KAGHATI KALOPE: PERMAINAN TRADISIONAL MASYARAKAT MUNA KAGHATI KALOPE: TRADITIONAL GAME OF MUNA SOCIETY Raodah Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Diterima: 14 Februari 2014; Direvisi: 7 April 2014; Disetujui: 12 Mei 2014 ABSTRACT This writing is a result of research conducted in the village of Liangkobori, Muna Regency, Southeast Sulawesi. Kaghati kalope is a traditional kite of Muna society which is made from natural materials of kalope leaf (forest yam) and is played by ritual beforehand. This study describes the tradition of making and gaming the kaghati kalope whose is almost extinct in the middle of modern technological advances. The research is descriptive with qualitative approach and the techniques of collecting data are observation and interview. The result of research shows that kaghati kalope can only be made by particular people, because loaded with taboos and through some rituals. Kaghati kalope has repeatedly won in the kite festival world as a most natural kite. In the game of kaghati kalope, it is contained cultural values that can be used as part of identity and nation character formed. Keywords: Kaghati kalope, the ritual kites, cultural values
ABSTRAK Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Liangkobori Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Kaghati kalope adalah layang-layang tradisional masyarakat Muna, terbuat dari bahan alami daun kalope (ubi hutan) dan dimainkan dengan cara melakukan ritual terlebih dahulu. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tradisi pembuatan dan permainan kaghati kalope yang keberadaannya hampir punah di tengah kemajuan teknologi modern. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan teknik koleksi data berupa pengamatan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan kaghati kalope hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, karena sarat dengan pantangan-pantangan dan melalui berbagai ritual. Kaghati kalope telah berkali-kali menang dalam ajang festival layang-layang dunia, sebagai layang-layang yang paling alami. Dalam permainan kaghati kalope terkandung nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai bagian dari pembentukan jati diri dan karakter bangsa. Kata kunci: Kaghati kalope, ritual layang-layang, nilai-nilai budaya
PENDAHULUAN Salah satu permainan tradisional hingga saat ini masih diminati masyarakat, baik di pedesaan maupun di perkotaan adalah permainan layang-layang. Layang-layang merupakan salah satu permainan tradisional yang cukup populer, penggemarnya tidak hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Tidak mengherankan jika banyak kalangan yang terus mengupayakan permainan tradisional ini tetap eksis. Layanglayang merupakan hasil budaya masyarakat Indonesia yang telah menjadi permainan rakyat,
terutama pada masyarakat petani, telah ada sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat petani membuat layang-layang sebagai pengisi waktu luang saat menjaga padi yang mulai menguning atau sebagai wujud suka cita saat panen berhasil dengan baik. Layang-layang biasanya dimainkan pada masa pancaroba karena biasanya angin berhembus kuat pada masa itu. Di beberapa daerah di Nusantara, layang-layang dimainkan sebagai bagian dari ritual tertentu, biasanya terkait dengan proses budidaya pertanian. Layang-layang, layangan, atau wau (sebutan masyarakat di wilayah 157
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 157—170 Semenanjung Malaya) merupakan lembaran bahan tipis berkerangka yang diterbangkan ke udara dan terhubungkan dengan tali atau benang ke daratan atau pengendali. Layang-layang memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya. Dikenal luas di seluruh dunia sebagai alat permainan, layang-layang dikenal juga memiliki fungsi ritual. Keberagaman budaya yang ada di Indonesia juga menghasilkan keberagaman jenis dan bentuk layang-layang tradisional di berbagai daerah. Bukan saja bahan-bahan yang digunakan untuk membuat layang-layang tradisional pun bisa berbeda satu sama lain. Sampai saat ini sebagian masyarakat masih cenderung mempertahankan layang-layang tradisionalnya misalnya masyarakat Muna yang ada di Sulawesi Tenggara. Layang-layang Muna dikenal sejak zaman dahulu disebut kaghati kalope, merupakan budaya dari zaman prasejarah masyarakat Muna yang sudah mentradisi karena diturunkan secara turun temurun. Merupakan permainan petani pada masa lampau untuk menjaga kebun sambil bermain kaghati kalope. Layangan tradisional Muna ini telah mendapat peringkat sebagai layangan paling alami di dunia. Di tahun 1996 dan 1997, layangan tradisional Muna ikut serta sebagai salah satu peserta pada kompetisi layangan bertaraf internasional, dan berulang kali menjuarai festival layang-layang internasional dan telah membuat Pulau Muna terkenal di dunia. Daerah Muna mengenalkan diri melalui layangan, banyak penggemar layangan dari mancanegara memburu festival ini dan rela datang jauh-jauh ke daerah Muna Sulawesi Tenggara bermain layangan. Festival layang-layang internasional sudah tiga kalinya digelar di Kota Raha, dan beberapa negara sudah pernah mengikuti festival ini, seperti Jepang, Prancis, Taiwan, Malaysia, Jerman, India, Cina, dan Swedia dan beberapa provinsi di Tanah Air. Festival layang-layang internasional itu telah menjadi kalender pariwisata sekaligus dapat menjadi media komunikasi antarnegara maupun antardaerah di tanah air. Kaghati kalope merupakan salah satu aset budaya daerah Muna yang keberadaannya nyaris punah akibat perkembangan teknologi modern, di samping kurangnya tulisan-tulisan yang 158
mengungkapkan keberadaan layang-layang purba itu. Oleh karena itu melalui tulisan ini akan dicoba mengkaji bagaimana tradisi pembuatan dan permainan kaghati kalope pada masyarakat Muna?. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembuatan dan permainan kaghati kalope, serta untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam permainan kaghati kalope. Demikian pula tulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis sebagai bahan informasi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, pemerhati budaya dan para peneliti tentang tradisi kaghati kalope pada masyarakat Muna. Selanjutnya manfaat praktis penelitian ini diharapkan juga dapat memberi masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengembangan kebudayaan daerah guna memperkaya khazanah kebudayaan nasional, dalam memperkuat jati diri dan karakter bangsa, dan untuk Balai Pelestarian dan Nilai Tradisional Makassar, sebagai instansi yang mempunyai tugas dan fungsi melestarikan nilainilai budaya dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara, tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi budaya bagi masyarakat. Konsep yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: tradisi, permainan dan nilai budaya. Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat (Warsito, 2012:65). Terkait dengan tradisi pembuatan dan permainan kaghati kalope, yang merupakan warisan budaya leluhur masyarakat Muna, maka konsep tersebut sesuai dengan yang dikemukakan dalam ensiklopedi bahwa adat adalah “kebiasaan” atau “tradisi” masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun. Tradisi permainan kaghati kalope diperkirakan lahir sejak manusia mengenal budaya cipta. Penciptaan kaghati kalope tentu erat kaitannya dengan kebutuhan manusia tentang hiburan. Permainan tradisional adalah bentuk kegiatan permainan dan atau olahraga yang berkembang dari suatu kebiasaan masyarakat tertentu. Pada perkembangan selanjutnya permainan tradisional sering dijadikan sebagai jenis permainan yang memiliki ciri kedaerahan asli serta disesuaikan dengan tradisi budaya setempat. Kegiatannya dilakukan baik secara
