TRADISI PARSUBANG PADA MASYARAKAT BATAK KOTA PEMATANGSIANTAR DITINJAU MELALUI ASPEK SOSIOLOGI MUSLIM-KRISTEN Tri Yoansya Piadini Siregar Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
[email protected] Abstract The developments of the times always affect the development of people‟s lives. The touch of religion and culture has always emerged since ancient times, as the development of religious teachings. Ancestral traditions are still embedded in the hearts and lives of people, because it is tradition that comes first than the teachings of religion. Thus the life of society can‟t be separated from traditions. Every religion and tribe has their own traditions/cultures, one of them batak (Christian) who has a tradition of marriage and death. After the mixing of batak (Christian) society with Islamic society, the tradition is also touching. Islam and Christianity can‟t be united in the field of Worship, there is no word of tolerance. However, tradition / culture here can be one of the unifying factors of society, which is seen in the social field. The tradition of Batak society (Christian) one of them Parsubang in marriage and death, is a form of social interaction of the community and contributes to prevent the division of society. Keywords: wedding tradition, tradition of death, culture, parsubang, contribution
Abstrak Perkembangan zaman selalu mempengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat. Persentuhan agama dan budaya selalu muncul sejak zaman dahulu seiring perkembangan ajaran agama. Tradisi nenek moyang masih tertanam dalam hati dan kehidupan masyarakat, karena tradisi itulah yang lebih dahulu hadir dibanding ajaran agama. Maka kehidupan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari tradisi-tradisi. Setiap agama dan suku memiliki tradisi/budaya masing-masing, salah satunya suku batak (Kristen) yang memiliki sebuah tradisi pernikahan dan kematian. Setelah berbaurnya masyarakat batak (Kristen) dengan masyarakat Islam, maka tradisi tersebut juga bersentuhan. Islam dan Kristen tidak dapat disatukan dalam bidang Ibadah, tidak ada kata toleransi. Namun, tradisi/budaya disini dapat menjadi salah satu faktor pemersatu masyarakat, yakni dilihat dalam bidang sosial. Tradisi masyarakat batak (Kristen) salah satunya Parsubang dalam pernikahan dan kematian, merupakan bentuk interaksi sosial masyarakat dan memberikan kontribusi mencegah perpecahan masyarakat. Kata Kunci: tradisi pernikahan, tradisi kematian, budaya, parsubang, kontribusi
Pendahuluan Tradisi adalah sebuah adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat atau penilaian/anggapan bahwa cara-cara
158 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 yang telah ada yang merupakan paling baik dan paling benar. 1 Kajian tradisi dalam ranah masyarakat biasanya selalu berkaitan dengan
agama, agama
seringkali diposisikan sebagai salah satu sistem acuan nilai (system of referenced value) dalam keseluruhan sistem tindakan (system of action) yang mengarahkan dan menentukan sikap serta tindakan umat beragama.2 Kemunculan tradisi serta adat budaya ini akan selalu hadir dan berkembang seiring berkembangnya masyarakat. Masyarakat tidak akan pernah meninggalkan sebuah adat yang sudah diwariskan turun temurun, apalagi menurut sebagian masyarakat adat itu tidak menyalahi agama. Pada zaman nenek moyang dahulu, masyarakat masih buta terhadap agama, sehingga segala sesuatu yang dikerjakan masyarakat hanya dilihat dari sisi baik buruknya terhadap kehidupan. Setelah datangnya syiar agama yang dibawa oleh para pemuka agama, mulailah masyarakat mencocokkan antara tradisi nenek moyang dengan ajaran agama. Setiap
masyarakat
menganut
pemahaman
agama
yang
berbeda,
menjalankan tradisi yang berbeda pula. Layaknya negara Indonesia yang hidup dengan berbagai agama, suku, ras, bahasa. Kemajemukan masyarakat Indonesia ini dapat sebagai asset apabila dipandang dari segi dinamika sosial, karena secara sosial masyarakat bias maju dan berkembang salah satunya adalah disebabkan pertemuan berbagai unsur budaya dalam masyarakat.3 Namun, setiap agama, suku memiliki ciri khas masing-masing ataupun kebudayaan kelompok. Adat atau budaya sering dijadikan dasar dalam kehidupan sosial, sehingga dalam hal inilah sering terjadi perbedaan bahkan persamaan persepsi. Sumatera Utara khususnya sebuah daerah yang apabila dilihat dari sejarah daerah pertama kali penyebaran agama Islam dimulai dari kota Barus. Sumatera Utara juga daerah yang banyak dikenal dengan masyarakat batak, beragam suku, dan budaya. Batak merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki upacara tradisional yang masih dipertahankan hingga sekarang, seperti dalam hal pernikahan, kelahiran, kematian, pesta adat, dan lain sebagainya. Dari kondisi tersebut, tulisan ini berfokus untuk membahas dan menguraikan lebih lanjut salah satu tradisi masyarakat batak yaitu dalam hal pernikahan yang terdapat beberapa perbedaan pendapat antara dua agama yaitu Islam dan Kristen terkhusus di Kota Pematangsiantar yang merupakan salah satu bagian dari daerah Provinsi Sumatera Utara.
