ustman bin Affan berpendapat lain, yakni suami atau istri berhak juga menerima pengembalian sisa harta warisan yang tidak habis terbagi menurut ketentuan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Pendapat ini dinilai lebih adil, karena hubungan antara suami dan istri pada waktu hidupnya tidak kurang akrab daripada hubungan seseorang dengan kerabat-kerabat lainnya. Di sisi lain, suami atau istri
mempunyai peranan penting terhadap
perolehan atau pemeliharaan keselamatan harta benda masing-masing, lebih-lebih apabila harta suami atau istri yang meninggal adalah berasal dari pemberian yang satu kepada yang lain. UU Waris Mesir no. 77 tahun 1943 juga menganut pendapat sahabat Utsman ini dalam hal apabila para ahli waris yang ada hanya suami atau istri saja, tidak ada ahli waris lainnya.
10
c. Sahabat Zaid bin Tsabit berpendapat lain lagi, yakni ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya dalam Al-Quran dan Sunnah rasul tidak dapat menerima tambahan lagi. Oleh karena itu apabila harta warisan tidak habis terbagi menurut ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul, sisanya diserahkan kepada baitul mal yang akan dibelanjakan untuk kepentingan masyarakat Islam. Pendapat ini dianut juga oleh Imam Malik dan Imam Syafii. Tetapi ulama Syafiiiyah dan Malikiyyah mutakhir mensyaratkan apabla baitul mal tersebut seperti ketentuan dalam ajaran islam. Dalam hal baitul mal tidak teratur sesuai dengan ketentuan ajaran Islam, maka sisa harta warisan dikembalikan kepada ahli waris yang ditentukan bagian-bagiannya dalam Al-Quran atau Sunnah Rasul sesuai denan perbandingan bagian masingmasing. Pendapat sahabat Zaid bin Tsabit ini jika dibanding dengan pendapat Ali dan Utsman lebih memenuhi fungsi sosial harta benda menurut ajaran islam, meskipun realisasinya apabila tidak melalui pengadilan, hanya tergantung kepada kesadaran hukum masing-masing yang bersangkutan. 25 4. Tashih (koreksi) asal masalah Sering dalam kasus warisan terdapat sejumlah ahli wais yang bersama-sama mendapat bagian tertentu, untuk memberi bagian masing-masing dari bagian tertentu tersebut masih harus mengalami pecahan, padahal menentukan asalmasalah itu justru untuk menghindari angka-angka pecahan yang bermacammacam dalam pembagian harta warisan. Misalkan ada ahli waris terdiri dari ayah, ibu, suami dan 5 anak perempuan. Dalam kasus ini bisa diperinci : Ayah
1/6
Ibu
1/6
Suami
¼
5 anak pr
2/3
Asal masalahnya adalah 12, sehingga menjadi :
25
Ayah
1/6 x 12 = 2
Ibu
1/6 x 12 = 2
Suami
¼ x 12 = 3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 20-21.
11
5 anak pr
2/3 x 12 = 8.
Dari hasil di atas, asal masalah mengalami aul, karena 2+2+3+8 = 15. Di sini kita lihat bahwa bagian 5 anak perempuan adalah 8, dan bilangan 8 tidak bisa dibagi habis dengan angka 5, artinya hasilnya mengalami angka pecahan, karena masing-masing mendapatkan 1,6 bagian. Untuk menghindari angka pecahan tersebut harus diadakan koreksi asal masalah. Adapun caranya adalah : a. Dengan memperhatikan angka bagian
dan jumlah kepala yang akan
menerimanya. Dalam contoh di atas, angka 8 merupakan bagian dan 5 adalah jumlah kepala yang menerima warisan. Angka 5 dan 8 terjadi mubayanah, maka koreksi asal masalahnya dilakukan dengan jalan mengalikannya dengan jumlah
kepala yang akan menerimanya. Dalam
contoh di atas, asal masalahnya adalah 15, dikalikan 5 menjadi 75. Dengan demikian bagian masing-masing : Ayah
2 x 5 = 10
Ibu
2 x 5 = 10
Suami
3 x 5 = 15
5 anak pr
8 x 5 = 40
Jumlah
= 75
b. Apabila antara bilangan bagian dan jumlah kepala terjadi muwafaqah, dua bilangan berlainan, yang satu tidak dapat untuk membagi yang lain, tetapi mempunyai pembagi persekutuan, yakni selalu 2, maka cara melakukan koreksi asal masalah adalah dengan jalan ½ x jumlah kepala x asal masalah. Misalnya, ahli waris terdiri dari ibu, istri, 6 anak perempuan dan seorang saudara laki-laki kandung, maka bagian masing-masing : Ibu
1/6
Istri
1/8
6 anak pr
2/3
Sdr lk2 kandung : sisanya Asal masalahnya adalah 24: Ibu
1/6 x 24 = 4
Istri
1/8 x 24 = 3
6 anak pr
2/3 x 24 = 16 12
Sdr lk2 kandung : sisanya = 1 Jumlah
24
