Vol. 20 No. 1, Februari 2015
INDONESIAN FEMINIST JOURNAL
Budaya, Tradisi, Adat Culture, Tradition and Custom
Diterbitkan oleh:
Yayasan Jurnal Perempuan
84
Gerakan 1000 Sahabat Jurnal Perempuan Pemerhati Jurnal Perempuan yang baik, Jurnal Perempuan (JP) pertama kali terbit dengan nomor 01 Agustus/September 1996 dengan harga jual Rp.9200,- Jurnal Perempuan hadir di publik Indonesia dan terus menerus memberikan yang terbaik dalam penyajian artikel-artikel dan penelitian yang menarik tentang permasalahan perempuan di Indonesia. Tahun 1996, Jurnal Perempuan hanya beroplah kurang dari seratus eksemplar yang didistribusikan sebagian besar secara gratis untuk dunia akademisi di Jakarta. Kini, oplah Jurnal Perempuan berkisar 3000 eksemplar dan didistribusikan ke seluruh Indonesia ke berbagai kalangan mulai dari perguruan tinggi, asosiasi profesi, guru-guru sekolah, anggota DPR, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kalangan umum seperti karyawan dan ibu rumah tangga. Kami selalu hadir memberikan pencerahan tentang nasib kaum perempuan dan kelompok minoritas lainnya melalui kajian gender dan feminisme. Selama perjalanan hingga tahun ini, kami menyadari betapa sangat berat yang dihadapi kaum perempuan dan betapa kami membutuhkan bantuan semua kalangan termasuk laki-laki untuk peduli pada perjuangan perempuan karena perjuangan ini. Jurnal Perempuan menghimbau semua orang yang peduli pada Jurnal Perempuan untuk membantu kelangsungan penerbitan, penelitian dan advokasi Jurnal Perempuan. Tekad kami adalah untuk hadir seterusnya dalam menyajikan penelitian dan bacaan-bacaan yang bermanfaat untuk masyarakat Indonesia dan bahkan suatu saat dapat merambah pembaca internasional. Kami berharap anda mau membantu mewujudkan cita-cita kami. Bila anda percaya pada investasi bacaan bermutu tentang kesetaraan dan keadilan dan peduli pada keberadaan Jurnal Perempuan, maka, kami memohon kepada publik untuk mendukung kami secara finansial, sebab pada akhirnya Jurnal Perempuan memang milik publik. Kami bertekad menggalang 1000 penyumbang Jurnal Perempuan atau 1000 sahabat Jurnal Perempuan. Gabunglah bersama kami menjadi penyumbang sesuai kemampuan anda:
SJP Silver : Rp 300.000,-/tahun
SJP Gold : Rp 500.000,-/tahun
SJP Platinum : Rp 1.000.000,-/tahun
SJP Company : Rp. 10.000.000,-/tahun Formulir dapat diunduh di http://www.jurnalperempuan.org/sahabat-jp.html Anda akan mendapatkan terbitan-terbitan Jurnal Perempuan dan Jurnal Perempuan Muda secara teratur, menerima informasi-informasi kegiatan Jurnal Perempuan dan berita tentang perempuan serta kesempatan menghadiri setiap event Jurnal Perempuan. Dana dapat ditransfer langsung ke bank berikut data pengirim, dengan informasi sebagai beriktut: - BCA KCP Menteng a.n Gadis A. Effendi, No. Rekening: 7350454416 - Bank Mandiri cabang Tebet Raya a.n Yayasan Jurnal Perempuan, No. Rekening 124-00-0497988-7 (Mohon bukti transfer difaks ke 021 83706747, attn: Andri Wibowo/Gerry) Semua hasil penerimaan dana akan dicantumkan di website kami di: www.jurnalperempuan.org Informasi mengenai donasi dapat menghubungi Mariana Amiruddin (Hp 08174914315, email: mariana@ jurnalperempuan.com) dan Deedee Achriani (Hp 0818730289, email:
[email protected]). Sebagai rasa tanggung jawab kami kepada publik, sumbangan anda akan kami umumkan pada setiap tanggal 1 setiap bulannya di website kami www.jurnalperempuan.org dan dicantumkan dalam Laporan Tahunan Yayasan Jurnal Perempuan. Salam pencerahan dan kesetaraan, Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan)
Vol. 20 No. 1, Februari 2015
ISSN 1410-153X Pendiri Dr. Gadis Arivia Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno Ratna Syafrida Dhanny Asikin Arif (Alm.) Dewan Pembina Melli Darsa, S.H., LL.M. Mari Elka Pangestu, Ph.D. Svida Alisjahbana Pemimpin Redaksi Dr.Phil. Dewi Candraningrum Dewan Redaksi Dr. Gadis Arivia (Filsafat Feminisme, FIB Universitas Indonesia) Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum Feminisme, Universitas Indonesia) Dr. Nur Iman Subono (Politik & Gender, FISIPOL Universitas Indonesia) Prof. Sylvia Tiwon (Antropologi Gender, University California at Berkeley) Prof. Saskia Wieringa (Sejarah Perempuan & Queer, Universitaet van Amsterdam) Mariana Amiruddin, M.Hum (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) Yacinta Kurniasih, M.A. (Sastra dan Perempuan, Faculty of Arts, Monash University) Soe Tjen Marching, Ph.D (Sejarah dan Politik Perempuan, SOAS University of London) Manneke Budiman, Ph.D. (Sastra dan Gender, FIB Universitas Indonesia) Mitra Bestari Prof. Mayling Oey-Gardiner (Demografi & Gender, Universitas Indonesia) David Hulse, PhD (Politik & Gender, Ford Foundation) Dr. Pinky Saptandari (Politik & Gender, Universitas Airlangga) Dr. Kristi Poerwandari (Psikologi & Gender, Universitas Indonesia) Dr. Ida Ruwaida Noor (Sosiologi Gender, Universitas Indonesia) Dr. Arianti Ina Restiani Hunga (Ekonomi & Gender, Universitas Kristen Satya Wacana) Katharine McGregor, PhD. (Sejarah Perempuan, University of Melbourne) Prof. Jeffrey Winters (Politik & Gender, Northwestern University) Ro’fah, PhD. (Agama & Gender, UIN Sunan Kalijaga) Tracy Wright Webster, PhD. (Gender & Cultural Studies, University of Western Australia)
Prof. Rachmi Diyah Larasati (Budaya & Perempuan, University of Minnesota) Dr. Phil. Ratna Noviani (Media & Gender, Universitas Gajah Mada) Prof. Merlyna Lim (Media, Teknologi & Gender, Carleton University) Prof. Claudia Derichs (Politik & Gender, Universitaet Marburg) Sari Andajani, PhD. (Antropologi Medis, Kesehatan Masyarakat & Gender, Auckland University of Technology) Dr. Wening Udasmoro (Budaya, Bahasa & Gender, Universitas Gajah Mada) Prof. Ayami Nakatani (Antropologi & Gender, Okayama University) Assoc. Prof. Muhamad Ali (Agama & Gender, University California, Riverside) Assoc. Prof. Paul Bijl (Sejarah, Budaya & Gender, Universiteit van Amsterdam) Assoc. Prof. Patrick Ziegenhain (Politik & Gender, Goethe University Frankfurt) Assoc. Prof. Alexander Horstmann (Studi Asia & Gender, University of Copenhagen) Redaksi Pelaksana Elisabeth Anita Dhewy Haryono Sekretaris Redaksi Andi Misbahul Pratiwi Sekretariat dan Sahabat Jurnal Perempuan Himah Sholihah Andri Wibowo Hasan Ramadhan Abby Gina Boangmanalu Desain & Tata Letak Agus Wiyono ALAMAT REDAKSI : Jl. Lontar No. 12 - Menteng Atas, Setiabudi - Jakarta Selatan 12960 Telp. (021) 8370 2005 (hunting) Fax: (021) 8370 6747 Email:
[email protected] [email protected] Website: www.jurnalperempuan.org Cetakan Pertama, Februari 2015
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015
84
Budaya, Tradisi, Adat Culture, Tradition and Custom
Catatan Jurnal Perempuan: Budaya, Tradisi, Adat..................................................................................................
iii-iv
Artikel / Articles •
Perempuan Adat dan Hak Ulayat dalam Konflik Agraria: Kajian Ekofeminisme / Indigenous Women and Customary Rights in Agrarian Conflicts: a Study of Ecofeminism..........................................................
1-9
Sapariah Saturi •
Sang Hyang Dedari: Perempuan Bali dalam Pendekatan Skizoanalitik / Sang Hyang Dedari: Balinese Women in Schizoanalytic Approach......................................................................................................
11-18
Saraswati Dewi •
Otoritas Tubuh Perempuan dalam Upacara Nengget Tanah Karo: Kajian Akar Kekerasan Terhadap Perempuan / Authority of Women’s Bodies in Nengget Tanah Karo Ritual: a Study of Root of Violence against Women..........................................................................................................................................................
19-26
Lorensia Berlian Br Brahmana •
Bagaimana Membeli Perempuan? Status Perempuan Kristen Batak dalam Tradisi Perkawinan / How to Purchase a Woman? Status of Christian Batak Women in Marriage Tradition...............................
27-33
Nurseli Debora Manurung •
Tradisi Nikah-Paksa di Madura: Perspektif Sosio-Legal Feminisme / Tradition of Forced-Marriage in Madura: a Perspective of Socio-Legal Feminism..................................................................................................
35-42
Masthuriyah Sa’dan •
Wanita, Wani Ing Tata: Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi Poskolonialisme / Wanita, Wani Ing Tata: a Construction of Javanese Women in Postcolonial Studies.............................................................
43-49
Wasisto Raharjo Jati •
Kritik Amina Wadud dalam Tradisi Penafsiran Alquran: Kajian Hermeneutika Feminisme / Amina Wadud’s Criticism against Misogynistic Interpretation of Quran: a Study of Hermeneutic Feminism......