Kaghati Kalope: Layang-Layang... Raodah
rutin maupun sekali-kali dengan maksud untuk mencari hiburan dan mengisi waktu luang setelah terlepas dari aktivitas rutin seperti bekerja mencari nafkah, sekolah, dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya permainan tradisional dapat memasukkan unsur-unsur permainan rakyat dan permainan anak ke dalamnya. Bahkan mungkin juga dengan memasukkan kegiatan yang mengandung unsur seni seperti yang lazim disebut sebagai seni tradisional (Iswinarti, 2005:4). Permainan mengundang rasa senang dan berguna bagi anak untuk membantu dalam memahami dan mengungkapkan dunianya, baik dalam taraf berpikir maupun perasaan (Utami, 2012:1). Demikian halnya dengan permainan kaghati kalope merupakan sarana hiburan, ajang kreatifitas, seni dan ketangkasan yang sarat dengan nilai-nilai budaya pada masyarakat Muna. Dalam peramainan kaghati kalope mengandung nilai-niali budaya merupakan karakter dan jati diri masyarakat Muna. Menurut Koentjaraningrat (1987:85) nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar warga masyarakat, nilai-nilai kebudayaan merupakan pandangan-pandangan apa yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Menurut Soekanto (2009:36) nilai-nilai akan berpengaruh terhadap pola berpikir manusia dan akan menentukan sikapnya, kemudian sikap menimbulkan pola tingkah laku tertentu yang diabstraksikan menjadi kaidah-kaidah yang nantinya mengatur perilaku manusia ketika berinteraksi. METODE Penelitian ini dilakukan di Desa Lingkobori Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara, pada bulan Mei 2013. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Liangkobori mempunyai sejarah asal mula keberadaan layang-layang purba kaghati kalope. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif yang menggambarkan tradisi pembuatan dan permainan layang-layang kaghati kalope pada masyarakat Muna. Teknik pengumpulan data diperoleh dari hasil wawancacara, observasi dan
GRNXPHQWDVLODOXGLNODVL¿NDVLNDQVHVXDLGHQJDQ gejala-gejala sosial yang dipermasalahkan, selanjutnya diformulasikan dalam bentuk narasi. Analisis data yang diperoleh, dari wawancara, observasi, dan dokumentasi dianalisis secara kualitatif. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan secara bersamaan yakni reduksi data, menyederhanakan data dengan FDUDPHQJNODVL¿NDVLNDQSHQ\DMLDQGDWDGHQJDQ membuat abstraksi dengan menghubungkan atau membandingkan dengan teori yang ada dan penarikan kesimpulan (Miles,1992:16). PEMBAHASAN 3UR¿O'HVD/LDQJNRERUL Desa Liangkobori adalah lokasi penelitian, termasuk dalam wilayah Kecamatan Lohia Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa ini berada di bagian Timur Kota Raha ibu kota Kabupaten Muna, berjarak kurang lebih 16,40 kilometer dari ibu kota kabupaten. Nama Desa Liangkobori diambil dari nama gua yaitu Gua Kobori, Liangkobori berasal dari bahasa Muna yang berarti gua bergambar. Penamaan ini cukup tepat karena disepanjang dinding di dalam gua, terdapat aneka lukisan yang berjejer rapi, diperkirakan lukisan tersebut sudah berumur ratusan tahun. Seorang peneliti dari Jerman yang pernah melakukan melakukan penelitian di lokasi Liangkobori mengungkap bahwa, lukisan yang terpahat indah itu berasal dari zaman prasejarah atau sekitar 4.000 tahun silam. Dari berbagai lukisan tersebut, tergambar cara hidup masyarakat suku Muna pada masa lampau, mulai dari bercocok tanam, berternak, berburu, beradaptasi dengan lingkungan dan berperang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Di antara lukisan yang terdapat dalam gua itu, ada gambar seseorang yang menaiki seekor kerbau, gambar matahari, gambar pohon kelapa, gambar binatang ternak seperti sapi, kuda, serta gambar layang-layang yang merupakan salah satu media ritual masyarakat Muna pada saat itu. Dari lukisanlukisan itu, terdapat sebuah pesan simbolik dari masyarakat suku Muna purba bagi generasi muda mereka tentang arti nilai sejarah dengan mencatat setiap peristiwa yang mereka alami. Luas wilayah Desa Liangkobori kurang
159
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 157—170 lebih 4,20 Kilometer persegi atau sekitar 8,43% dari luas keseluruhan wilayah Kecamatan Lohia. Pada tahun 2013 Desa Liangkobori memiliki jumlah penduduk sebesar 1.535 jiwa yang terdiri dari 748 jiwa laki-laki dan 787 perempuan. Jumlah penduduk tersebut tersebar kedalam dua dusun yakini dusun Wakameme dan dusun Laode Ranggalipu dengan kepadatan penduduk 365 per kilometer persegi atau sekitar 11,34% dari jumlah keseluruhan penduduk di Kecamatan Lohia. Pada umumnya penduduk Desa Liangkobori adalah penduduk asli suku Muna. Asal usul leluhurnya diperkirakan berasal dari Bugis (Luwu) yang terdampar di Pulau Muna. Mitos ini terkait dengan pengembaraan Sawerigadi. Konon kabarnya perahu Sawerigadi karang di tengah laut pada sebuah gunung batu, suatu keajaiban terjadi ketika perahu karang tiba-tiba air laut surut, sehingga terbentuk sebuah daratan atau pulau yang bernama Muna. Pengikut Sawerigadi akhirnya tinggal di pulau ini dan beranak pinak. Penduduk Desa Liangkobori keseluruhan beragama Islam, walaupun mereka penganut agama Islam, akan tetapi tetap masih tetap mempercayai hal-hal gaib yang berhubungan dengan kepercayaan para leluhur mereka. Demikian halnya dengan paham mereka pada kaghati kalope yang diyakini menjadi sarana penolong dan akan menaungi mereka dari sengatan matahari di hari kemudian setelah mereka meninggal dunia. Tali kaghati dimaknai sebagai tempat bergantung dan kaghati kalope (layang-layang) dapat menaungi mereka di padang masyhar (akhirat). Menurut pemahaman mereka apabila di padang masyhar nanti jarak antara matahari dengan kepala kita cuma sejengkal, kaghati kalope inilah yang menjadi pelindungnya. Sejarah Layang-Layang Muna Berdasarkan beberapa literatur yang ada, layang-layang sudah dikenal di Cina lebih dari dua ribu lima ratus tahun silam. Disebutkan, sekitar tahun 500 sebelum masehi, Jenderal Han Hsin dari Dinasti Han menerbangkan layanglayang untuk mengukur seberapa jauh pasukannya harus menggali terowongan. Dengan mengetahui jarak tersebut, pasukannya akan mencapai pusat kota tempat musuhnya berada. Perkiraan yang akurat itu sangat membantu Jenderal Han Hsin 160
