ENKULTURASI NILAI-NILAI BUDAYA DALAM UPACARA KARIA PADA MASYARAKAT MUNA ENCULTURATION OF CULTURAL VALUES IN KARIA CEREMONY OF MUNA SOCIETY Abdul Asis Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin Km. 7 / Tala Salapang Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Diterima: 15 Januari 2014; Direvisi: 11 Maret 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT Karia is an inisation ceremony of Muna society that has lasted for generations and is only done by woman at WKHDJHRIDGROHVFHQFH7KHLPSOHPHQWDWLRQRIWKLVFHUHPRQ\LVDSDUHQWDOGXW\WKDWPXVWEHIXO¿OOHGEHIRUHKLV daughter married. This study aims to describe the process of karia ceremony and to explore the inheritance of its cultural values. This study is a descriptive-qualitative and the technique of collecting data is observatin, interview, and library study. The study result shows that the ritual of karia is a medium of character formation and self-control, stabilization of faith and morality, personal creation bother for social and information for public that the woman has been adult and ready for marriage. The expressing of meaning and the symbol of ceremony are dominated by the white cloth in the seclusion room as a symbol of purity, means that she is pure when married. The cultural values of karia ceremony are discipline and purity, harmony in the family, and bother of social. Keywords: Karia ceremony, enculturation, cultural values ABSTRAK Karia adalah salah satu upacara inisiasi masyarakat Muna yang telah berlangsung secara turun-temurun dan hanya dilakukan oleh kaum perempuan saat usianya beranjak dewasa. Pelaksanaan upacara tersebut merupakan salah satu kewajiban orang tua yang harus dipenuhi sebelum anak gadisnya dinikahkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan upacara karia dan mengungkap pewarisan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif dan teknik pengumpulan data berupa: pengamatan, wawancara, studi pustaka. Hasil temuan menunjukkan bahwa upacara karia merupakan wadah pembentukan karakter dan pengendalian diri, pemantapan keimanan dan moralitas, penciptaan pribadi yang peduli sosial, serta pemberitahuan kepada khalayak bahwa gadis tersebut telah dewasa dan dianggap sudah siap untuk berumah tangga. Pengungkapan makna dan simbol upacara didominasi kain putih dalam ruangan pingitan merupakan lambang kesucian, artinya gadis tersebut dalam keadaan suci pada saat menikah. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam upacara karia adalah kedisiplinan dan kesucian, kerukunan dalam keluarga, dan kepedulian sosial. Kata kunci: upacara karia, enkulturasi, nilai-nilai budaya
PENDAHULUAN Masyarakat Muna Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki keragaman tradisi yang telah diciptakan oleh orang-orang terdahulu. Namun tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai sejarah masa lalu dan hanya berpegang pada tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun
baik itu cerita rakyat (mitos, legenda), hukum adat maupun asal usul masyarakat dan terbentuknya pulau Muna (Couvreur, 2001:1-4). Tradisi-tradisi tersebut sering dipraktekkan oleh masyarakat Muna karena banyak mengandung nilai-nilai PRUDOLWDV GDQ PDNQDPDNQD ¿ORVR¿V 7UDGLVL tradisi tersebut di antaranya tradisi lingkaran
105
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 105—118 hidup (life cycle), seperti kasambu (penyuapan) yakni tradisi dilakukan bagi perempuan yang setelah kehamilannya berumur 7 bulan, kawoto tradisi menantikan kelahiran anak pertama, sariga yakni tradisi menanti kelahiran anak berikutnya bilamana berbeda jenis kelamin anak pertama, kampua yakni tradisi pengguntingan rambut atau aqiqah, kafofinda yakni tradisi menginjakkan kaki ke tanah saat bayinya berumur satu tahun, kangkilo (khitanan), katoba (bertobat), karia yakni tradisi pingitan bagi gadis menjelang dewasa, dan sebagainya. Di antara tradisi tersebut di atas artikel ini akan difokuskan pada tradisi upacara karia sebagai kekayaan khasanah budaya daerah yang masih tetap bertahan pada masyarakat Muna. Tradisi upacara karia umumnya dilakukan oleh masyarakat suku Muna ketika anak gadisnya telah menginjak dewasa (usia 15-16 tahun) dengan memperhatikan tanda-tanda khusus, yakni telah mengalami haid, buah dadanya sudah tampak dan kulitnya semakin halus. Upacara karia ini merupakan salah satu tanggung jawab kedua orang tuanya sebelum anak gadisnya dinikahkan (Couvreur, 2001:162). Upacara ini dilakukan dengan harapan bahwa setelah dilaksanakan upacara karia maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki. Dalam kaidah bahasa Muna, karia berasal dari kata kari” artinya: (1) sikat atau pembersih; (2) penuh atau sesak; misalnya ibarat sebuah keranjang kosong maka harus diisi hingga penuh (dalam bahasa Muna disebut nokari ”sesak”). Pemaknaan dari simbolis nokari bahwa perempuan yang di karia diberikan pemahaman hingga penuh tentang hidup dan kehidupan dalam berumah tangga. Selama pelaksanaan upacara karia berlangsung pamantoto (perempuan tua yang bertugas selama upacara karia berlangsung) dan lebe (imam) terus membimbing hingga acara selesai. Para gadis (kalambe) yang akan di karia ditempatkan dalam bilik tertutup selama waktu yang telah ditentukan. Pada zaman dahulu pelaksanaan upacara ritual karia dilakukan selama 44 hari 44 malam (Thamrin, 1994:18). Namun sering perkembangan zaman, ritual karia sudah mulai disederhanakan pelaksanaannya menjadi 8 hari 8 malam, 4 hari 4 malam, 3 hari 3 malam, 106
2 hari 2 malam. Bahkan pada situasi tertentu bisa saja dilakukan hanya 1 malam, karena mengingat keesokan harinya akan dilangsungkan akad nikah (Hasil wawancara, La Sarata, 15 Mei 2013). Untuk menghilangkan rasa jenuh para gadis selama berada di dalam bilik maka iringan tabuhan gendang dan gong terus menerus dibunyikan. Begitu pentingnya tradisi karia pada masyarakat Muna, sehingga dalam pelaksanaannya selalu diutamakan proses pembelajaran atau enkulturasi nilai-nilai budaya sebagai wadah dalam menuju pada suatu proses pembentukan karakter dan pematangan diri terhadap perempuan dalam menjalani hidup berumah tangga, serta pergaulannya terhadap masyarakat luas. Nilai itu sendiri merupakan sesuatu yang dianggap ideal, suatu paradigma yang menyatakan realitas sosial yang diinginkan dan dihormati. Nilai-nilai itu menjadi ilham bagi warga masyarakat dalam berperilaku. Nilai pada hakekatnya adalah kepercayaan bahwa cara hidup yang diidealisasikan adalah cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah sebuah kepercayaan, maka ia berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan arah yang diterima masyarakatnya. Sebagai gambaran ideal, nilai itu merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang. Dalam hal ini, nilai berfungsi sebagai tolok ukur atau norma (Gabriel,1991:143-144). Media enkulturasi berupa tradisi lisan yang berlangsung dari generasi ke generasi. Tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat berupa nyanyian rakyat, puisi rakyat, isyarat dan gerak, serta upacara tradisional. Pada saat ini upacara tradisional yang merupakan tradisi penyampaian pesan budaya yang telah lama digunakan jauh sebelum manusia mengenal tulisan masih terus berlanjut. Sebagian besar masyarakat memelihara upacara tradisi itu untuk keperluan berbagai kepentingan. Masyarakat pendukung tradisi itu memelihara upacara tradisi sebagai hal yang sudah lumrah atau biasa karena sejak lahir mereka telah mengikuti kebiasaan itu. Permasalahan yang akan dibahas dalam
Enkulturasi Nilai-Nilai Budaya... Abdul Asis
artikel ini maka dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana proses pelaksanaan tradisi upacara ritual karia pada masyarakat Muna? (2) Nilai-nilai apa yang terkandung di dalam pelaksanaan tradisi upacara karia pada masyarakat Muna? Dari permasalahan tersebut tergambar tujuan yang ingin kemukakan dalam artikel ini, yaitu: (1) Untuk mendeskripsikan secara lengkap proses pelaksanaan tradisi upacara karia pada masyarakat Muna. (2) Untuk mengungkapkan pewarisan nilai-nilai yang terkandung di dalam pelaksanaan tradisi upacara ritual karia pada masyarakat Muna. Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Lestariwati (2012) ”Tradisi Lisan Karia Pada Masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara (Perubahan dan Keberlanjutan”, yang mana sebagian isinya memaparkan keberlanjutan tradisi karia dalam menghadapi perubahan. Sitti Nurhaidah (2011) ”Struktur dan Fungsi Linda dalam Tutura Karia Pada Masyarakat Suku Muna”, yang isinya memaparkan bentuk penyajian linda dalam tutura karia yang bersifat dinamis dan lebih memancarkan estetis gerak. Terkait dengan upacara karia di Kabupaten Muna masih kurang yang membahasnya secara tuntas dalam bentuk karya tulis ilmiah. Kalaupun ada, maka itu hanya sebatas kajian awal. Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan. Tradisi sebagai salah satu bentuk kebudayaan mengandung sejumlah nilai yang dapat mengukuhkan pandangan masyarakat dan memberi arah dalam pergaulan yang diinginkan (norma) dalam pergaulan masyarakat (Tuloli, 1991:19). Sejalan dengan itu, Sztompka (2005:74) mengatakan bahwa tradisi sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif, juga merupakan sebuah mekanisme yang dapat memperlancar pertumbuhan pribadi masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan keberadaan tradisi sebagai wadah penyimpanan norma sosial kemasyarakatan. Kaitannya dengan tradisi lisan, maka upacara tradisional tidak terlepas dari bendabenda yang dijadikan sarana dan simbol untuk menyampaikan suatu pesan. Tanda atau simbol dalam suatu upacara pada hakekatnya bermakna
sebagai pengatur tingkah laku, dan juga berfungsi sebagai sumber informasi. Melalui simbol tersebut manusia dapat menyebarluaskan kebudayaan, sebab simbol tidak hanya mengandung makna, namun juga mengajak orang untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan makna simbol yang ada. R. Brown (dikutip oleh Keesing, 1992:109) ritual itu dianggap mempertebal perasaan kolektif dan integrasi sosial. Ritual yang dilaksanakan dapat menimbulkan kerukunan (keselarasan bersama) bagi kelompok para tetangga (Geertz, 1992:84). Upacara tradisional adalah berfungsi sebagai pengokoh norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan, norma-norma dan nilai-nilai itu ditampilkan dengan peragaan secara simbolis dalam bentuk ritual yang dilakukan dengan hikmat (Faisal, 2007:68). Ritual menjadi salah satu bagian dari siklus kehidupan manusia. Kegiatan ini dipahami sebagai suatu aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1994:189-190). Dalam tradisi upacara ritual karia terkandung nilai-nilai luhur dan simbol-simbol pemaknaan bagi masyarakat Muna. Nilai-nilai luhur dan simbol-simbol pemaknaan tersebut, mengungkapkan aspek-aspek terdalam dari kenyataan yang tidak terjangkau oleh alat pengenalan lain. Gambar, simbol dan mitos mengungkapkan modalitas ada yang paling rahasia. Penelaahannya membuka jalan untuk mengenal manusia sebelum terjalin dalam peristiwa sejarah. Rupa simbol-simbol dapat berubah, tetapi fungsinya sama. Simbol, mitos, dan ritus selalu mengungkapkan suatu situasibatas manusia dan bukan hanya suatu situasi historis saja (Daeng, 2005:82-83). METODE Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif yang difokuskan untuk mengkaji aspek nilainilai budaya dalam pelaksanaan upacara karia pada masyarakat Kontunaga Kabupaten Muna. Data yang digunakan dalam penulisan artikel 107
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 105—118 ini bersumber dari hasil penelitian yang penulis telah lakukan dengan teknik pengumpulan data berupa: observasi (pengamatan), wawancara, dan studi pustaka. PEMBAHASAN Tulisan ini menggunakan data dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna yang dengan jarak tempuh 11 km ke arah barat daya Kota Raha. PETA KECAMATAN KONTUNAGA
Penamaan Kontunaga yang dulunya bernama kontudopi. Kontu artinya batu dan dopi artinya papan. Jadi, kontudopi berarti batu papan atau batu yang menyerupai sebuah papan. Dinamakan kontudopi karena di wilayah Kontunaga ini terdapat bongkahan batu besar yang bentuknya seperti papan. Namun, seiring perkembangan zaman, maka nama kontudopi berganti nama menjadi kontunaga. Kontu artinya batu, dan naga Sumber:Kabupaten Muna Dalam Angka 2012 artinya naga. Berubahnya penamaan kontudopi menjadi kontunaga karena ditemukan kembali sebuah batu berbentuk naga di bagian pegunungan bernama Molo (Hasil wawancara, La Udin: 14 Mei 2012). Luas wilayah Kecamatan Kontunaga tahun 2011, tercatat 50,88 km2 atau 1,72 persen luas daratan Kabupaten Muna. Luas wilayah tersebut dibagi ke dalam 6 (enam) pemerintahan desa, yakni: Desa Liabalano, Desa Kontunaga, Desa Mabodo, Desa Masalili, Desa Bungi, dan Desa Lapodidi. Sedangkan jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 7.771 jiwa, dengan jumlah
108
