TRADISI MEAGO-AGO DALAM MASYARAKAT TALUKI: TINJAUAN SEMIOTIKA BUDAYA MEAGO-AGO TRADITION IN TALUKI SOCIETY: CULTURAL SEMIOTICS STUDY Uniawati Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara Jalan Haluoleo, Kompleks Bumi Praja, Anduonohu, Kendari Pos el:
[email protected] Handphone: 081341577717 Diterima: 13 Februari 2015; Direvisi: 18 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACK This writing aimed to describe the background of meago-ago tradition in Taluki community, procession, and meaning and the value behind its implementation by cultural semiotics. This research used interview and observation in collecting data. The data was analyzed based on the theory of cultural semiotics by Charles 6DQGHU3LHUFH7KHUHVXOWVRIWKLVUHVHDUFKVKRZHGWKDW¿UVWRIWKHLPSOHPHQWDWLRQPHDJRDJREDVHGRQWKH tragic events due to the spread of a plague that causes many citizens Taluki died. The second, a procession of meago-ago divided in three steps they are the determination of procession time, the implementation time, and mass bath . Every step is a unique and special in ritual practicing. Third, meago-ago as an element, contained the two main, element, they are instrument and spell. Instrument consists of bamboos, reeds plaited, house, and “sesajian” which means honesty, four angles of nature, place of refuge, and gratitude. Keywords: meago-ago, meaning, cultural semiotics ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan latar belakang pelaksanaan tradisi meago-ago masyarakat Taluki, prosesi pelaksanaan, serta makna peralatan dan mantra yang digunakan melalui pendekatan semiotika budaya. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan langsung. Data yang diperoleh adalah data lisan berupa penjelasan dan keterangan informan terkait tradisi meago-ago. Data tersebut dianalisis berdasarkan teori semiotika budaya Charles Sander Pierce. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan meago-ago dilatarbelakangi oleh sebuah peristiwa tragis akibat menyebarnya suatu wabah yang menyebabkan banyak warga masyarakat Taluki meninggal dunia. Prosesi pelaksanaan meago-ago dibagi dalam tiga tahapan, yaitu penentuan waktu pelaksanaa, pelaksanaan, dan mandi massal. Tiap tahap yang dilaksanakan merupakan sebuah ide-ide khas dan praktek khusus ritual. Meago-ago sebagai sebuah ritual mengandung dua unsur utama, yaitu peralatan dan mantra. Peralatan terdiri atas bambu buluh, anyaman, rumah-rumahan, dan sesajian yang bermakna kejujuran, empat sudut alam, tempat perlindungan, dan rasa syukur. Kata kunci: meago-ago, makna, semiotika budaya
PENDAHULUAN Taluki adalah nama salah satu etnis yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara, tepatnya di Desa Maligano, Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna (Uniawati, 2014:1). Meskipun memiliki bahasa dan budaya sendiri, suku ini tidak jarang dianggap sebagai bagian dari suku Buton. Bahkan ada pula beberapa pihak yang beranggapan bahwa masyarakat Taluki merupakan bagian dari suku Muna dengan melihat wilayah kediaman mereka \DQJVHFDUDJHRJUD¿VWHUOHWDNGL.DEXSDWHQ0XQD
Selain itu, ada pula yang menganggap Taluki sama dengan suku Tolaki dilihat dari penyebutan nama yang hampir mirip. Kenyataannya, masyarakat Taluki memiliki bahasa dan tradisi yang jauh berbeda dengan tradisi suku Buton, Muna, Tolaki, dan suku lainnya. Etnis Taluki dengan keunikan budaya dan tradisi yang dimilikinya merupakan suatu kelompok kecil masyarakat di antara beberapa suku besar yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Salah satu keunikan yang dimilikinya adalah
211
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 211—224 adanya tradisi meago-ago yang berbeda dari kelompok masyarakat di luar mereka. Tradisi meago-ago yang dilaksanakan setiap terjadinya peralihan musim menunjukkan kekhasan yang tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya. Meskipun demikian, keberadaan etnis ini hampir tidak terdengar bahkan boleh jadi tidak diketahui oleh banyak pihak sebab yang sering menjadi perbincangan adalah suku-suku besar dan dominan di daerah tersebut, seperti Buton, Muna, Tolaki, Moronene, Bajo, Bugis, dan lain-lain. Masyarakat Taluki sendiri hampir tidak pernah dibicarakan baik di tingkat lokal maupun nasional. Keberadaan suku ini hampir tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat, khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Menyikapi realitas seperti yang diuraikan di atas yang tidak mendukung eksistensi masyarakat Taluki yang berarti tidak pula mendukung pelestarian budaya dan tradisi yang dimilikinya, kita perlu melakukan suatu upaya positif untuk mendukung keberadaan etnis ini. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan sebuah penelitian kemasyarakatan sehingga bisa langsung menyentuh aspek sosial budaya masyarakat tersebut. Telah dikatakan sebelumnya bahwa masyarakat Taluki memiliki keunikan, salah satunya adalah tradisi meago-ago1 yang pelaksanaannya dilakukan setiap terjadi peralihan musim. Tradisi meago-ago atau bersih desa merupakan wujud keharmonisan antara manusia dengan alam (Pahlevi, 2010:1). Masyarakat Taluki hingga kini masih menjalankan tradisi itu sebagai warisan leluhur yang harus tetap dipertahankan dan dipelihara dengan baik. Tradisi ini sangat menarik karena melibatkan seluruh warga etnis Taluki yang ingin disucikan dari segala pengaruh jahat. Menurut (Asmi, 2012:1), upacara tradisi bersih desa itu merupakan XSDFDUD LQWHQVL¿NDVL \DLWX suatu upacara yang menandai keadaan krisis 1
Tradisi meago-ago lumrah disebut dengan istilah tradisi bersih desa. pada masyarakat Taluki dikenal dengan se tradisi ini dilaksanakan dalam budaya masyarakat Taluki, Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Dalam konteks masyarakat Taluki, meagoago diartikan dengan mandi-mandi kampung atau mandi massal; berobat atau baca doa tolakbala.