51-56
Mardety •
Budaya, Seks dan Agama: Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta / Culture, Sex and Religion: a Study of Contract-Marriage in Cisarua and Jakarta...........................................................................................
57-64
Gadis Arivia & Abby Gina Wawancara / Interview •
Ahmed Fekry Ibrahim (Islamic Law, McGill Inst of Islamic Studies, Montreal): “Islam Pra-Modern mengenal Kesetaraan lebih baik daripada Eropa” / Ahmad Fekry Ibrahim: “Pre-Modern Islam knew equality much better than Europe”.....................................................................................................................
65-67
Dewi Candraningrum Kata dan Makna / Words and Meanings...................................................................................................................
69-70
Profil / Profile •
Alissa Wahid: “Harkat Perempuan dan Alam dalam Tradisi NU” / Alissa Wahid: “”Women’s dignity and nature within the tradition of Nahdlatul Ulama”........................................................................................
71-75
Dewi Candraningrum Resensi Buku/ Book Review •
Gus Dur, Sang Feminis / Gus Dur, The Feminist.................................................................................................. Andi Misbahul Pratiwi
ii
77-79
Catatan Jurnal Perempuan
Budaya, Tradisi, Adat
J
alan, jejak dan praktik budaya, tradisi, adat dan hukum informal masih melekat, menyatu dan ada dalam praktik masyarakat Indonesia ‘modern’. Jejak dari bahaya beberapa praktek tradisi seperti kawin-paksa, tes keperawanan, sunat perempuan, dan lain-lain bahkan masih utuh dipraktekkan di kota-kota yang diklaim sebagai lebih modern dari lokus-lokus masyarakat tradisional. Indonesia dibuat kaget oleh institusi kepolisian yang mewajibkan tes keperawanan pada calon polisi wanita pada November 2014 lalu. Tak hanya tes keperawanan yang menciderai hak perempuan tetapi praktek sunat perempuan juga masih subur di berbagai belahan dunia, dan praktek budaya ini telah menyumbang ¾ persen dari penyebab kematian anak-anak perempuan di Afrika, Asia Tengah dan Selatan. Praktik sunat perempuan juga masih ada di Indonesia. Komisi Hak Asasi Manusia PBB telah menyatakan bahwa “kebebasan atas nilai budaya, tradisi dan adat yang melindungi moral tertentu harus berlandaskan pada prinsip bahwa ia tidak berbasis pada satu tradisi tunggal dan atau yang melanggar hak asasi manusia perempuan” (ICCPR, 13 Nov 2012). Hampir seluruh agama-agama di dunia tak bebas dari jejak praktik-praktik yang membahayakan nyawa anak-anak perempuan, perempuan dan minoritas seksual. Hak agama dan hak budaya umumnya diekspresikan secara kolektif dan komunal, yang kemudian, pada tingkat tertentu, tak lagi ramah dan peduli pada perempuan dan minoritas rentan. Supremasi hak-hak individual dicurigai sebagai sesuatu yang berbau “barat” dan kemudian tidak kompatibel dan sesuai dengan kondisi Indonesia meski Indonesia telah mengadopsi sistem hukum dan kenegaraan demokratis yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Ketegangan antara hak individu dan hak komunal ini tak hanya melibatkan matra gender, tetapi juga matra ras/etnis dan kelas sosial, ekonomi dan politik. Dan dalam hirarki matra tersebut, kemudian perempuan diwajibkan untuk
loyal pada agama atau kepercayaan atau sistem budaya yang bisa jadi merugikan dan bahkan melanggar hak-haknya. Kesetiaan perempuan dalam medan diskursif ini kemudian diuji dan melahirkan ekspresi-ekspresi yang terpolarisasi. Dalam kajiannya Bronwyn Winter (“Religion, Culture and Women’s Rights: Some general Political and Theoritical Consideration” dalam Women’s Studies International Forum, Vol 29, Issue 4, July-August 2006, hal 381-393), menarasikan bagaimana kemudian HAM perempuan banyak terdistorsi, bias, dan mengalami pelanggaran hebat dalam praktek dan ritual agama dan sejumlah kepercayaan. Misalnya seperti praktik: pernikahan dini, sunat perempuan (membunuh hampir ¾ anakanak di Afrika), pemaksaan pakaian tertentu pada perempuan (misalnya jilbab pada perempuan di Aceh), pembunuhan perempuan untuk kehormatan keluarga (honor killing), dan lain-lain. Praktek tafsir atas agama yang lebih berbahaya, bahkan, juga menjadi trend pada dekade terakhir, seperti penembakan atas Malala yang menurut Taliban diharamkan bagi anak perempuan untuk sekolah. Tafsir, produksi legal, dan praktek atas sistem agama dan kepercayaan seringkali menciderai hak asasi manusia anak-anak perempuan. Forum Keyakinan, Kepercayaan & Pemajuan Hak Perempuan dan UNHC-HR (United Nations High Commissioner for Human Rights) menyatakan bahwa dunia harus melawan praktek diskriminasi dan intoleransi yang terus menaik dalam dekade terakhir atas nama agama dan aliran kepercayaan. Termasuk di dalamnya adalah melawan tradisi dan sistem kebudayaan yang jelas-jelas melanggar HAM Perempuan. Tradisi, kepercayaan dan nilai telah berubah sepanjang zaman, dan tak bisa lagi ditafsirkan sebagai praktek tunggal dan universal karena setiapnya berdiri dalam konteks masingmasing. Adaptasi HAM dalam praktek-praktek tersebut tidak mudah karena sistem agama dan kepercayaan dianggap sebagai tunggal dan universal—padahal prakteknya sangat kontekstual iii
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015
dan terikat budaya setempat. Hal ini kemudian memicu usaha-usaha untuk membuka ruang tafsir yang lebih ramah HAM perempuan. Ini kemudian membawa kemajuan, seperti dipromosikannya perempuan untuk dapat sekolah, atau menjadi hakim di Indonesia—sebuah hal yang mustahil terjadi di Timur Tengah, misalnya. Gerakan seperti Musawah, Kesetaraan, yang dipimpin oleh perempuan Muslim
iv
secara publik telah berhasil mengintegrasikan pengajaran Islam, hak universal manusia, nilai kesetaraan dan keadilan. Pendekatan mereka sangat sederhana, yaitu “agama tak lagi merupakan hambatan bagi kesetaraan perempuan dan sumber kebebasan bagi manusia”. (Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi)
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015 Lembar Abstrak/Abstracts Sheet Sapariah Saturi. Editor Mongabay Indonesia. Jl Pasang No 17, Gunung Batu, Bogor, 16118 Perempuan Adat dan Hak Ulayat dalam Konflik Agraria: Kajian Ekofeminisme Indigenous Women and Customary Rights in Agrarian Conflicts: a Study of Ecofeminism Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 1-9, 6 daftar pustaka. This paper narrates indigenous women, land rights, indigenous forests and the status of women’s marginalization in the agrarian conflicts
in Nusantara. Forests are not only as natural resource, but for indigenous peoples, they were seen as culture. Rivers and swamps are not only a
source of food. These are also the culture of indigenous women. Rivers and swamps are source for indigenous women in teaching their children to survive in nature. Since the presence of monoculture plantations, mining, etc., then they lose their cosmology (logos on beauty). Not only that the beauty is lost, but also acute environmental pollution that affect birth of disable infants. Keywords: indigenous women, land rights, agrarian conflict. Kajian ini menarasikan perempuan adat, hak ulayat, hutan adat dan terpinggirnya status perempuan dalam konflik-konflik agraria di nusantara. Hutan tak hanya sumber daya alam, tetapi bagi masyarakat adat dipandang sebagai sebuah budaya. Sungai dan rawa tak hanya sumber pangan. Ia juga budaya warga. Sungai-sungai dan rawa itu tempat perempuan-perempuan adat mengajari anak-anak mereka menyelamatkan diri dan bertahan di air. Sejak hadirnya perkebunan monokultur, tambang, dan lain-lain, kemudian mereka kehilangan kosmologinya. Tak hanya keindahan yang hilang, juga pencemaran lingkungan yang akut berdampak pada kelahiran bayi-bayi yang kemudian cacat. Katakunci: perempuan adat, hak ulayat, konflik agraria.
Saraswati Dewi. Dept Filsafat, FIB Universitas Indonesia. Kampus UI Depok Jawa Barat 16424, Telp. +62.21.7863528, +62.21.7863529, Faks. +62.21.7270038 Sang Hyang Dedari: Perempuan Bali dalam Pendekatan Skizoanalitik Sang Hyang Dedari: Balinese Women in Schizoanalytic Approach Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 11-18, 10 daftar pustaka. Sang Hyang Dedari Dance in religious ceremonies is not only aimed vertically to Sang Hyang Widhi, but also bearing horizontal objectives, to sustain stable structure in Bali society. This study aims to describe the layers of the society, so it can be understood critically what is meant by women of Bali—that the multicultural discourse, indigenous women celebrate the customs and traditions as an act against the root of patriarchy. Yet there is always a need to reexamine the roots. Root is not absolute, and a single tone, but rhizomes that question the hegemony of the hierarchy in winning gender equality against patriarchal subordination.
Keywords: dance Sang Hyang Dedari, Balinese women, skizoanalytics. Tari Sang Hyang Dedari dalam upacara keagamaan tidak hanya bertujuan vertikal terhadap Sang Hyang Widhi, tetapi ada tujuan horizontal, untuk merawat suatu struktur dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan lapisan-lapisan yang tersamar, sehingga dapat dipahami secara kritis apa yang dimaksud dengan perempuan Bali. Bahwa dalam diskursus multikultural, perempuan adat merayakan adat dan tradisi sebagai perawatan terhadap akar. Tetapi perlu ada penyegaran pengertian terhadap akar. Akar bukanlah yang absolut, satu dan tunggal, tetapi rhizoma, yang mencuat, menerobos hegemoni hirarki dan melahirkan kuncup-kuncup entitas baru dalam memenangkan kesetaraan atas subordinasi patriarki. Kata Kunci: tari Sang Hyang Dedari, perempuan Bali, skizoanalitik.