penduduk laki-laki 3.750 jiwa atau sebesar 48 persen dan penduduk perempuan 4.021 jiwa atau 52 persen (Statistik Daerah Kecamatan Kontunaga, 2012). 6HFDUD JHRJUD¿V .HFDPDWDQ .RQWXQDJD terletak di bagian barat daya Kota Raha. Kecamatan ini memiliki ketinggian rata-rata kurang dari 100 meter di atas permukaan air laut. Kelembaban udara rata-rata antara 25º C – 27º C dan udaranya relatif panas terutama pada musim kemarau karena kondisi tanahnya kering, berkapur dan berbatu atau biasa disebut bhatuawo. Walaupun jenis tanahnya berkapur dan berbatu tetapi cocok untuk pengembangan komoditas perkebunan tanaman jangka panjang, seperi kelapa, jambu mete, kemiri, kopi dan enau. Asal Mula Tradisi Karia Upacara (ritual) karia dimulai sejak zaman pemerintahan raja Muna ke 16 (abad 17) La Ode Husein yang bergelar Omputa Sangia yang memerintah tahun 1716-1757. Cerita yang berkembang di masyarakat bahwa raja Muna ini memiliki seorang putri yang cantik bernama Wa Ode Kamomono Kamba. Ketika putrinya Wa Ode Kamomo Kamba tumbuh menjadi gadis remaja kecantikannya tersohor ke seluruh polosok negeri bahkan di luar kerajaan, banyak laki-laki terhormat ingin mempersunting untuk menjadi istrinya. Di antara laki-laki terhormat tersebut, terdapat nama yang cukup terkenal yakni La Ode Pontimasa (jabatan Kapitalau Wawuangi) dari Kesultanan Buton. Lamaran pun diterima tetapi dengan syarat pernikahan ditunda untuk sementara dengan alasan ayahanda dari Wa Ode Kamomo Kamba ini, karena anaknya harus di karia “dipingit” terlebih duhulu sebelum dinikahkan (Nurhaidah, 2011:64). Tahap-Tahap dalam Pelaksanaan Upacara Karia Tahap Persiapan Pada tahap persiapan dilakukan musyawarah terlebih dahulu dengan keluarga, kerabat dekat, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa setempat. Tujuannya untuk membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan
Enkulturasi Nilai-Nilai Budaya... Abdul Asis
upacara karia (pingitan) termasuk menentukan hari dan tanggal yang dianggap baik. Penentuan waktu pelaksanaan tidak mengenal musim dan bulan-bulan tertentu untuk dilaksanakan, tetapi yang lebih penting adalah kesiapan bagi pihak pelaksana upacara (tuan rumah). Hari yang dianggap baik ditentukan oleh orang pintar yang dituakan di kampung tersebut dengan menghitung kalender dan mengamati gejala-gejala alam yang telah dipercaya sejak dulu. Selanjutnya pihak keluarga meminta kesediaan pamantoto untuk menjadi “ina” atau ibu yang menangani selama pelaksanaan berlangsung dan lebe (imam) untuk memimpin dan membaca doa dalam upacara karia. Beberapa bahan perlengkapan yang dipersiapkan yakni: pengambilan bhansano ghai (bunga kelapa), bhansano bhea (bunga pinang), dan Oe kaghombo (pengambilan air). Menyiapkan gong dan gendang, sarung dan kain putih, payung dan tombala (bambu kuning), janur, padhamara (lampu minyak zaman dulu), kampak, ponda (tikar anyaman dari daun agel) dan peha (tikar anyaman dari rotan), kelapa tua, patirangka (daun paci), kapur sirih, jagung tua, benang/kapas, jarum, daun kasambo lili dan kandole, lilin dan salaturu, songi/ kaghombo, beras, telur, dan bhea, bedak dingin, bhosu (kendi), dan palangga (wadah yang terbuat dari lidi aren dan dibuat dalam bentuk anyaman). Persiapan lainnya adalah pembuatan kamar (bilik) khusus pingitan dengan dekorasi yang indah. Semua celah atau lubang yang terdapat pada dinding, langit-langit kamar (bilik) pemingitan ditutup dan dilapisi kain putih, agar pantulan cahaya tidak bisa menembus masuk ke dalam bilik tersebut. Kain putih merupakan lambang kesucian, agar nantinya saat menempuh hidup baru si gadis dalam keadaan yang suci. Upacara diawali pengambilan bhansano ghai (bunga kelapa) dan bhansano bea (bunga pinang). Pada saat mengambil bhansano di hutan harus dirahasiakan. Orang yang ditugasi mengambil harus memilih waktu atau jam-jam tertentu yang kira-kira tidak diketahui oleh orang lain, seperti jam-jam 5 sore (menjelang petang) atau selepas salat magrib. Menurut aturan adat masyarakat Muna, orang yang ditugasi tersebut tidak diperbolehkan menoleh ke kiri dan ke kanan, walaupun ada orang yang mengajaknya bicara,
maka yang bersangkutan tidak boleh menjawab (maknanya agar si gadis saat dikaghambo mereka merasa nyaman berada dalam kamar). Bhansano bhea yang diambil sedapat mungkin tidak boleh jatuh ke tanah untuk menghindari najis atau kotoran, sehingga kebersihan dan kesuciannya tetap terjaga. Pengambilan air di sungai untuk persiapan air mandi bagi peserta upacara karia menggunakan 2 buah tombola yakni wadah yang terbuat dari bambu. Cara pengambilannya dengan menenggelamkan buyung atau tombola (wadah tempat mengambil air) tersebut menghadap searah dengan arus (tidak melawan arus) maknanya agar si gadis yang akan dikaria hatinya merasa tenang. Air yang diambil digunakan untuk memandikan gadis-gadis, baik sebelum maupun sesudah selesai dikaria. Sedangkan air yang disimpan/ diperam di rumah keluarga atau rumah tetangga akan digunakan setelah malam terakhir acara pemingitan. Tahap Pelaksanaan Upacara Kafoluku (menjelang masuk ke ruang pingitan) Pada hari “H” gadis-gadis yang hendak dikaghombo (dikurung dalam bilik/kamar) terlebih dahulu dimandi dengan air kawanuno ghaghe (air buyung) yang telah didoakan oleh lebe (imam) dan dimandikan pada saat hari menjelang Magrib. Kemudian dimulailah acara kabhalengka (pembukaan) dan dilanjutkan acara Haroa Rasul yakni perjamuan Rasul dengan melakukan pembacaan barzanji yang dipimpin lebe (imam) diikuti oleh gadis-gadis peserta karia disaksikan oleh kedua orang tuanya, serta dihadiri oleh para undangan, tokoh agama, kepala desa, kerabat dan keluarga dekat. Tujuan membacakan doa selamat agar para gadis (kalambe) peserta karia terhindar dari penyakit dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah acara Harua Rasul selesai, maka acara diambil alih oleh pamantoto sebagai pemandu hingga pelaksanaan upacara karia berakhir. Sebelum dimasukkan ke dalam songi (kamar) gadis-gadis tersebut diberi makan terlebih dahulu dengan 1 biji ketupat dan 1 butir telur, serta air minumnya yang sudah dibacakan doa, dengan 109
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 105—118 maksud memagari gadis-gadis tersebut agar tidak haid dan buang air besar selama dikaghombo selama 4 hari 4 malam. Bila hal ini terjadi salah satunya yakni mengalami haid atau buang air besar, maka peserta karia yang bersangkutan dimandi kembali dan melakukan tobatan nasuha baru boleh melanjutkan kembali. Selain itu, bila ini terjadi maka dianggap ilmu yang di miliki oleh pamantoto belum dikatakan sempurna.
