SBN
Studi Budaya Nusantara
TRADISI SENI PATROL DAN IDENTITAS BUDAYA KAMPUNG BANDULAN DI KOTA MALANG Annise Sri Maftuchin, Ary Budiyanto
[email protected],
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT Local traditions are not always weakened traditional form of culture in the global area. Bandulan patrol art tradition in Malang is one of them, this art is growed by invented tradition process with festival mode. Invented tradition is Hobwbawn (2000) concept which describe of the appearance of a tradition that is not viewed as old. This patrol art traditions research is intended to answer a research problem about how Bandulan local society make create in a new identity on the global area? To answer these problems, researchers used anthropological methode where observation, participatory observation and in-depth interview are used by the research. The method form use to describing phenomena in the Bandulan society. These results indicate the existence of a process invented tradidition going on basis and is fully supported by the process of globalization that exist in the festival media. patrol Art tradition which processed by invented is development of a local patrol sahur tradition , that the development is processed by contact culture who concepted by Liep (2001) helped to describe for process of establishing the identity of of Hall concept (1990). The pattern is related identity as being Bandulan confronted with foreign cultures and global cultures. This mixed process form is fused into the end result of a culture intact where local taste of culture still feels strong up there. The tradition of the art patrol appear to be a identity product of the becoming on the art festival patrol in Bandulan. Bandulan art patrol have different characteristics with ul–daul music though near same , but the Bandulan art patrol has a different style of music that have identic character. Bandulan art patrol has a identic style of typical of art music patrol . Characteristics campursari music what growing up in Bandulan and the slowler rhythm beats than ul-daul be identic style from the creation of identity what have style of local culture which can survive in global area that is true. Keyword: Globalization, Festival, Invented Tradition, Malang, Bandulan Patrol
12
Volume 1 No. 1 April 2017
Annise & Ary
Tradisi Seni Patrol dan Identitas Budaya Kampung Bandulan di Kota Malang
ABSTRAK Tradisi lokal tidak selalu mengalami pelemahan budaya di ranah global. Tradisi seni patrol di Bandulan Malang adalah salah satunya, seni ini tumbuh dalam proses invented tradition yang diwadahi lewat aktivitas festival. Invented tradition dari konsep Hobsbawn (2000), menjelaskan bahwa pemunculan tradisi difungsikan agar tradisi tidak dipandang sebagai sesuatu yang tua atau identik dengan kuno. Penelitian mengenai tradisi seni patrol ini ditujukan untuk menjawab permasalahan mengenai bagaimana masayarakat Bandulan menciptakan identitas baru bernuansa lokal di ranah global? Untuk menjawab permasalahan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan secara antropologis dimana observasi, observasi partisipasi dan wawancara mendalam dilakukan. Metode tersebut menjadi tumpuan dalam menguraikan fenomena di masyarakat Bandulan. Hasil penelitian ini menunjukan adanya proses invented tradidition secara berkesinambungan dan didukung penuh oleh proses globalisasi yang ada pada ranah festival. Tradisi seni patrol yang di-invented-kan merupakan pengembangan dari tradisi patrol sahur lokal. Dalam perkembangannya konsep culture contact Liep (2001) juga turut berperan mengaktifkan proses pembentukan identitas dari konsep Hall (1990). Kajian ini melibatkan unsur identity as being Bandulan yang dipertemukan dengan budaya luar Bandulan dan budaya global. Percampuran ini kemudian menyatu menjadi hasil akhir suatu kebudayaan utuh dimana cita rasa lokal masih terasa kuat disana. Tradisi seni patrol tampil menjadi suatu produk identity as becoming pada festival patrol di Bandulan. Seni patrol bandulan memiliki karakteristik yang berbeda dengan referensinya yaitu ul-daul meskipun sekilas sama, namun seni patrol Bandulan memiliki corak musik yang khas. Karakteristik campursari yang berkembang di Bandulan dan ritme ketukan yang lebih pelan dari pada ul-daul menjadi patokan bahwa penciptaan identitas seni patrol lewat referensi lokal berupa tradisi adalah benar adanya. Kata kunci: Festival, Globalisasi, Invented Tradition, Malang, Patrol Bandulan.