212
dalam kehidupan kelompok. Dalam kelompok masyarakat Taluki, setiap kali terjadi bencana seperti wabah penyakit atau bencana lainnya dilakukan zikir keliling atau tahlilan di masjid selama empat hari empat malam. Tradisi bersih desa dalam masyarakat Taluki merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki bukan hanya masyarakat Taluki, melainkan seluruh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, patutlah kiranya jika tradisi ini lebih diperhatikan dan dipandang sebagai peristiwa budaya yang mengandung makna dan kearifan lokal yang bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya. Tradisi bersih desa bukanlah barang antik atau fosil peninggalan masa lampau yang dipelihara atau diawetkan kemudian diabaikan atau dikagumi saja. Dalam hal ini perlu adanya paradigma baru, yaitu melihat tradisi bersih desa sebagai kekuatan kultural. Di samping itu, perlu pula dilihat bagaimana masyarakat pemilik tradisi tersebut mampu berdialog secara baik dengan kekuatan-kekuatan hegemoni dan kekuatan dari luar dirinya. Paradigma ini terbangun dari suatu pandangan bahwa tradisi bersih desa sebagai bagian dari tradisi lisan merupakan perwujudan kegiatan sosial budaya sebuah masyarakat (Dewi, 2011:94). Dalam hal ini tradisi bersih desa masyarakat Taluki perlu dipandang sebagai kekuatan kultural sehingga menjadi media pembuka wawasan yang pluralistik. Tradisi bersih desa (meago-ago) dalam konteks masyarakat Taluki berarti membersihkan desa dari berbagai hal yang dirasa dapat mengganggu ketentraman hidup bermasyarakat. Artinya, bersih desa tidak hanya sebatas membersihkan desa dari pengaruh-pengaruh roh jahat, tetapi dalam arti sebenarnya yaitu bergotong royong membersihkan lingkungan, membersihkan desa untuk mengajak masyarakat agar membiasakan diri hidup bersih. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak leluhur orang Taluki akan membangun perkampungan di sekitar kali Motewe, yakni daerah Maligano yang sekarang dihuni oleh masyarakat Taluki secara turun-temurun. Pelaksanaan bersih desa menurut Suwardi (2006:110) tidak sekadar formalitas ritual tahunan, tetapi memiliki bobot spiritual yang luar biasa. Ritual bersih desa
Tradisi Meago-Ago dalam ... Uniawati
menjadi sebuah wahana untuk menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas ketentraman penduduk, memberi penghormatan kepada para leluhur dan cikal bakal desa yang telah berjasa merintis pembukaan desa setempat, dan mengharapkan pengayoman dari Tuhan Yang Maha Esa dan Rasulullah agar hidup masyarakat desa lebih sejahtera. Ada banyak hal yang dapat dipahami dari tradisi bersih desa masyarakat Taluki, yakni sebagian orang Taluki meyakini bahwa apabila tradisi bersih desa ini tidak dilaksanakan maka akan terjadi berbagai macam bala seperti musim kering yang panjang, wabah penyakit, gagal panen, banjir, dan berbagai macam bentuk bencana yang lain. Sebagai sebuah gejala sosial budaya, kondisi ini tentunya sangat menarik dikaji untuk melihat lebih dalam kondisi sosial budaya masyarakat Taluki sebagai pemilik tradisi ini. Tradisi bersih desa ini memiliki makna yang luas bagi masyarakat yang memercayai dan yang mempunyai tradisi ini. Selain itu, tradisi bersih desa mengandung nilai-nilai kemasyarakatan yang tidak dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa tulisan yang mengkaji mengenai tradisi bersih desa, di antaranya berjudul, “Kearifan Lokal dalam Tradisi Bersih Desa Masyarakat Jawa sebagai Penguatan Karakter Bangsa” ditulis oleh Trisna Kumala Satya Dewi (2011). Tulisan ini memaparkan mengenai pelaksanaan tradisi bersih desa masyarakat Jawa yang biasanya dipergelarkan seni tradisional, seperti tayub dan wayang purwa dengan lakon-lakon tertentu, seperti Mikukuhan, Sri Mulih, Pandawa Tani, dan sebagainya. Dalam tradisi bersih desa masyarakatn Jawa terkandung kearifan-kearifan lokal yang patut dipelihara, keharmonisan hubungan antarwarga, kerukunan antarumat beragama, sikap toleransi, perekat kebersamaan, pemersatu pluritas, dan sebagainya. Memelihara dan menghidupkan tradisi ini dapat dipakai sebagai sarana penguatan karakter bangsa. Tulisan lain ditulis oleh Sonny Kurnia Asmi (2012) berjudul, “Tradisi Bersih Desa Dukutan (Studi Kebudayaan Masyarakat Desa Nglurah Kecamatan Tawanginang Kabupaten Karanganyar). Tulisan ini mendeskripsikan latar
belakang pelaksanaan bersih desa disebabkan oleh dua cerita mitos yang berkembang dalam masyarakat Nglurah, yaitu versi Airlangga dan Watugunung. Prosesi tradisi bersih desa diawali dengan membicarakan persiapan dan waktu pelaksanaannya bersama warga masyarakat. Cara ini menunjukkan suatu nilai kebersamaan antarsesama anggota masyarakat. Nilai kebersamaan itu terlihat sangat sejak dimulainya pembicaraan hingga pada pelaksanaan dan selesainya upacara. Nilai-nilai seperti inilah yang diharapkan warga masyarakat dapat terus terjaga dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga masyarakat sebagai pemilik tradisi. Kedua tulisan tersebut meskipun mengkaji tentang tradisi bersih desa dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, memiliki perbedaan dengan tradisi meago-ago pada masyarakat Taluki. Perbedaannya terletak pada tahapan dalam prosesi pelaksanaannya. Pada meagoago tidak digelar pertunjukkan seni tradisional seperti tradisi bersih desa masyarakat Jawa dan Nglurah. Tradisi meago-ago dari segi intensitas pelaksanaannya juga memiliki perbedaan dengan keduanya, yakni dilaksanakan sebanyak dua kali setiap terjadi peralihan musim sedangkan kedua tradisi tersebut hanya sekali dalam setahun. Adapun tulisan lain mengenai tradisi bersih desa masyarakat Taluki sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Tulisan lain yang berbicara mengenai masyarakat Taluki masih sangat sulit ditemukan. Ada sebuah artikel yang pernah dimuat dalam laman blogspot (http:// pokeapokeacinta.blogspot.com/2012/05/taalukisuku-baru-di-pedalaman-muna.html) yang mengungkapkan tentang salah satu suku yang terdapat di Kabupaten Muna, yaitu masyarakat Taluki. Dalam artikel ini dijelaskan pula awal mula keberadaan masyarakat Taluki yang disinyalir berasal dari orang-orang Buton yang diusir oleh Sultan Buton karena tidak mematuhi aturan dan perintah Sultan Buton. Orangorang ini kemudian membuka perkampungan di wilayah Kabupaten Muna dan lambat-laun terbentuk sebuah komunitas dengan etnis bahasa sendiri yang berbeda dari Buton. Beberapa tulisan tersebut di atas menunjukkan bahwa hingga kini belum pernah 213
