Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa Mursito BM1
Abstract Culture always develop as society development. Culture function not only as preservation but also inovation. It’s answer needs of obyective society which it always change in now and future. It’s include culture tradition. Tradition of culture which it was created by social system of traditional-feodalistic in last century can still exist in social system construction of modern-capitalistic. Tradition cultural is part of mass cultural. Because mass cultural was born in mass society, so people art try to exist in the society type. Massification of tradition art and common culture can be made by understanding construction, conciousness and choosing of certain attitude to cultural. The paper try to describe tradition culture in mass society construction. Key words: Tradition cultural, mass cultural, mass society, social system
Pendahuluan Budaya tradisi masih hadir di tengah-tengah kehidupan kita, sekarang. Budaya Jawa, contohnya. Tentu “wajahnya” berubah, tidak seasli dulu, dimasa kejayaannya. Unsur-unsurnya, atau serpihannya, ada di pelbagai tempat dan peristiwa. Kebaya, misalnya, masih dipakai pada peringatan hari Kartini, pada pelbagai ritual adat tradisional, wisuda kesarjanaan, bahkan fashion. Juga wayang, batik, dan seni tari masih hadir sekarang. Kehadirannya yang relatif lengkap dan utuh bisa kita jumpai pada ritual perkawinan adat. Dalam pawiwahan agung itu, demikian ia biasa disebut, prosesinya dibingkai dengan norma-norma adat dan unggah-ungguh, dilengkapi dengan pelbagai macam uba rampe, yang bagi masyarakat modern terasa rumit dan
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
1
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
tidak efisien. Dari waktu ke waktu terasa, keketatan untuk memenuhi normanorma adat semakin berkurang. Penyelenggaraannya semakin longgar, cair, dan praktis, bersamaan dengan semakin banyaknya unsur-unsur kekinian yang masuk ke dalamnya. Unsur-unsur kekinian itu adalah (produk) teknologi – sound system, kamera video – dan industri jasa – catering, rental mobil, gedung pertemuan, rias penganten, pakaian adat. Keduanya merupakan bagian dari sistem ekonomi uang. Dengan demikian, dengan masuknya unsur-unsur kekinian itu, pawiwahan agung diselenggarakan dalam bingkai sistem ekonomi uang. Yang terlihat kemudian adalah, di satu sisi pawiwahan agung telah menghidupkan industri jasa, dan di sisi lain masuknya industri jasa membuat pawiwahan agung menjadi semakin “agung.” Di sini kita melihat unsur-unsur budaya tradisi Jawa bersinergi dengan unsur-unsur kekinian. Di dalamnya ada bahasa Jawa krama inggil, petung, unggahungguh prosesi temu pengantin, karonsih, beskap, kebaya, batik, kembar mayang, dan pelbagai macam uba rampe, bersatu dengan sound system, kamera video, catering, organ tunggal, standing party, untuk membangun sebuah harmoni. Meski unsur-unsur kekiniannya lebih dominan, namun pawiwahan agung tetap diklaim sebagai budaya Jawa. Fenomena di atas seperti menjelaskan bagaimana budaya tradisi yang “diciptakan” oleh sistem sosial tradisional-feodalistik beberapa abad yang lalu bisa
1
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
2
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
tetap eksis dalam bingkai sistem sosial modern-kapitalistik, sekarang. Fenomena berikut juga menggambarkan hal serupa. Pada peringatan hari jadi kota Solo ke-261, 18 Februari 2006 yang lalu, wajah Jawa tradisional masa lalu ditampilkan, diaktualisasikan secara simbolik dan karikatural dalam kirab budaya Hajad Praja Tumpeng Sewu. Di sepanjang perjalanan, “wajah Jawa” ini
tersenyum ramah, menyapa warga Solo yang