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 159 Kemajemukan Masyarakat Melihat kondisi Indonesia yang beragama suku, budaya, dan adat istiadat serta agama pastilah terjadi perbedaan. Bagi masyarakat Indonesia, agama memegang peranan yang sangat penting seperti tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan pada ayat 2 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Dalam agama rawan sekali adanya perselisihan, untuk itu pemerintah melindungi umat beragama dan menganjurkan untuk rukun pada sesamanya. Memahami agama, tidak sebatas pada pemahaman secara formal, melainkan harus dipahami sebagai sebuah kepercayaan, sehingga akan bersikap toleran kepada pemeluk agama lain. Akan tetapi, bila seseorang hanya memahami agama secara formal saja yang mempunyai klaim kebenaran tunggal dan paling baik. Sementara itu agama lain dipandang telah mengalami reduksionisme (pengurangan), karena itu tidak benar dan kurang sempurna. Sikap ini memunculkan hegemoni agama formal sedemikian rupa sehingga agama lokal, agama suku ataupun agama kecil terpinggirkan oleh agama formal. Maka dari itu memahami agama hendaknya tidak hanya pada klaim kebenaran saja tetapi menginduksi dari interaksi sosial keagamaan antar umat beragama yang akan memunculkan sikap toleransi terhadap agama lain. Rasa kesadaranlah yang mampu memberikan solusi dalam diri manusia dalam kehidupan beragama. Jadi, saling butuhlah yang tidak mempermasalahkan suatu agama satu sama yang lain dan secara sosiologis masalah ini tidak terelakkan.4 Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Karena kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa munajat dan lainnya menimbulkan mental tertentu seperti rasa takut, rasa optimis pasrah terhadap individu dan masyarakat. Agama itu dapat dilihat dari tingkah laku manusia dengan tata caranya beribadah dan kepercayaannya terhadap kenyataan dan dilihat dalam
160 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 wujud tingkah laku kesehariannya, bahkan agama itu dapat dibuktikan dengan kepercayaaan kepada sesuatu yang gaib.5 Menurut Mun‟im A. Sirry, bahwa perbedaan agama sama sekali bukan halangan umat melakukan kerjasam (dalam bidang sosial), bahkan Alquran menggunakan kalimat lita’arofu dalam Qs. Al-Hujuraat ayat 13 yang berbunyi :
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”6 Dalam ayat tersebut diperkenalkan supaya saling mengenal, kemudian diberi konotasi “saling membantu”. Tidak ada pengkhususan hanya bagi umat Islam, atau dapat diartikan bahwa perintah Allah kepada umat Islam untuk saling mengenal selain Islam. Hubungan sesama warga negara yang muslim dan non muslim sepenuhnya ditegakkan atas asas-asas toleransi, keadilan, kebajikan dan kasih sayang yaitu asas yang tidak pernah dikenal oleh kehidupan manusia sebelum Islam dan masih merupakan barang langka sehingga menyebabkan umat manusia merasa mengalami berbagai penderitaan yang amat pedih.7 Fenomena kehidupan beragama yang terjadi dalam masyarakat akan mempengaruhi tingkah laku suatu kelompok masyarakat, karena
pengaruh
lingkungan terhadap masyarakat sangat besar efeknya terhadap prilaku seharihari, oleh karena itu masyarakat digolongkan kepada anggota-anggota masyarakat dapat dibuat berdasarkan ciri yang sama, misalnya masyarakat digolongkan kepada janis kelamin seperti pria dan wanita dan masyarakat juga dapat digolongkan kepada usia seperti tua dan muda. Adapun yang dimaksud sebagai fenomena kehidupan beragama ialah peran agama dalam mengatasi persoalanpersoalan yang terjadi di dalam masyarakat.8 Dalam mengetahui peran agama dalam masyarakat ada tiga hal yang harus di lihat dalam suatu kelompok masyarakat seperti kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Dari ketiga aspek
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 161 ini dapat dilihat sejauh mana fenomena agama bisa berperan dalam sistem sosial masyarakat, dan sejauh mana peran agama dalam mempertahankan kehidupan pribadi.
Masyarakat Batak Masyarakat batak ini juga merupakan salah satu kelompok terbesar di wilayah Sumatera Utara, di samping itu dalam batak sendiri memuat tradisi-tradisi adat yang rumit dan menarik untuk dikaji. Penyebaran masyarakat batak tersebut melahirkan proses akulturasi dan adaptasi budaya. Tidak jarang dari proses akulturasi
itu melahirkan nuansa budaya
yang unik
dan
khas
yang
membedakannya dari kelompok masyarakat lainnya. Suku batak banyak mendominasi perkembangan masyarakat mendapat posisi lebih untuk menarik perhatian kaum lain9 dalam rangka melihat nilai-nilai kebudayaan yang mereka miliki. Seperti dalam hal pernikahan, kelahiran, kematian, pesta adat, dan lain sebagainya. Semua diatur sedemikian rupa oleh adat yang telah disepakati sejak zaman nenek moyang dan diwariskan secara turun-temurun. Setiap masyarakat dalam perkembangannya dapat membentuk tradisi dalam strata kecil maupun besar. Hasil pemikiran, cipta dan karya manusia merupakan kebudayaan yang berkembang pada masyarakat, pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara terus menerus pada akhirnya menjadi sebuah tradisi.10 Tradisi merupakan proses situasi kemasyarakatan yang di dalamnya unsur-unsur dari warisan kebudayaan dan dipindahkan dari generasi ke generasi.11 Pewarisan kebudayaan adalah suatu proses, perubahan, atau cara mewarisi budaya masyarakatnya.12 Dalam proses pewarisan kebudayaan ini seseorang mengalami pembentukan sikap untuk berprilaku sesuai dengan kelompok masyarakatnya. Tradisi yang diwariskan secara turun temurun ini akan senantiasa hadir meskipun silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian.