Foto 1. Pembacaan barzanji dipimpin oleh Imam (Dokumentasi: Fadlan, 2012 Pamong Budaya Kab. Muna)
Setelah diberi makan beramai-ramai, kemudian disuruh berwudhu dan memohon maaf kepada kedua orang tuanya agar proses ritual dapat berjalan dengan baik dan lanacar. Saat tabuhan gendang dan rambi (gong) sudah dibunyikan, pertanda gadis-gadis tersebut akan dimasukkan ke dalam songi (kamar). Ketika memasuki songi harus mengikuti tuntunan dari pamantoto dengan memutar badan ke kanan sebanyak tiga kali di depan pintu kaeghomboha. Di dalam kaeghomboha, beberapa kelengkapan sudah disiapkan, seperti: bhansano ghai, bhansano bea,
Foto 2. Gadis-gadis diberikan makanan sebelum dimasukkan dalam songi “bilik” (Dokumentasi Fadlan, 2012, Pamong Budaya Kab. Muna)
110
daun kasambo lili, dan kampak sebagai alas kepala sewaktu tidur. Kelengkapan lainnya yang disiapkan di dalam kamar yakni; janur, padhamara (lampu tradisional zaman dulu), ponda, polulu, kahileta, kapas, benang, bhale (anyaman daun kelapa), dan kain/sarung putih. Para gadis (kalambe) dibaringkan dengan posisi awal, kepala di bagian sebelah barat dengan baring menindis badan sebelah kanan, selanjutnya posisinya dibalik kepala ke arah timur, kedua tangan di bawah kepala menindis kiri. Arti dari proses ini perpindahan dari alam arwah ke alam aj’san. Melambangkan posisi bayi yang masih berada dalam kandungan yang bergerak berpindah posisi. Sedang para peserta, gadis-gadis menggunakan benda-benda keras (kampak atau parang) sebagai pengganti bantal melambangkan si gadis yang sedang di tempa keras bagaikan besi baja dan tahan terhadap segala macam tantangan dan persoalan hidup. Agar tidak jenuh dan bosan berada di dalam kamar/bilik yang gelap selama 4 hari 4 malam, maka bunyibunyian seperti; gendang, rambi (gong), rambi terus diperdengarkan selama upacara berlangsung. Dalam kaghombo, peserta kalambe wuna diberi pemahaman tentang makna tradisi karia agar memiliki status dan kedudukan sebagai wanita terhormat di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Selama 4 hari 4 malam dengan aktivitas yang terbatas dan hanya diperbolehkan makan pagi dan makan sore dengan ukuran yang telah ditentukan. Para kalambe wuna yang dikaria ini tidak diperbolehkan untuk buang hajat besar tidak diperkenankan bercerita atau hal-hal lainnya yang bertentangan dengan ketentuan adat.
Foto 3. Tabuhan gong (rambi) pertanda ritual karia dimulai (Dokumentasi: Fadlan, 2012, Pamong Budaya Kab. Muna)
Enkulturasi Nilai-Nilai Budaya... Abdul Asis Dofuma bhe doforoghu dobatasie manano dofoguruda kadadiha rato dokomieno lambu kawu. Ohaemo kamokaeno mieno lambu oibu beano nakosabara. Mahingka ghoti kapalino mieno lambu nembali sokafumaaha kawu segholeo sealo maka oibu naela randano natumarima. Mahingka welo kaeda dohali bhahi kabaru, dobaru bhe donaraka kasibharihae doporimataiane. Ibarano dofuroghu oeno kalembungo manano dodali nedhuniaini mina naopaghi kansuru noratokawu wakatuuno donamisiemodua kadadiha mokesano (Hasil wawancara: Wa Fisa, 13 Mei 2013). Artinya: Pada dasarnya pemberian makan dan minum dibatasi adalah mengajarkan kepada mereka kehidupan yang sederhana saat berumah tangga. Apapun yang menjadi kekurangan suami, sang istri harus berlaku sabar. Walaupun nafkah yang diperoleh suami hanya untuk makan sehari semalam tetapi sang istri harus ikhlas menerima. Baik itu dalam keadaan susah dan senang, suka dan duka, semua itu harus diterima bersamasama. Sedangkan minum dengan air kelapa muda, ibarat mengajarkan kepada mereka bahwa hidup ini tidak selamanya pahit, suatu saat hidup ini berubah menjadi kesenangan dan kebahagiaan.
Kaalano Oe (Rombongan Pengambil Air) Kaalano Oe adalah sebutan bagi rombongan pengambil air yang disimpan selama 2 hari 2 malam. Pada malam ketiga atau dikenal alono kamboto (malam begadang) dilakukan pembacaan haroa kamboto di hadiri keluarga dan berangkat bersama rombongan untuk mengambil air yang disimpan di rumah tetangga. Dengan menyiapkan sesajen berupa aneka macam makanan dan kue-kue tradisional yang akan dibawa oleh “kaalono oe“ (rombongan) menuju rumah tetangga tempat air tersebut di simpan. Rombongan tersebut terdiri atas lebe (imam), peserta silat Muna (ewa Muna), dan sepasang anak cilik, laki-laki dan perempuan yang berusia sekitar 8-9 tahun yang mengenakan pakaian adat daerah dan anggota pengiring lainnya. Dengan iringan takbir yang bersahut-sahutan mereka berjalan sambil berlenggak-lenggok. Setelah tiba di rumah (tempat penyimpanan air) langsung dilakukan pembacaan doa selamat oleh imam,
kemudian dilanjutkan makan bersama. Kedua pasang anak cilik diberi pula makan dengan cara bersuap-suapan yang menggambarkan kehidupan dua pasang suami istri yang siap mengawali hidup berumah tangga. Kemudian dilanjutkan porenso yakni isyarat makan sirih atau merokok. Setelah itu barulah air yang simpan tersebut diambil dan diarak menuju rumah kafoghombohe “tempat pemingitan” dengan iringan gong dan gendang. Air yang dijemput tersebut akan digunakan untuk mandi sebelum dikabhindu. Kabhansule (Berbalik/mengganti posisi tidur) Kabhansule adalah proses perubahan posisi tidur. Awalnya posisi kepala berada disebelah barat dengan berbaring miring ke kanan, selanjutnya posisinya dibalik yaitu kepala ke arah timur dan kedua tangan di bawah kepala menindis bagian kiri. Perubahan posisi ini dimaksudkan sebagai perpindahan dari alam arwah ke alam aj’san. Diibaratkan posisi bayi yang berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah arah posisi. Dalam kaghombo, pamantoto menyalakan padhamara dan sebuah cermin lalu memengan sambil mengelilingi para gadis sebanyak tujuh kali (tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke kiri). Padhamara dan cermin merupakan simbol dari kehidupan yang mereka akan jalani oleh gadis yang dikaria agar nantinya mendapatkan kehidupan yang lebih terang benderang seperti cahaya lampu dan cermin, sekaligus sebagai simbol keluasan hati dan kesungguhan dalam menghadapi ujian hidup. Selanjutnya pamantoto bersama gadis dari luar kamar mengantarkan sebuah talam berisi ketupat dan telur. Kemudian membangunkan satu persatu secara bergantian. Posisi pamantoto duduk di bagian belakang si gadis pembawa talam. Selanjutnya gadis-gadis yang dipingit tersebut disuruh mengambil ketupat dan telur yang terdapat di dalam talam tanpa membalikkan badannya dan ketupat tersebut berusaha diperebutkan untuk meraih ketupat yang disodorkan dengan cara membelakangi talam. Ini dilakukan pada malam terakhir dikaghombo.
