TRADISI PERANG BANGKAT (STUDI TENTANG HARMONI RUMAH TANGGA SUKU USING KEMIREN BANYUWANGI)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Umana Sayekti Aji NIM 03210099
FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
TRADISI PERANG BANGKAT (STUDI TENTANG HARMONI RUMAH TANGGA SUKU USING KEMIREN BANYUWANGI) Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum.
Malang, 29 Maret 2008 Penulis,
Umana Sayekti Aji NIM. 03210099
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Umana Sayekti Aji, NIM 03210099, mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul:
TRADISI PERANG BANGKAT (STUDI TENTANG HARMONI RUMAH TANGGA SUKU USING KEMIREN BANYUWANGI) Telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji.
Malang, 29 Maret 2008 Pembimbing,
H. Isroqunnajah, M.Ag NIP. 150 278 262
TRADISI PERANG BANGKAT STUDI TENTANG HARMONI RUMAH TANGGA SUKU USING KEMIREN BANYUWANGI
SKRIPSI
Nama
: Umana Sayekti Aji
Nim
: 03210099
Jurusan
: Ahwal Al-Syahshiyyah
Fakultas
: Syari’ah
Tanggal, 29 Maret 2008 Yang mengajukan
Umana Sayekti Aji 03210099/S-1
Telah disetujui oleh: Pembimbing
H. Isroqunnajah, M.Ag NIP. 150 278 262
Mengetahui, Dekan
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag. NIP. 150 216 425
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji saudara Umana Sayekti Aji, NIM 03210099, Mahasiswa Fakultas Syari’ah angkatan tahun 2003, dengan judul : TRADISI PERANG BANGKAT STUDI TENTANG HARMONI RUMAH TANGGA SUKU USING KEMIREN BANYUWANGI
telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Dewan Penguji :
1
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag NIP. 150 216 425 (
) (Penguji Utama)
2
Fakhruddin, M.Hi NIP. 150 302 236 (
) (Ketua Penguji)
3
H. Isroqunnajah, M.Ag NIP. 150 278 262 )
( (Sekretaris)
Malang, 29 Maret 2008 Dekan Fakultas Syari’ah,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M. Ag NIP. 150 216 425
PERSEMBAHAN Dengan segenap kerendahan hati dan ketulusan jiwa kupersembahkan karya sederhana ini kepada: Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tanpa batas dengan iman dan Islam Nabi Muhammad SAW inspirator agung untuk menjadi umat yang akhlakul karimah Ayahanda dan ibunda pelita hatiku yang senantiasa tiada putus mengasihiku setulus hati, sebening cinta dan sesuci doa, tiada jemu memotivasi, mendukung baik moril atau materiil maupun spiritual, sehingga ade’ dapat menatap masa depan. Semua Guru-guru dan Dosen-dosenku yang telah memberikan secercah cahaya keilmuan. Gus Is yang telah tulus ikhlas membimbing, mengarahkan serta memotivasi. Mas afi dan ade’ “endoet” yang telah memberikan setulus cinta, do’a, motivasi serta kebersamaan yang indah. Mas afi mana kakak iparku? N’ ade’ Endoet ginak ginuk he…he… Sahabat-Sahabat Koe: Afifa N Tan3 yang selalu memotivasikoe menjadi lebih baik. Thanks atas kebahagian n kenangan indah saat di kampus, pelajaran-pelajaran berharga serta diskusi-diskusi keilmuan yang cerdas yang membwtkoe “beda”. I Miss U Eny Rosyidah yang selalu mengingatkan saat aku lupa, membimbingku dikala aku tak tahu kemana arah perjalananku, membantuku ketika ku terjatuh n menghiburku dikala ku sedih. Trima kasih sobatkoe hanya
do’a setulus hati yang mampu ku panjatkan semoga kau sukses dunia akhirat Arek-arek kost “kerjo” 30, M’Faried n Dian, Shofa, inun, novi, yeyen, fatma, binti, eny, icha, ratna n temen2 semuanya trima kasih atas kebersamaan yang indah. Arek-arek kost sunan drajatII/6: Janggeum, Sarintul, tuliah, atixs, devi, rama, nisa’, vidya, ayu, lucki, fani, nobita n m’ mila. Trima kasih atas semangat, persaudaraan, bantuan serta kebersamaan yang indah karna kalian ku mampu melihat arti terdalam sebuah persahabatan. PKLI Pazoer kenangan indah “tentang kita” adalah karya terindah tuhan yang kan kuukir sepanjang sejarah hidupkoe. Kalian “iyo pancen”, “siip sarah”. Umi n Abi Band mana “ekspresinya”, PERMATA Club jo manganae, endelia dance “Music” N Habsy Group “emang beda”. Angkatan 03’ fak . Syari’ah, jaga kekompakan, tegakkan akhlak tingkatkan ibadah. Kalian adalah inspirasikoe menjadi lebih baik trima kasih tlah memberikan kenangan indah yang tak terlupakan sehingga hari-hari kampus serasa di rumah sendiri. Pujaan hatiku yang tak pernah terbayang di mata dan tak pernah terkenang di hati. Namun, aku yakin tuhan telah menciptakannya untukku. Kan kutunggu sampai hari itu tiba!!! Ya Allah….trima kasih Engkau telah mengelilingiku dengan orangorang yang senantiasa memberikan cinta, perhatian, dukungan, nasehat yang tidak pernah henti. Kepadanyalah kupersembahkan karyaku ini. Teriring do’a semoga segala kebaikan dibalas oleh Allah SWT. Amin………
MOTTO
! "# Artinya : ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt. Dimana atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang dilimpahkan serta dengan dibekali kesehatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyusun sebuah skripsi dengan judul: TRADISI PERANG BANGKAT (Studi Tentang Harmoni Rumah Tangga Suku Using Kemiren Banyuwangi) yang masih jauh dari kesempurnaan dan akan dijadikan persyaratan untuk memperoleh gelar S. Hi (Sarjana Hukum Islam). Dengan segala daya dan upaya serta bantuan, bimbingan maupun arahan dan instruksi dan beberapa hasil diskusi dari pelbagai pihak dalam proses penulisan skripsi ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang tiada batasnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Malang (UIN). 3. H. Isroqunnajah, M.Ag, selaku dosen pembimbing, yang telah meluangkan waktunya dengan sabar untuk memberikan bimbingan, kritikan, pengarahan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini. 4. Zaenul Mahmudi, M.Hi, selaku Dosen wali yang telah membimbing semenjak perkuliahan hingga terselesainya penelitian ini
5. Segenap dosen Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, yang telah banyak berperan aktif dalam menyumbangkan ilmu, wawasan dan pengetahuannya kepada penulis. 6. A.A Tahrim, S.Ag yang telah memberikan izin penelitian pada penulis di desa yang dipimpinnya. 7. Djohadi Timbul, selaku informan utama yang dengan tulus ikhlas membantu. 8. Ayahanda dan ibunda atas doa dan restu, motivasi dan juga kasih sayangnya yang senantiasa mengiringi irama dan perjalanan ananda. 9. Mahasiswa UIN Malang Fakultas Syari’ah, khususnya angkatan 2003 yang telah memotivasi penulis selama penulisan skripsi ini. Tiada balasan yang dapat penulis haturkan, selain untaian do’a semoga amal baik mereka semua diterima Allah SWT dan dicatat sebagai amal yang soleh. Amin. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan di sana sini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik saran yang membangun demi perbaikan karya tulis selanjutnya. Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan juga khususnya penulis pribadi.
Malang, 29 Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................................ i Pernyataan Keaslian Skripsi................................................................................... ii Halaman Persetujuan Pembimbing ........................................................................ iii Halaman Persetujuan ............................................................................................. iv Halaman Pengesahan ............................................................................................. v Halaman Persembahan ........................................................................................... vi Motto ...................................................................................................................... viii Kata Pengantar ....................................................................................................... ix Daftar Isi ............................................................................................................... xi Daftar Transliterasi................................................................................................. xiv Daftar Lampiran ..................................................................................................... xvi Abstrak ................................................................................................................... xvii BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................. 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 8 C. Rumusan Masalah ............................................................................. 9 D. Batasan Masalah ............................................................................... 9 E. Tujuan Penelitian .............................................................................. 9 F. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 10 G. Definisi Operasional ......................................................................... 10 H. Sistematika Pembahasan ................................................................... 11 BAB II: KAJIAN TEORI ................................................................................... 13 A. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 13 B. Keharmonisan Rumah Tangga...................................................... 16 1. Pengertian Keharmonisan Dalam Rumah Tangga…………………………………………….……. .…….. 16 2. Upaya Menciptakan Rumah Tangga Harmonis .......................... 18 3. Unsur-unsur Pokok Dalam Pembentukan Rumah Tangga .......... 20 4. Fungsi Rumah Tangga Serta Hak dan Kewajiban Suami Istri..... 23 5. Membangun Rumah Tangga Harmonis ....................................... 33
C. Simbol Dalam Kajian Antropologi ................................................ 35 1. Pengertian Simbol ....................................................................... 35 2. Makna Dan Tujuan Simbol ......................................................... 37 D. Kajian Hukum Islam ...................................................................... 38 1. Adat Istiadat (‘Urf) Dalam Hukum Islam .................................. 38 a. Pengertian Adat Istiadat (‘Urf) ............................................. 38 b. Macam-macam Adat (‘Urf) .................................................. 39 c. Kehujjahan Adat (‘Urf) dan Peranannya Dalam Hukum Islam....................................................................................... 41 2. Walimah al-Urs Perspektif Hukum Islam .................................. 42 a. Pengertian Walimah al-urs ................................................... 42 b. Makna Filosofis di Stari’atkannya Walimah Al-Urs ............ 44 c. Hukum Hiburan Nyanyian Dalam Walimah Al-Urs ........... 44 BAB III:
METODE PENELITIAN................................................................ 49
A. Paradigma dan Pendekatan .......................................................... 49 B. Metode Penelitian .......................................................................... 51 1. Sumber Data ............................................................................... 51 2. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 51 3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...................................... 53 C. Profil Subjek Penelitian ................................................................. 54 BAB IV:
PAPARAN DAN ANALISIS DATA ............................................. 57
A. Paparan Data .................................................................................. 57 1. Obyek Penelitian ........................................................................ 57 a. Keadaan Geografis ............................................................... 58 b. Keadaan Penduduk ............................................................... 58 c. Keadaan Pendidikan.............................................................. 59 d. Keadaan Ekonomi Penduduk ................................................ 59 e. Keadaan Kebudayaan Desa Kemiren ................................... 59 f. Sejarah Desa Kemiren dan Banyuwangi .............................. 60 2. Tradisi Perang Bangkat, Sejarah, Pengertian, dan Pandangan Masyarakat suku Using Kemiren ............................................... 62 a. Tradisi Perang Bangkat Pada Zaman Blambangan ............. 62
b. Pengertian Tradisi Perang Bangkat ..................................... 63 c. Latar Belakang di Selenggarakan Tradisi Perang Bangkat . 65 d. Pandangan Masyarakat Suku Using Kemiren Terhadap Tradisi Perang Bangkat .................................................................... 66 3. Pelaksanaan Tradisi Perang Bangkat ......................................... 68 a. Prosesi Tradisi Perang Bangkat ........................................... 68 4. Makna Simbol Dalam Tradisi Perang Bangkat ......................... 75 B. ANALISIS DATA ..........................................................................78 1. Tinjauan ‘Urf Terhadap Pelaksanaan Tradisi Perang Bangkat 78 2. Makna Simbol Dalam Tradisi Perang Bangkat ………………. 88 BAB V:
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 99 A. Kesimpulan ..................................................................................... 99 B. Saran-saran ..................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA
TRANSLITERASI
A. Konsonan = tidak dilambangkan
= dl
= b
= th
= t
= dh
= ts
= ‘ (koma menghadap ke atas)
= j
= gh
= h
= f
= kh
= q
= d
= k
= dz
= l
= r
= m
= z
= n
= s
= w
= sy
= h
= sh
= y
Hamzah ( ) yang sering dilambangkan dengan alif, apabila terletak di awal kata maka mengikuti vokalnya, tidak dilambangkan. Namun apabila terletak di tengah atau akhir maka dilambangkan dengan tanda koma di atas ( ‘ ). B. Vokal, Panjang dan Diftong Tulisan latin vokal fathah ditulis dengan "a", kasrah dengan "i", dlommah dengan "u". Sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara vokal (a) panjang dengan â, vokal (i) panjang dengan î dan vokal (u) panjang dengan û.
Khusus untuk ya' nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan "i", melainkan tetap ditulis dengan "iy" agar dapat menggambarkan ya' nisbat di
akhirnya. Begitu juga untuk suara diftong, wawu dan ya' setelah fathah ditulis dengan "aw" dan "ay". C. Ta' Marbûthah Ta' marbûthah ( ) ditrasliterasikan dengan "t" jika berada di tengah-tengah kalimat, tetapi apabila di akhir kalimat maka ditrasliterasikan dengan menggunakan "h" atau apabila berada di tengah-tengah kalimat yang terdiri dari susunan mudlâf dan mudlâf ilayh, maka ditrasliterasikan dengan menggunakan "t" yang disambungkan dengan kalimat berikutnya. D. Kata Sandang dan Lafadh al-Jalâlah Kata sandang berupa "al" ( ) ditulis dengan huruf kecil, kecuali terletak pada awal kalimat. Sedangkan "al" dalam lafadh jalâlah yang berada di tengahtengah kalimat disandarkan (idhâfah), maka dihilangkan. E. Nama dan Kata Arab Ter-Indonesiakan Pada prinsipnya kata yang berasal dari bahasa Arab harus ditulis dengan menggunakan sistem transliterasi ini, akan tetapi apabila kata tersebut merupakan nama Arab dari orang Indonesia atau bahasa Arab yang sudah ter-Indonesiakan, maka tidak perlu menggunakan sistem transliterasi ini.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Penelitian 2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Dari Desa Kemiren 3. Bukti Konsultasi 4. Panduan Wawancara
ABSTRAK
UMANA SAYEKTI AJI, 03210099, 2008. Tradisi Perang Bangkat (Studi Tentang Harmoni Rumah Tangga Suku Using Kemiren. Skripsi. Fakultas Syari'ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing H. Isroqunnajah, M.Ag . Kata Kunci: Tradisi Perang Bangkat, Harmoni Rumah Tangga suku Using Kemiren Tradisi Perang Bangkat adalah ritual perkawinan bagi kemunjilan (bungsu) yang menikah dengan sesama kemunjilan atau salah satu dari mereka kemunjilan dengan harapan kehidupan rumah tangganya akan bahagia. Tradisi ini juga sarat dengan wejangan-wejangan (nasehat) dari para tetua adat, wejangan tersebut tersirat pada setiap pelaksanaan tradisi dan sesaji yang telah ditentukan. Sesaji tersebut berupa peras pikul, peras suwun, bantal kloso,ramesan, kinangan, rokok, kendi, banyu arum, telur beserta ayam dan petarangan, watu dan sapu korek. Dari segi waktunya, tradisi ini dilaksanakan saat prosesi temon (temu) pengantin pada waktu surub (senja) setelah terlebih dahulu dilangsungkan akad nikah. Tradisi kebudayaan di atas menarik untuk diteliti. Sebab masyarakat suku Using menggunakan tradisi ini sebagai media menciptakan keharmonisan rumah tangga melalui ritual-ritual dan sesajennya. Dengan mengkaji masalah tinjauan ‘Urf terhadap konsep pelaksanaan serta tinjuan konsep keharmonisan rumah tangga Islam terhadap makna simbol yang terkandung dalam tradisi tersebut diharapkan dapat mengetahui peta konsep tradisi tersebut dalam mewujudkan kehidupan berumah tangga mereka serta dapat mengetahui sejalankah konsep tradisi tersebut dengan ajaran Islam. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma Antropologi Hukum dan pendekatannya pendekatan Etnografi, jenis penelitiannya, penelitian lapangan (field researc). Menggunakan sumber data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui metode observasi, wawancara dan dokumentasi dengan diolah melalui tiga tahapan dan dianalisis dengan mengunakan metode deskritif kualitatif. Hasil penelitian ini adalah antara lain: Secara definitif tradisi perang bangkat merupakan adat. Ditinjau dari segi obyeknya tradisi perang bangkat masuk pada al‘urf al-‘amali (adat yang berupa perbuatan). Dilihat dari cakupannya tradisi perang bangkat masuk pada al-‘urf al-khâsh (adat yang khusus) yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Sedangkan dilihat dari keabsahannya, tradisi perang bangkat termasuk dalam ‘urf shahih, karena tradisi ini tidak menyalahi dalil syari’at. tradisi perang bangkat merupakan hasil dari integrasian ajaran Islam ke budaya lokal. Hal ini dilihat dari performance prosesi pelaksanaan tradisi perang bangkat yang dipandu dan dipedomani oleh Islam dalam coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka seleksi terhadap budaya lokal, seperti prosesi arakarakan berubah tujuan sebagai sarana penyiaran perkawinan, setiap akan memulai prosesi selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad, meminta berkah kepada Allah SWT bukan kepada roh-roh leluhur dan pembacaan sesajen sebagai sarana menasehati pasangan. Ajaran Islam maupun tradisi perang bangkat keduanya mempunyai komitmen yang sama dalam rangka mewujudkan keharmonisan rumah tangga. Keduanya bersama-sama mengusung aspek pemenuhan hak dan kewajiban, aspek cinta kasih, aspek rohani, dan aspek pemenuhan fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi.
.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan merupakan akad yang paling sakral dan agung dalam sejarah perjalanan hidup manusia yang dalam Islam disebut sebagai mîtsâqan ghalîdhan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Merupakan naluri manusia memiliki rasa cinta dan senang kepada lawan jenisnya, karena memang manusia diciptakan untuk hidup berpasang-pasangan sesuai firman Allah SWT: 2
1 2
Kompilasi Hukum Islam Bab II Tentang Dasar-dasar Perkawinan Pasal 2. QS. Asy- Syuura (42): 11
%
$
$ " # ! )!"