Annise Sri Maftuchin adalah alumnus PS Antropologi FIB-UB, Ary Budiyanto adalah Dosen PS Antropologi FIB-UB.
1. PENDAHULUAN 1.1 Mengenal Bandulan Dan Patrol Sahur Pada umumnya kebudayaan bangun sahur dengan menggunakan kentongan dapat ditemui di mayoritas daerah di pulau Jawa. Menabuh kentongan disaat jam makan sahur
merupakan sebuah ritus yang ada dan begitu saja dipraktekan oleh masyarakat di Pulau Jawa sejak dulu. Namun, dalam prakteknya musik kentongan pembangun sahur tidak hanya di temui di Pulau Jawa saja. Persebaran musik kentongan telah ada sejak peradaban Islam belum berkembang di Indonesia
Volume 1 No. 1 April 2017
13
SBN
Studi Budaya Nusantara
terutama Pulau Jawa. Penggunaan kentongan pada eranya difungsikan sebagai alat komunikasi sederhana. Sebagian besar masyarakat Jawa menamai musik ini sebagai musik patrol. Akan tetapi, sebutan tersebut hanya berlaku saat tradisi patroli malam dilakukan sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kentongan tetap dimaknai sebagai kentongan. Peran dan fungsi kentongan dalam kegiatan sehari-hari yaitu sebagai penanda bahaya, pengumuman, penanda waktu, dan alat komunikasi baik saat ronda maupun pemanggil rapat. Dalam perkembangan dan modifikasi kentongan dibeberapa tempat, seperti di Jawa dan sekitarnya, memiliki variasi yang berbeda. Di beberapa tempat seperti di Bandulan, kentongan tumbuh dalam bentuk yang masih sederhana, karena belum ada sentuhan kombinasi instrument lainnya, sebelum 2000. Di daerah lain seperti di Madura musik patrol telah dimodifikasi sejak lama. Musik tersebut di kombinasikan dengan gamelan Jawa yang telah dirombak pola permainannya. Kemudian musik itu dinamai dengan nama musik tong-tong (Bovier, 2002). Dalam penelitian Bovier (2002) dijelaskan adanya seni tong-tong sebagai seni rakyat yang digemari masyarakat Madura sejak lama. Tongtong dimainkan dalam setiap acara yang menyangkut pesta rakyat, hajatan masyarakat hingga musik pembangun sahur. Tong-tong oleh Bovier dijelaskan sebagai rangkaian kentongan bernada pelok yang disusun dengan tiga tingkatan nada dan dikombinasikan dengan gamelan. Sedangkan penelitian
14
Ibnu (2004) dengan judul “Seni Musik Tong-Tong di Kabupaten Sumenep” mendis-kripsikan mengenai pola dan kebiasaan yang dilakukan kelompok tong-tong. Pola dan kebiasaan tersebut menyangkut model kreativitas yang dibentuk pada masing-masing kelompok. Setiap kelompok memiliki inovasi yang berbeda, namun inovasi ini selalu ditunjukan lewat adu kreativitas baik dalam festival atau pertemuan lainnya. Penelitian lainnya mengenai patrol dijelaskan oleh Faizun (2013) dalam judul” Kesenian Tradisional TekTek Loka Jaya Di Desa Jenang Kecamatan Majenang Kabupaten Cilacap : Kajian Bentuk Pertunjukan Dan Fungsi”. Tek-tek merupakan kesenian yang sama dengan Patrol hanya saja mayoritas komponennya dikuasai oleh bambu baik dalam bentuk kentongan ataupun angklung. Kesenian tersebut mengkombinasikan alat modern seperti drum dan meminimalisir penggunaan gamelan. Rangkaian penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik di Madura maupun di Kabupaten Cilacap menunjukkan adanya modifikasi dan komodifikasi dalam perkembangan musik kentongan. Pada wilayah Kelurahan Bandulan Malang, musik patrol atau musik bambu sejak awal telah bertransformasi fungsinya menjadi musik pembangun sahur dan tidak lagi digunakan sebagai alat komunikasi ronda. Modifikasi patrol kentongan di Bandulan baru dimulai sejak 2007. Rangkaian modifikasi tersebut awalnya terjadi akibat fenomena patrol model orkes keliling pada awal 2000-an. Fenomena tersebut kemudian membuat
Volume 1 No. 1 April 2017
Annise & Ary
Tradisi Seni Patrol dan Identitas Budaya Kampung Bandulan di Kota Malang