Tradisi Parsubang Masyarakat batak memiliki sebuah tradisi dalam pesta pernikahan, Parsubang yang merupakan sebuah sebutan bagi perorangan maupun kelompok yang mengikuti atau akan menghadiri pesta pernikahan. Dalam masyarakat batak sendiri Parsubang ini diartikan bagi kelompok saudara yang tidak diperbolehkan
162 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 memakan daging babi, dan terbiasa digolongkan dengan umat Islam yang menghadiri pesta tersebut. Pihak yang memiliki hajatan biasanya menyediakan makanan yang tidak mereka masak sendiri, melainkan menggunakan jasa orangorang yang dapat memasak makanan biasa yang disuguhkan untuk para Parsubang, seperti daging ayam, telur, maupun sayuran. Menurut pendapat sebagian masyarakat batak, Parsubang ini diadakan untuk menghargai saudara yang tidak bisa memakan daging babi dan juga masyarakat Islam yang diundang pada acara tersebut dengan tujuan agar tidak adanya rasa keraguan ketika memakan makanan pada acara masyarakat batak. Sementara menurut sekelompok masyarakat Islam, Parsubang itu adalah sebutan bagi sekelompok masyarakat yang dimintai pertolongan oleh masyarakat batak untuk memasak makanan bagi undangan yang selain batak. Dalam kegiatan ini hadirlah interaksi masyarakat batak dengan masyarakat Islam untuk konteks kehidupan sosial, karena dalam kehidupan ini selalu ada perbedaan. Agama Islam sendiri menjelaskan dalam hidup untuk saling mengenal dalam perbedaan berbagai suku dan bangsa.13 Kemudian terjadi beberapa perbedaan pendapat dalam memandang defenisi Parsubang sendiri. Masyarakat batak sendiri yang terbagi dalam beberapa suku lagi, seperti batak toba, batak mandailing, batak karo, batak simalungun, intern saja memiliki perbedaan dalam memangdang Parsubang tersebut. Begitu juga dengan ektern masyarakat, sebagian orang menganggap kesalahan dalam Parsubang itu yang dihadirkan dalam kehidupan bermasyarakat bagi masyarakat Islam. 1. Sejarah Parsubang Menurut sebagian pemuka adat dari kalangan batak, Toba khususnya menyatakan bahwa parsubang ini sebuah tradisi yang sudah dilaksanakan serta diyakini mereka sejak jaman Sisingamangaraja. Dahulu, parsubang ini hanya diprioritaskan dalam kalangan batak (Kristen) sendiri, karena di dalam kehidupan mereka juga ada sebagian orang dan kelompok yang tidak dapat mengkonsumsi makanan khas batak ini disebabkan berbagai faktor. Baik faktor umur, kesehatan, keyakinan, doktrin, dan sebagainya. Kemudian dengan berkembangnya penduduk yang terdiri dari berbagai etnis dan agama yang dianut. Sisi ajaran agama, tidak hanya dilihat sebagai
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 163 formulasi hubungan dengan Tuhan secara vertical. Akan tetapi, juga dimensi humanitas yang dimiliki, yaitu formulasi hubungan horizontal sesama umat manusia. Masyarakat batak sangat kuat untuk mempertahankan adat istiadat. Hingga adakalanya keyakinan dan adat isitiadat it menjulang tinggi bagaikan hendak mencakar langit, kadang bergeming ke bawah, hingga mengundang keprihatinan14. Masyarakat batak yang memiliki tradisi sebuah makanan khas yang dikonsumsi terkhusus pada acara-acara tertentu seperti pesta, hari perayaan, jamuan, kematian, dan lainnya yaitu daging Babi. Menjadi kontroversi ketika hubungan humanitas sesama masyarakat mulai berkembang. Karena masyarakat batak (muslim) tidak dapat mengkonsumsi makanan tersebut. Maka ketika ada faktor penghalang antara satu kelompok agama dengan kelompok agama lain menyebabkan terhambatnya hubungan interaksi sesama umat manusia. Dan selanjutnya, demi kelancaran hubungan kemasyarakatan dicarilah titik temu antar sesama agar tidak terjadi perselisihan, hingga muncullah istilah parsubang. Biasanya, pada sebuah pesta jamuan atau resepsi, muncul istilah parsubang yang artinya makanan yang dimasak non Islam tidak boleh dimakan orang beragama Islam. Ini suatu keyakinan yang tidak dapat ditawar-tawar. Namun dalam membina kerukunan umat beragama, terciptanya persaudaraan dan persahabatan semua pihak patut diupayakan. Harus dapat memperoleh kebersamaan, yaitu makanan yang dimasak oleh Islam, boleh dikonsumsi golongan apapun juga. Maka dalam Islam tidak ada istilah parsubang.