(
&
&'
“(dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”
Perkawinan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh manusia bagi yang mampu untuk berkeluarga. Banyak sekali hikmah yang dapat diambil dari sebuah perkawinan. Selain sunnatullah yang telah digariskan ketentuannya, pernikahan juga dapat membuat kehidupan seseorang lebih terarah, tenang, tentram dan bahagia. Pernikahan diibaratkan sebuah perantara untuk menyatukan dua hati yang berbeda, memberikan kasih sayang, perhatian dan kepedulian antara lelaki dan perempuan. Dalam menjalankan perkawinan suatu keluarga harus dijalani dengan konsep Mawaddah wa Rahmah, saling cinta mencintai, saling mengasihi, saling memberi dan menerima, saling terbuka. Sehingga diqiyaskan dalam al-Qur’an bahwa tali perkawinan sebagai mitsaqan galidha (ikatan yang kuat)
!# " $% & ' $ ) ( $% &)* $+ ! ,( ! -./ 0$ ! "Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteriisterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.)3 Pada dasarnya setiap pasangan suami istri pasti sangat mendambakan memiliki keluarga yang harmonis. Keluarga yang mampu membuat rasa letih berkurang
3
QS: an-Nisa' (4): 21
bahkan hilang saat berkumpul dengan mereka, keluarga yang menyegarkan kepenatan dan kejenuhan, keluarga yang menjadi sumber kebahagiaan, yang menjadi sumber semangat inspirasi, menjadikan keindahan yang paling indah dalam hidup ini. Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang harmonis bukanlah melalui proses kebetulan, melainkan sesuatu yang direncanakan, diprogram dan diantisipasi. Terciptanya sebuah keluarga yang harmonis, di antaranya adanya saling mencintai, saling pengertian, komunikasi yang lancar, adanya visi yang jelas terhadap masa depan anak.4 Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman di dalam anggota keluarganya. Keluarga merupakan bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketenteraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam suatu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina melalui perkawinan antara suami istri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.5 Dalam Islam, keharmonisan dalam rumah tangga telah ditekankan dan ditetapkan secara pasti dalam firman- Nya surat Ar-Rum: 216
4
Rusli Amin, Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003) hal: i Abdurrahman Al-Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal 31 6 QS. Ar-Ruum (30): 21 5
!"# “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenis mu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dalam ayat tersebut Allah SWT menerangkan, bahwa tujuan diciptakannya istri agar suami dapat membangun rumah tangga yang harmonis, bahagia dan sejahtera lahir bathin, hidup tenang, tentram damai penuh kasih sayang. Rumah tangga dikatan harmonis apabila, hubungan suami istri terjalin secara serasi dan seimbang, tersalurkan nafsu seksual dengan baik dijalan yang diridhai Allah SWT, terdidiklah anak-anak menjadi anak-anak shalih dan shalihah., terpenuhi kebutuhan lahir dan bathin suami istri, terjalin persaudaraan yang akrab antara keluarga keluarga besar pihak suami dengan keluarga besar dari pihak istri, dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan baik, dapat menjalin hubungan yang mesra dengan para tetangga dan dapat hidup bermasyarakat dan bernegara secara baik pula.7 Dengan kesimpulan bahwa keharmonisan dalam rumah tangga dapat terwujud jika unsur dan komponen dalam institusi keluarga berlandaskan arahan ajaran Islam yang tinggi, ketauhidan dan prinsip-prinsipnya yang penuh kasih sayang pada semua makhluk-Nya. Namun bagi sebagian masyarakat, selain faktor-faktor di atas terdapat faktor lain yang dapat mewujudkan keharmonisan rumah tangga yakni melalui ritual upacara adat. Seperti masyarakat suku Using Kemiren, yang ajeg melakukan tradisi perkawinan ini dengan tujuan agar kehidupan rumah tangga anak-anak kemunjilan 7
Machfud, Keluarga Sakinah:Membina Keluarga Bahagia, (Surabaya: Citra Pelajar,2003) hal:17
(bungsu) mereka bahagia dan harmonis. Tradisi perkawinan itu adalah tradisi Perang Bangkat. Menurut tetua adat daerah tersebut, tradisi Perang Bangkat sudah jauh dilakukan oleh nenek moyang suku Using sebagai wujud rasa sayang mereka kepada anak kemunjilan (bungsu). Sedangkan mereka hanya bertanggung jawab mewarisi peradaban budaya dengan tetap melestarikannya. Masyarakat suku Using Kemiren percaya bahwa tradisi ini diwariskan untuk kebaikan dan kebahagian pengantin khususnya dan masyarakat suku Using Kemiren pada umumnya, karena tradisi ini mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan berumah tangga yang tersirat pada setiap pelaksanaan ritual dan sesajen-sesajennya.8 Tradisi Perang Bangkat secara sederhana dapat diartikan sebagai ritual upacara mengantarkan kedua pengantin ke dalam kehidupan berumah tangga. Secara analitis kata Perang di ambil dari kata berperang sedangkan Bangkat diambil dari kata Blangkep yakni bersama-sama, karena dalam ritual upacara tersebut ada beberapa hal yang mendasar sebagai tujuan dasar diadakan ritual ini yaitu: berperang bersamasama antara pengantin laki-laki dan perempuan untuk menghilangkan sifat ego dan kekanak-kanakan dalam diri mereka agar tidak ada sifat saling menang sendiri. Tradisi Perang Bangkat dikenal juga dengan istilah ngosek punjen, disebut ngosek punjen karena didalam tradisi ini, ada ritual mengusap uang dan beras kuning dalam tampah, hal ini sebagai wujud rasa kasih sayang orang tua dan sanak saudara kepada anak kemunjilan (bungsu). Karena mereka dianggap belum cukup dewasa untuk mengarungi bahtera rumah tangga sehingga patutlah bagi keluarga untuk
8
Djohadi Timbul, wawancara (Banyuwangi, 16 Maret 2007 )
memberikan nasehat-nasehat dalam berumah tangga yang diwariskan turun-temurun melalui bentuk tradisi ini serta harta seadanya. Dari segi waktunya, ritual ini dilakukan pada saat surub (senja) setelah dilaksanakan akad nikah terlebih dahulu. Sebelum suruban, keluarga melakukan acara arak-arakan (kirab) keliling kampung dengan mencari jalan yang berseberangan dengan tempat suruban. Dengan maksud, mengundang masyarakat, mengenalkan kedua pengantin serta mengumumkan bahwa acara ngosek punjen (tradisi perang bangkat) segera dimulai. Tradisi ini juga sarat dengan sesajen, Sesaji tersebut berupa peras pikul, peras suwun9, bantal kloso, lamaran, ramesan, kinangan, rokok, kendi, banyu arum, kemenyan, telur beserta ayam dan petarangan, watu dan sapu korek. Kesemua sesaji itu merupakan benda yang mempunyai makna berisi petuah-petuah dan nasehatnasehat dalam menjalankan kehidupan berumah tangga dari para tetua adat dalam rangka mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Menurut pepatah Jawa, Budoyo iku dadi kaca benggalaning bangso (kebudayaan itu menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban bangsa). Berarti setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kebudayaan sendiri yang berbeda dengan kebudayaan bangsa atau suku bangsa lainnya. Membuktikan bahwa peradaban suatu atau suku bangsa yang bersangkutan memiliki pengetahuan dasar-dasar pemikiran dan sejarah peradaban yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Kebudayaan memiliki pengetahuan yang menjadi dasar pemikiran dan sejarah kebudayaanya, ia
9
Peras dalam bahasa Indonesia bermakna sesaji
menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsanya.10 Telah kita ketahui bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai masyarakat adat dengan sistem keyakinan yang bermacam-macam. Kebudayaan merupakan sebuah problem tersendiri bagi masyarakat muslim yang mengagungkannya, seperti masyarakat suku Using Kemiren yang teguh untuk melestarikan kebudayaan nenek moyangnya terutama pada hal-hal yang berhubungan dengan laku kehidupan seharihari, seperti kehidupan berumah tangga karena akan mempengaruhi masyarakat untuk bertindak mengenyampingkan syari’at Islam yang telah mempunyai pedoman dalam mewujudkan rumah tangga harmonis yang dirahmati Allah SWT. Namun bukan berarti Islam memandang kebudayaan atau adat istiadat adalah hal yang haram dilakukan, sebab Islam dalam memandang adat adakalanya menetapkan, meluruskan, dan sampai merubah. Penetapan terjadi atas adat yang tidak berseberangan dengan Islam, ada adat yang memungkinkan untuk diluruskan dengan Islam dengan beberapa perubahan, perubahan terjadi atas adat yang memang tidak mungkin lagi ditempuh melalui jalan penetapan dan pelurusan. Maka dari itu kemudia dalam Islam ada qaidah yang berkaitan dengan adat yaitu adat bisa dijadikan dalil hukum apabila tidak bertentangan dengan nash. Semua ungkapan tersebut bermakna bahwa segala adat yang tidak sejalan dengan Islam dinyatakan tidak berlaku. Bertolak dari latar belakang di atas, tradisi kebudayaan di atas menarik untuk diteliti. Sebab masyarakat suku Using menggunakan tradisi ini sebagai media menciptakan keharmonisan rumah tangga melalui ritual-ritual dan sesajennya. 10
Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, (Yogyakarta: Ombak,1984), hal 9-10
Dengan mengkaji masalah tinjauan ‘Urf terhadap konsep pelaksanaan serta tinjuan konsep keharmonisan rumah tangga Islam terhadap makna simbol yang terkandung dalam tradisi tersebut diharapkan dapat mengetahui peta konsep tradisi tersebut dalam mewujudkan kehidupan berumah tangga mereka serta dapat mengetahui sejalankah konsep tradisi tersebut dengan ajaran Islam. Berdasarkan keingintahuan penulis tersebut maka penelitian ini dikemas dengan judul “ Tradisi Perang Bangkat (Studi Tentang Harmoni Rumah Tangga Suku Using Kemiren Banyuwangi)” B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah ialah mengemukakan beberapa masalah yang mungkin timbul dari tema penelitian.11 Adapun masalah yang teridentifikasi dari latar belakang masalah yang telah dideskripsikan di atas adalah: 1. Bagaimana pelaksanaan ritual tradisi Perang Bangkat 2. Makna apa saja yang terkandung dalam sesajen-sesajen 3. Seberapa besar pengaruh Tradisi Perang Bangkat terhadap terwujudnya rumah tangga harmonis 4. Bagaimana pendapat warga di Desa Kemiren Kabupaten Banyuwangi tentang tradisi Perang Bangkat 5. Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap ritual Perang Bangkat
11
Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah : Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi (Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 2001), 35.
C. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan permasalahan (problem question) sebagai berikut: 1.
Bagaimana Tinjauan ‘Urf terhadap pelaksanaan tradisi Perang Bangkat di desa Kemiren Banyuwangi?
2.
Bagaimana tinjauan konsep keharmonisan rumah tangga Islam terhadap makna simbol yang terkandung dalam Tradisi Perang Bangkat?
D. Batasan Masalah Agar kajian ini tidak terlalu melebar dan meluas, maka penulis membatasinya hanya pada masalah tinjauan ‘Urf terhadap pelaksanaan tradisi tersebut dan makna simbol tradisi Perang Bangkat dalam hubungannya mewujudkan keharmonisan rumah tangga masyarakat suku Using.
E. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan dan agar penelitian ini menjadi lebih terarah secara jelas maka perlu ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tinjauan ‘Urf terhadap pelaksanaan tradisi Perang Bangkat di desa Kemiren Banyuwangi 2. Untuk mengetahui tinjauan konsep keharmonisan rumah tangga Islam terhadap makna simbol yang terkandung dalam tradisi Perang Bangkat.
F. Kegunaan Penelitian Di samping memiliki tujuan, penelitian juga memiliki beberapa kegunaan atau manfaat. Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai kontribusi pemikiran dan pemberian informasi bagi masyarakat luas terkait ada dan eksisnya adat di masyarakat Suku Using Kemiren sebagai ciri khas dan kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan adat istiadat. 2. Sebagai kontribusi kajian dan pemikiran bagi para akademisi khususnya mahasiswa syari’ah UIN Malang, bahwa adat lokal dapat menjadi pendekatan yang efektif bagi permasalahan rumah tangga yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang berbudaya. G. Definisi Operasional 1. Harmoni Rumah Tangga, Harmoni secara termonologi menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah selaras, serasi dan seimbang. Sedangkan arti keharmonisan di dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah hal (keadaan) selaras atau serasi, keselarasan dalam rumah tangga. 2. Suku Using adalah salah satu suku bangsa yang berdomisili di ujung timur pulau Jawa yakni Banyuwangi dengan kebudayaan yang menarik dan dialek yang unik. Menurut dugaan sementara suku ini merupakan suku peralihan antara Jawa dan Bali. Dinamakan suku Using karena merupakan suku yang pada penjajahan Belanda tidak memihak VOC atau penjajah Hindia Belanda. Hal ini ditengarai dari kosakata Using dalam bahasa Inggris yang berarti tidak berpihak.
H. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini secara keseluruhan terdiri dari lima bab, yang masingmasing bab disusun secara sistematis sebagai berikut : BAB I:
Dalam Bab ini, peneliti membahas tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi Operasional dan sistematika pembahasan. Dengan adanya pembahasan tersebut dapat diketahui gambaran menyeluruh dari subtansi yang akan disajikan dalam penelitian ini.
BAB II:
Pada bab ini dibahas tentang Penelitian Terdahulu dan tiga kajian pustaka. Kajian pertama tentang konsep keharmonisan rumah tangga yang di dalamnya akan memuat tentang pengertian keharmonisan rumah tangga, Upaya menciptakan rumah tangga Harmonis, Unsur-unsur pokok dalam pembentukan rumah tangga harmonis, Fungsi rumah tangga serta hak dan kewajiban suami istri dan membangun rumah tangga harmonis. Sedangkan kajian kedua membahas tentang simbol dalam kajian Antropologi di dalamnya memuat pengertian simbol dan makna dan tujuan simbol. Kajian ketiga membahas tentang Kajian Hukum Islam yang terdiri dari adat istiadat (‘Urf) dalam hukum Islam, yang di dalamnya memuat pengertian ‘Urf, macam-macam adat (‘Urf), dan kehujjahan adat (‘Urf) dan kajian walimatul ‘Ursy. Peneliti membahas hal tersebut dalam bab II bertujuan agar pembaca dapat melihat dan menilai perbedaan teori yang digunakan peneliti dengan peniliti-peneliti terdahulu, serta karena kajian pustaka di atas relevansi dengan masalah
yang akan ditelti sehingga penelitian ini memiliki dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. BAB III:
Bab ini membahas metode penelitian yang akan mengulas metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Metode tersebut meliputi paradigma dean pendekatan penelitian, metode penelitian, metode pengumpulan data, dan metode pengolahan data. Sehingga dengan pembahasan tersebut dapat mengungkap sejumlah cara yang diatur secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan mampu menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah ditetapkan.
BAB IV: Dalam Bab ini memaparkan hasil penelitian yang meliputi: lokasi penelitian, deskripsi tradisi Perang Bangkat yang terdiri dari pengertian, pandangan masyarakat, prosesi, makna simbol, dan waktu pelaksanaan. Dan juga di dalam Bab ini di paparkan analisis terhadap hasil penelitian di atas yang terdiri dari beberapa poin yaitu: pelaksanaan Tradisi Perang Bangkat, makna simbol dalam Tradisi Perang Bangkat dan analisis yuridis terhadap hal tersebut. BAB V
Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan hasil penelitian serta saran-saran dari peneliti.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu Kajian empirik tentang tradisi dalam ruang lingkup perkawinan telah banyak dilakukan oleh akademisi dengan ragam lokus dan prespektif, baik dari sisi antropologi budaya, antropologi hukum dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan karena tradisi dalam ruang lingkup perkawinan merupakan bahasan yang mempunyai keunikan, otentitas, dan variasi dalam setiap pengaturannya. Selain itu bagi sebagian masyarakat Indonesia, tradisi dalam sebuah perkawinan diyakini sebagai hal yang sakral, mengandung mitos dan penghormatan kepada nenek moyang. Sehingga bahasan tentang tradisi dalam ruang lingkup perkawinan selalu menjadi kajian yang menarik untuk diteliti.
Seperti pada penelitian Muhammad Subhan dalam skripsinya di fakultas syari’ah UIN Malang, adat yang diteliti adalah Petungan bulan untuk mantu yaitu pemilihan bulan untuk menentukan bulan tertentu untuk melangsungkan pernikahan. Adapun hasil penelitian ini adalah bagi sebagian masyarakat Jawa yang mempunyai hajat perkawinan tidak hanya melakukan perkawinan begitu saja, tetapi ada proses yang sangat menarik yaitu proses pemilihan bulan yang diharapkan akan membawa keberuntungan dan keselamatan dari mara-bahaya, juga hidup kekal dan bahagia bersama pasangannya. Karena sebagian masyarakat percaya bahwa semua yang diawali dengan kebaikan, maka yang akan didapatkanpun baik. Pemilihan bulan yang disandarkan pada “petungan” sebenarnya tidak bertentangan dengan syari’at Islam karena sebagian sudah diatur dalam al-Qur’an dan Hadits.12 Sejalan dengan penilitian yang dilakukan oleh Muhammad Subhan, Anis Dyah Rahayu juga meneliti tentang perkawinan dalam masyarakat Jawa dalam skripsinya di Fakultas Syari’ah UIN Malang. Penelitian tersebut membahas tentang rangkaian prosesi perkawinan adat Jawa mulai dari nontoni, meminang, peningset, serahan, pingitan, tarub, siraman, pingitan, resepsi, walimah, dan agunduh pengantin. Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa praktek/tata cara perkawinan adat Jawa ada yang sesuai dengan Islam dan ada yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang yang dianggap sesuai adalah nontoni, meminang, melamar, upacara midodareni, Upacara ijab, dan upacara panggih. Sedangkan yang tidak sesuai dengan Islam adalah peningset, srahserahan/asuk tukon, upacara siraman pengantin, dan resepsi/walimah.13
12
Muhammad Subhan, Tradisi Perkawinan Masyarakat Jawa Di Tinjau Dari Hukum Islam (Kasus di Kelurahan Kauman Kec. Mojosari Kab. Mojokerto), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2004) 13 Anis Dyah Rahayu, Tinjauan Islam Tentang Prosesi Perkawinan Adat Jawa (Kasus di Desa Bogodeso Kec. Kanigoro, Kab. Blitar), Skripsi (Malang, UIN Malang, 2005)
Selain itu, penelitian lain dilakukan oleh Siti Suaifa dalam skripsinya di Fakultas Syari’ah UIN Malang. Penelitian ini dilakukan karena ada sebuah tradisi yang menarik dalam merayakan pernikahan. Tradisi tersebut adalah tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen yang dipercaya oleh masyarakat di Desa Wonokerso Kec. Pakisaji Kabupaten Malang sebagai harapan agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangganya. Skripsi ini membahas tentang pelaksanaan dan pandangan hukum Islam terhadap tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan dan pandangan hukum Islam terhadap tradisi tersebut. Hasil penelitian saudara Siti Suaifa menunjukkan bahwa tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen terdapat unsur-unsur mistik yang menjadi tradisi pra Islam dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, yaitu adanya sesaji dan di dalam ritual tersebut juga disertai dengan adanya keyakinan/kepercayaan dari sebagian warga masyarakat, bahwa hanya dengan mengadakan ritual Bubak Kawah dan Tumplek Punjen kehidupan rumah tangganya akan selamat sehingga dengan adanya unsur-unsur itulah tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen haram dilaksanakan. Dan termasuk dalam Urf yang fasid sehingga tidak harus di lestarikan.14 Dari beberapa kajian penelitian di atas, ada diferensiasi kajian dan metode dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan Muhammad Subhan membahas tentang pemilihan bulan untuk menentukan bulan tertentu dalam melangsungkan pernikahan yang mana dipercaya dapat memberikan arus positif dalam pelaksanaan perayaan perkawinan dan keharmonisan dalam mengarungi kehidupan berumah
14
Siti Suaifa, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen Dalam Pernikahan (Studi Kasus di Desa Wonokerso Kec. Pakisaji, Kab. Malang), Skripsi (Malang: UIN Malang, Fakultas Syari’ah, 2005)
tangga. Dari hasil penelitian tersebut dihasilkan bahwa pemilihan bulan yang disandarkan pada “petungan” tidak bertentangan dengan syari’at Islam karena sebagian sudah diatur dalam hukum Islam. Sedangkan kedua penelitian lain yakni penelitian Anis Dyah Rahayu dan Siti Suaifa juga memiliki kajian penelitian yang berbeda dengan penelitian ini. Anis Dyah Rahayu meneliti tentang rangkaian prosesi adat Jawa sedangkan Siti Suaifa meneliti tentang pelaksanaan Tradisi Bubak Kawah dan Tumplek Punjen serta pandangan hukum Islam terhadap Tradisi tersebut. Sedangkan penelitian ini adalah sebuah penelitian antropologis yang memotret tradisi Perang Bangkat, tradisi perkawinan yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku Using Kemiren dengan tujuan agar kehidupan rumah tangga pengatin akan harmonis dan bahagia. Tradisi Perang Bangkat, menarik diteliti karena kemasan serta ritualnya menggambarkan falsafah kehidupan berumah tangga yang tersirat pada simbol-simbol berupa sesajen. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan ‘Urf terhadap pelaksanaan tradisi Perang Bangkat di desa Kemiren serta untuk mengetahui tinjauan teori keharmonisan rumah tangga Islam terhadap makna simbol yang terkandung dalam tradisi Perang Bangkat. B. Keharmonisan Rumah Tangga 1. Pengertian Keharmonisan Dalam Rumah Tangga Rumah tangga sebagai organisasi atau komunitas sosial yang terbentuk dari hubungan absah antara pria dan wanita, dimana para anggota rumah tangga itu, suami, istri, dan anak-anak terkadang ditambah kakek, nenek, cucu, paman dan bibi, hidup bersama berdasarkan rasa saling mencintai, toleransi, menyayangi, menolong
dan bekerja sama.15 Sedangkan Arti keharmonisan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal (keadaan) selaras atau serasi, keselarasan dalam rumah tangga. Keharmonisan berasal dari kata harmonis yang mempunyai arti selaras atau serasi. Keharmonisan lebihmenitik beratkan pada suatu keadaan, dimana keharmonisan adalah mencapai keselarasan dan keserasian dalam rumah tangga. Keserasian dan keselarasan perlu dijaga untuk mendapatkan suatu rumah tangga yang harmonis.16 Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa keharmonisan rumah tangga adalah keluarga yang memberikan rasa aman, terhindar dari kegoncangan-kegoncangan dan pertengkaran, merasa tentram, kedamaian dan kepuasan serta keserasian dan keseimbangan hidup antara suami istri. 2. Upaya Menciptakan Rumah Tangga Harmonis. Adapun di antara Upaya-Upaya Membina Keharmonisan Rumah Tangga adalah:17 a. Menghiasi Rumah Tangga Dengan Nilai Agama Suami istri harus beragama, karena agama merupakan tolak ukur di dalam menjalankan kehidupan berkeluarga, sebagaimana arti asal kata agama; a = tidak, gama = kacau (sanksekerta). Jadi, orang yang beragama hidupnya tidak akan kacau dan kusut, tetapi tentram dan damai. Menurut al-Qur’an, syarat untuk mencapai kehidupan yang bahagia adalah patuh dan taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dalam segala aspek kehidupan. Allah SWT berfirman:
15
Ali Qoimi, Menggapai Langit Masa Depan Anak, (Bogor:Cahaya,2002) hal:14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hal: 299 17 Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan AsShunnah, (Jakarta: Akademika Pressindo,2003) 232-236 16
% *$ $
)
*
(
' # &
"
!
%
$
#!
“Dan barangsiapa menaati Allah dan RasulNya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”18
Setelah itu, berlaku istiqomah (teguh pendirian) pada agama Allah SWT, selalu mematuhi perintah dan tidak melanggar larangan-Nya, sehingga memperoleh ketenangan batin. Ketenangan batin merupakan faktor yang menentukan dalam mewujudkan kebahagiaan dalam rumah tangga, dan ketentraman hati hanya akan bisa dibina dengan dasar agama, iman dan takwa kepada Allah SWT. Iman hanya dapat disuburkan dengan ibadah. Karena itu, jadikanlah rumah tangga sebagai tempat tinggal di mana seluruh penghuninya beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Dengan demikian, jadikanlah agama sebagai penghias dan penyinar kehidupan berumah tangga. Sehingga bila terdapat banyak hal yang berkecendurangan ke arah pikiran kotor dan pemuasan hawa nafsu semata, bisa diluruskan tentunya dengan iman. b. Menyisihkan Waktu Untuk Kebersamaan Jalinan hubungan batin sangat diperlukan bagi pasangan suami istri. Karena itu perlu menyisihkan waktu kebersamaan. Pola hidup keluarga modern masa kini yang sedang digandrungi banyak orang, berimbas penuh dengan tantangan dan ritangan. Satu sisi suami istri dituntut mampu memenuhi kebutuhan materiil rumah tangga, sehingga waktu banyak tersita ditempat kerja, terlebih lagi mereka yang bekerja full time. Sementara di sisi lain hubungan suami istri, anak-anak dan anggota keluarga juga menuntut kebersamaan secara harmonis.
