Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN
Hariadi Susilo
Volume 17 ( 1) 2005
DUNIA DALAM MELIPAT SELEMBAR KERTAS KAJIAN SEMIOTIK Hariadi Susilo Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstrak Kajian pelipatan dunia batas-batas struktur, sifat, dan karateristik yang pemaksaan, pemadatan, pemampatan, penekanan, perusakan, pengerdilan, memetaforakan, dunia seperti melipat selembar kertas dalam teori Semantik sehingga memperluas makna yang menimbulkan adanya kompositum; dunia pertama. Dunia kedua, dunia ketiga, dunia baru, berkeliling dunia, menjelajah dunia, menguasai dunia, dan ungkapanungkapan dunia lain, sampai kepada wujud sifatnya. Elisabet Stroker, dalam Invesgastion in Philosophy of Space, mengatakan konsep ruang mempunyai makna ada dunia mimpi, dunia hantu, ruang fisik, ruang phisikis, ruang social, dan ruang simbolik. Heidegger dalam Being and Time, mengatakan membedakan antara dunia ortis (ortic) dan dunia ontologis. Ferdinanand de Saussure, mengatakan dunia adalah dunia tanda (the world of Signs) tanda itu sendiri sebuah dunia, dan Roland Barthers dalam Elements of Semiologi, mengatakan ada: dunia realitas, dunia tanda serta dunia budaya. Deskrifsi fenomena pelipatan berbagai dunia lewat mekanisme perluasan makna semiosisnya dikembangkan menjadi polisemi oleh berbagai pemikir di dalam konteks disiplin masing-masing misalnya, Konsep Ontologis Citra oleh Heidegger, Pemampatan Ruang-waktu oleh Hanvey, Miniaturisai Dunia oleh Baudrilland. Cyberspace oleh Werthem, McDonaldisasi dunia oleh Ritzer, Dromologi, Kromopolotik oleh Virilio, Dunia Tunggang-langgang oleh Giddens, dan sebagainya.
A. Pendahuluan Metafora dunia dalam seperti kertas, bagaikan seorang ahli origami, melipat kertas, mejadi dua, empat, delapan, enam belas, dan seterusnya, sampai pada satu titik, bagaimanapun dilakukan, tidak dapat dilipat lagi disebabkan ada batas kemampuan struktur yang menahan perubahan dirinya. Pemaksaan pelipatan lebih lanjut memungkinkan berarti telah melampaui batas-batas struktur, sifat, dan karateristik yang seharusnya tidak dilewati, melalui cara pemaksaan, pemadatan, pemampatan, penekanan, perusakan, pengkerdilan (miniaturisasi) itulah lukisan sesungguhnya dari apa yang disebut sebagai dunia yang terlipat, yang ingin dilukiskan di dalam kajian semiotik. Bagaimana gambaran sebuah dunia yang dilipat, di dalamnya berlangsung berbagai bentuk pemaksaan, pemadatan, pemampatan, penekanan perusakan, pengkerdilan, dari miniaturisasi berbagai dunia. Apa mungkinkah dunia itu benarbenar dapat dilipat, seperti selembar kertas? Siapa yang melakukan,
sebagaimana pertanyaan, yang dibayangkan oleh pikiran awam, ”Mana mungkin melipat dunia, karena dunia itu bulat!” Mana mungkin melipat sebuah bola? Memang, dunia tidak datar seperti selembar kertas, karena dunia juga tidak hanya bulat seperti bumi, dunia tidak dapat disamakan dengan bumi, meskipun bumi bagian dari dunia. Dunia sesungguhnya bersifat multibentuk dan multidimensional. bisa saja datar, bulat, lonjong, garis linear, garis abstrak; tak berbentuk, tak mewaktu, imajinatif, ilusif, atau halusinatif tergantung aspek atau dimensi dunia mana yang kita bicarakan. Meskipun mempunyai banyak bentuk dan dimensi dengan paradigma melalui kekuatan perumpamaan, maka dapat dikatakan dunia seperti selembar kertas yang dapat dilipat. Kajian semiosis membayangkan melipat selembar kertas, pengertian dunia yang dilipat di sini tentunya tidak dapat dipahami dalam arti lateral. Sebuah perluasan teori semantik tampaknya harus dilakukan di sini, untuk memperluas makna (semantic) dunia yang dilipat itu.