Lorensia Berlian Br Brahmana. Univ Padjajaran & Caritas Indonesia. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Jawa Barat 45363 Phone:(022) 84288828 Otoritas Tubuh Perempuan dalam Upacara Nengget Tanah Karo: Kajian Akar Kekerasan Terhadap Perempuan Authority of Women’s Bodies in Nengget Tanah Karo Ritual: a Study of Root of Violence against Women Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 19-26, 8 daftar pustaka. This writing discuss women’s body authority in Nengget Ceremony in Karo Land that attacked by the disaster of Sinabung Mountain eruption. The patriarkal construction in the traditional custom and culture as well the religion interpretation has become the tool which has contributed to legalize the woman’s oppression in Karo Regency. This writing will discuss how the patriarkal domination in the traditional marriage was built through traditional relation model which legitimated the concept of man absolute ownership over women’s property, status, role, and body. This writing will discuss the influence of the relation model of violence in family. Keywords: Tanah Karo, Nengget ceremony, body authority. Tulisan ini membahas tentang upacara Nengget—gambaran kehidupan perempuan-perempuan di Tanah Karo, tanah yang saat ini dikenal karena sedang dilanda oleh bencana alam erupsi Gunung Sinabung. Konstruksi patriarki dalam istiadat dan budaya Tanah Karo berkontribusi dalam melegalkan opresi terhadap hak-hak asasi perempuan. Tulisan ini akan membahas bagaimana dominasi patriarkal dalam adat istiadat perkawinan yang dibangun melalui model relasi tradisional yang melegitimasi konsep kepemilikan seutuhnya oleh laki-laki terhadap properti, status, peranan dan tubuh perempuan. Pada akhir tulisan ini akan dibahas bagaimana pengaruh dari model relasi tersebut terhadap kekerasan rumah tangga yang dialami oleh perempuan-perempuan di Tanah Karo. Kata Kunci: Tanah Karo, upacara Nengget, otoritas tubuh.
v
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015
Nurseli Debora Manurung. Sekolah Tinggi Bibelvrouw HKBP, Laguboti-Toba Samosir-Sumut. Jln. D. I. Panjaitan No. 1,Laguboti, Sumatera Utara, Indonesia Bagaimana Membeli Perempuan? Status Perempuan Kristen Batak dalam Tradisi Perkawinan How to Purchase a Woman? Status of Christian Batak Women in Marriage Tradition Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 27-33, 10 daftar pustaka. This paper shows encounter of two traditions in marriages (Christianitybased and Batak Tradition-based), both are marginalizing women status. Church tradition and Toba Batak tradition are both patriacharl. They have different background contexts, but both subordinate women. The texts which is often used in liturgical marriage tradition describe women as those being led by men, thus led by God. In Toba Batak traditional marriages, a term called sinamot means as paying marriages. Many people say that sinamot is tuhor ni boru, literally means “woman-buying money.” Based on the roles of women and based on human rights of women, women are not dituhor, are not bought. Keywords: liturgical marriage tradition, Toba Batak traditional marriages, sinamot, tuhor ni boru. Tulisan ini hendak menunjukkan perjumpaan dua tradisi dan budaya perkawinan yang saling menyuburkan internalisasi status perempuan. Keduanya ialah tradisi liturgi perkawinan dalam gereja dan tradisi perkawinan adat Batak Toba. Tradisi gereja dan tradisi adat datang dari dua dunia yang berbeda. Mereka mempunyai perbedaan latar belakang konteks, tetapi sama-sama menstereotipe dan mensubordinasi perempuan. Teks yang sering dipergunakan dalam tradisi liturgi perkawinan menggambarkan perempuan distereotipe dalam ketundukan kepada suami sebagai bentuk ketundukan kepada Tuhan. Teks tradisi liturgi perkawinan yang patriarki itu hadir di tengah-tengah masyarakat Batak yang juga patriarki. Masyarakat ini sangat kental dengan adat. Salah satunya ialah perkawinan adat Batak Toba dengan sinamot yang diartikan sebagai pembayaran perkawinan. Banyak yang menyebut sinamot sebagai tuhor ni boru, arti harafiah “uang beli perempuan.” Kata Kunci: tradisi liturgi perkawinan, perkawinan adat Batak Toba, sinamot, tuhor ni boru.
Masthuriyah Sa’dan. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Jl. Marsda Adisucipto, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281 Tradisi Nikah-Paksa di Madura: Perspektif Sosio-Legal Feminisme Tradition of Forced-Marriage in Madura: a Perspective of Socio-Legal Feminism Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 35-42, 14 daftar pustaka. Forced-marriage is a Madurese tradition that forces daughters to marry to men being chosen by the parent. Usually they are betrothed while still in the womb or as a child. Average age of girls being married are under 18 years old. Even in some cases they were being wed on their 12-15 age. The preservation of the tradition can be found in certain areas in Madura such as Bangkalan, Sampang, Pamekasan and Sumenep. This tradition was formed because of customary law which merged with religious understanding of Madurese community about Islam, supported also by the economic conditions and low levels of education. Keyword: girls, tradition of forced marriage, customary law and Islam.
vi
Tradisi nikah paksa adalah sebuah kebiasaan masyarakat Madura dalam menjodohkan atau menikahkan anak perempuannya secara paksa dengan lelaki pilihan orang tua. Biasanya mereka dijodohkan ketika masih dalam kandungan atau masih anak-anak. Umumnya usia anak perempuan yang dinikahkan di bawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia sekitar 12-15 tahun. Pelestarian warisan leluhur tersebut bisa dilihat di beberapa daerah tertentu di Madura meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Tradisi ini terbentuk karena hukum adat yang melebur dengan pemahaman keagamaan masyarakat Madura tentang Islam, didukung pula dengan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. Kata Kunci: anak perempuan, tradisi nikah paksa, hukum adat dan Islam.
Wasisto Raharjo Jati. Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). Jl. Gatot Subroto 10 Jakarta 12710 Wanita, Wani Ing Tata: Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi Poskolonialisme Wanita, Wani Ing Tata: a Construction of Javanese Women in Postcolonial Studies Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 43-49, 1 tabel, 5 daftar pustaka. Notion of “wani ing tata” basically is manifestation of noble conception to regard women having dignity in society. That actualization then explained in dual roles which operated in both areas; domestic and social engangement. The words “wanita” basically has been encountered in three social realms such as “wanodya” and “putri”. Those three concepts symbolized multifunctional roles that ascribed women as educator, nurse, and balancer. Javanese women leadership proved by prominent famous figure like Queen Shima, Tribhuana Tungga Dewi, and Suhita. In this case, its conception has ramified into both others notion; ardhaneswari and prameswari. Prameswari can be understood as main women; meanwhile ardhananeswari can be explained as tough and strong women. The emergence of patriarchal system into sociey reduced concept of “wani ing tata”. It puts women as inferior symbolized by “kasur”, “pupur’, and “sumur”. Keywords: Javanese Women, “Wani Ing Tata”, emancipation, domestification. Konsep “wani ing tata” adalah konsep luhur yang menempatkan wanita sebagai makhluk yang memiliki posisi terhormat dan bermartabat. Dalam sistem matrifokus disebutkan bahwa wanita Jawa sebenarnya adalah wanita perkasa yang mampu mengatur kaum pria maupun lingkungannya. Kata wanita sendiri sebenarnya merupakan status fungsi dari ketiga fungsi yang dijalankan oleh wanita selain halnya “wanodya” dan “putri”. Ketiganya menyimbolkan adanya multifungsi peran wanita baik sebagai pengasuh, pendidik, maupun penyeimbang. Hal itu terdapat dalam contoh munculnya Ratu Shima, Tribhuana Tungga Dewi, maupun juga Suhita dalam kepemimpinan Jawa. Dalam hal ini, pula berlaku pula konsep turunan dari “wani ing tata” yakni “prameswari” dan juga “ardhananeswari” untuk menjelaskan kedudukan utama wanita. Adapun prameswari sendiri dapat diartikan sebagai bentuk hadirnya wanita utama sedangkan ardhananeswari sendiri dapat dipahami sebagai bentuk wanita perkasa. Adalah sistem patriaki yang kemudian mereduksi konsep “wani ing tata menjadi bagian dari sistem patriaki. Konteks “wani” tidak lagi dimaknai sebagai bentuk aktualisasi diri status perempuan, akan tetapi lebih kepada pemenuhan kepentingan suami. Namun perlahan konsep itu berubah seiring dengan menguatnya patriarki dalam masyarakat. Hal itulah yang kemudian diwujudkan dalam semboyan kasur, pupur, dan sumur. Kata-kata kunci: Wanita Jawa, “wani ing tata”, emansipasi, domestifikasi.
Mardety. Dept Filsafat, FIB Universitas Indonesia. Kampus UI Depok Jawa Barat 16424, Telp. +62.21.7863528, +62.21.7863529, Faks. +62.21.7270038
Gadis Arivia & Abby Gina. Dept Filsafat, FIB Universitas Indonesia. Kampus UI Depok Jawa Barat 16424, Telp. +62.21.7863528, +62.21.7863529, Faks. +62.21.7270038
Kritik Amina Wadud dalam Tradisi Penafsiran Alquran: Kajian Hermeneutika Feminisme
Budaya, Seks dan Agama: Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta
Amina Wadud’s Criticism against Misogynistic Interpretation of Quran: a Study of Hermeneutic Feminism
Culture, Sex and Religion: a Study of Contract-Marriage in Cisarua and Jakarta
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 51-56, 15 daftar pustaka.