111
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 105—118 Kafosampu dan Kabhalengka (Membuka pintu dan mengeluarkan para peserta karia) Hari terakhir, para peserta dikeluarkan dengan membuka pintu kaghombo (ruang pingitan). Tahapan ini merupakan proses perpindahan dari alam aj’san ke alam insani yang diibaratkan bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya. Setelah mereka keluar dari kamar mereka langsung dimandikan, lalu mengganti pakaian biasa dan menunggu siang untuk dibhindu, yakni mencukur bulu-bulu halus yang ada ditubuhnya dan bagian wajah dengan menggunakan silet, seperti bulu alis, dahi, belakang leher agar terlihat bersih dan rapi oleh ibu-ibu yang dipercayakan untuk mencukurnya seperti istri kepala kampung, istri imam, maupun istri kepala desa. Bulu-bulu harus yang dicukur sekitar wajah disimbolkan sebagai kotoran yang melekat ditubuh para gadis, dihilangkan dan dibersihkan agar terlihat bersih, cantik dan anggun saat acara kafosampu berlangsung. Setelah dikabhindu, para gadis dirias agar kelihatan cantik dan anggun dan barulah mengenakan pakaian yang paling indah dan memakai perhiasan yang telah disiapkan oleh keluarga masing-masing. Bulu-bulu halus yang telah dicukur akan disimpan bersama mayang dan pinang dengan tujuan untuk diapungkan di sungai keesokan harinya. Kafosampu (Pemindahan peserta karia dari atas rumah menuju ke panggung) Setelah dikbahindu dilanjutkan acara kafosampu pada malam harinya. Kafosampu yakni proses pemindahan peserta karia dari atas rumah ke panggung. Ketika para gadis tersebut dipindahkan atau diantar ke panggung tidak boleh menginjak/ menyentuh tanah. Oleh karena itu, mulai dari anak tangga paling atas sampai ke bhawono koruma (panggung) dibentangkan kain putih untuk dilalui oleh gadis-gadis hingga tiba di depan panggung. Bagi keluarga gadis yang kurang mampu, bukan suatu kewajiban untuk ikut membentangkan kain putih, tetapi bisa dipapah oleh keluarga dekatnya seperti kakak laki-lakinya, saudara sepupu maupun dari pihak pamannya dengan saling berpegangan tangan dan si gadis tersebut 112
duduk di atasnya, agar kakinya tidak menyentuh tanah sebelum di katandano wite, sebagai lambang sosok perempuan yang lemah lembut yang belum mampu melangkah dan berjalan tanpa bantuan dari kerabat dan saudara-saudaranya sendiri. Selain itu mereka juga tidak boleh melirik kiri kanan saat dipapah walaupun ada orang yang memangilnya (melambangkan bahwa hidup seorang gadis harus tetap tenang dengan situasi apapun dan harus tahan godaan duniawi).
Foto 4. Gadis memegang salaturu “alat penerangan” (Dokumentasi: Fadlan, 2012, Pamong Budaya Kab. Muna)
Kafosampu menggambarkan bahwa hidup seorang gadis harus tetap tenang dan tidak terpengaruh dengan godaan dunia. Setelah tiba dipanggung mereka langsung duduk bersimpuh dan berhadapan dengan gadis-gadis pemegang suluturu “sejenis pohon yang terbuat dari kertas berwarna warni dan dibagian puncaknya dipasangkan lilin yang sudah menyala”. Sebanyak gadis-gadis yang dipingit, sebanyak itu pula jumlahnya gadis-gadis penjemput dan jumlah suluturu yang disediakan. Salaturu sebagai alat penerang. Dimaknai sebagai lambang cahaya yang akan jadi penentu dan penuntun dalam hidup para peserta karia nantinya. Katandano Wite (Penyentuhan Tanah) Katandano wite merupakan proses penyentuhan tanah oleh gadis yang dikaria dan mengisyaratkan sebagai proses pemindahan alam, yakni dari alam misal (alam arwah) ke alam insani (alam fana). Bahan-bahan sudah disiapkan berupa tanah yang dibungkus dengan kain putih
Enkulturasi Nilai-Nilai Budaya... Abdul Asis
bersama sirih-pinang, kemudian diletakkan dalam sebuah piring putih. Tanah yang disentuhkan pada ubun-ubun, dahi, dan seluruh persendian hingga telapak kaki. Penyentuhan tanah yang dilakukan oleh imam dari ubun-ubun turun ke dahi melambangkan sebagai huruf alif. Huruf alif merupakan rahasia Tuhan yang tersimpul pada manusia. Penulisan ini sebagai isyarat bahwa mereka telah diisi secara sempurna terutama yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan pengendalian diri secara utuh.
Foto 5. Penyentuhan tanah yang dilakukan oleh imam kepada peserta karia (Dokumentasi: Fadlan, 2012, Pamong Budaya Kab. Muna)
Proses katandano wite mengandung pengertian bahwa semua rahasia yang ada pada diri manusia ditentukan oleh yang Mahakuasa. Rahasia keluarga dan rumah tangga dititipkan amanah pada perempuan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, katandano wite mengandung makna sebagai simpul pertemuan antara tanah (diwakili oleh Nabi Adam) dan peserta karia yang telah dipingit sudah dapat menginjakkan kakinya ke tanah, ibarat bayi yang baru lahir dari NDQGXQJDQLEXQ\DGDODPNHDGDDQVXFLGDQ¿WUDK Selanjutnya Imam menyuapkan makanan sirih-pinang yang telah dicelupkan ke dalam kapur. Kegiatan katandano wite ini diakhiri dengan pembacaan doa memohon keselamatan dunia kahirat, diberi umur panjang, rezeki halal, serta dijauhkan dari segala marabahaya (Hasil wawancara: La Sarata, 15 Mei 2013).