18
QS. Al-Ahzab (33): 71
Jika yang didambakan kebahagiaan lahir bathin, tentu disamping dituntut mampu memenuhi kebutuhan materiil keluarga, menyisihkan waktu untuk kebersamaan juga perlu meskipun hanya sebentar. Waktu yang sedikit itu gunakanlah seefisien mungkin, sehingga keretakan hubungan dengan segenap anggota keluarga tak sampai terjadi. c. Menciptakan Komunikasi yang Baik Dengan komunikasi yang baik, segala problem dan unek-unek dapat dikeluarkan untuk selanjutnya dicarikan pemecahan. Dengan komunikasi pula para pihak akan merasa diperhatikan sehingga kesenjangan antaranggota keluarga tidak sampai terwujud. Untuk itu, ciptakanlah komunikasi yang benar-benar dapat menghadirkan semua anggota keluarga, bersantai ria dan penuh keakraban. d. Menumbuhkan Rasa Saling Menghargai Harga diri merupakan hal yang bernilai sangat tinggi bagi setiap orang. Sama halnya dalam hubungan suami istri atau anggota keluarga yang lain. Hargailah status, peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga. Dengan begitu, mereka dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam rumah tangga benar-benar tercermin dari hati yang tulus ikhlas, rasa senang dan penuh perhatian. e. Mewujudkan Keutuhan Keluarga Saling memaafkan apabila ada kesalahan atau kekhilafan, janganlah dipendam tetapi cepatlah saling memaafkan, kemudian memohon ampun kepada Allah SWT dan bertaubat kepada-Nya. Saling memaafkan, menahan emosi, bersabar, instropeksi diri dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah sebagian sifat mutaqin sejati yang mengharapkan ridha dan inayah Allah SWT. Firman Allah SWT,
"//# -. - . 0122 '
+)$, *
" /0 ,
+,$ ) ,
$
$ -.
/1% -. *
'( (.
%
+
$& (
(-
-0 "/4# 3.
3
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-oarang yang berbuat baik.”
3. Unsur-Unsur Pokok dalam Pembentukan Rumah Tangga Harmonis Terwujudnya suatu rumah tangga harmonis, yakni keluarga bahagia dan sejahtera atas jalinan cinta dan kasih sayang antara suami istri yang dikehendaki oleh agama Islam adalah bersumber pada firman Allah SWT yang berbunyi:
!"# “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenis mu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.19 Dalam pembentukan rumah tangga yang sakinah (bahagian, sejahtera, damai dan kekal) perlu dipahami dan disadarkan pada dua unsur pokok, yaitu moril dan materil. Unsur moril menggambarkan sikap pergaulan antara suami istri yang meliputi:20
19 20
QS. Ar-Ruum (30): 21 Dedi Junaedi, Op. Cit., 228-229
a. Tahabub, yakni sikap saling mencintai, saling mengasihi dan saling menghargai satu sama lain. Kalau sikap ini ada dalam suatu kehidupan rumah tangga, maka segala beban yang harus diemban ringan dirasakannya. b. Taawun, yakni sikap saling tolong menolong, isi mengisi dan saling melengkapi. Tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, suami istri harus benar-benar menyadari hal ini serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. c. Tasyawur, yakni apabila suami istri akan berbuat sesuatu, mereka hendaknya saling terbuka dan musyawarah dengan akal yang sehat untuk mencari mufakat dan bukan memaksakan kehendak sendiri. Hasil kesepakatan itulah yang hendaknya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan bertawakal kepada Allah. Jangan bertindak sendiri tanpa sepengetahuan yang lain. d. Taafi, yakni saling memaafkan, di mana suami istri asalnya sama-sama orang lain yang berbeda keinginan yang kadangkala satu sama lain sering bertentangan. Agar bahtera rumah tangga berjalan dengan baik, maka suami istri hendaknya bukan mencari dan mengumpulkan perbedaan, akan tetapi memilih persamaan. Karena itu, antara suami dan istri harus terjalin sikap saling memaafkan. Adapun unsur materil banyak menggambarkan kebendaan yang dibutuhkan dalam hidup berumah tangga demi terbinanya keluarga yang kekal, bahagia dan sejahtera. Unsur materil ini meliputi:21 a. Kecukupan pangan, sebab cinta tanpa beras akan menciptakan malam yang tidak berkesan dan pagi hari perut keroncongan. Oleh sebab itu, sebelum menikah hendaklah sudah mempunyai lapangan kerja yang dapat menghasilkan uang dan setelah menikah pun suami istri harus bekerja keras. 21
Ibid., 229-230
b. Kecukupan sandang, manusia sebagai hamba Allah SWT dan sebagai makhluk soaial yang beradab memerlukan sandang sebagai penutup aurat untuk beribadah kepada Allah SWT. Suami istri juga memerlukan hidup yang layak dalam pergaulan masyarakat sesuai dengan tingkat sosialnya. Hal ini juga menuntut suami istri untuk bekerja keras dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. c. Berkeluarga juga memerlukan papan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha mencari nafkah hidupnya. Jangan sampai setelah menikah suami istri numpang terus menerus pada orang tua, sebab hal ini akan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan berumah tangga. Karena itu, usaha dan kerja keraslah demi rumah tangga yang mandiri dan bebas dari campur tangan pihak ketiga. d. Pendidikan, Dalam hidup berumah tangga juga diperlukan terciptanya suasana pendidikan Islam, baik itu diperoleh sebelum menikah atau setelahnya. Pendidikan di sini tidak berarti pendidikan formal semata, akan tetapi lebih mengarah kepada pemahaman falsafah hidup berumah tangga yang didasarkan kepada iman yang kokoh, ketakwaan serta akhlak yang terpuji. Karena itu, suami istri hendaknya terus mengembangkan keahlian dan keterampilan yang menunjang kesuksesan baik dalam bidang materil maupun moril. e. Kesehatan. Dalam hidup berumah tangga, kesehatan sangat penting sekali artinya. Bahkan tidak hanya dalam hidup berumah tangga, tetapi bagi manusia seluruhnya, kesehatan sangat penting adanya. Oleh sebab itu, suami istri harus memelihara kesehatan jasmani dan rohani agar dapat melaksanakan tugas masing-masing. f. Hiburan. Agar suami istri dalam menjalankan tugasnya masing-masing tidak diliputi oleh ketegangan dan stres, maka sekali-kali perlu menikmati hiburan
segar yang sehat. Adapun bentuk hiburan ini tergantung pada situasi dan kondisi serta selera masing-masing asalkan hiburan itu dibenarkan oleh agama dan undang-undang serta dapat meredakan ketegangan syaraf setelah berfikir dan bekerja sepanjang hari. 4. Fungsi Rumah Tangga Serta Hak dan Kewajiban Suami Istri a. Fungsi Rumah Tangga Allah SWT yang menciptakan perbedaan antara suami istri amat mengetahui hasil ciptaanNya dan atas dasar kekuasaan dan pengetahuanNya, dia menetapkan tugas dan fungsi masing-masing serta menganugerahkan petunjuk dan batas-batas agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dalam memenuhi tugas-tugasnya. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, memiliki fungsi yang sangat penting dan strategi dalam membentuk kepribadian seseorang sebagai individu khususnya maupun sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Adapun fungsi keluarga tersebut adalah22: 1) Fungsi Edukatif Sebagai kepala rumah tangga, orang tua dalam keluarga mempunyai peran yang sangat penting. Kepala rumah tangga berkewajiban untuk melaksanakan pendidikan sedini mungkin terhadap anak-anaknya dalam keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama, maju mundurnya anggota keluarga ditentukan dengan pelaksanaan pendidikan di dalam keluarga. Ki Hajar Dewantara mengemukakan
22
dengan
konsep
tri
pusat
pendidikanya.
Pendidikan
yang
Sofyan Sauri, Membangun Komunikasi Dalam Keluarga: Kajian Nilai Religi, Sosial, dan Edukatif , (Bandung, PT. Genesindo, 2006) 80-120
dilaksanakan paling pertama adalah dalam keluarga, sejak anak lahir ke dunia, orang tua harus sudah mulai menanamkan pendidikan yang paling pertama. Mengenai fungsi edukatif keluarga, Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya seperti berikut:
4
&:
59 6
528 30
( 7 2 3:=>
1( (
7 '
-0
5164
7! < 6 )9 57;8
“wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari siksa neraka yang bahan-bahan bakarnya: manusia dan batu (berhala); neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras, kasar (layananya); mereka tidak durhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan mereka tetap melakukan segala yang diperintahkan”23
Dalam ayat di atas tersirat bahwa untuk keselamatan diri dan keluarga itu sudah menjadi kewajiban kepala keluarga untuk menjaga dan membimbing serta mengarahkan semua anggota keluarganya ke arah yang benar. Pendidikan yang mengikuti syari’at Allah lah yang harus dijalankan oleh kepala keluarga untuk mewujudkan proses dan tujuan tersebut. Pendidikan bagi anak adalah modal yang sangat penting dalam mengarungi kehidupannya. Pendidikan bagi anak harus diperoleh dan dimuali sejak pendidikan dasar sampai kepada pendidikan yang setinggi-tingginya. Mencari ilmu sejak kecil sampai masuk ke liang lahat, mengandung pengertian bahwa manusia tanpa ilmu akan sengsara hidupnya. Sebagai keluarga muslim seyogianya menerapkan pendidikan dasar kepada anaknya sebagaimana yang dicontohkan oleh Luqman dalam al-Qur’an, yaitu: 23
QS. At-Tahriim (66) : 6
a) Hendaknya bersyukur kepada Allah b) Jangan mempersekutukan Allah c) Agar berbuat baik kepada kedua orang tua d) Perintah orang tua wajib ditolak bila menyuruh kepada musyrik e) Yakin bahwa Allah akan membalas segala amalan f) Ajaklah anak-anak melakukan shalat dan beri contohlah tentang kesabaran g) Janganlah sombong dan angkuh h) Hendaklah berbicara dengan suara yang lembut 2) Fungsi Sosial Berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, mampu memegang norma-norma kehidupan secara Universal baik inter relasi dalam keluarga itu sendiri maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistik lintas suku, bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa, maupun jenis kelaminnya. Fungsi sosialisasi ini diharapkan anggota keluarga dapat memposisikan diri sesuai dengan status dan struktur keluarga, misalnya dalam konteks masyarakat Indonesia selalu
memperhatikan
bagaimana
anggota
keluarga
satu
memanggil
dan
menempatkan anggota keluarga lainnya agar posisi nasab tetap terjaga. 3) Fungsi Biologis Perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai yang berakal dan beradab. Fungsi Biologis inilah yang membedakan perkawinan manusia dengan binatang, sebab fungsi ini diatur dalam suatu norma perkawinan yang diakui bersama. Untuk mempertahankan hidup dan melanggengkan keturunan, manusia harus melakukan hubungan seksual yang diikat dengan sebuah pernikahan. Firman Allah:
A;5@ +> 2? 7
5@ 16
&'
=
)< 9
:
-
?
C< $
;?
'
8; 30
;
B
5164
) &< &
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu”
7
)
'
-. > = &? ?
('
?&<1&
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"24 4) Fungsi Religius Keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim keagamaan di dalamnya. Dalam Qs. Lukman ayat 13 mengisahkan peran orang tua dalam keluarga menanamkan Aqidah kepada anaknya sebagaimana yang dilakukan Luqman Al-Hakim terhadap anaknya.
"/# B% *$ A%. 7* G @@ ?H ' G @A < >EF!? *! 7*
(
<
D7
”Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
24
QS. An-Nisa (4): 1 ; An-Nahl (16) : 72
Pendidikan Islam sebagai pembimbing terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi semua jaran Islam. Bagaimanapun fungsi religius dalam keluarga sangat besar manfaatnya untuk merealisasikan hidup yang sungguh-sungguh demi keridhaan Allah SWT. Orang tua sebagai tokoh terkemuka dalam keluarga setidak-tidaknya harus menciptakan suasana atau iklim religius, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga. Tiga syarat untuk tercapainya hal tersebut di atas yakni, pertama cara hidup itu hendaknya sungguh-sungguh. Kedua, cara hidup hendaknya tampil dalam penghayatan anggota keluarga, khususnya anak, artinya terbuka dan dipersepsi oleh mereka. Ketiga, cara hidup itu hendaknya bermakna bagi mereka dapat menangkap arti dan maksud kehidupan seperti kehidupan yang sungguh dan berbobot keagamaan, bukan sekedar paksaan atau sandiwara belaka. Kewajiban orang tua untuk mengupayakan keluarga beragama, sejak anak lahir ke alam dunia hendaknya sudah dimulai pembinaan nilai-nilai agama, sebagaimana Rasul Muhammad SAW mendidik cucunya Hasan bin Ali dengan mengazaninya di telinga kanan dan mengqomati di telinga kiri, dan saat berusia tujuh tahun didik belajar menyembah kepada Allah dengan shalat yang benar, dan bila telah berumur sepuluh tahun tidak melakukan sholat maka dipukulnya, sebagai peringatan atau pendidikan. Dengan demikian keluarga merupakan awal mula seseorang mengenal siapa dirinya dan siapa tuhannya. Penanaman aqidah yang benar, pembiasaan ibadah
dengan disiplin, dan pembentukan. Kepribadian sebagai seorang yang beriman sangat penting dalam mewarnai terwujudnya masyarakat religius. 5) Fungsi Protektif Dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya. Gangguan internal dapat terjadi dalam kaitannya dengan keragaman kepribadian anggota keluarga, perbedaan pendapat dan kepentingan, dapat menjadi pemicu lahirnya konflik bahkan juga kekerasan. Kekerasan dalam keluarga biasanya tidak mudah dikenali karena berada diwilayah privat, dan terdapat hambatan psikis dan sosial maupun norma budaya dan agama untuk diungkapkan secara publik. Adapun gangguan eksternal keluarga biasanya lebih mudah dikenali oleh masyarakat karena berada pada wilayah publik. 6) Fungsi Rekreatif Bahwa keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah diseluruh aktivitas masing-masing anggota keluarga. Fungsi rekreatif ini dapat mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, saling menghargai, menghormati, dan menghibur masing-masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang, dan setiap anggota keluarga merasa “Rumahku adalah Surgaku” 7) Fungsi Ekonomis Fungsi ekonomis yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana keluarga memiliki aktivitas mencari nafkah pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan dan bagian memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik,
mendistribusikan secara adil dan proposional, serta dapat mempertangung jawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial maupun moral. b. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah Tangga 1) Tanggung Jawab Seorang Suami Setiap makhluk hidup mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban akan berjalan dengan baik jika dilakukan dengan tanggung jawab yang benar dan konsekuen. Dalam membina hubungan rumah tangga diperlukan sebuah tanggung jawab antara suami dan isteri. Tanggung jawab yang dilakukan dengan benar dan tepat akan menciptakan mahligai rumah tangga yang bahagia, sejahtera damai dan sentosa. Di antara tanggung jawab seorang suami adalah: 25 a) Memberikan nafkah pada Isteri Islam memerintahkan kepada sang suami agar memberikan nafkah pada isteri dan keluarganya. Karena di saat akad nikah telah dilaksanakan, disitulah kewajiban suami mulai dilaksanakan dengan memberikan nafkah kepada isteri, baik nafkah lahir maupun batin. Kebahagiaan keluarga tidak akan tercapai tanpa tercukupinya nafkah. Nafkah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan keluarga. Kebahagiaan keluarga sulit dicapai tanpa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ketiga hal tersebut merupakan saran mutlak bagi kehidupan manusia, terlebih lagi bagi suami istri.
25
Mahmud Mahdi Isatambul, “Tuhfat al’Arus”, diterjemahkan Ibnu Ibrahim, Kado Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 49-62
Islam telah memberikan ketentuan nafkah sebagai hak isterinya, baik orang kaya atau miskin. Kewajiban tersebut telah digariskan oleh Al-Qur’an dalam surat AlBaqarah ayat 233
J
.
+ ;5B
& +
7 & *
.
I$
“ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.”
Sesuatu yang menjadi keperluan suami maka termasuk keperluan isteri. Diantaranya memberikan nafkah, baik lahir maupun batin, memperlakukannya dengan baik, tidak menzalimi dan tidak mengusirnya, jika ada kesalahan kecil. b) Membimbing Isteri Dalam Kebaikan Kiat untuk mencapai mahligai rumah tangga yang bahagia dan harmonis adalah sikap saling memahami antara suami isteri. Bagi seorang suami harus mengetahui dan memahami tabiat isterinya dan bergaul dengan baik kepadanya. Hal demikian harus dilakukan oleh suami dengan memberikan sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan dirinya. Rasulullah SAW sering bercanda gurau dengan isteriisterinya, bahkan tak jarang Rasul ikut serta dalam pekerjaan rumah tangga. Pola hidup bersama antara suami isteri merupakan sebuah cerminan bagi keluarga, di mana suami harus pandai-pandai memperlakukan isterinya dengan baik, membantu pekerjaan rumah jika suami memiliki waktu luang. Dengan begitu tercipta suasana kebersamaan bukan nuansa diskriminasi dan perbudakan. c) Menciptakan Keluarga Agamis Islam menganjurkan bagi pemeluknya untuk mempelajari keilmuan, baik lakilaki atau wanita, apakah itu keilmuan secara umum atau keilmuan yang bersifat
keagamaan. Hal ini didasari karena menuntut ilmu merupakan kewajiban dan suatu kebutuhan dalam hidup. Allah SWT mengajarkan kepada hamba-Nya agar menjaga keutuhan keluarga dari siksa api neraka. Firman Allah SWT dalam surat
4
&:
59 6
528
30 K#
( 7
2
3:=>
1( (
7 '
7!
-0
5164
< 6 )9 57;8
“wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, di mana bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikatmalaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Bagi suami isteri sangat dianjurkan saling menasehati, terutama tugas seorang suami memberikan motivasi ibadah kepada isteri dan keluarga. Tujuan dari bimbingan suami kepada isteri dalam mengajarkan ilmu keagamaan diharapkan dapat meningkatkan nilai-nilai takwanya kepada Allah dan dapat menciptakan keluarga yang agamis, bahagia, dan sejahtera. Dalam Kompilasi Hukum Islam26, kewajiban suami terhadap istri dijelaskan secara rinci dalam pasal 80 sebagai berikut: 1). Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama; 2). Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 3). Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, dan bangsa. 4). Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung; Nafkah, kiswah 26
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: DIRJEN Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001 ) hal, 337-338
dan tempat kediaman bagi istri; Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak dan Biaya pendidikan bagi anak; 5). Kewajiban suami terhadap istri seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. 6). Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b; 7). Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (2) gugur apabila istri nusyuz. Dalam pasal 81, 1). Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anakanak, atau bekas istri yang masih dalam ‘iddah; 2). Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam ‘Iddah talak atau iddah wafat. 3). tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai penyimpanan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya. 2) Kewajiban bersama suami istri Kewajiban dan hak antara suami isteri pada dasarnya adalah seimbang. Keseimbangan ini dinyatakan dengan ungkapan “bagi isteri memiliki hak sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya yang dilaksanakan secara baik” dari ungkapan tersebut berarti bahwa istri memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh suami seimbang dengan hak yang dimiliki suami yang wajib dipenuhi oleh isteri, yang dilaksanakan dengan cara yang ma’ruf. Kewajiban dan hak antara suami istri dalam keluarga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: kewajiban suami yang merupakan hak isteri,
kewajiban isteri yang merupakan hak suami, serta kewajiban dan hak bersama antara suami isteri.26 Dalam Kompilasi Hukum Islam , kewajiban bersama suami istri dijelaskan secara rinci sebagai berikut; dalam Pasal 77 a) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. b) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. c) suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. d) Suami istri wajib memelihara kehormatannya. e) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. 5. Membangun Rumah Tangga Harmonis Membangun rumah tangga yang harmonis diperlukannya suatu pondasi untuk menjaga keutuhannya, diantaranya adalah: a. Komitmen. Dalam sebuah pernikahan, perbedaan harus diarahkan kepada misi ibadah dan satu tujuan, yaitu mencari ridha Allah. Karena itu perlu keduanya mempunyai kemauan yang kuat yaitu kemauan untuk mengikatkan diri ke satu tujuan, sehingga
27 28
Ibid., 336 Saifuddin Aman, Nikmatnya Berumah Tangga, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2006), 75-88
perlunya masing-masing mempunyai kemauan yang kuat yaitu kemauan untuk mengikatkan diri ke satu tujuan, sehingga perlunya masing-masing mempunyai komitmen yang kuat, suami dan istri harus komitmen: pertama, bahwa nikah adalah ibadah. Kedua pasangan harus berniat dari awal bahwa nikah adalah ibadah dan bertujuan mencari ridha Allah. Kedua, bersedia menerima pasangan hidup apa adanya. Ketiga, menanamkan pada diri bahwa jika terjadi sesuatu dalam rumah tangga itu akibat dari kesalahan bersama. b. Agama dan Norma Sosial Hidup bukan hanya rutinitas tanpa makna dan arti, agama yang telah diaplikasikan dalam hidup, akan membentuk ketahanan mental, dengan agama orang bisa menempatkan seluruh persoalan pada tempatnya, orang yang beragama akan selalu: bersabar, bersyukur, berserah diri, berfikir positif atau berbaik sangka, dan berjuang tak kenal lelah. c. Kedewasaan Perlu proses panjang untuk memilliki kematangan dan kedewasaan dalam berfikir dan bertindak. Perjalanan hidup dan pengalaman bersosialisasi adalah bagian dari proses. Masalah rumah tangga yang sangat banyak, masalah demi masalah harus di selesaikan dengan dialog menggunakan pendekatan penalaran akal yang sehat, bukan menggunakan perasaan. d. Kearifan dan Kebijakan Untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga diperlukan kearifan dan kebijaksanaan yang tepat dengan memperhatikan tiga hal yaitu: pertama, cara menyampaikan, kekerasaan tidak bisa menyelesaikan masalah, maka sampaikan dengan cara yang lembut. Kedua, waktu menyampaikan, memilih waktu yang tepat
untuk menyampaikan masalah dan kondisi orang tersebut. Ketiga, bahasa dan kalimat yang sopan dan enak didengar. e. Keterpaduan dan Kemitraan. Hidup satu atap antara suami dan istri yang baru melangsungkan pernikahan adalah hal baru, dan akan memunculkan hal-hal baru yang tidak pernah dilakukan, keduanya dituntut mempunyai keterpaduan dan kebersamaan, karena untuk kepentingan bersama. f. Romantisme dan Keindahan Rutinitas yang benar-benar membosankan, dan bosan adalah awal dari ketidak harmonisan. Dalam kehidupan rumah tangga yang dipenuhi masalah, seorang suami atau istri harus bisa memunculkan seni dan keindahan, seorang suami harus menunjukkan romantisme kepada istri, sebab wanita adalah makhluk yang romantis dan ingin diperlakukan dengan romantis. Definisi romantis adalah membuat indah segala sesuatu untuk mempengaruhi perasaan seseorang. C. Simbol Dalam Kajian Antropologi 1. Pengertian Simbol Simbol adalah obyek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk benda tertulis yang diberi makna oleh manusia.