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 211—224 ditemukan suatu tulisan atau penelitian yang fokus mengkaji tentang tradisi meago-ago masyarakat Taluki. Oleh karena itu, penelitian ini akan memokuskan perhatian pada pelaksanaan tradisi meago-ago masyarakat Taluki untuk mencermati latar belakang dan prosesi pelaksanaannya serta mengungkapkan makna peralatan dan mantra yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi tersebut. Tradisi bersih desa termasuk salah satu jenis folklor. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1999:1-2). Menurut Brunvand dalam Dewi (2011:94), folklor berdasarkan tipenya digolongkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu folklor lisan (verbal folklore), folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (non verbal folklore). Dalam hal ini, bersih desa merupakan upacara adat tradisional yang termasuk ke dalam bagian folklor sebagian lisan. (Danandjaja, 1999:153)2. Sejak dahulu di dalam masyarakat sudah terbentuk citra tradisional tentang lingkungan hidupnya. Citra tradisional ini merupakan gambaran yang dimiliki manusia tentang sifat lingkungan hidupnya, pengaruh dan reaksi lingkungan hidup terhadap manusia dan aktivitasnya. Jadi, citra tradisional itu terbentuk dan dipengaruhi oleh sistem nilai budaya. Salah satu wujud citra tradisional itu adalah tradisi bersih desa (Dewi, 2011:94). Tradisi bersih desa termasuk kepercayaan rakyat yang berhubungan dengan kelakuan, pengalaman-pengalaman, dan adakalanya juga berhubungan dengan adat. Di samping itu, bersih desa juga tergolong dalam peraturan desa yang masih dipatuhi oleh masyarakat. Tradisi bersih desa sebagai bagian dari kebudayaan suatu kolektif yang diwariskan secara turun-temurun itu sesungguhnya merupakan suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, dan aktivitas manusia. Bersih desa umumnya dilaksanakan sekali dalam setahun sebagai 214
bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Aktivitas tradisi bersih desa ini dilakukan dengan spiritual dan diakhiri dengan doa bersama untuk memohon keselamatan. Harapannya adalah agar seluruh warga masyarakat menjadi EHUVLK EDLN OLQJNXQJDQ ¿VLNQ\D PDXSXQ batinnya dan terhindar dari marabahaya. Tradisi bersih desa memiliki makna ganda, yakni makna spiritual yang berkaitan dengan rohani dan makna material yang berkaitan dengan masalah ¿VLN $VSHN VHUED QLODL \DQJ WHUGDSDW GDODP tradisi bersih desa menawarkan sejumlah konsep untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Dengan kata lain, tradisi bersih desa dapat dipakai sebagai sarana untuk melestarikan lingkungan hidupnya. Dalam kaitannya dengan tradisi bersih desa, untuk mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan makna tuturan yang diungkapkan dalam prosesi tersebut digunakan sudut pandang semiotika budaya. Menurut Ratna (2006:97), semiotik sebagai teori berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Semiotik dan hubungannya terhadap budaya sangat erat. Semiotik menjadikan kebudayaan sebagai objek kajian utamanya, oleh karena itu mengkaji tradisi sebagai bagian kebudayaan dalam suatu kelompok masyarakat perlu menggunakan kaca mata semiotik. Semiotik budaya sebagaimana pemaparan Zoest (1993:124-131) adalah tanda-tanda yang terkandung dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, yaitu manusia dengan berbagai tradisi dan adat istiadatnya. Dalam lingkungan sosial yang berkaitan dengan budaya, semua kegiatan atau aktivitas merupakan sebuah tanda atau identitas mereka. Seperti yang kita ketahui, kebudayaan merupakan sesuatu yang cakupannya sangat besar, dimulai dari lingkungan sosial, lingkungan alam, tingkah laku, maupun kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan oleh seseorang. Setiap hal khususnya di dalam kebudayaan selalu dipelajari oleh manusia dari lingkungan sehingga semuanya
Tradisi Meago-Ago dalam ... Uniawati
dapat dipahami dan dilakukan sebagaimana aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam lingkungan tersebut. Jadi, di dalam suatu tanda mengandung pesan agar setiap peraturannya bisa dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Dalam menelusuri sistem budaya, semiotika berperan memberi sketsa tentang potret manusia sebagai meaning-meaning creature atau mahkluk pencari makna. Lebih khusus, semiotika menjadi alat yang efektif dalam memperjelas akar-akar kesukuan dari sistem sosial yang ada dewasa ini. Dengan kata lain, meskipun manusia hidup di alam modern yang serba kompleks, mereka tetap tidak rela kehilangan jati diri kesukuannya (Morris, 1969:45). Seperti pemikiran Charles Sander Pearce dalam Cristomy dan Untung Yuwono (2004:114) bahwa semiotik tidak hanya menyentuh konsep linearitas, tetapi juga logika ruang yang terkait dengan waktu atau proses. Pearce melihat semiotik tidak hanya dalam kerangka komunikasi, tetapi dalam proses VLJQL¿NDVL VHEXDK SURVHV SHODKLUDQ WDQGD GDQ makna. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini memilih berpijak pada cara pandang Pearce dalam melihat dan memaknai tanda-tanda EXGD\D VHEDJDL VXDWX SURVHV VLJQL¿NDVL pelahiran tanda dan makna. Dengan kata lain, pendekatan semiotik Pearce yang digunakan dalam penelitian ini lebih memungkinkan untuk melakukan pemaknaan secara total terhadap gejala-gejala dan tanda-tanda budaya yang terdapat dalam tradisi meago-ago masyarakat Taluki. METODE Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotika budaya menurut Charles Sander Pierce. Pendekatan ini menempatkan interpretan sebagai fokus yang sangat penting. Interpretan bukan sekadar hasil interpretasi manasuka, akan tetapi dapat diuji, diperiksa, dan dicocokkan dengan interpretan publik dan tandatanda lainnya (Christomy dan Untung Yuwono,
2004:142-143). Pendekatan ini mendukung untuk melakukan pemaknaan gejala-gejala dan tanda-tanda budaya dalam tradisi meagoago. Sasaran yang diteliti ditentukan pada satu lokasi yang mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu tradisi meago-ago masyarakat Taluki. Data dikumpulkan dengan teknik observasi dan wawancara. Sumber data yang digunakan adalah sumber benda, tempat, peristiwa, dan informan yang dipandang mengetahui permasalahan secara mendalam serta dapat dipercaya. PEMBAHASAN Latar Belakang Pelaksanaan Meago-ago Tradisi bersih desa pada masyarakat Taluki dikenal dengan sebutan mandi-mandi kampung atau mandi massal atau meago-ago. MeagoagoVHFDUDKDU¿DKDUWLQ\DEHUREDWDWDXEDFDGRD tolakbala, namun secara kontekstual meago-ago digunakan sebagai istilah untuk menyebutkan tradisi bersih desa dalam masyarakat Taluki karena dalam pelaksanannya terdapat tahapan pembacaan doa tolakbala. Tradisi meago-ago dilaksanakan setiap awal tahun dan akhir tahun, yakni pada awal musim barat (musim hujan) dan awal musim timur (musim kemarau). Tempat pelaksanaanya di Sungai Motewe, sungai yang terdapat di Desa Maligano, Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna. Tujuan pelaksanaannya adalah untuk mencegah terjadinya penyakit wabah. Diyakini oleh tetua orang Taluki bahwa setiap pergantian musim hawanya membawa penyakit yang bisa menimpa manusia, hewan, dan tumbuhan sehingga perlu dilakukan tradisi bersih desa (meago-ago). Tradisi meago-ago dalam sejarah masyarakat Tolaki sesungguhnya tidak ada, kecuali kegiatan ritual untuk menangkal penyakit yang menimpa (wawancara: Samudi, 4 April 2014). Berdasarkan sejarah, kegiatan ritual itu disebut mekalelei, yaitu ritual-ritual yang dilakukan untuk menangkal sesuatu yang dikhawatirkan akan terjadi. Misalnya, penyakit dan kejahatan-kejahatan di dalam kampung. Karena sifatnya ritual, pelaksanaan mekalelei mengandung dua unsur utama, yaitu peralatan dan mantra. Unsur kedua inilah yang disinyalir
