Kajian Linguistik, Februari 2015, 99-127 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660
Tahun ke-12, No 1
TRADISI MARTAHI KAREJO MASYARAKAT ANGKOLA: KAJIAN SEMIOTIK SOSIAL Ilham Sahdi Lubis
[email protected] Amrin Saragih Universitas Negeri Medan Mhd. Takari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak Penelitian ini mengkaji tradisi lisan yang digunakan pada acara martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini mengungkapkan tiga permasalahan yang dianalisis secara ilmiah, pertama, realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola, kedua pengkodean makna dalam teks makkobar, dan ketiga makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bagaimana makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola, pengodean makna kedalam teks makkobar, dan menjelaskan makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola. Penelitian ini menggunakan teori semiotik sosial dengan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupateks hobar dalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa realisasi makna interpersonal dalam bahasa Angkola meliputi subjek, predikator, dan keterangan yang terdapat pada teks makkobar. Pengkodean makna dalam teks makkobar meliputi konteks situasi yang terdapat dalam teks makkobar yaitu medan wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Makna yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola terdapat pada nilai-nilai kearifan lokal yang terkadung dalam teks makkobar yaitu nilai kearifan gotong-royong, nilai kearifan dalam bermusyawarah, nilai kearifan kehormatan, dan nilai kearifan kekerabatan. Kata kunci: martahi karejo, semiotik sosial, realisasi interpersonal, nilainilai ORAL TRADITION MARTAHI KAREJO OF ANGKOLA SOCIETY: SEMIOTIC SOCIAL STUDY
Abstract This research focuses the oral tradition used to show martahikarejo of Angkola society. This study discussed three problems analyzed, first, the realization of interpersonal meaning in Angkola language, second encoding the meaning in text makkobar, and the third to contained meaning in the traditions of the martahi karejo of Angkola society. The purpose of this study is to described how interpersonal meaning is realized in Angkola language, 99
Ilham Sahdi Lubis
encoding meaning in makkobar text, and explained the meaning contained in the traditions of the martahikarejo of Angkola society. This study used a social semiotic theory with qualitative descriptive approach. The data in this research is transcripts text makkobar from a data source of video recordings and interview data from informant. The findings in this research indicated that the realization of interpersonal meaning in Angkola language that are subjects, predikators, and the adjuncts which contained in the makkobar text. Makkobar text encoding the meaning in the context of the situation included the makkobar text contained of field of discourse, tenor of discourse, and mode of discourse. Meaning contained in oral traditions martahikarejo of Angkola society contained in the values of local wisdom within the makkobar text that are moral values of mutual assistance, the value of wisdom in deliberation, moral values of honor, and the moral values of kinship. Keywords: martahi karejo, semiotics social, the realization of interpersonal, values
LATAR BELAKANG Masyarakat Angkola sampai saat ini masih menjalankan upacara adat untuk berbagai keperluan. Upacara adat adalah suatu hal yang penting bagi masyarakat Angkola. Pada masyarakat Angkola sering terdengar ungkapan-ungkapan yang mengatakan adat adalah adik dari ibadah ”Anggi ni ibadat do adat” agar dilaksanakan ibadah dan adatnya “aso dilaksana on ima ibadat dohot adat na”, dimana kedua ungkapan tersebut merupakan gambaran kedekatan adat dengan sebagian besar masyarakat Angkola. Siregar (2012: 4) mengatakan acara adat istiadat dalam etnis Angkola terdiri atas duka cita “siluluton” dan suka cita “siriaon”. Upacara perkawinan adalah horja (pesta) adat suka cita. Prosesi upacara perkawinan Angkola dimulai dari musyawarah adat makkobar/makkatai, yakni berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na tolu, harajaon, dan hatobangon. Begitu juga halnya dalam adat martahi yang dilaksanakan dalam masyarakat Angkola, unsur-unsur tersebut juga ikut melaksanakan dan memberikan hobar dalam adat martahi. Martahi dalam adat Angkola terdiri dari beberapa jenis yaitu tahi ungut-ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang Haruaya mardomu bulung (maralokalok) dan martahi karejo. Tahi ungut-ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang Haruaya mardomu bulung (maralok-alok) merupakan bentuk martahi yang diadakan di horja haroan boru (pengantin laki-laki), sedangkan martahi karejo adalah bentuk martahi yang dilaksanakan di horja pabuat boru (pengantin perempuan) (Siregar, 1977: 4). Martahi karejo adalah musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat (Nasution, 2012: 1). Penelitian ini membahas tentang Martahi karejo yaitu berupa musyawarah yang diadakan di lingkungan masyarakat Angkola. Dalam musyawarah ini dihadiri koum sisolkot (kerabat dekat), hatobangon (yang dituakan), harajaron (raja) dan orang kaya (juru bicara). Musyawarah ini bertujuan untuk menyerahkan pelaksanaan kerja pesta
100
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
kepada anak boru, ina-ina (ibu-ibu), ama-ama (bapak-bapak) dan naposo nauli bulung (muda-mudi) (Siregar,1977: 4). Nasution (2012: 1) menyatakan dalam Martahi Sahuta itulah suhut menjelaskan bahwa ia bermaksud melaksanakan horja godang (pesta besar) dan mengharapkan bantuan dari semua pihak agar horja dapat kiranya berlangsug dengan baik. Dalam mufakat inilah terperinci siapa yang ikut rombongan mangalap boru, siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi, kesenian, undangan, dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja. Martahi karejo merupakan salah satu tradisi lisan dalam masyarakat Angkola yang digunakan pada upacara perkawinan. Menurut Roger Tol dan Prudentia dalam Hoed (2008: 184) tradisi lisan merupakan berbagai pengetahuan dan adat istiadat yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Menurut Sibarani (2012: 112) kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika kearifan lokal itu difokuskan pada nilai budaya, maka dapat juga didefinisi dengan cara lain yakni kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. Kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Angkola sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya karena adanya kearifan lokal tersebut sudah menjadi suatu tradisi.Kearifan lokal yang ada dalam tradisi tersebut yakni, seperti gotong royong yang terdapat dalam adat perkawinan masyarakat Angkola terutama pada adat martahi karejo. Pada penelitian ini akan menggunakan kajian teori semiotiksosial yang dikembangkan oleh Halliday (1978) karena tepat untuk mengkaji makna yang terkandung pada hobar dan makna semiotik simbol-simbol adat pada martahi karejo, serta menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi lisan martahi tersebut. Dari paparan yang telah disebutkan diatas bahwa pelaksanaan tradisi lisan pada upacara adat martahi karejo di Angkola dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan. Oleh karena itu, peneliti menganggap perlu untuk memaknai tradisi lisan yang terdapat dalam martahi karejo dengan menggunakan kajian semiotik sosial sebagai pisau bedah dan makna semiotik pada perangkat adat serta melihat nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya. Penelitian ini berfokus pada kajian semiotik sosial untuk mengungkapkan semua tanda dan simbol yang terdapat pada teks hobar baik dari segi media yang digunakan selama prosesi dan mengungkapkan makna yang terkandung dalam teks tradisi lisan Martahi Karejo pada upacara perkawinan masyarakat Angkola yang direalisasikan terhadap makna interpersonal. Berkaitan dengan latar belakang masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah makna interpersonal direalisasikan dalam bahasa Angkola? 2. Bagaimanakah makna konteks situasi dikodekan ke dalam teks hobar? 3. Apakah makna semiotik yang terkandung dalam tradisi martahi karejo masyarakat Angkola?
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 1. Konsep tradisi martahi karejo Pada bab ini dideskripsikan hasil penelitian tentang martahi pada upacara adat masyarakat Angkola dan menjelaskan bentuk-bentuk martahi yang dilaksanakan sebelum 101
Ilham Sahdi Lubis
acara pernikahan. Serta menjelaskan hubungan konteks budaya dan konteks situasi pada acara martahi karejo. Beberapa proses upacara martahi karejo pada masyarakat Angkola.