2. Praktik Parsubang Parsubang ini biasa muncul dalam kegiatan pernikahan, jamuan makan, kematian, dan lainnya. a. Pernikahan Perkawinan Kristen adalah perkawinan antara seorang suami dengan istri, yang untuk seumur hidup, saling mengikatkan diri dalam ikatan kasih-setia. Perkawinan Krsiten memiliki tiga asas pokok, yaitu asas monogamy, asas kesetiaan (fidelitas) dan asas seumur hidup (indisolubilitas). Dalam agama Kristen, istilah perkawinan disebut juga pernikahan atau nikah. Mereka memandang bahwa nikah itu suatu ketetapan Allah. Hal ini berdasarkan pada
164 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 kesaksian Alkitab pada kejadian 2 ayat 24 dan Matius 19 ayat 3. Pada satu pihak ia adalah suatu hubungan (antara suami dan istri yang diatur dan disahkan oleh hukum). Pada pihak lain ia adalah suatu hubungan yang didasarkan atas penetapan atau peraturan Allah.15 Hal ini sesuai dengan firman Tuhan dalam Kejadian 2 ayat 18, yaitu “Tidak baik, kalau manusia itu sendiri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.16 Menurut agama Kristen, Tuhan menghendaki pernikahan sebagai suatu perseketuan hidup, dalam kasih Tuhan, dalam menghayati berkat pernikahan dan dalam menunjukkan perhatian pada pekerjaan masing-masing. Terdapat ajaran Tuhan Yesus tentang perkawinan dalam perjanjian baru (Matius 19: 5-6), yaitu: Ayat 5: sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Ayat 6: demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.17 Berdasarkan ayat ini, gereja menganggap perceraian adalah satu kesalahan, namun dengan itu tidak menutup kemungkinan untuk memulai perkawinan baru.18 Kemudian, pernikahan yang dilakukan gereja bukanlah untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu pernikahan, tetapi untuk meneguhkan dan memberkati suatu pernikahan yang sudah disahkan oleh Negara dihadapan hukum yang dilangsungkan dan dicatat oleh Kantor Catatan Sipil (Pasal 81 KUH Perdata). SK Mendagri No. 97 tahun 197819, bahwa pemerintah mengangkat pemuka agama (pendeta/pastor) untuk bertindak atas nama pemerintah, dengan sebutan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan. Tujuan pernikahan dalam Kristen20 yaitu: 1. Melahirkan anak-anak dan mendidik mereka dalam penyembahan kepada Tuhan 2. Kesetiaan suami dan istri, satu sama lain 3. Karakter pernikahan tidak dapat dibatalkan, yaitu karena ini mencirikan persatuan yang tidak dapat diceraikan antara Kristus dan gereja. Dalam sebuah perkawinan setiap agama, tentunya memiliki susunan tradisi masing-masing dalam pelaksanaan pernikahan tersebut. Begitu pula dengan agama Kristen, salah satu agama yang berkembang di Kota
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 165 Pematangsiantar dan memiliki mayoritas penganut paling banyak. Kristen memiliki struktur tradisi dalam melaksanakan pernikahan dan pesta, untuk sacral pernikahan yang dilaksanakan di dalam gereja, hanya dihadiri oleh kelompok yang seakidah dengan mereka. Namun, dalam peresmian kebahagiaan yaitu pesta pernikahan tersebut, kemungkinan besar akan dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat yang menerima undangan pernikahan itu. Pada Kota Pematangsiantar terdapat berbagai macam suku, agama, ras, bahasa, dan sebagainya. Masyarakat Pematangsiantar juga hidup berdampingan antara satu agama dengan agama lain. Berdasarkan dengan ini, maka apabila satu pihak keluarga memiliki sebuah acara, tentunya tidak ada perbedaan hanya dengan kelompok masing-masing saja, terutama dalam acara umum seperti pesta pernikahan. Demi menghargai pertemuan dan persatuan antar masyarakat yang berbeda agama, pada sebuah pesta dalam agama Kristen, lahirlah sebuah tradisi yang sering disebut dengan tradisi Parsubang. Tradisi Parsubang ini dilaksanakan karena adanya beberapa faktor pada individu masyarakat yang tidak dapat mengkonsumsi makanan khas orang Batak. Sebagai penjelasan utama,
masyarakat batak (Kristen) terkenal dan
biasanya mengkonsumsi daging Babi, terutama dalam acara-acara besar, daging tersebut menjadi tradisi mereka meskipun tidak ada landasan maupun doktrin dalam agama mereka untuk wajib menggunakan dan mengkonsumsi daging babi. Maka dari itu, dalam pesta adat pernikahan masyarakat batak terbiasa menggunakan daging babi untuk sesuguhan kepada para tamu yang hadir. b. Kematian Meninggal dunia atau kematian adalah proses alami yang harus berlaku bagi setiap manusia. Bagi masyarakat batak, kematian memiliki arti tersendiri yang tidak lepas dari pelaksanaan upacara adat. Umat Kristen memiliki perayaan resmi peringatan kematian yang membantu menempatkan ia sebagai anggota masyarakat21. Upacara untuk orang yang meninggal dunia bagi masyarakat batak sudah menjadi tradisi budaya sejak dahulu kala, turun temurun sampai sekarang. Tujuannya adalah untuk memberi penghormatan terakhir kepada yang meninggal dan memberikan kata penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, juga rasa
166 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 syukur terhadap Tuhan atas seluruh bimbingannya saat yang meninggal masih hidup. Masyarakat batak, tidak semua kematian dilakukan upacara adat. Sehingga dengan demikian, tidak pada semua kematian terdapat gotong royong. Upacara adat tergantung tingkatan kematian, berikut tingkat kematian pada masyarakat batak22: 1. Mate di Bortian 2. Mate poso-poso 3. Mate Dakdanak dan Mate Bulung 4. Mate Mangkar 5. Mate Sari Matua 6. Mate Saur Matua 7. Mate Mauli Bulung Upacara adat hanya dilakukan pada mate sari matua , mate saur matua, dan mate mauli bulung. Pelaksanaan upacara adat pada kematian mate sari matua dan mate saur matua relatif sama, dan sedikit perbedaan pada mate mauli bulung. Namun, yang dibahas pada bagian ini hanya upacara adat mate sari matua dan mate saur matua. Pada kematian sari matua atau saur matua, masyarakat batak membuat sanggul marata, yakni rangkaian yang terdiri atas ranting pohon beringin, ompuompu „sejenis bunga‟, sanggar, padi, buah kemiri, dan lainnya yang dirangkai dalam bentuk bakul. Sanggul marata diletakkan di bagian atas jenazah pertanda bahwa yang meninggal telah memiliki cucu. Simbol ini sebagai ungkapan rasa syukur atas umur panjang dari yang meninggal, dan agar mendukung budaya, karena sanggul marata ini tidak menyalahi ajaran agama.23 Berikut beberapa tahapan pelaksanaan upacara adat pada tradisi kematian secara umum pada masyarakat batak, yaitu: 1. Pasada Tahi 2. Marria Raja 3. Mompo 4. Partuatna 5. Manuan Raja ni Duhut-duhut atau Ompu-ompu