Di sini kita lihat bagian 6 anak perempuan adalah 16, antara jumlah bagian (16) dan jumlah kepala yang akan menerima (6) terjadi muwafaqah, pembagi persekutuanya adalah 2. Dengan demikian untuk melakukan koreksi asal masalah 24 tersebut dengan jalan mengalikan ½ x 6 x 24 atau 3 x 24 = 72. Setelah diadakan koreksi, maka bagian masing-masing : Ibu
4 x 3 = 12
Istri
3x3=9
6 anak pr
16 x 3 = 48
Sdr lk2 kandung : sisanya 1 x 3 = 3 Jumlah
72
Kemungkinan lain lagi, ahli waris yang mengakibatkan terjadinya angka pecahan itu terdiri dari 2 golongan, misalkan : a. Ahli waris terdiri dari ibu, 3 anak perempuan dan 3 cucu laki-laki (dr anak laki-laki). (mumatsalah) b. Ahli waris terdiri dari ibu, 2 saudara laki-laki seibu dan 4 paman; (mudakhalah) c. Ahli waris terdiri dari istri, 6 saurada perempuan seibu dan 4 paman; (muwafaqah) d. Ahli waris terdiri dari suami, 3 anak perempuan dan 2 cucu laki-laki dr anak laki-laki. (mubayanah). Untuk melakukan koreksi asal masalah dalam berbagai kasus tersebut diberikan patokan sebagai beriktu : a. Dalam hal 2 bilangan kepaa terjadi mumatsalah, maka satu bilangan itu kita gunakan untuk mengalikan asal masalah. b. Dalam hal 2 bilangan kepala terjadi mudakhalah, maka bilangan yang besar diambil untuk mengalikan asal masalah. c. Dalam hal 2 bilangan kepala terjadi muwafaqah, maka asal-masalah dikalikan dengan ½ x bilangan kepala I x bilangan kepala II. d. Dalam hal 2 bilangan kepala terjadi mubayanah, maka asal masalah dikalikan dengan bilangan kepala I x bilangan kepala II.
13
Cara tersebut kita gunkakan juga dalam hal bilangan kepala yang akan mengakibatkan angka-angka pecahan dalam suatu kasus warisan terdiri dari 3 golongan. Misalkan ahli waris terdiri dari 2 istri, 3 saudara perempuan seibu dan 4 paman. Dalam contoh ini, koreksi kita lakukan dengan jalan menghadapkan dua bilangan kepala I dan II bagaimana hasilnya, yakni mubayanah, harus kita adakan perkalian 2 x 3 = 6, kemudian hasil itu (6) kita hadapkan dengan bilangan 4, yakni terjadi muwafaqah, yang lalu kita adakan perkalian : ½ x 6 x 4 = 12, kemudian angka 12 ini kita gunakan untuk mengalikan asal masalah. 26 C. HUKUM WARIS ISLAM DALAM BEBERAPA MASALAH Lahirnya deklarasi HAM meniscayakan adanya penghormatan dan pengagungan kepada pribadi manusia itu sendiri, tanpa ada diskriminasi dan pembedaan baik secara gender, agama, ras, golongan. Dalam konteks hukum waris Islam ada beberapa kelompok atau bagian pribadi manusia yang masih dipertimbangkan penghitungannya selama dia masih sebagai ahli waris dan sesuai dengan persyaratan sebagai ahli waris. (1) Bagian Khuntsa (banci). Tuhan sekalian Alam menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan (QS. Al-Hujurat : 13). Makna adz-dzakr adalah laki-laki, 27 dan al-untsa berarti perempuan. 28 Namun, dalam kitab-kitab fikih dibahas tentang pembagian bagi ahli waris khuntsa ini. Lafazh al-khuntsa ini berwazan fu’la yang berasal dari lafazh alkhantsu, yang secara bahasa berarti lemah atau pecah. 29 Sedangkan menurut istilah fikih waris adalah manusia (insan) yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan, atau manusia yang tidak mempunyai kedua alat kelamin tersebut, akan tetapi dia mempunyai lubang atau celah yang berfungsi untuk kencing. 30 Orang banci (al-khuntsa) ini ada beberapa macam : a. Orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki dan perempuan); b. Orang yang tidak mempunyai alat kelamin sama sekali; c. Orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki, tetapi hormonnya lebih banyak perempuan sehingga watak atau tabiatnya seperti perempuan; 26
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 22-23. Taufiqul Hakim, Kamus at-Taufiq Arab Jawa Indonesia, (t.n.p: t.t ), hlm. 201. 28 Taufiqul Hakim, Kamus at-Taufiq…., hlm. 21. 29 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 482. 30 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawaris fi Asy-Syari’ah al-Islamiyyah ‘ala Madzahib al-Aimmah al-Arba’, 1983), hlm. 201. 27
14