Kata simbol berasal dari kata Yunani Symbolos yang
berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia simbol diartikan sebagai (lambang) sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambang
29
Achmad Fedyani Saifudin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pendekatan Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2006) 289
kesucian, gambar padi sebagai lambang kemakmuran: atau berarti juga tanda pengenal permanen (tetap) yang menyatakan sifat, keadaan dan sebagainya. Misalnya tutup kepala peci merupakan tanda pengenal tutup kepala Nasional Indonesia. Dalam dunia Antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik secara eksplisit maupun implisit. Edward Taylor, perintis Antropologi abad ke-19.31 “Kekuatan Penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pemikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung menghubungkannya sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam segi bahasa, yang kehadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental substansial” Antropologi simbolik memandang manusia sebagai pembawa dan produk, sebagai subjek sekaligus objek, dari satu sistem tanda dan simbol yang berlaku sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan. Simbol memberikan landasan bagi tindakan dan perilaku selain gagasan dan nilainilai.32 Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman terhadap obyek atau hal atau sesuatu yang memimpin pemahaman si subyek kepada obyek. Dalam tradisi atau tindakan para simbolisme selalu berpegang kepada dua hal pertama, kepada pandangan hidupnya atau filsafat hidupnya yang religius dan mistis.
30
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit., 568 Saifuddin, Op. Cit., 290 32 Ibid. 31
Kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya/pandangan hidupnya. 2. Makna Dan Tujuan Simbol Makna dan tujuan simbol dalam perspektif kebudayaan adalah : a. Dipakai sebagai tanda atau peringatan untuk memperingati suatu kejadian atau peristiwa tertentu, agar supaya segala kejadian atau peristiwa itu dapat diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenerasinya ataupun oleh masyarakat generasi-generasi berikutnya untuk dapat memenuhi maksud tersebut maka digunakanlah bahan-bahan dan alat-alat pembawa informasi, pengangkut informasi yang tahan lama, mudah ditangkap dengan indra manusia. b. Dipakai sebagai media atau perantara dalam religinya. Orang Jawa sangat memuja kepada Yang Maha Kuasa, dan juga sangat menghormati arwah moyangnya. Disamping itu mereka pun percaya bahwa Yang Maha Kuasa atau Tuhan, juga menciptakan dunia lain disamping dunia manusia yaitu alam halus di mana para makhluk halus berada. Untuk mengadakan komunikasi atau perhubungan dengan Yang Maha Kuasa, arwah nenek moyang dan makhlukmakhluk halus tersebut diperlukan suatu media atau perantara yang dapat dipakai untuk: 1) Memuja Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat yang di limpahkan kepada mereka. Untuk keperluan itu maka dibangunlah tempat-tempat pemujaan dengan segala sarananya. 2) Mendatangkan arwah nenek moyang untuk mintai berkah dan petunjuknya, untuk maksud itu maka dibuatlah boneka-boneka, wayang, sesajen, mantra, 33
Herusatoto, Op.Cit., 199-201
nyayian puji-pujian, untuk dipahami dalam upacara untuk mendatangkan arwah nenek moyang. 3) Memberikan makan dan minum bagi makhluk-makhluk halus yang bersifat baik dan yang selalu bersedia membantu atau melindungi kehidupan manusia, maka dilaksanakanlah dupa, sesaji dan barang-barang kesukaan mereka. 4) Membujuk makhluk-makhluk halus yang bersifat jahat agar menyingkirkan atau tidak mengganggu, untuk itu dipakai benda-benda penolak bala. Media perantara yang semula dipakai dalam upacara mendatangkan nenek moyang di kemudian hari semakin di sempurnakan sehingga berubah wujud menjadi kesenian yang sakral dikenal sebagai pertunjukan wayang. c. Dipakai sebagai media pembawa pesan atau nasehat. Sarana komunikasi yang ada masih sangat terbatas jangkauannya dan kurang tahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cuaca alam, maka dipakailah material yang tahan lama seperti batu-batu, bahasa lisan, suara, cahaya dan warna, serta tindakan simbolis. Untuk maksud itu dibuat atau dipakailah patung-patung, ungkapan-ungkapan, syair, cerita, kode atau isyarat dengan cahaya, suara dan warna serta upacaraupacara. D. Kajian Hukum Islam 1. Adat Istiadat (‘Urf) Dalam Hukum Islam a. Pengertian Adat Istiadat (‘Urf) Secara umum, adat dapat dipahami sebagai tradisi lokal yang mengatur interaksi masyarakat. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa adat adalah “kebiasaan” atau “tradisi” masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Kata “adat” di sini lazim dipakai tanpa membedakan mana yang mempunyai sanksi,
seperti “hukum adat”, dan mana yang tidak mempunyai sanksi, seperti disebut adat saja.
Adapun yang dikehendaki dengan kata adat dalam karya ilmiah ini adalah
adat yang tidak mempunyai sanksi yang disebut dengan adat saja.
+
, *
!"# $ % & ' *
)
$
()
!. / 0 !1!# -
Al-‘Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, yang berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan al-‘âdah. Dalam bahasa ahli syara’ tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan al-‘âdah. 35
:4 ; . 2
!3
#
54
678 "# !"# & '
9% 4
Al-‘âdah adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang terus-menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulangulanginya secara terus-menerus. 36 Memperhatikan definisi-definisi di atas, dan juga definisi yang diberikan oleh ulama-ulama yang lain, dapat dipahami bahwa Al-‘Urf dan Al-‘Âdah adalah searti, yang mungkin serupa perbuatan atau perkataan. Dan secara sederhana dapat dipahami bahwa adat harus: 1) Diketahui banyak orang atau harus memasyarakat. 2) Diamalkan secara terus menerus dan berulang. b. Macam-macam Adat (‘Urf) Menurut Al-Zarqa’, ‘Urf (adat kebiasaan) dibagi pada tiga macam:
34
Ensiklopedi Islam, Jilid I ( Cet.3; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), 21. Abdul Wahâb Khalâf, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqih (Cet. 12;tt: Al-Nashr Wal-Tauzîk, 1978/1398), 89. 36 Syarif ‘ali Muhammad Al-Jurjânîy, Al-Ta’rifaat, (Cairo: mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi (1938), 147 37 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Cet.2; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997),139-141. 35
1) Dari segi obyeknya ‘urf (adat istiadat) dibagi pada al-‘urf al-lafzhî (adat istiadat/ kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-‘amali (adat sitiadat/ kebiasaan yang berbetuk perbuatan). a) Al-‘urf al-lafzhî ( <=" )
) adalah adat atau kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan ungkapan tertentu dalam meredaksikan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. b) Al-‘urf al-‘amali ( "
)
) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan, yang dimaksud dengan “perbuatan biasa” adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. 2) Dari segi cakupannya, ‘urf dibagi dua, yaitu al-‘urf al-‘âm (adat yang bersifat umum) dan al’urf al-khâsh (adat yang bersufat khusus). a) Al-‘urf al-‘âm (>
)
) adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas
diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. b) Al-‘urf al-khâsh (? @ )
) adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu. 3) Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf dibagi dua yaitu: al-‘urf alshâhih (adat yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fâsid (adat yang dianggap rusak). a) Al-‘urf al-shâhih (A!BC )
) adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-
tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nâsh (ayat atau hadits),
tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. b) Al-‘urf al-fâsid (;% = )
) adalah kebiasaan yang bertentangan dengan
dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. c. Kehujjahan Adat (‘Urf ) dan Peranannya Dalam Hukum Islam Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa al-‘urf al-shâhih baik yang menyangkut al‘urf al-lafzhî, al-‘urf al-‘amali maupun menyangkut al-‘urf al-‘âm dan al’urf alkhâsh, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Menurut Imam alQarafi (ahli fiqh Maliki) bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemasalahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.
Imam al-Syathibi dan Ibn
Qayyim al-Jauzi juga menyatakan bahwa seluruh ulama mazhab menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum masalah yang sedang dihadapi. Misalnya, seseorang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia di dalam kamar mandi dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan hukum syari’at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti itu telah berlaku luas pada masyarakat, sehingga seluruh Ulama mazhab menganggap sah akad ini. Alasan mereka adalah adat perbuatan yang berlaku.
38
Ibid, 142.
Dari berbagai kasus adat yang dijumpai, para ulama’ ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan adat, diantaranya adalah:
Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan nash Adat bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:39 a. Berlaku secara umum. b. Telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. c. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. d. Tidak bertentangan dengan nash. 2. Walimah al-urs Perspektif Hukum Islam a. Pengertian Walimah al-urs Walimah al-urs terdiri dari dua kata, pertama kata walimah yang secara literal bermakna berkumpul, karena kedua mempelai pada hari itu dipersandingkan, kedua adalah kata al-urs bermakna perkawinan. Walimatul Ursy, diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi walimah.40 Menurut Sayid Sabiq, walimah secara harfiah diartikan berkumpul, sebab pada waktu itu antara suami dan isteri berkumpul. Adapun secara terminologi, walimah yaitu khusus untuk jamuan dalam acara pesta perkawinan.
39 40
Nasrun Haroen, Op.Cit., 143-144. Ensiklopedi Hukum Islam, Op. Cit., 1917
Masih menurut Sayid Sabiq, dalam kamus hukum walimah adalah setiap makanan untuk undangan dan lain sebagainya.41 Walimah atau pesta kawin adalah suatu yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Perkawinan adalah merupakan peristiwa yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup seseorang, maka sudah sewajarnya apabila kita sambut dengan rasa syukur dan gembira dan dirayakan dengan mengundang sanak saudara, handai taulan secukupnya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.42 Atas dasar pemikiran di atas, Islam mengajarkan supaya perkawinan diumumkan agar tidak terjadi kawin rahasia yang dilarang, dan untuk menampakkan kegembiraan dengan adanya peristiwa yang dihalalkan. Perkawinan supaya diberitahukan kepada umum agar diketahui orang banyak dan supaya mendorong yang belum kawin supaya berani kawin terutama untuk orang-orang yang suka hidup membujang.43 Menyiarkan perkawinan boleh dilaksanakan menurut adat sebab tiap-tiap masyarakat itu mempunyai adatnya sendiri-sendiri. Tetapi dalam syiar perkawinan ini tidak boleh disertakan dengan hal-hal yang haram seperti mabuk-mabukan, pergaulan yang bebas laki-laki dan perempuan dan lain sebagainya.44 Rasulullah SAW. Bersabda:
()
)
* )
! +,-
" #$ .! / & 8 (
$
&%
'$ 9 45
10
67
+2
3 10 &0 " .)! (
Nasrh bin Ali al-Jahdhami dan Khalil bin Amr menuturkan kepada kami, keduanya berkata: Isa bin Yunus menuturkan kepada kami dari Khalid bin Ilyas dari Rabi’ah 41
Sayid Sabiq, “ Fiqihus- Sunnah “, diterjemahkan oleh Mohammad Thalib, Fikih Sunnah . Jilid, 7 (Cet.1; Bandung: PT Al-Maarif, 1981), 166. 42 Soemiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1982).60. 43 H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam) (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) 25 44 Sayid Sabiq , Op. Cit., 159
bin Abdurrahman, dari Qasim, dari Aisah, Dari Nabi Saw bersabda: Umumkanlah perkawinan ini, bunyikanlah rebana.(HR. Ibn Majah: 1895).45 b. Makna Filosofis Disyari’atkannya Walimah. Ada beberapa makna filosofis yang terkandung disyariatkannya walimah, antara lain: 1) Dalam rangka mengungkap rasa syukur atas terjadinya peristiwa yang membahagiakan yang berupa perkawinan. Dalam ayat al-Qur’an disebutkan:
;N ;- . O# J+ 6 =P H M647D; EF 6 7G H 647I.$ +JKL K3 Dan ingatlah ketikan Tuhanmu memaklumkan”sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah ni’mat kepadaMu, dan jika kamu mengingkari ni’matKu, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS: Ibrahim: 7).46 2) Ihya’al-sunnah. Dengan menggelar walimah berarti cinta kepada Rasul dan penghidupan sunnahnya sebagian telah terealisasikan dalam kehidupan manusia. 3) Mempererat shilaturrahim dan membangun solidaritas sesama umat Islam. 4) Dalam rangka mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan dikemuadian hari. c. Hukum Hiburan Nyanyian Dalam Walimah Al-Urs Setiap penyelenggaraan walimah biasanya dibarengi dengan hiburan untuk menyemarakkan suasana pesta. Bagaimana hukumnya walimah yang ada hiburannya semacam nyanyian dan musik. Kebiasaan semacam ini sudah lazim serta telah membudaya bagi kehidupan masyarakat dari berbagai kalangan.
45 46
Sunan Ibnu Mâjah. Juz 1 hal 765 hadis ke 1895 QS Ibrahim (14) : 17
Sayid Sabiq menyatakan bahwa termasuk yang disenangi Islam adalah bernyanyi ketika walimah untuk menyenangkan dan membuat pengantin perempuan giat dengan catatan hiburannya sehat. Walimah ini wajib dijauhkan dari acara yang tidak sopan, porno, campur gaul antara laki-laki dan perempuan, begitu pula perkataan yang keji yang tidak pantas didengarkan. 47 Sedangkan Pendapat Masjfuk Zuhdi.48 Menurutnya, dalam masalah musik dan nyanyian, para ulama berbeda pendapat ada yang membolehkan ada yang mengharamkan. Adapun alasan yang membolehkan adalah antara lain: 1)
Q B "# 4 ! ; J ; 98 R8 .S T !G FU
4 VF
Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sehingga ada dalil yang jelas menunjukkan keharamannya. 2) Menikmati musik dan nyanyian itu sesuai dengan fitrah manusia dan instingnya (dzariah) yang memang suka kepada hal-hal yang enak, indah dan menyenangkan sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam Al-Qur’an :
1(
L & &
*!M),$ '
1 D) & 13
)& ,
-. ?
, "F3
CC
L %
$
(
01 = 1E " 4# G N
/0 D EL
“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan
47
Sayid Sabiq, Op., Cit., 179. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah; Kapita Selekta Hukum Islam (Cet. 7; Jakarta: Haji Masagung, 1994), 98-101. 48
perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali”(QS: Al-Imran: 14)".49
Menurut Islam, orang yang suka pada enam macam kesenangan hidup di dunia yang tersebut di atas tidaklah tercela, sebab kesukaan itu adalah sesuai dengan fitrah manusia dan instingnya (dzariah) yang diciptakan oleh Allah. 3) Islam tidak mematikan fitrah manusia dan instingnya (dzariah), akan tetapi mengatur, menyalurkan dan mengarahkannya ke arah yang positif yang diridhai Allah, dan agar tidak sampai melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah. Adapun alasan ulama’ yang mengharamkan adalah karena musik dan nyanyian itu adalah jenis hiburan, permainan, atau kesenangan yang bisa membawa orang lengah, lalai dari melakukan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap agama, terhadap diri sendiri dan keluarganya maupun terhadap masyarakat dan negara. Tampaknya dalil syar’i yang digunakan ulama yang mengharamkan musik dan nyanyian adalah saddu al-zari’ah, yang artinya menutup atau mencegah hal-hal yang dapat mengantarkan orang ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut Masjfuk Zuhdi sendiri, saddu al-zari’ah yang dijadikan dalil untuk mengharamkan musik dan nyanyian itu kurang tepat, karena bakat musik dan nyanyi tidak bertentangan dengan fitrah dan insting (dzariah) manusia yang memang suka pada kesenian, keindahan dan kelezatan. Karena itu, musik dan nyanyian pada dasarnya mubah, maka hukumnya tergantung kepada niat pelaksanaannya dari yang bersangkutan. Jika bakat musik dan nyanyi digunakan untuk sarana dakwah, maka pekerjaan ini dipandang sebagai ibadah. Dan sebaliknya, jika mereka menggunakan 49
QS. Al-Imran (3): 14.
bakat dan keahliannya untuk membangkitkan nafsu seks, apalagi kalau disertai dengan atraksi dan hidangan yang dilarang oleh agama, misalnya dansa dan minuman keras, maka jelas pekerjaannya dipandang sebagai maksiat. Untuk lebih jelasnya tentang boleh tidaknya suatu hiburan pada walimah, perlu disimak hadits:50
10
+$ ! $ 7 : + , 10 4 ; < , . + $ ) 4 &0 " ' $ = ($! &0 ? /> C 6 46> 6# * 2$ ? @* ' > ) 8A A ) 8A A ; ! + .)! ( () ) () #F > $ . 2 D > /A $ > /A # . A" 6) - E () G) 3 # F > $ . 2 $ H /A I> 67
01
! B 5 ' &% ! A $01 &0 />
Abu Bakar bin Abu Syaibah menuturkan kepada kami, Yazid bin Harun menuturkan kepada kami, Hammad bin Salamah menuturkan kepada kami dari Abu Al-Husain yang bernama Khalid Al-Madani berkata: kami dulu pada hari Asyura’ pernah berada di kota Madinah dan para gadis memukul rebana serta bernyanyi. Lalu kami masuk ke tempat Rybayi’ binti Muawwidz dan kami ceritakan kejadian itu kepadanya, lalu ia berkata, “Rasulullah Saw pernah masuk ke tempat saya pada pagi hari pengantinku dan disisiku ada dua orang anak perempuan yang sedang bernyanyi dan memukul rebana dan menyanyikan ‘ Bapak-bapak kami yang telah tewas ketika perang Badar, dan kedua perempuan itu dalam nyanyiannya berkata, di tengah kami hadir seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari” saat itu beliau bersabda,’apa-apaan ini?jangalah kamu ucapkan sekali lagi. Tidak ada yang mengetahui kejadian hari esok selain Allah.” (HR Ibn Majah: 1887).51
Dari hadits di atas ditegaskan bahwa menyanyi bukan suatu perbuatan yang dilarang selama nyanyian itu tidak melewati hal-hal yang dilarang oleh Islam. Karena itu hukum menyanyi adalah mubah. Demikian juga pada walimah, orang dibolehkan memeriahkannya dengan bernyanyi, bahkan ada sebagian ulama yang
50
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan (Cet.1; Yogyakarta: Darussalam, 2004), 183-186. 51 Sunan Ibnu Mâjah. Juz 1 hal 765 hadis ke 1887
berpendapat bernyanyi pada walimah hukumnya sunnah, karena untuk menghibur orang yang punyak hajat agar benar-benar berada dalam puncak kebahagiaan.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Paradigma dan Pendekatan Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang disiplin ilmu pengetahuan.52 Paradigma dapat juga diartikan sebagai kerangka keyakinan yang mengandung komitmen intelektual yang diterima secara keseluruhan. Paradigma adalah kumpulan longgar dari sebuah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proporsi yang mengarahkan cara berfikir dan penelitian.53 Dari pengertian paradigma di atas dapat diambil benang merah bahwa paradigma menjadi sebuah Frame of Mind penelitian. Di dalamnya memuat konsep dan map (peta) kajian secara
52
Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan: Ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi(Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006),9 53 Lexi J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 1995), 30.
menyeluruh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma Antropologi Hukum. Antropologi adalah pemahaman ilmiah tentang tingkah laku sosial dan kultural manusia serta pemahaman ilmiah secara sistematik terhadap distribusi. Antropologi ini melakukan strartnya sebagai ilmu tentang evolusi manusia, masyarakatnya serta kebudayaannya dan kemudian ilmu tentang sejarah perubahan kebudayaankebudayaan manusia di muka bumi54. Suatu segi ilmu antropologi yang menonjol ialah pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia. Karakteristik antropologi hukum memang terletak pada sifat pengamatan, penyelidikan, serta pemahamannya secara menyeluruh terhadap kehidupan manusia. Antropologi dapat digunakan untuk memahami tradisi dan mata rantai intelektual yang tumbuh dan berkembang dalam lingkaran kebudayaan atau peradaban. Sedangkan model pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan Etnografi. Penelitian
etnografi
adalah
penelitian
untuk
mendeskripsikan
kebudayaan
sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan-pandangan hidup subyek berpikir, hidup, dan berperilaku.55 Kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat.56 Sedangkan Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research).