mengalahkan musuh-musuhnya dalam berbagai pertempuran pada masa itu. Dari negeri Cina, penggunaan layang-layang kemudian menyebar ke Korea, Jepang, dan India, terus ke negara di Asia Tenggara. Namun ada pendapat yang berbeda, menyebutkan bahwa layang-layang pertama kali dikenal di Indonesia, sejak 6000 tahun yang lalu, berdasarkan penelitian Wolfgong Bick tahun 1997 di Muna. Wolfgong Bick berasal dari Jerman seorang Counsultant of Kite Aerial Photography 6FLHQWL¿F8VHRI.LWH$HULDO3KRWRJUDSK\. Awal penelitiannya dilatarbelakangi saat Festival Layang-Layang Dunia di Prancis tahun 1997. Saat itu layangan Kaghati Kolope dari Indonesia tampil sebagai juara mengalahkan Jerman. Hal ini membuatnya berkeinginan menelusuri keunikan Kaghati Kolope dan mengantarkannya ke Pulau Muna, di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Gua Sugi Patani, Desa Liangkobori. Dalam penelitiannya Wolfgong Bick melihat sendiri lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang di dalam Gua Sugi Patani. Di situs prasejarah tersebut tergambar seseorang sedang bermain layang-layang di dinding batunya dengan menggunakan tinta warna merah dari oker (campuran tanah liat dengan getah pohon). Gambar itu sudah dicoba untuk dihapus tetapi tidak bisa. Walaupun lukisan telah berusia ribuan tahun, tetapi warnanya tetap bagus dan masih terlihat dengan jelas. Tentunya ini sangat kontras dengan penggunaan warna pada saat sekarang yang mudah hilang dalam waktu cepat. Penemuan lukisan di Gua Sugi Patani dikatakan Wolfgong Bick telah mematahkan klaim bahwa layangan pertama berasal dari China pada 2.400 tahun lalu (Darampa, 2010). :ROIJDQJ%LHFNODQJVXQJPHQJNODUL¿NDVL melalui Lekong (perkumpulan layang-layang Indonesia) di Jakarta kalau layang-layang tertua bukan berasal dari negara China melainkan dari Indonesia tepatnya di Muna. Karena layanglayang yang dibuat di negara China itu telah menggunakan teknologi yang bahannya dari kain parasut dan batang alumunium. Sementara layangan dari Pulau Muna terbuat dari bahan alam dan telah menjadi bagian kehidupan masyarakatnya. Asumsi inilah yang meyakini Bieck, bahwa layangan pertama di dunia berasal
Kaghati Kalope: Layang-Layang... Raodah
dari Muna, bukan dari China. Wolfgong Bick mengambil foto-foto dalam gua tersebut kemudian menuliskan penelitiannya dalam artikel berjudul ”The First Kiteman” di sebuah majalah Jerman tahun 2003 (Indriasari, 2011). Namun pendapat tersebut dibantah oleh Kosasih, arkeolog yang telah melakukan penilitian lukisan-lukisan gua di Muna. Menurutnya lukisan itu terbilang muda atau modern dalam data arkeologi, karena pada lukisan itu terdapat gambar orang yang sedang memegang senjata yang terbuat dari logam dan ada juga gambar perahu yang menggunakan kain layar berbentuk persegi panjang, seperti perahu-perahu layar khas Indonesia bagian timur. Sehingga dapat diperkirakan, lukisan itu dibuat oleh orang-orang yang hidup pada awal masehi, pada zaman logam, meskipun zaman tersebut di Indonesia terjadi pada 1000-400 tahun SM,” ungkap Kosasih (Puspoyo, 2004:25). Kesaksian Bieck memang masih perlu diteliti lagi untuk membuktikan kebenarannya. Beberapa ahli arkeologi di Indonesia belum bisa memastikan apakah usia lukisan di goa itu jauh lebih tua dari temuan layang-layang di China yang berusia 2.400 tahun. Selain itu keberadaan layang-layang Muna dikaitkan pula dengan mitos, menurut cerita turun temurun masyarakat Muna, yang dituturkan oleh La Hada (70 tahun) bahwa pada zaman dahulu ada seorang kepala suku bernama La Pasindaedaeno yang mencari jawaban atas keinginan rakyatnya, bagaimana caranya bisa lebih dekat dengan matahari, sebab sinarnya dapat diyakini sebagai sumber kehidupan. Kehidupan masyarakat Muna pada saat itu masih primitif, sumber kehidupan mereka adalah berburu binatang. Mereka menghuni gua-gua. Selanjutnya diceritakan bahwa La Pasindaedaeno mengajak istrinya Wa Ntiwose masuk ke hutan dalam perjalananya ke hutan kaki Wa Ntiwose tersandung sebatang pohon menyerupai tali dan berduri, istrinya berteriak kesakitan. Mendengar teriakan istrinya lalu La pasindeadeano segera menolongnya. Setelah melihat tali yang mengaitkaki istrinya, ternyata adalah pohon kalope (ubi hutan). Lalu ia menelusuri batang pohon tersebut ternyata merambat di atas pohon lain yang memiliki daun yang indah. La Pasindaedaeno mengamati daun-daun yang
sudah tua diterbangkan angin ke angkasa yang tinggi. Melihat daun yang diterbangkan angin ke angkasa, maka La Pasindeadeano berhayal bahwa kemungkinan daun-daun inilah yang akan mengantarkan manusia hingga sampai ke matahari. Lalu pulanglah mereka berdua untuk memberitahu warga tentang kejadian luar biasa yang dialaminya. Setibanya di perkampungan diajaknya warga untuk memetik daun-daun kalope lalu dibawa diperkampungan. Selanjutnya mereka mengambil bambu lalu dibelah-belah kecil, kemudian daun itu dirakit dalam bentuk segi empat lalu dijepit (dalam bahasa Muna disebut ghati). Setelah itu daun yang dijepit tadi dijadikan permainan dengan cara diterbangkan. Ketika menjadi permainan mereka menyebutnya kaghati artinya daun kalope yang di rakit dalam bentuk segi empat lalu di jepit (Hasil wawancara, 10 Mei 2013). Mitos lain asal mula kaghati kalope diceriterakan ada seorang anak yang masuk dalam perkampungan. Penduduk menanyakan asal usulnya tapi anak tersebut tidak mengetahui, begitupula ditanyakan tentang orang tuanya ia juga tidak mengetahui. Akhirnya orang-orang tua di kampung tersebut memutuskan agar anak itu diterbangkan dengan layang-layang, supaya di kampung sebelah dapat melihat anak siapa yang diterbangkan itu. Maka apabila sudah dilakukan cara itu, tapi tetap masyarakat tidak mengetahui asal usulnya, maka anak itu dikategorikan sebagai budak (dalam bahasa Muna di sebut ghata) sehingga kaghati disimbolkan sebagai budak. Tradisi Pembuatan Kaghati Kalope Tradisi pembuatan kaghati kalope pada masyarakat Muna, merupakan tradisi turun temurun dari zaman pra sejarah. Secara etimologi kaghati dalam bahasa Muna berarti layanglayang, sedang kalope adalah sejenis daun gadung (ubi hutan). Jadi kaghati kolope adalah layang-layang yang terbuat dari daun kolope. Pengrajin atau pembuat layang-layang kolope semakin hari semakin berkurang, orang membuat kaghati kolope kalau ada lomba atau festival saja. Mengolah daun kolope menjadi kertas layanglayang tidaklah mudah. Kini hanya segelintir orang di Pulau Muna yang bisa membuat layanglayang dari daun kolope salah satu di antaranya 161
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 157—170 adalah La Hada (70 tahun) pengrajin layanglayang kalope, sekaligus tokoh masyarakat di Desa Liangkobori yang banyak mengetahui tentang sejarah layang-layang purba itu. Adapun bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan kaghati kalope adalah sebagai berikut: a. Daun kalope (roo kalope) Daun kalope adalah sejenis tumbuhan umbi hutan batangnya berduri, walaupun umbinya mengandung racun tetapi dapat dimakan setelah melalui pengolahan secara intensif (ungkame) yaitu dengan mengiris tipistipis lalu direndam dalam air yang mengalir untuk beberapa malam sehingga racunnya terbawa arus air. Bentuk daun kalope ada dua daun jantan dan daun betina masing-masing berhadapan.