d. Orang yang mempunyai alat kelamin perempuan tetapi hormonnya lebih banyak laki-laki, sehingga watak dan tabiatnya seperti laki-laki; e. Ada juga banci yang berkembang yaitu pada waktu kecil lebih tampak kelakilakiannya, tetapi setelah dewasa lebih tampak keperempuannya. Atau sebaliknya pada waktu kecil tampak keperempuannya, tetapi setelah dewasa lebih tampak kelaki-lakiannya. 31 Ahli waris laki-laki dan perempuan sudah dijamin oleh Allah SWT mendapatkan harta warisannya (QS. An-Nisa` : 11). Tetapi warisan bagi khuntsa ini tidak dijumpai dalam ketetapan nash al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh karena itulah, untuk menghindari kevakuman hukum ini, para ulama fikih berijtihad untuk mengatasi penyelesaian pembagian warisan bagi khuntsa ini. Ijtihad para ulama ini bertitik tolak pada ketentuan yang sudah ada, yakni mengidentifikasikanya dengan laki-laki dan perempuan. 32 Jenis manusia banci/wadam dibedakan menjadi dua macam, yaitu khuntsa musykil dan khuntsa tak musykil (khuntsa ghair musykil). 33 Khuntsa musykil adalah yang tidak dapat diketahui mana yang lebih kuat antar unsur laki-laki dan perempuannya. Khuntsa jenis ini memang sukar ditetapkan jenisnya, baik dengan jalan meneliti alat kelamin yang dipergunakan berbuang air kencingnya, keterangan dokter, pengakuan sendiri maupun dengan jalan meneliti ciri-ciri khusus kedewasaannya. 34 Sedangkan khuntsa tak musykil ialah yang dapat diketahui mana yang lebih kuat di antara unsur laki-laki dan perempuan; yang lebih kuat laki-lakinya dipandang laki-laki dan apabila lebih kuat unsur perempuannya dipandang perempuan. Untuk khuntsa ghair musykil tidak menimbulkan kesulitan untuk menentukan kewarisannya. 35
Tetapi khuntsa musykil ini memang menimbulkan kesulitan
tersendiri untuk memastikan bagian kewarisannya. Namun demikian para ulama berijtihad untuk menemukan hukum yang berperikemanusiaan dan tidak menyalahi nilai kemanusiaan syariat serta untuk menghargai identitas manusia yang kebetulan dalam sifat dan dhohirnya dikategorikan khuntsa ini. Menurut Ahmad Azhar Basyir, para ulama berbeda pendapat mengenai hak waris khuntsa musykil ini. Detailnya sebagai berikut : 31
Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1982), hlm. 85. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 482. 33 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 55-56. 34 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 484 35 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 484 32
15
1. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa waris wadam/khuntsa musykil memperoleh bagian yang lebih kecil antara diperkirakan laki-laki dan perempuan. Pendapat ini juga merupakan pendapat kebanyakan sahabat Nabi Muhammad SAW dan salah satu riwayat dari Imam Syafii. 2. Para ulama madzhab Syafii berpendapat bahwa warisan dibagi kepada ahli waris
yang ada, termasuk ahli waris yang wadam/khuntsa. Dalam hal ini
kepada masing-masing diberikan bagiannya yang lebih kecil. Sedangkan sisanya ditangguhkan hingga terdapat kejelasan laki-laki atau perempuannya waris wadam ini. 3. Pada ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa warisan wadam diberi hasil rata-rata dari dua macam bagiannya sebagai waris laki-laki atau perempuan. Adapun caranya adalah diadakan pembagian dua kali, yakni pertama, dengan perkiraan waris wadam sebagai laki-laki dan kedua sebagai perempuan. Hasilnya dijumlahkan kemudian dibagi dua, hasilnya menjaadi bagian warisan wadam. Berikut contoh pembagian warisan bagi kaum khuntsa menurut Ahmad Azhar Basyir.
36
misalnya apabila ahli waris terdiri dari : ibu, suami, 1 anak
perempuan dan 1 orang cucu khuntsa (dari anak laki-laki), maka harus dilakukan dua kali pemecahan. Pertama, ahli waris dari ibu, suami, 1 orang anak perempuan dan 1 orang cucu laki-laki (dari anak laki-laki), yang dalam hal ini cucu wadam berkedudukan sebagai ahli waris ashobah. Pembagiannya sebagai berikut : a. Bagian ibu : 1/6 (seperenam); b. Bagian suami : ¼ (seperempat); c. Bagian anak perempuan ½ (setengah); d. Bagian cucu wadam : sisanya. Dari bagian di atas, maka diambil asal masalahnya adalah 12. Akan diperoleh berikut : a. Ibu b. Suami
: 1/6 x 12 = 2 bagian; : ¼ x 12 = 3 bagian;
c. Anak perempuan : ½ x 12 = 6 bagian.