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 167 Seperti itulah beberapa gambaran umum masyarakat batak pada upacara adat kematian keluarga. Tidak dilupakan dalam kegiatan upacara adat tersebut, pihak tuan rumah yang berduka tetap memberi jamuan makan kepada para pelayat yang menjaga dan melihat saudara mereka yang telah meninggal. Telah diketahui bersama, secara umum umat Kristen memiliku hari duka mulai dari 3 hingga 5 hari, jenazah baru dikebumikan. Berbeda dengan umat Islam tentunya. Pada masa jenazah itu masih ada di dalam rumah duka sebelum dikebumikan, selama itu jugalah pihak duka menyediakan makan bagi keluarga, tetangga, sanak saudara yang melayat. Pada upacara ini, umat Kristen umumnya tetap memotong babi dan memasak daging tersebut. Namun, karena terkadang terdapat umat Islam dan lain yang datang melayat di rumah duka itu, pihak keluarga memasak daging yang bisa dimakan umat lain secara umum, seperti kerbau dan lain-lain. Maka pada upacara adat kematian, diadakanlah parsubang itu untuk memasak makanan bagi umat lainnya. Tetapi, dengan mewawancarai beberapa masyarakat Islam yang telah menjalankan itu, mereka tidak ada yang mau makan pada acara tersebut. Bahkan pihak Islam yang memasak itu sendiri terkadang tidak mau untuk memakannya.24 Sudah menjadi tradisi, biasanya upacara adat kematian ini jauh lebih mahal biayanya disbanding upacara adat pernikahan. Maka, terkadang upacara kematian ini juga dilihat dari faktor ekonomi pihak keluarga yang berduka. Contohnya, pada upacara adat kematian Walikota Pematangsiantar pada waktu itu yang dijabat oleh Bapak Hulman Sitorus. Pihak keluarga duka, mengadakan upacara adat dengan memotong dua ekor kerbau, dan tidak ada menyembelih daging babi, karena menyadari bahwa almarhum adalah pejabat Kota Pematangsiantar yang memiliki rekan, teman, saudara, staff, dan lainnya berasal dari agama dan suku yang berbeda, tentu yang akan datang melayat almarhum Bapak Walikota ini bukan hanya dari pihak Kristen, tetapi banyak masyarakat Islam yang juga melayat ke rumah duka.25 c. Syukuran Pada masyarakat batak secara umum hampir semuanya sama, dalam tradisi Mandailing seperti acara upah-upah. Seperti itulah yang biasa dilaksanakan, apabila sembuh dari sakit, mendapat pekerjaan, naik jabatan, wisuda sekolah/
168 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 tamat sarjana, dan sebagainya. Ini merupakan salah satu tradisi kecil yang sangat rutin dilakukan oleh suku batak umumnya. Mandailing contohnya mengadakan tradisi upah-upah menurut adat pada acara pernikahan, sekecilnya yaitu tamat sarjana. Biasanya pihak keluarga memasak ayam kampong, ikan mas yang diarsik, udang, telur ayam kampung, garam, nasi, itulah seminimalnya dan terkadang ada yang memasak kepala kambing. Kemudian itu semua disusun di atas sebuah tampa, nasi diratakan selebar tampa itu, disusunlah ikan mas di kanan kiri nya, di sekitar dihiasi udang dan telur ayam kampong, di tengah diletakkan ayam kampong yang sudah dipotong-potong bagiannya pada saat dimasak dan disusn kembali sesuai bentuk ayam utuh atau apabila kepala kambing, maka kepala itu yang diletak di tengah nasi. Setelah itu, sajian itulah yang diletakkan di depan orang yang mendapatkan kebahagiaan, ini merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang disampaikan dengan memberikan makan kepada anak/saudaranya dengan tujuan agar semakin berkah dan bahagia hidupnya ke depan.26 Sama dengan masyarakat batak, mereka juga mengadakan hal seperti di atas, bedanya mayoritas batak menggunakan daging babi pada saat mengadakan syukuran tersebut. Menurut Ibu Mindo, daging babi yang dimasak itu disebut dengan jambar. Selanjutnya setelah daging tersebut dimasak dan disusun sesuai adat dan tradisi yang berlaku, setiap bagian daging itu dibagikan kepada para tetuah dan keluarga yang berhak menerima bagiannya sesuai dengan struktur tutur adat. Maka ada sebutan bagi mereka yaitu pembagian jambar (membagi hak daging).27 Namun, karena seringnya terjadi pencampuran antar agama dalam tradisi ini, maka ditetapkan adanya parsubang. Jadi, yang memasak untuk tudu-tudu ini adalah pihak Islam. Contoh: pihak keluarga ingin memberi makan/syukuran kepada orang tuanya yang beragama Islam karena telah sehat dari sakit, sementara anaknya tersebut terdiri dari berbagai agama (Islam dan Kristen), maka tidak mungkin pihak Kristen memasak daging babi untuk keluarganya, karena itu tidak layak disuguhkan, dengan itu dicarilah jenis hewan yang layak dijadikan tudutudu untuk diberikan kepada orang tuanya tersebut, biasanya diganti dengan kepala kerbau atau kambing.28
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 169 d. Persatuan Marga Masyarakat batak Kota Pematangsiantar biasanya memiliki arisan persatuan marga, arisan ini dibentuk karena adanya persamaan suku dan budaya serta rasa saling menyayangi karena dianggap satu keturunan nenek moyang. Arisan ini dilaksanakan setiap sebulan sekali, mereka mengadakan pertemuan sesama marga disalah satu rumah yang telah disepakati bersama sebelumnya. Kemudian di dalam arisan ini tidak dibentuk karena persamaan agama, maka berbagai macam penganut agama di dalamnya yang penting dalam satu marga/keturunan. Berdasarkan persamaan suku dan perbedaan agama ini, maka setiap makanan yang dihidangkan pada saat arisan tersebut dicarilah makanan yang halal terutama bagi yang umat Islam. Adanya parsubang di sini, diminta/dipesan oleh pihak tuan rumah bahkan sudah ada satu orang yang ditunjuk memang khusus menjadi juru masak29 untuk memasak makanan setiap mereka arisan. Apabila terpaksa, mereka akan memesan makanan dari rumah makan yang sudah terjamin kehalalannya, seperti rumah makan Bukit Tinggi, RM. Panorama, dan sebagainya di Kota Pematangsiantar.