menontonnya; dan mencoba bersilaturahmi dengan mal, baliho, kafe, yang ada di kiri kanan jalan yang dilewatinya. Budaya tradisi hadir “di sini” dan “sekarang.” Peristiwa itu seakan merepresentasikan harapan dan pemikiran tentang lokus kebudayaan tradisi (Jawa) diantara hegemoni kebudayaan produk kapitalisme indutri. Di satu sisi ada keinginan menjadikan Solo sebagai kota modern, kota berbudaya urban yang – tidak bisa tidak – harus menjadi periferi kebudayaan global. Di sisi lain, kuat juga harapan agar Solo memiliki identitas budaya yang berwatak tradisional Jawa, dengan mempertahankan aset-aset budaya sebagai identitas kota Solo. Ada paradoks memang, tetapi itulah soalnya. Kita semua ingin Solo maju secara ekonomis, tetapi juga mengidamkan Solo yang beridentitas budaya. Siapapun yang menjadi pemegang otoritas kota Solo akan selalu dibebani oleh tuntutan agar kota ini memiliki identitas budaya. Ini beban sejarah. Ini wujud dari partikularitas afeksi kultural. Kita juga tahu, suatu komunitas pasti mewarisi kebudayaan dari pendahulunya. Namun Solo adalah pewaris pemegang hegemoni kebudayaan – budaya Jawa.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
3
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
Redefinisi Kebudayaan Kebudayaan merupakan kata yang memiliki arti paling kompleks dalam bahasa Inggris, kata Alan O’Connor (1995). Dikatakan selanjutnya, sering orang berfikir, kebudayaan berarti seni, kadang-kadang digunakan istilah high culture – opera, balet, teater – yang dikontraskan dengan kebudayaan pop atau “seni pinggiran”. Disaat yang lain diberi pengertian luas, sebagaimana yang dikonsepsikan oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial yang lain, yang mengkonsepsikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang kita kerjakan dalam kehidupan kita: mulai dari menyikat gigi dengan pasta gigi sampai dengan membangun gedung, mulai dari menonton olimpiade melalui televisi hingga mengambil bagian dan upacara pernikahan. Yang lain memberi tekannan para karakteristik suatu bangsa: Kebudayaan Indonesia, Kebudayaan Cina, Kebudayaan Amerika. Meskipun demikian, baik kebudayaan dalam arti “sempit” maupun “luas”, bisa juga dilihat dari dua sisi. Yang pertama memfokuskan kepada produk, seperti lukisan, musik, candi, dan sebagainya. Yang kedua menekankan pada aktivitas kreatif – mencipta musik, melukis. Sebaliknya, dalam perspektif nation dan etnik, kebudayaan dimengerti sebagai cara memahami dunia, perspektif dalam makna kehidupan. Pandangan lain kita kutipkan dari Umar Kayam (1981), yang memandang kebudayaan selalu berubah untuk menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Menurut budayawan ini, kebudayaan dimengerti sebagai "proses upaya masyarakat yang dialektis
dalam menjawab setiap permasalahan dan tantangan yang
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
4
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
dihadapkan kepadanya. Dan kebudayaan, dengan demikian, adalah sesuatu yang gelisah, yang terus-menerus bergerak secara dinamis dan pendek". Sifat dialektis ini mengisyaratkan adanya suatu "kontinuun", suatu kesinambungan sejarah. Hal senada juga dikemukakan oleh S.I. Poeradisastra yang merumuskan kebudayaan sebagai "suatu organisme hidup yang berubah-ubah di dalam ruang dan waktu, menjawab
keperluan
insani..."(1981), atau dengan kata-kata
Bronislaw Malinowski, "culture is essentially a response to human need" (1981). Singkatnya, kebudayaan bisa dan selalu berubah untuk keperluan memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat. Fungsi kebudayaan tidak hanya sebagai preservasi, tetapi juga inovasi, yakni menjawab kebutuhan-kebutuhan obyektif masyarakat yang selalu berubah, di masa kini dan masa mendatang. Membicarakan fungsi inovatip kebudayaan mengalirkan pemikiran pada perubahan sosok kebudayaan. Kebudayaan bukan lagi sebagai "kata benda", melainkan sudah ditekankan pada "kata kerja"; bukan saja berupa benda-benda antik, candi, museum, dan sejenisnya, tetapi kini kebudayaan dihubungkan dengan "cara" menciptakan benda-benda elektronika, perilaku transaksi jual beli atau gaya berbelanja (keluar negeri), perilaku manusia berilmu pengetahuan dan berteknologi. Persoalan budaya yang kita hadapi kini, bukan lagi polemik antara tradisionalisme dan modernisme, melainkan telah bergeser dan ditekankan pada kondisi kekinian, yang mengakui kenyataan empirik bahwa dunia kini adalah dunia kecanggihan teknologi, dunia ilmu dan teknologi, era komputer, pasar
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
5
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
bebas,
globalisasi,
dan
juga
dunia
televisi.