36
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…, hlm. 56.
16
d. Cucu wadam
: sisa = 1 bagian. 37
Kedua, apabila cucu wadam dipandang sebagai perempuan, maka pembagiannya berikut ini : a. Bagian ibu : 1/6 (seperenam); b. Bagian suami : ¼ (seperempat); c. Bagian anak perempuan ½ (setengah); d. Bagian cucu wadam : 1/6. Dari bagian di atas, maka diambil asal masalahnya adalah 12. Akan diperoleh berikut : a. Ibu b. Suami
: 1/6 x 12 = 2 bagian; : ¼ x 12 = 3 bagian;
c. Anak perempuan
: ½ x 12 = 6 bagian.
d. Cucu wadam : 1/6 x 12 = 2 bagian. Dari jumlah bagian tersebut akan diperoleh angka 13 bagian, sedangkan asal masalahnya adalah 12. 38 Dari dua macam pemecahan tersebut , maka cucu wadam harus dipandang sebagai cucu laki-laki. 39 (2) Warisan Anak dalam Kandungan Pembagian warisan dilakukan untuk orang yang hidup, termasuk anak yang baru lahir yang dalam keadaan hidup. Hanya saja ada dalam suatu kondisi tertentu ketentuan “hidupnya ahli waris ini” berlaku dalam konteks lainnya, yaitu anak dalam kandungan. Anak yang masih dalam kandungan ini termasuk ahli waris yang
37
1 bagian diambil dari jumlah hasil dari ibu : 2 bagian, suami : 3 bagian, dan anak perempuan : 6 bagian, yang baru berjumlah 11 bagian. Sementara jumlah asal masalahnya adalah 12, dan cucu wadam juga merupakan ahli waris ashobah. Dalam hukum waris Islam dikenal dengan istilah ashobah bi nafsihi (mendapatkan ashobah dengan sendirinya). Ada empat (4) kelompok yang diutamakan satu sama lain menurut urutan : a). cabang (far’u) si mati, yakni anak laki-laki dan cucu laki-laki betapapun jauh menurunya; b). pokok (ushul) si mati, yakni ayah dan kakek betapapun jauh naiknya; c). kerabat menyamping (hawasyi) si mati yang dekat, yakni keturunan dari ayah si mati. Seperti saudara-sudara si mati dan anak laki-laki mereka betapa rendah menurunnya; d). kerabat menyamping yang jauh, yakni keturunan dari kakek si mati betapa tinggi mendakinya. Selengkapnya baca Fatchur Rahman, Ilmu Waris, , hlm. 340. 38 Hal demikian ini dinamakan ‘aul, yaitu membesarkan angka asal masalah sehingga menjadi sama dengan jumlah angka pembilang dari bagian ahli waris yang ada. Masalah aul ini terpaksa harus dilakukan dalam keadaan di mana jumlah bagian yang harus diterima oleh para ahli waris adalah lebih banyak daripada jumlah harta warisan yang ada. Pada zaman Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, masalah aul ini belum pernah timbul dan tidak ada nash dalam al-Qur`an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, masalah aul ini merupakan masalah ijtihadiyah. Sedangkan orang yang pertama kalinya menetapkan masalah aul ini adalah Umar bin Khattab setelah memusyawarahkan dengan Zaid bin Tsabit dan Abbas bin Abdul Muthallib. Selengkapnya baca Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 409; Muslich Maruzi, Pokok-Pokok…., hlm. 60. 39 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 57.
17
berhak mendapatkan warisan sebagaimana ahli waris yang lainnya. Menurut Fatchur Rahman, untuk merealisasikan hak kewarisannya tersebut diperlukan dua syarat, yakni : a. Sudah terwujud di dalam rahim sang ibu sewaktu orang yang mewariskan itu mati. b. Dilahirkan dalam keadaan hidup. 40 Bahkan sekiranya sudah lahir ke muka bumi dan kemudian anak yang baru lahir itu mengalami kematian akibat adanya suatu penyiksaan, pemukulan, pemberian obat atau lain sebagainya, yang dilakukan oleh seorang terhadap ibunya, menurut pendapat Abu Hanifah tidak menghalangi untuk mewarisi. 41 Berikut contoh dan cara penyelesaiannya warisan bagi anak dalam kandungan dengan mengikuti logika jumhur ulama, yakni menyediakan untuk anak dalam kandungan bagian yang lebih menguntungkan dari dua kemungkinan laki-laki atau perempuan. 42 a. Ahli waris terdiri dari : ayah dan istri yang sedang hamil (kandungan di sini adalah anak). Harta warisannya sejumlah Rp. 480.000; i.