Tari Linda Setelah acara katandano wite selesai dilakukan oleh imam, acara dilanjutkan dengan pementasan tari linda. Linda merupakan salah satu bagian dari tahapan ritual karia yang wajib dilakukan oleh para gadis yang baru saja selesai di karia. Pementasan linda dimulai oleh pamantoto sebagai penari pembuka. Disusul putri tuan rumah atau putri sulung, dan selanjutnya putri-putri peserta pingitan lainnya. Para tamu undangan dan juga penonton turut memadati halaman rumah untuk menyaksikan pementasan tari linda. Para gadis yang baru saja selesai di karia disebut kasampu moose. Pada saat menarikan linda si gadis bagaikan hujan hadiah. Hadiah-hadiah tersebut pemberian dari tamu dan keluarga, teman, sahabat, dan dari pemudapemuda yang menaruh hati pada salah seorang gadis tersebut. Hadiah-hadiah yang diberikan berupa amplop (uang), kain baju, kain sarung, dan lain-lain. Saat acara linda berlangsung, para orang tua dari gadis, memperhatikan pemuda-pemuda yang melemparkan hadiah kepada anak gadisnya. Pemberian hadiah biasa disebut kagholuno samba. Adapun makna pemberian hadiah tersebut sebagai tanda rasa syukur bagi orang tua, keluarga, dan kerabatnya karena telah melewati ujian yang dianggap berat. Sedang pemuda memberikan hadiah sebagai tanda mereka menaruh simpatik pada gadis tersebut. Pementasan linda sebagai bentuk ungkapan rasa bahagia terhadap gadis-gadis dan kedua orang tuanya, karena telah berhasil melewati segala tahapan-tahapannya. Selain itu, linda juga mengandung ungkapan ibarat dalam sebuah perjalanan hidup manusia bagaikan roda berputar, kadang di atas kadang di bawah, kadang susah kadang senang, kadang sehat kadang sakit, dan kadang merasakan suatu kebahagiaan saat berhasil dalam suatu kebajikan. Pementasan linda juga sebagai bentuk pengumuman secara halus bagi kedua orang tua bahwa anak gadisnya telah dewasa dan telah siap untuk berumah tangga. Pemuda yang memberinya hadiah, pada akhir pementasan linda biasanya gadis membuang selendangnya kepada laki-laki yang menaruh hati padanya. 113
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 105—118 Kemudian pemuda tersebut menerima selendang yang dilemparkan dan menari ngibi bersama-sama (Hasil wawancara: Wa Siti, 12 Mei 2013). Kahapui (Pembersihan) Keesokan harinya diadakan acara kahapui “pembersihan. Namun sebelum dilakukan hal tersebut, terlebih dahulu tuan rumah menanam satu batang pohon pisang di halaman rumah yang nantinya akan ditebas. Saat rambi “gong” mulai dibunyikan disertai tabuhan gendang berirama perang diperdengarkan. Pada acara ini dilakukan tari pogala atau silat ewa muna, pamantoto terlebih dahulu memecahkan periuk (belanga tanah) sebagai tanda dimulainya tari pogala atau silat ewa muna. Pemuda-pemuda yang ikut mengambil bagian sebagai petarung melengkapi dirinya dengan keris dan pedang untuk berebut memotong pohon pisang yang baru ditanam. Di antara pemuda yang ikut bertarung ada yang berusaha untuk menebas dan lainnya berusaha untuk menghalangi dan menjaganya agar pohon pisang tersebut untuk tetap berdiri. Orang yang berhasil menebasnya diusahakan satu kali tebas langsung putus. Pemuda yang berhasil memotongnya sebagai lambang kejantanan dan keperkasaan bahwa seorang calon suami harus menguasai ilmu bela diri sebagai tameng dalam mempertahankan kehormatan rumah tangga. Setelah pohon pisang tersebut putus yang punya acara langsung duduk di atas pohon pisang yang telah dipotong sebagai rasa syukur atas berlangsungnya acara tersebut. Juga sebagai simbol kemahiran dan ketangkasannya dalam penguasaan ewa muna (silat Muna). Dipertontonkan kepada khalayak dan kepada gadis-gadis tersebut. Setelah pertarungan silat muna selesai, maka tamu-tamu yang hadir dijamu makan dan minum. Penebasan pohon pisang oleh para penari pogala dan silat ewa muna merupakan simbol kehidupan yang silih berganti. Karena pisang biasanya setelah dipotong satu maka tumbuh yang lain sebagai penggantinya. Juga sebagai Simbol kehidupan manusia yang silih berganti dari satu generasi ke generasi berikutnya artinya peserta karia menjadi pewaris generasi berikutnya (Hasil 114
wawancara: La Samada, 14 Mei 2013). Tahap Akhir (Penutup) Kafolantono Bhansa (Mengapung mayang pinang di sungai) Rangkaian terakhir upacara ritual karia adalah kafolantono bhansa “mengapungkan mayang pinang”. Para gadis yang telah dikaria (dipingit) bersama-sama pamantoto, imam, keluarga, dan kerabat, serta pemuda-pemuda yang menaruh simpatik mengantar menuju kali/ sungai dengan iringan gong dan gendang dengan untuk mengapungkan bhansa “mayang-pinang”. Pengapungan mayang pinang bertujuan membuang semua kotoran (bulu-bulu yang dicukur saat dikabhindu) yang disimpan atau digabung dengan bhansano ghai/bhansano bhea yang digunakan memukul-mukulkan badan gadis saat dikaria. Satu per satu bhansa diletakkan di dasar kali/sungai yang dibantu oleh pemuda-pemuda yang ikut mengantar. Ada kepercayaan masyarakat, bahwa bilamana bhansa dilepas di tangan langsung muncul ke permukaan air dan terbawa arus, maka seluruh keluarga si gadis merasa gembira dan senang karena pertanda anak gadisnya akan cepat mendapat jodoh. Namun, bila bhansa yang diletakkan di dasar sungai/kali lalu tidak timbul atau tidak terapung, maka pertanda usia si gadis tidak akan panjang atau jodohnya akan lama. Umumnya yang tidak timbul dan tidak terapung bhansanya biasanya gadis langsung menangis dan berlari pulang. Oleh karena itu, saat acara pengapungan bhansa berlangsung, orang-orang yang hadir menyaksikan merasa waswas dan seakan menahan nafas. Mengingat acara ini merupakan ramalan masa depan si gadis. Oleh karena itu banyak dari pihak orang tua si gadis yang tidak mau ikut melakukan pengapungan bhansa, karena tidak ingin mengetahui nasib anaknya di masa mendatang. Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Upacara Karia Masalah nilai budaya dan kaitannya dengan tradisi upacara ritual adat sangat terkait aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Dengan demikian, jelas sekali bahwa penelitian ini tidak mungkin membicarakan ruang lingkup yang
Enkulturasi Nilai-Nilai Budaya... Abdul Asis