3. Dampak Parsubang menjadi salah satu bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam kehidupan amsyarakat. Interaksi sosial sendiri disebut dengan istilah Hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia), yaitu hubungan individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Filosofi yang dipakai ialah Bhinneka Tunggal Ika, meski berbeda agama, suku, budaya, tetap harus mengutamakan kesatuan bernegara, bersatu dalam perbedaan, untuk menghhindari terjadinya gesekan-gesekan sosial antar penganut agama.30 Islam memandang interaksi-interaksi seperti ini membentuk hubungan sosial, dengan istilah popular silaturahmi yang artinya hubungan kasih sayang. Dasar terbentuknya ukhuwah islamiyah, firman Allah dalam Alquran yaitu:
ْ ُُوا بَيهَ أَخ ََوي ُكم َوٱتَّق ْ إِوَّ َما ٱل ُمؤ ِمىُونَ إِخ َوة فَأَصلِح ٠١ َوا ٱ ََّّللَ لَ َعلَّ ُكم تُر َح ُمون Artinya: orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.31
170 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 Bentuk persaudaraan/persatuan yang diajarkan oleh Alquran tidak hanya karena faktor satu aqidah saja, tetapi juga dianjurkan untuk melakukan hubungan dengan umat lain. Menurut Ali Nurdin, istilah yang terdapat dalam Alquran untuk menjalin hubungan dengan umat lain, tidaklah memakai kata ukhuwah melainkan toleransi. Toleransi maksudnya tolong menolong dan saling menghargai antar penganut agama. Toleransi yang dibenarkan yaitu toleransi dalam bidang kehidupan sosial, sedangkan dalam bidang ibadah dan akidah tidak dibenarkan. Umat Kristen juga mempunyai anjuran untuk hidup saling berinteraksi antar sesamanya dan berbuat baik kepada sesama, yang terdapat dalam Kitab Kejadian (26) ayat 28-31 yaitu: “Jawab mereka: kami telah melihat sendiri bahwa Tuhan menyertai engkau, sebab itu kami berkata: baiklah kita mengatakan sumpah setia di antara kami dan engkau, bahwa engkau tidak akan berbuat jahat kepada kami seperti kami tidak akan mengganggu engkau, dan seperti kami semata-mata berbuat baik kepadamu dan membiarkan engkau pergi dengan damai; bukankah engkau sekarang yang diberkahi Tuhan. Kemudian Ishak mengadakan perjamuan bagi mereka, lalu mereka makan dan minum. Keesokan harinya, pagi-pagi bersumpah-sumpahlah mereka. Kemudian Ishak melepaskan mereka, dan mereka meninggalkan dengan damai”.32 Tradisi Parsubang ini dalam kehidupan bermasyarakat memiliki dua dampak yang terjadi dalam kehidupan beragama, disebabkan terjadi beberapa perbedaan pandangan dalam melihat tradisi ini melalui kacamata agama. Beberapa dampak positif yang dapat terjadi karena tradisi ini pada masyarakat ialah: dapat membantu memecahakan kesulitan dalam kehidupan beragama, meningkatkan
solidaritas
antar
kelompok
beragama
di
masyarakat,
mempersatukan persatuan antar masyarakat meski berbeda agama, membentuk interaksi antar umat beragama, menghindari keragu-raguan dalam memakan makanan dari umat berbeda agama, menghadirkan rasa saling menghargai dan menghormati.33 Terdapat pula beberapa dampak negatif yang terjadi pada masyarakat beragama dalam tradisi parsubang ini, yaitu: beberapa pihak memandang bahwa parsubang ini tidak pantas menjadi sebutan kepada pihak Islam, selalu memunculkan rasa keraguan dalam makanan tradisi tersebut, sudah menghadirkan percampuran antara nilai budaya dan agama, minimnya pemahaman/ketelitian
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 171 masyarakat, munculnya sikap sensitif dalam kehidupan beragama, menimbulkan perseteruan antar umat beragama. Setiap manusia berhak memiliki pendapat dan pandangan yang berbedabedan, apalagi dalam hal konteks ini. Beberapa pihak masyarakat, terutama umat beragama Islam memandang tradisi ini sudah termasuk dalam hal akidah. Sehingga mereka tidak mau untuk memakan makanan yang terdapat dalam acara adat umat Kristen, meskipun yang memasak sudah dijelaskan dari pihak Islam. Pada hal-hal seperti inilah yang akan menghadirkan perpecahan umat dalam masyarakat. Contohnya, salah seorang pihak keluarga Batak yang bersuku Simalungun. Beliau bernama Jhon Purba, ayahnya seorang muallaf karena menikah dengan ibunya. Tentunya dari pihak keluarga ayahnya masih banyak yang menganut agama Kristen, dan menjadi hal lumrah ketika pihak keluarga ayahnya mempunyai hajatan pernikahan dan sebagainya mereka sebagai saudara sedarah tetap mendapat undangan. Namun, karena keluarga ayahnya masih menganut agama Kristen, tentunya terdapat adat-adat sesuai ajaran mereka yang dilaksankan dalam acara tersebut. Masakan khas pun pasti disediakan, dan karena itu pihak keluarga Jhon ini tidak mau makan masakan yang terdapat dalam pesta itu, karena rasa keraguan yang tinggi terhadap apa yang disuguhkan kepada mereka.34 Padahal sudah menjadi awam dan menjadi tradisi khusus tersendiri pada masyarakat Kota Pematangsiantar ini kelompok parsubang dalam acara adat batak. Tetapi memang, tradisi dan sebutan ini hanya ada pada masyarakat batak yang beragama Kristen, di dalam Islam tidak ditemukan kelompok-kelompok khusus seperti ini. Karena, segala sesuatu yang disediakan atau dihidangkan umat Islam dalam suatu hajatan, sudah pasti bisa dikonsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat, kembali tergantung kepada individu masyarakat sendiri.