Dr.
M.
Sastrapratedja
merumuskannya sebagai "demitologi ilmu dan teknologi". Perspektif yang memandang kebudayaan sebagai proses dialektika dan perubahan dalam menjawab permasalahan individu dan masyarakat, sebagai “kata kerja”, inovatif, serta mengakui bahwa kebudayaan berarti kecanggihan teknologi, dunia ilmu dan teknologi, era komputer, pasar bebas, globalisasi, menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dalam mengkonsepsikan kebudayaan. Bambang Sugiharto menulis begini (Kompas, 3 Desember 2003); Ada beberapa tendensi umum yang terus-menerus berlaku dalam pemahaman modern atas kebudayaan itu, yang sebetulnya kini telah menjadi problematis. Pertama, tendensi untuk memandang kebudayaan sebagai sistem makna secara sinkronik dan a-historis. Kalaupun sejarah dilihat di sana, maka itu potongan-potongan tertentu saja sejauh relevan dalam penyelidikan makna beserta konteksnya. Kedua, kebudayaan selalu dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan konsistensi dan integrasi antarunsurnya, kendati kompleks. Ketiga, kebudayaan dipahami sebagai semacam konsensus sosial tentang kepercayaan, sikap dasar, dan disposisi yang tepat (R Benedict). Dengan demikian, kebudayaan sekaligus juga dianggap sebagai prinsip utama tatanan sosial. Akibat dari pergeseran paradigma macam itu, kini pendekatan yang memahami kebudayaan secara sistemis dan a-historik tidak lagi meyakinkan. Bambang Suguharto selanjutnya mengusulkan: “Akan lebih strategis memandang kebudayaan sebagai proses pertukaran dan proses pengaruh-mempengaruhi dalam
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
6
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
sejarah yang kompleks. Kebudayaan adalah gambaran sementara dan imajinatif tentang persilangan-persilangan dari berbagai aliran.”
Budaya Tradisi: Masa Lalu dan Kekinian Solo memilik slogan ”Solo masa depan adalah Solo masa lalu.” Dalam konteks budaya tradisi, slogan ini bisa ditafsirkan sebagai “mengambil” budaya tradisi masa lalu untuk digunakan sebagai tata sosial masyarakat Solo di masa kini dan masa depan. Bisa pula diberi makna budaya tradisi “asli” sebagaimana yang digunakan dalam sistem sosial tradisional-feodalistik beberapa abad yang lalu, dihadirkan sekarang, pada masyarakat yang bersistem sosial kapitalistik. Kethek Ogleng barangkali termasuk kategori kesenian ini. Juga kentrung, tayub, Gandrung Banyuwangi, dan Reog Ponorogo. Ada yang menyebut wayang kulit, wayang wong, dan kethoprak sebagai kesenian tradisi. Semua kesenian tradisi ini lahir tidak pada pada jaman sekarang. Ia lahir jauh sebelum kita lahir, pada suatu sistem sosial yang lazim disebut agraris-tradisional, bahkan primitif. Kesenian rakyat ”diciptakan”, dihidupi, dan untuk memenuhi kebutuhan suatu komunitas, pada waktu itu, biasanya sebagai pendukung ritual tertentu. Karakteristik masyarakat yang melahirkan seni rakyat sebagai budaya tradisi ini bisa digambarkan secara singkat. Begini. Ia merupakan masyarakat komunal organik yang utuh, dengan seperangkat nilai dan norma yang mengatur anggota-anggotanya secara efektif. Ikatan sosial masih terjalin kuat. Pada masyarakat ini lahir kebudayaan rakyat (folk culture), yang secara langsung merefleksikan pengalaman dan kehidupan masyarakat awal. Bentuk-bentuk
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
7
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
kesenian rakyat, kesenian tradisional dan primitif, lahir untuk menjawab kebutuhan menjaga keutuhan nilai masyarakat awal. McDonald, seorang teoritisi budaya massa, yang dikutip Strinati (2007: 11), menggambarkan seni rakyat sebagai berikut: ”Seni rakyat lahir dari bawah. Ia merupakan suatu ekpresi spontan dan asli dari rakyat kebanyakan, dibentuk mereka sendiri, nyaris tanpa memanfaatkan budaya tinggi, untuk memenuhi kebutuhan mereka. ... Seni rakyat adalah pranata rakyat sendiri, taman kecil pribadi mereka yang terlindung dari taman resmi nan Agung Budaya Tinggi sang tuan. Budaya massa menghancurkan dinding pembatas itu, mengintegrasikan massa ke dalam suatu bentuk Budaya Tinggi yang diturunkan nilai dan dengan demikian menjadi salah satu instrumen dominan politis.”