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, hal. 57-64, 13 daftar pustaka.
This paper is an analysis of Amina Wadud’s thinking about Islam and the status of women, especially regarding gender bias in the interpretation of the Alquran. Methodological problems in the interpretation of the Alquran has led gender issues that disadvantage women. Gender issues in the interpretation has made women subordinate, scapegoated, subordinated and oppressed. Thus, in order to achieve gender equality, Wadud dismantles gender bias in the interpretation of the Qur’an and reveal the darkness of the status of women. Furthermore, Wadud first interpretation offered by women, an interpretation which echoes the voice of women in the Qur’an.
This research is about temporary marriage in the areas of Cisarua and Jakarta. The Islamic discourse in the Arabic culture views temporary marriage as positive to avoid promiscuity (zina). This research indicates that the practice of temporary marriage is manipulation of religion and degradation of Indonesian women. The dominance of Arabic culture in Cisarua influenced the subjectivity and sexuality of women in Indonesia. Respect for the identity of Indonesian women have faded because Indonesian cultural values are not upheld, overpowered by Arabicpatriachal culture and the fact that poverty is still an issue. Temporary marriage is basically prostitution legalized under the pretext of religion. Temporary marriage and siri marriage cannot be distinguished because both exploits the female body.
Keywords: gender bias, commentary on the Qur’an, equality and gender justice. Tulisan ini merupakan analisis pemikiran Amina Wadud mengenai Islam dan status perempuan, khususnya mengenai bias gender dalam penafsiran Alquran. Problem metodologis dalam penafsiran Alquran telah melahirkan isu-isu gender yang merugikan perempuan. Isu-isu gender dalam tafsir telah membuat kaum perempuan menjadi subordinat, dikambinghitamkan, dinomorduakan dan ditindas. Maka itu, dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender, Wadud membongkar bias gender dalam tafsir Alquran dan menyingkap tabir kegelapan status perempuan.Selanjutnya, Wadud mempersembahkan tafsir pertama oleh perempuan, sebuah tafsir yang mengumandangkan suara perempuan dalam Alquran. Kata Kunci: bias gender, tafsir Alquran, kesetaraan dan keadilan gender.
Keywords: culture, religion, sex, temporary-marriage. Penelitian kawin kontrak di daerah Cisarua dan Jakarta menunjukkan bahwa ada manipulasi budaya dan agama. Khusus di daerah Cisarua dominasi budaya Arab menguat dan mempengaruhi subyektivitas serta seksualitas perempuan Indonesia. Penghargaan terhadap identitas dan eksistensi perempuan Indonesia telah luntur karena nilai-nilai budaya Indonesia tidak dipertahankan serta faktor kemiskinan yang menyeruak. Kawin kontrak adalah prostitusi semata yang “dilegalkan” dengan dalih agama. Di Cisarua kawin kontrak dan kawin siri tidak dapat dibedakan karena sama-sama dapat dipandang mengeksploitasi tubuh perempuan. Kata Kunci: budaya, agama, seks, kawin kontrak.
vii
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015
viii
Artikel / Article
Vol. 20 No. 1, Februari 2015, 57-64
UDC: 305
Budaya, Seks dan Agama: Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta Culture, Sex and Religion: a Study of Contract-Marriage in Cisarua and Jakarta Gadis Arivia & Abby Gina Dept Filsafat, FIB Universitas Indonesia. Kampus UI Depok Jawa Barat 16424, Telp. +62.21.7863528, +62.21.7863529, Faks. +62.21.7270038
[email protected] Naskah Diterima 17 Desember 2014. Direvisi 3 Januari 2015. Disetujui: 18 Januari 2015
Abstract This research is about temporary marriage in the areas of Cisarua and Jakarta. The Islamic discourse in the Arabic culture views temporary marriage as positive to avoid promiscuity (zina). This research indicates that the practice of temporary marriage is manipulation of religion and degradation of Indonesian women. The dominance of Arabic culture in Cisarua influenced the subjectivity and sexuality of women in Indonesia. Respect for the identity of Indonesian women have faded because Indonesian cultural values are not upheld, overpowered by Arabic-patriachal culture and the fact that poverty is still an issue. Temporary marriage is basically prostitution legalized under the pretext of religion. Temporary marriage and siri marriage cannot be distinguished because both exploits the female body. Keywords: culture, religion, sex, temporary-marriage.
Abstrak Penelitian kawin kontrak di daerah Cisarua dan Jakarta menunjukkan bahwa ada manipulasi budaya dan agama. Khusus di daerah Cisarua dominasi budaya Arab menguat dan mempengaruhi subyektivitas serta seksualitas perempuan Indonesia. Penghargaan terhadap identitas dan eksistensi perempuan Indonesia telah luntur karena nilai-nilai budaya Indonesia tidak dipertahankan serta faktor kemiskinan yang menyeruak. Kawin kontrak adalah prostitusi semata yang “dilegalkan” dengan dalih agama. Di Cisarua kawin kontrak dan kawin siri tidak dapat dibedakan karena sama-sama dapat dipandang mengeksploitasi tubuh perempuan. Kata Kunci: budaya, agama, seks, kawin kontrak.
Pendahuluan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla pada tahun 2006 pernah menyatakan secara bergurau di hadapan para pengusaha dalam sebuah simposium berjudul “Strategi Pemasaran Pariwisata di Kawasan Timur Tengah,” bahwa “Kalau ada masalah janda di Puncak itu urusan lain. Jadi orang-orang Arab yang mencari janda-janda di kawasan Puncak bisa memperbaiki keturunan. Nanti mendapat rumah kecil, rumah BTN, ini artinya kan sah-sah saja. Walau kemudian para turis tersebut meninggalkan mereka, ya tidak apa-apa. Karena anak-anak mereka akan punya gen yang bagus bisa menjadi aktor-aktris TV yang cakepcakep.” (Jakarta Post, 29 Juni 2006). Kutipan Jusuf Kalla menjadi berita besar bukan saja di tanah air tetapi juga di luar negeri. Berbagai kalangan aktifis perempuan ketika itu memprotes keras ucapan Jusuf
Kalla. Nampaknya Kalla melihat persoalan dan solusi kemiskinan dengan mudah, yakni, “menjual” perempuan Indonesia ke bangsa Arab. Pernyataan serupa pernah juga dilontarkan oleh presiden Iran, Hashimi Rafsanjani di tahun 1990: If we had a healty society (i.e truly Islamic) then the situation of all these widows (i.e the women widowed in the Iran-Iraq war) would be very different. Then when they (widows) felt the sexual need, they could approach and invite him to marry them temporarily, izdivaj-I muvaqqat. This they could do without fear of being shamed or ostracized by others. (dikutip dari Zani-i Ruz No,1294, 1990:55 oleh Haeri). Rafsanjani berbeda dengan Kalla memberikan 57
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, 57-64
argumen yang lebih mendalam tentang masalah dorongan seks secara alamiah yang perlu dicari solusinya. Bahkan Ia menyarankan perkawinan kontrak sebagai jalan keluar untuk anak-anak muda yang tidak dapat melawan dorongan seks yang timbul secara alamiah. Ia mengatakan: Nowadays, in our (modern) society, young people mature at the age of 15, and sexual needs are awakened in them… Our college students are constantly exposed to the opposite sex in the schools, universities, parks, buses, bazars and the work place. They are continuously stimulated (by proximity with each other), but have no recourse. Who says this is right? Presently, in our society for our youth to remain pure and honorable, and to respect the societal norms (of chastity and virginity) implies remaining unsatisfied until they are 25 or 30 years old. They will have to deprive themselves of their natural desires. Deprivation is harmful. Who says this (deprivation) is correct? Well, God didn’t say that this need should not be satisfied. The Prophet didn’t say so. The Quran doesn’t say so. The whole world doesn’t say so either. Besides, if one is deprived, then harmful psychological and physical consequences will follow. Science has proven this. To fight nature is wrong. (dikutip dari Zani-i Ruz No,1294, 1990:55 oleh Haeri). Perdebatan yang dilontarkan oleh Rafsanjani mengandung perdebatan kultural dan bagaimana menghadapi kehidupan modern. Di satu pihak, Islam memiliki pandangan yang tradisional mengenai seks, penjunjungan tinggi pada virginitas, namun di lain pihak tradisi kawin kontrak atau mu’tah telah lama diterima di Islam terutama di kalangan Shi’is. MUI (Majelis Ulama Indonesia) melarang pernikahan kawin mu’tah dengan fatwa tahun 1997 yang menyatakan sebagai praktek haram. Pendasaran MUI adalah Alquran ayat 5-6, “Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri dan jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela.” Bagi MUI ayat ini diinterpretasikan bahwa hubungan kelamin hanya diperolehkan kepada istri. Sedangkan perempuan yang diambil dengan jalan mu’tah bukan sebagai istri hanya kesenangan sementara. Namun, MUI membolehkan pernikahan Siri lewat fatwa pada tahun 2006, karena meski siri diartikan nikah “diamdiam” tapi dimaksudkan untuk membina rumah 58
tangga. Di Indonesia pernikahan mu’tah (kawin sementara) dan siri banyak dijumpai di daerah Cisarua Bogor, Jawa Barat dan Jakarta. Penelitian yang dilakukan oleh penulis hendak membuktikan bahwa pada prakteknya tidak ada perbedaan antara nikah mu’tah dan siri. Praktek yang dilakukan di Cisarua dan Jakarta hanyalah sebatas pelampiasan nafsu seks yang dibungkus dengan bingkai agama. Penulis dalam penelitiannya hendak memperlihatkan praktek hubungan seks yang dibingkai atas nama agama hanyalah kegiatan prostitusi belaka yang menimbulkan ketidakadilan kepada perempuan. Siapakah para pemain utama dari kegiatan prostitusi di Cisarua? Mengapa praktek ini dibiarkan dan tidak dipermasalahkan seperti praktek prostitusi lainnya? Seberapa besar keuntungan yang didapat pemerintah daerah dan masyarakat setempat atas praktek ini? Tujuan dari tulisan ini adalah untuk membongkar masalah seks dan agama serta politik tubuh perempuan.