Penutup Uraian di atas telah menyimpulkan beberapa penjelasan bahwa tradisi parsubang telah ada sejak zaman dahulu menurut masyarakat batak, disebabkan pada zaman Sisingamangaraja XII raja tersebut juga tidak dapat mengkonsumsi daging babi, darah, bangkai, dan sebagainya.
172 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175 Kenyataannya, parsubang ini sudah tidak lagi duduk pada defenisi dari kata aslinya, yang awalnya adalah pantangan memakan daging babi. Sekarang seiring berkembangnya masyarakat, kata parsubang itu sudah dikelompokkan keseluruh aspek masyarakat yang tidak memakan daging babi, ayam, kerbau, lembu, sapi, darah, dan lainnya. Bahkan kelompok Kristen Advent pun masuk ke dalam kategori parsubang, yang awalnya parsubang ini hanya diperuntukkan bagi umat Kristen yang tidak dapat makan daging babi disebabkan faktor kesehatan. Kemudian setelah Islam masuk, dialihkan parsubang ini kepada orang Islam dengan menggunakan tata cara umat Islam agar menjadi halal. Makanan umat Islam menjadi tolak ukur masyarakat batak, bahwa apa yang dikonsumsi umat Islam dapat dikonsumsi seluruh masyarakat lainnya. Namun, perbedaan agama bukanlah sebuah sikap yang merujuk pada pembatasan interaksi sosial bagi masyarakat batak, Potensi konflik yang tampak jelas bagi masyarakat Batak yang berbeda agama di wilayah batak adalah yang disebabkan oleh perbedaan konsep aturan agama masing-masing pihak, seperti antara masyarakat Batak yang beragama Islam dan Kristen yang berbenturan kepada pelaksanaan adat. Namun, tenggang rasa, toleransi, bermusyawarah, bernorma telah menunjukkan menunjukkan berfungsinya sistem budaya masyarakat Batak tersebut sebagai katup penyelamat (Savety-Valve) yang menjadikan hubungan antar masyarakat berbeda agama dapat bertahan sampai saat ini dalam waktu yang sangat panjang. Masyarakat Pematangsiantar, pada garis besarnya didominasi etnis batak Toba. Kemudian bertambah etnis pendatang, seperti Mandailing, Minang, Jawa, Nias dan lainnya. Agama yang dianut, umumnya Kristen dan Islam. Berdasarkan keragaman etnis dan agama, sangat berpotensi menciptakan pertentangan dan permusuhan, serta memudahkan provokator. Karenanya, menjadi penting untuk meningkatkan kembali semangat para nenek moyang/foulding father yang dirumuskan dahulu, yaitu meski berbeda tetap satu, tidak luput kembali pada asas Negara Indonesia sendiri Bhinneka Tungga Ika.
Catatan 1
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed 3, (Jakarta: PT. Persero Penertiban dan Percetakan Balai Bahasa, 2003), h. 1208.
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 173
2
Zainuddin Daulay e.d, Riuh di Beranda Satu : Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta: Depag, 2003), h. 61. 3
Ensiklopedi Indonesia, Jilid III (PT. Ichtiar baru Van Hoeve), h. 1263.
4
Fatimah Usman, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama, (Yogyakarta: LKIS, 2002), h. 6. 5
Suheri Harahap, Realita Keberagaman, (Medan : La Tansa Press, 2009), h. 8.
6
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya Syamiil Quran. 2009, h. 519.
7
Hasanuddin, Kerukunan Hidup Beragama Sebagai Pra Kondisi Pembangunan, (Jakarta: Depag, 1981), h. 7. 8
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), h.
131. 9
Kaum lain maksudnya masyarakat di luar batak.
10
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 322.
11
Thomas Dawes Elliot, dalam Henry Pratt Fair Child (ed.), Dictionary of Sociology and Related Sciences, (New Jersey: Little Field, Adam & Co, 1975), h. 322. 12
Ach. Nadlif dan M. Fadlun, Tradisi Keislaman, (Surabaya: al-Miftah, tt), h. 7.
13
Lihat Alquran Surah al-Hujurat ayat 13.