Meski tipe masyarakat yang melahirkannya boleh dikatakan tidak bisa kita jumpai sekarang, namun kesenian rakyat masih bisa kita jumpai. Dengan begitu, sesungguhnya kesenian rakyat berhasil menembus waktu, namun tentu saja fungsi ritualistiknya telah hilang bersama terpinggirkannya tipe masyarakat yang melahirkannya. Jadi, bagaimana kita memandang masa lalu, memperlakukan seni tradisi? Masa lalu itu penting dan berharga, kata Bambang Sugiharto, bukan karena ia adalah konfigurasi sistem-sistem kita yang sangat khas dan unik tanpa tanding; bukan karena ia adalah gudang penyimpanan kekayaan kultural antik atau album prestasi tinggi kita di masa lalu; bukan pula karena ia adalah manifestasi sejarah penentuan-diri kita yang otonom. Masa lalu itu berharga dan penting sebab ia adalah bahan atau unsur-unsur yang telah membentuk kesadaran kita; adalah akar ketaksadaran kolektif perilaku dan nilai-nilai kita; adalah simbol- simbol yang telah menyingkapkan makna
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
8
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
kehidupan dalam ruang dan waktu bagi kita; tetapi juga adalah jenis rasionalitas khas yang telah membuat hidup jadi bisa dipahami.
Kebudayaan Massa Seni tradisi, kesenian rakyat, hidup dalam msyarakat yang didominasi kebudayaan massa. Karena budaya massa lahir dalam masyarakat massa, maka pada tipe masyarakat demikian lah kesenian rakyat kini mencoba hidup. Berikut ini adalah gambaran keduanya: masyarakat massa dan budaya massa. Ciri utama masyarakat massa adalah adanya atomisasi individu, yakni individu-individu saling berhubungan menurut hubungan atom dalam wacana dunia ilmu kimia atau fisika. Masyarakat massa terdiri dari individu-individu atom seperti ini, individu yang berhubungan dengan individu lain tanpa didasari oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya. Individu atom adalah manusia-manusia yang berhubungan atas dasar kontrak, berjarak dan bersifat sementara ketimbang sebagai ikatan komunal yang erat. Menurut Strinati (2007: 7), proses atomisasi ini disebabkan oleh runtuhnya peran lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat sebagai akibat meledaknya industrialisasi dan urbanisasi. Keluarga, desa dan gereja, yang dahulu pernah memberikan perasaan identitas psikologis, kepastian moral dan sosial, kini digantikan perannya oleh media massa dan pelbagai bentuk budaya populer. Dalam kondisi demikian, individu membutuhkan acuan moralitas baru. Peran inilah yang diisi oleh budaya massa dan budaya populer, sebagai pemberi pegangan nilai moral dan sosial dalam masyarakat.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
9
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
Budaya populer tidak lagi dipandang sebagai budaya rendah, melainkan sebaliknya, budaya dominan yang diterima, didengar dan diikuti secara luas dalam realitas masyarakat dewasa ini. Hal ini disebabkan oleh sifat budaya pop yang difahami sebagai ekspresi kebudayaan yang memiliki ciri-ciri ringan, sesaat, gampang diterima masyarakat, massal, dan menghibur. Ciri-ciri yang lain adalah: 1.