Jika anak dalam kandungan diperkirakan laki-laki : Ayah mendapat 1/6 Istri mendapat 1/8 Anak laki-laki = ashobah Asal masalahnya adalah angka 24, sehingga menjadi : Ayah 1/6 x 24 = 4 Istri 1/8 x 24 = 3 Anak laki-laki = ashobah (24 dikurangi 7 = 17) Bagian Ayah 4/24 x Rp. 480.000 = Rp. 80.000; Bagian istri 3/24 x Rp. 480.000 = Rp. 60.000; Bagian Anak laki-laki 17/24 x Rp. 480.000 = Rp. 340.000; 43
ii.
Jika anak dalam kandungan diperkirakan perempuan : Ayah mendapat 1/6 ditambah ashobah Istri mendapat 1/8
40
Selengkapnya baca Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 199. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 200. 42 Contoh ini dikutip dari Muslich Maruzi, Pokok-Pokok…., hlm. 80-81. 43 Angka Rp. 340.000; ini juga bisa didapatkan dengan cara bagian akhir dari ayah dan istri dijumlahkan dan dijadikan pengurang dari jumlah harta benda : Rp. 480.000; 41
18
Anak perempauan mendapat ½ Asal masalahnya adalah angka 8, sehingga menjadi : Ayah 1/6 (+ ashobah) = ashobah Istri 1/8 x 8 = 1 Anak perempuan ½ x 8 = 4 Bagian istri 1/8 x Rp. 480.000 = Rp. 60.000; Bagian anak perempuan 4/8 x Rp. 480.000; = Rp. 240.000; Bagian ayah ashobah 3/8 x Rp. 480.000; = Rp. 180.000; 44 Dari dua perkirakan tersebut, akan lebih menguntungkan jika disediakan bagian perkirakan laki-laki, yaitu sebesar Rp. 340.000; b. Ahli warisnya : suami dan ibu yang sedang hamil (kandungan di sini adalah saudara/saudari si mati). Adapun jumlah harta benda peninggalannya sebesar : Rp. 240.000; i.
Jika diperkirakan laki-laki : Suami mendapat ½ Ibu mendapat 1/3 Saudara sekandung = ashobah Asal masalahnya adalah angka 6, sehingga menjadi : Suami ½ x 6 = 3 Ibu 1/3 x 6 = 2 Saudara kandung = ashobah (6 dikurangi 5 = 1) Bagian suami 3/6 x Rp. 240.000 = Rp. 120.000; Bagian ibu 2/6 x Rp. 240.000 = Rp. 80.000; Bagian saudara sekandung 1/6 x Rp. 240.000 = Rp. 40.000; 45
ii.
Jika diperkirakan perempuan : Suami mendapat ½ Ibu mendapat 1/3 Saudari sekandung = 1/2 Asal masalahnya adalah angka 6, sehingga menjadi : Suami ½ x 6 = 3
44
Angka Rp. 180. 000; ini juga bisa didapatkan dengan cara bagian akhir dari istri dan anak perempuan dijumlahkan dan dijadikan pengurang dari jumlah harta benda : Rp. 480.000; 45 Angka Rp. 40.000; ini juga bisa langsung didapatkan dengan cara bagian akhir dari suami dan ibu dijumlahkan dan dijadikan pengurang dari jumlah harta benda : Rp. 240.000;
19
Ibu 1/3 x 6 = 2 Saudari kandung ½ x 6 = 3 Jumlah akhir dari bagian ini adalah 8, sementara asal masalahnya adalah 6, maka pembagian ini kemudian di’aulkan, sehingga yang dulunya angka asal masalahnya dijadikan pembilang, sekarang angka 8 yang dijadikan pembilang, sehingga menjadi pembagian berikut : Bagian suami 3/8 x Rp. 240.000 = Rp. 90.000; Bagian ibu 2/8 x Rp. 240.000 = Rp. 20.000; Bagian saudari sekandung 3/8 x Rp. 240.000 = Rp. 90.000; Dari dua perkirakan di atas, akan lebih menguntungkan jika disediakan bagian perkiraan perempuan, yaitu sebesar Rp. 90.000; 46 (3) Warisan anak zina dan anak lian. Istilah anak zina dan anak lian tidak merujuk langsung pada identitas dan individu sang anak itu. Karena setiap bayi atau anak yang lahir itu dalam keadaan suci tanpa memikul dosa apapun. Pengistilahan itu hanyalah tertuju pada proses kelahiran keduanya yang “mengandung” permasalahan dalam diri ibunya. Menurut Sayyid Sabiq, anak zina adalah anak yang dilahirkan tanpa pernikahan yang sah. Sedangkan anak lian adalah anak yang diingkari nasabnya oleh suami yang sah. 47 Anak zina dan anak lian mempunyai status hukum yang sama, yakni hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. 48 Sahabat Nabi Abdullah Ibn Umar merekam suatu peristiwa pada zaman Nabi Muhammad SAW, yakni ketika seorang suami me-lian istrinya dan mengingkari anak dari istrinya tersebut. Kemudian Rasulullah SAW memisahkan di antara keduanya dan mempertemukan atau mempertautkan nasab anaknya kepada ibunya. 49 Dalam konteks pembagian warisan ini, Sayyid Sabiq juga menegaskan bahwa berdasarkan ijma’ ulama bahwa anak zina dan anak lian tidak saling mewarisi dengan bapak keduanya, karena tidak adanya nasab yang sah. Keduanya hanya saling mewarisi dengan ibu keduanya. 50 Namun yang pasti, anak zina dan 46