kehadiran patrol sahur kentongan semakin langka. Dari sini, ide pengadaan event festival mulai ditawarkan oleh Karangtaruna Wira Bhakti Bandulan sebagai wadah pemunculan kembali kentongan saat ramadhan. Pada tahun 2005 event festival pertama diadakan. Perkembangan festival tersebut kemudian mengarah pada pewadahan modifikasi dengan penambahan inovasi dalam pembentukan identitas patrol Bandulan yang akhirnya menguap menjadi ikon seni budaya Kota Malang. Proses modifikasi yang mengarah pada pembetukan identitas baru patrol Bandulan yang baru dimulai pada 2007, mengarahkan patrol pada wujud yang berbeda. Wujud tersebut menyerupai Ul-daul atau musik tong-tong modern yang merupakan musik urban kaum muda Madura, namun bercita rasa Jawa dengan bunyi kentongan yang masih ditonjolkan. Proses pembentukan inilah yang kemudian menciptakan serangkaian masalah mengenai pola pembentukan identitas patrol Bandulan modern. Sehingga, fokus tulisan ini nantinya akan diarahkan untuk menjawab persoalan mengenai Bagaimana tradisi seni patrol dilekatkan dengan identitas budaya Bandulan? 2. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi, dimana pengamatan dan wawancara (open interview and indepth interview) sebagai kegiatan mendengarkan dan merespon untuk menggali informasi native‟s point of views dari informan menjadi hal yang utama (Fettersman,
2010; Simatupang, 2013:93-94). Diperkuat dengan data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur dan studi dokumentasi (VCD dan Youtube) dari para pelaku seni Patrol di Bandulan Malang penelitian ini akan menganalisisnya dengan pendekatan dan teori Eric Hobsbawn (2000) mengenai invention tradition kemudian dalam prosesnya dikolaborasikan dengan konsep Culture contact (Liep, 2001) dan Culture Identity (Hall, 1990) untuk melihat pertemuan wacana tradisionalitas dan modernitas dalam perkembangan seni musik Patrol di Bandulan Malang. Selain itu konsep globalisasi oleh Featherstone (1999) digunakan sebagai alat menganalisis proses penguatan identitas patrol sebagai ikon Kota Malang yang berujung pada gerakan penguatan identitas patrol di Bandulan. Penelitian ini menemukan bahwa fenomena seni Patrol Madura sendiri sebenarnya juga bukan sesuatu yang benar-benar tradisional, karena hal itu sesuatu yang dicita-citakan sebagai tradisi. Dalam pandangan Hobsbawn (2000;1-14) seni Patrol ini adalah 'Invented tradition' diartikan sebagai sebuah kesatuan tindakan yang didasari pada aturan dan ritual atau simbol keaslian. Kegiatan tersebut memiliki fungsi dan nilai dari sebuah kebiasaan, yang mana secara otomatis dipengaruhi oleh keberlangsungan dimasa lampau, sehingga dapat disimpulkan karakter yang ditunjukan keseluruhan tereferensi dari masa lalu. [which] is taken to mean a set of practices, normally governed by
Volume 1 No. 1 April 2017
15
SBN
Studi Budaya Nusantara
overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past.... [it] is essentially a process of formalization and ritualization, characterized by reference to the past, if only by imposing repetition. (Hobwbawn, E., & Terence, R., 2000) Pada dasarnya referensi yang diambil dari pengalaman masa lalu akan lebih identik dengan identitas kekhasan dari suatu budaya atau seni. Hal ini yang kemudian mereferensi Karangtaruna Wira Bhakti untuk menciptakan wadah festival. Kebangkitan seni patrol tradisional kemudian dimulai pada 2005 patrol dan terus dimunculkan sebagai agenda event ramadhan Bandulan. Agenda ini menguatkan identitas budaya atau yang disebut oleh Hall (1990) sebagai „culture identity‟. Karakter culture identity sebenarnya tidak dapat berdiri sendiri. Unsur ini diidentifikasi menjadi dua karakter pembentuk yaitu identity as being (atau originalitas sebuah seni) dan identity as becoming (unsur akulturasi budaya modern). Unsur identity as being begitu nampak terlihat dari bentuk patrol dasar yang dipentaskan dalam festival 2005, sedangkan pada event ditahun selanjutnya patrol berkembang sebagai identity as becoming karena tradisi ini telah terakulturasi secara tidak sadar. Proses akulturasi melibatkan adanya culture contact atau kontak budaya (Liep, 2001) dengan model seni Ul-daul yang dibawa oleh para urban Madura. 16