Kemiskinan dan Kawin Umur 13 Tahun Perawakan perempuan berumur 23 tahun sebut saja bernama Mariah, sangat seksi. Bergaun merah dengan gincu merah menyala serta perhiasan yang menghiasi tubuhnya, terkesan matang di usianya. Tutur katanya teratur dan jelas, kelihatan cerdas meski hanya mengenyam pendidikan tamatan SD di sebuah pesantren. Ia tak henti-hentinya menghisap Sisha yang menjadi kegemarannya sambil menunggu tamu-tamu Arab di sebuah café di daerah Cikini. Semua tamu yang mampir di café tersebut hampir semuanya ia kenal, Mariah menyapa mereka dengan senyum manis dan bahasa Arab yang fasih. Namun di balik senyumnya, terdapat cerita yang menyedihkan. Ia dinikahkan oleh orang tuanya kepada seorang Arab pada umur 13 tahun dan tinggal di Saudi selama 6 tahun. Di tanah Saudi ia merasa tidak betah karena sehari-hari hanya boleh menemani suaminya, jarang ia dibolehkan keluar. Semua serba dikekang termasuk cara berpakaian. Enam tahun baginya cukup lama dan pada usianya yang ke-19 tahun, ia memutuskan pulang ke tanah air. Berbagai pekerjaan telah ia coba dan pada akhirnya ketimbang bergaji Rp.1,3 juta di sebuah pabrik, ia memilih untuk menjadi “guide” Arab.1 Penghasilan yang ia dapat jelas berkali-kali lipat. Ia menjelaskan, “1,3 juta. Dari jam 9 malam sampai jam 2 pagi. Sekitar 5 jam. Kalo long time dari jam 9 sampai jam 6 pagi, dibayar hampir 2 juta.”
Gadis Arivia & Abby Gina
Mariah turut menyaksikan banyaknya anak di bawah umur yang dinikahkan oleh orang tuanya sendiri. Ia mengingat seorang tamu Arabnya membawa istri yang baru berumur 15 tahun. Aku buka pintu, salam terus liat. Dia bilang Mariah ini istri aku dari puncak. Aku bilang sama dia Masya-Allah, aku ngomong sama dia, istri kamu umur berapa. 15 kata dia. Aku yang buka kata dia (keperawanannya). Aku bilang itu haram. Dia bilang, Mariah di sini itu gak ada yang haram, aku bayar, gak ada yang haram. Ya itu, istilahnya yang anter orang tuanya sendiri, ibunya sendiri yang berjualan. (Wawancara 23 Januari 2015). Mariah bercerita bahwa pernikahan dengan anakanak di bawah umur yang dilakukan oleh orangorang Arab sangat biasa dilakukan. Ia dengan yakin mengatakan ada sekitar 90%. Persoalan ekonomi menurutnya adalah alasan utama. Kemiskinan yang membelenggu membuat orang tua dengan pasrah menyerahkan anak-anak mereka ke pangkuan lakilaki Arab yang bisa saja berumur di atas 40-an tahun. Kadang mereka mengharapkan anak-anak mereka mendapatkan kehidupan yang baik apalagi keyakinan agama mereka sudah sama, yaitu sama-sama beragama Islam. Tapi tidak jarang perempuan yang dinikahkan apakah secara mut’ah ataupun siri mengalami kekerasan. Pernah ada Arab yang puasnya kalo udah mukulin ceweknya gitu. Jadi dia dibayar berapa juga mau ceweknya. Ceweknya biasanya dipukul, atau ditampar. Cewek itu mau biasanya untuk biaya sekolah anaknya. (Wawancara 23 Januari 2015). Kekerasan lainnya yang banyak dijumpai adalah melakukan hubungan seksual di luar batas kemampuan si perempuan. Artinya, melakukan hubungan seksual hingga 7 kali semalam. Bagi si Arab, dia telah membayar perempuan tersebut untuk melakukan hubungan seksual dengannya sehingga tidak ada alasan bagi si perempuan untuk menolak. Seorang penjaga toko yang penulis jumpai menganggap bahwa perempuan Indonesia memang tidak dihargai oleh orang-orang Arab karena bisa dibeli dengan murah. Anita, penjaga toko kayu gaharu mantan TKW, tidak terpancing untuk nikah kontrak meski penghasilannya lumayan. Ia sendiri lebih senang banting tulang mendapatkan upah
Budaya, Seks dan Agama: Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta
Rp.50.000,- sehari. Tidak sedikit yang menawarinya untuk melakukan nikah kontrak, kadang orangorang Arab yang ketemu di jalan atau datang ke tokonya langsung menawarinya karena menganggap semua perempuan Indonesia pasti mau nikah kontrak. “Mereka menganggap perempuan Indonesia gampang dibeli,” Anita berkata dengan kesal. Anita sangat menyayangkan nikah kontrak begitu marak di kawasan Cisarua karena ia kasihan melihat anakanak yang lahir dari hasil hubungan nikah kontrak. Kemiskinan memang menjadi alasan utama. Adi yang pernah menjadi supir Arab selama sembilan tahun menuturkan: Mereka perempuan-perempuan dari Cirebon, Cianjur, Indramayu, dan Sukabumi. Mereka biasanya ex-TKW jadi bahasa Arabnya fasih. Alasan mereka menjadi perempuan kawin kontrak biasanya alasan ekonomi. Rata-rata mereka tadinya adalah PRT di Arab. Orang-orang ekonomi lemah, karena faktor bahasa jadi bisa melakukan kawin kontrak. (Wawancara 9 Januari 2015). Karena penghasilan dari kawin kontrak menggiurkan maka ada pula perempuan dari latar belakang kalangan kelas menengah yang berpendidikan juga mau melakukan praktek kawin kontrak meski perempuan dari kalangan tersebut tidak banyak (lihat wawancara Kapanlagi.com tentang Sarah, 5 Desember 2012). Sedangkan lakilaki Arab yang datang ke Cisarua melakukan kawin kontrak datang dari latar belakang kelas menengah ke bawah. Pelaku kawin kontrak biasanya datang dari kalangan menengah bawah di Arab. Mereka secara khusus menabung untuk melakukan liburan di Indonesia. Mereka biasanya menabung selama 2 tahun, pekerjaan mereka mulai dari guru, polisi, hingga gembala sapi. (Wawancara dengan Adi, 9 Januari 2015).
Manipulasi Pernikahan Kawin Kontrak dan Nikah Siri Beberapa responden yang diwawancarai menggunakan istilah kawin kontrak dan nikah siri secara bergantian. Mereka menandaskan bahwa pada awalnya ketika kawin kontrak mulai marak di Cisarua kira-kira sepuluh tahun yang lalu, istilah kawin kontrak dianggap biasa. Kini beberapa ulama 59
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, 57-64
dan MUI telah mengharamkan istilah tersebut dan diganti dengan istilah kawin siri. Perbedaan di keduanya terletak dari niat seseorang mengawini si perempuan. Kawin kontrak dianggap memiliki batas waktu (meski tidak disebutkan ketika menjalani pernikahan) dan kawin siri dianggap mempunyai niat untuk menjadikan si perempuan sebagai istri. Menurut pendapat penulis, pada prakteknya kawin kontrak dan siri sama saja karena sama-sama dilakukan secara diam-diam. Saksi atas pernikahan kontrak dan siri kebanyakan adalah para supir di kawasan puncak. Ada tiga supir yang bertutur tentang proses pernikahan kawin kontrak dan siri yang penuh manipulasi. Sanusi (bukan nama sebenarnya) bercerita: Sebetulnya hampir semua perkawinan dengan orang Arab itu sandiwara. Caranya begini, misalnya si cewek kan datang, misalnya untuk 2 orang. Waktu dia (Arab) telepon dia minta perempuan ke supir dan supir telepon germo yang mengatur bawa “ibu”, “adik” dan “bapak”, yang semuanya sandiwara. Ada anak-anak juga dibilang anaknya padahal itu bohong. Semua bohong-bohong ini supaya Arabnya percaya. Supaya dilihat si perempuan ada ‘keluarganya’.” (Wawancara 20 Januari 2015). Sanusi mengatakan bahwa uang mahar yang diterima si perempuan tentu harus dibagi-bagi dengan mereka yang mengikuti sandiwara. Acara perkawin tersebut berbiaya Rp.20.000.000,-, dari harga tersebut si perempuan mendapatkan Rp.2.000.000,-3.000.000,- juta rupiah. Banyak pembagian yang harus dilakukan misanya kepada sang germo, supir, penjaga villa dan juga pembuat akta nikah (yang dipalsukan). Sanusi bercerita bahwa dulu bahkan ada surat KUA yang “resmi” yang dibuat KUA. Perjanjian dibuat bukan di dalam surat nikah melainkan tersendiri. Di kertas perjanjian ada tulisan bahwa si perempuan tidak bisa menuntut apa-apa, kalau kontrak sudah selesai. Surat yang dikeluarkan oleh oknum KUA bisa nilai kontrak kawin seharga Rp.50.000.000,tapi yang tidak hanya Rp.20.000.000,(Wawancara 20 Januari 2015). Sanusi terlibat langsung dalam mengatur perkawinan kontrak. Ia menjemput para perempuan 60