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok…., hlm. 80-81. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013), Jilid V, hlm. 548. 48 Muslich Maruzi, Pokok-Pokok……, hlm. 81. 49 Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Abu Dawud. Hadits Shahih. 50 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 548. 47
20
anak lian tetap mendapatkan bagian warisan, meskipun hanya melalui nasab ibunya. Dalam perkataan lain bisa dinyatakan bahwa hubungan warisan antara anak (zina dan lian) dan ibunya belum terputus, sebab nasab itu merupakan salah satu sebab dari sebab-sebab mewarisi atau mempusakai. 51 Bahkan Rasulullah SAW menjadikan hak waris anak mula’anah (anak lian) kepada ibunya dan ahli waris ibu. 52 Namun demikian, pintu bagi anak zina belum tertutup untuk mendapatkan hak saling mewarisi dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilan ibunya tersebut. Ahmad Azhar Basyir menyebutkan bahwa sebagian ulama madzhab Hanbali, termasuk Ibnu Taimiyah, berpendapat bahwa anak zina apabila diakui oleh ayahnya, meskipun dengan jelas diakuinya pula berasal dari hubungan zina, tetapi ibunya tidak dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau tidak dalam iddah dari suami lain, adalah anak sah bagi ayahnya, dan terjadi hubungan waris mewarisi juga. Hal ini berbeda halnya apabila ibunya dalam ikatan perkawinan dengan suami lain atau sedang menjalani masa iddah dari suami lain, maka anak yang dilahirkan adalah anak sah dari suami atau bekas suaminya. 53 Anak zina dan anak lian bisa menjadi ahli waris (pewaris) dan bisa juga menjadi orang yang mewariskan (muwaris). Berikut contoh pembagian harta warisan yang melibatkan anak zina dan atau anak lian. a. Sebagai pewaris Seorang perempuan meninggal dunia dengan meninggalkan harta sejumlah Rp. 36.000; Ahli warisnya adalah -
Ibu, mendapatkan 1/6
-
anak laki-laki tidak sah mendapatkan ashobah
-
2 orang saudari kandung tidak mendapatkan apa-apa, karena terhalang oleh anak-laki-laki tak sah. Jadi perhitungannya berikut ini : Asal masalahnya 6,
-
Ibu, mendapatkan 1/6 x 6 = 1, terus 1/6 x Rp. 36.000; = Rp. 6000;
51
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 222. Hadits Riwayat Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Kitabnya Shahih wa Dho’if Sunan Abi Dawud 53 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris……, hlm. 59. 52
21
-
anak laki-laki tidak sah mendapatkan ashobah : 6-1 = 5, maka 5/6 x Rp. 36.000; = Rp. 30.000; atau juga bagian anak laki-laki tak sah ini langsung hasil pengurangan dari Rp. 36.000; - Rp. 6000; = Rp. 30.000; karena anak laki-laki ini ahli waris ashobah.
b. Sebagai muwaris Seorang anak tak sah mati dengan meninggalkan harta sebanyak Rp. 15.000; sedanglan ahli warisnya terdiri dari : Ibu dan ayah. Maka pembagiannya : -
Ibu mendapatkan 1/3
-
Ayah tidak mendapatkan bagian karena ayah dari anak yang tidak sah. Dengan demikian bisa dibagi hanya bagi ibu 1/3, dengan asal masalah 3, sehingga menjadi : 1/3 x 3 = 1. Hal ini termasuk masalah radd dalam hukum waris islam. Karena itu, nilai 1 hasil perkalian di atas dijadikan pembagi sebagai ganti asal masalah yang 3 tersebut. Maka perhitungannya sebagai berikut : Ibu mendapatkan 1 = 1/1 x Rp. 15.000 = Rp. 15.000;
(4) Warisan bagi orang Mafqud Mafqud adalah orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. 54 Menurut Azhar Basyir, kedudukan hukum orang mafqud ini dipandang hidup dalam hal-hal yang menyangkut hak-haknya dan dipandang mati dalam hal-hal yang menyangkut hak-hak orang lain, hingga dapat diketahui mati atau hidupnya, atau terdapat keputusan hakim tentang mati atau hidupnya. 55 Akibat dari kedudukan hukum itu adalah (a) harta bendanya tidak boleh diwaris 0ada saat hilangnya, sebab dimungkinkan dalam suatu waktu dapat diketahui masih hidup; (b) tidak berhak waris terhadap harta peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia setelah mafqud meninggalkan tempat tinggalnya. Meskipun demikian, oleh karena kematian mafqud tidak dapat diketahui dengan pasti, maka dia masih harus diperhatikan dalam pembagian warisan, seperti halnya anak dalam kandungan. 54 55
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 504. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris….., hlm. 59.