b. Daun nenas hutan (nanasi) Daun nenas hutan digunakan dalam pembuatan tali layang-layang dalam bahasa Muna disebut ghurame. Daun nenas yang diambil adalah pilihan yaitu daun tua, lalu dipotong dikeluarkan durinya. Daun nenas hutan tidak langsung diolah melainkan disimpan dahulu selama 2 hari, selanjutnya dijemur untuk menghilangkan air yang terdapat dalam daun, karena air daun nenas dapat mengakibatkan tangan gatal-gatal pada waktu memintal. Setelah kering daun nenas dikerok dengan menggunakan pisau bambu yang disebut dekuru, caranya setiap helai daun nenas di letakkan di lempengan papan atau balok kemudian di tindis dengan mata pisau bambu, lalu ditarik perlahan-lahan, dilakukan berulang-ulang sampai daun daging nenas terpisah dan tersisa hanya serat yang berwarna putih lalu dicecar menjadi helai-helai benang. Setelah menjadi benang kemudian dipintal (pulo) menjadi seutas tali yang siap
Foto. 1. Daun kalope jantan dan betina Sumber: Dokumen pribadi, 2013
Daun kalope hanya merekah daunnya pada bulan Mei ketika musim penghujan tiba namun saat itu daun kalope terlalu muda untuk diolah menjadi kertas layang-layang. Baru sekitar bulan Juli daun kolope sudah cukup matang untuk dipetik sebagai bahan layangan. Cara mendapatkan daun kalope untuk pembuatan layang-layang adalah memungut daun kalope kering yang gugur secara alami, akan tetapi daun seperti itu agak rapuh dan mudah sobek serta kertasnya agak kekuning-kuningan. Memetik daun yang sudah tua lalu dipanaskan di atas bara api (dikandela) kemudian dijemur selama dua hari, hasilnya daun kalope kelihatan seperti kertas putih, elastis dan kedap air. Setelah di jemur daun-daun ini disusun dalam satu jepitan yang disebut kasimpi, setiap jepitan berisi sekitar 100 lembar. Agar daun kalope tetap bertahan disimpan di dekat perapian supaya tahan lama.
162
Foto.2. Cara membuat tali layang-layang kalope Sumber: layang-Layang Indonesia
dipakai. Dalam satu kali proses pemisahan serat itu memerlukan waktu yang cukup lama sesuai jumlah daun yang dikerok. Satu helai daun nenas hutan dapat menghasilkan 10 meter tali layang-layang. Waktu memintal yang paling baik pada pagi atau malam hari, karena serat nenas akan mengeras kalau terkena sinar matahari atau angin dalam waktu yang lama, sehingga setiap daun yang telah dikerok langsung dipintal, jika tidak serat tersebut diembunkan (doalomae) semalam, keesokan harinya baru dipintal. Proses pemintalan tali (depulo ghurame) menurut kebiasaan orang Muna dilakukan sejak tiga bulan menjelang musim bermain kaghati (fohoroha kaghati) tiba. Untuk menerbangkan layang yang berukuran besar
Kaghati Kalope: Layang-Layang... Raodah
biasanya menggunakan tali sepanjang tiga ratus meter sampai seribu depa. Kemampuan seseorang pemintal tali layang-layang dalam sehari diperkirakan sekitar 20 depa, tergantung pada kesiapan seseorang. Menurut La Kandi (40 tahun) ada cara unik yang dilakukan pengrajin kaghati pada pemintalan tali layang-layang yang dilakukan pada malam hari hanya dengan menggunakan alat penerang yang terbuat dari kapas yang dipintal (kapundoli) dan dicelupkan kedalam minyak jarak lalu dililitkan pada sepotong kayu. Panjang tali yang dipintal tergantung dari banyaknya kapundoli yang dipakai. Untuk pemakaian satu kapundoli, menghasilkan 36 depa ghurame, jadi tidak perlu diukur panjang talinya yang dihitung adalah berapa kapundoli yang digunakan, maka sudah dapat diketahui panjang tali yang
Foto.3. Tali kaghati kalope Sumber: Dokumen pribadi
sudah dipintal (Hasil wawancara, 15 Mei 2013) c . Bambu buluh Bambu buluh digunakan untuk rangka tengah dari layang-layang kalope, rangka tengah disebut kainere. Selain berfungsi sebagai rangka tiang, berfungsi pula sebagai penyemat (kasoma) daun kalope ketika dipasang pada rangka layang-layang. Caranya bambu buluh yang sudah kering di belah kecilkecil sekitar 2 mil. Menurut Laode Samada (47 tahun) kualitas bambu buluh yang baik adalah agak bengkok, sudah kering, tipis, baru, dan mempunyai dua ruas buku. Apabila bambu buluhnya masih basah, maka terlebih dahulu dipanaskan di atas api, kemudian dijemur. Bambu buluh yang digunakan sebagai rangka disesuaikan dengan ukuran layang-layang akan dibuat (Hasil wawancara: 11 Mei 2013). d. Bambu betung (patu)
Bahan ini digunakan sebagai rangka sayap dari layang-layang. Menurut La Hada (70 tahun) betung yang baik adalah keras, tebal dan bergeliga boleh 1,5 ruas, 2, 3, 4 ruas atau tergantung dari besarnya kaghati yang mau dibuat. Selain bahan untuk sayap (pani) betung juga berfungsi sebagai bahan pembunyi yang disebut kamoo atau kaworu . Pembunyi terbuat dari betung dan daun palma yang disebut bhale. Ukuran sayap kaghati sangat bergantung pada ukuran layang-layang akan dibuat (Hasil wawancara: 12 Mei 2013) e. Tebu hutan (Towulambe) Towulambe adalah tebu hutan yang batangnya dijadikan sebagai alat pengikat pembunyi (kamuu) yang disebut kapongke. Panjangnya sekitar 2 cm berbentuk busur, ditengahnya dibuat lubang lalu dimasukkan pada kedua ujung kamuu. f. Batang waru (Bhontu) Bhontu adalah kulit batang pohon waru digunakan sebagai tali pinggir kaghati kalope yang disebut kasamba. Untuk menghilangkan licin pada kulit batang tersebut terlebih dahulu dijemur baru diembunkan semalaman, lalu diurai kecil-kecil sesuai kebutuhan. Tali ini digunakan juga sebagai rangka untuk meletakkan daun kalope disebut kalolonda. Pembuatan kaghati kalope dilakukan apabila bahan-bahan yang telah disebutkan di atas telah diproses, seperti pemintalan tali (ghurame), pengumpulan daun kalope yang sudah diolah, perautan bambu untuk rangka sayap (pani) dan perautan bambu buluh sebagai penyemat daun kalope, serta tali waru yang sudah diurai. Proses pembuatan diawali dengan membuat rangka layang-layang yaitu memasang tiang tengah atau tiang kinere dari bambu buluh secara vertikal, disesuaikan dengan tinggi kaghati, jika ukuran kaghati misalnya 100 x 75 centimeter maka ukuran bambu buluh cukup yang berdiameter sekitar 1 centimeter. Selanjutnya memasang rangka sayap (pani) dari bambu patu arah horizontal, agak melengkung. Untuk mendapatkan lengkungan yang baik maka kedua ruas (buku) bambu berada pada kedua ujungnya, apabila hanya satu ruas maka layang-layang akan miring pada saat 163