38
Hariadi Susilo
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
B. Pembahasan (Berbagai Wajah Dunia) Dunia, dalam hal ini, harus dipahami lebih dari sekadar bumi. Bumi itu memang sebuah dunia, tetapi dunia tidak dapat diredusir sebagai bumi, oleh sebab itu, dalam rangka pemahamam lebih dalam tentang konsep dunia itu sendiri, dalam rangka membentangkan keluasan semantiknya. Istilah dunia memang dapat digunakan untuk menjelaskan bumi, dengan segalaisinya, meliputi negeri-negeri, manusia, dan lingkungan alam. Sehingga dalam hal ini ada kompositum; dunia pertama, dunia ketiga, dunia baru, berkeliling dunia, menjelajah dunia, menguasai dunia. Semiosis dunia juga dapat digunakan untuk menjelaskan planet selain bumi, sehingga dapat dikatakan tentang ada dunia lain, kehidupan lain, menjelajah ke dunia asing, dunia alien. Penanda dunia mendeskripsikan jenis kehidupan orang atau sesuatu yang termasuk ke dalam kelompok khusus atau terselubung oleh satu kepentingan tertentu, maka ada yang mengatakan dunia mimpi. Oleh karena itu, dunia segala sesuatu yang eksis berdasarkan jenis-jenis tertentu, segala jenis kehidupan atau eksistensi tertentu. Misalnya, dunia alam, dunia miniral, dunia bawah laut, dunia televisi, dunia pengembara, dunia alien. Kata dunia juga digunakan sebagai ekualen dari masyarakat dengan orang-orang yang hidup dan bertingkah laku dengan cara tertentu di dalamnya, sehingga ada mengatakan ”Hidup di dunia yang berubah cepat,” “Dunia tidak selebar daun kelor,” atau “Inilah lukisan dunia masa depan” Dunia juga ungkapan-ungkapan untuk menjelaskan cara hidup, yang di dalamnya hak milik dan kesenangan fisik sangat penting, ketimbang nilai-nilai spritual, misalnya orang yang hanyut ke dalam kehidupan dunia dan sebaliknya para sufi yang menolak dunia. Pengertian lain dari dunia adalah eksistensi manusia, misalnya ”dunia ini adalah fana,” “dunia ini hanya sementara,” berdasarkan sifat wujudnya, dibedakan bersifat materi (bumi, binatang, batu} atau nonmateri. Dalam hal ini, tidak
39
saja membicarakan mengenai dunia fisik (physical world), maupun juga dunia nonfisik, seperti dunia mimpi, dunia ilusi, dan juga berbicara tentang dunia metafisik (metaphysical world) maupun dunia Tuhan, dunia malaikat, dunia jin, dan dunia akhirat. Konsep dunia juga sering disamakan secara semantik dengan konsep ruang (space), Elisabeth Stroker, misalnya, di dalam Invesigastions in Philosophy of Space, menjelaskan ketidakterpisahan antara konsep dunia dan konsep ruang mengatakan, bahwa hidup di dalam ruang mempunyai makna yang sama dengan hidup di dalam sebuah dunia. Demikian pula, hidup di ruang lain (ruang mimpi, ruang mistik) sama artinya dengan hidup di dunia lain (dunia mimpi, dunia hantu). Hal ini disebabkan konsep dunia tidak dapat dipisahkan dari konsep ruang. Dunia itu selalu meruang, yaitu ada dalam, sebuah ruang (dan tentunya juga mewaktu). Ruanglah yang mendefinisikan apa yang disebut dunia. Meskipun demikian, dalam hal ini ruang harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang melingkupi ruang fisik, ruang psikis, ruang sosial, ruang simbolik, dan sebagainya. Heidegger, di dalam Being and Time, melihat dunia sebagai prakondisi bagi eksistensi. Ada (dasein) bagi Heidegger berarti ada dalam dunia, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Artinya, eksistensi itu tidak akan mungkin tanpa dunia sebagai kontainernya. Sebaliknya, tidak ada makna dunia bagi eksistensi tanpa ada manusia yang memaknainya. Ada dalam dunia, menurut Heidegger, adalah ada dalam dunia eksistensial. Dengan demikian, dunia bagi Heidegger, tidak sama dengan benda-benda, melainkan sebuah eksistensi yang di dalamnya menyatu ada (dasein). Ada dan dunia tidak dapat dipandang sebagai relasi antara subjek yang melihat objek, tetapi merupakan satu kesatuan. Heidegger dalam hal ini, membedakan antara dunia ortis (ontic), yaitu totalitas objek-objek di dunia, langit, gunung, laut dan sebagainya[ dunia ontologis (ontology) yaitu aneka benda-benda yang merepresentasikan
Hariadi Susilo
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