yang mau dikawinkan dari Ciawi. Si germo ikut berperan sebagai “ibu” dari perempuan tersebut. Sekali menjemput Sanusi mendapatkan uang Rp.200.000,-. Semua proses perkawinan menggunakan cara Islam dengan melakukan ijab qabul. Sedangkan yang menikahkan menurut Sanusi bisa ustad setempat atau teman Arab sendiri yang disebut Mutoa, kyai Arab. Penulis menemukan beberapa ustad yang pernah menikahkan para perempuan Indonesia dengan orang-orang Arab. Ustad-ustad tersebut dengan tegas menolak bahwa yang mereka lakukan bukan kawin kontrak melainkan kawin siri. Sebab dalam kawin siri tidak ada batas waktu atau perjanjian berapa lama dan dilakukan dengan syarat Islam yaitu, pernikahan yang dilakukan antara perempuan dan laki-laki, wali, dua saksi dan ijab qabul. Namun, salah satu ustad bernama Haji Gogom menuturkan: Karena kan syarat nikah ada 5 yah. Ada perempuan dan laki, kemudian wali, kemudian 2 saksi, yang kelima kan ada ijab qabul. Nah, memang di dalam prosesnya itu sesuai dengan syarat itu, cuma kita tidak tahu apakah walinya itu betul, gitu. Yang jadi masalah itu wali aja. Kalau masalah dua saksi itu kan bisa siapa aja. (Wawancara, 15 Januari 2015). Pada akhirnya, nikah siri pun bisa dimanipulasi. Para ustad membela diri dengan mengatakan bahwa mereka menikahkan para perempuan Indonesia kepada bangsa Arab dengan maksud baik, tapi kalau ada yang berbohong bahwa yang menjadi orang tua bukan orang tua sesungguhnya maka mereka tidak bertanggung jawab. Haji Gogom pun mengatakan bahwa nikah Visa (pengganti kontrak) dan disamakan dengan siri bisa juga dilakukan asal mendapatkan restu dari kedutaan Arab: Ya nikah visa itu jadi nikah yang memang waktunya sesuai dengan visa. Kalau mereka waktunya di sini seminggu, ya seminggu (nikahnya). Kalau sebulan di sini ya sebulan. Atau mungkin ada yang satu bulan di sini tapi 1 atau 2 minggu sudah selesai. Ya itu memang ada kaitannya dengan nikah siri, karena memang disahkan oleh tasreh. Tasreh itu suatu keterangan yang memperbolehkan atau tidaknya orang timur tengah menikah dengan orang Indonesia, nah, sehingga itu cuma proses saja sirinya itu. Siri itu kan
Gadis Arivia & Abby Gina
prosesnya saja, jadi maksudnya secara sembunyi-sembunyi. (Wawancara, 15 Januari 2015). Nikah Siri menjadi pilihan para ustad. Karena para ustad pun melakukan nikah siri. Mereka menganggap pernikahan siri sah secara agama meskipun tidak tercatat secara hukum. Seorang ustad bernama Haji Assaf (bukan nama sebenarnya) menjelaskan apa maknanya menikah siri: Kalau siri kan artinya nikah diam-diam tidak diketahui oleh istri yang pertama. Mungkin istri pertama tidak memberikan ijin pada suaminya untuk menikah lagi. Cerein gue dulu nanti katanya. Dibolehkan nikah siri oleh agama Yang penting tuh rukun-rukunnya, syarat-syaratnya ada. Ada walinya, ada saksinya. Dan dia melakukan kewajibannya, jadi untuk yang sudah mampu. Kalau masih ngontrak jangan. Kewajiban untuk ngurus yang pertama ini, dia punya istri, punya anak. Masa masih ngontrak udah mau kawin lagi. Dia harus orang punya lah. Punya duit. (Wawancara 15 Januari 2015). Haji Assaf pemilik Yayasan Tsaqofah Islamiah dan memiliki sekolah madrasah dan MI (setaraf SD) di kawasan Taman Mini adalah juga pensiunan Depag (Departemen Agama). Sekolahnya telah memiliki izin dan terbilang cukup mapan. Ia memiliki 16 anak dan pernah memiliki empat orang istri (sekarang tinggal dua karena yang tertua sudah meninggal dan yang terakhir sudah cerai), namun, meskipun umurnya di atas 70 tahun kemungkinan untuk menikah lagi masih ada. Semua istri mendapatkan hak yang sama. Ia mengatakan: Orang tua saya ngijinin. Jadi ya istri saya pikir ya, orang tua ngijinin, akhirnya dia ngijinin juga. Yang kedua, rumah sudah punya, madrasah, TK juga sudah punya. Komplit gitu istilahnya. Jadi sama. (Wawancara 15 Januari 2015). Haji Assaf mengatakan penting baginya bahwa semua istri-istrinya adalah pegawai negeri agar mereka bisa menghidupi dirinya sendiri tidak selalu meminta kepadanya. Oleh sebab itu ketika memilih istri dia memilih muridnya yang mau menjadi pengajar di madrasahnya dan menjadi pegawai negeri. Ketika ditanya tentang larangan PNS beristri
Budaya, Seks dan Agama: Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta
dua, ia mengatakan bahwa di Depag banyak yang beristri dua, jadi karena dia orang Depag tidak mungkin teman-temannya yang juga sudah menikah siri melarangnya. Jadi semua ni istri saya guru semua, saking ga mau pusing. Kalo minta duit, kan punya duit. Duit ente kan dari kantor, hahaha. Jadi gitu, diusahain. Kan di kantor temen ane semua tuh, tuh istri gue diangkat tuh (jadi PNS), diangkat. Jadi semua istri jadi PNS… tidak mungkin diaduin ‘kalo ente mau aduin ana, ana aduin duluan’…” (Wawancara 15 Januari 2015). Ustad lainnya yang ditemui, ustad Ahmad Muhidin di daerah Cisarua juga melakukan nikah siri yang menurutnya sah menurut agama Islam. Ia memiliki dua istri dan lima orang anak. Ia pun menikahkan perempuan-perempuan Indonesia dengan bangsa Arab dan juga dengan sesama orang Indonesia. Beberapa pernikahan siri dilakukan oleh para remaja (masih kuliah) dan juga para pejabat. Alasan ustad Ahmad Muhidin menikahkan mereka secara siri adalah agar mereka tidak melakukan zina. Haji Ahmad Muhidin mengeluarkan “surat pernikahan” yang menjelaskan bahwa pasangan tersebut sudah menikah. Surat pernikahan tersebut hanyalah bersifat keterangan jadi bukan surat legal. Alasan zina adalah alasan klasik yang dilontarkan para ustad maupun orang-orang Arab yang ingin menikah dengan perempuan Indonesia. Khusus pada kasus orang Arab, beberapa kasus yang ditemukan bahkan mereka membawa anak-anak mereka (baru berumur awal 20-an) untuk menikah siri, jadi bapak dan anak keduanya menikah siri. Bahkan ada orang Arab yang membawa istrinya yang baru dinikahi berbulan madu ke Puncak, tapi sesampainya di Puncak, dia bertemu perempuan Indonesia di warung Kaleng dan kemudian dinikahi kontrak beberapa jam. Mereka orang Arab tuh, kalo di negerinya sama istrinya bilang kamu saya senangin, tapi kalo di Indonesia saya mau macemmacem, itu terserah saya, duit-duit saya. Kamu perempuan diem. Kayak kemaren tuh, istrinya yang baru dinikahin masya Allah cantiknya. Tapi dasarnya lakinya geblek, kan udah pulang jam 6, jam 8 dia telepon mau sisha. Saya bilang oke, saya jemput dah. bawa ke sisha, tapi dia gak mau, minta ke Aljazira, udah pas jalan ke 61
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, 57-64
sana dia minta apa coba? Kawin kontrak. (Wawancara dengan Sanusi, 20 Januari 2015).