2. Jenis-jenis Martahi a. Tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot Tahi ini disebut sebagai martahi ungut-ungut, pada tahap ini biasanya terjadi musyawarah antara suami istri yang dilakukan di dapur pada saat istri sedang memasak dan suami sedang minum kopi duduk disebelahnya, kemudian istrinya menceritakan tentang anak perempuan mereka. Tahi ini dilaksanakan antara suami dan istri di dalam rumah, mereka ingin menyampaikan kepada kahanggi dan anak boru bahwasanya anak perempuan mereka telah dilamar, oleh karena itu suami istri tersebut ingin meminta pendapat kepada kahanggi dan anak borunya mengenai calon menantu dan keluarganya. b. Tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat Pada tahap berikutnya Tahi dilakukan di sebuah gubuk pada waktu menjelang siang hari yang di hadiri oleh orangtua, kahanggi, dan anak boru untuk menceritakan bahwasanya anak mereka ingin menikah. Orangtua si anak menceritakan bahwa anaknya ingin menikah dan meminta pendapat kepada kahanggi, anak boru dan kerabat yang lain apakah mereka kenal dengan calon menantu tersebut, dan kesimpulannya adalah anak boru pergi untuk menyelidiki keluarga calon menantu, melihat bagaimana keadaan rumah, keadaan saudara dan kaum kerabatnya dan disini juga anak boru disuruh untuk bertanya kepada keluarga calon menantu tersebut. Dalam hal ini anak boru akan menyampaikan bahwa kedua anak ini sudah menjalin hubungan yang baik dan memiliki niat yang baik untuk menikah. Disini anak boru akan menceritakan keadaan keluarga mereka agar calon mertua atau pihak laki-laki ini mengetahuinya juga. Setelah anak boru mendapat kesimpulan dari pihak keluarga tersebut maka anak boru ini pulang dan menyampaikan kepada keluarganya bahwasanya pihak dari keluarga laki-laki telah menerimanya. c. Tahi sabagas atau tahi dalihan natolu Tahi ini dilaksanakan oleh mora, kahanggi, dan anakboru dari pihak perempuan, tahi ini dilaksanakan dirumah anak dari perempuan bahwasanya ingin menceritakan kepada mora, kahanggi dan anakboru bahwa telah diselidiki keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Orangtua ini akan meminta pendapat kepada moranya bagaimana selanjutnya dari keinginan dari anak tersebut, disamping itu orangtua perempuan ini akan menceritakan keadaan keluarganya bahwa pada saat itu keadaan keluarga masih belum cukup untuk membiayai pesta anak tersebut, kemudian dari salah satu pihak antara mora, kahanggi dan anak boru akan menawarkan apa yang bisa dia kasih untuk acara tersebut misalnya seperti kambing atau kerbau. Dalam hal ini semua anggota keluarga akan bermusyawarah untuk menngadakan suatu adat yaitu marpege-pege yaitu musyawarah anatara keluarga dan tetangga yang diadakan pada malam hari untuk membantu keluarga yang ingin mengadakan pesta, disini akan dikumpul biaya dari keluarga, kaum kerabat dan tetangga yang ada di kampung tersebut. d. Tahi sahuta pasahat karejo Tahi ini dihadiri oleh hatobangan dan harajaon, dan dalihan natolu, di dalam tahi ini disediakanlah sirih untuk dipersembahkan kepada harajaon agar bisa terlaksanakan tahi ini, dan pada tahi sahuta pasahat karejo ini disediakan makanan karena kaum 102
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
kerabat akan berkumpul drumah pihak yang ingin melaksanakan pesta ini. Dalam hal ini makanan yang disediakan oleh keluarga tersbut adalah pulut dan inti, dan tahiini dilaksanakan sehabis sholat isya, disini bertanyalah anak boru kepada orang kaya bagaimana pelaksanaan acara yang akan diadakan dilaksanakan nanti, dan harajaon pun akan menjawab setelah kita selesai makan pulut dan inti baru kita bicarakan nanti, setelah selesai makan maka anakboru akan bertanya lagi bagaimana untuk kelanjutannya. Maka raja akan menjawab karena kita ingin martahi ini disini maka dalam hal ini harus sidorkon terlebih dahulu sirih untuk melaksanakan tahi tersebut. Salah satu pihak keluarga akan mengambil perangkat adat ini yang di dalamnya termasuk sirih dan menyodorkannya kepada harajaon dan mora dan kemudian akan disodorkan juga kepada semua yang hadir dirumah itu. Kemudian suhut atau keluarga yang ingin mengadakan pesta ini akan menyampaikan keluh kesahnya kepada harajaon dan suhut ini akan menyampaikan akan melaksanakan pesta. Dalam hal inilah musyawarah untuk menitipkan pekerjaan kepada para keluarga, dan tetangga yang ada dikampung itu. e. Tahi godang Dalam hal ini hadirlah koum sisolkot, hatobangan,harajaon, orang kaya luat dan raja panusunan bulung, dalam tahi ini juga dilaksanakan dengan menggunakan burangir atau sirih dan dalam tahi ini disediakan makanan untuk memotong kambing karena akan melaksanakan tahi godang. Setujulah semuanya agar dilaksanakan pesta ini termasuk harajaon dan kaum kerabat kemudian akan menentukan waktu dan siapa saja yang akan di undang yang dikatakan oleh raja panusunan bulung, kemudian raja panusunan bulung akan menyampaikan bahwa alat untuk mengundang ini adalah haronduk panyurduan dibalut dengan abit godang, disini akan disuruh muda-mudi membawa burangir panyurduon atau yang disebut juga dengan burangir pudun-pudun untuk menjemput rajaraja agar datang melaksanakan kerja yang sudah di musyawarahkan. f. Tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung Setelah selesai dilaksanakan kerja tersebut datanglah semua para raja ke pesta ini, dalam hal ini semua sudah dipersiapkan yakni sudah menaikkan gondang, disini hanya melaksanakan pesta di kedatangan raja-raja, tahi ini disebut tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung karena di tahi ini semua raja-raja hadir dari semua kampung. 3. Bahasa Sebagai Semiotik Sosial Menurut Halliday (1978: 108) bahasa adalah suatu sistem semiotik sosial.Sistem semiotik bahasa tersebut meliputi unsur bahasa dan hubungan bahasa dengan unsur konteks yang berada diluar bahasa sebagai konteks linguistik dan konteks sosial. Konteks sosial merupakan unsur yang mendampingi bahasa dan merupakan wadah terbentuknya bahasa.Bahasa dan konteks sosial, tempat bahasa atau teks terbentuk juga merupakan semiotik. Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspekaspek sosial. Dalam proses sosial itu, menurut Halliday, konstruk realitas tidak dapat dipisahkan dari konstruk sistem semantis tempat realitas itu dikodekan. Selanjutnya, Halliday (1978: 1) merumuskan bahwa language is a shared meaning potential, at once both a part of experience and an intersubjective interpretation of experience. Dalam komunikasi, berdasarkan pengalaman yang dimilikinya yang bersifat intersubjektif itu, 103
Ilham Sahdi Lubis
masing-masing partisipan akan menafsirkan teks yang ada. Dengan demikian, makna akan selalu bersifat ganda. Bahasa sebagai semiotik sosial memiliki ciri khusus yang berbeda dengan semiotik umum. Bahasa terbentuk di dalam masyarakat sebagai hasil interaksi manusia dengan alam semesta. Dengan situasi dan kondisi ini, bahasa tidak langsung berhubungan dengan alam. Dengan kata lain, tidak ada hubungan langsung antara aspek bahasa, seperti kosakata, teks, atau tata bahasa bahasa manusia dengan alam semesta (Saragih, 2012: 35). Formulasi bahasa sebagai semiotik sosial berarti menafsirkan bahasa dalam konteks sosiokultural tempat kebudayaan itu ditafsirkan dalam terminologis semiotis sebagai sebuahsistem informasi. Dalam level yang amat konkret, bahasa itu tidak berisi kalimat-kalimat, tetapi bahasa itu berisi teks atau wacana, yakni pertukaran makna (exchange of meaning) dalam konteks interpersonal. Mengkaji bahasa hakikatnya mengkaji teks atau wacana. Konteks tuturan itu sebuah konstruk semiotis yang memiliki sebuah bentuk yang memungkinkan partisipan memprediksikan fitur-fitur register yang berlaku untuk memahami orang lain. Melalui tindakan pemaknaan (act of meaning) sehari-hari, masyarakat memerankan struktur sosial, menegaskan status dan peran yang dimilikinya, serta menetapkan dan mentransmisikan sistem nilai dan pengetahuan yang dibagi. Kajian bahasa sebagai semiotik sosial dalam pandangan Halliday (1978108-113) mencakup sub-subkajian: (1) teks, (2) trilogi konteks situasi (medan wacana, pelibat wacana, dan modus wacana), (3) register, (4) kode, (5) sistem lingual, yang mencakup komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual, serta (6) struktur sosial. Dalam pandangan Halliday, teks dimaknai secara dinamis.Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1992: 13). Teks adalah contoh interaksi lingual tempat masyarakat secara aktual menggunakan bahasa, apa saja yang dikatakan atau ditulis, dalam konteks yang operasional (operational context) yang dibedakan dari konteks kutipan (a citational context), seperti kata-kata yang didaftar dalam kamus (Halliday, 1978: 109). Teks berkaitan dengan apa yang secara aktual dilakukan, dimaknai, dan dikatakan oleh masyarakat dalam situasi yang nyata. a. Konteks Situasi Konteks situasi adalah lingkungan sosial di mana wacana itu berada.Konteks situasi merupakan kerangka sosial yang digunakan untuk membuat dan memahami wacana dengan tepat, dalam pengertian sesuai dengan konteksnya (Eggins, 1994: 45-50). Medan wacana (field of discourse) adalah konteks situasi yang merujuk kepada aktivitas sosial yang sedang terjadi serta latar institusi tempat satuan- satuan bahasa itu muncul. Dalam menganalisis medan wacana terdapat tiga hal yang perlu diungkap; ranah pengalaman, tujuan jangka pendek, dan tujuan jangka panjang. Ranah pengalaman merujuk kepada ketransitifan yang mempertanyakan apa yang terjadi dengan seluruh “proses”, “partisipan”, dan “keadaan”. Field, bidang, atau isi, apa yang dibicarakan direpresentasikan pada makna pengalaman yang direalisasikan dalam klausa yang terdiri dari tiga unsur berupa; proses, partisipan, dan sirkumstan. b. Metafungsi Bahasa Makna metafungsional adalah makna yang secara simultan terbangun dari tiga fungsi bahasa, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual. Fungsi ideasional mengungkapkan realitas fisik dan biologis serta berkenaan dengan interpretasi dan representasi pengalaman. Fungsi interpersonal mengungkapkan realitas sosial dan berkenaan dengan interaksi antara penutur/penulis dengan pendengar/pembaca. Sementara itu, fungsi tekstual mengungkapkan realitas semiotik dan berkenaan dengan 104
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
cara penciptaan teks dalam konteks. Dalam setiap interaksi menurut Halliday dan Martin (1992: 30) bahwa antara pemakai bahasa, penutur menggunakan bahasa untuk memapar, mempertukarkan dan merangkai atau mengorganisasikan pengalaman. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia menurut Eggins (1994: 3) sekaligus disebut berfungsi tiga dalam komunikasi yaitu memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman yang secara teknis masing-masing disebut ideasional, antarpersona, dan tekstual. c. Fungsi Interpersonal Fungsi interpersonal merupakan tindakan yang dilakukan terhadap pengalaman dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, fungsi interpersonal merupakan aksi yang dilakukan pemakai bahasa dalam saling bertukar pengalaman linguistik yang terpresentasikan dalam fungsi pengalaman (experential meaning). Fungsi interpersonal membentuk hubungan sosial, termasuk penafsiran probabilitas oleh penutur serta relevansi pesan. Fungsi interpersonal ini merepresentasikan potensi makna penutur sebagai pelibat dalam proses interaksi atau sebagai pembicara dan pendengar atau antara penulis dengan pembaca. Pada tingkat interpretasi gramatika fungsi klausa diinterpretasikan bahwa klausa dibentuk dari interaksi dalam suatu kejadian yang melibatkan penutur atau penulis dan pendengar atau pembaca. d. Tradisi Lisan Tradisi lisan merupakan sebagai sesuatu yang disampaikan dalam masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya. Menurut Hoed (2008: 184), tradisi lisan adalah sebagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan. Masyarakat Angkola juga mempunyai sebuah tradisi dalam kehidupan bermasyarakat terutama dalam acara perkawinan. Adat perkawinan tidak terlepas dari tradisi lisan yang di dalamnya ada sebuah tradisi seperti martahi karejo. Martahi karejo merupakan salah satu tradisi lisan masyarakat Angkola yang hampir hilang akibat era globalisasi yang lebih mengutamakan manfaat praktis. Tradisi lisan itu sendiri dapat dilihat sebagai suatu peristiwa budaya atau sebagai suatu kebudayaan yang harus dilestarikan karena suatu alasan tertentu perlu dijaga dari kepunahannya serta menggali dan mengembangkan potensi tradisi lisan. e. Kearifan Lokal Pengertian dari kearifan lokal bila dilihat dari kamus Inggris-Indonesia, John M. Echols danHassan Syadilyterdiri dari 2 kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Lokal yang berarti setempat, sementara wisdom sama dengan kebijaksanaan.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengertian kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai, pandangan-padangan setempat atau (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. 4. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian Tradisi Lisan Baralek Gadang pada Upacara Perkawinan Adat Sumando Masyarakat Pesisir Sibolga dengan Pendekatan Semiotik Sosial oleh Harbi (2013) mendeskripsikan makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga dan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga. 105
Ilham Sahdi Lubis
Kontribusi yang diperoleh dari penelitian di atas masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, seputar analisis semiotika mendeskripsikan makna semiotik sosial yang terkandung pada tradisi lisan baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat pesisir Sibolga dan kearifan lokal yang terkandung pada proses baralek gadang pada upacara perkawinan adat sumando masyarakat Pesisir Sibolga, sementara penelitian ini mengkaji tentang tradisi martahi karejo masyarakat Angkola dan merealisasikannya ke dalam makna interpersonal. Dari keseluruhan sudut data hasil pada penelitian terdahuluumumnya membahas tentang upacara adat di Nusantara yang mempunyai makna-makna dan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam upacara adat dan perangkat adat yang masih dipakai dalam upacara perkawinan. Hal tersebut memberikan kontribusi yang relevan dengan penelitian ini yaitu, upacara adat martahi karejo dalam masyarakat Angkola. Penelitian-penelitian di atas memberikan kontribusi dari beberapa hal yaitu pada teori yang digunakan yaitu makna-makna semiotik yang terkandung pada teks lisan, dan bagaimana teks tersebut disampaikan berdasarkan konteks sosial yang meliputi konteks situasi dan konteks budaya. Pada penelitian di atas, data penelitian yang digunakan yakni sama-sama memanfaatkan sumber data lisan. Selanjutnya pada tataran metode penelitian inimemanfaatkan metode kualitatif dan metode tradisi lisan. Metode kualitatif digunakan sebagai metode penelitian untuk memperoleh pemahaman tentang tradisi lisan upacara adat martahi karejo dalam masyarakat Angkola.
METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh pengertian dan pemahaman umum tentang kehidupan sosial budaya mayarakat Angkola mengenai tradisi lisan martahi karejo. Pada penelitian dengan metode kualitatif, pendekatan yang sering digunakan adalah dengan pendekatan deskriptitf untuk menghasilkan serta menggambarkan data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa. Dengan demikian dalam metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif, peneliti mampu memberi gambaran yang jelas tentang tradisi lisan martahi karejo pada upacara adat masyarakat Angkola. Metode ini pada akhirnya akan menggambarkan dengan jelas tentang objek yang diteliti secara alamiah dan menjelaskan realita yang sebenarnya serta makna yang terkandung didalam tradisi lisan martahi karejo tersebut. 1. Lokasi dan waktu Penelitian Mahsun (2011: 72) menjelaskan penelitian yang dilakukan harus mencakup bahan atau materi penelitian, alat, jalan penelitian, variable dan data yang hendak disediakan dan analisis data. Bahan atau materi penelitian dapat berupa uraian tentang populasi dan sampel penelitian, serta informan, sampel penelitian dapat berupa lokasi atau daerah pemakaian bahasa tertentu. Menentukan lokasi merupakan salah satu tahapan penting dalam penelitian dan biasanya melibatkan para tokoh adat dan pamong karena banyak menyita waktu. Berdasarkan uraian tersebut, maka lokasi penelitian ini telah ditentukan di Kota Padangsidimpuan. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2014 sampai dengan Mei 2014. Pada waktu penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data dan sumber data yang diperlukan dengan menghadiri upacara adat perkawinan masyarakat yang masih melakukan tradisi martahi karejo dan mengumpulkan tokoh-tokoh adat serta perangkat adat yang dianggap penting pada penelitian ini.
106
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
2. Sumber Data dan Data Penelitian a. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks hobar dalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Moleong (2009: 132) menjelaskan, informan penelitian adalah sumber informasi utama yaitu orang yang benar-benar tahu atau pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian. Dalam hal ini besaran informan tidak menentukan, tetapi yang penting adalah kedalaman informasi yang diperoleh oleh peneliti. Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian. Pada penelitian ini Bapak St. Tinggi Barani menjadi sumber informan kunci pada penelitian ini, dengan melihat dan mempertimbangkan latar belakang beliau yang memang sangat mengetahui secara mendalam tentang segala kebudayaan serta tradisi adat istiadat masyarakat Angkola khususnya yang tinggal di daerah Tapanuli Selatan. b. Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks hobardalam bentuk transkrip yang diperoleh dari sumber data berupa rekaman video serta data hasil wawancara dari sumber informan. Moleong (2009: 132) menjelaskan, informan penelitian adalah sumber informasi utama yaitu orang yang benar-benar tahu atau pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif peneliti sekaligus berperan sebagai instrumen penelitian. Berlangsungnya proses pengumpulan data, peneliti benar-benar diharapkan mampu berinteraksi langsung dengan objek (masyarakat) yang dijadikan sasaran penelitian. Dengan arti kata, peneliti menggunakan pendekatan alamiah dan peka terhadap gejala-gejala yang dilihat, dirasakan serta dipikirkan (Salim dan Syahrum, 2007: 113). Dalam metode penelitian kualitatif, data dikumpulkan dengan beberapa teknik data sebagai berikut: Observasi atau pengamatan,Wawancara, Dokumentasi dan Kepustakaan a. Teknik Analisis data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992: 429) mengemukakan analisis data merupakan proses penyusunan atau pengolahan data agar dapat ditafsirkan lebih lanjut. Data yang baru di dapat terdiri dari catatan lapangan yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan studi dokumen harus dianalisis terlebih dahulu agar dapat diketahui maknanya dengan cara menyusun data, menghubungkan data, penyajian data dan menarik kesimpulan. Untuk menganalisis data di mulai dengan reduksi data yang didapat dan mengklasifikasikan data yang telah dikumpulkan. Peneliti juga mentranskrip data martahi karejo yang telah terkumpul lalu menterjemahkan teks ke dalam bahasa Indonesia. Setelah data diterjemahkan lalu dimaknai sesuai dengan teori yang digunakan dan 107
Ilham Sahdi Lubis
kemudia melihat kearifan lokal yang ada di dalam tradisi martahi karejo pada masyarakat Angkola.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Realisasi Makna Interpersonal Tradisi Martahi Karejo Dalam Masyarakat Angkola Bagian ini membahas tentang realisasi makna interpersonal yang terdapat pada teks hobar tradisi martahi karejo pada masyarakat Angkola yang meliputi Subjek yakni pelaku, Predikator yakni apa yang disampaikan dan Keterangan yakni bagaimana sesuatu disampaikan dan untuk apa sesuatu disampaikan. Langkah selanjutnya menentukan makna teks Hobar dan makna konteks sosial dari masing-masing situasi dan budaya Martahi Karejo pada upacara pernikahan adat masyarakat Angkola. Bentuk teks bahasa dalam tradisi Martahi Karejo, meliputi berpidato, dan berperibahasa. Pemaknaan teks dilakukan terhadap masing-masing baris teks pidato dan peribahasa yang diujarkan mengandung nilai budaya masyarakat Angkola dan makna semiotiknya. Teks hobar pada dialog pertama acara adat perkawinan masyarakat Angkola yang direalisasikan terhadap Makna Interpersonal diantaranya adalah sebagai berikut: Teks 1: Hata ni Suhut Santabi sampulu, sampulu noli marsantabi. Di langit na hu jujung, di tano hu jojahi. Parjolo au marsantabi, ompot adong na hurang lobi. Taradop tua sahala ni anak ni raja-raja dohot anak ni na mora-mora. Sumurung lobi di Raja Panusunan Bulung, haruaya parsilaungan, banjir paronding-ondingan, na malo sumambut lidung, patama na di angan-angan. Dison sumurdu burangir nami, ima: Burangir si rara huduk Sibontar adop-adop Dalan margalas bisuk Paboahon na dung dapot Ima burangir na hombang Dua sarangkap Anso hombang tahi Mardomu pokat Pangitean ni andung dohot lidung taradop anak raja-raja dohot anak na moramora di parsidangan na mulia on. Ia anggo dalan ni sinta-sinta na palalu si godang di roha ima salaho di langka-langka ni boru si nuan tunas na giot manopotkon anak namburana. Dari teks di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah Raja Panusunan Bulung, anak raja-raja, mora-mora, nami, anak raja, anak mora, boru, anak namboru. Subjek yang terdapat pada teks di atas mengacu kepada keluarga yang akan mengadakan pesta adat masyarakat Angkola. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah Jujung, marsantabi, taradop, sumurdu, margalas, mardome pokat, na palalu, giot manopotkon yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak yang akan meminta pertolongan kepadaraja Panusunan Bulung untuk melaksanakan pesta adat pada masyarakat Angkola. Sementara 108
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
yang menjadi Keterangan dari teks di atas adalah di langit, di tano, dison, huduk, adopadop, di parsidangan. Teks di atas digunakan pada saat pihak yang ingin mengadakan pesta akan meminta pertolongan kepada ketua adat untuk membantu kelangsungan pesta agar dapat terlaksana dengan baik, di mana dalam teks tersebut disampaikan oleh pihak yang ingin melaksanakan pesta yaitu Suhut yang diartikan sebagai “tuan rumah”. Teks di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat yang menunjukkan bahwa masyarakat Angkola memiliki sikap menghormati dan menghargai para ketua adat, sehingga hubungan kekerabatan masih terjalin dengan baik. Teks 2: Hata ni Kahanggi Ia bo ale tutu, santabi sampulu noli marsantabi, hu jujung do jari sampulu pajongjong adat dohot ugari na tutu madai andung dohot holos ni suhut si habolonan, taringot di langka-langka ni boru si nuan tunas. Songon on ma ibana, na paihut-ihut dalan, , na paihut padan ni ompunta na hinanan, manjalahi dongan matobang. Ia anggo hami kahanggina, laing songon pandokkon ni umpama do da. Muda dapot di tikkina sangape di masona, anso nian martoruk ni abara sude anak ni raja dohot anak ni namora. Pasaut patuluskon, ja na pasahat pasanggalkon tu tondi dohot badan ni si godang di roha. Tar botimada sahat ni hata sian hami kahanggina. Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah Suhut Si Habolonan, Boru Si Nuan Tunas, Hami, anak ni Raja, ni namora. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada Kahanggiyaitu saudara laki-laki dari Suhut beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri mereka, namora yaitusaudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari Suhut, serta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalahmarsantabi, jujung, pajongjong, taringot, palagut, paihut, manjalahi, paihut, manjalajahi, padokkon, pasaut patuluskon, pasahat pasanggalkonyang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak keluarga yang akan melaksanakan pesta adat.Sementara yang menjadi keterangan dari teks di atas adalah di langka-langka, dohot simbora, songon on ma ibana, di kayu laut, di tarlola, di tikkina. Teks 3: Hata ni Hombar Suhut Sauduran do da hata ni suhut si habolonan. Taradop sude anak ni raja na di parsangapan. Mangkoloskon lidung ni suhut si habolonan maradopkon anak ni raja dohot ni na mora, dalan pasaut baga-baga nadung honok di angan-angan. Maradu solkot ni na markoum, boti muse dongan sahuta. Songon pandokkon ni umpama: Baen ampagaga hurlang do da ampagaga dolok baen hita do na haduan, hita muse do na ancogot. Hita do artina naudut mar sipanginjangan, tempel marsipagodangan. Tarlobi songon on, payahan ni sigodang ni roha. Hami peda, hombar suhut laing na dohot ma, pasahat pasanggalkon taradop anak ni raja songon I anak ni na mora, botima. Dari teks peribahasa di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Subjek pada pribahasa di atas adalah au, Suhut si habolonan, anak ni raja, na mora,hita, hami. Subjek pada pribahasa di atas mengacu pada Suhut (yang mempunyai hajat pesta). Dalam hal ini yang termasuk Predikatordari 109
Ilham Sahdi Lubis
teks pribahasa di atas adalah marsantabi, mangido, mangkoloskon, maradopkon, marsipagodangan, yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak dari yang akan melaksanakan pesta adat. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks di atas adalah parjolo dohot sombangku, di parsangapan, songon on. Teks di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Angkola memiliki tata cara yang sopan untuk meminta tolong kepada para ketua adat dan hal tersebut dapat menjalin kekerabatan yang baik serta tradisi pada masyarakat Angkola dapat diwariskan secara turun temurununtuk memupuk rasa persaudaraan antara masyarakat dengan warga sekampungnya. Selain itu, masyarakat Angkola memiliki sikap saling menghormati dan meninggikan kepada para ketua adat dan warga sekampungnya.