215
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 211—224 menjadi pemicu terjadi pergeseran penyebutan tradisi masyarakat Taluki yang lebih dulu dikenal dengan istilah mekalelei menjadi meago-ago. Unsur mantra tidak dapat ditampikkan bahwa memiliki jalinan yang kuat dengan paham animisme, oleh karena itu masyarakat Taluki lebih cenderung menggunakan istilah meago-ago dalam hubungannya dengan tradisi bersih desa. Mekalelei dan meago-ago adalah dua kata yang memiliki arti kata yang berbeda. Mekalelei berarti menangkal dan meago-ago berarti berobat atau baca doa tolakbala. Namun, masyarakat pada umumnya lebih cenderung mengartikan sama kedua kata ini. Dalam hubungannya dengan tradisi bersih desa, masyarakat lebih suka memakai istilah meago-ago karena dianggap lebih islami sesuai dengan tuntunan pelaksanaan tradisi di masyarakat. Hingga saat ini istilah meago-ago lebih populer digunakan dalam masyarakat masyarakat Taluki untuk penyebutan tradisi bersih desa. Atas dasar itu, penyebutan istilah meago-ago dalam penelitian ini digunakan untuk menyebutkan tradisi bersih desa masyarakat Tolaki di Maligano. Tradisi bersih desa (meago-ago) dilatarbelakangi oleh peristiwa tragis yang menimpa sekelompok masyarakat Taluki saat melakukan perpindahan dari Desa Wakalambe, Kecamatan Kapuntori, Kabupaten Buton ke Desa Motewe, Kecamatan Maligano, Kabupaten Muna. Saat perpindahan tersebut, banyak terjadi kematian warga yang menimpa orang Taluki. Peristiwa tersebut disinyalir menggerakkan leluhur orang Taluki untuk melakukan upacara meago-ago sebagai upaya meminta kesembuhan dan keselamatan pada Sang Pencipta. Pelaksanaan meago-ago pada akhirnya membuahkan hasil sehingga tidak terjadi lagi kematian pada warga Taluki yang melakukan perpindahan pada saat itu. Peristiwa inilah yang selanjutnya mendasari dilaksanakannya upacara meago-ago setiap enam bulan sekali hingga saat ini. Upacara meago-ago sejak awal pelaksanaannya hingga saat ini tidak pernah diabaikan dan sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Taluki. Namun, seiring perkembangan zaman dan perubahan kepercayaan anggota masyarakatnya, terjadi perubahan tujuan pada setiap 216
pelaksanaannya sejak tahun 1970. Perubahan tersebut dipelopori oleh tokoh agama dalam masyarakat Taluki. Jika sebelumnya, tujuan pelaksanaan maego-ago masih dibingkai oleh kepercayaan animisme, maka sejak tahun 1970 tujuan pelaksanaannya semata-mata karena Allah swt (wawancara: Lamengko, April 2014). Doa yang dibacakan untuk meminta perlindungan, keselamatan, dan rezeki tidak lagi ditujukan kepada mahluk gaib yang dianggap sebagai penguasa di kampung itu, tetapi semata-mata hanya ditujukan kepada Allah swt. Tempat pelaksanaan tradisi meago-ago sejak dahulu hingga sekarang tidak mengalami perubahan, yaitu dilaksanakan di kali motewe. Motewe dalam bahasa Taluki artinya “tawar”. Konon, para leluhur orang Taluki yang hijrah dari Desa Wakalambe menemukan sungai tersebut dan merasakan airnya yang terasa tawar. Mereka lalu memutuskan untuk menetap di tempat itu dan membuat perkampungan untuk seluruh rombongan.Adapun sungai yang mereka temukan karena rasa airnya yang tawar maka dinamailah dengan nama sungai “motewe”. Sungai tersebut menjadi salah satu lambang kebersahajaan masyarakat Taluki sehingga dijadikan sebagai tempat pembersihan diri seluruh masyarakat yang tinggal di Desa Maligano. Kebiasaan ini terus-menerus berlangsung dan menjadi tradisi masyarakat Taluki yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali. Prosesi Pelaksanaan Prosesi pelaksanakan meago-ago dibagi dalam tiga tahap, yaitu: penentuan waktu pelaksanaan, pelaksanaan, dan mandi massal. Ketiga tahap tersebut menjadi syarat utama dalam setiap pelaksanaan meago-ago. Tiap tahap yang dilaksanakan merupakan sebuah ide-ide khas dan praktik khusus ritual. Setiap ide dan praktik memiliki makna yang khusus pula dan selalu berkaitan dengan proses sosial. Tradisi meago-ago sebagai sebuah proses sosial mengandung makna simbolik. Pemilihan waktu pelaksanaan misalnya, tentu memiliki makna dari sudut pandang sosial budaya yang tersembunyi sehingga diperlukan pengamatan dan analisis yang tajam terhadap setiap fenomena yang
Tradisi Meago-Ago dalam ... Uniawati
timbul dari rangkaian prosesi meago-ago pada masyarakat Taluki. a. Penentuan Waktu Pelaksanaan Tahapan pertama yang dilakukan dalam rangkaian prosesi pelaksanaan meago-ago adalah menentukan waktu pelaksanaan. Pada tahap ini, semua unsur masyarakat berkumpul untuk merembukkan waktu pelaksanaan yang tepat. Unsur masyarakat yang harus hadir adalah imam, pembantu imam, kepala desa dan jajarannya, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuka agama. Biasanya musyawarah dilaksanakan di masjid pada hari Jumat setelah salat Jumat. Waktu ini dianggap efektif sebab seluruh unsur masyarakat dipastikan hadir untuk menunaikan salat Jumat sehingga saat musyawarah dilakukan semua unsur dapat hadir. Musyawarah dipimpin oleh imam dan didampingi oleh para pembantunya, yaitu khatib2 dan modhi3 yang berjumlah 2 orang. Idealnya, dalam setiap kepengurusan majelis masjid di setiap desa, seorang imam dibantu oleh dua orang khatib dan empat orang modhi. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), di Maligano hanya terdapat dua orang pembantu imam. Keadaan ini meskipun jauh dari standar ideal namun tidak menjadi penghambat yang berarti terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi pengurus majelis di Maligano. Dalam pelaksanaan tradisi enam bulanan, meago-ago, pun hingga saat ini berjalan lancar atas dukungan dan bantuan dari seluruh lapisan masyarakat yang peduli terhadap pelestarian tradisi leluhur. Saat musyawarah berlangsung, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan meago-ago dirembukkan. Selain waktu pelaksanaa, lamanya prosesi juga dibicarakan termasuk pihak-pihak yang akan terlibat nantinya. Dalam hal ini, peran imam desa beserta pembantunya sangat besar karena merekalah yang menjadi motor penggerak pelaksanaan tradisi ini. 2
Khatib merupakan orang yang ditugaskan membantu kelancaran tugas imam di mesjid, seperti mengatur jamaah, memimpin shalat apabila imam berhalangan hadir, dan lain-lain. 3 Modhi merupakan orang yang ditugaskan bersih-bersih di mesjid dan membantu kelancaran tugas imam. Jabatan ini setingkat lebih rendah dari khatib.