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 157—170 diterbangkan. Jenis bambu patu yang digunakan tergantung dari kekuatan angin yang bertiup saat itu. Ukuran panjang disesuaikan dengan ukuran kaghati yang akan dibuat. Setelah rangka sayap selesai, kemudian dipasang tali luar (kampaligi) yang terbuat dari kulit pohon waru, dengan cara menghubungkan ke empat sisi kaghati sehingga berbentuk trapesium, agar tidak mudah putus maka tali luar tersebut dipintal terlebih dahulu. Selanjutnya dibuat jaring-jaring atau net yang disebut kalolonda yaitu tali bagian dalam pada keseluruhan rangka sebagai tempat atau penahan dalam meletakkan daun-daun kalope, caranya dengan menghubungkan antara tiang kainere dengan pani sehingga dasarnya membentuk tulang ikan lalu antara tali satu dengan tali lainnya dibentuk seperti jaring ukurannya disesuikan dengan lebar daun kalope yang akan di pasang. Fungsi jaringjaring ini untuk menahan daun kalope dari terpaan angin, sehingga kaghati tidak mudah melengkung, maka perakitan kalolonda harus rapi dan kencang. Setelah rangka layang-layang selesai, selanjutnya pemasangan daun-daun kalope. Sebelum di pasang daun kalope di pisahkan sesuai jenis daunnya ada daun jantan dan daun betina. Selanjutnya daun-daun ini diratakan dengan menggunakan pisau sehingga daun tersebut berbentuk segi empat. Untuk mendapatkan daun yang ukuran bentuknya sama rata, maka caranya daun-daun tersebut disusun dalam satu tumpukan yang rapi dan rata diberi pemberat di tengah dan ditekan agar tidak goyang, kemudian dipotong sisinya hingga berbertuk segi empat. Setelah daun diratakan maka dipasang satu persatu di atas jaring net dengan menggunakan sayatan bambu tipis sebagai penyemat yang disebut kasoma. Daun-daun kalope diletakkan sesuai dengan jenis daunnya tidak boleh tertukar dalam meletakkannya, daun jantan tidak boleh tertukar dengan daun betina. Daun jantan berada disebelah kanan dan kiri, sedang daun betina berada ditengah. Setelah keselurahan rangka kaghati tertutupi daun, dan terbentuk sebuah kaghati kalope, maka dilakukan pemasangan kamuu 164
yang berfungsi sebagai alat bunyi dan penyeimbang kaghati. Kamuu adalah nada dering dari sebuah kaghati, akan bergetar apabila ditiup angin dan menghasilkan bunyi yang khas mendayu-dayu apabila kaghati diterbangkan pada malam hari. Setiap kaghati memiliki ukuran kamuu disesuaikan selera pembuatnya, sehingga suara yang dihasilkan MXJD VSHVL¿N GDUL SHPEXDWQ\D RUDQJ ELDVD mendengar akan mengetahui siapa pemilik kaghati tersebut. Kamuu ini terdiri atas tiga bagian yaitu kawaru yang terbuat dari bambu patu, bhale terbuat dari palma, dan kapongke terbuat dari tebu hutan. Kamuu diletakkan pada pertemuan antara tiang tengah dan tiang sayap atau antara kainere dan pani secara vertikal. Pembunyi kamuu sangat berpengaruh pada kestabilan terbangnya kaghati kalope, demikian pula ukurannya disesuaikan dengan ukuran kaghati. Selanjutnya pemasangan kassa yaitu tali penyeimbang yang berfungsi untuk mengatur ketinggian yang terbuat dari tali ghurame diikatkan pada tiang kainere dan pani. Selanjutnya ditarik dan ikat pada ujung bawah kainere sehingga membentuk segi tiga sama kaki. Dan terakhir di pasang tali layang-layang (ghurame) sepanjang yang diinginkan dan disesuaikan dengan ukuran kaghati. dengan
Foto 4. Kaghati Kalope Sumber: Dokumen pribadi, 2013
ukuran kaghati kalope. Ritual dalam Pembuatan dan Permainan Kaghati Kalope Membuat kaghati kalope tidak sama dengan pembuatan layang-layang pada umumnya, ada syarat atau ketentuan dalam adat yang tidak boleh dilanggar di dalam proses pembuatan dan permainannya, ada ritual khusus yang dilakukan
Kaghati Kalope: Layang-Layang... Raodah
si pembuat kaghati kalope. Sebelum membuat kaghati kalope perlu kesucian jiwa dan raga dan menghindari berbagai pantangan, agar dapat menghasilkan layangan yang kuat dan menjadi juara dalam perlombaan. Demikian pula dipilih hari yang baik untuk mengerjakannya, menurut La Ode Samada (47 tahun), ada kepercayaan orang Muna sebelum melakukan pembuatan kaghati Kalope, terlebih dahulu di tentukan hari baik untuk memulai pembuatan. Hari baik berdasarkan perhitungan terbitnya bulan atau berdasarkan perhitungan bulan qamariah misalnya hari 1. 6, 7, 11, 10, 12, 13 terbitnya bulan di langit, sedang hari yang dianggap hari tidak baik (nahas) misalnya 2,5, 8, 9, 17, 22, 29 terbitnya bulan di langit (wawancara 11 Mei 2013) Pada waktu mengerjakan kaghati kalope tidak diperbolehkan makan dan minum (puasa) selama proses pembuatan, menurut kepercayaan orang Muna apabila si pembuatnya kenyang, maka layang-layang tersebut tersebut akan berat untuk diterbangkan. Ada juga yang mengartikan bahwa si pembuat kaghati akan dimintakan rezekinya oleh layang-layang, karena si pembuat dalam keadaan lapar. Kaghati dibuat pada dini hari waktu subuh, karena menurut pandangan orang Muna, bahwa pada waktu subuh malaikat turun untuk membagibagikan rezeki. Dalam merangkai daun kalope tidak boleh terbalik daun jantan bertukar dengan daun betina atau posisi daun daun jantan terbalik. Bila terjadi demikian, maka layang-layang tidak akan seimbang apabila sedang mengangkasa, sehingga diperlukan konsentrasi dan ketenangan jiwa pada saat merangkai daun kalope. Demikian pula alat penyemat (kasoma), yaitu rautan bambu yang dipakai untuk menjelujur daun kalope harus disematkan arah ke atas, ke kiri atau ke kanan, tidak boleh arah ke bawah. Jika melanggar maka si pembuatnya akan mendapat musibah/sial. Setelah kaghati selesai dibuat disimpan di tempat yang agak tinggi atau disandarkan di dinding, agar tidak dilangkahi orang yang lalu lalang, apalagi kalau yang melangkahi adalah kaum wanita, akan mengakibatkan tali layang-layang gampang putus ketika mengudara. Apabila hal tersebut terjadi maka si wanita tersebut harus melangkahi kembali untuk menghilangkan sial. Ritual dalam permainan kaghati kalope dilakukan ketika kaghati kalope berhasil