54
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), 333 Suwardi Endraswara, Op.Cit., 207 56 Ibid., 207 55
B. Metode Penelitian 1. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data tersebut dapat diperoleh57. Sumber data yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.58 Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan baik yang berupa hasil observasi ataupun yang berupa wawancara dengan para pihak yang berkompeten dalam memberikan informasi tentang Tradisi Perang Bangkat dalam perkawinan adat masyarakat suku Using Kemiren Banyuwangi, seperti tetua adat desa Kemiren yang dianggap mengetahui secara mendetail tentang tradisi tersebut. b. Sumber Data Sekunder adalah data-data yang diperoleh dari sumber kedua yang merupakan pelengkap. Data ini diperoleh dari dokumen-dokumen Kantor Perangkat Desa Kemiren, buku-buku, artikel, majalah-majalah serta informan lain seperti kedua pengantin dan orang tua pengantin yang melaksanakan tradisi Perang Bangkat. 2. Metode Pengumpulan Data Dalam memperoleh informasi kita memperhatikan tiga macam sumber, yaitu berupa orang (person), tempat (place) dan simbol (paper)59. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
57
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107 58 Marzuki, Metodologi Riset (Yogyakarta: Adipura, 2000), 62 59 Suharsimi Arikunto, Op. Cit.,107
a. Observasi Observasi adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diselidiki.60 Penelitian ini memakai metode observasi (pengamatan) karena memungkinkan peniliti untuk melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek penelitian, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para subjek. Dalam hal ini, peneliti melakukan observasi atau pengamatan secara langsung terhadap tradisi perang bangkat dengan melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Metode ini digunakan untuk mengetahui lansung pelaksanaan tradisi perang bangkat di desa Kemiren. Observasi ini dilakukan pada tanggal 25 Agustus 2007 dirumah bapak shaleh dan ibu Asminah, ketika mengadakan ritual tradisi perang bangkat untuk anak kemunjilannya yakni pasangan sesama kemunjilan Sri Wahyuni dan Yulianto. b. Wawancara (Interviuw) Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengar secara langsung informasi-informasi
atau
keterangan-keterangan.
Pedoman
wawancara
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, bebas terstruktur dengan menggunakan panduan pertanyaan yang berfungsi sebagai pengendali agar proses wawancara tidak kehilangan arah. Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara dengan tetua adat desa Kemiren yang mengetahui secara mendalam tentang tradisi Perang Bangkat dalam perkawinan suku Using Kemiren,
60
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 70
dan pasangan pengantin yang melaksanakan tradisi Perang Bangkat dalam perkawinan mereka serta orang tua pengantin. 3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Dalam rangka mempermudah dalam memahami data yang diperoleh dan agar data terstruktur secara baik, rapi dan sistematis, maka pengolahan data dengan beberapa tahapan menjadi sangat urgen dan signifikan. Adapun tahapan-tahapan pengolahan data adalah: a. Editing Proses editing adalah meneliti kembali catatan peneliti untuk mengetahui apakah catatan tersebut sudah cukup baik dan dapat segera dipersiapkan untuk keperluan proses selanjutnya61. Dalam proses ini, peneliti juga akan mencermati bahan-bahan yang telah dikumpulkan dengan membuang hal-hal yang tidak berhubungan dengan penelitian. b. Clasifying Mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau permasalahan tertentu untuk mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan kebutuhan penelitian. c. Verifying Proses verifying adalah memeriksa kembali (menelaah secara mendalam) data dan informasi yang diperoleh dari lapangan agar validitasnya bisa terjamin. Dalam proses ini, peneliti akan melakukan cross check terhadap data yang telah dikumpulkan apabila diperlukan.
61
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), 206
d. Analyzing Proses analyzing akan dilakukan dengan menggunakan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya diantaranya menggunakan teori keharmonisan rumah tangga dalam menjelaskan makna simbol-simbol dalam tradisi Perang Bangkat serta menggunakan teori antropologi hukum tentang Simbol dan kajian Urf serta kajian walimatu ’ursy sebagai pendekatan terhadap jiwa tradisi tersebut. Dengan proses ini, peneliti akan menganalisa dan menyajikan data-data yang diperoleh dari lapangan baik dari observasi maupun wawancara dalam bentuk diskriptif kualitatif yakni metode penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. e. Concluding Proses concluding adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah untuk mendapatkan jawaban62. Dalam proses ini peneliti akan menyimpulkan hasil temuan-temuan dari lapangan untuk menjawab permasalahan dalam rumusan masalah. C. Profil Subjek Penelitian 1. Tokoh Adat Nama
: Djohadi Timbul
Umur
: 56 tahun
Pekerjaan Alamat
: Modin desa Kemiren : Dusun Krajan RT 03/04, Desa Kemiren
62 Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2001), 89
Peneliti memilih bapak Djohadi Timbul karena beliau merupakan ssatu-satunya tokoh adat, tokoh agama dan perangkat desa di desa Kemiren. Beliau mempunyai banyak pengetahuan mengenai adat istiadat yang eksis di desa Kemiren. 2. Orang tua Pengantin a. Bapak Pengantin perempuan Nama
: Shaleh
Umur
: 47 tahun
Pekerjaan
: Tani
Alamat
: Dusun Krajan RT 03/04, Desa Kemiren
b. Ibu Pengantin perempuan Nama
: Asmiyah
Umur
: 40 tahun
Pekerjaan
: Tani
Alamat
: Dusun Krajan RT 03/04, Desa Kemiren
Peneliti memilih bapak Shaleh dan bu Asmiyah sebagai salah satu informan atas rekomendasi dari bapak Djohadi Timbul. Karena beliau berdua adalah orang tua yang akan menggelar ritual tradisi perang bangkat pada tanggal 25 Agustus 2007. 3. Kedua Pengantin Nama
: Yuliono
Umur
: 22 tahun
Pekerjaan : Karyawan Wisata Using Kemiren Alamat
: Dusun Krajan RT 03/04, Desa Kemiren
Nama
: Sriwahyuni
Umur
: 20 tahun
Pekerjaan
: Guru Sekolah Dasar
Alamat
: Dusun Krajan RT 03/04, Desa Kemiren
Peneliti memilih mereka berdua sebagai salah satu informan karena mereka yang wajib melaksanakan tradisi Perang Bangkat.
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Paparan Data 1. Obyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, sebagai hasil dari suatu penjajagan, dengan alasan bahwa di desa tersebut terdapat sejumlah warga masyarakat berbudaya yang menjadikan adat istiadat sebagai faktor terwujudnya rumah tangga harmonis, adat istiadat tersebut adalah tradisi perang bangkat. Selain itu yang menarik dari lokasi ini adalah pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi mencanangkan desa Kemiren sebagai daerah wisata Using63. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk desa Kemiren
63
Lokasi wisata cagar budaya Banyuwangi
merupakan masyarakat yang teguh menjaga dan melestarikan budaya Blambangan (budaya Banyuwangi)64 a. Keadaan Geografis Desa Kemiren terletak disebelah timur kota Banyuwangi yang berjarak kurang lebih 5 km dan dari pusat pemerintahan kecamatan Glagah kurang lebih 2 km. Secara administratif desa tersebut terdiri dari dua dusun yakni dusun Krajan dan dusun Kedaleman. Desa Kemiren berbatasan dengan desa-desa lain, sebelah utara dibatasi oleh desa Jambesari, di sebelah selatan berbatasan dengan desa Olehsari, sebelah barat dibatasi oleh desa Taman suruh dan desa Banjarsari disebelah selatan. Luas wilayah desa Kemiren 177052 Ha, dengan perincian sebagai berikut: tanah persawahan luasnya 123890 Ha, Tanah pekarangan 9766 Ha, tanah tegalan 21520 Ha, tempat rekreasi 2700 Ha dan lain-lain 19176 Ha. Wilayah desa ini berada pada dataran rendah tepatnya di kaki gunung Ijen, dengan perincian ketinggian tanah dari permukaan laut 144 M, curah hujan 2000 mm/th dan suhu udara rata-rata adalah 22-26 Cº. Hal inilah yang menjadikan desa Kemiren berudara sejuk dan segar serta bertanah subur. b. Keadaan Penduduk. Penduduk desa Kemiren berjumlah 2829 jiwa, yang tersebar di dua dusun, dusun Krajan dan dusun Kedaleman. Dengan Perincian menurut jenis kelamin, laki-laki 1250 orang dan 1378 perempuan dan terbagi dalam 903 KK (Kepala Keluarga). Mayoritas penduduk desa Kemiren adalah muslim sedangkan sebagian kecil agama lain. Suku Using merupakan suku mayoritas yang tinggal di desa tersebut tetapi ada sebagian kecil pendatang yang bukan suku asli Using. 64
Aekanu Hariyono, Wawancara (Banyuwangi, Dinas Pariwisata Kab. Banyuwangi, 30 Januari 2007)
c. Keadaan Pendidikan. Dalam masalah pendidikan, penduduk desa Kemiren merupakan penduduk yang tingkat pendidikannya rendah. Dengan jumlah terbanyak dari tamatan SD. Rendahnya pendidikan di desa Kemiren diakibatkan beberapa faktor, yakni faktor ekonomi, letak sarana pendidikan yang jauh dari tempat tinggal dan minimnya kesadaran akan pentingnya pendidikan.65 Adapun sarana pendidikan yang ada di desa Kemiren tercatat hanya terdapat dua sarana pendidikan yakni satu Sekolah Dasar dan satu taman kanak-kanak, yang kesemuanya terletak di dusun Krajan. d. Keadaan ekonomi penduduk Mata pencaharian penduduk desa Kemiren beragam, dari setiap sektor lapangan pekerjaan yang terdapat di Banyuwangi, hampir semua ragam lapangan pekerjaan menjadi mata pencaharian mereka. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat desa Kemiren sebagai penyedia jasa. e. Kebudayaan Desa Kemiren Selain tardisi perang bangkat, ada juga beberapa adat perkawinan yang masih eksis di desa Kemiren, beberapa adat yang masih hidup ditengah-tengah mereka yang tetap dipertahankan adalah Colongan, ngeloboni dan tradisi adu tumper Colongan dan ngeleboni merupakan prosesi lamaran atau dalam Islam dikenal dengan khitbah (meminang) akan tetapi keduanya mempunyai perlakuan yang berbeda. Adat perkawinan ini bukan merupakan ritual akan tetapi adab atau tata cara meminang seorang gadis. Colongan dilakukan dengan mencuri anak gadis yang telah dipilih dan sir-sirane’ (yang disukai) untuk dijadikan istri yang sah. Hal ini 65
Djohadi Timbuk, Wawancara (Desa Kemiren, 25 Agustus)
dilakukan karena pemuda yang melarikan gadisnya mempunyai harga diri yang tinggi, menurut masyarakat suku Kemiren harga diri pemuda yang melakukan colongan adalah pemuda yang siap lahir batin, sandang dan papan.(mandiri). Sedang pemuda yang melakukan adat lamaran ngeleboni menurut masyarakat desa Kemiren adalah pemuda yang rendah harga dirinya, karena cara tersebut memberi makna bahwa pemuda tersebut miskin dan belum siap lahir batin akan tetapi tetap memaksa untuk menikah sehingga pemuda tersebut harus ikhlas bekerja untuk mertuanya. Ngeleboni dilakukan dengan cara memasuki rumah kedua orang tua si gadis dengan membawa seorang wakil untuk berbicara baik-baik tentang niat pemuda tersebut untuk menikahi anak gadisnya. Adu Tumper merupakan ritual perkawinan bagi perkawinan anak pertama, ritual ini timbul karena adanya kepercayaan bahwa apabila tidak dilakukan perang tumper, rumah tangga anak tersebut tidak akan pernah tentram, karena saling berebut tua, tidak ada yang mau mengalah. Dengan diadakannya upacara tersebut, digambarkan orang tumper itu sebagai peperangan nafsu melawan nafsu, salah satu nafsu harus dikalahkan. f. Sejarah Desa Kemiren dan Banyuwangi. Menurut sejarahnya, Banyuwangi dan suku Using diawali dari kerajaan Blambangan yang muncul di sekitar abad ke 18. Kerajaan Blambangan merupakan bagian dari kerajaan Majapahit yang terletak di ujung timur Jawa Timur. Seperti halnya kerajaan Majapahit, kerajaan Blambangan bercorak Hindhu-Budha. Kekuasaan kerajaan Blambangan meliputi seluruh daerah Kabupaten Banyuwangi, sedangkan pusat kerajaannya adalah di pusat kota Banyuwangi yakni di daerah alunalun kota Banyuwangi.
Setelah kerajaan Majapahit runtuh akibat munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, maka kerajaan Blambangan mulai menjadi rebutan tiga kerajaan yakni kerajaan Bali, kerajaan Mataram dan kerajaan Pasuruan. Sedangkan para pemimpin dan keluarga bangsawan kerajaan Blambangan mengungsi di daerah-daerah di sekitar kaki lereng gunung Ijen yang salah satunya di desa Kemiren. Hal ini ditandai dengan masih lestarinya patung-patung, kendaraan-kendaraan dan simbol kerajaan Blambangan di desa tersebut yakni berupa rumah adat, dokar, dan Barongan. Meskipun kerajaan Blambangan diruntuhkan dan melarikan ke kaki lereng gunung Ijen, mereka tidak membangun kembali kerajaan Blambangan di desa Kemiren akan tetapi takluk kepada kepemimpinan kerajaan Pasuruan Islam. Hal ini dikarenakan kerajaan-kerajaan tersebu menganbil seluruh daerah-daerah kekuasaan kerajaan Blambangan dan menduduki daerahnya masing-masing. Seperti kerajaan Pasuruan berkuasa di daerah kaki gunung Ijen, pusat kekuasan Blambangan (Banyuwangi kota) dan daerah-daerah sebelum daerah Alas purwo sedangkan kerajaan Mataram menduduki daerah di sekitar Alas Purwo. Dari sejarah perebutan kekuasan kerajaan Islam di atas, berdampak besar tehadap rakyat Blambangan yakni mereka mulai adaptif terhadap ajaran-ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan agama Islam sebagai Agama mayoritas yang diyakini oleh masyarakat suku Using Banyuwangi dan mulai mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam budaya lokal seperti tradisi perang bangkat.
2. Tradisi Perang Bangkat, Sejarah, Pengertian dan Pandangan masyarakat suku Using Kemiren. a. Tradisi Perang Bangkat pada Zaman Blambangan Tradisi perang bangkat sudah ada sejak zaman Blambangan, akan tetapi mempunyai perbedaan dari segi kemasan, filosofinya dan prosesinya. Dari penelusuran para budayawan Banyuwangi, Tradisi perang bangkat di zaman Blambangan adalah upacara adat perkawinan bagi kemunjilan (anak bungsu) yang menikah dengan sesama kemunjilan atau selainnya. Sedangkan peras (sesaji) yang disediakan adalah alat pertanian yang serba kecil (peras pikul), alat-alat dapur (peras suwun), padi seikat, ketan seikat, jiwawut seikat, bunga jambe satu tongkol, daun berbunga merah, daun berbunga kuning, bermacam-macam kerupuk, tiga jenis air; air laut, air gowok (air yang berasal dari hujan yang menggenang pada lobang kayu), ayam dan telur, satu kantong besar rempah-rempah, sebuah benda peninggalan dalam satu kotakberukurantinggi 25 cm, lebar 15 cm, dan panjang 25 cm, terbungkus kain rapi dan dijahit yang tidak boleh dibuka siapapun, kupat, uang logam hasil pungutan dari sanak saudara, dan kain putih (lawon). Sedangkan upacara tradisi perang bangkat, pertama, saat surub mempelai pria diarak ke rumah mempelai perempuan bersama dengan para ahli waris dan pawang adat. Setelah di depan pintu rumah mempelai perempuan, kain lawon di pasang membentang di depan mempelai pria dan perempuan, kemudian para pawang mulai bersajak bersahut-sahutan sampai ada salah satu dari pawang kalah (tidak mampu menjawab), maka dengan kekalahan itu para mempelai diijinkan untuk bersatu dan
kemudian uang hasil pungutan di tuangkan dimuka mempelai berdua sambil di kelilingi sanak saudara kemudian uang dikosek.66 b. Pengertian Tradisi Perang Bangkat Pengertian tradisi perang bangkat sebenarnya telah dipaparkan pada latar belakang masalah, namun tidak begitu rinci. Maka agar kajian ini terbangun secara sistematis diperlukan paparan mendetail dari interpretasi informan sebagai data yang didapatkan dari lapangan. Tradisi perang bangkat adalah upacara adat perkawinan bagi kemunjilan yang menikah dengan sesama kemunjilan atau salah satu dari mereka kemunjilan dengan harapan kehidupan rumah tangganya bahagia. Sedangkan secara bahasa perang adalah melawan sedang bangkat berasal blangkep yakni bersama-sama. Sehingga Jika kosa kata perang bangkat digabungkan didapatkan makna yakni melawan bersama-sama. Secara analitis penggunaan kosa kata perang bangkat pada penyebutan tradisi ini, dikarenakan dalam prosesi tersebut terdapat prosesi perangperangan antara pengantin pria dan pengantin perempuan sebagai wujud perang terhadap sifat psikis anak kemunjilan (bungsu) yakni manja serta kekanak-kanakan. Dengan prosesi perang-perangan, terkandung harapan orang tua agar anak kemunjilan mereka mampu melawan sifat-sifat manja dalam diri mereka. Masyarakat suku Using Kemiren mempunyai dua sebutan untuk tradisi ini, yakni tradisi perang bangkat dan ngosek punjen. Namun keduanya mempunyai persamaan. Ngosek punjen adalah prosesi seremoni mengantarkan anak kemunjilan ke dalam kehidupan berumah tangga dengan kegiatan yakni ngosek punjen (mengusap sari,
66
Peneliti mendapatkan data ini dari wawancara dengan budayawan Banyuwangi Achmad Kuncoro.
sari dalam bahasa Using adalah uang) di dalam tampah yang dilakukan oleh seluruh ahli waris anak kemunjilan. Penjelasan di atas sesuai penuturan Djohadi Timbul selaku tetua adat, sebagai berikut: “Perang Bangkat ikau kemunjilan musuh kemunjilan, opo kemunjilan karo seliane’ kemunjilan, perang bangkat ikau ngilangaken sengkolo’, adung anak kemunjilan dibanding ambi dhulur penghulu mageh kekanak-kanakan. Bedho ambi penghulu, penghulu lancar pikirane kadung kemunjilan pikirane magih mbok-mboken . Dadhi perang bangkat muko gawe ngilanakno sifat kekanak-kanakan ambi nyangoni anak.” Artinya: Perang bangkat adalah anak bungsu dengan anak bungsu atau selain anak bungsu (salah satu bukan anak bungsu), perang bangkat adalah ritual menghilangkan sifat kekanak-kanakan anak bungsu karena anak bungsu berbeda dengan anak sulung yang masih kekanak-kanakan. Anak sulung lebih dewasa dalam berfikir kalau anak bungsu manja dan kekanak-kanakan. Jadi perang bangkat adalah ritual untuk menghilangkan sifat manja dan kekanak-kanakan serta sekalian memberi bekal anak dalam mengarungi biduk rumah tangga.
Pada dasarnya keyakinan masyarakat Kemiren tentang adanya mitos seputar tradisi perang bangkat disebabkan cerita turun temurun dari nenek moyang adanya salah satu masyarakat desa Kemiren yang pernah mokhal atau teledor tidak melaksanakan tradisi ini sehingga berakibat kedua pengantin baru itu sering sakitsakitan dan bertengkar. Dari sebab itulah masyarakat desa Kemiren tidak pernah meninggalkan tradisi perang bangkat dalam perkawinan anak kemunjilan.67selain dari pada itu, masyarakat suku Using Kemiren teguh memegang tradisi ini karena budaya merupakan pengalaman hidup warisan nenek moyang yang berisi nasehat hidup untuk kebaikan generasi berikutnya.