Teks 4: Hata ni Anak Boru Santabi sampulu, sampulu noli santabi, parjolo do sumbangku, ampot adong hata na hurang lobi. Tarlobi di morangku, ima suhut sihabolonan di bagas na godang on. Songon I di raja Panusunan Bulung na manjadi uluan di parsidangan on maradu sude anak ni raja dohot namora. Ia anggo hata ni andung dohot holos ni suhut sihabolonan maradopkon anak ni raja dohot na mora, hatobangon, songon i dohot orang kaya. Na tama, na tupa madai. Laing na pastak pago-pago mada on, adat pangalaho ni ompunta na robian. Ia hami barisan anak boru, na torjak tu pudi do, jul-jul tu jolo. Anggo hami do laing na manjuljulkon morana do. Laing sapangido do hami sanga bia do dalan so tulus na tarsarkap di roha ni suhut sihabolonan. Boti mada hata name barisan anak boru. Dari teks di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah Suhut Sihabolonan, raja Panusunan Bulung, ni raja, namora, hami. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada pihak keluarga Suhut yang memiliki keinginan untuk mengadakan acara pesta adat yaitu anak boru yang dalam hal ini adalah saudara perempuan dari Suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah manjadi, na torjak, manjuljulkon, tarsarkap, yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak keluarga dari Suhut. Sementara yang menjadi keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di bagas na godang on, di parsidangan on, na hinan, saonnari, di roha ni suhut sihabolonan. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola selalu diadakan musyawarah adat untuk membicarakan masalah hajatan yang akan dilaksanakan oleh salah satu warga masyarakat Angkola untuk melestarikan tradisi. Teks 5: Hata ni Pisang Raut Hami sian anak boru Pisang Rahut na sauduran do hata nami mangihutkon hata ni na mora songoni dohot hata ni mo ni morangku, maradopkon anak ni raja dohot na mora. Anso dipasaut dipatulus aha na tarsangkap di roha ni suhut sihabolonan di bagas na godang on. Baen dison do raja panusunan Bulung songoni hatobangon maraut di orang kaya baen iba na do na pataya-taya adat dohot nampuna uhum ja na paganagana ugari. Dapot jolo nian marlapang ni pangarohai patuluskon baga-baga ni suhut sihabolonan di bagas na godang on. Ima taringot di na pajong-jong siualaon na patidahon godang ni roha taradop parumaen nagiot langka matobang. 110
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah au, anak ni raja, anak nimora, hami, Suhut Sihabolonan, raja panusunan Bulung, pataya-taya adat, nampuna uhum. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada Pisang Raut (ipar dari anak boru) yakni pihak keluarga Suhut yang memiliki keinginan untuk mengadakan hajat pesta. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di atas adalah mangihutkon, maradopkon, tarsangkap, marlapang, taringot yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak keluarga dari Suhut. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di roha ni suhut sihabolonan, di bagas na godang on, songoni. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola selalu memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola selalu berlapang hati dalam meyampaikan keinginannya kepada para ketua adat untuk melaksanakan hajatan atau acara adat. Teks 6: Hata ni Mora Ompui na diparsanggapi di sidang na mulia on, songoni hatobangon, harajaon, maraut di orang kaya, sitiop adat pangalaho di banuaon. Parjolo au marsantabi sampulu tu adopan ni sude koumku. Songon na mandondoni hata ni suhut sihabolonan ima anak borungku dibagasan bagas on anso dapot artina dipasut dipatulus laing songon hata umpama do: Muda udur dipardalanan Udur doi diparusahoan Muda udut marsipaginjangan Temple mai marsipagodangan Onpe ampapaga ni aek Malakut Di napa-napa ni lubukraya Dapot nian baga-baga dipasaut Na di pasaut ni anak di raja Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah Ompui, harajaon, orang kaya, au, suhut sihabolonan, anak boruku. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada Mora yaitu saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari Suhut, serta seluruh keturunannya. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di atas adalah marsantabi, mandondoni, udur, marsipaginjangan, marsipagodangan yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh pihak keluarga dari Suhut. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di sidang na mulia on, di bagas na godang on, di banuaon, tu adopan, dipardalanan, diparusahoan. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat yang sejak dahulu adat istiadat pada masyarakat Angkola dilaksanakan oleh para ketua adat dengan warga sekampung untuk melestarikan tradisi agar dapat diwariskan secara turun temurun. Dalam hal ini, martahi karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah adatseperti yang sudah dianalisis di atasyakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalamdalian na tolu yaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun atau 111
Ilham Sahdi Lubis
peribahasa secara bergiliran dengan pembicara yaitu juru bicara yakni Suhut (yang punya hajat pesta), Anak Boru suhut (menantu ya’ng punya hajat), Pisang Raut (ipar dari anak boru), Hatobangan (raja adat di kampung), Raja panusunan bulung (raja diraja adat atau pimpinan sidang). Para anggota keluarga di atas yaitu Kahanggi, Anak Boru, Mora, Suhut, anak boru Suhut, Pisang Raut, Parolok-olok, Hatobangon, Raja torbing balok, Raja Panusunan Bulung direalisasikan sebagai subjek untuk mengkaitkannya dengan Makna Interpersonal. Teks 1: Hata mangalusi ni Hatobangon Santabi sampulu di sude hamu suhut sihabolonan, anak boru dohot pisang rahutna tarlobi-lobi di morana, nadung marlindung di sidang na mulia on. Sumurung lobi di ompui raja Panusunan Bulung, maraud harajaon, hatobangon situan natorop anak ni raja dohot na mora, sumambut lidung di hamu sidongkon hata. Nadung mangundang dohot mangkoloskon sinta-sinta dibagasan roha. Tarigot di boru sinuan tunas, boru lomo-lomo hasayangan na giot langka matobang manotopkon anak namboruna. Ale, hamu suhut sihabolonan, na markoum markahanggi, namarboru marpisang rahut, anggo hami da hatobangon di huta on, laing na manjagit. Dohot patuluskon mada aha na tarsarkap di bagasan roha munu. Nian jarupe songon I, baen dison dope dongan na dua tolu, hatobangon dohot harajaon songon I di orang kaya, tarlobi-lobi di Ompui Raja-raja Panusunan Bulung, ibana do na padomu pangalaho. Dohot ibana do: Na mamudun songon tali na mambobok songon soban. Na malo padomu tahi dohot palaluna di angan-angan. Dari teks pidatodi atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah Suhut sihabolonan, anak boru, raja Panusunan Bulung, hatobangon, anak ni raja, na mora.Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada hatobangon yaitu raja adat di kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah marlindung, mangundang, mangkoloskon, taringot, manotopkon, manjagit, mambobok yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh raja adat di kampung tersebut yaitu hatobangon. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di sidang na mulia on, di bagas roha. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat. Teks 2: Hata pangalusi ni Harajaon Santabi sampulu di sidang na mulia on, hormat tu anak ni raja songoni dohot anak ni na mora. Tutu nangkin di arian I, ro ontang munu tu hami, ima hamu suhut si habolonan, anggiat anso marlagut di bagas na mulia on. Ima pado ari borngin on. Dung tolap hami tu son jana di patating munu do sipulut mardongan inti songon dalan na palagut roha nami. baen madung salose na markopi sagiro do anak boru munu ima goruk-goruk ni hapinis jonjong manyurduon burangir dalan patipal na puran di jolo ni anak raja dohot anak ni na mora. Mangandungkon holos dohot lidung na mandokkon boru na giot langka matobang. Onpe dison dope orang kaya songoni dohot raja panusunan bulung. Baen ibana do na malo sumambut lidung tu ibana doma ta soraho, botima.