memenangkan ketahanan bermalam di angkasa selama tujuh malam berturut-turut, maka dilakukan ritual dengan sesajian berupa rebusan telur dan ketupat, masing-masing lima biji. Sebelum pembacaan doa yang dilakukan oleh modim (pengurus agama), kaghati kalope tersebut di telungkupkan dihadapan keluarga yang berhasil memenangkan permainan dengan duduk bersila. Sesajian berupa telur dan ketupat diletakkan satu bagian pada ekor, satu bagian pada sayap kanan dan kiri, satu bagian pada tali penyeimbang (kassa), dan satu bagian pada kepala kaghati. Setelah dibacakan doa, kaghati kalope kemudian dibedah dengan pisau yang tajam sehingga yang tertinggal adalah rangkanya, selanjutnya rangka kaghati ini di bungkus dan disimpan di dekat perapian atau dapur. Menurut La Kandi (40 tahun) bahwa ada kepercayaan orang Muna apabila kaghati kalope yang sudah bermalam di angkasa selama tujuh malam berturut-turut memiliki daya magis, dan dipercaya dapat menjadi payung penolong penahan terik matahari di akhirat kelak (wawancara 16 Mei 2013). Bentuk dan Jenis Kaghati Kalope Kaghati kalope menjadi permainan rakyat di Muna, jauh sebelumnya telah dikenal dengan sebutan kaghati Wuna (Muna). Kaghati tidak mengikuti ukuran tertentu tergantung pada selera pembuatnya dan siapa yang akan memainkan layangan tersebut. Menurut bentuknya kaghati dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yang telah dikenal secara umum oleh masyarakat Muna. Adapun bentuk dan jenis kaghati kalope menurut La Kandi (40 tahun) ada lima yaitu: 1) Bhangkura, bentuknya menyerupai siput, memiliki kemampuan mengangkasa yang tinggi dan tampak tenang di udara. Menurut orang yang biasa mendengar, bahwa bunyi kamuu kedengarannya seperti orang berzikir, di sebut juga kaghati masigi (masjid). 2)Bentuk mponisi atau bhalampotu, bentuknya menyerupai guci, sehingga disebut bhate gusi, apabila mengangkasa akan miring ke kiri dan ke kanan (nowele), dimaknai sebagai sifat manusia yang menimbang-nimbang keadilan ke kanan dan ke kiri, sehingga orang biasa juga menyebutnya kaghati walaka menyerupai sifat walaka yang menimbang-nimbang untuk mencari keadailan. Pada masyarakat Muna struktur kaum 165
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 157—170 walaka sebagai orang yang mengatur kebijakan dan undang-undang atau hukum yang berlaku dalam masyarakat. 3) Ngkasopa bentuk ini agak bulat, diambil dari nama buah kasopa yang dapat dijadikan piring makan orang-orang yang memiliki strata sosial yang terhormat. Kaghati ngkasopa ini biasa juga disebut kaghati marintano (penguasa), karena pada waktu mengangkasa kaghati ini bebas menjelajah seperti pemerintah yang menguasai rakyatnya. 4) Kadompa atau sopi fotu. bentuknya lancip pada sisi atasnya dibanding jenis bhangkura. Keunggulan jenis ini adalah kecepatan melayang/terbang di udara sangat tinggi. Ketika mengangkasa menyerupai orang duduk, sehingga disebut kaghati ngkora (duduk). Jenis kaghati kadompa ini dimainkan oleh orang yang memiliki kharismatik dan berwibawa, yang mendapat penghargaan di masyarakat. 5) Ngkalei atau Salabanga bentuknya menyerupai daun pisang, kaghati itu apabila mengangkasa keadaannya lebih liar, bergerak ke mana-mana dan alat pembunyinya berbunyi nyaring. Bentuk kaghati ngkalei dikiaskan pada orang-orang yang bergerak ke mana-mana atau pesuruh (ghata), sehingga layang-layang ini disebut juga kaghati ghata (budak/pesuruh) (Wawancara 15 Mei 2013). Tradisi Permainan Kaghati Kalope Permainan layang-layang sudah menjadi permainan rakyat, terutama masyarakat petani sejak ratusan tahun yang lalu. Bagi petani layang-layang sangat erat hubungannya dengan padi di sawah, baik sebagai pengisi waktu saat menjaga padi yang mulai menguning atau untuk mengungkapkan rasa suka cita pada saat panen berhasil. Menurut Koentjaraningrat (2000:145) permainan adalah kegiatan manusia untuk menyegarkan jiwa serta mengisi waktu.. Dalam permainan terkandung nilai-nilai tertentu yang sangat mendukung perkembangan jiwa dan proses sosialisasi, baik bagi anak–anak maupun mereka yang telah dewasa. Karena itu umumnya bentuk dan wujud permainan yang berkembang dalam suatu masyarakat tidak akan jauh menyimpang dari kehidupan sosial budaya masyarakat yang mendukungnya. Pada masyarakat Muna permainan kaghati kalope biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki, baik anak-anak, remaja maupun orang dewasa. 166
Permainan itu di lakukan masyarakat Muna seusai panen, yaitu pada musim kemarau sekitar bulan Juli sampai September, karena pada waktu tersebut angin bertiup kencang baik pada siang maupun malam hari. Ukuran kaghati disesuaikan dengan usia yang akan memainkannya, untuk anak-anak ukuran kaghati yang cocok adalah setinggi lutut orang dewasa (ampa tuu). Untuk anak remaja kaghati kalope berukuran setinggi pusat orang dewasa (ampa puhe), sedang orang dewasa ukurannya diperkirakan setinggi dagu orang dewasa (ampa ghase). Tata cara permainan kaghati kalope sama dengan permainan layang-layang yang umum dilakukan masyarakat di daerah lain. Permainan dilakukan oleh dua orang lebih, satu orang menganjung kaghati untuk menerbangkan (defohoro) dan satu orang lagi memegang tali, kemudian mengulurkan tali sepanjang mungkin agar kaghati dapat mengangkasa lebih tinggi. Sementara yang lain meluruskan tali agar tidak kusut, sehingga orang yang menerbangkan dapat berkosentrasi dengan gerak kaghati yang mengakasa. Dalam menerbangkan kaghati kalope memerlukan kerjasama yang baik antara yang menarik dengan yang menganjung, maupun yang meluruskan tali. Orang yang menganjung harus memperhatikan aba-aba dari orang yang menarik tali agar si penganjung tidak salah posisi ketika menganjung. Penganjung melepaskan kaghati kemudian ditarik dan dibawa berlari oleh pemain. Selanjutnya jika kaghati telah mengangkasa dengan normal, tali kaghati diulur sedikit demi sedikit hingga kaghati semakin tinggi. Tradisi permainan kaghati kalope pada masyarakat Muna mempunyai keunikan tersendiri jika dibanding dengan permainan layang-layang yang ada di daerah lain. Kaghati kalope berada di angkasa dari sore hingga pagi hari atau dipermalamkan di angkasa, keesokan harinya baru diturunkan. Sebelum diturunkan para pemain kaghati kalope melakukan adu kaghati (pongurinda), para pemain mengajak pemain kaghati lainnya beradu kekuatan kaghati. Pemenangnya adalah pemain yang berhasil memutuskan tali kaghati lawannya sebanyak mungkin. Atraksi ini sangat menarik, karena si pemain yang berhasil memutuskan kaghati lawan dianggap sebagai juara dalam adu ketangkasan
Kaghati Kalope: Layang-Layang... Raodah