Setelah waktu dan lamanya pelaksanaan meago-ago telah disepakati, dibuatlah persiapan-persiapan untuk menunjang suksesnya pelaksanaan meago-ago. Segala peralatan seperti bambu buluh, anyaman, kayu, dan makananmakanan ritual dipersiapkan oleh masyarakat agar pada saat pelaksanaan segala sesuatu yang diperlukan telah tersedia. Hal ini juga sangat mempengaruhi prosesi pelaksanaan apakah dikategorikan berhasil atau tidak. Dikatakan berhasil apabila semua masyarakat berada dalam keadaan sehat dan lingkungan perkampungan juga berada dalam situasi yang baik. Tidak tampak keanehan-keanehan atau situasi yang dianggap tidak lumrah dalam kehidupan warga masyarakat sampai enam bulan ke depan sampai pelaksanaan tradisi meago-ago dilaksanakan. Bagi beberapa warga yang masih menganut paham-paham mistik, biasanya sebelum dilaksanakan meago-ago telah melakukan tindakan yang bersifat mistik. Ada yang berpuasa, ada pula yang menghindari beberapa pantangan yang diyakininya secara turun-temurun, dan pelaku-pelaku mistik lain yang sifatnya secara individual sehingga tidak dapat dikatakan sebagai ritual komunal. Namun, para pelaku tersebut meyakini bahwa tindakan mereka dapat membantu kesempurnaan tradisi meago-ago dari hal-hal yang dapat mengganggu kelancaran prosesi tersebut. Biasanya warga yang melakukan laku tersebut adalah sesepuh kampung atau orang-orang tua kampung yang masih memelihara keyakinan terhadap tradisi leluhur. Ironisnya, generasi penerus mereka tidak lagi menjalankan laku-laku seperti itu. Mereka pada umumnya hanya mengharapkan orang tualah yang menjalankan ritual tersebut. b. Pelaksanaan Memasuki tahapan pelaksanaan, seluruh warga masyarakat akan digerakkan untuk kerja bakti (gotong royong) membersihkan perkampungan. Sarana dan prasaran umum dibersihkan termasuk wilayah pekuburan. Biasanya masyarakat dibagi dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok bertanggung jawab atas tugas yang diberikan. Di sinilah kebersamaan dan kerja sama masyarakat 217
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 211—224 dapat terlihat sebagai hakikat dari pelaksanaan tradisi ini sesungguhnya. Selesai membersihkan perkampungan, prosesi akan dilanjutkan pada malam hari di masjid setelah salat Isya. Setelah salat Isya dilaksanakan, imam desa beserta khatib, modhi, dan beberapa tokoh agama dan masyarakat tetap tinggal di masjid. Mereka akan melanjutkan dengan acara zikir bersama sebagai rangkaian prosesi meago-ago untuk memohon perlindungan, keselamatan, dan rezeki dari Allah swt. Acara zikir ini biasanya dilakukan hingga tengah malam sehingga bacaan zikir yang dilafalkan pun diulang-ulang terus sampai jumlah yang disepakati cukup. Pembacaan zikir dipimpin oleh seorang imam desa. Bacaan zikir yang diucapkan pertama kali adalah bacaan istigfar, DVWDJ¿UXOODKXODG]LP. Berikut adalah tata cara pembacaan zikir yang dirangkaikan dengan pembacaan doa “Ismulwaba”. 1) Membaca istigfar sebanyak 1 kali, DVWDJ¿UXOODKXODG]LP. 2) Membaca al-Fatihah sebanyak tiga kali. Alhamdulillahirabbil alamin. Arrahmanirrahim. Malikiyaumiddin. Iyyakana’budu waiyyakanstoin. Ihdinasyiratal mustakim. Siratalladzina ana’amta alaihim. Goiril magdubialaihim waladhoollin (3x) 3) Membaca kembali istigfar sebanyak 1 kali, DVWDJ¿UXOODKXODG]LP. 4) Membaca al-Ikhlas sebanyak tiga kali. Kulhuallahuahad. Allahussamad. Lamyalid walam yulad walam yakunlahu kufuan ahad (3x) 5) Membaca doa “ismulwaba” atau doa “tolak bala”. Takhassantun bissilissati waljabaruti waattazamtu bilmulki walmalakuti wattawakkaltu alalkhailadzi layamutu isrif annal bala’a wabawaa innaka alaa kulli syain kadir. Tujuan pembacaan doa ismulwaba tersebut adalah untuk menegaskan harapan dan permintaan warga masyarakat yang menginginkan adanya rahmat dan perlindungan dari Allah swt. Pembacaan doa ismulwaba ini 218
sekaligus sebagai doa penutup setelah membaca zikir. Pembacaan zikir dilakukan selama tiga malam berturut-turut. Aturan pembacaan zikir selalu dimulai pada malam Rabu karena malam ketiga harus jatuh pada malam Jumat. c. Mandi Massal Acara puncak pada pelaksanaan meago-ago adalah mandi massal. Tempat pelaksanaannya di kali Motewe. Pada bagian ini, seluruh warga masyarakat akan hadir. Mulai dari anak-anak hingga orang tua akan datang berkumpul untuk mandi bersama. Mandi massal ini biasanya dipimpin oleh imam desa. Sebelum semua warga ikut mandi, pemimpin acara terlebih dahulu akan melakukan ritual kecil dengan membaca bhatata atau doa untuk kebaikan dan keselamatan seluruh warga masyarakat. Doa yang dibacakan oleh imam isinya mengandung tiga hal pokok, yaitu meminta ampunan, tolak bala, dan minta segala sesuatu yang diperlukan. Salah satu contoh doa yang dibacakan adalah sebagai berikut. “Akitaoniati tamomonii Allah taala assaluwuluo iraranodoanto kaitarimao Allah taala.” Artinya: Mari kita sama berniat apa yang kita minta kepada Allah swt. diterima oleh-Nya.