demikian luasnya, hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis untuk melakukan hal itu. Dengan demikian, pembatasan-pembatasan dalam penelitian ini perlu dilakukan agar supaya manfaatnya jelas. Adapun nilai-nilai yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai budaya yang menjadi pegangan bagi kehidupan bersama pada masyarakat Kontunaga Kabupaten Muna. Untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman, maka ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya itu. Menurut Koentjaraningrat (1994:85) nilai budaya terdiri dari konsepsi- konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat- alat, dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia. Secara umum ahli-ahli sosial berasumsi bahwa orientasi nilai budaya merupakan suatu indicator bagi pemahaman tentang kemampuan sumber daya dan kualitas manusia. Dalam konsep manusia seutuhnya yang mencakup dimensi lahiriah dan rohaniah, orientasi nilai merupakan salah satu faktor yang ikut membentuk kondisi dan potensi rohaniah manusia. Bila dikaji lebih mendalam terhadap tradisi ritual karia di Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna didalamnya banyak terkandung nilai-nilai yang perlu dipedomani oleh masyarakat pendukungnya. Nilai Kedisiplinan dan Kebersihan (kesucian) Nilai kedisiplinan, pamantoto (tokoh agama wanita) telah menetapkan peraturan/tata tertib secara tidak tertulis, yang diawali dengan mandi (bersuci) pada saat memulai dan mengakhiri upacara karia, seperti pengaturan makan dan minun dengan porsi yang telah ditentukan, perilaku dan gerak-gerik harus dibatasi, termasuk posisi tidur yang benar saat berada di dalam ruang pingitan. Beberapa unsur-unsur kedisiplinan yang diterapkan memberikan gambaran kepada kita betapa ketatnya aturan di dalam pelaksanaan
tradisi upacara ritual karia tersebut sehingga segala sesuatunya harus dipatuhi. Ane okalambehi da kumariaada dokadiuda deki oimamu dofewiseana webhara sodofekanggelahingho badhando pedamo dua dowanda dofuma bhe dofuroghu dotaganae. Patudhuno sokalambe maitu nofenamisianeghodua pedahae kanarakaano kamokuia. Patudhuno sigahano dopoligho dodadi setahano (Hasil wawancara: Laode Muhammad Idhwar, 9 Mei 2013) Artinya Ketika para gadis yang akan dipingit dimandikan oleh Imam, harus menghadap ke barat (arah kiblat) untuk membersihkan jasmani dan rohani dari segala kotoran. Demikian juga pemberian makan dan minum dengan ukuran yang sudah ditentukan. Dimaksudkan agar si gadis tersebut dapat merasakan bagaimana penderitaan orang tua mereka dahulu. Di samping itu agar mereka dapat berpola hidup secara sederhana.
Dalam pelaksanaan upacara ritual karia, para gadis tersebut benar-benar menerima JHPEOHQJDQ ¿VLN GDQ PHQWDO XQWXN PHQXMX NH jenjang kerumahtanggaan melalui pendidikan kedisiplinan dan kebersihan, terutama tata cara pengaturan diri dari berbagai pekerjaan rumah tangga, serta kepatuhan seorang anak melaksanakan perintah orang tua. Nilai Kerukunan dalam keluarga Pendidikan nilai kerumah-tanggaan terlihat dalam praktek tradisi upacara (ritual) karia yang dilakukan oleh pamantoto terhadap para gadis yang sementara menjalani tradisi karia. Materi yang diajarkan antara lain: ketaatan/kepatuhan kepada kedua orang tua, kesetiaan kepada suami, membantu suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, cara-cara melayani suami dengan sebaik-baiknya, menjaga kesucian, menjaga kandungan, pandai mengatur ekonomi rumah tangga, serta pendidikan seksualitas dalam rumah tangga. Bimbingan dan pengajaran tersebut semata-mata bertujuan agar mereka mengetahui bagaimana kehidupan berumahtangga yang sebaik-baiknya. Karena setiap anggota rumah tangga dapat menyadari dirinya bahwa pendidikan 115
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 105—118 yang diberikan oleh seorang tokoh agama maupun dari orang tua merupakan suatu bekal yang harus dipraktekkan agar bernilai positif. Di sinilah fungsi dan peranan pelaksanaan tradisi upacara ritual karia bagi masyarakat Muna khususnya gadis-gadis remaja yang menjelang dewasa melalui pendidikan nonformal dengan membekali pengetahuan dasar tentang tata cara ketatalaksanaan dalam rumah tangga. Seperti yang diutarakan oleh informan: Welo karia, kalambehi dofoguruda kadadiha welolambu, pedahae dokorabu bhe dopodiu mokesano nemieno lambu rato kawu dogaa (Hasil wawancara: Laode Muhammad Idwar 10 Mei 2013) Artinya: Dalam pelaksanaan upacara karia, bimbingan tentang pendidikan kerumahtanggaan yang diajarkan bertujuan untuk mendidik dan melatih para gadis, bagaimana harus bersikap dan bertindak dalam suatu rumah tangga, serta mengetahui tugas dan fungsinya sebagai istri yang baik terhadap suami.
Nilai Kepedulian Sosial Selama dalam kaghombo para gadis dibekali pula pendidikan moralitas dan tolong menolong, seperti: mendahulukan orang yang lebih berhak/membutuhkan, baru kemudian diri sendiri, bekerja sama dengan orang lain (saling mengingatkan) terutama dalam mendidik dan menjaga anak agar moral anak-anaknya sesuai dengan adat, aturan atau norma yang baik yang berlaku di masyarakat, menghargai sesamanya, mengetahui cara bergaul, baik sesama perempuan, sesama laki-laki, terhadap orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, serta bersikap sopan santun terhadap orang lain. Dalam falsafah orang-orang tua di Muna zaman dahulu tentang pola hidup bermasyarakat, terkandung nilai-nilai yang penting untuk diteladani ketika para gadis menjalani tradisi ritual karia, seperti: sayang-menyayangi, hormat menghormati antara sesama, tolong menolong, dan saling bantu membantu, kesemuanya diajarkan oleh tokoh agama saat menjalani pingitan karia. Orang tua meng “karia” anak gadisnya 116
karena rasa kasih sayang terhadapnya begitu tinggi, agar dapat menghormati orang tua dan suaminya kelak ketika sudah berumah tangga. Selain itu, saling memelihara antara sesama mahluk hidup di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga tidak saling menjatuhkan, dapat menghargai pendapat orang lain, tidak cela mencela, tetapi harus tetap hidup rukun dan damai. Selain nilai-nilai tersebut di atas, terdapat pula fungsi-fungsi upacara yang bermanfaat bagi peserta yang sedang menjalani pingitan. a) Pingitan berfungsi menciptakan pengendalian diri perempuan menjadi lebih prima. Keimanan dan moralnya menjadi lebih mantap. Pengalaman selama di kaghombo dan hanya diberi makan 1 biji ketupat dan 1 butir telur rebus setiap pagi dan sore dan tidak boleh berhubungan dengan dunia luar merupakan salah satu latihan bagi seorang perempuan, bagaimana mengendalikan diri yang benar. Selain itu melatih kesabaran para peserta ketika yang bersangkutan bergabung kembali bersama masyarakat di sekitarnya. Karena seorang perempuan yang telah selesai mengikuti pingitan akan menyadari dirinya, bahwa ia telah diajarkan oleh guru (tokoh agama) mereka tentang keimanan. Tokoh agama yang dianggap sebagai guru mereka akan sering bertemu kembali usai menjalani pingitan tanpa berbatas waktu sehingga pemahamannya akan lebih terkontrol termasuk perilaku dalam kesehariannya. Karena yang bersangkutan akan memiliki perasaan malu bila melanggar ajaran yang telah diberikan oleh tokoh agama dan anggota keluarganya. Para peserta karia usai melakukan pingitan dapat memperkaya pilihan untuk memilih contoh-contoh perilaku yang baik dari sekian guru yang mengajarinya. Contoh-contoh perilaku tersebut diramu oleh dirinya dalam membentuk kepribadiannya. b) Pingitan berfungsi menciptakan pribadi yang memesona. Selama proses pingitan semakin menyadarkan dirinya bahwa perempuan adalah manusia yang dikaruniai kecantikan. Oleh karena itu yang bersangkutan akan