112
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah Suhut sihabolonan, anak boru, anak ni mora, hami, hita, raja panusunan bulung, orang kaya, ibana. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada harajaon yaitu raja adat di kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah marlagut, mardongan, markopi, jonjong, manyurduon, na giot langka matobang, mandokkon, maroban, sumambut, soraho yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh raja adat di kampung tersebut yaitu harajaon. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di sidang na mulia on, di bagas roha, di patali tali, baen ihat, songoni. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat. Teks 3: Hata pangalusi ni orang kaya Hormat dohot tabi tu adopan ni raja dohot namora, napatidahon lan ni bohi, dohot na padomu roha. Ompu I na diparsangapi dohot koum sisolkot sasudena, baen na madung totor rap ta bege andung dohot holos ni suhut sihabolonan, nadung dipajojor ni suhut kahanggi maraud di anak boru na. Nangkan patolkas sinta-sinta, ima sigodang ni roha nangkan pajuguk boru sinuan tunas dohot anak namboruna, Ulang be nian adong janggal bingkolangna. Ia anggo orang kaya na manjagit dohot patuluskon mada jarupe songon I dison do ompui, na malo sumambut lidung, dohot na padomu tahi, tu ibana ma ta sorahon botima. Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah ni raja, namora, ompui, anak boru, anaka namboru,boru si nuan tunas, Suhut Sihabolonan, Kahanggi, orang kaya. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di atas adalah maraud, napatidahon, pajuguk, manjagit, sumambut, sorahon yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh para warga yang hadir dalam musyawarah tersebut. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah dipajojor, diparsangapi, tu ibana, dison. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat. Teks 4: Hata pangalusi ni Raja (Pimpinan Adat) Antong songoni mada hamu suhut sihabolonana, kahanggi, anak boruna, pisang rahut, tarlobi-lobi di hamu bagian morana. Bahat mauli ate di sude di panyambut ni haroro nami manopoti undangan munu tu bagas na martua on. Ia marbinege di andung dohot holos munu, dalan padomu tahi dohot sude anak ni raja dohot morana, madung suang songon hata ni umpama: “Marsusun songon eme, marbanjaran songon jagung dohot isina pe madung torang”. On pe sudena di parsinta ni roha munu, suada ambat bingkolang, na tama pasaut patuluson mada i. Antong sude di anak ni raja dohot na mora di sidang na mulia on bege mahita, muda dapot di tingkina, mar rim ni tahi hita mangalaksanahonna. 113
Ilham Sahdi Lubis
Buat hamu ma burangir taon-taon, anso ta pataon tondi dohot badan ni halahi nangkan payahan ni sigodang ni roha. Muda dapot di tingkina anso ulang bagi mahua. Dison do orang kaya na malo mangunting dohot na malo mangalipat mangatur sanga bia dalan satulus sude nadung dipudun di partahian on. Orang kaya doma pasahat harejo on tu Inanta parina-inaan Parama-amaan Naposo bulung Nauli bulung Atur ma orang kaya botima Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalah Suhut sihabolonan, anak boru, pisang rohut, anak raja, anak mora, sarudung, imbo, hamu, hita, orang kaya.Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada harajaon yaitu raja adat di kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk Predikator dari teks di atas adalah panyambut, mambanjaran, marbinege, marsusun, marsijagitan, marpangolting, mardongan, marsagu, marsanggap, maroban, parsinggulu, pio-pio, martimus, masonang, on bege, mangalaksanakan, manggunting, mangatur yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh raja adat yaitu harajaon. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah di sude, tu bagas, di dolok, di parsiraisan, di angkola, di mandailing, di toru pisang, di laung-laung, di roha, di parsinta ni roha, di partahian on. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat dan hal tersebut menunjukkan bahwa sudah sejak dahulu adat istiadat pada masyarakat Angkola dilaksanakan oleh para ketua adat dengan warga sekampung untuk melestarikan tradisi agar dapat diwariskan secara turun temurun. Teks 5: Hatani Pasahat BurangirTaon-Taon Antong songon I mada, hamu payahan ni sigodang ni roha, suada ambat bingkolangna, madung satumtum satahi inanta, amanta, maraud koum sisolkot. Baen madung hamu, madung dipatobang adat. Nangkan baenon do tu hamu sigodang ni roha na di pasahat nisi matobang, hatobangon dohot harajaon ima diari sinayan, onpe dison disurduhon ma burangir taon-taon anso taon tondi badan munu tu ari natupa na tumbuk, nangkan surduon muse do hamu burangir sampe-sampe na pasampeon ni sigodang roha. botima. Dari teks pidato di atas dapat dilihat Makna Interpersonal yang meliputi Subjek, Predikator dan Keterangan. Dalam hal ini yang termasuk Subjek dari teks di atas adalahinanta, amanta, koum sisolkot, hamu. Subjek pada teks pidato di atas mengacu pada harajaon yaitu raja adat di kampung tersebut. Selanjutnya yang termasuk Predikatordari teks di atas adalah panyambut, mambanjaran, marbinege, marsusun yang mengacu kepada perbuatan dan tingkah laku yang diperankan oleh raja adat di kampung tersebut yaitu harajaon. Sementara yang menjadi Keterangan dari teks peribahasa di atas adalah on pe dison, sigodang roha. Teks pidato di atas bila dikaitkan dengan konteks masyarakat menunjukkan bahwa pada masyarakat Angkola memiliki tata cara peradaban yang menjadi tradisi secara turun temurun. Selain itu, masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi dan menghormati para ketua adat.
114
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Dari keseluruhan isi teks pidato dan peribahasa pada bagian kedua di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi adat pada setiap kali ingin melaksanakan hajatan atau acara adat, di mana apabila ada salah satu dari warga yang ingin melaksanakan horja atau pesta dalam hal ini adalah Suhut, maka seluruh anggota keluarga akan bermusyawarah kepada para pataya-pataya adat atau ketua adat untuk menyampaikan keinginan atau keluhan untuk meminta bantuan kepada ketua adat tersebut agar kiranya disampaikan kepada para warga sekampung. Dalam hal ini, martahi karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah seperti yang sudah dianalisis di atasyakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam dalian na toluyaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Para anggota keluarga di atas yaitu Kahanggi, Anak Boru, Mora, Suhut, anak boru Suhut, Pisang Raut, Parolok-olok, Hatobangon, Raja torbing balok, Raja Panusunan Bulung direalisasikan sebagai Subjek untuk mengkaitkannya dengan Makna Interpersonal. Seluruh anggota keluarga Suhut menyampaikan keinginan dan keluhannya terhadap ketua adat dan para pembicara akan bersahut-sahutan yaitu juru bicara Suhut akan mengutarakan ucapan terima kasih dan permohonan mengadakan sidang pesta adat Diharoro ni anak ni rajasongonianak ni namoranadung martoru abaranamarnayang ni lakka. 2. Pengodean Makna ke dalam teks makkobar a. Konteks Situasi Martahi Karejo Pada Masyarakat Angkola Secara konteks situasi, tradisi Martahi Karejo pada adat masyarakat Angkola memiliki tiga peran penting yakni medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse). pada penelitian ini, sarana wacana pada tradisi martahi karejo adalah teks hobar. Dibawah ini dapat dilihat konteks situasi dari acara adat martahi karejopada masyarakat Angkola. Tabel 5.1 Konteks situasi dari acara adat martahi karejo pada masyarakat Angkola Medan Wacana Pelibat Wacana Sarana Wacana Hata ni Suhut Suhut Si Habolonan Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun Hata ni Kahanggi Kahanggi Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun Hata ni Hombar Suhut Suhut Si Habolonan Lisan: Monolog, berpidato Hata ni Anak Boru Anak Boru Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun Hata ni Pisang raut Pisang Raut Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun Hata ni mora Na Mora Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun Hata mangalusi ni Hatobangon Lisan: Monolog, berpidato Hatobangon Hata pangalusi ni Harajaon Harajaon Hata pangalusi ni orang orang kaya kaya
Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun 115
Ilham Sahdi Lubis
Hata pangalusi ni Raja
Harajaon
Hatani Pasahat Burangir Raja Taon-Taon bulung
Lisan: Monolog, berpidato dan berpantun panusunan Lisan: Monolog, berpidato