Diproduksi oleh industri budaya.
2.
Bersifat pervasive—ada di mana-mana dan di segala lapisan sosial.
3.
Memuaskan kebutuhan fungsi sosial tertentu—menjadi medium pengalih keresahan sosial.
4.
Lebih menekankan kemampuan “komunikatif” ketimbang penilaian dan penghargaan kualitas; lebih menyukai penghargaan pasar ketimbang penghargaan para kritisi seni.
5.
Lebih memilih estetika persepsi (persepsi pasar) ketimbang estetika kreasi (kualitas penciptaan).
6.
Kebudayaan tinggi mapan & “abadi” meskipun publiknya sedikit; Budaya pop jumlah penikmatnya banyak meskipun berjangka pendek.
7.
Kebudayaan tinggi mau mengorbankan ruang untuk memenangkan waktu.
8.
Budaya tinggi berpretensi mengabdi pada masa depan, sedangkan kebudayaan pop lebih mementingkan masa kini.
Hubungan antara budaya pop dan budaya massa dijelaskan oleh Strinati (1995: 10). Budaya massa difahami sebagai budaya populer yang diproduksi
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
10
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
melalui teknik produksi massal dan diproduksi demi keuntungan. Budaya massa adalah budaya komersial, produk massal untuk pasar massal. Dan budaya massa, dengan demikian, tidak lain dari metamoforsa komoditas dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat. Ciri budaya pop dan budaya massa, serta kondisi masyarakat massa seperti yang sedikit dipaparkan di atas bisa menjelaskan kenapa seni tradisi kethoprak dihumorkan, goro-goro dalam wayang kulit lebih dominan ketimbang esensi cerita atau ajaran moralnya. Artinya, keduanya telah menjadi kebudayaan pop dan kebudayaan massa, dengan ciri-ciri seperti di atas.
Reproduksi Mekanis: Reduksi Makna Salah satu ciri budaya massa adalah produksi massal – pelibatgandaan produk dengan cara reproduksi mekanis. Secara teknis, gampang untuk dikerjakan: sebuah seni rakyat, gandrung Temu umpamanya, direkam di atas VCD, diproduksi secara massal, kemudian diedarkan. Namun reproduksi mekanis dipastikan akan mereduksi makna. Kita bisa merasakan sifat ”kerakyatan” Gandrung Temu ketika menontonnya secara ”live” di lapangan desa, tetapi tidak di atas VCD. Makna berada pada saat produksi, kata Adorno, seperti yang dikutip Amrih Widodo (Kompas, 13 Januari 2008). Karena itu, ia mengutuk modernisasi. Bagi Adorno keaslian terkait dengan auranya, dengan rohnya, yang dihidupi masyarakat di sekitarnya. Ini yang disebut auratic culture. Sementara Walter Benjamin melihat makna pada konsumsi. Ketika suatu produk budaya keluar dari komunitasnya melalui reproduksi secara mekanis, artinya menjadi sangat lain. Itulah yang disebut
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
11
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
sebagai demokratic culture. ”Hierarkhi dalam komunitas tak ada lagi”, sambungnya. Pendapat Leo Ching, juga dikutip Amrih, lebih jauh lagi. Ilmuwan kajian kebudayaan Timur-Barat dari Duke Unversity California ini menyatakan, di pasar budaya global, yang keluar dari komunitas bukan lagi seninya, tetapi ”penanda” dari seni itu. Itulah yang direproduksi oleh mekanisme komodifikasi kapitalisme. Bedaya Ketawang, Keraton Surakarta, Anglir Mendhung, dan lain-lain hanya sebagai referensi, tak terlibat dalam pertukaran komoditas budaya. Pasar itu adalah pasar penanda saja. Penanda bahwa barang di suatu tempat punya referensi ke tempat lain, mungkin dengan Asmat di Papua, dan Ainu di Jepang, dan lain-lain, dibutuhkan dalam struktur kapitalisme yang merasa memberi warna pada produkproduknya. Penanda tak lagi berisi secara esensial apa yang disebut sebagai kesenian tradisi, sehingga ketika lagu-lagu dari suatu komunitas tradisi di-download, lagu itu tidak mengacu lagi pada komunitas asalnya. ”Mau dipakai untuk apa tak ada hubungannya dengan bagaimana seharusnya dipakai.” Ini kata Amrih Widodo.