bermain kaghati. Kaghati kalope yang berhasil memutuskan beberapa kaghati akan mempunyai nilai jual yang tinggi bagi pemilik kaghati. Sebelum menurunkan kaghati kalope yang semalaman melayang-layang di angkasa, pemilik kaghati biasanya melakukan atraksi dengan membentuk berbagai posisi kaghati di angkasa. Atraksi seperti ini sangat menarik para penonton, karena pemain kaghati melakukan beberapa manuver yang disebut defoala ngakaule. Kaghati dapat menukik turun kemudian seketika kembali mengudara dengan ketinggian yang maksimal, demikian pula kaghati dapat melenggak-lenggok di angkasa seperti penari dengan berbagai formasi yang menarik. Setelah mengangkasa kaghati kalope memperlihatkan beberapa gerak-gerik atau keadaan kaghati ketika berada di angkasa. Menurut Laode Samada (47 tahun), kalau kaghati kalope gerakannya terlihat stabil atau seimbang (notoro), berarti rangka sayapnya (pani) lunak. Kalau kaghati tampak tegak (notade) di angkasa dipengaruhi oleh tali keseimbangannya (kassa), sehingga kaghati akan menjulang tinggi ke angkasa dengan tegak. Apabila kaghati bergoyang (nekoda), maka hal tersebut disebabkan oleh rangka sayapnya yang terlalu keras, atau disebabkan kekuatan hembusan angin. Demikian pula apabila tali penyeimbang berbentuk segitiga sama kaki, maka kaghati apabila mengangkasa akan tampak bergoyang-goyang. Kaghati akan miring sebelah (nepara) apabila salah satu bagian sayapnya keras. Apabila kaghati berputar-putar (nekangiampalo), berarti tidak ada keseimbangan semua sisinya, kalau kaghati maju mundur (nengkulepe) ada kemungkinan rangka tengahnya (kainere) tegak lurus. (wawancara, 13 Mei 2013). Nilai-Nilai Dalam Permainan Kaghati Kalope Nilai budaya merupakan pedoman yang dianut oleh setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap dan berperilaku dan juga menjadi patokan untuk menilai dan mencermati bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. Dalam permainan terkandung nilai-nilai tertentu yang sangat mendukung perkembangan jiwa dan proses sosialisasi, baik bagi anak–anak maupun mereka yang telah dewasa. Karena itu umumnya bentuk dan wujud permainan yang berkembang dalam suatu masyarakat tidak akan
jauh menyimpang dari kehidupan sosial budaya masyarakat yang mendukungnya. Demikian pula menurut Birtness (2005:39) bahwa nilai adalah pernyataan tentang apa yang dianggap harus diwujudkan dalam kaitannya dengan kegiatan hakiki yang diyakin, dan nilai adalah seseuatu yang dianggap baik dan buruk. Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam permainan kaghati kalope yang kuat dan berakar dalam perilaku masyarakat Muna, antara lain: a. Nilai Historis Keberadaan kaghati kalope mempunyai nilai sejarah yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Muna. Lukisan layang-layang yang ada di gua Liangkobori, merupakan bukti bahwa permainan kaghati kalope telah dilakukan oleh masyarakat Muna sejak zaman dahulu. Kaghati kalope sebagai layang-layang purba yang di duga keberadaannya sekitar 4000 tahun, lebih tua dari layang-layang Cina yang ditemukan 2.500 tahun yang silam. Selain penemuan lukisan layang-layang Muna di Gua Sugi patani, ada pula mitos-mitos yang menceritakan asal mula layang-layang kaghati kalope. Mitos adalah realitas historis, di mana faktor-faktor historis tersebut melekat pada alam (Barthes: 2004:58). Seperti pada mitos kisah La Pasindaedaeno seorang pemimpin yang mencoba menjawab keinginan rakyatnya bagaimana cara agar mereka dapat terbang sampai ke matahari. Konon masyarakat suku Muna purba menyembah api yang dipercaya sebagai manefestasi Tuhan, dan mereka meyakini sumber utama api terletak pada matahari. Ketika La Pasindaedaeno melihat daun kalope yang dapat melayang-layang di udara, maka timbullah ilham untuk membuat kaghati kalope, yang dapat dijadikan kendaraan rakyatnya untuk sampai ke matahari. Sehingga mitos inilah dianggap asal mula permainan kaghati kalope pada masyarakat Muna. b. Nilai Seni (estetik) Nilai estetik dalam permainan kaghati kalope tercermin dari tampilannya layanglayang yang tidak hanya bisa mengudara, tetapi sedap dipandang mata. Jadi, ada unsur keindahannya. Rasa keindahan merupakan perangkai dari bagian-bagian segala sesuatu, sehingga merupakan satu kesatuan yang lengkap 167
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 157—170 dari sebuah karya seni (Warsito, 2012:71). Bentuk-bentuk kaghati kalope dengan berbagai karakteristik, memerlukan nilai seni yang tinggi dari si pembuatnya. Pada pembuatan rangka dan merangkai daun-daun kalope diperlukan seni tersendiri yang mampu menampilkan bentuk–bentuk kaghati, sesuai ukuran orang yang memainkan. Ketika kaghati diterbangkan di udara menampilkan konfigurasi berbagai gerak yang dilakukan oleh pemain mempunyai nilai estetika dari orang-orang yang memainkan kaghati atau orang yang memandangnya. Bunyi yang dikeluarkan kamuu ketika kaghati mengangkasa, mengeluarkan beberapa irama dan orang yang biasa mendengarnya dapat mengetahui si pemilik kaghati tersebut. Kekhasan bunyi yang dikeluarkan oleh kamuu pada setiap kaghati kalope mencerminkan karakter dan sifat si pembuat atau pemain kaghati. Seni permainan kaghati kalope menjadi penilaian tersendiri ketika diperlombakan diajang festival, seperti keindahan bentuk, komposisi warna daun dan susunannya, serta gerakan-gerakan yang ditampilkan di angkasa. c. Nilai Religius Kepercayaan suatu masyarakat yang telah diyakini sejak masa lalu sulit untuk dihilangkan begitu saja, sebagaimana evolusi relegi yang telah berjalan dalam masa yang lama (Warsito, 2012:58). Pada masyarakat Muna nilai relegi adalah nilai tertinggi yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sejak dahulu orang Muna telah percaya adanya Tuhan, dan bahkan telah menggunakan beberapa simbol untuk menggambarkan adanya Tuhan. Kedekatan mereka dengan Tuhan dilakukan dengan ritual-ritual. Kepercayaan masyarakat Muna purba tentang adanya kekuatan magis pada kaghati kalope sebagai payung penolong pemiliknya dari sengatan sinar matahari pada hari kiamat, masih diayakini sebagian masyarakat pendukungnya. Nilai religius ini mencerminkan bahwa masyarakat Muna percaya akan adanya hari akhirat, seperti pemahaman mereka terhadap agama Islam yang dianutnya. Sesajen yang dipersembahkan juga mengandung nilai religius, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini telah diatur oleh yang kuasa, oleh sebab itu sesajen dapat diartikan sebagai 168