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa medan wacana dari teks hobar pada tradisi martahi karejo adalah Hata ni Suhut, Hata ni Kahanggi, Hata ni Hombar Suhut, Hata ni Anak Boru, Hata ni Pisang raut, Hata ni mora, Hata mangalusi ni Hatobangon, Hata pangalusi ni Harajaon, Hata pangalusi ni orang kaya, Hata pangalusi ni Raja, dan Hatani Pasahat Burangir Taon-Taon. Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelibat wacana dari teks hobar pada tradisi martahi karejo adalah Suhut Si Habolonan, Kahanggi, Anak Boru, Pisang Raut, Na Mora , Hatobangon, Hatarajaon, OrangKaya, dan Raja Pasunan Bulung. Sedangkan yang dikategorikan sebagai sarana wacana dari teks hobar pada tradisi martahi karejo adalahpesan disampaikan secara lisan yaitu dengan cara monolog, berpidato dan berpantun. b. Konteks Situasi Martahi Karejo pada Teks Hobar Pada tradisi martahi karejo terdapat tutur yang diucapkan oleh Suhut yakni yang memiliki keinginan untuk melaksanakan hajat atau pesta adat dan harajaon yakni para ketua adat. Kedudukan dari kedua belah pihak pada bagian ini dianggap sebagai pelibat. Sementara itu, teks hobar dianggap sebagai medan pada saat martahi karejo, dan sarana yakni tradisi lisan, berpidato dan berpantun. Dibawah ini dijelaskan lebih rinci kedudukan masing-masing dalam konteks situai yang dimulai dari teks hobar bagian pertama dan dilanjutkan ke bagian kedua. Teks 1: Hata ni Suhut Santabi sampulu, sampulu noli marsantabi. Di langit nah u jujung, di tano hu jojahi. Parjolo au marsantabi, ompot adong na hurang lobi. Taradop tua sahala ni anak ni raja-raja dohot anak ni na mora-mora. Sumurung lobi di Raja Panusunan Bulung, haruaya parsilaungan, banjir par onding-ondingan, na malo sumambut lidung, patama na di angan-angan. Dison sumurdu burangir nami, ima: Burangir si rara huduk Sibontar adop-adop Dalan margalas bisuk Paboahon na dung dapot Ima burangir na hombang Dua sarangkap Anso hombang tahi Mardomu pokat Pangitean ni andung dohot lidung taradop anak raja-raja dohot anak na moramora di parsidangan na mulia on. Ia anggo dalan ni sinta-sinta na palalu si godang di roha ima salaho di langka-langka ni boru si nuan tunas na giot manopotkon anak namburana. Teks diatas disampaikan oleh yang punya hajat pesta yakni dikodekan sebagai Suhut Si Habolonan di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni
116
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Suhut. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan berpantun untuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 2: Hata ni Kahanggi Ia bo ale tutu, santabi sampulu noli marsantabi, hu jujung do jari sampulu pajongjong adat dohot ugari na tutu madai andung dohot holos ni suhut si habolonan, taringot di langka-langka ni boru si nuan tunas. Songon on ma ibana, na paihut-ihut dalan, , na paihut padan ni ompunta na hinanan, manjalahi dongan matobang. Ia anggo hami kahanggina, laing songon pandokkon ni umpama do da. Muda dapot di tikkina sang ape di masona, anso nian martoruk ni abara sude anak ni raja dohot anak ni namora. Pasaut patuluskon, ja na pasahat pasanggalkon tu tondi dohot badan ni si godang di roha. Tar botimada sahat ni hata sian hami kahanggina. Teks diatas disampaikan oleh saudara laki-laki dari Suhut Si Habolonan beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif para istri merekayakni dikodekan sebagai Kahanggi di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni Kahanggi. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan berpantun untuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 3: Hata ni Hombar Suhut Sauduran do da hata ni suhut si habolonan. Taradop sude anak ni raja na di parsangapan. Mangkoloskon lidung ni suhut si habolonan maradopkon anak ni raja dohot ni na mora, dalan pasaut baga-baga nadung honok di angan-angan. Maradu solkot ni na markoum, boti muse dongan sahuta. Songon pandokkon ni umpama: Baen ampagaga hurlang do da ampagaga dolok baen hita do na haduan, hita muse do na ancogot. Hita do artina naudut mar sipanginjangan, tempel marsipagodangan. Tarlobi songon on, payahan ni sigodang ni roha. Hami peda, hombar suhut laing na dohot ma, pasahat pasanggalkon taradop anak ni raja songon I anak ni na mora, botima. Teks diatas disampaikan oleh yang punya hajat pestayakni yang dikodekan sebagai Suhut si habolonan di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni Hombar Suhut. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 4: Hata ni Anak Boru Bahasa Mandailing: Santabi sampulu, sampulu noli santabi, parjolo do sumbangku, ampot adong hata na hurang lobi. Tarlobi di morangku, ima suhut sihabolonan di bagas na godang on. Songon I di raja Panusunan Bulung na manjadi uluan di parsidangan on maradu sude anak ni raja dohot namora. 117
Ilham Sahdi Lubis
Ia anggo hata ni andung dohot holos ni suhut sihabolonan maradopkon anak ni raja dohot na mora, hatobangon, songon i dohot orang kaya. Na tama, na tupa madai. Laing na pastak pago-pago mada on, adat pangalaho ni ompunta na robian. Ia hami barisan anak boru, na torjak tu pudi do, jul-jul tu jolo. Anggo hami do laing na manjuljulkon morana do. Laing sapangido do hami sanga bia do dalan so tulus na tarsarkap di roha ni suhut sihabolonan. Boti mada hata name barisan anak boru. Teks diatas disampaikan oleh saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka, beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki yakni yang dikodekan sebagai Anak Boru di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni Anak Boru. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan berpantun untuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 5: Hata ni Pisang Raut Hami sian anak boru Pisang Rahut na sauduran do hata nami mangihutkon hata ni na mora songoni dohot hata ni mo ni morangku, maradopkon anak ni raja dohot na mora. Anso dipasaut dipatulus aha na tarsangkap di roha ni suhut sihabolonan di bagas na godang on. Baen dison do raja panusunan Bulung songoni hatobangon maraud di orang kaya baen iba na do na pataya-taya adat dohot nampuna uhum ja na paganagana ugari. Dapot jolo nian marlapang ni pangarohai patuluskon baga-baga ni suhut sihabolonan di bagas na godang on. Ima taringot di na pajong-jong siualaon na patidahon godang ni roha taradop parumaen nagiot langka matobang. Teks diatas disampaikan oleh ipar dari anak boru yakni yang dikodekan sebagai Pisang Raut di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni Pisang Raut. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, dan berpidato untuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 6: Hata ni Mora Ompui na diparsanggapi di sidingna mulia on, songoni hatobangon, harajaon, maraud di orang kaya, sitiop adat pangalaho di banuaon. Parjolo au marsantabi sampulu tu adopan ni sude koumku. Songon na mandondoni hata ni suhut sihabolonan ima anak borungku dibagasan bagas on anso dapot artina dipasut dipatulus laing songon hata umpama do: Muda udur dipardalanan Udur doi diparusahoan Muda udut marsipaginjangan Temple mai marsipagodangan Onpe ampapaga ni aek Malakut Di napa-napa ni lubukraya Dapot nian baga-baga dipasaut Na di pasaut ni anak di raja Teks diatas disampaikan oleh saudara laki-laki dari ibu, atau mertua dari suhut, serta seluruh keturunannya yakni yang dikodekan sebagai Mora di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks 118
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata ni mora. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 1: Hata mangalusi ni Hatobangon Santabi sampulu di sude hamu suhut sihabolonan, anak boru dohot pisang rahutna tarlobi-lobi di morana, nadung marlindung di sidang na mulia on. Sumurung lobi di ompui raja Panusunan Bulung, maraud harajaon, hatobangon situan natorop anak ni raja dohot na mora, sumambut lidung di hamu sidongkon hata. Nadung mangundang dohot mangkoloskon sinta-sinta dibagasan roha. Tarigot di boru sinuan tunas, boru lomo-lomo hasayangan na giot langka matobang manotopkon anak namboruna. Ale, hamu suhut sihabolonan, na markoum markahanggi, namarboru marpisang rahut, anggo hami da hatobangon di huta on, laing na manjagit. Dohot patuluskon mada aha na tarsarkap di bagasan roha munu. Nian jarupe songon I, baen dison dope dongan na dua tolu, hatobangon dohot harajaon songon I di orang kaya, tarlobi-lobi di Ompui Raja-raja Panusunan Bulung, ibana do na padomu pangalaho. Dohot ibana do: Na mamudun songon tali na mambobok songon soban. Na malo padomu tahi dohot palaluna di angan-angan. Teks diatas disampaikan oleh raja adat di kampung tersebutyakni yang dikodekan sebagai Hatobangon di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata mangalusi ni Hatobangon. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato. Dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan.
Teks 2: Hata pangalusi ni Harajaon: Santabi sampulu di sidang na mulia on, hormat tu anak ni raja songoni dohot anak ni na mora. Tutu nangkin di arian I, ro ontang munu tu hami, ima hamu suhut si habolonan, anggiat anso marlagut di bagas na mulia on. Ima pado ari borngin on. Dung tolap hami tu son jana di patating munu do sipulut mardongan inti songon dalan na palagut roha nami. baen madung salose na markopi sagiro do anak boru munu ima goruk-goruk ni hapinis jonjong manyurduon burangir dalan patipal na puran di jolo ni anak raja dohot anak ni na mora. Mangandungkon holos dohot lidung na mandokkon boru na giot langka matobang. Onpe dison dope orang kaya songoni dohot raja panusunan bulung. Baen ibana do na malo sumambut lidung tu ibana doma ta soraho, botima. Teks diatas disampaikan oleh raja adat di kampung tersebut yakni yang dikodekan sebagai Harajaon di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata pangalusi ni Harajaon. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 3: Hata pangalusi ni orang kaya Hormat dohot tabi tu adopan ni raja dohot namora, napatidahon lan ni bohi, dohot na padomu roha. 119