Inovasi, Metamorfose Upaya untuk “mengindustrikan” seni rakyat dan tradisi sesungguhnya sudah berlangsung. Kethoprak, contohnya, “dimodifikasi” menjadi Kethoprak Humor – seperti yang kita saksikan di televisi swasta, beberapa tahun lalu. Wayang Kulit juga melakukannya dengan memperpanjang waktu untuk adegan “goro-goro” dan “limbukan”, yang berarti juga “menghumorkan” wayang kulit. Wayang kulit juga
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
12
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
melakukan eksperimen dengan pakeliran padat. Mereka berusaha mendekatkan diri dengan penonton. Hal yang sama juga terjadi pada seni tari, dan seni rakyat yang lain. Dari sini kita mencatat, pertama, seni tradisi (”pertunjukan”) telah meluaskan lokus aktivitasnya, dari yang semula digelar di tempat-tempat tertentu dan menjadi bagian dari ritual pada sistem sosial tradisional, menjadi pertunjukan yang lebih independen. Beberapa jenis tari keraton, contohnya, yang dulu bersifat sakral, kini bisa dipertunjukan di tempat independen. Wayang kulit juga demikian. Ini artinya, yang kedua, ada perubahan fungsi, dari fungsi ritual-magis pada masyarakat tradisional berubah menjadi fungsi tontonan pada masyarakat yang lebih egalier. Dengan begitu, tanggungjawab sang senimannya pun berubah, dari tanggungjawab kepada patron tradisional beralih kepada massa, publik, bahkan konsumen. Seperti apa seni itu tidak lagi bergatung pada penguasa tradisional, tetapi bergantung pada ”selera” konsumen. Konsumen lah yang menjadi ”raja”, bukan patron sebagai penguasa dalam sistem sosial tradisional. Ketiga, berubahnya seni tradisi menjadi tontonan sesungguhnya merupakan respons terhadap berubahnya masyarakat: dari masyarakat feudal-borjuis ke masyarakat massa. Jadi benar jika dikatakan, kebudayaan merupakan situs bagi proses-proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh pelaku kebudayaan sebagai respons terhadap kondisi kekinian. Maka, boleh dikatakan, industri kreatif yang berbasis budaya lahir dari responsnya terhadap adanya masyarakat massa ini.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
13
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
Sikap Budaya Membumikan seni tradisi dan kebudayaan pada umumnya, bisa dilakuan dengan membangun pemahaman, kesadaran, dan pilihan sikap tertentu atas kebudayaan.
Yang pertama, adanya kesadaran dari komunitas budaya itu akan
kebudayaannya, yang berarti sadar bahwa mereka secara aktif turut memikirkan dan merencanakan arah yang akan ditempuh oleh kebudayaannya (van Peursen, 1985: 10). Komunitas budaya dalam konteks budaya Jawa adalah masyarakat Surakarta
pada
umumnya,
dan
khususnya
pemerintah
kota
Surakarta/DPRD/politisi, para ilmuwan sosial, dan para budayawan/ seniman. Kedua, mengarahkan,
adanya
kesadaran
mengembangkan,
bahwa
dan
kita
sendirilah
menciptakan
kembali
yang
sanggup
secara
baru,
menyumbangkan nilai-nilai dan bentuk tingkahlaku baru yang barangkali tidak dikenal atau bahkan ditolak dalam warisan budaya yang semula kita terima (Kleden, 1987: 3). Dengan demikian, kita bertindak sebagai “agen kebudayaan”, bukan sekadar sebagai “resipien kebudayaan” yang bertindak sebagai “penerima” dan “pewaris” kebudayaan. Ketiga, adanya kesadaran bahwa kebudayaan, termasuk kebudayaan Jawa, bersifat hibrida. Artinya, tidak ada kebudayaan yang tetap dan tegas dalam identitas budaya. Juga tidak ada yang murni dan monolitik. Budaya merupakan situs bagi proses-proses negosiasi yang tak putus-putus yang dilakukan oleh pelaku kebudayaan sebagai respons terhadap kondisi kekinian. Dengan demikian sebutan “Jawa” atau “Barat” selalu bersifat kompleks dan majemuk karena konteks mereka yang juga kompleks dan majemuk (Sahal, 2004).