Budaya dan Uang Arab Budaya Arab kini telah mengakar di Puncak. Dalam kurun waktu kurang lebih sepuluh tahun budaya kawin kontrak semarak. Hampir semua orang yang tinggal di Cisarua merasa mendapatkan manfaat dari wisata seks Arab di kawasan Cisarua. Para perempuan dari daerah setempat dan sekelilingnya mendapatkan materi yang cukup dari hasil kawin kontrak atau kawin siri. Mereka mampu mencukupi kebutuhan hidup dan bahkan membantu orang tua di kampung. Perbuatan kawin siri dianggap direstui oleh agama sehingga perbuatan mereka tidak dipandang salah. Bahkan yang menawarkan jasa seks beberapa jam (lady debab)2 dianggap sah-sah saja selama sebelum melakukan hubungan seks telah menikah kontrak atau siri. Para ustad pun kebagian rezeki yang tidak sedikit. Orang-orang Arab sangat dermawan dan memberikan donasi masjid dan membangun sekolah-sekolah pesantren. Uang diberikan dalam bentuk tunai langsung kepada para ustad. Haji Gogom kini bergerak di bidang pembangunan, ia telah membangun begitu banyak masjid yang dikelola dari hibah turis Arab. Di Banten sudah sekitar 40 masjid dan di berbagai daerah di Jawa Barat masih banyak lagi. Haji Gogom juga menjalankan pesantran dari tingkat TK hingga SMP. Daya tampung yayasannya adalah 120 anak untuk yang mondok dan 140 yang pulang pergi. Tahun depan rencananya sekolah tersebut juga akan merambah tingkat SMK. Yayasan Haji Gogom bernama yayasan Nurul Yakin, yayasan ini telah didirikan oleh ayahnya dan dikembangkan oleh Haji Gogom. Anak-anak yang bersekolah di sana tidak dikenakan biaya, makan, asrama dan pendidikan didapatkan dari para donatur Arab. Tidak hanya para ustad, kantor kecamatan Cibeurem juga mendapatkan masjid dari turis Arab. Masjid yang dibangun di atas kantor kecamatan Cibeurem adalah salah satu contoh wakaf dari Arab. Pembangunan diorganisir oleh orang per orang dan bukan oleh negara dan nantinya jika masjid sudah selesai tinggal mengurus IMB. Pemda setempat bahkan memberikan IMB gratis pada masjid yang dibangun dengan dana turis Arab. Berikut pernyataan dari E. Suryadi, Kepala Urusan Pemerintahan, Pemda Kabupaten Bogor:
62
Kalau izin membangun mushola atau masjid tidak membutuhkan perizinan yang lebih spesifik kecuali nanti IMB setelah itu sudah terbangun biasanya itu diberikan secara cuma-cuma oleh kabupaten bogor. (Wawancara 20 Januari 2015). KAUR pemerintahan Cibeurem tidak menampik bahwa ada dari warganya yang ikut berpartisiasi dalam penyelenggaraan kawin kontrak. Meskipun banyak yang mengatakan perempuan pekerja seks komersial diimpor dari kota tetangga, namun tetap saja bisnis tersebut tidak akan lancar bila tidak didukung oleh warga setempat. Ya, sebenernya ketika mau diberantas masyarakat kita sendiri sepreti pemilik villa, rental mobil yang justru menghambat malah akhirnya kita harus berperang dengan masyarakat sendiri… Sering ujung-ujungnya mereka bilang kita keisi perut, itu yang kita jadi ribet. Misal tukang ojek aja kalau mengantar Arab dapat Rp.50.000,- sedangkan mengantar orang kita hanya Rp.5000,- Itu yang jadi kita serba susah. (Wawancara 20 Januari 2015). Tidak sedikit warga yang justru menyalahkan para perempuan yang menipu turis Arab. Siti penjaga villa menyaksikan sendiri bagaimana para perempuan yang telah nikah kontrak kabur dari waktu yang ditetapkan. Ia merasa kasihan tamu villa Arabnya ditipu. Adi yang pernah menjadi supir Arab mengisahkan pengalamannya sendiri: Waktu itu saya jadi supir seorang Arab, saat datang dia langsung minta jawas (bahasa Arab untuk menikah). Saya sebenarnya tidak ada pengalaman mencarikan perempuan nikah kontrak tapi sekali itu saya sanggupi. Dari link yang saya dapat dari teman yang lain akhirnya tamu Arab saya membuat deal dengan seorang germo untuk nikah kontraknya. Saat si Arab hendak mengajak berhubungan seksual, si perempuan menolak dengan alasan sedang menstruasi, keesokannya si perempuan minta ijin untuk beli baju dan diberi ijin oleh si Arab, ternyata perempuan itu tidak kunjung pulang, padahal si Arab waktu itu sudah membayar Rp 3.000.000.- Si Arab mengijinkan saja istri kontraknya pergi karena dia yakin bahwa itu adalah istrinya
Gadis Arivia & Abby Gina
dan pernikahannya sah secara Islam, dia tidak tahu bahwa sesungguhnya wali, saksi dan semua prosesinya adalah palsu belaka. Si Arab marah besar dan menuntut saya mengganti rugi pada saya. Dari kejadian itu saya tidak mau lagi berurusan dengan kawin kontrak, kalau si Arab sudah punya perempuan kawin kontraknya sendiri ya sudah, saya hanya menjalankan pekerjaan saya sebagai supir dan guide. (Wawancara 9 Januari 2015). Budaya Arab telah mendominasi di kawasan Cisarua dan dianggap bahwa Muslim dan Islam sama dengan budaya Arab dan Timur Tengah. Meski Islam lahir di Timur Tengah dan menggunakan bahasa Arab, namun sebagian besar orang Muslim justeru hidup dalam budaya di luar Arab. Contohnya di Indonesia adalah negara yang berpenduduk terbesar beragama Islam demikian juga Banglades yang memiliki sekitar 100 juta penduduk beragama Islam. Di Afrika Barat penduduknya yang beragama Islam sama besarnya seluruh wilayah Timur Tengah (Nigeria sendiri sekitar 50 juta orang yang beragama Islam). Akan tetapi mengapa justru budaya Arab yang dianut oleh negara-negara tersebut? Di Cisarua, perempuan-perempuan Indonesia tidak lagi menonjolkan budaya Indonesia dengan memakai batik atau kebaya yang merupakan pakaian nasional Indonesia, namun mereka lebih nyaman memakai jilbab bahkan abaya3. Tidak sedikit perempuanperempuan yang berjalan bersama Arab menutupi seluruh tubuhnya termasuk kepala dan matanya. Di kawasan warung Kaleng semua plang nama memakai bahasa Arab. Bangsa Arab yang datang di kawasan tersebut tidak menggunakan bahasa Indonesia menyapa dengan “selamat pagi” misalnya, akan tetapi menyapa dengan bahasa Arab. Apakah budaya Arab telah mengalahkan budaya bangsa sendiri, budaya Indonesia?
Subjektivitas dan Seksualitas Otoritas budaya Arab begitu merasuk di dalam pengalaman beragama di Indonesia sehingga mana yang seharusnya berada di wilayah agama dan mana yang berada di wilayah budaya telah bercampur aduk. Masyarakat Indonesia beranggapan bahwa ayat-ayat konstitusi berada di bawah ayat-ayat AlQuran sehingga apa yang tertuang di dalam UndangUndang Dasar maupun Undang-Undang Perkawinan dianggap lebih rendah dari interpretasi mereka
Budaya, Seks dan Agama: Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta
terhadap Al-Quran. Demikian pula dalam hal seksualitas perempuan. Seksualitas perempuan telah dibingkai dengan budaya Arab yang kental dengan perlakuan poligami dan kawin kontrak. Tubuh perempuan dilihat sebagai hasrat semata, pelampiasan hawa nafsu yang bisa “diamankan” dengan ayat-ayat Al-Quran dan disosialisasikan lewat budaya. Juliet Mitchell (1985) berargumen bahwa ada hubungan relasional di dalam hubungan heteroseksual dan bahwa hubungan tersebut didasarkan pada unsur sosial bukan reproduktif biologis semata. Artinya, seksualitas diregulasi secara publik melalui adat-istiadat yang dipraktekkan, didefinisikan siapa yang boleh menikah dan siapa yang tidak dan pengontrolan pada tubuh perempuan. Misalnya laki-laki Arab mengekspresikan keperkasaannya dengan mengontrol tubuh perempuan (membeli) dan meng-Arabisasi tubuh perempuan dengan pakaian adat Arab. Subjektivitas dengan demikian termasuk identitas seksual yang diposisikan dalam bentuk-bentuk identitas etnis, agama dan sebagainya (Imam, 2000:126). Foucault (1986:233) menggarisbawahi pentingnya untuk melihat bagaimana subyek dikonstitusi secara terus menerus dan tanpa terputus dikuasai oleh kebiasaan, didikte oleh tingkah laku yang dominan, dan bagaimana kekuasaan beroperasi dan mengkonstitusi subyek. Ini artinya, subjektivitas dan seksualitas dibentuk oleh kebiasaan sehari-hari, pembagian kerja, cara berpakaian, tingkah laku terhadap pasangan, dan sebagainya (Imam, 2000:126). Subjektivitas dan seksualitas perempuan di daerah Cisarua telah terkooptasi oleh budaya Arab. Perempuan Indonesia tidak dilihat lagi kesejarahannya, adat istiadatnya dan bahasanya. Ia telah dijadikan objek, dimanipulasi demi kepentingan hawa nafsu budaya asing. Orang Arab tidak mengenal identitas dan makna perempuan Indonesia karena tidak pernah melihat lagi keanggunan sanggul, selendang serta kebaya Indonesia. Seluruh identitas tersebut telah dihapus demikian pula memori kebanggaan menjadi perempuan Indonesia. Hal ini berbeda dengan turis di Bali yang utamanya bukan untuk wisata seks melainkan wisata yang menghargai budaya setempat. Kekentalan budaya Bali lengkap dengan pakaian dan bahasa Bali yang dipertahankan membuat adanya penghormatan pada tubuh dan seksualitas perempuan Bali yang menimbulkan kekaguman dan respek.
63
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 1, Februari 2015, 57-64
Penutup Bagaimanakah memori kebanggaan menjadi perempuan Indonesia itu terpulihkan? Meski sangat berat mempertahankan jati diri apalagi harga diri perempuan Indonesia yang telah sedemikian terinjakinjak, diskursus subjektivitas perempuan Indonesia harus ditegakan. Nampaknya perempuan Indonesia tidak bisa berharap banyak dari tokoh pemerintah yang justru menganggap enteng kooptasi budaya Indonesia dan perempuan Indonesia. Maka, satusatunya jalan dan tak ada cara lain, mulailah dengan mengesampingkan abaya dan memperjuangkan kebaya dan pakaian lainnya yang biasa dikenakan perempuan Indonesia bukan perempuan Arab. Kebaya telah membalut seluruh entitas tubuh dan pikiran perempuan Indonesia, menyejarah di dalam gerakan perempuan Indonesia. Tidak kah kita ingat Konggres Perempuan Indonesia pertama, 22 Desember 1928? Ketika itu perempuan bersatu melawan ketidakadilan. Para “ibu” kami mengenakan kebaya menandakan eksistensinya sekaligus identitas pluralitas Indonesia dan melalui kebaya pula bahasa dan semangat ke-Indonesiaan dipertahankan demikian pula seksualitas perempuan Indonesia. Ketika habitus, pakaian dan cara pikir dipaksa ganti dengan budaya lain, saat itu juga tubuh mengalami perubahan. Semakin tubuh terestriksi semakin pikiran mengecil dan eksistensi terkubur.
Daftar pustaka Ahmed, Leila. 1982. Women and Gender in Islam: Historical roots of a modern debate, New Haven and London: Yale University Press. Boudhiba, A. 1975. La Sexualite en Islam. Paris: Presses Universitaires de France.