Setelah membaca doa-doa yang disyaratkan dalam pelaksanaan mandi massal, imam desa akan membaca bacaan istigfar sebayak tiga kali lalu menyiram kepala orang yang dimandikan sebanyak tiga kali. Setelah selesai menyiram kepala salah seorang warga yang dijadikan sebagai simbol masyarakat, seluruh warga yang hadir di tempat itu langsung mengikuti dengan menyiram tubuhnya masingmasing. Pada kesempatan itu seluruh warga masyarakat akan berpesta dan mandi bersama dalam suasana suka cita. Mandi massal sebagai acara puncak sekaligus menjadi acara penutup dari serangkaian prosesi meago-ago yang dilaksanakan oleh masyarakat Taluki setiap enam bulan sekali. Selesai acara mandi bersama, seluruh warga akan kembali ke rumah masing-masing dan melakukan aktivitas keseharian mereka seharihari. Setiap masyarakat akan merasakan adanya energi baru dalam diri mereka dan merasa lebih
Tradisi Meago-Ago dalam ... Uniawati
bersih sehingga keadaan itu menjadikan motivasi tersendiri dalam menjalani hidup dengan lebih baik dan penuh tanggung jawab. Makna Peralatan dan Mantra yang Digunakan dalam Kacamata Semiotika Budaya Meago-ago sebagai sebuah ritual pembersihan kampung bagi masyarakat Taluki mengandung dua unsur utama, yaitu peralatan dan mantra. Dua unsur ini tidak bisa dilepaskan dalam setiap acara ritual yang dilakukan oleh masyarakat sebab kesempurnaan ritual yang dijalankan akan sangat tergantung pada kedua unsur tersebut. Meago-ago pun sebagai sebuah ritual mengandung kedua unsur tersebut. Berikut adalah deskripsi peralatan dan mantra yang digunakan dalam pelaksanaan meago-ago. a. Peralatan Tradisi pelaksanaan meago-ago tidak terlepas dari peralatan-peralatan ritual yang menjadi syarat pelaksanaannya. Peralatan tersebut wajib dipersiapkan oleh pelaku ritual demi kesempurnaan jalannya prosesi. Prosesi meago-ago membutuhkan empat jenis peralatan utama pada setiap pelaksanaannya. Keempat peralatan tersebut sebagai simbol yang memiliki makna dalam kaitannya dengan keselamatan dan kesejahteraan hidup anggota masyarakat. keempat peralatan utama tersebut adalah bambu buluh, anyaman, bambu biasa, dan sesajian. 1) Bambu Buluh Bambu buluh yang diperlukan berjumlah 10 batang. Bambu ini nantinya akan digunakan untuk membuat benda yang menyerupai model rumah. Bambu buluh dalam kaitannya dengan ritual meago-ago masyarakat Taluki merupakan simbol kejujuran. Bambu yang berbentuk lurus diinterpretasikan sebagai hubungan langsung (vertikal) antara penghuni alam (peapua) dengan manusia penghuni alam (peapua) menurut budaya Taluki dimaknai dengan penguasa alam, yaitu Tuhan pencipta alam. Masyarakat meyakini bahwa dalam alam terdapat kekuatan lain yang keberadaannya di luar manusia. Peapua dianggap derajatnya sama dengan sangia. Sangia dikenal juga dalam budaya lain,
seperti Tolaki dan Bugis. Menurut kepercayaan orang Taluki, sangia adalah sebuah kemuliaan. Ada beberapa penyebutan yang dikaitkan dengan nama sangia untuk tempat-tempat atau bendabenda yang dianggap memiliki kemuliaan. Misalnya, Sangia Batu Kara karena tempatnya di batu; Sangia Kopea karena di pinggir laut. Untuk beberapa keadaan tertentu, penamaan sangia dapat pula dilekatkan pada nama orang apabila ia mempunyai perilaku yang mendatangkan kebaikan pada orang banyak. 2) Anyaman Anyaman ini terbuat dari bambu buluh berbentuk segi empat. Anyaman ini biasanya digunakan sebagai alas untuk meletakkan sesajian yang akan digunakan pada prosesi ritual. Anyaman ini diletakkan di dalam rumahrumah yang sengaja dibuat untuk keperluan ritual. Sebagai salah satu kelengkapan ritual, anyaman bambu berbentuk segi empat ini merupakan simbol yang merepresentasikan pada empat sudut alam. Keempat sudut alam tersebut adalah utara, selatan, timur, dan barat. Menurut kepercayaan masyarakat Taluki, keempat sudut alam tersebut dijaga oleh mahluk halus. Tempat yang dimaksudkan dijaga oleh mahluk halus adalah permukiman masyarakat Taluki. Permukiman tersebut dinamai dengan istilah kampo yang berarti kampung. Nama lain kampo adalah lipu. Lipu adalah sebuah tempat yang dihuni oleh orang banyak. Tempat inilah yang diharapkan oleh masyarakat mendapatkan penjagaan yang baik oleh penguasa alam. Pelaksanaan ritual meago-ago adalah bentuk penghormatan sekaligus pengharapan masyarakat Taluki untuk mendapatkan perlindunganNya agar dapat menjalani hidup dengan selamat, tenteram, dan sejahtera. 3) Rumah-rumahan Rumah-rumahan ini dibuat dari bambu buluh yang berjumlah 10-20 batang. Tidak sembarang orang dapat membuatnya karena dibutuhkan keahlian khusus dalam pembuatannya. Biasanya orang-orang tualah yang piawai membuat rumah-rumahan ini. Rumah-rumahan yang sudah selesai dibuat lalu
219
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 211—224 ditancapkan ke dalam tanah agar tampak berdiri menyerupai rumah penduduk. Di dalamnya diletakkan anyaman segi empat sebagai alas untuk meletakkan sesajian. Benda menyerupai rumah-rumahan ini adalah simbol yang merepresentasikan pada kehidupan manusia yang membutuhkan tempat untuk berlindung. Rumah adalah simbol kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan penghuninya. Dengan menggunakan perala-tan ini dalam acara ritual, masyarakat beranggapan bahwa penguasa alam akan menerima dan memahami keinginan mereka untuk mendapatkan perlindungan dari segala hal buruk yang dapat terjadi di dunia. 3) Sesajian Sesajian yang dipergunakan dalam ritual meago-ago diletakkan di atas anyaman bambu segi empat lalu dimasukkan ke dalam rumahrumahan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sesajian tersebut berupa makanan tradisi yang terdiri dari ketupat, telur masak, dan kue tradisional, seperti waje, pisang goreng, dan cucur. Makanan yang dipersiapkan ini tidak ditentukan berapa jumlahnya, tergantung dari kesanggupan dan keikhlasan orang yang menyiapkannya. Yang terpenting adalah semua makanan tersebut tersedia sebab menjadi persyaratan utama dalam pelaksanaan ritual. Penggunaan sesaji dalam ritual bagi masyarakat Taluki yang menyakininya merupakan proses olah rasa dan batin mereka untuk menembus selubung gaib lalu memasuki wilayah nyata. Seluruh sesaji yang terdiri dari ketupat, telur, dan kue-kue yang bahannya mengandung gula merah dan sesuatu yang manis serta diletakkan dalam wadah khusus melukiskan sebuah simbol yang maknanya sangat sederhana dan masuk akal. Ketupat dianggap makanan yang istimewa. Begitupun dengan telur. Berdasarkan asumsi masyarakat Taluki, kedua jenis makanan tersebut dianggap enak dimakan oleh manusia sehingga perlu untuk dipersembahkan pada penguasa alam. Mereka hanya ingin mempersembahkan sesuatu yang menurut anggapan mereka adalah sesuatu yang baik sehingga diharapkan penguasa alam akan menyukainya pula. Dengan demikian, 220