67
Djohadi Timbul, Wawancara, (Desa Kemiren, 20 Agustus 2007)
c. Latar Belakang di selenggarakan Tradisi Perang Bangkat Keajegan tradisi perang bangkat di desa Kemiren tidak terlepas dari latar belakang sejarah nenek moyang, sejarah tradisi ini mengandung ajaran filosofi para leluhur yang dikemas ke dalam sebuah upacara yang sarat akan simbol-simbol yang penuh makna atau ajaran kehidupan berumah tangga. Dari sejarah inilah masyarakat suku Using mengetahui pentingnya tradisi ini bagi kebahagiaan kehidupan rumah tangga anak kemunjilan. Menurut bapak Djohadi Timbul selaku tetua adat di desa Kemiren, Sejarah tradisi perang bangkat ini bermula dari beberapa alasan: 1) Kegelisahan orang tua zaman dahulu saat akan melepaskan anak kemunjilan mereka untuk mengarungi kehidupan berumah tangga. Hal ini disebabkan, anak kemunjilan identik dengan anak manja serta kekanak-kanakan, sehingga ditakutkan tidak akan mampu mengarungi kehidupan berumah tangga yang dibutuhkan sikap dan sifat kedewasaan; 2) Adanya perbedaan umur yang jauh antara saudara yang satu dengan yag lain akibat kebiasaan nenek moyang mempunyai banyak anak. Sehingga ketika saudara-saudaranya menikah, dengan sendirinya mereka mengurus keluarganya sendiri-sendiri sehingga anak kemunjilan merasa kemunjilan (sendiri/terkucil) tidak ada lagi saudara-saudara yang memperhatikan. 3) Anak kemunjilan selalu mendapat harta sisa-sisa karena semua harta telah diberikan kepada kakak-kakanya secara herarki. Hal ini mengakibatkan anak
kemunjilan mendapatkan harta lebih sedikit serta tidak berharga, sehingga anak kemunjilan menjadi kerantan-rantan.68 Dengan berbagai alasan di atas, maka para leluhur desa Kemiren mengadakan ritual perang bangkat yang dalam setiap pelaksanaannya mengandung makna filosofi yakni sebagai sarana pemberian wejangan (nasehat) dalam mencapai kebahagian rumah tangga serta bentuk perhatian saudara-saudara kepada saudara kemunjilan dalam hal materi dan psikologis (wejangan dengan bentuk simbol-simbol sedang ngosek punjen adalah bentuk perhatian keluarga. d. Pandangan Masyarakat suku Using Kemiren Terhadap Tradisi Perang Bangkat Tradisi perang bangkat merupakan salah satu adat istiadat yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku Using Kemiren, bagi mereka tradisi tersebut mempunyai nilai-nilai luhur dalam setiap prosesi yang dijalankan. Secara umum masyarakat suku Using Kemiren sepakat untuk melestarikan, tanpa ada perbedaan pandangan atau keterpaksaan. Menurut mereka, tradisi perang bangkat adalah adat istiadat yang harus tetap dilestarikan dan dijaga sebagai eksistensi nenek moyang. Hal ini seperti dituturkan oleh bapak Djohadi Timbul selaku tetua adat desa Kemiren merangkap sebagai modin didesa tersebut. Anane pelaksanaan punjenan ikau dimulai reng zamane nenek moyang bengen, teko nenek moyang sampe’ diuri-uri sampe’ saikai kerono ninggalaken seng wanai ono sangsine ikau engko’ ya kediagau, biyen ono’ uwong ceritane mbah-mbah biyen seng ngosek punjen ikau ono sangsine moro-moro loro seng marai – marai sampe’ rambute gundul terus takon neng sesepuh deso jare wong tuek kemiren di itung-itung ikai ditageh punjen tapi mergo lalai mergo mokhal kedigau serto disaur mari a’;ikau mbengen kadung saiki wajib dilasaknano gawe lestarikno adat.
68
Kerantan-rantan dalam bahasa jawa adalah nelongso sedangkan dalam bahasa Indonesia adalah khawatir
Arti dalam bahasa Indonesia adalah Adanya pelaksanaan punjenan (tradisi perang bangkat) dimulai dari zaman nenek moyang dulu, dari nenek moyang sampai sampai karena meninggalkan tidak berani ada sangsinya, dahulu ada orang ceritanya mbah-mbah dulu yang tidak melaksanakan ngosek punjen tiba-tiba sakit tidak selesai-selesai sampai rambutnya botak selanjutnya bertanya ke sesepuh desa katanya orang tua kemiren di hitung-hitung ini diminta punjen tapi karena lupa tapi setelah dilakukan sembuh. Itu tadi dahulu sekarang itu wajib dilaksanakan untuk melestarikan adat. Hal sama juga dituturkan oleh bapak Shaleh. Bagi beliau tradisi perang bangkat merupakan warisan leluhur yang harus diterima dan dijaga. Beliau mengibaratkan adat istiadat dengan harta warisan, harta warisan adalah harta peninggalan yang paling berharga dari orang tua yang diberikan kepada keturunannya untuk kemaslahatan anak cucunya. Selain itu tradisi ini, dijadikan ajang berkumpulnya saudara-saudara sekaligus menambah kemeriahan acara perkawinan putra - putri mereka. Berikut penuturan Shaleh: ngosek punjen ikau adate kemiren, warisan soko leluhur bengen. Kadung wes warisan khudu diterimo podho baen karo warisan omah, tanah soko wong tue’. Kedigau ikau kangge apik’e awake dhewe. Maneh acara-acara kedigau ikau biasane kangge rame-rame, kumpul-kumpul dhulur-dhulur. Kadung sangsi adat ikau kan gawe wong kang mokhal, heng ngelaksanakno adat, bedho kadung seng ngelaksaknakno seng apuo-apuo. Mangkane ingson ngelaksanakno mene seng kene’ ambhi gawe ngelestarikno adate mbah bengen.
Arti dalam bahasa Indonesia: Ngosek punjen itu adatnya Kemiren, warisan dari leluhur. Kalau sudah warisan harus diterima sama juga dengan warisan rumah dari orang tua. Tradisi itu buat kebaikan kita. Acara-acara seperti itu biasanya buat ramairamai, kumpul saudara-saudara. Kalau adat itu buat orang yang salah, yang tidak melaksanakan adat, berbeda dengan yang melaksanakan. Makanya saya melaksanakan biar tidak terkena sangsi dan juga sekaligus melestarikan adat nenek moyang.
3. Pelaksanaan Tradisi Perang Bangkat a. Prosesi Tradisi Perang Bangkat Pada dasarnya ritual pelaksanaan tradisi perkawinan di desa Kemiren diawali dengan akad nikah sebagai pertanda syahnya perkawinan. Bagi masyarakat suku Using kemiren, kewajiban sebagai masyarakat beragama lebih diutamakan, sedang adat perkawinan dilaksanakan sesudah kewajiban pada agama dipenuhi. Hal ini seperti dinyatakan oleh bapak Djohadi Timbul selaku tetua adat di desa Kemiren: Kadung ngelaksanakno adat kawin ikau kudu nikah solong, nikah ikau kewajiban nang agamo’, Adat ikau nomor loro’ nikah solong.69kadung nang kemiren ikau agamo karo adat mlaku bareng.
Menurut beliau perkawinan adalah kewajiban kepada agama, sedangkan adat perkawinan adalah kewajiban kepada leluhur. Dalam melaksanaan adat perkawinan, masyarakat harus mendahulukan kewajiban kepada agama yakni menikah sesuai dengan syarat syah dan rukun pernikahan. Sedangkan kedudukan agama dan adat istiadat tidak bisa dilepaskan secara terpisah akan tetapi mempunyai siklus keteraturan yang telah disepakati bersama. Seperti dalam tradisi Jawa pada umumnya, tradisi pemilihan hari juga dikenal dalam adat istiadat masyarakat suku Using kemiren. Hari baik bagi mereka adalah selain hari naas, hari naas tersebut yakni hari kematian kedua orang tua atau kerabat dekat. Pentingnya pemilihan hari didasarkan bahwa, perkawinan adalah hari bahagia yang harus dilaksanakan pada hari-hari bahagia pula. Waktu pelaksanaan akad nikah
69
Djohadi Timbul, Wawancara (desa Kemiren, 20 Agustus 2007)
adalah penentuan yang telah disepakati oleh tetua adat dan orang tua calon mempelai berdua, begitupun dengan waktu surub70 Ritual pelaksanaan tradisi perang bangkat ini, didapatkan penulis dari hasil observasi secara langsung dengan mengikuti jalannya upacara ritual pelaksanaan tradisi perang bangkat di desa Kemiren pada tanggal 25 Agustus 2007 di rumah bapak shaleh dan ibu Asmiyah, ketika mengadakan ritual tradisi perang bangkat untuk anak kemunjilannya yakni pasangan sesama kemunjilan Sri Wahyuni dan Yulianto. Namun dalam memaparkan data tentang pelaksanaan tradisi perang bangkat ini, penulis tidak hanya mengandalkan metode observasi saja, tetapi menggunakan metode wawancara dengan tujuan jika ada sesuatu yang kurang jelas bagi penulis bisa ditanyakan melalui proses tanya jawab. Pelaksanaan prosesi tradisi perang bangkat ini sangat sederhana, setelah hari surub ditentukan, para kedua anggota keluarga pengantin musyawarah untuk menentukan tempat pelaksanaan ritual tradisi perang bangkat dilaksanakan dan dimana kedua pengantin dipaes (dirias). Hal ini disebabkan, sebelum prosesi perang bangkat dilaksanakan, kedua pengantin akan diarak dari tempat paes ke tempat ritual tradisi tersebut dilaksanakan. Menurut adat istiadat di desa Kemiren tempat arak-arakan harus berlainan arah, semisal rumah pengantin yang dijadikan tempat dilangsungkannya prosesi tradisi tersebut di sebelah selatan, maka arah arak-arakan di sebelah timur begitu seterusnya. Penentuan jarak antara tempat paes dan tempat ritual ditentukan dengan keberadaan saudara-saudara disekitar arah yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan,
70
Surub ialah waktu terbenam matahari dan terbitnya bulan, dalam bahasa Indonesia disebut senja, surub merupakan waktu pelaksanaan tradisi perang bangkat
mengandung maksud bahwa keluarga kedua pengantin menyiarkan kabar gembira pernikahan anak-anak mereka kepada khlayak umum dan khususnya kepada kerabat dekat agar dipersaksikan. Serta jika ada sesuatu diantara mereka kelak, semisal mengarah kepada perselingkuhan atau perbuatan keji yang berakibat rusaknya pondasi rumah tangga, diharapkan masyarakat atau saudara jauh bisa menasehati agar segera kembali kepada pasangannya. Hal ini seperti dituturkan oleh bapak Djohadi Timbul: Arak-arakan ikau maksude kabar-kabar nang masyarakat, kerono wong kemiren ikau sak deso sak dhulor, neng deso kemiren ikau munggono wet wetan ikau rong ewet kedigau, sehinggo wong pengger wetan kulon ikau weruh arane ikai bapa’e ikai anak ikai kabeh ngertai arane sijai-sijai. Terus diarak ikau maksude omahe kang wetan ikau omahe penganten ngareke teko kulon maksude kadung ikai besok kang lanang wadhon ikau wes rumah tangga bahagia duwe anak sijai biasane wadhon kan kemproh bidho pandangan motho, ojo-ojo wong lanang demen maneh karo wong wadhon kene kadung demen maneng dhulur-dhulur kang onok neng kene weruh “lek bengen iro di paes lan diarak nang kene kok riko dhemen karo arek kene macem-macem ikau dhulur isson yo dhemen mane kecandhak neng kene71
Terjemah dalam Bahasa Indonesia: Arak-arakan maksudnya adalah kabar-kabar pada masyarakat, karena orang Kemiren itu satu desa satu keluarga, di desa Kemiren itu jika dibaratkan adalah dua pohon. Sehingga orang sebelah timur dan sebelah barat kenal semua nama, anak bapak ini, terus diarak itu maksudnya rumah yang timur itu rumah pengantin mengaraknya dari barat maksudnya semisal besok yang laki suka sama perempuan lagi diharapkan ada yang menegur.
Hal tersebut diperkuat pula oleh Shaleh Arak-arakan ikau wes adate desa reng kene’, mene akeh hang weroh lek esun ikau mantu uleh lare ikai, anake ikai. Kadung akeh hang weruh, heng dadhi fitnah serto ngono lare-lare ikau seng pathi macem-macem dhemen meneh meno teguh polan’e kadung macem-macem isin akeh hang weroh
71
Djohadi Timbul, Wawancara (desa Kemiren, 20 Agustus 2007)
ngono maneh senenge esun duwe gawe meno akeh seng ngerasakno hang eson dhewe.72 Artinya: arak-arakan itu sudah adat desa di sini, biar banyak yang tahu kalau saya sedang mengadakan perkawinan saya dengan anak tersebut, kalau banyak yang tahu nggak jadi fitnah sekalian anak-anak itu tidak macam-macam suka lagi biar teguh. kalau macam-macam biar malu banyak yang tahu. Lebihnya saya suka punya acara banyak yang ikut merasakan perasaan bahagia saya. Pelaksanaan prosesi tradisi ini dipimpin oleh tetua adat yang pada dasarnya mengerti dan memahami upacara-upacara adat istiadat. Tetua adat itu adalah orang yang dihormati, disegani, ahli ibadah serta dipercaya oleh masyarakat desa Kemiren, biasanya tetua adat masyarakat suku Using adalah modin desa. Sebelum arak-arakan dilaksanakan, para keluarga kedua pengantin menyiapkan peras atau sesaji, yang akan dibawa oleh ahli waris kedua pengantin pada saat arakan-arakan menuju lokasi ritual perang bangkat. Ahli waris yang dimaksud adalah kerabat terdekat kedua pengantin. Sesaji-sesaji tersebut yakni dua peras pikul berisi alat pertanian yang dibuat serba kecil yang ditempatkan pada pikulan, peras suwun berisi alat-alat dapur yang dibuat serba kecil yang ditempatkan pada tampah, 2 bantal dan kloso (tikar) (2 bantal digulung dengan kloso setelah itu diikat), ayam yang sedang mengeram lengkap dengan telur yang dierami dalam satu petarangan, kendi, kinangan, rokok, ramesan yang berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya serta jajanan pasar, sapu korek, watu, banyu arum,dan kemenyan.73 Dalam menyiapkan sesaji-sesaji tersebut masyarakat suku Using Kemiren dapat meminjam ke tetua adat atau tetangga dengan alasan agar tradisi ini tidak memberatkan keluarga yang berhajat.
72 73
Djohadi Timbul, Wawancara (desa Kemiren, 20 Agustus 2007) Djohadi Timbul, Wawancara (desa Kemiren, 20 Agustus 2007)
Setelah sesaji siap dan ditentukan siapa-siapa yang membawa, tetua adat memberikan komando kepada keluarga untuk menuntun kedua pengantin ke dokar (andong) yang telah didekorasi. Sedangkan para ahli waris beserta keluarga menempati posisi yang telah ditentukan. Posisi rombongan ahli waris kedua pengantin terletak di depan dokar kedua pengantin dengan barisan memanjang terpisah antara ahli waris pengantin pria dan wanita. Dengan pembacaan shalawat kepada nabi Muhammad SAW yang diteriakkan oleh tetua adat dan dijawab serempak oleh rombongan, arak-arakan pun mulai berjalan dengan diiringan alunan musik kesenian khas Banyuwangi. Perlu diketahui, penggunaan sarana arak-arakan ini bukan ketentuan adat, tetapi tergantung tuan rumah yang mempunyai hajat, bisanya masyarakat desa Kemiren menggunakan salah satu dari andong atau kuda. Sedangkan pembacaan shalawat pada setiap tahap-tahapan prosesi bermakna bahwa, perkawinan adalah ajaran yang dibawa Rasulullah SAW, sehingga umat Nabi Muhammad SAW wajib bershalawat dengan tujuan agar pernikahan kedua pengantin disyafa’ati oleh Nabi Muhammad SAW.74 Setelah rombongan arak-arakan pengantin sampai di lokasi ritual, kedua pengantin lalu dipisah diatur berhadapan diikuti oleh ahli warisnya masing-masing, kemudian mereka berpura-pura berperang dengan memegang klentong kayu (bongkahan kayu tipis). Dalam prosesi perang ini, tidak harus ada yang kalah atau menang tetapi hanya sebuah isyarat berperang dengan menghantamkan klentong kayu sebanyak dua kali dari arah kanan dan kiri begitupun sebaliknya.
74
Djohadi Timbul, Wawancara (desa Kemiren, 25 Agustus 2007)
Setelah waktu surub (senja) menjelang, kedua pengantin berjabatan tangan disertai menautkan salah satu ibu jari, sedang tetua adat memegang tangan mereka dengan membaca surat Al-Fatihah 3 kali yang dikhususkan kepada Nabi Muhammad SAW, dilanjutkan kepada kedua Orang tua mereka dan yang terakhir kepada kedua calon mempelai dengan harapan, Allah SWT memberkahi kehidupan rumah tangganya sehingga diliputi kebahagian dan keselamatan. Kemudian tetua adat membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang kemudian dijawab oleh keluarga dan tamu-tamu yang hadir di lokasi tersebut, setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan do’a untuk kebahagian pengantin. Penentuan ritual suruban terkandung makna filosofi yang syarat akan kiasankiasan, seperti yang kita ketahui surub (senja) adalah waktu dimana siang dan malam bersatu melebur jadi satu dan hanya diwaktu itulah siang dan malam dapat bersatu. Jika dikiaskan kepada kedua pengantin, siang adalah pengantin pria dan malam adalah pengantin perempuan. Mereka adalah dua jenis yang berbeda dengan perbedaan sifat, karakter, latar belakang keluarga dan lain sebagainya. Semua perbedaan itu akan melebur menjadi satu hanya pada saat mereka berdua terikat dalam ikatan suci perkawinan. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan prosesi ngosek punjen, prosesi ngosek punjen merupakan inti dari seluruh prosesi tradisi perang bangkat. Menurut tetua adat desa Kemiren, ngosek punjen nama lain dari tradisi perang bangkat. Ngosek punjen dianggap penting karena di dalam ritual inilah masyarakat desa Kemiren mengetahui latar belakang para leluhur mewajibkan tradisi perang bangkat bagi setiap perkawinan anak kemunjilan. Bentuk ritual tersebut yakni seluruh ahli waris duduk melingkar di depan tetua adat, kemudian prosesi dibuka oleh tetua adat
dengan salam dan puji syukur kepada Yang Maha Kuasa serta menanyakan kerelaan ahli waris dalam melepas anak kemunjilan untuk mengarungi kehidupan berumah tangga. Pembukaan tetua adat seperti di bawah ini: Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatu, Bismillahirrahmanirrahim, dhulur-dhulur kabeh hang diberkahi Allah SWT, riko kabeh sekseni dhulure awake dhewe sholeh lan asmiyah gugurakno kewajiban adate nang leluhur hang ngawinak’en kemunjilane kang jenenge Sriwahyuni ngelawan yuliono gawe adat ngosek punjen. .ahli waris ikai pateng moro kabeh? Kadung phodo moro kabheh, ngosek punjen biso’ dimulai.“ shaleh lan Asmiyah riko phodo redho anak’e riko kawin ambi yuliono?“ ahli waris riko kabheh podho redho dhulure iyro Sriwahyuni kawin ambhi yuliono? Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatu, Bismillahirrahmanirrahim, saudara-saudara semua yang diberkahi Allah, kamu semua saksikan saudara kita shaleh dan asmiyah menggugurkan kewajiban adat kepada leluhur yang mengawinkan kemunjilanya yang bernama Sriwahyuni melawan Yuliono memakai adat ngosek punjen. Semua ahli waris datang? Jika semua datang, ngosek punjen dapat dimulai. „ shaleh dan Asmiyah kamu berdua meridlai anak kamu menikah dengan Yuliono? Ahli waris kamu semuanya ridla saudara kamu Sriwahyuni menikah dengan Yuliono? Setelah ahli waris meridlai, tetua adat meminta punjen75 yang telah disiapkan ahli waris yang ditempatkan dalam kantong. Punjen dalam kantong disebar dalam talam kemudian tetua adat memerintahkan kepada ahli waris untuk mengosek. Kemudian tetua adat memberikan punjen yang telah dikosek tersebut kepada kedua pengantin untuk dibelanjakan sampai habis. Prosesi kemudian ditutup dengan pidato dari tetua adat, pidato tersebut merupakan penjelasan makna-makna yang terkandung dalam peras yang telah
75
Punjen adalah sari atau peces, dalam bahasa Using peces adalah Uang
dipersiapkan oleh ahli waris serta sedikit memberikan nasehat-nasehat bagi mempelai berdua. 4. Makna Simbol Dalam Tradisi Perang Bangkat Di dalam melaksanakan prosesi perang bangkat, masyarakat suku Using Kemiren harus menyediakan bermacam-macam perlengkapan yang diistilahkan oleh mereka dengan peras. Peras ini secara simbolis masing-masing mempunyai makna dan tujuan tertentu yang berupa nasehat-nasehat dari nenek moyang yang tersirat dalam setiap simbol-simbol tersebut. Masyarakat suku Using menengarai adanya sebuah implikasi simbol-simbol dalam tradisi tersebut dengan keharmonisan dalam rumah tangga mereka, karena di dalam simbol-simbol tersebut terdapat sebuah ajaran dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Diantaranya yaitu: dua peras pikul, yang berisi alat yang dibuat serba kecil yang ditempatkan pada pikulan, peras suwun berisi alat-alat dapur yang dibuat serba kecil yang ditempatkan pada tampah, 2 bantal dan kloso (tikar) (2 bantal digulung dengan kloso setelah itu diikat), ayam yang sedang mengeram lengkap dengan telur yang dierami dalam satu petarangan, kendi, ramesan yang berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya, ramesan, kinangan, rokok, kendi, banyu arum, kemenyan, telur beserta ayam dan petarangan, watu dan sapu korek. 76 Tentunya dari masing-masing peras mempunyai maksud dan arti sendiri-sendiri. Disini akan diuraikan arti dan maksud peras yang digunakan dalam ritual tradisi perang bangkat yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara dengan Djohadi Timbul
76
Djohadi Timbul, wawancara, (desa Kemiren, 20 Agustus 2007)
tetua adat desa Kemiren yang biasa memimpin upacara ritual tradisi perang bangkat:77 a. Dua peras pikul, yang berisi alat-alat pertanian yang dibuat serba kecil seperti singkal, garu (teter), arit, pacul, pengutik (mutik), dan dua ikat kayu bakar. Pikul berasal dari kata kerja memikul, sedang alat-alat pertanian adalah benda yang digunakan para petani untuk menggarap sawah. Maksudnya bahwa, di dalam kehidupan berumah tangga seorang suami mempunyai kewajiban memikul tanggung jawab memenuhi nafkah keluarga. b. Peras Suwun, yang berisi alat-alat dapur yang dibuat semua serba kecil, seperti; dandang, kukusan, wajan, sutil, erus, cuwek (layah), cantuk (uleg-uleg), ereg, lasah, palungan, lompang (bebekan dan lompang) beserta anak-anaknya. Suwun dalam bahasa using berarti meminta dan menopang, sedangkan alat-alat dapur adalah benda yang digunakan untuk memasak. Maksudnya bahwa, seorang istri mempunyai hak untuk meminta nafkah dari suami, yang nantinya dipakai untuk menopang kebutuhan rumah tangga. c. Dua bantal dan kloso, Mempunyai arti simbolis yakni hendaknya hidup berumah tangga mempunyai papan atau rumah untuk berteduh agar keluarga terlindungi. d. Ayam yang sedang mengeram lengkap dengan telur dan petarangannya, mempunyai
makna
simbolis
bahwa
tujuan
perkawinan
adalah
untuk
mendapatkan keturunan shaleh dan shalihah. Jadi diharapkan agar kedua pengantin segera mendapatkan keturunan yang shaleh dan shalehah seperti tujuan perkawinan.