Enkulturasi Nilai-Nilai Budaya... Abdul Asis
c)
d)
e)
f)
mempercantik dirinya dengan kosmetika secara islami dan dengan perilaku yang mulia. Pingitan berfungsi menciptakan pribadi yang sosial. Seorang perempuan akan menyadari dirinya bahwa ia hidup di tengah-tengah keluarga besar. Dia akan merasa aman dan tidak sulit mencari perlindungan atau pertolongan, karena dia memiliki banyak orang yang membantu dari kesulitan. Perempuan tidak akan menemukan keputusasaan, karena kehilangan orientasi pribadi akibat tekanan kehidupan. Pingitan berfungsi menciptakan pribadi yang berilmu pengetahuan. Para gadis yang telah menerima transfer pengetahuan yang sifatnya nonformal, sehingga dapat menjadi modal baginya untuk bersikap dan berperilaku yang baik di tengah-tengah masyarakat. berinteraksi terhadap sesama peserta yang berbeda umur memberikan pengalaman-pengalaman baru khususnya bagi para gadis yang menjelang dewasa. Pingitan berfungsi sebagai wadah untuk melakukan konsultasi pernikahan bagi peserta yang hendak menikah. Selain itu, pingitan menciptakan sikap tabah untuk menjadikan pedoman ketika akan berumah tangga. Pingitan berfungsi melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Dengan selesai menjalani ritual karia anak perempuan tersebut tidak akan berani melakukan perbuatanperbuatan asusila, karena selalu dikontrol oleh keluarga, dan tidak sembarangan berbuhungan dengan orang lain. Selain itu, terhindar dari kasus-kasus bunuh diri seperti yang terjadi diperkotaan, karena mereka dibina oleh keluarga, dan tidak akan menimbulkan masalah-masalah saat ditinggalkan oleh suami yang mencari pekerjaan di suatu daerah perantauan.
PENUTUP Tradisi karia merupakan upacara adat yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat
Muna dan pelaksanaannya khusus untuk para gadis yang usianya telah menginjak remaja dan dilaksanakan sebelum melangsungkan pernikahan. Proses pelaksanaan upacara (ritual) karia melalui 3 (tiga) tahap. (1) Pada tahap persiapan, pertama melakukan musyawarah dengan anggota keluarga, kerabat, tokoh agama, tokoh masyarakat, kepala desa untuk mempersiapkan segala sesuatunya terutama menentukan waktu dan hari pelaksanaan. Menghubungi pamantoto dan lebe (imam). Kemudian dibentuklah panitia penyelenggara dan memberikan tugas masingmasing, termasuk menyiapkan bahan dan perlengkapan yang akan digunakan dalam upacara. (2) tahap pelaksanaan terdapat 7 (tujuh) tahapantahapan yang harus dilakukan, sebagai berikut: a). Kafoluku, b). Kaalano Oe, c) Kabhansule, d). Kafosampu/ kabhalengka, e). Katandano wite, f) Tari Linda, g). Kahapuidan (3) Tahap akhir dalam upacara ritual karia adalah kafolantono bhansa “mengapungkan mayang pinang”. Dalam pengungkapan makna dan simbol upacara karia di antaranya kain putih yang mendominasi dalam ruangan pingitan merupakan lambang kesucian. Kampak yang digunakan sebagai pengganti bantal melambangkan gadis sedang ditempa, agar tabah dengan segala macam godaan dan tantangan hidup. Membatasi pemberian makan dengan satu biji ketupat dan satu butir telur setiap pagi dan sore, sebagai ODPEDQJPHODWLKNHWDKDQDQ¿VLNGDQPHQWDOSDUD gadis. Agar setiap permasalahan hidup, terutama yang berkaitan dengan ekonomi rumah tangga jalani bersama-sama, baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan senang. Dalam pelaksanaan upacara nilai yang cukup menonjol dan penting untuk dipahami. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kedisiplinan dan kebersihan (kesucian), nilai kerukunan dalam keluarga, dan nilai kepedulian/kesetiakawanan sosial. Nilai-nilai tersebut diwariskan melalui pelaksanaan upacara karia. DAFTAR PUSTAKA Couvreur, J. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Muna. Kupang: Artha Wacana Press. 117
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 105—118 Daeng, Hans. 2005. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan: Tinjauan Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faisal. 2007. ”Nilai Ritual “Mappacci” pada Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan” dalam ”Walasuji, Jurnal Vol. II, No. 1, Januari-April 2007. Hlm. 1-121. Gabriel, Ralph H. 1991. Nilai-Nilai Amerika dan Perubahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Terjemahan dari buku “The Interpretation of Culture: Selected Essays” oleh Franciscus Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. Keesing, Roger M & Gunawan S. 1992. “Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid II”. Terjemahan dari buku Cultural Anthropology A Contemporary Perspective, oleh R.G. Soekadijo. Jakarta: Arlangga. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
118
Lestariwati.2012. “Tradisi Lisan Pada Masyarakat Muna Di Sulawesi Tenggara: Perubahan dan Keberlanjutan”. Tesis tidak terbit. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Susastra, Peminatan Budaya Pertunjukan. Nurhaidah, Sitti. 2011. “Struktur dan Fungsi Linda dalam Tutura Karia Pada Masyarakat Suku Muna”. Tesis tidak terbit. Kendari: Program Studi Kajian Budaya. Program Pascasarjana, Universitas Haluoleo. Sujarno. 2012. “Tradisi Sedekah Bumi di Punthuk Setumbu Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur: Kajian Kearifan Lokal di Kabupaten Magelang” dalam Patrawidya Vol. 13 No. 4 Desember 2012, hlm 553-718. Statistik Daerah Kecamatan Kontunaga. 2012. Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. Thamrin, Siddo. 1994. “Karia, Upacara Tradisi Adat Masyarakat Budaya Wuna”. (Makalah). Raha: Kabupaten Muna. Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.