segala permohonan mereka akan dikabulkan. Inilah cara pandang kosmos masyarakat Taluki. Sesaji diwujudkan dengan beberapa makanan sebagai simbol rasa syukur kepada alam yang telah memberikan kecukupan. Kue tradisional yang menjadi pendamping makanan utama, seperti waje, pisang goreng, dan cucur merupakan manifestasi dari pemahaman masyarakat Taluki zaman dulu dalam bidang kuliner yang masih sangat terbatas. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa orang-orang tua zaman dulu kemampuannya sangat terbatas dalam mengolah makanan sehingga hanya kue jenis itu saja yang disajikan. Kue tradisional itu dianggap tidak memiliki makna khusus selain tentang keterbatasan kemampuan dan pengetahuan orang tua dulu dalam membuat kue jenis lain. Sepintas kelihatannya sangat sederhana, namun di balik itu tentu ada tujuan dan maksud tertentu dalam penentuan kue sesaji yang kehadirannya wajib dalam setiap pelaksanaan ritual meago-ago. Makanan tradisinal yang disiapkan pada pelaksanaan ritual meago-ago dalam masyarakat Taluki apabila ditelisik lebih dalam akan tampak bahwa penentuan jenis makanan tradisional tersebut bukan tanpa sebab. Ketupat tidak sekadar makanan terbaik bagi manusia, tetapi secara simbolis ia merepresentasikan pada “bekal” yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani kehidupan baik di dunia maupun di akhirat. Manusia harus mempunyai persiapan diri agar tidak mengalami kesusahan dan penderitaan yang berbuah pada penyesalan akibat tidak adanya kesadaran awal untuk lebih mawas diri. Ketupat pada umumnya adalah jenis makanan yang khusus dibuat pada waktu-waktu tertentu. Dalam hal ini, ketupat bagi masyarakat Taluki adalah jenis makanan istimewa yang tidak sembarang waktu dibuat atau disajikan. Proses pembuatannya pun memakan waktu yang lama dibandingkan dengan memasak nasi atau jagung. Hal ini menunjukkan bahwa ketupat adalah jenis makanan istimewa dan mewah sehingga pantas untuk dipersembahkan pada penguasa alam. Makanan tradisional lain yang selalu dihadirkan pada setiap kegiatan ritual
Tradisi Meago-Ago dalam ... Uniawati
masyarakat Taluki adalah telur. Telur dalam konteks ini merupakan simbolisasi kelahiran atau kehidupan baru. Tradisi meago-ago yang hakikat pelaksanaannya adalah pembersihan dan penyucian diri warga masyarakat menggunakan telur sebagai simbol harapan untuk memperoleh kehidupan baru yang lebih baik dari sebelumnya. Suatu kelahiran layaknya selalu disambut dengan suka cita dan harapan terhadap masa depan yang cerah. Harapan inilah yang dimanifestasikan masyarakat Taluki dalam ritual meago-ago dengan menggunakan telur sebagai salah satu makanan tradisi yang dijadikan sesaji. Ketupat dan telur termasuk dua jenis makanan tradisional yang kehadirannya tidak pernah absen dalam setiap laku ritual yang dijalankan oleh masyarakat. Hal ini tidak saja berlaku dalam kelompok masyarakat Taluki, tetapi dalam kelompok masyarakat lainnya pun pada umumnya menggunakan kedua jenis makanan tersebut. Selain kedua jenis makanan tersebut, jenis makanan tradisional lain yang biasanya dijadikan pula sebagai makanan ritual adalah jenis kue-kue tradisional. Khusus dalam masyarakat Taluki, jenis kue utama yang harus hadir dalam setiap acara ritual adalah kue cucur, waje, dan pisang goreng. Ketiga jenis kue tradisional tersebut sesungguhnya bukan sekadar penanda bahwa kemampuan leluhur orang Taluki dalam mengolah makanan sangat terbatas, melainkan sebagai sebuah tanda yang mengandung makna khusus. Apabila dicermati, dua dari tiga jenis kue tersebut sebagian besar bahan dasarnya terbuat dari gula merah. Gula merah adalah jenis makanan yang rasanya manis sekali dan biasanya dibuat dari air pohon enau atau pohon kelapa. Pisang goreng meskipun tidak terbuat dari gula merah, tetapi rasanya sungguh manis. Kedua hal ini merupakan suatu petanda bahwa masyarakat Taluki mengharapkan sesuatu yang baik, yang manis, dan bisa memberikan kebahagiaan. Pisang adalah jenis tanaman yang tidak pernah habis. Selalu muncul tunas baru menggantikan pohon yang ditebang setelah membuahkan hasil untuk kebutuhan hidup manusia. Keadaan ini merepresentasikan kondisi masyarakat Taluki yang menghendaki adanya tunas-tunas
baru dalam masyarakat yang senantiasa dapat memberikan kebermanfaatan bagi sesama. b. Mantra Mantra dalam budaya orang Taluki disebut dengan bhatata. Bhatata adalah semacam tuturan yang disampaikan oleh pemimpin upacara (ritual) atau pada kesempatan lain dengan maksud dan tujuan tertentu. Bhatata yang khusus diucapkan pada saat meago-ago berbeda dengan bhatata untuk keperluan yang lain. Pada umumnya, bhatata bersifat sangat rahasia sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya. Kerahasiaan bhatata menurut tetua orang Taluki mutlak dijaga sebab hal itu terkait dengan kekuatan atau keampuhan bhatata. Semakin banyak orang yang mengetahui isi suatu bhatata, maka semakin tidak berarti bhatata itu. Artinya, mereka memercayai bahwa nilai magis dan kesakralan yang terkandung lewat pembacaan sebuah bhatata akan hilang apabila sudah diketahui oleh banyak orang. Anggapan bahwa kekuatan sebuah bhatata terletak pada seberapa kuat kerahasiaannya dijaga oleh penuturnya bisa jadi penyebab utama tersendatnya pewarisan bhatata. Bhatata sebagai sebuah tradisi lisan seyogyanya dapat terus terwarisi oleh generasi penerus agar keberadaannya tidak hilang. Oleh sebab itu, perlu adanya sebuah cara pandang baru tentang esensi keberadaan bhatata. Keberadaan bhatata perlu terus dipertahankan sebab merupakan identitas masyarakat Taluki. Kehilangan bhatata sama halnya dengan hilangnya sebagian identitas masyarakat Taluki yang seharusnya menjadi kebanggannya. Bhatata erat kaitannya dengan kepercayaan dan keyakinan. Apabila seseorang mempercayai dan meyakini bahwa pembacaan bhatata tertentu dapat membuahkan suatu kekuatan atau kemukjizatan, bisa jadi terbukti. Lain halnya apabila seseorang memandang bhatata sebatas bacaan biasa yang tidak membawa pengaruh apaapa terhadap pembacaannya. Kekuatan bhatata dengan demikian tidak tergantung dari seberapa kuat pemiliknya menjaga kerahasiaannya, tetapi seberapa yakin dan percaya pemiliknya terhadap kekuatan yang ditimbulkan oleh pembacaan
221
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 211—224 suatu bhatata. Adanya asumsi bahwa sebuah bhatata akan hilang apabila kerahasiaannya tidak dijaga tidak dapat dibuktikan secara nyata. Oleh karena itu, penutur bhatata harus bisa lebih terbuka untuk mewariskan pengetahuannya tentang bhatata kepada orang lain. Ada dua jenis bhatata (mantra) yang dilafalkan dalam setiap pelaksanaan ritual meagoago. Isi kedua mantra tersebut mengimplikasikan pada harapan dan permintaan pembaca mantra untuk keselamatan warga sekampung dari bala bencana yang tidak terduga. Kedua mantra tersebut akan dideskripsikan sebagai berikut. 1) Mantra Pertama Ingkomiu motjaganino patosingko alamu Miperongei aku Malingu sabano ilipuayo atawa ikampoayoo Keasaba kahebaheba barangkalano Mesalaaitahi ikapo’o oimbu’ ikaobuea Barangkalano mesalaiwita itutuoule Barangkalano mesaoilamoaa isopakoola-moa Ingkomiu manga kalelenotimbu/kalelemotara Ingkomiumo motdaganio olipu ayo Artinya: Kalian yang menjaga empat sudut alam ini Dengarkan aku Barang siapa yang datang atau masuk di kampung ini Kalau dia datang dengan niat jahat Kalau dia lewat laut maka ditarik Imbu4 Dan dimakan buaya Jika lewat darat maka diterkam ular Dan jika lewat udara maka dibenamkan di udara Kalian penjaga musim timur atau barat Kalianlah yang menjaga empat sudut kampung ini 2) Mantra Kedua Simbao ingkoa sangia kopea Simbao ingkoa sangia batu kara Simbao ingkoa sangia kapure-pureno Simbao ingkoa sangia lagola Tesimbao duka ingkoo baola Tesimbao duka ingkoo serese Tesimbao duka ingkoo baoo Tesimbao duka ingkoo wa ntena Aiyoo miontoakumo Aiyoo miwulasi akumo Aiyoo mi perongei akumo 4
222
Gurita besar
Aiyoo mi peka kua-kuani Aiyoo mi peka pole-poleako Yotina-yotama Yoana-yomansuana Mokempano-mopusuno-mobongono Bara mialua labi ikorua ilipumai Bata mialua labi ikorua ikalibumai Barami pekaempa-empa Barami petinda-tinda Artinya: Seperti engkau yang mulia kopea Seperti engkau yang mulia batu kara Seperti engkau yang mulia kapure-pureno Seperti engkau yang mulia lagola Dan kamu baola Dan kamu serese Dan kamu baoo Dan kamu wa ntena Kini kalian lihat saya Tatap saya Dengarkan saya Kalian saling memberitahukan Saling mengabarkan baik perempuan Laki-laki, anaka-anak, maupun orang tua Dan juga yang pincang, buta, dan tuli Jika kalian lewat di kampong kami atau di kebun kami Jangan melakukan kerusakan.