Ilham Sahdi Lubis
Ompu I na diparsangapi dohot koum sisolkot sasudena, baen na madung totor rap ta bege andung dohot holos ni suhut sihabolonan, nadung dipajojor ni suhut kahanggi maraud di anak boru na. Nangkan patolkas sinta-sinta, ima sigodang ni roha nangkan pajuguk boru sinuan tunas dohot anak namboruna, Ulang be nian adong janggal bingkolangna. Ia anggo orang kaya na manjagit dohot patuluskon mada jarupe songon I dison do ompui, na malo sumambut lidung, dohot na padomu tahi, tu ibana ma ta sorahon botima. Teks diatas disampaikan oleh orang kaya di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata pangalusi ni orang kaya. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato, dan berpantun untuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 4: Hata pangalusi ni Raja (Pimpinan Adat) Antong songoni mada hamu suhut sihabolonana, kahanggi, anak boruna, pisang rahut, tarlobi-lobi di hamu bagian morana. Bahat mauli ate di sude di panyambut ni haroro nami manopoti undangan munu tu bagas na martua on. Ia marbinege di andung dohot holos munu, dalan padomu tahi dohot sude anak ni raja dohot morana, madung suang songon hata ni umpama: “Marsusun songon eme, marbanjaran songon jagung dohot isina pe madung torang”. On pe sudena di parsinta ni roha munu, suada ambat bingkolang, na tama pasaut patuluson mada i. Antong sude di anak ni raja dohot na mora di sidang na mulia on bege mahita, muda dapot di tingkina, mar rim ni tahi hita mangalaksanahonna. Buat hamu ma burangir taon-taon, anso ta pataon tondi dohot badan ni halahi nangkan payahan ni sigodang ni roha. Muda dapot di tingkina anso ulang bagi mahua. Dison do orang kaya na malo mangunting dohot na malo mangalipat mangatur sanga bia dalan satulus sude nadung dipudun di partahian on. Orang kaya doma pasahat harejo on tu: Inanta parina-inaan Parama-amaan Naposo bulung Nauli bulung Atur ma orang kaya botima Teks diatas disampaikan oleh raja di kampung tersebut yakni yang dikodekan sebagai Harajaon di dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hata pangalusi ni Raja. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, berpidato. Dan berpantununtuk menyatakan maksud dan tujuan. Teks 5: Hatani Pasahat BurangirTaon-Taon. Antong songon I mada, hamu payahan ni sigodang ni roha, suada ambat bingkolangna, madung satumtum satahi inanta, amanta, maraud koum sisolkot. Baen madung hamu, madung dipatobang adat. Nangkan baenon do tu hamu sigodang ni roha na di pasahat nisi matobang, hatobangon dohot harajaon ima 120
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
diari sinayan, onpe dison disurduhon ma burangir taon-taon anso taon tondi badan munu tu ari natupa na tumbuk, nangkan surduon muse do hamu burangir sampe-sampe na pasampeon ni sigodang roha. botima. Teks diatas disampaikan oleh raja diraja adat atau pimpinan sidang yakni yang dikodekan sebagai Raja panusunan bulungdi dalam teks tersebut dianggap sebagai pelibat. Sementara yang dianggap medan adalah keseluruhan isi teks di atas yang diklasifikasikan sebagai Hatani Pasahat BurangirTaon-Taon. Kemudian yang dianggap sebagai sarana adalah monolog, dan berpidato untuk menyatakan maksud dan tujuan
3. Makna Martahi Karejo 1. Makna Perangkat Adat Martahi Karejo Bab ini membahas tentang perangkat adat yang dilaksanakan pada upacara adat martahi karejo pada masyarakat angkola. Ada beberapa perangkat adat yang mempunyai arti luas dan mempunyai filsafat bagi masyarakat angkola khususnya, yakni Makna dan Filsafat perangkat adat martahi karejo pada masyarakat Angkola, yaitu: a. Burangir (sirih) Burangir atau sirih ini sebagai penanda dari hasuhuton ataupun kahanggi karena jika sirih ini dimakan akan mengeluarkan warna merah yang menandakan bahwa antara suhut dan kahanggi ini adalah sedarah. Burangir merupakan simbol dari hasuhutan atau kahanggi. b. Gambir Gambir ini sebagai penanda kepada anak boru karena rasa dari gambir tersebut ada manis dan pahit, kemudian gambir ini diibarakan kepada kerja dari anak boru karena pekerjaan itu adat yang berat dan ada juga yang ringan, disamping itu keuntungan dari anak boru ini adalah diberi kebebasan melakukan apa saja yang ada di dalam pelaksanaan horja (pesta), sehingga anak boru ini juga dikatakan dalam istilah masyarakat angkola, yakni si horus nalobi sitamba na urang, artinya bila dalam pelaksanaan itu ada yang lebih maka semuanya akan diberikan kepada anak boru dan apabila ada yang kurang maka terpaksa anak boru ini mencukupi atau menambah kekurangan tersebut agar pihak suhut atau mora tidak merasa malu dalam melaksanakan acara horja (pesta) tersebut. c. Soda Pengertian dari soda pada masyarakat Angkola yang mempunyai warna putih tetapi memiliki rasa yang pedas seperti terbakar. Soda tersebut sebagai penanda kepada mora karena apapun yang disampaikan mora sebagai orang yang dihormati dan yang mengatur pelaksanaan horja (pesta) adalah benar mora sebagai penyampai segala sesuatu pesan yang diamanatkan, walaupun terkadang pahit dirasakan oleh pihak yang medengarkan, dalalm hal ini mora tidak akan salah karena seperti soda yaitu setiap yang putih itu menyampaikan yang jernih, walaupun yang menerimanya merasa pahit atau sakit harus selalu diterima. d. Pining (pinang) Pining sebagai penanda keapda mora. Makna dari pining atau pinang adalah jika pinang tersebut dibelah menjadi dua akan terlihat garis-garis berwarna merah dan juga berwarna putih. Pinang ini dilambangkan kepada harajaon dan hatobangon karena apa saja yang disampaikan oleh mereka walaupun itu manis atau pahit harus benar-benar 121
Ilham Sahdi Lubis
ikhlas menerimanya dan apapun yang diberikan oleh harajaon dan hatobangon harus diterima apa adanya sekalipun tidak suka. Pengertiannya adalah kalau kita lakukan dan laksanakan dengan benar apa yang disampaikan oleh harajaon dan hatobangon maka pinang ini akan menjadi obat yang artinya apa yang kita kerjakan pada saat melaksanakan horja (pesta) dengan mendengarkan saran dari mereka pasti akan menjadi baik. e. Timbako (tembakau) Tembakau sebagai penanda kepada orang kaya. Dalam hal ini yang pertama dibahas mengenai timbako (tembakau) adalah asap karena apabila tembakau ini di hisap (merokok) maka asapnya akan pergi ke atas dan menyebar, tembakau ini dilambangkan kepada orang kaya.Orang kaya disini adalah yang memberikan rang-rangan, artinya kemanapun diletakkan orang kaya ini yang mengarahkan dan orang kayalah yang memberikan gambaran menegenai apa yang harus dikerjakan dan dilaksanakan pada horja (pesta) tersebut. Segala sesuatu kegiatan yang terjadi pada saat pelaksanaan horja (pesta) orang kaya mengatur kapan fase-fase pelaksanaannya dan mengatur waktu, yakni bulan, minggu, hari dan jam berapa yang tepat untuk dilaksanakan. f. Pinggan (piring) Pinggan (piring) disebut juga dengan pinggan parsadaan, pada zaman dahulu piring ini terbuat dari kayu, tetapi setelah datang barang-barang dari luar negeri terutama dari cina ada yang disebut dengan pahar yang terbuat dari kuningan. Kemudian terakhir ada pinggan godangdari negeri cina juga tetapi tebuat dari porselen. Pinggan (piring) memiliki arti parsadaan (kesatuan) dan masyarakat Angkola memiliki istilah untuk piring tersebut yakni sapinggan sapangananyang artinya adalah adat batak adalah satu dan masyarakat batak adalah satu. Kemudian perangkat adat sirih, gambir, soda, pinang, dan tembakau diletakkan diatas piring ini agar bias melaksanakan yang sudah diamanatkan dan bias dikerjakan bersama-sama. g. Abitbugis (kain) Abit dilihat dengan secara umum digunakan untuk menutupi bagian yang perlu ditutup. Bagian yang perlu ditutup dalam pelaksanaan adat ini adalah permohonan dari suhut. pada saat melaksanakan martahi karejo suhut ini mengajukan beberapa permohonan atau permintaan agar terlaksana horja (pesta) yang akan dilaksanakan dengan ulasan agar bisa lebih baik lagi maka di tutupilah dengan abit ini yang artinya permohonan dari suhut tersebut bias dipenuhi. h. Hadangan Ada aturan untuk meletakkan hadangan ini yaitu mulut dari hadangan ini dihadapkan di depan harajaon di persidangan yang artinya agar pihak dari suhut atau yang melaksanakan adat tersebut dari atas sampai bawah agar di isi hadangan tersebut dengan memenuhi keinginan dari suhut untuk dapat diberkatu dan apa yang diinginkan oleh suhut dapat terlaksana dengan baik. Ada beberapa perbedaan perangkat adat dalam melaksanakan horja godang yaitu pada abit dan hadangan. Pada pelaksanaan horja kecil biasanya memakai abit bugis dan hadangantetapi pada pelaksanaan horja godang abit yang dipakai adalah abit godangkarena permintaan atau permohonan dari yang melaksanakan horja godang atau suhutlebih besar dan lebih banyak dan abit ini juga menunjukkan marsabe-sabe untuk manortor. Sedangkan untuk hadangan juga diganti dengan talam karena permintaan dari suhut bukan sedikit yang ingin dilaksanakan dan dipatuhi sesuai dengan pengertian abit godang tersebut.