14
Imran Napitupulu, Tano Batak Parsubang, (Tobasa: 2007).
15
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet. 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 111. 16
Alkitab, cet. 13 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001), h. 2.
17
Alkitab, h. 55.
18
Ibid, h. 113.
19
Weinata Sairin dan J.M. Pattiasina, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), h. 17. 20
James F. White, Pengantar Ibadah Kristen, cet. 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002),
h. 289. 21
Jean Holm dan John Bowker, ed. Ritus Peralihan Dalam Berbagai Agama, (Medan: Bina Media Perintis, 2007), h. 53. 22
Robert SIbarani, Kearifan Lokal Gotong Royong Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba, (Medan: Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Sumatera Utara/BAPERASDOK, 2014), h. 89-91. 23
Wawancara Bapak Champion Siagian.
24
Wawancara kepada Ibu Hendrik sebagai anggota masak parsubang, pada tanggal 16 Februari 2017, pukul 11.00 Wib. 25
Penjelasan oleh Bapak Champion Siagian yang menjadi salah satu tokoh adat mencakup 5 marga di Kota Pematangsiantar dan sebagai salah seorang panitia dalam upacara adat kematian Bapak Walikota Pematangsiantar Hulman Sitorus dan Oppung Simanjuntak.
174 Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 157-175
26
Penjelasan Ompung Syawal pada tanggal 09 Februari 2017, pukul 20.30 Wib.
27
Penjelasan Ibu Mindo Napitupulu, pada tanggal 14 Februari 2017, pukul 11.12 Wib.
28
Wawancara dengan Hendra Saragih sebagai ketua Gemais, pada tanggal 27 Februari 2017, pukul 09.46 Wib. 29
Wawancara dengan Ibu Hutasuhut sebagai anggota parsubang yang menangani masakan arisan batak, pada tanggal 15 Februari 2017, pukul 14.27 Wib. 30
Syahrul, Sosiologi Islam, (Medan: IAIN Press, 2001), h. 74.
31
Q.S. Al-Hujurat: 10.
32
Alkitab, Kitab Kejadian (26) ayat 28-31.
33
Wawancara dengan Bapak Withley Simanjuntak selaku tokoh masyarakat, pada tanggal 23 Februari 2017, pukul 10.00 Wib. 34
Wawancara dengan Jhon Purba, Salah Satu Staff Kepengurusan dalam GEMAIS, pada tanggal 18 Februari 2017, pukul 16.21 Wib.
Daftar Pustaka Alkitab, cet. 13. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001. Alkitab, Kitab Kejadian (26) ayat 28-31. Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed 3. Jakarta: PT. Persero Penertiban dan Percetakan Balai Bahasa, 2003. Daulay, Zainuddin, e.d. Riuh di Beranda Satu : Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Depag, 2003. Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya Syamiil Quran. 2009. Elliot, Thomas Dawes. Dalam Henry Pratt Fair Child (ed.). Dictionary of Sociology and Related Sciences. New Jersey: Little Field, Adam & Co, 1975. Ensiklopedi Indonesia, Jilid III. PT. Ichtiar baru Van Hoeve. F. White, James. Pengantar Ibadah Kristen, cet. 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002. Harahap, Suheri. Realita Keberagaman. Medan : La Tansa Press, 2009. Hasanuddin. Kerukunan Hidup Beragama Sebagai Pra Kondisi Pembangunan. Jakarta: Depag, 1981. Holm, Jean dan John Bowker, ed. Ritus Peralihan Dalam Berbagai Agama. Medan: Bina Media Perintis, 2007.
Tradisi Parsubang Masyarakat Batak (Tri Yoansya Piandini) 175
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006. Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984. Nadhlif, Ach dan M. Fadlun. Tradisi Keislaman. Surabaya: al-Miftah, tt. Napitupulu, Imran. Tano Batak Parsubang. Tobasa: 2007. O.S. Eoh. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, cet. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996. Penjelasan Ibu Mindo Napitupulu, pada tanggal 14 Februari 2017, pukul 11.12 Wib. Penjelasan oleh Bapak Champion Siagian yang menjadi salah satu tokoh adat mencakup 5 marga di Kota Pematangsiantar dan sebagai salah seorang panitia dalam upacara adat kematian Bapak Walikota Pematangsiantar Hulman Sitorus dan Oppung Simanjuntak. Penjelasan Ompung Syawal pada tanggal 09 Februari 2017, pukul 20.30 Wib. Sairin, Weinata dan J.M. Pattiasina. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Sibarani, Robert. Kearifan Lokal Gotong Royong Pada Upacara Adat Etnik Batak Toba. Medan: Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Sumatera Utara/BAPERASDOK, 2014. Syahrul. Sosiologi Islam. Medan: IAIN Press, 2001. Usman, Fatimah. Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta: LKIS, 2002. Wawancara Bapak Champion Siagian. Wawancara dengan Bapak Withley Simanjuntak selaku tokoh masyarakat, pada tanggal 23 Februari 2017, pukul 10.00 Wib. Wawancara dengan Hendra Saragih sebagai ketua Gemais, pada tanggal 27 Februari 2017, pukul 09.46 Wib. Wawancara dengan Ibu Hutasuhut sebagai anggota parsubang yang menangani masakan arisan batak, pada tanggal 15 Februari 2017, pukul 14.27 Wib. Wawancara dengan Jhon Purba, Salah Satu Staff Kepengurusan dalam GEMAIS, pada tanggal 18 Februari 2017, pukul 16.21 Wib. Wawancara kepada Ibu Hendrik sebagai anggota masak parsubang, pada tanggal 16 Februari 2017, pukul 11.00 Wib.