77
Djohadi Timbul, wawancara, (desa Kemiren, 20 Agustus 2007)
e. Kendi, makne iso ngundi-ngundi, maksudnya bahwa, , suami istri diharapkan bisa menghemat pembelajaan dalam rumah tangga. f. Ramesan, berisi nasi lengkap dengan lauk pauk dan jajanan pasar, mempunyai maksud agar rumah tangganya dapat memenuhi pangan demi terwujudnya rumah tangga sejahtera. g. Rokok, rokok dalam bahasa Using adalah udud, ududo mene anget, nyebuto meno inget, artinya dalam menjalani hidup manusia harus selalu berdzikir mengingat Allah SWT sehingga terciptalah rumah tangga yang berjiwa spritual yang diberkahi Allah SWT h. Banyu arum, mene rum-ruman, dalam bahasa Using Rum-ruman adalah sayangsayangan atau kasih mengasihi ;sayang menyayangi. Artinya dalam berumah tangga pasangan pengantin harus tetap menjaga suasana rumah tangga yang saling kasih mengasihi dan sayang menyayangi sehingga rumah tangga tetap tentram. i. Watu, watu dalam bahasa Indonesia adalah batu, simbol tersebut bermakna bahwa pasangan suami istri harus teguh dalam memegang segala prinsip dalam berumah tangga. j. Sapu, sapu adalah simbol dari kebersamaan, mempunyai makna simbolis bahwa dalam
mengarungi kehidupan berumah tangga pasangan pengantin harus
bersama-sama menjadi satu kesatuan tim sehingga menjadi tim yang solid sehingga mampu menjaga ketahanan keluarga.
B. Analisis DataSIS DATA Pada dasarnya analisis data adalah mendialogkan antara hasil penelitian dengan kerangka teori yang dijadikan pisau analisisnya. Analisis deskriptif kualitatif dalam skripsi ini di urut sesuai dengan rumusan masalah yang dicarikan jawabannya yang terdiri dari: 1. Tinjauan ‘Urf Terhadap Pelaksanaan Tradisi Perang Bangkat Tradisi perang bangkat tidak ada ketentuan hukumnya di dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, maka untuk mengetahui hukum melaksanakan dan mengamalkan tradisi perang bangkat, digunakan tinjauan kaidah fiqhiyyah untuk mengetahui hukum pelaksanaanya, karena salah satu fungsi kaidah fiqhiyyah adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan keduniaan yang belum diketahui hukumnya secara pasti. Ditinjau dari konsep pengertian adat dalam Islam sebagaimana dirumuskan oleh Al-Jurjânîy, Al-‘âdah adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang terusmenerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya secara terus-menerus.78 Sementara Abdul Wahâb Khalâf mendeskripsikan adat adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, yang berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan, maka dapat dikategorikan bahwa tradisi Perang Bangkat adalah adat. Di kategorikan sebagai adat karena, masyarakat suku Using Kemiren selalu melakukan, mengamalkan dan mempertahankan tradisi ini dalam setiap perkawinan anak kemunjilan di daerah tersebut sebagai budaya yang tidak boleh ditinggalkan
78
Al-Jurjânîy, Op.Cit., 147
karena sebagai warisan nenek moyang yang harus diterima dan dipelihara kelestariannya. Dilihat dari bentuknya tradisi Perang bangkat berupa kegiatan, sebagaimana konsep Abdul Wahâb Khalâf tentang pengertian adat merupakan komponen atau macam dari sesuatu yang dikerjakan yang apabila dikerjakan secara terus menerus, maka akan bisa dikatakan sebagai adat. Menurut Al-Zarqa’, Urf (adat kebiasaan) dibagi pada tiga macam yakni;79 a.
Dari segi obyeknya ‘urf (adat istiadat) dibagi pada al-‘urf al-lafzhî (adat istiadat/ kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-‘amali (adat sitiadat/ kebiasaan yang berbetuk perbuatan).
b.
Dari segi cakupannya, ‘urf dibagi dua, yaitu al-‘urf al-‘âm (adat yang bersifat umum) dan al’urf al-khâsh (adat yang bersufat khusus).
c.
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf dibagi dua yaitu: al-‘urf alshâhih (adat yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fâsid (adat yang dianggap rusak). Adapun untuk melihat tradisi perang bangkat masuk pada kategori Urf (adat
kebiasaan) yang mana, maka tradisi perang bangkat bisa dikatakan atau dikategorikan masuk pada: Dilihat dari segi obyeknya Tradisi perang bangkat masuk kategori al-‘urf al‘amali (adat yang berupa perbuatan) yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Karena tradisi perang bangkat adalah tradisi yang berupa prosesi (sesuatu kegiatan bertahap secara sistematis),
79
Nasrun Haroen, Op. Cit.,139-141
prosesi tersebut mulai dengan arak-arakan, suruban, ngosek punjen dan pembacaan peras (sesajen). Sedangkan dilihat dari segi cakupannya, tradisi perang bangkat termasuk pada al-‘urf al-khâsh (adat yang khusus) yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Hal ini dikarenakan, tradisi perang bangkat adalah tradisi asli masyarakat suku Using Kemiren yang dilaksanakan secara terus menerus oleh mereka dan tidak ada wilayah lain yang menyelenggarakan tradisi semacam ini. Untuk mengidentifikasi apakah tradisi perang bangkat benar menurut pertimbangan hukum atau tidak adalah dengan merinci setiap pelaksanaannya agar ditemukan ketidak sesuaian menurut pandangan syara’. 1) Arak-arakan pengantin saat menjelang surub (senja) Menurut paparan data di atas tahapan arak-arakan pengantin dideskriptifkan sebagai prosesi mengarak pengantin dengan mengendarai dokar serta diiringi alunan khas musik kesenian khas Banyuwangi yang dilaksanakan sat menjelang surub dengan rute berlainan arah dengan tempat pelaksanaan tradisi perang bangkat. Prosesi ini mempunyai makna filosofis yakni kedua pengantin dan para wali menyiarkan kabar gembira pernikahan kepada khayalak umum dan kerabatnya agar dipersaksikan bahwa mereka berdua telah syah menjadi suami istri dan arah arakarakan yang berlainan yakni jika pengantin suatu hari melakukan sesuatu yang mengarah pada hancurnya rumah tangga maka masyarakat yang menyaksikan tradisi perang bangkat diharapkan dapat menasehati pasangan pengantin tersebut. Dalam Islam prosesi arak-arakan jika dilihat dari tujuan dan makna filosofisnya, maka tidak bertentangan dengan Islam, sebab Islam mensunnahkan menyiarkan
perkawinan. Disunnahkan menyiarkan perkawinan, menurut Sayid Sabiq bertujuan agar jauh dari nikah rahasia (sirri) yang terlarang, untuk menyatakan rasa gembira, i’lan an-nikah, serta sebagai perangsang bagi pasangan yang belum menikah.80 Selain itu, anjuran penyiaran perkawinan merupakan penghormatan terhadap institusi perkawinan karena perkawinan merupakan tahapan kehidupan yang paling ditunggu serta membahagiakan. Walimah atau pesta kawin adalah suatu yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Perkawinan adalah merupakan peristiwa yang diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup seseorang, maka sudah sewajarnya apabila kita sambut dengan rasa syukur dan gembira dan dirayakan dengan mengundang sanak saudara, handai taulan secukupnya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.81 Dalil Hukum disyari’atkan Walimah:
] $ *R !
& " ;.0 D3 *>*?* X 4 %$
RY
"# Z[: J\ W
; . #
* . &L.0 ;' . ;^ Dari Buraidah berkata: ketika Ali meminang Fathimah Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya bagi perkawinan harus ada walimahnya.
Adapun musik dan nyayian yang mengiringi tradisi tersebut, hanya nyanyian daerah yang dialunkan oleh anak-anak remaja dengan memakai simbol khas Banyuwangi yakni barong-barongan. Dilihat dari tujuannya alunan nyanyian dan musik ini bertujuan untuk menarik simpati warga, pengumuman perkawinan dan hiburan. Maka nyanyi-nyayian dalam prosesi arak-arakan ini tidak mengandung unsur yang dilarang oleh Islam. Menurut Sayid Sabiq bahwa nyanyi-nyanyian dalam 80 81
Sayid Sabiq, Loc.Cit., 166 Soemati, Loc.Cit., 60
upacara perkawinan termasuk yang disenangi Islam karena membuat pengantin perempuan giat dengan catatan hiburannya sehat. Dalam beberapa hadits juga dinyatakan bahwa bernyanyi dan main musik adalah merupakan sesuatu yang dibolehkan dengan catatan dihindarkan dari perbuatan yang maksiat82. Dalam dua buah hadits dinyatakan:
() %# "& ' #"$ !" . " # . ; < 2 :/ 9 8 4 ( 7/ 43 "* 56 2 1* ( 0. . / ,- ' + * ".- 7 C D @ B' @ - ,- @ - # A % ' ( ?= >. ' . . 0.= 6 >.5 6 I" ":B H/ 7G 6 :/ 3 F / 6 >.5 E ? /' @ ":B / @ ":B' #3 !" . JK 3 F / Abu Bakar bin Abu Syaibah menuturkan kepada kami, Yazid bin Harun menuturkan kepada kami, Hammad bin Salamah menuturkan kepada kami dari Abu Al-Husain yang bernama Khalid Al-Madani berkata: kami dulu pada hari Asyura’ pernah berada di kota Madinah dan para gadis memukul rebana serta bernyanyi. Lalu kami masuk ke tempat Rybayi’ binti Muawwidz dan kami ceritakan kejadian itu kepadanya, lalu ia berkata, “Rasulullah Saw pernah masuk ke tempat saya pada pagi hari pengantinku dan di sisiku ada dua anak perempuan yang sedang bernyanyi dan memukul rebana dan menyanyikan ‘ Bapak-bapak kami yang telah tewas ketika perang Badar’, dan kedua perempuan itu dalam nyanyiannya berkata, di tengah kami hadir seorang Nabi yang mengetahui apa yang terjadi esok hari” saat itu beliau bersabda,’apa-apaan ini?jangalah kamu ucapkan sekali lagi. Tidak ada yang mengetahui kejadian hari esok selain Allah.” (HR Ibn Majah: 1887).83
(,
.
" (N ' L M* 7G " .
Artinya: Umumkanlah perkawinan ini, bunyikanlah rebana.(HR. Ibn Majah). Pada dasarnya setiap hiburan bertujuan untuk menghibur, karena hiburan memberikan kesenangan yang dapat menyenangkan hati dan jiwa, menghilangkan sejenak perasaan sedih dan menghilangkan sejenak masalah. Namun kesenangan itu harus tetap pada jalur yang dikehendaki ajaran Islam yakni jauh dari perbuatan82 83
Sayid Sabiq, Op.Cit., 42 Sunan Ibnu Mâjah. Juz 1 hal 765 hadis ke 1887
perbuatan tercela, tidak sopan, porno dan perkataan yang keji yang tidak pantas didengarkan. Masjfuk Juhdi berpendapat bahwa menikmati musik dan nyayian itu sesuai dengan fitrah manusia dan instingnya yang memang suka kepada hal-hal yang enak, indah dan menyenangkan sebagaimana diingatkan oleh Allah SWT dalam AlQur’an surat Al-Imron ayat 14
1(
L & &
*!M),$ '
1 D) & 13
)& ,
-. ?
, "F3
CC
L %
$
(
01
/0
= 1E "4# G N
D EL
Artinya: Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan di dunia, dan sisi Allah-lah tempat kembali. (Q.s. Ali-Imron ayat 14 )84 Maka jika dilihat dari pelaksanaan dan tujuannya, nyayian dalam tradisi perang bangkat mengandung unsur maslahah karena bertujuan menyiarkan perkawinan dengan suara-suara yang dapat mengundang masyarakat untuk datang dan bersenang-senang. Selain itu nyayian dalam prosesi tersebut tidak terdapat kegiatan negatif seperti, minum-minuman haram, porno dan perbuatan maksiat lain. 2) Prosesi suruban Prosesi suruban, prosesi menautkan ibu jari pada waktu surub dengan disertai membaca surat al-Fatihah yang dikhususkan kepada Nabi Muhammad SAW, orang tua mempelai berdua dan bagi mereka sendiri. Prosesi ini dilakukan dengan maksud surub (senja) adalah waktu dimana siang dan malam bersatu melebur jadi satu dan hanya di waktu itulah siang dan malam dapat bersatu. Jika dikiaskan kepada kedua 84
QS. Ali-Imron (3) : 14
pengantin, siang adalah pengantin pria dan malam adalah pengantin perempuan. Mereka adalah dua jenis yang berbeda dengan perbedaan sifat, karakter, latar belakang keluarga dan lain sebagainya. Semua perbedaan itu akan melebur menjadi satu hanya pada saat mereka berdua terikat dalam ikatan suci perkawinan. Prosesi ini tidak bertentangan dengan Islam dan bukan merupakan sesuatu yang tercela karena prosesi tersebut hanya berupa wejangan atau nasehat. Dalam makna filosofisnya, nampak adanya sebuah pesan yakni perkawinan merupakan satu-satunya lembaga yang mempersatukan dua pasang yang berbeda. Perbedaan pada alam raya merupakan kuasa Allah SWT dalam Firmannya
4P#
& ;
F
=-.
, = ) E =@ O
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah SWT”85
Dari makhluk yang dicitakanNya berpasang-pasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 1. Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuanya dirumuskan dalam ujud aturan-aturan yang disebut Hukum Perkawinan Islam.86 3) Ngosek Punjen Ngosek punjen, upacara kerelaan kedua orang tua anak kemunjilan dan kerabat dekat dalam melepas anak kemunjilan untuk mengarungi kehidupan berumah tangga. prosesi tersebut adalah dengan menyebar uang dalam talam kemudian 85 86
QS. AZ-Zariyat (6) : 49 Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., 13
kerabat mengosek setelah itu uang tersebut diberikan kepada pengantin untuk dibelanjakan. Ditinjau dari filosofi dilaksanakannya prosesi tersebut yakni merelakan dan menasehati, maka prosesi ini tidak bertentangan dengan Islam. 4) Pembacaan Peras (sesajen) Pembacaan peras merupakan prosesi akhir dari tradisi perang bangkat, yang pelaksanaannya adalah dengan membacakan satu persatu peras (sesajen) yang disiapkan pada acara tersebut, yakni; peras pikul, peras suwun, 2 bantal dan kloso (tikar), ayam yang sedang mengeram lengkap dengan telur yang dierami, ramesan, rokok, kendi, banyu arum, telur beserta ayam dan petarangan, watu dan sapu korek. Pada saat prosesi ini, peras atau sesajen bukan sebagai seserahan atau pemujaan kepada roh-roh leluhur, akan tetapi hanya dibacakan sebagai wejangan. Maka prosesi tersebut jauh dari sifat musyrik yang dibenci Allah SWT, karena peras (sesajen) tidak untuk sesembahan seperti pada tradisi masyarakat pedalaman. Dari penjelasan mengenai tradisi perang bangkat tersebut jika ditinjau dari kaidah Fiqh, sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
9 ( B 0. ;
0-P P Q
$ O 0/ ;=O
Maksudnya, bahwa hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang dapat mengharamkannya. Dalam hal ini, pada dasarnya tradisi perang bangkat boleh saja dilaksanakan sampai ada dalil atau bukti yang dapat mengharamkan pelaksanaan tradisi tersebut. Untuk mengidentifikasikan secara lanjut, agar didapat keabsahannya, maka dilihat dari kepercayaan masyarakat suku Using Kemiren dalam melaksanakan
tradisi perang bangkat, berkembang kepercayaan pada masyarakat bahwa anak kemunjilan yang akan menikah dengan siapapun harus melaksanakan tradisi perang bangkat, sebab jika kedua pengantin dan kerabat tidak melaksanakan maka menurut kepercayaan rumah tangga anak kemunjilan tidak harmonis karena mendapat sanksi dari nenek moyang berupa sakit-sakitan, sering bertengkar dan seret rezekinya. Akan tetapi bagi masyarakat suku Using Kemiren mitos tersebut secara mutlak sepenuhnya tidak dipercaya seiring berkembangnya zaman, namun tradisi ini wajib dilaksanakan oleh masyarakat suku using Kemiren karena selain warisan nenek moyang, Desa Kemiren dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai cagar wisata yang harus melestarikan budaya Banyuwangi seperti tradisi ini. Maka, tradisi perang bangkat termasuk dalam ‘urf shahih, karena tradisi ini tidak menyalahi dalil syari’at. Meskipun terdapat unsur-unsur mitos atau sesaji-sesaji, namun di dalam tradisi ini tidak ada prosesi yang mengarah kepada kesyirikan atau menyalahi dalil syari’at, terlebih lagi pandangan masyarakat desa Kemiren tidak mutlak mempercayai, akan tetapi tradisi ini tetap dilaksanakan karena mereka ingin melestarikan khazanah budaya bangsa sebagai warisan nenek moyang. Dari berbagai kasus yang dijumpai para ulama fiqh, para ulama’ fiqh merumuskan kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf , diantaranya adalah:
U S T > 6 M 6 R< 5 Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum selama tidak bertentangan dengan nash Adat bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:87 a. Berlaku secara umum. 87
Nasrun Haroen, Op.Cit., 143-144.
b. Telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. c. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. d. Tidak bertentangan dengan nash. Berdasarkan kaidah dan syarat-syarat tersebut di atas, maka tradisi perang bangkat diperbolehkan dan termasuk adat, karena di dalam pelaksanaan tradisi perang bangkat tidak ada kegiatan yang bertentangan dengan nash. Dalam tinjauan ‘Urf pelaksanaan tradisi perang bangkat
tidak bertentangan
dengan nash, karena seperti yang kita lihat prosesi perang bangkat mempunyai tujuan yang sama dengan ajaran Islam. Fiqh mengenal adanya tahapan upacara perkawinan: 1) Tahapan pertama adalah khitbah yang dikenal dengan peminangan, peminangan adalah tahap pendahuluan dalam perkawinan, disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masingmasing pihak. 2) Tahap kedua adalah akad nikah 3) Tahap ketiga adalah do’a sesudah Aqad nikah 4) Tahap keempat adalah Khotbah Aqad Nikah, disyariatkan karena Rasulullah SAW merasa upacara perkawinan adalah peristiwa penting dalam kehidupan. Sehingga dirasa perlu untuk Syi’ar Islam dan pemberian nasehat kepada pengantin agar sesuatu yang terserak menjadi terhimpun serta merubah sifatsifat yang buruk.