122
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Gambar 5.1 Perangkat adat martahi karejo 4. Kearifan Lokal Pada Tradisi Martahi Karejo Dalam bab ini peneliti dideskripsikan mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada upacara adat martahi karejo masyarakat Angkola. a. Nilai Kearifan Bergotong-Royong Dalam proses martahi karejo pada upacara adat masyarakat Angkola tidak mungkin mampu dikerjakan sendiri oleh keluarga yang ingin melaksanakan hajatan. Semua keluarga dekat dan tetangga mempunyai kebersamaan untuk membantu hajatan tersebut, dalam hal ini yang ikut membantu baik muda maupun tua. Menantu lelaki, menantu perempuan bahkan pejabat pemerintahpun mempunyai kedudukan tertentu dalam suku, maka tidak segan-segan turun tangan dalam membantu pesta pernikahan itu. Begitu juga dalam pendanaan, masyarakat juga ikut dalam membantu memberikan bantuan untuk meringankan beban kepada pihak yang menyelenggarakan pesta pernikahan. Ketika musyawarah seluruh keluarga dan orang yang mempunyai ikatan dan suku dan keluarga diawal sudah membantu berdasarkan kemampuannya masing-masing. Dalam hajatan tersebut, nampak sekali nilai gotong-royongnya, ibu-ibu sudah bergabung menyiapkan bumbu-bumbu masakannya, generasi muda memasak nasi, mengangkat piring dan mencucinya, memasang hiasan. Membantu keluarga yang sedang melaksanakan hajatan merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Angkola dan yang ikut membantu secara gotong-royong begitu banyak, begitu juga tamu yang hadir. Semakin tinggi status sosial masyarakatnya semakin tinggi pula partisipasi masyarakat membantunya baik bantuan tenaga maupun materinya. b. Nilai Kearifan Musyawarah Dalam data teks kedua dari Hata pangalusi ni Harajaon dapat dilihat bahwa makna martahi karejo yang sebenarnya yaitu musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat Angkola untuk menitipkan kerja kepada kerabat dan masyarakat setempat, dimana masyarakat setempat yang dianggap sebagai pemuka-pemuka adat yang sering disebut masyarakat angkola sebagi harajaon atau hatobangon dan semua keluarga dari pihak yang ingin melakukan suatu hajatan dikumpulkan dalam suatu waktu yang bersamaan hanya untuk menjelaskan maksud dan tujuan untuk melakukan hajatan, serta untuk memusyawarahkan segala permasalahan yang dianggap penting dalam pelaksanaan hajatan tersebut. Pada akhirnya musyawarah ini nanti akan menghasilkan suatu kesepakatan tentang bagaimana hajatan ini akan dilaksanakan. Dapat kita simpulkan bahwa masyarakat Angkola mempunyai salah satu sifat yakni selalu musyawarahkan segala hal yang sudah menjadi tradisi untuk memperoleh kesepakatan serta keputusan bersama dalam melaksanakan suatu hajatan khususnya yang 123
Ilham Sahdi Lubis
berhubungan dengan tradisi dan masyarakat Angkola adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai musyawarah baik itu dalam pelaksanaan tradisi ataupun dalam kehidupan sehari-hari, karena sifat musyawarah ini telah dibentuk sejak dahulu dalam lingkungan masyarakat Angkola. c. Nilai Kearifan Kehormatan Nilai-nilai kearifan kehormatan dapat dilihat dalam teks Hata ni Suhut yang mengatakan bahwa Masyarakat Angkola adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi sebuah nilai kehormatan. Tidak semua orang mendapat tempat spesial sebagai seseorang yang harus dihormati, oleh karena itu hanya orang–orang terpilihlah yang ditentukan secara adat yang akan mendapat tempat kehormatan tersebut dan masyarakat angkola sering menyebutnya dengan hatobangon dan harajaon, begitu juga nilai kehormatan yang terdapat dalam Dalihan natolu, dimana seseorang yang disebut anak boru harus selalu hormat kepada seseorang yang disebut mora karena di dalam adat masyarakat angkola kedudukan mora lenih tinggi dari kedudukan anakboru. Dalam berkomunikasi misalnya pada acara adat martahi karejo, semua perkataan yang akan disampaikan harus diawali dengan kata-kata meminta maaf terlebih dahulu kepada hatobangon maupun harajaon, serta selalu menggunakan kata- kata yang dirangkai sedemikian indah menjadi suatu pantunyang akan mewakili maksud serta tujuan yang akan disampaikan, hal ini dilakukan agar seseorang yang dihormati ini merasa tersanjung serta tidak merasa tersinggung apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan dalam penyampaian maksud dan tujuan yang ingin disampaikan nantinya.Sehingga terlihat jelas bahwa dalam bertindak serta bertutur katapun masyarakat angkola sangat berhati-hati terutama pada orang-orang tertentu khususnya yang dianggap sebagai pemuka-pemuka adat, dan pada akhirnya hal inilah yang akan menjadikan masyarakat angkola sebagai masyarakat yang sopan dan santun dalam bertindak maupun berkata-kata baik dalam pelaksanaan tradisi maupun dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan masyarakat angkola ataupun lingkungan masyarakat lainnya. d. Nilai Kearifan Kekerabatan Nilai kekerabatan atau keakraban merupakan nilai kearifan lokal yang sangat penting dalam suatu tradisi. Hal ini terlihat pada upacara adat martahi karejo, di mana suatu keluarga yang ingin melaksanakan suatu hajatan, meminta bantuan kepada para ketua adat untuk membantu meringankan pekerjaan mereka dalam melaksanakan hajatan agar para ketua adat tersebut kiranya dapat mengabarkan kepada para warga sekampung bahwasanya akan dilaksanakan suatu hajatan. Hunbungan kekerabatan dalam hal ini terlihat pada tutur sapa yang baik karena pertautan darah ataupun pertalian pernikahan.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ada enam proses upacara martahi karejo pada masyarakat Angkola yakni (1) tahi ungut-ungut atau tahi ulu ni tot, (2) tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat, (3) tahi sabagas atau tahi dalihan na tolu,(4) tahi sahuta pasahat karejo, (5) tahi godang dan (6) tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung. Pada dasarnya masyarakat Angkola sangat menjunjung tinggi adat pada setiap kali ingin melaksanakan hajatan atau acara adat, di mana apabila ada salah satu dari warga yang ingin melaksanakan horja atau pesta dalam hal ini adalah Suhut, maka seluruh anggota keluarga akan bermusyawarah kepada para pataya-pataya adat atau ketua adat untuk 124
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
menyampaikan keinginan atau keluhan untuk meminta bantuan kepada ketua adat tersebut agar kiranya disampaikan kepada para warga sekampung. Dalam hal ini, martahi karejo merupakan acara adat yang dilakukan sebelum prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Angkola yang dimulai dari musyawarah seperti yang sudah dianalisis di atasyakni berbicara dalam bertutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalamdalian na toluyaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora. Setiap anggota berbalas tutur yang teratur seperti berbalas pantun atau peribahasa secara bergiliran dengan pembicara yaitu juru bicara yang punya hajat pesta (Suhut), Suhut (yang punya hajat pesta), Anak Boru suhut (menantu yang punya hajat), Pisang Raut (ipar dari anak boru), Hatobangan (raja adat di kampung), Raja panusunan bulung (raja diraja adat atau pimpinan sidang). Para anggota keluarga di atas yaitu Kahanggi, Anak Boru, Mora, Suhut, anak boru Suhut, Pisang Raut, Parolok-olok, Hatobangon, Raja torbing balok, Raja Panusunan Bulung direalisasikan sebagai Subjek untuk mengkaitkannya dengan makna interpersonal. Makna perangkat adat yang mempunyai arti luas dan mempunyai filsafat bagi masyarakat Angkola khususnya, Perangkat adat satu sampai lima dikatakan juga pada istilah masyarakat Angkola, yakni empat ganjil lima gonop yang artinya emapat masih terasa ganjil atau janggal maka harus dibuat 5 agar menjadi genap ataupun lengkap. Nilainilai kearifan lokal pada tradisi martahi karejo merupakan unsur nilai yang memiliki nilai kearifan gotong-royong, nilai kearifan dalam bermusyawarah, nilai kearifan kehormatan, dan nilai kearifan kekerabatan. Keseluruhan nilai kearifan di atas dilakukan dengan usaha yang maksimal antara masyarakat Angkola dengan para ketua adat dalam melaksanakan tradisi martahi karejo yang bertujuan untuk melestarikan dan mewariskan pengetahuan tentang adat dan peradatan kepada generasi muda, serta memupuk rasa persaudaraan antara sesama pada masyarakat Angkola.
2. Saran Diperlukan usaha yang maksimal melalui pemahaman budaya yang sengaja dibuat oleh para pendiri adat, sehingga budaya adat dapat diwariskan kepada generasi muda melalui pelestarian tradisi budaya adat tersebut. Para tokoh adat hendaknya memberikan kesempatan kepada para remaja untuk dapat berpartisipasi yang sebesar-besarnya di dalam pelaksanaan adat yang sesungguhnya. Tesis ini memperlihatkan adanya realisasi makna interpersonal yang terdapat pada teks hobar di dalam tradisi martahi karejoyang dikaji lebih lanjut untuk kajian linguistik dan semiotik sehingga terjadi akulturasi budaya etnik, asimilasi dengan kajian yang beragam, sehingga tesis ini diharapkan menjadi penggerak yang berkelanjutan terhadap penelitian yang berhubungan dengan budaya. Pada bidang linguistik, diharapkan tesis ini dapat memberikan motivasi bagi peneliti berikutnya untuk mengkaji lebih dalam hal-hal yang belum selesai dikaji pada penelitian ini, apalagi perlunya melihat hubungan timbalbalik antara tradisi masyarakat dengan linguistik yang secara implisit dipengaruhi oleh alam dan lingkungan, sehingga hubungan manusia dengan alam dan linguistik tidak dapat dipisahkan.
125
Ilham Sahdi Lubis
DAFTAR PUSTAKA Amri, Yusni khairul. (2011). Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon remaja Di Padangsidimpuan: Universitas Sumatera Utara. Arikunto, Suharsini. (1999). Prosedur Penilaian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Bogdan dan Biklen, (1982). Ciri-ciri penelitian kualitatif. Jatinagor: Fitkom Unpad. Bogdan, R. and Taylor, S.J. (1975). Introduction to Qualitative Research Methode. New York: John Willey and Sons. Bungin, Burhan. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Halliday, M. A. K. (1978). Language As A Social Semiotics. London: Edward Arnold. ________. M.A.K. Hasan R. (1985). Language, Context, and Text: Aspect of Language in A Social Semaiotic Perspective. London: Oxford University Press. ________. (1994). An Introduction to Functional Grammar. London: Edward Arnold. Halliday, M.A.K. & Hasan, R. (1992). Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial: Gajah Mada University Press. Hoed, B.H. (2008). Komunikasi Lisan sebagai dasar Tradisi lisan dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan Editor Pudentia. Jakarta: Asosisasi Tadisi Lisan. Mahsun, M.S. (2011). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers. Miles Mathew. B. & Huberman Michhael. (1992). Data Management and Analysis Methods, (terjemahan Affandi). Jakarta: UI. Press. Moleong, lexy J. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nasution H. Pandapotan, (2012). Horja Haroan Boru: Yayasan Pencerahan Mandailing. ________________. (2012). Horja Pabuat Boru: Yayasan Pencerahan Mandailing. ________________. (2012). Manulak Sere: Yayasan Pencerahan Mandailing. Ogden dan Richard. (1923). The Meaning of Meaning. London. Routledge & Kegan Paul Ltd. Peirce, Charles Sanders, (1970), La Theorie des Sifnes et la Pragmatisme. Dalam epitimologi sosiologi 10. Pudentia, MPSS. (2008). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Saragih Amrin. (2006). Bahasa dalam Konteks Sosial. Medan: Program Pasca Sarjana Unimed. ________. (2011). Semiotik Bahasa: Tanda, Penanda dan Petanda Dalam Bahasa. Bahan Ajar Perkuliahan Semiotik Program Studi Linguistik USU. Medan. Saussure, Ferdinand. (1988). Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Saussure, Ferdinad. (1959). Course in General Linguistics. Phiolosopical Library: New York. 126
Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal “Hakekat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan”. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL). Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropology Antropology, Medan: Penerbit Poda (ISBN 979-3150-02-5).
Linguistik-Linguistik
Sinar, Tengku Silvana (2003). Teori dan Analisis Wacana. Pendekatan Sistemik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press. __________. (2008). Teori dan Analisis Wacana. Pendekatan Sistemik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press. _______. (2010). Teori & Analisis Wacana, Pendekatan Linguistik Sistemik-Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press. Siregar Baumi, G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1977). Burangir Na Hombang: Partama Mitra Sari ____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1977). mangupa di na haraon boru: Partama Mitra Sari. ____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1990), Partuturon: Partama Mitra sari ____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1996). Ruhut-ruhut ni Adat Paris-Paris ni Paradaton: Pedoman Memimpin Sidang Adat. Partama Mitra Sari ____________ G. Gelar H. Sutan Tinggi Barani (1984). Seni Budaya Tradisional Daerah Tapanuli Selatan : Partama Mitra Sari.
127