Pembentukan culture identity yang baru kemudian berproses membentuk suatu proses globalisasi yang otomatis dengan format dari lokal ke global. “global” these conceptual pairs work on one face only of the complex prism which is culture. Rather we need to inquire into the grounds, the various generative processes, involving the formation of cultural images and traditions as well as the inter-group struggles and interdependencies, which led to these conceptual oppositions becoming frames of reference for comprehending culture within the state society which then become projected onto the globe. On this comparison the concept of a global culture fails, not least because the image of the culture of a nationstate is one which generally emphasizes cultural homogeneity and integration. (Featherstone, M. 1999) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Desa Kampung Kelurahan Bandulan Dan Patrol Tradisional Keberadaan tradisi patrol sahur di Bandulan sebenarnya ditandai lewat konsistensi keberadaan praktek patrol tradisi dari masa ke masa. Sejak masih berstatus administrasi desa yang dinaungi oleh Kecamatan Wagir, masyarakat Bandulan masih konsisten mempraktekan teknik patrol dan komunikasi kentongan sebagai pusat penanda informasi desa. Sebelum instalasi listrik masuk patrol digunakan sebagai sistem keamanan patroli desa di malam hari. Patroli desa biasa dilakukan oleh lima atau enam laki-laki dewasa. Penuturan Mbah Mukeni (98th)
Volume 1 No. 1 April 2017
Annise & Ary
Tradisi Seni Patrol dan Identitas Budaya Kampung Bandulan di Kota Malang
“Iyo nak biyen rame, Nak, patrol pas bengi iku tik..tuk..tik..tuk.. malinge mlayu rono sing patrol mlaku rene ora petuk-petuk” (Mbah Mukeni, wawancara 2401-2016). “Iya nak dulu rame, Nak, patrol pas malam itu bunyi tik.. tuk.. tik.. tuk.. pencurinya lari ke sini yang patrol jalan ke sini jadi ya gak ketemu pencurinya.” Perkembangan zaman dan masuknya Islam sedikit banyak juga menambah fungsi primer dari kentongan yang terdapat di Desa Sumbersari saat itu. Sejak berdirinya langgar Kiai Sadi pada kisaran tahun 1940-an kentongan juga difungsikan sebagai penanda waktu shalat. Kiai Sadi adalah salah satu keturunan pembabat Desa Sumbersari yang menyiarkan agama Islam. Selain penanda waktu shalat, praktek patrol malam juga difungsikan sebagai media pembangun sahur saat bulan ramadhan tiba. Transformasi patrol dari patrol sederhana ke arah patrol bernuansa religi di awali dari sini. Desa Sumbersari awalnya merupakan sebuah disana di daerah perbukitan Malang. Desa ini memiliki ciri-ciri seperti desa lain di Pulau Jawa. Tumpuan mata pencaharian masyarakatnya masih bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan di ladang kering. Mayoritas rumah masyarakat Desa Sumbersari adalah bangunan tidak permanen. Rata-rata rumah masyarakat Sumbersari saat itu