permohonan kepada sang Kuasa agar terhindar dari segala mara bahaya dan bencana. Ritual yang dilakukan si pemilik atau pembuat kaghati kalope pada proses pembuataan dengan tidak makan dan minum (puasa), mempunyai nilai religius yang suci untuk selalu membersihkan hati dan jiwa dari pengaruh duniawi. Pensucian diri yang dilakukan si pemilik mengandung harapan, agar kaghati kalope yang dibuatnya dapat diterbangkan dengan ringan dan mudah. Demikian pula pantanganpantangan yang harus dipatuhi ketika melakukan permainan, juga sarat dengan nilai-nilai religius yang mengandung kebaikan, dengan menghindari berbagai perbuatan yang tercela. d. Nilai Solidaritas Nilai solidaritas dalam permainan kaghati kalope, merupakan nilai yang terwujud dalam bentuk persahabatan, kerjasama, tolong menolong, gotong royong dan lain-lain. Nilai solidaritas dalam permainan kaghati kalope, memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, karena kaghati kalope tidak dapat diterbangkan sendiri, tetapi harus dibantu oleh orang lain atau teman. Hal ini memerlukan kerjasama yang baik dan saling pengertian antara yang menganjung dengan orang yang menarik tali. Pemberian aba-aba pada waktu akan menerbangkan kaghati, merupakan bentuk kerjasama yang baik dalam menerbangkan layang-layang. Ketika kaghati kalope berhasil memenangkan kompetisi atau bermalam di angkasa selama tujuh malam berturut-turut, maka masyarakat bergotong royong untuk melakukan ritual dengan membuatkan sesajen berupa telur rebus dan ketupat. Ketentuan tujuh malam dimaknai sebagai simbol perjalanan roh ke alam surga. Dalam kegiatan ritual ini, ada nilai-nilai solidaritas yang berlaku pada masyarakat Muna dan diwarisi secara turun temurun. e. Nilai Hiburan Pada permainan kaghati kalope memiliki nilai hiburan bagi orang-orang yang memainkan baik secara individu maupun kelompok. Ada kegembiraan masyarakat Muna ketika bermain kaghati kalope, terutama ketika menjelang panen. Salah satu sarana hiburan yang dilakukan sambil menjaga tanaman agar tidak diganggu oleh binatang, maka mereka bermain layang-layang.
Kaghati Kalope: Layang-Layang... Raodah
Bunyi yang dikeluarkan kamuu pada kaghati kalope dapat menghalau binatang yang merusak tanaman. Dalam ajang festival layang-layang di Muna, para penggemar layang-layang yang berdatangan dari berbagai pelosok. Baik ikut serta dalam perlombaan atau sekedar berkunjung ke tempat festival, dan menjadi hiburan tersendiri bagi penggemar layang-layang. Daerah Muna mengenalkan diri melalui layangan, yang sudah menjadi agenda pariwisata. Dalam event internasional dinas kebudayaan pariwisata sudah beberapa kali mengikutkan pakar layang-layang Muna untuk berlomba dan mereka beberapa kali pula menjuarai festival internasional. Kaghati kalope ini sudah terangkat ke dunia internasional, sebagai layang-layang yang paling alami di Muna, karena terbuat daun kalope, sehingga beberapa negara di dunia tertarik dengan festival layangan ini. f. Nilai Ekonomi Bagi masyarakat Muna penyelenggaraan festival layang-layang di Muna, dapat bernilai ekonomi. Kedatangan orang-orang ke Muna untuk menyaksikan festival tersebut, mendatangkan keuntungan tersendiri bagi masyarakat pedagang, tukang ojek, pengusaha hotel dan pembuat kaghati kalope. Kegiatan yang sudah menjadi kalender pariwisata itu dapat mendatangkan devisa bagi negara, karena dihadiri oleh para pelancong dari mancanegara. Kota Raha yang sunyi, menjadi ramai ketika penyelenggaraan festival berlangsung. Tukang ojek akan mendapatkan tambahan penghasilan karena banyak orang mencarter ojek ke tempat festival. Pedagang-pedagang kecil banyak mendapatkan pembeli, karena orang-orang dari pedesaan berdatangan ke kota Raha. Hotel-hotel di Muna akan terisi semuanya, pengrajin layang-layang juga mendapatkan keuntungan, karena kaghati kalope banyak peminatnya. Ada yang khusus memesan kaghati kalope untuk ikut serta dalam perlombaan, ada pula yang membeli sebagai oleole kerajinan khas Muna.
PENUTUP Tradisi pembuatan dan permainan kaghati Kalope pada masyarakat Muna, sampai sekarang masih tetap eksis, walaupun hanya sebagian kecil masyarakat Muna yang dapat membuat dan memainkannya berdasarkan ketentuan adat setempat, karena melalui ritual dengan berbagai pantangan yang harus dijalankan. Keunikan kaghati kalope mampu mengalahkan layanglayang dari negara lain, dalam ajang festival layang-layang internasional dan mendapat penghargaan internasional sebagai layang-layang tradisional yang paling alami. Kaghati kalope selain berfungsi sebagai alat permainan, layangan ini dijadikan pula sebagai media ritual bagi masyarakat pendukungnya. Keindahan bentuk dan jenis kaghati kalope, ketika mengangkasa melambangkan watak dan perilaku manusia yang memainkannya. Tradisi pembuatan dan permainan kaghati kalope berbeda dengan pembuatan dan permainan layang-layang daerah lainnya di Indonesia, menunjukkan bahwa kaghati kalope merupakan asset budaya masyarakat Muna yang perlu dilestarikan sebagai bagian dari keberagaman budaya bangsa dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional. Demikian pula nilai-nilai budaya yang terdapat dalam permainan kaghati kalope mencerminkan karakter dan jati diri masyarakat Muna, sebagai bagian dari upaya pembangunan karakter dan jati diri bangsa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Terjemahan. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana. Barteness, K. 2005. Etika. Jakarta: Gramedia. Darampa , Sultan. 2010. Kaghati LayangLayang Tradisional Muna. (Online) http:// sulawesichannel.blogspot.com/2010/01/ khagati-layang-layang-tradisional- muna. html Diakses pada tanggal, 11 Maret 2013. Indriasari, Lusiana. 2011. JejakPurbaLayangLayang Muna. (online). http://oase.kompas.com/ read/2011/06/18/13061063/Jejak.Purba. Layang-layang.Muna. html. Diakses 169
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 157—170 tanggal 10 Maret 2013. Iswinarti. 2005. ,GHQWL¿NDVL3HUPDLQDQ7UDGLVLRQDO Indonesia. Laporan hasil survey. Malang: Fakultas Psikologi UMM. Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. ---------------------.1987. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Gramedia. Miles, Mathew B. and Huberman A. Maichel. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. (Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI-PRESS.
170
Puspoyo, Endang W. 2004. Layang-layang Indonesia. Jakarta: Museum Layang-Layang Indonesia bekerja sama dengan MerindoKites & Gallery dan Q Communication. Soekanto, Soejono. 2009. Sosiologi Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rieneka Cipta. Utami. Resti. 2012. “Ucing Bal, salah satu permainan Rakyat masyarakat Jawa Barat”. Tesis. Bandung: Universitas pendidikan. Warsito. 2012. Antropologi Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.