22
Dalam hal ini, bagian mafqud harus disisihkan hingga dapat diketahui keadaannya, masih hidup atau sudah mati, atau dengan putusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Untuk mengetahui berapa bagian ahli waris yang ada, diperhitungkan dengan perkiraan bahwa mafqud masih hidup. 56 Sebagai muwaris, harta orang yang mafqud ini tidak serta merta dibagi. Menurut A. Hassan, ada beberapa pendapat mengenai ini, yakni : a. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hartanya sendiri dan harta yang ia warisi itu, tidak boleh diapa-apakan hingga lewat 90 tahun, barulah boleh dibagikan kepada ahli warisnya. b. Ada juga ulama yang berpandangan bahwa hal itu terserah hakim (qodhi), imam atau sultan. c. Ada pula yang mewajibkan menunggu hingga masa yang orang-orang yang sebaya dengannya sudah meninggal dunia. d. Ada yang berpendapat bahwa hartanya itu diserahkan ke baitul mal untuk dijaga, diurus, dan ditarik hasilnya untuk dikeluarkan belanja-belanja yang perlu dan pantas, seperti gaji pegawai, zakat, belanja orang-orang yang dalam tanggungannya dan sebagainya, seraya dicari ikhtiar untuk mencari tahu tentang keberadaannya dengan daya upaya yang patut dan pantas. e. Setelah dirasa cukup dan puas dalam ikhtiarnya, maka qodhi, imam atau sultan boleh membagikan 2/3 dari hartanya kepada para ahli warisnya dan 1/3 lagi tetap ddisimpan dalam Baitul Mal hingga kira-kira orang itu sampai umur yang pada galibnya mesti mati, barulah yang 1/3 tersebut dibagikan kepada ahli warisnya yang ada pada waktu itu. Dan kalau ahli warisnya tidak ada sama sekali, maka dibagikan kepada ulul arhamnya. 57 (5) Pembagian Warisan Gono-Gini 58 Harta gono gini ialah harta kekayaan yang diperoleh oleh suami-istri selama berlangsungnya perkawinan di mana kedua-duanya bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga. Namun hendaknya “bekerja” ini dimaknai secara meluas, sehingga seorang istri yang pekerjaannya tidak secara nyata 56
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris….., hlm. 60. A. Hassan, Al-Faraidh Ilmu Pembagian Waris, (Surabaya: Pustaka Progressif, cet. Ke-10, 1981), hlm. 128-129. 58 istilah gono-gini terdapat di Jawa Timur. Sepadan dengan makna gono gini adalah guna-kaya (di Jawa Barat), harta suarang (Minangkabau), Hareuta seuhareukat (Aceh), drube-gabro (Bali), barang perpantangan (Kalimantan). Intinya adalah merupakan harta yang menjadi milik bersama dari suami istri. 57
23
menghasilkan kekayaan, seperti memelihara dan mendidik anak-anaknya, dianggap sudah bekerja. Sedangkan harta kekayaan yang diperoleh secara kongkrit oleh suami menjadi milik bersama. 59 Menurut A. Hassan, di beberapa tempat di Indonesia terutama di Jawa berlaku adat, bahwa apabila suami meninggal dunia, maka sebelum harta sang suami itu diadakan pembagian,dipisahkan dahulu 1/3 harta untuk istri, lalu 2/3 lagi dibagi dan dalam 2/3 ini istri dapat lagi yang disesuaikan dengan syariat Islam.60 Riwayatnya, lanjut Ulama Persatuan Islam itu, karena istri turut bekerja untuk mendapatkan kekayaan itu. Tetapi lama-kelamaan walaupun istri tidak turut bekerja, ia tetap dapat 1/3 dari kekayaan suami yang terdapat sesudah berkeluarga
dengannya,
tidak
dari
kekayaan
sebelum
perkawinan
dilangsungkan. 61 Bahkan suami-istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama membanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekadar buat memiliki harta simpanan untuk masa tua mereka. Kalau keadaan memungkinkan juga diniatkan untuk harta peninggalan warisan bagi anak-anak sesudah mereka meninggal dunia. 62 Cara pandang lain dalam masalah gono gini ini diberikan oleh Azhar Basyir. Menurutnya, harta milik bersama ini apabila pemiliknya salah satu meninggal dunia, sebelum diwaris dibagi terlebih dahulu dengan ketentuan yang berlaku menurut adat istiadat setempat atau disesuaikan dengan besar kecil sumbangan orang yang meninggal terhadap terjadinya kekayaan bersama itu. Apabila sama besar dibagi dengan perbandingan 1:1, apabila tidak sama besar, yang biasanya suami lebih besar, mungkin juga istri lebih besar, dibagi dengan perbandingan 2:1 dan sebagainya. Mana yang menjadi hak suami atau istri yang meninggal itulah yang menjadi harta peninggalannya. Dari harta peninggalan itu, suami atau istri masih berhak untuk menerima bagiannya sebagai waris dzawil furudh. 63 Namun demikian dalam pembagian gono-gini ini jangan sampai membawa madharat. Dicontohkan oleh Fatchur Rahman, misalnya seorang istri yang tiada 59