berbahan baku bambu atau yang biasa disebut rumah gedek. Bangunanbangunan permanen saat itu hanya dimiliki oleh orang-orang Belanda yang tinggal di Bandulan. Masuknya instalasi listrik dan berdirinya beberapa pabrik justru mampu memperkuat tumpuan ekonomi masyarakat Sumbersari pada masa itu. Menurut Pak Adiyono (58 th) fungsi utama patrol adalah sebagai signal keamanan. “Patrol sesungguhnya untuk jaga malam, dulu waktu buyut –buyut saya itu jaga malem ya pakai patrol buat gugah supaya masyarakat itu ndak ketiduran supaya yang pintunya belum dikunci itu dikunci, supaya ndak kemalingan” (Pak Adiyono, wawancara, 03-01-2016) Keberadaan instalasi listrik perlahan juga mulai menggeser kebiasaan-kebiasan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan mulai tidak dipakainya kentongan sebagai penanda shalat. Kehadiran kentongan mulai digantikan dengan jidor dan beduk sedangkan adzan masjid dan penguman di balai desa mulai di ganti dengan pengeras suara atau yang disebut dengan toak. Pada praktek patroli malam saat itu juga telah tergantikan fungsinya akibat terbentuknya sistem keamanan desa atau disebut Hansip. Sedangkan, praktek patrol sahur masih berlangsung dalam bentuk yang sederhana yakni menggunakan kentongan atau juga diselingi dengan jidor. Perubahan drastis wujud patrol sahur dapat dilihat setelah pemekaran wilayah tahun 1993. Kepadatan
Volume 1 No. 1 April 2017
17
SBN
Studi Budaya Nusantara
penduduk pasca masuknya instalasi listrik cenderung bertambah. Krolonologi struktur pembagian administrasi terkecil yang didasarkan atas RK atau Rukun Kampung memberi penegasan tersendiri dalam istilah penyebutan pedukuhan di wilayah Sumbersari saat itu. Masyarakat lebih trampil menyebutnya menjadi kampung dari pada dusun. Sebutan tersebut tetap bertahan hingga tingkat kepadatan penduduk perlahan bertambah dari tahun ke tahun. Secara umum kampung yang ada di Sumbersari berdasarkan struktur RK lama adalah Bandulan tengah, Kocek dan Bandulan. Perubahan tersebut juga berdampak pada penggantian nama Sumbersari menjadi Bandulan. Selain itu, perubahan wujud patrol baru dimulai ketika mobilitas masyarakat urban yang cukup tinggi dan masuknya modernisasi di Bandulan. Perubahan tersebut dapat dilihat pada penggunaan musik elekton sebagai elemen patrol sahur. Hal ini dinyatakan juga oleh Pak Andi (37 th) selaku ketua RW 03. “Kan anak kecil-kecil dulu itu kalau puasa sering tidur di mesjid terus jam 2 mereka keliling. Itu era e sekolah libur sak ulan to Mbak, la terus sahur itu keliling pakek kentongan, ya jurigen pokoknya barang apa saja yang mengeluarkan bunyi. Nah garagara anak kecil sudah ndak libur lagi itu patrolnya jadi kanyak dibuat anak amen-amen, model orkesan. “(Pak Andi, wawancara 22-11- 2015) Perkembangan patrol sahur elekton inilah yang kemudian memunculkan keprihatinan dikalangan 18
warga asli Bandulan. Dari sini pada 2005 salah satu warga Bandulan yang juga ketua Karangtaruna Wira Bhakti yaitu Khoirul Anwar menciptakan gerakan pemunculan kembali patrol kentongan lewat wadah festival. Awalnya event tersebut hanya diselenggarakan secara sederhana dengan konsep satu kali penyelenggaraan dan diramaikan oleh anak-anak TPQ Bandulan Maupun diluar Bandulan. Feastival 2015 mengambil tema perayaan menyambut malam Lailahatul Qodar, sehingga diadakan pada malam ke-27 Ramadhan. Variasi patrol yang ditampilkan saat itu masih bersifat sederhana. Para peserta saat itu didatangkan lewat undangan. Publikasi yang tidak ada membuat peserta hanya terbatas. Mayoritas para peserta menampilkan klotekan bambu sederhana, beberapa diselingi dengan barang bekas pakai atau juga jurigen minyak yang tidak terpakai. Klotekan adalah pola ketukan perirama tanpa nada. 3.2 Festival Patrol Sahur dan Karang-taruna Wira Bhakti Perkembangan tradisi patrol sahur yang digaungkan kembali lewat festival nyatanya menjadi media yang mampu menyedot antusiasme warga. Sejak diselenggarakan 2005 festival patrol sahur agaknya memiliki kendala dalam publikasi. Kekurangan dana pada penyelenggaraan, memberikan permasalahan tesendiri bagi Karangtaruna Wira Bhakti. Hal ini berakibat pada mayoritas peserta yang berpartisipasi merupakan peserta undangan. Hal tersebut berlangsung hingga dua tahun