5) Tahap kelima adalah walimah ‘Ursy, tahap ini merupakan tahap menyiarkan perkawinan, yang bertujuan agar perkawinan jauh dari rahasia (sirri) yang terlarang, menyatakan rasa gembira, i’lan an-nikah, serta sebagai perangsang bagi pasangan yang belum menikah. Pada paparan data disebutkan bahwa tradisi perang bangkat sebelum kerajaan Islam menguasai Banyuwangi umumnya dan khususnya desa Kemiren, tradisi perang bangkat tidak menandakan adanya kesamaan tujuan dengan ajaran Islam. Tradisi ini berkisar pada ritual mistik dan kesenian saja, hal ini terlihat dari sesajen yang disiapkan dan prosesinya yang bernuansa Hindhu-Budha. Sehingga dapat diasumsikan bahwa tradisi perang bangkat merupakan hasil dari integrasian ajaran Islam ke budaya lokal. Hal ini dilihat dari performance prosesi pelaksanaan tradisi perang bangkat yang dipandu dan dipedomani oleh Islam dalam coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka seleksi terhadap budaya lokal, seperti prosesi arak-arakan berubah tujuan sebagai sarana penyiaran perkawinan, setiap akan memulai prosesi selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad, meminta berkah kepada Allah SWT bukan kepada roh-roh leluhur dan pembacaan sesajen sebagai sarana menasehati pasangan. 2. Makna Simbol Dalam Tradisi Perang Bangkat Setiap perhelatan tradisi budaya yang digelar sudah semestinya menyajikan sesajen sebagai rangkaian simbol-simbol budaya yang melekat dalam tradisi tersebut. Biasanya simbol-simbol budaya ini memiliki beberapa tujuan atau makna filosofi yang terkandung di dalamnya. Begitu juga dalam perhelatan tradisi perang bangkat, peras atau sesajen yang dibawa oleh masyarakat suku Using Kemiren bukan hanya sebagai hiasan atau pajangan saja, akan tetapi memiliki makna berupa
nasehat perkawinan bagi pengantin sebagai pegangan dalam berumah tangga. Simbol tersebut akan dibacakan oleh tetua adat pada saat akhir prosesi, pembacaan tersebut merupakan penjelasan makna-makna yang terkandung dalam peras yang telah dipersiapkan oleh ahli waris. Simbol dipakai sebagai tanda atau peringatan untuk memperingati suatu kejadian atau peristiwa tertentu, agar supaya segala kejadian atau peristiwa itu dapat diketahui atau diingat kembali oleh masyarakat segenerasinya ataupun oleh masyarakat generasi-generasi berikutnya untuk dapat memenuhi maksud tersebut maka digunakanlah bahan-bahan dan alat-alat pembawa informasi, pengangkut informasi yang tahan lama, mudah ditangkap dengan indra manusia.88 Makna simbol tersebut adalah: 1. Dua peras pikul, yang berisi alat-alat pertanian yang dibuat serba kecil seperti singkal, garu (teter), arit, pacul, pengutik (mutik), dan dua ikat kayu bakar. Pikul berasal dari kata kerja memikul, sedang alat-alat pertanian adalah benda yang digunakan para petani untuk menggarap sawah. Maksudnya melambangkan, tugas suami adalah mencari nafkah dan bertanggung jawab untuk memenuhinya. Nafkah adalah pengeluaran atau sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.89 Salah satu tanggung jawab yang dibebankan Islam pada suami adalah memenuhi nafkah keluarganya. Karena Islam memerintahkan kepada suami memberikan nafkah pada istri dan keluarganya semenjak akad nikah telah dilaksanakan, baik nafkah lahir maupun
88
Herusatoto, Op.Cit., 199-201 Sri Mulyati, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: PSW (wanita) UIN Syarif Hidayatullah,2004), 46 89
batin. Kewajiban dalam memenuhi nafkah keluarga yang dibebankan pada suami disyari’atkan dalam surat Al-Baqarah 332
( < G
Q: ; < J
.
+ ;5B
& +
7 & *
.
I$
“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”
Ditinjau dari konsep Islam bahwa Allah mensyari’atkan perkawinan kepada makhluknya khususnya manusia bertujuan untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Hal tersebut dapat tercipta manakala timbul kesadaran dalam diri pasangan atau keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Maka pemenuhan atas nafkah yang dibebankan pada suami merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk terciptanya rumah tangga yang harmonis. Islam memerintahkan kepada sang suami agar memberikan nafkah pada isteri dan keluarganya. Karena di saat akad nikah telah dilaksanakan, disitulah kewajiban suami mulai dilaksanakan dengan memberikan nafkah kepada isteri, baik nafkah lahir maupun batin.90 Simbol-simbol yang tersirat dalam peras pikul berupa alat-alat pertanian seperti singkal, garu (teter), arit, pacul, pengutik (mutik), dan dua ikat kayu bakar. Hal ini menunjukkan bahwa suami diberi keleluasaan dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan keluarganya.
90
Isatambul, Op. Cit., 49
2. Peras Suwun, yang berisi alat-alat dapur yang dibuat semua serba kecil, seperti; dandang, kukusan, wajan, sutil, erus, cuwek (layah), cantuk (uleg-uleg), ereg, lasah, palungan, lompang (bebekan dan lompang) beserta anak-anaknya. Suwun dalam bahasa using berarti menopang, sedangkan alat-alat dapur adalah benda yang digunakan untuk memasak. Maksudnya bahwa, seorang istri menerima nafkah dari suami, yang pada akhirnya dipergunakan untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Kewajiban merupakan sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain sedangkan hak adalah sesuatu yang melekat dan mesti diterima atau dimiliki seseorang. Antara suami dan istri hak dan kewajiban melekat terhadap diri mereka semenjak mereka menjadi suami istri. Hal ini adalah akibat hukum dari terjadinya perkawinan.91 Nafkah merupakan kewajiban yang melekat pada suami sebagai akibat hukum dari terjadinya perkawinan yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Sehingga dengan sendirinya nafkah merupakan hak istri yang harus diterima sebagai konsekuensi perkawinan. Sebuah rumah tangga membutuhkan sandang, pangan dan papan, hal itu merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi agar kelangsungan rumah tangga dapat tercipta. Terciptanya kelangsungan rumah tangga berdampak kepada hubungan baik antara anggota keluarga. Setiap makhluk hidup mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban akan berjalan dengan baik jika dilakukan dengan tanggung jawab yang benar dan konsekuen. Dalam membina hubungan rumah 91
Abdurrahman Al-Ghazaly, Op. Cit., 21
tangga diperlukan sebuah tanggung jawab antara suami dan isteri. Tanggung jawab yang dilakukan dengan benar dan tepat akan menciptakan mahligai rumah tangga yang bahagia, sejahtera damai dan sentosa.92 3. Kendi, makne iso ngundi-ngundi, maksudnya bahwa, suami istri diharapkan bisa menghemat pembelajaan dalam rumah tangga. Masalah Ekonomi dalam rumah tangga sering menjadi faktor utama terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga. Tak dapat dipungkiri istri kerap menjadi tertuduh karena tanggung jawabnya sebagai pemimpin rumah tangga. Kekurangan ekonomi sering menjadi alasan pula pasangan suami istri untu bercerai, maka dari itu haruslah ada kerja sama yang seimbang antara suami istri untuk mencari nafkah untuk kepentingan tegaknya pondasi rumah tangga. Pada dasarnya ekonomi keluarga yang kuat dapat memberikan ketentraman bagi penghuninya, karena itulah Rasulullah mengharuskan pemuda yang mampu menanggung bebanlah yang diperbolehkan untuk menikah. Kesatuan ekonomis adalah dimana keluarga memiliki aktivitas mencari nafkah pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan dan bagian memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikan secara adil dan proposional, serta dapat mempertangung jawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial maupun moral.93 4. Dua bantal dan kloso, Mempunyai arti simbolis yakni dalam hidup berumah tangga pasangan suami istri dan keluarganya harus mempunyai papan atau rumah untuk berteduh. Sedangkan Ramesan, berisi nasi lengkap dengan lauk pauk dan
92 93
Departemen Agama RI, Loc.Cit.,49 Sofyan Sauri, Op. Cit., 89
jajanan pasar, mempunyai maksud agar rumah tangganya dapat memenuhi pangan demi terwujudnya rumah tangga sejahtera. Dalam berumah tangga, kebutuhan sandang, pangan dan papan atau tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok. kebutuhan pokok tersebut berfungsi sebagai kelangsungan rumah tangga. Kelangsungan yang dimaksud mencakup hal-hal yang bersifat materiil dan immateriil. Terpenuhinya sandang, pangan dan papan diharapkan keluarga dapat hidup tentram dan nyaman.94 Bila kecukupan pangan, hidup akan terasa tentram karena sebab cinta tanpa beras akan menciptakan malam yang tidak berkesan dan pagi hari perut keroncongan. Oleh sebab itu, sebelum menikah hendaklah sudah mempunyai lapangan kerja yang dapat menghasilkan uang dan setelah menikah pun suami istri harus bekerja keras. Begitupun dengan tercukupnya sandang, sandang adalah masalah pokok karena dengan sandang itulah manusia dapat terhormat dimata makhluk lainnya, maka dari itulah keluarga harus berusaha bersama mencari nafkah untuk memenuhi paling tidak masalah sandang, pangan dan papan. 5. Ayam yang sedang mengeram lengkap dengan telur dan petarangannya, mempunyai makna simbolis bahwa, perkawinan sebagai lembaga agar kedua pengantin segera mendapatkan keturunan yang shaleh dan shalehah. Islam mensyari’atkan perkawinan sebagai lembaga yang mengatur naluri biologis pasangan suami istri secara aman, tidak dapat disangkal hakikat manusia berawal dari satu keturunan. Dari pasangan suami istri tersebut, berkembang
94
Ibid., 229
biaklah menjadi banyak. Dalam Al-Qur’an telah ditegaskan dalam surat AnNisa’ ayat 1 bahwa:
+>
5@ 16
&'
=
)< 9
C< $
:
-
? ;?
'
;
8; 30 B
5164
) & < & A;5@ "# 2? 7
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Dari penjelasan ayat diatas, dapat terlihat bahwa tujuan berumah tangga dalam Islam adalah melahirkan keturunan yang mulia dari sarana yag mulia yakni perkawinan. Hal ini bertujuan agar dapat menghasilkan keluarga-keluarga dan masyarakat Islam demi keberlanjutan kehidupan umat manusia. 6. Kinangan, nginango meno abyang menyango mene padang, mempunyai maksud bahwa suami istri diharapkan keluar rumah untuk berkarya agar fikirannya lapang. 7.
Rokok, rokok dalam bahasa Using adalah udud, ududo mene anget, nyebuto meno inget, artinya dalam menjalani kehidupa rumah tangga pasangan pengantin harus selalu berdzikir mengingat Allah SWT, agar kehidupan rumah tangganya diberkahi Allah SWT. Dari awal Allah mensyari’atkan perkawinan adalah untuk melaksanakan sunnatullah sebagai bentuk ibadah kepadaNya, dengan berbagai tujuan yang
memberi manusia kehidupan yang teratur, tentram dan bahagia dengan keluarganya. Maka dari pada itu dari awal Allah telah menuntut persamaan keyakinan antara suami dan istri sehingga nilai-nilai agama terbentuk dan tergambar dari laku kehidupannya yang akan diteruskan kepada anak cucu mereka. Salah satu fungsi yang membangun keharmonisan dalam rumah tangga adalah fungsi keagamaan. Fungsi keagamaan bermakna keluarga adalah tempat paling baik bagi individu untuk membentuk aspek keagamaan dalam kehidupannya. Allah SWT mengajarkan pada hambaNya agar menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga dengan memberikan motivasi ibadah kepada istri dan anak-anaknya dengan menanamkan nilai-nilai agama dan mengajarkan ilmu
4
agama. Seperti firma Allah SWT dalam surat At-Tahrim ayat 6:
&:
59 6
528
30 K#
( 7 3:=>
2
1( (
7 '
7!
-0
5164
< 6 )9 57;8
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”
Menanamkan dan mengajarkan ilmu agama bukanlah tanpa maksud, agama yang telah diaplikasikan dalam hidup, akan membentuk ketahanan mental, dengan agama orang bisa menempatkan seluruh persoalan pada tempatnya, orang yang beragama akan selalu: bersabar, bersyukur, berserah diri, berfikir positif
atau berbaik sangka, dan berjuang tak kenal lelah. Hal inilah sebagai pondasi untuk menjaga keutuhan rumah tangga.95 8. Banyu arum, mene rum-ruman, dalam bahasa Using Rum-ruman adalah sayangsayangan atau kasih mengasihi;sayang menyayangi. Artinya dalam berumah tangga pasangan pengantin harus tetap menjaga suasana rumah tangga yang saling kasih mengasihi dan sayang menyayangi sehingga rumah tangga tetap tentram. Kasih mengasihi dan sayang menyayangi, merupakan salah satu tujuan disayrai’atkan perkawinan, karena dalam kehidupannya manusia memerlukan ketenagan dan ketentraman hidup untuk mencapai kebahagiaan. Kebutuhan manusia akan ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan merupakan fitrah yang tidak dapat ditawar. Husain Muzhahiri, dalam bukunya membangun surga dalam rumah tangga mengibaratkan cinta kasih dengan hukum grafitasi (gaya tarik bumi). Beliau menjelaskan bahwa dengan grafitasi bumi tersebut maka dunia menjadi lestari, begitupun dengan kehidupan rumah tangga dapat terwujud disebabkan adanya hukum gaya tarik menarik yang terdiri dari cinta dan kasih sayang antara makhluk hidup yang berlainan jenis. Karena itu, Allah SWT, memberikan pertolongan dengan menganugrahkan perasaan cinta kasih pada sebuah rumah tangga yang didirikan: Firman Allah SWT:
!"# 95
Saifuddin Aman, Op., Cit., 75-88
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenis mu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan wanita bagi kaum pria dan diciptaikannya pria bagi kaum wanita dimaksudkan agar terwujud rumah tangga yang harmonis di mana anatara satu sama lain saling mengasihi dan memaafkan. Inilah tujuan pembentukan rumah tangga; menumbuhkan cinta kasih dan saling menyempurnakan kekurangan yang melekat pada keduanya. 9. Watu, dan Sapu, dalam bahasa Indonesia adalah batu, kedua simbol tersebut bermakna bahwa pasangan suami istri harus teguh dalam memegang segala prinsip dalam berumah tangga serta bersama-sama menjadi satu kesatuan tim sehingga menjadi tim yang solid sehingga mampu menjaga ketahanan keluarga. Prinsip dan komitmen merupakan pondasi penting dalam kehidupan berumah tangga, pasangan suami istri dituntut mempunyai komitmen dan prinsip yang kuat yaitu kemauan untuk mengikatkan diri ke satu tujuan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan diantara suami istri baik dari segi kodrati maupun sifat. Allah SWT yang menciptakan perbedaan tersebut amat mengetahui hasil ciptaaNya dan atas dasar kekuasaan dan pengetahuanNya, dia menetapkan tugas dan fungsi masing-masing serta menganugerahkan petunjuk dan batas-batas agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dalam memenuhi tugas-tugasnya.96
96
Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal 21
Komitmen dasar dari kehidupan berumah tangga adalah pertama, kedua pasangan harus berniat dari awal bahwa menikah adalah ibadah dan bertujuan mencari ridha Allah SWT. Kedua, bersedia menerima pasangan hidup apa adanya. Ketiga, menanamkan pada diri bahwa jika terjadi sesuatu dalam rumah tangga itu akibat dari kesalahan bersama. Dengan
menyadari perbedaan-perbedaan
diantara suami
istri
dan
menyatukan komitmen dan prinsip-prinsip bersama menjadi satu kesatuan dapat mengantarkan kehidupan rumah tangga pasangan tersebut menjadi keluarga harmonis. Melihat faktor-faktor yang ditawarkan oleh ajaran Islam maupun tradisi perang bangkat dalam rangka mewujudkan keharmonisan rumah tangga sebagaimana tersebut diatas, tampak adanya komitmen antara keduanya. Keduanya bersama-sama mengusung aspek pemenuhan hak dan kewajiban, aspek cinta kasih, aspek rohani, dan aspek pemenuhan fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN 1. Secara definitif tradisi perang bangkat merupakan adat. Ditinjau dari segi obyeknya tradisi perang bangkat masuk pada al-‘urf al-‘amali (adat yang berupa perbuatan). Dilihat dari cakupannya tradisi perang bangkat masuk pada al-‘urf alkhâsh (adat yang khusus) yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Sedangkan dilihat dari keabsahannya, tradisi perang bangkat termasuk dalam ‘urf shahih, karena tradisi ini tidak menyalahi dalil syari’at. tradisi perang bangkat merupakan hasil dari integrasian ajaran Islam ke budaya lokal. Hal ini dilihat dari performance prosesi pelaksanaan tradisi perang bangkat yang dipandu dan dipedomani oleh Islam dalam coraknya yang mengambil ajaran Islam sebagai kerangka seleksi terhadap budaya lokal, seperti prosesi arak-arakan
berubah tujuan sebagai sarana penyiaran perkawinan, setiap akan memulai prosesi selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad, meminta berkah kepada Allah SWT bukan kepada roh-roh leluhur dan pembacaan sesajen sebagai sarana menasehati pasangan. 2. Ttradisi Perang Bangkat mempunyai kesamaan yang sama dengan Ajaran Islam dalam mewujudkan rumah tangga yang harmonis,
keduanya mempunyai
komitmen yang sama dalam rangka mewujudkan keharmonisan rumah tangga. Keduanya bersama-sama mengusung aspek pemenuhan hak dan kewajiban, aspek cinta kasih, aspek rohani, dan aspek pemenuhan fungsi reproduksi dan fungsi ekonomi. B. SARAN 1. Bagi masyarakat desa Kemiren hendaklah tetap melestarikan adat, karena adat adalah budaya bangsa yang harus tetap lestari sebagai ciri khas negara kita. Namun dengan syarat sejauh tidak melanggar ajaran Islam. 2. Mahasiswa Fakultas Syari’ah sebagai mahasiswa yang berbasic ke-Islaman dan sebagai bangsa Indonesia, hendaklah mempunyai dedikasi yang mendalam untuk meneliti adat-adat yang hidup ditengah-tengah masyarakat agar dapat dirumuskan dengan hukum Islam sebagai sumbangsih kita pada masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Karim dan Terjemah Achmad, Abu dan Cholid Narbuko (2005) Metodologi Penelitian. Cet. 7; Jakarta: Bumi Aksara. Al-Ghazaly, Abdurrahman (2006) Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group Al Hamdani, H.S.A. (2001) Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), Jakarta: Pustaka Amani Al-Jurjânîy, Syarif ‘ali Muhammad (1938) Al-Ta’rifaat, Cairo: Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi Amin, Rusli (2003) Kunci Sukses Membangun Keluarga Idaman, Jakarta: AlMawardi Prima Aman, Saifuddin (2006) Nikmatnya Berumah Tangga, Jakarta: Al-Mawardi Prima Arikunto, Suharsimi (2002) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. Asmawi, Mohammad (2004), Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan. Cet.1; Yogyakarta: Darussalam. Dahlan, Abd azis (et. al) (1999) Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid 6. Cet.1; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. ------------------------------ (1999) Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I. Cet.1; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve. Departemen Agama RI (2001) Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama Jakarta: DIRJEN Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (1999) Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka Endraswara, Suwardi (2006) Metode, Teori, Teknik Penelitian Budaya: Ideologi, Epistimologi, dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Widyatama Haroen, Nasrun(1997) Ushul Fiqh I. Cet.2; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Heru, Satoto (1984) Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak
Istambul, Mahmud Mahdi, (2002), “Tuhfat al-‘Arus, diterjemahkan Ibnu Ibrahim, Kado Perkawinan, Jakarta: Pustaka Azzam J. Moleong, Lexy, (1995) Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, Junaedi, Dedi, (2003) Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan AS-Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo Khalâf, Abdul Wahâb (1978/1398) ‘Ilmu Ushûl al-Fiqih. Cet. 12;tt: Al-Nashr WalTauzîk. Koentjaraningrat (1997) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Machfud, (2003), Keluarga Sakinah: Membina Keluarga Bahagia. Surabaya: Citra Pelajar Marzuki, (2000) Metodologi Riset Yogyakarta: Adipura Mulyati, Sri (2004) Relasi Suami Istri Dalam Islam, Jakarta: PSW (wanita) UIN Syarif Hidayatullah Qoimi, Ali (2002) Menggapai Langit Masa Depan Anak, Bogor:Cahaya Raharjo Satjipto (1996) Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Sabiq, Sayyid (1981)”al- Fiqh as-Sunnah”, diterjemahkan M. Thalib, Fikih Sunnah. Cet. 1; Jilid 7; Bandung PT. Al-maarif. Saifudin, Achmad Fedyani, (2006), Antropologi Kontemporer: Suatu Pendekatan Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Sauri, Sofyan, (2006), Membangun Komunikasi Dalam Keluarga: Kajian Nilai Religi, sosial, dan edukatif, Bandung: Pt. Genesindo Shihab, Quraish (2007) Pengantin Al-Qur’an Jakarta: Lentera Hati Soemiati, (1982) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty Sudjana Nana dan Ahwal Kusuma (2000) Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung : Sinar Baru Algasindo Zuhdi, Masjfuk(1994) Masail Fiqhiyah; Kapita Selekta Hukum Islam. Cet. 7; Jakarta: Haji Masagung.
PANDUAN WAWANCARA TRADISI PERANG BANGKAT STUDI TENTANG HARMONI RUMAH TANGGA SUKU USING BANYUWANGI
1. Apa yang dimaksud dengan tradisi perang bangkat 2. Kapan tradisi perang bangkat digelar dan bagaimana pelaksanaannya 3. Apa saja sarana yang dibutuhkan untuk menggelar prosesi tradisi perang bangkat 4. Apa makna filosofis yang terkandung di dalam pelaksanaan dan sesajen dalam tradisi perang bangkat. 5. Apa yang melatarbelakangi diadakan tradisi perang bangkat 6. Bagaimana sejarah tradisi perang bangkat 7. Apakah tradisi perang bangkat merupakan adat murni masyarakat Desa Kemiren. 8. Bagaimanakah pandangan atau pemaknaan masyarakat desa Kemiren terhadap tradisi perang bangkat. 9. Adakah sanksi moral, sanksi hukum atau sanksi sosial yang didapat seseorang sebagai akibat tidak diamalkannya tradisi perang bangkat.