64
El Sadaawi, Nawal. 1980. The Hidden Face of Eve: Women in the Arab World, London: Zed Press. Foucault, Michel, 1986. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Harmondsworth:Peregrine. Haryono, Bagus. 2011. Kawin Kontrak Di Indonesia: Fungsional Bagi Siapa? Jurnal Sosiologi, Vol.26 No.1, 2011. Haeri, Shahla, 2000. Temporary Marriage and the State in Iran: An Islamic Discourse on Female Sexuality, dalam Women and Sexuality in Muslim Societies, ed. Pinar Ilkkaracan, WWHR:Turkey. Imam, Ayesha M, 2000. The Muslim Religious Right (Fundamentalists) and Sexuality, dalam Women and Sexuality in Muslim Societies, ed. Pinar Ilkkaracan, WWHR:Turkey. Jakarta Post, 29 Juni 2006. VP moots using women in Arab tourism push. Kapanlagi.com, 5 Desember 2012. Pelaku Kawin Kontrak.
Blak-blakan dengan Sarah,
Merdeka.com, 10 Desember 2012. Polda Metro: Kawin Kontrak Tak Bisa Dipidana. Mitchell, Juliet, 1985. Feminine Sexuality, WW Norton Books:USA. Safitri, Cahya Milia Tirta, 2013. Latar Belakang Kawin Kontrak (Studi Fenomenologis Pada Wanita Pelaku Kawin Kontrak di Kabupaten Jepara), Skripsi Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Semarang. Trans TV, Reportase Investigasi oleh Ivan Kurnia, Jadilah Istirku 3 Bulan Saja, www.youtube.com/watch?v=dH07kqMCUn4
Catatan Belakang 1 “Guide” yang dimaksud adalah menjadi pemandu bagi para Arab selama berwisata di Indonesia sekaligus menyediakan jasa pelayanan seks. 2 Lady debab, istilah perempuan yang menjual jasa seks dengan menumpang motor. Mereka pergi ke villa-villa Arab. 3 Abaya, pakaian panjang yang tertutup dari kepala hingga kaki yang biasa dipakai perempuan Arab.
Ucapan Terima Kasih pada Mitra Bestari •
Prof. Mayling Oey-Gardiner
•
Prof. Rachmi Diyah Larasati
• •
•
Dr. Kristi Poerwandari
•
Dr. Ida Ruwaida Noor
•
Dr. Arianti Ina Restiani
•
Dr. Phil. Ratna Noviani Tracy Wright Webster, PhD. Assoc. Prof. Muhamad Ali
ix
ETIKA & PEDOMAN PUBLIKASI BERKALA ILMIAH JURNAL PEREMPUAN http://www.jurnalperempuan.org/jurnal-perempuan.html Jurnal Perempuan (JP) merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari) untuk seleksi artikel utama, kemudian disebut sebagai Topik Empu. Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoritis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian lain seperti filsafat, ilmu budaya, seni, sastra, bahasa, psikologi, antropologi, politik dan ekonomi. Isu-isu marjinal seperti perdagangan manusia, LGBT, kekerasan seksual, pernikahan dini, kerusakan ekologi, dan lain-lain merupakan ciri khas keberpihakan JP. Anda dapat berpartisipasi menulis di JP dengan pedoman penulisan sebagai berikut: 1. Artikel merupakan hasil kajian dan riset yang orisinil, otentik, asli dan bukan merupakan plagiasi atas karya orang atau institusi lain. Karya belum pernah diterbitkan sebelumnya. 2. Artikel merupakan hasil penelitian, kajian, gagasan konseptual, aplikasi teori, ide tentang perempuan, LGBT, dan gender sebagai subjek kajian. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, sejumlah 10-15 halaman (5000-7000 kata), diketik dengan tipe huruf Calibri ukuran 12, Justify, spasi 1, pada kertas ukuran kwarto dan atau layar Word Document dan dikumpulkan melalui alamat email pada (
[email protected]). 4. Sistematika penulisan artikel disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul komprehensif dan jelas dengan mengandung kata-kata kunci. Judul dan sub bagian dicetak tebal dan tidak boleh lebih dari 15 kata. Nama ditulis tanpa gelar, institusi, dan alamat email dicantumkan di bawah judul. Abstrak ditulis dalam dua bahasa: Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia secara berurutan dan tidak boleh lebih dari 100-150 kata, disertai 3-5 kata kunci. Pendahuluan bersifat uraian tanpa sub bab yang memuat: latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, dan metode penelitian. Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan. Pembahasan disajikan dalam sub bab-sub bab dengan penjudulan sesuai dalam kajian teori feminisme dan atau kajian gender seperti menjadi ciri utama JP. Penutup bersifat reflektif atas permasalahan yang dijadikan fokus penelitian/kajian/temuan dan mengandung nilai perubahan. Daftar Pustaka yang diacu harus tertera di akhir artikel. 5. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai catatan tubuh (body note), sedangkan keterangan yang dirasa penting dan informatif yang tidak dapat disederhanakan ditulis sebagai Catatan Belakang (endnote). 6. Penulisan Daftar Pustaka adalah secara alfabetis dan mengacu pada sistem Harvard Style, misalnya (Arivia, 2003) untuk satu pengarang, (Arivia & Candraningrum, 2003) untuk dua pengarang, dan (Arivia et al., 2003) untuk lebih dari dua pengarang. Contoh: Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Amnesty International. 2010. Left Without a Choice: Barriers to Reproductive Health in Indonesia. Diakses pada 5 Maret, jam 21.10 WIB dari: http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/ngos/AmnestyInternational_for_PSWG_en_Indonesia.pdf Candraningrum, Dewi (Ed). 2014. Body Memories: Goddesses of Nusantara, Rings of Fire and Narrative of Myth. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Dhewy, Anita. 2014. “Faces of Female Parliament Candidates in 2014 General Election” dalam Indonesian Feminist Journal Vol.2 No.2 August 2014. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Press. (pp: 130-147). KOMPAS. “Sukinah Melawan Dunia”. 18 Desember 2014:14:02 WIB. http://nasional.kompas.com/read/2014/12/18/14020061/Sukinah.Melawan.Dunia 7. Kepastian pemuatan diberitahukan oleh Pemimpin Redaksi dan atau Sekretaris Redaksi kepada penulis. Artikel yang tidak dimuat akan dibalas via email dan tidak akan dikembalikan. Penulis yang dimuat kemudian akan mendapatkan dua eksemplar JP cetak. 8. Penulis wajib melakukan revisi artikel sesuai anjuran dan review dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari. 9. Hak Cipta (Copyright): seluruh materi baik narasi visual dan verbal (tertulis) yang diterbitkan JP merupakan milik JP. Pandangan dalam artikel merupakan perspektif masing-masing penulis. Apabila anda hendak menggunakan materi dalam JP, hubungi
[email protected] untuk mendapatkan petunjuk.
Vol. 20 No. 1, Februari 2015
Catatan Jurnal Perempuan: Budaya, Tradisi, Adat..................................................................................................
iii-iv
Artikel / Articles •
Perempuan Adat dan Hak Ulayat dalam Konflik Agraria: Kajian Ekofeminisme / Indigenous Women and Customary Rights in Agrarian Conflicts: a Study of Ecofeminism..........................................................
1-9
Sapariah Saturi •
Sang Hyang Dedari: Perempuan Bali dalam Pendekatan Skizoanalitik / Sang Hyang Dedari: Balinese Women in Schizoanalytic Approach......................................................................................................
11-18
Saraswati Dewi •
Otoritas Tubuh Perempuan dalam Upacara Nengget Tanah Karo: Kajian Akar Kekerasan Terhadap Perempuan / Authority of Women’s Bodies in Nengget Tanah Karo Ritual: a Study of Root of Violence against Women..........................................................................................................................................................
19-26
Lorensia Berlian Br Brahmana •
Bagaimana Membeli Perempuan? Status Perempuan Kristen Batak dalam Tradisi Perkawinan / How to Purchase a Woman? Status of Christian Batak Women in Marriage Tradition...............................
27-33
Nurseli Debora Manurung •
Tradisi Nikah-Paksa di Madura: Perspektif Sosio-Legal Feminisme / Tradition of Forced-Marriage in Madura: a Perspective of Socio-Legal Feminism..................................................................................................
35-42
Masthuriyah Sa’dan •
Wanita, Wani Ing Tata: Konstruksi Perempuan Jawa dalam Studi Poskolonialisme / Wanita, Wani Ing Tata: a Construction of Javanese Women in Postcolonial Studies.............................................................
43-49
Wasisto Raharjo Jati •
Kritik Amina Wadud dalam Tradisi Penafsiran Alquran: Kajian Hermeneutika Feminisme / Amina Wadud’s Criticism against Misogynistic Interpretation of Quran: a Study of Hermeneutic Feminism......
51-56
Mardety •
Budaya, Seks dan Agama: Kajian Kawin Kontrak di Cisarua & Jakarta / Culture, Sex and Religion: a Study of Contract-Marriage in Cisarua and Jakarta...........................................................................................
57-64
Gadis Arivia & Abby Gina Wawancara / Interview •
Ahmed Fekry Ibrahim (Islamic Law, McGill Inst of Islamic Studies, Montreal): “Islam Pra-Modern mengenal Kesetaraan lebih baik daripada Eropa” / Ahmad Fekry Ibrahim: “Pre-Modern Islam knew equality much better than Europe”.....................................................................................................................
65-67
Dewi Candraningrum Kata dan Makna / Words and Meanings...................................................................................................................
69-70
Profil / Profile •
Alissa Wahid: “Harkat Perempuan dan Alam dalam Tradisi NU” / Alissa Wahid: “”Women’s dignity and nature within the tradition of Nahdlatul Ulama”........................................................................................
71-75
Dewi Candraningrum Resensi Buku/ Book Review •
Gus Dur, Sang Feminis / Gus Dur, The Feminist.................................................................................................. Andi Misbahul Pratiwi
www.jurnalperempuan.org
77-79