Volume 1 No. 1 April 2017
Annise & Ary
Tradisi Seni Patrol dan Identitas Budaya Kampung Bandulan di Kota Malang
penyelenggaraan festival patrol sahur. Perkembangan publikasi festival baru diadakan setelah festival patrol sahur mendapat dana bantuan sponsor dari PT Utama Mama1 pada tahun 2007. Sponsor yang diberikan dengan nilai Rp11.000.000,- tersebut digunakan oleh Karangtaruna Wira Bhakti dalam memaksimalkan penyelenggarakaan festival patrol ke-3. Publikasi tersebut saat itu juga menarik minat peserta dari berbagai kalangan, bahkan dari publikasi itulah kesenian ul-daul Madura masuk dan berpatisipasi menjadi peserta. Jarot (30 th) selaku koordinator lapangan menjelaskan: “Patrol yang pertama kali itu anak remaja masjid gang 8 anak buahnya Pak Mulyadi, dulu pertama kita nyarinya kentongan, itu peserta kita sampek nyarinyari kok mbak, saya undur sampek tiga kali sebab gak ada yang ikut […] Pertama kali itukan kentongan mbak, kita nyarinya itu ya kentongan terus berkembang pakek gerobak, kalau pakek sesis itu ya patrol ketiga pakek kereta sesisnya mobil itu” (Jarot, komunikasi pribadi, 25 Oktober 2015) Selain publikasi, perkembangan festival pasca hadirnya PT. Utama Mama juga memberi dampak tersendiri 1
adanya sponsor utama diakibatkan dari adanya konflik antara masyarakat dan pabrik terkait social responsibility pabrik GL yang dianggap tidak menguntungkan baik dari pembagian peluang lowongan kerja ataupun tunjungan hari raya. Permasalahan ini lah yang coba dijembatani oleh Pak Khoirul. Mediasi yang dilakukan antara masyarakat dan pabrik akhirnya berjalan mulus. Dari sini kemudian pabrik merasa hutang budi terhadap Pak Khoirul.
dari menguatnya brand patrol di Bandulan. Identitas budaya semakin terbentuk seiring banyaknya minat peserta yang datang dari luar Bandulan bahkan wilayah Jawa Timur. Informasi keberadaan agenda festival sahur yang cenderung mengglobal membuat proses contact culture tidak dapat dihindari lagi. Contact culture menjadi faktor penting dalam proses publikasi agenda tahunan Bandulan tersebut. Hal ini senada dengan yang diutarakan ketua Karangtaruna Wira Bhakti yaitu Anwar ( 32 th). “Waktu itu aku gabung ke anak muda-mudi ya karangtaruna terus ada ide bagaimana kalau patrol itu kita lombakan, kita bina saatlah saya ndak nyangka patrol itu menjadi besar. Awalnya musik patrol itu ya dengan kentongan terus berkembang dengan kreatif diberi musik variasi. kita coba terus atusiasme warga luar biasa. Saya kira ya hanya diadakan waktu itu sekali saja, karena membutuhkan banyak biaya banyak, ternyata dorongan masyarakat itu luar biasa. Yang pertama, kedua, ketiga menarik minat sponsor. Nah dari sponsor it uterus berdatangan musik dari mana-mana itu mbak yang pakek sesi, nah usut-punya usut asalnya dari Madura. mereka tahu dari baliho kita itu akhirnya karena bagus ya banyak yang niru. Karena gini Mbak, saya mikir Malang kalau di jadikan tempat wisata gunung ndak punya laut ndak punya apa ya…? Salah satunya musik itu” (Pak Khoirul, wawancara 31-05-2015). Pada dasarnya konsep penyelenggaraan festival patrol sahur oleh
Volume 1 No. 1 April 2017
19
SBN
Studi Budaya Nusantara
Karangtaruna Wira Bhakti ditujukan sebagai wadah „invented tradition‟, dimana tradisi patrol sahur lokal dapat terwadahi dan memiliki daya saing yang cukup kuat di era global. Namun, culture contact yang datang dari respon budaya luar Bandulan terhadap festival
patrol sahur bandulan tidak dapat dihindari. Hal tersebut secara tidak langsung menjabarkan proser proses „culture contact‟ yang terjadi dalam ranah invented tradition patrol lokal Bandulan.