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 41. A. Hassan, Al-Faraidh…., hlm. 128-129. 61 A. Hassan, Al-Faraidh…., hlm. 128-129. 62 Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktua; Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 125. 63 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris…., hlm. 66. 60
24
bekerja, selain hanya memelihara dan mendidik anak serta untuk mencukupi kepentingan rumah tangga, menuntut pembagian gono-gini yang sangat tinggi atas dasar serikat kerja hingga akan merugikan para ahli waris yang lain, tentunya tidak dibenarkan oleh kaidah umum la dharara wa la dhirar, tidak ada kemudaratan dan tidak boleh memudaratkan. 64 Maka dari itu, pembagian harta gono-gini ini lebih didasarkan pada adat (‘urf) masing-masing tempat. D. PENUTUP Dalam hukum waris Islam setiap individu yang terikat dengan pernikahan dan keturunan dalam lingkup seagama serta masih dalam kondisi hidup mempunyai hak dan kesempatan yang sama mendapatkan bagian warisan yang sudah ditentukan. Termasuk beberapa orang yang dikaji dalam tulisan ini. Mereka itu pada hakikatnya “ada”, hanya saja tidak hadir “di depan” mata kala al-mauruts akan dibagi atau dibagikan menurut ketentuannya. Di antara mereka ada kalanya berposisi sebagai al-muwarrits dan di kala lain juga berposisi sebagai al-warits. Ketika paradigma terhadap mereka hakikatnya “ada” tersebut, ijtihad para ulama untuk tetap memberikan bagian kepada mereka, merupakan suatu kemajuan berpikir. Hal ini dilakukan dikarenakan identitas dan mereka sangat jelas masih dan terkait dengan ketiga rukun hukum waris Islam tersebut. Khusus mengenai pembagian harta gono-gini ini juga mengukuhkan bahwa Islam yang dikonstruksikan dari hasil hasil ijtihad ulama Indonesia khususnya, tetap memberikan hak yang sepadan antar suami istri yang mempunyai hubungan paling intim dalam sejarah manusia. Ikatan mereka adalah perkawinan yang halal dan dihalalkan oleh Allah, sang pencipta manusia. Hal sekaligus antar suami istri tetaplah ada harta bawaan dan ada harta bersama yang diusahakan selama berkeluarga itu. Maka dari itu, hasil ijtihad ini merupakan terobosan kemajuan dalam hubungan berkeluarga dan menandakan bahwa Islam itu benar-benar menjadi sebongkah kasih sayang bagi alam semesta. selamat menikmati…
64
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 42.
25
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Anshori Umar Sitanggal dkk, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, cet. Ke-2, 1992). Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur`an Di Bawah Naungan Al-Qur`an, terj. As’ad Yasin dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000). Mushaf Al-Qur`an Tafsir Jalalain Per kata, yang diterbitkan oleh PT. Suara Agung Jakarta, cet. Ke-2, 2013. Hamid Awaludin, HAM, Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, (Jakarta: Kompas, 2012) Knut D. Asplund dkk (Editor), Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, cet. 2, 2010). Eko Riyadi (editor), To Promote : Membaca Perkembangan Wacana Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Yogyakarta : PUSHAM UII, 2012). Muhammad Muslehuddin, Wacana Baru Manajemen & Ekonomi Islam, terj. Dahlan Rosyidin dan Akhmad Afandi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004). Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002). Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2004). Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Maarif, 1987). Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, 1995). Taufiqul Hakim, Kamus at-Taufiq Arab Jawa Indonesia, (t.n.p: t.t ). Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawaris fi Asy-Syari’ah alIslamiyyah ‘ala Madzahib al-Aimmah al-Arba’, 1983). Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1982). Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj. Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013). A. Hassan, Al-Faraidh Ilmu Pembagian Waris, (Surabaya: Pustaka Progressif, cet. Ke-10, 1981). Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktua; Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003)
26