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
14
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
Keempat, harus disadari bahwa identitas budaya itu tidak bisa utuh, murni, monolitik, dan bulat. Identitas budaya yang terbentuk merupakan dialektika, hasil interaksi dan pertemuan dengan kebudayaan lain, dari waktu ke waktu, sehingga identitas budaya selalu mengalami inventifikasi terus-menerus. Kebudayaan tak pernah final, “jadi”, serta merupakan cerita yang belum dan tak pernah selesai, karena kebudayaan merupakan hasil respon terhadap kebutuhan jamannya. Kelima, adanya kesadaran bahwa terdapat perubahan dalam hubungan pelaku budaya. Dulu hubungan itu bersifat “struktural-hirarkhis” yang dikenal sebagai patron-client; Kini berubah menjadi bersifat “relasional-transaksional”, yang dikenal sebagai hubungan “produsen-konsumen”; hubungan vertikal digantikan hubungan horizontal. Keenam adalah pembalikan pandangan, dari kebiasaan dalam memandang perkembangan kebudayaan sebagai hasil spontanitas, kepada kesadaran untuk memandang kebudayaan sebagai hasil perencanaan dan intervensi secara aktif dan bijaksana. Ketujuh, hubungan dengan asas kebebasan dalam kebudayaan umumnya, dan dalam kesenian khususnya. Kebebasan merupakan prasyarat bagi daya cipta. Semakin luas kebebasan, semakin tinggi tingkat daya cipta dalam kebudayaan. Dengan perkataan lain, kebebasan adalah permintaan (demand) dari fihak kebudayaan, yang akan dipertukarkan dengan kreativitas yang ditawarkannya (supply). Adapun fihak yang diharapkan mensuplai kebebasan adalah bidang politik. Kebebasan budaya akan berisikan kebebasan wawasan, tingkahlaku yang tak terbebani, alam pikiran yang leluasa, dan kesanggupan menerobos horizon yang diciptakan oleh situasi masa kini.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
15
Mursito BM : Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa
Kedelapan mengubah pandangan yang terlalu estetis tentang kebudayaan, menjadi pandangan yang lebih berimbang, di mana baik unsur estetis maupun unsur progresif sama-sama mendapat tempat yang layak. Dalam hal “kebudayaan progresif” ini, S. Takdir Alisjahbana, membuat tipologi kebudayaan, yang ditandai oleh tiga aspek; yakni aspek ekspresif dalam seni dan agama; aspek progresif dalam ilmu, teknologi dan ekonomi; dan aspek organisasional dalam politik, yakni kekuasaan dan solidaritas. Dalam praktik ini berarti apresiasi kebudayaan yang berimbang tidak akan terpusat hanya kepada apresisasi seni, tetapi juga kepada apresiasi intelektual, ilmiah, dan teknologi. ** Daftar Pustaka Kleden, Ignas. (1987). Berpikir Strategis Tentang Kebudayaan, Majalah Prisma, Edisi Maret. Kuntowijoyo. (1987). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Khayam, Umar. (1981). Budaya Massa Indonesia. Majalah Prisma No. 11 Edisi Maret. O’Connor, Alan. (1995). Cultur and Communication, dalam Downing, John at al, eds.. Questioning The Media. London: Sage Publications. Peursen, Van. (1985). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Strinati, Dominic. (2007). Popular Culture. Terj. Abdul Mukhid. Yogyakarta: Jejak. Widodo, Amrih. Kompas, 13 Januari 2008.
Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 2 Juli 2010
16