Proses Invented Tradition
Tradisi Patrol
Seni Tardisi Patrol Bandulan
Festival Dan Lomba Patrol
Contact Culture Seni Ul-daul
Gambar 3.2 Bagan Pola „Invented Tradition‟ Patrol dan „Culture Contact‟ Seni ul-daul di Bandulan Masyarakat urban yang bermobilitas dengan cepat terutama masyarakat Madura, kemudian memberi pengaruh tersendiri dalam konsep „invented tradition‟ besutan Karangtaruna Wira Bhakti Bandulan. Proses „culture contact‟ yang ada di dalamnya mempertemukan tradisi patrol dan ul-daul situasi modern perkotaan. Sehingga, tahapan ini melahirkan satu produk jadi yang mampu memperkuat identitas tradisi patrol modern di Bandulan. Pada penggambaran bagan sederhana, proses „culture contact‟ pada konsep „invented patrol tradition‟ di Bandulan terjadi lewat pertemuan antara ul-daul dan patrol dalam wadah modern yaitu festival. Paktek ul-daul tersebut menjadi objek referensi untuk memodifikasi kembali tradisi patrol dalam tataran yang lebih modern. Akar
20
budaya dan seni lokal, seni Jawa dan Islami, seperti tidak lantas melemah begitu saja melainkan juga turut menjadi objek referensi kreativitas dalam patrol modern atau seni patrol. Proses tersebut menghasilkan wujud patrol yang tidak lagi sederhana dan jauh dari kesan kuno seperti acuan dalam konsep „inveted tradition‟ sendiri. sehingga, hasil akhir dari proses tersebut adalah „identity as becoming‟ dalam citra Seni Patrol dan kelompokkelompok Patrol baru Bandulan. 4. PENUTUP 4.1 Seni Patrol Sebagai Prodak Lokalitas Budaya Jawa di Bandulan Proses globalisasi patrol lewat „invented tradition‟ mengarahkan patrol pada wujud baru. Wujud baru ini sebenarnya digunakan untuk
Volume 1 No. 1 April 2017
Annise & Ary
Tradisi Seni Patrol dan Identitas Budaya Kampung Bandulan di Kota Malang
memperkuat identitas tradisi yang diawali dari tradisi kentongan bangun sahur. Akan tetapi, modernisasi dan mobilitas manusia yang terjadi di Malang, justru memberi warna baru dalam tradisi kentongan bangun sahur. 2005 model patrol sendiri masih berkiblat pada tradisi yang ditinggalkan oleh nenek moyang orang Bandulan. Tradisi tersebut tidak lain adalah penggunaan kentongan sebagai alat komunikasi atau yang dapat dikatakan sebagai identity as being. Ciri penggunaan identity as being merupakan sifat utama dari prodak invented tradition itu sendiri, tetapi proses perkembangan patrol lewat festival tidak hanya berhenti pada model atau skema identity as being yang di aplikasikan saja. Melainkan pengaruh globalisasi terutama urbanisasi juga menyumbang ide dalam membentuk model atau pola baru dalam praktek permainan seni patrol Bandulan. Kehadiran masyarakat Madura di Malang terutama kalangan kaum mudanya, memberi sumbangsih tersendiri dalam membawa arah perkembngan patrol yang awalnya hanya dipraktekan berjalan menjadi dipraktekan di atas Sesis atau kereta dorong. Meski demikian, wujud baru tersebut tetap dilekatkan pada keauthentikan budaya yang masih tereferensi dari identity as being. Wujud patrol yang baru kemudian merepresentasikan wujudnya mirip seperti kesenian ul-daul hanya saja lebih menitik beratkan pada irama dan tembang Jawa. Wujud baru patrol inilah yang mengacu pada identity as becoming. Keseluruhan