PENUTUP Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal terkait makna tuturan dalam tradisi meago-ago masyarakat Taluki di Maligano. Latar belakang pelaksanaan meago-ago terjadi atas inisiatif para tetua orang Taluki untuk mencegah terjadinya bala bencana yang menimpa kampung beserta seluruh isinya. Meskipun telah terjadi perubahan kepercayaan masyarakat, tradisi ini masih dilaksanakan hingga saat ini dengan tujuan yang sama untuk menjaga kebersihan dan kesucian kampung beserta isinya dari segala marabahaya. Prosesi pelaksanaan tradisi bersih desa masyarakat Taluki di Maligano dibagi dalam tiga tahapan, yaitu penentuan waktu pelaksanaa, pelaksanaan, dan mandi massal. Tiap tahap yang dilaksanakan merupakan sebuah ide-ide khas dan praktik khusus ritual. Setiap ide dan praktik memiliki makna yang khusus pula dan selalu
Tradisi Meago-Ago dalam ... Uniawati
berkaitan dengan proses sosial. Tradisi meagoago sebagai sebuah proses sosial mengandung makna simbolik. Meago-ago sebagai sebuah ritual mengandung dua unsur utama, yaitu peralatan dan mantra. Peralatan tersebut terdiri atas bambu buluh, anyaman, rumah-rumahan, dan sesajian yang memiliki makna simbolik masing-masing. Bambu buluh adalah simbol kejujuran. Bambu yang berbentuk lurus diinterpretasikan sebagai hubungan langsung (vertikal) antara penghuni alam (peapua) dengan manusia penghuni alam (peapua) menurut budaya Taluki dimaknai dengan penguasa alam, yaitu Tuhan pencipta alam. Anyaman merupakan simbol yang merepresentasikan pada empat sudut alam. Keempat sudut alam tersebut adalah utara, selatan, timur, dan barat. Menurut kepercayaan masyarakat Taluki, keempat sudut alam tersebut dijaga oleh mahluk halus. Rumah-rumahan simbol yang merepresentasikan pada kehidupan manusia yang membutuhkan tempat untuk berlindung. Rumah adalah simbol kedamaian, ketenangan, dan kesejahteraan penghuninya. Dengan menggunakan peralatan ini dalam acara ritual, masyarakat beranggapan bahwa penguasa alam akan menerima dan memahami keinginan mereka untuk mendapatkan perlindungan dari segala hal buruk yang dapat terjadi di dunia. Sesajian diwujudkan dengan beberapa makanan sebagai simbol rasa syukur kepada alam yang telah memberikan kecukupan. Mantra dalam ritual meago-ago merupakan unsur utama kedua. Ada dua jenis bhatata (mantra) yang dilafalkan dalam setiap pelaksanaan ritual meago-ago. Isi kedua mantra tersebut mengimplikasikan pada harapan dan permintaan pembaca mantra untuk keselamatan warga sekampung dari bala bencana yang tidak terduga. Terkiat pelaksanaan dan pelestarian tradisi meago-ago, ada sebuah fakta penting yang harus diketahui bahwa tradisi tersebut kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah daerah. Upaya pelestarian tradisi ini masih terbatas pada upaya warga masyarakat Taluki saja. Pemerintah dalam hal ini pemerintah kabupaten (daerah) belum berperan aktif dalam
upaya pelestarian tradisi meago-ago. Belum adanya perhatian pemerintah terhadap pelestarian tradisi ini tentu saja membuahkan rasa prihatin. Sebagaimana layaknya tradisi jenis yang lain, meago-ago merupakan lambang identitas masyarakat Taluki yang memuat banyak kearifan lokal yang bermanfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya lebih memberikan perhatian terhadap upaya pelestarian tradisi ini. Masyarakat yang kuat mengusung nilai-nilai kearifan lokal daerahnya tentu akan sangat membanggakan bagi pemerintah daerah sehingga dengan sendirinya akan memajukan kebudayaan daerahnya. DAFTAR PUSTAKA Asmi, Sonny Kurnia. 2012. “Tradisi Bersih Desa Dukatan (Studi Kebudayaan Masyarakat Desa Nglurah Kecamatan Tawanginang Kabupaten Karanganyar)”. Internet. http://dglib.uns.ae.id/pengguna.php? ma=detail& d_id=27477. Diakses pada tanggal 10 Februari 2015. Cristomy, T dan Untung Yuwono (Penyunting). 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia. Danandjaja, James. 1999. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. -DNDUWD*UD¿WL3UHVV Dewi, Satya, Trisna Kumala. 2011. “Kearifan Lokal dalam Tradisi Bersih Desa Masyarakat Jawa sebagai Penguatan Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra. Mataram: Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Http://pokeapokeacinta.blogspot.com/2012/05/ taaluki-suku-baru-di-pedalaman-muna. html. Diakses pada tanggal 10 Februari 2014. Morris, Desmond. 1969. The Human Zoo. London: Cape. Pahlevi, Reza. 2010. “Bersih Desa, Wujud Keharmonisan Antara Manusia dan Alam”.http://sosbud.kompasiana. com/2010/07/27/bersih-desa-wujud223
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 211—224 keharmonisan-antara-manusia-danalam-205604.html. Internet. Diakses tanggal 10 Februari 2014. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Story, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam. Suwardi. 2006. “Mistisisme dalam Seni Spiritual Bersih Desa di Kalangan Penghayat Kepercayaan”. Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa. Vol. 1 No.
224
2. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Uniawati. 2014. “Nilai dan Makna Tuturan dalam Tradisi Bersih Desa Masyarakat Taluki: Tinjauan Semiotika Budaya”. Laporan Penelitian. Kendari: Belum Diterbitkan. Zoest, Aart Van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.