proses ini merujuk pada adanya culture contact dalam sebuah arena festival. Festival yang di selenggarakan tidak hanya menjadi wadah apresiasi secara praktik tetapi juga sebagai wadah publikasi dan pemopuleran seni. Sehingga, berpontensi menciptakan life style dimasyarakat terutama kaum muda. Bennett dan Woorward menjelaskan bahwa festival adalah salah satu life style yang ditunjukan sebagai pembeda antara satu kelompok dengan lainnya (Andy Bennett, 2014, hal. 13). Identitas yang menonjol ditonjolkan dari festival patrol bandulan semata-mata difungsikan untuk membedakan eksistensi bandulan dengan kelurahan yang lain di Malang. akan tetapi proses globalisasi yang terjadi lewat festival pada akhirnya tidak hanya digunakan untuk memperkuat identitas Bandulan, tetapi juga digunakan sebagai objek referensi budaya bagi pemerintah Malang. Objek referensi sendiri dapat dilihat lewat dianggkatnya patrol sebagai agenda budaya kota Malang. Pada akhirnya globalisasi secara penuh mengglobalkan seni patrol pada arenan pementasan yang sempit yakni di area Bandulan kearah pementasan yang luas yakni di area pusat Kota Malang. Tentunya sifat global ini masih didasari dengan karakter identity as being yang tetap dipraktekan. Pola permainan musik, pemilihan lagu Jawa, tabuhan kentongan dan iringan tarian adalah bukti dasar bahwa wajah globalisasi yang terjadi di festival patrol tidak akan jauh-jauh dari referensi budaya dasar patrol itu sendiri. Pemikiran ini telah digambarkan sejak awal oleh Naisbitt
Volume 1 No. 1 April 2017
21
SBN
dalam tulisan Surahman Naisbitt menjelaskan bahwa :
Studi Budaya Nusantara
(2013).
“semakin kita menjadi universal, maka tindakan kita semakin menjadi kesukuan atau lebih berorientasi „kesukuan‟ dan berpikir secara lokal, namun bertindak global” (Surahman, 2013, hlm. 32). Gambaran mengenai pewadahan tradisi lama menggambarkan adanya paradoks budaya antara global dan lokal terjadi. Maka adanya perkembangan globalisasi budaya yang semakin besar di Malang mampu menjadi komponen dan unsur dalam pemunculan dan pengembangan kembali tradisi patrol lokal dengan global.
Hobwbawn, E., & Terence, R. (2000). The Invention of Tradition. Melbroune: Cambridge University. Liep, J. (2001). Locating Culture Creativity : Modernity, The World System and Creativity. London: Pluto Press. Surahman, S. (2013). Dampak Globalisasi Media Terhadap Seni dan Budaya Indonesia. Jurnal Komunikasi, Volume 2, Nomor 1, Jan - April , 29 - 38.
REFERENSI: Abdullah, I. (2010). Konstrusi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Anderson, B. (2008). Imagined Comunity. Yogyakarta: Insist Pustaka Belajar. Andy Bennett, J. T. (2014). The Festivalization of Culture : Festival Space, Identity, Experience and Belonging. Burlington: Ashgate Publishing Company. Bouvier, H. (2002). "Musik Tong-Tong" dalam Lebur Seni mUsik Dan Pertunnjukan dalam Masyarakat Madura . Jakarata: Yayasan Obor Indonesia . Featherstone, M. (1999). Global Culture: Nasiolism, Globalization and Modernity. California: Sage Publications Ltd. Hall, S. (1990). Cultural Identity and Diaspora. London: Sage Publications, Ltd.
22
Volume 1 No. 1 April 2017