sebuah dunia, misalnya cat, kuas, kanvas, bingkai, yang menandai dunia seni lukis; dunia ontis-eksistensi (ontic-existential), yaitu kumpulan dunia benda-benda tempat berdiamnya dasein; dan dunia ontologiseksistensi (ontologis-existential), yaitu dunia yang meliputi dasein, yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dasein. Selain itu, berdasarkan relasi bahasa ada perbedaan antara dunia realitas dan dunia simbol (symbolic world). Dunia simbol biasanya dipahami sebagai wujud yang mempresentasikan sesuatu di luar dirinya yaitu realitas atau dunia. Hubungan antara simbol atau tanda (sign) dan dunia realitas yang bersifat referensial (referential), yaitu bahwa tanda merujuk pada realitas yang dipresentasikannya. Sebuah gambar pohon menunjuk pada pohon yang ada di dunia nyata. Ia sendiri sesungguhnya adalah sebuah dunia-dunia simbol. Bagaimana, siapa, apa mengenai dunia tanda, dunia makna, dunia media. Kumpulan simbol dan tanda-tanda (semiotic) membentuk apa yang disebut dunia teks (the world of text). Teks adalah satu bentuk pelukisan dunia realitas (dunia benda, dunia peristiwa, dunia tindakan) lewat kombinasi tanda-tanda, yang menghasilkan makna tertentu. Meskipun demikian, dunia realitas dan dunia teks tidak dilihat sebagai dua dunia yang terpisah satu sama lainnya. Paul Ricouer, misalnya dunia tindakan (action) dan dunia teks sebagai dua yang tidak dapat dipisahkan, lewat hubungan simbosis mutualisme di antara keduanya. Di dalam relasi tersebut, teks membentuk dunia, dan sebaliknya teks dibentuk oleh dunia. Dunia teks pada awalnya mengambil bahan bakunya dari dunia realitas dan dunia tindakan; akan tetapi, disebabkn kemampuannya menciptakan dunia fiksi lewat daya imajinasi dan kreativitas manusia, maka dunia fiksi itu kelak dapat mempengaruhi dan membentuk ulang dunia realitas. Dunia teks sekali diciptakan, menjadi calon dunia realitas. Bagaimana dunia tanda (semiotic) sangat menggantungkan dirinya pada keberadaan
dunia realitas (fisik, psikis) sebagai referensinya, dijelaskan dalam konteks linguistik oleh Fredinand de Saussure. Meskipun tanda sangat menggantungkan dirinya pada dunia realitas, bahwa tanda itu sendiri adalah sebuah dunia, yaitu dunia tanda-tanda (the world of signs). Sebagai sebuah dunia, menurut de Saussure, tandatanda harus mempunyai wujud konkret, tidak saja wujud materialistis penandanya (signifier), penanda itu juga harus mengacu pada sebuah realitas di luar dirinya. Sebuah pohon menunjuk sebagai referennya sebatang pohon yang konkret di dalam realitas. Dengan demikian, realitas fisik mendahului realitas tanda. Dengan perkataan lain, keberadaan dunia tanda hanya dimungkinkan bila ada dunia realitas yang direpresentasikannya. Tanda sesungguhnya dibentuk di dalam tiga dunia yang saling berkaitan satu sama lainnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Roland Barthes di dalam Elements of Semiology. Pertama dunia realitas, yang di dalamnya terdapat berbagai fragmen penanda (signifier) dan petanda (signified) potensial, yang meskipun berpotensi, akan tetapi, belum membentuk tanda. Inilah dunia yang belum ditransformasikan ke dalam tanda-tanda sebuah dunia alam (natural world). Kedua dunia tanda (the world of signs), yaitu sebuah dunia tanda dengan segala relasi, struktur, dan sistemnya, sebagai bagian dan sebuah sistem bahasa dan komunikasi, yang di dalamnya potensi-potensi semiotik dari alam ditransformasikan ke dalam bentuk tanda-tanda. Ketiga dunia budaya (the world of cultural), yaitu sebuah dunia relasi antarmanusia yang diperantarai oleh benda, tanda, dan makna, yang di dalamnya tandatanda digunakan sebagai alat di dalam berbagai relasi kultural, dengan mengaitkan tanda-tanda dengan berbagai relasi ideologis. Sebab itu terdapat relasi yang kompleks di antara ketiga dunia tersebut, akibatnya pelipatan dunia tanda akan menciptakan pelipatan dunia budaya. Begitu juga pelipatan dunia alam (misalnya pemendekan jarak geografis) menciptakan pelipatan dunia budaya dan dunia tanda.
40
Hariadi Susilo
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
Pembentangan dunia secara terminologis, semantik, sosiologis, dan filosofis di atas, yang meskipun demikian masih sangat umum sifatnya, mungkin dapat memberikan gambaran sepintas tentang kompleksitas pelipatan dunia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pemahaman mengenai fenomena pelipatan dunia di dalam berbagai dimensinya, perubahan semantik tampaknya diperlukan di sini. Makna melipat dalam hal ini harus diperluas lewat mekanisme yang disebut perluasan semantik (semantic extension). Bila hakikatnya melipat selembar kertas adalah merubah ukuran (luas dan tebal) kertas, maka melipat dunia dalam rangka perluasan semantik, yaitu merubah ukuran, struktur, sistem, dimensi, kompleksitas. Dalam fenomena melipat, ada sebuah proses perubahan keadaan (state), khususnya perubahan pada ukuran luas (teritorial), jarak (ruang-waktu), kecepatan (perseptul), dimensi (bidang-ruang), kompleksitas (sosial, budaya). Dalam hal ini, melipat dunia dapat diartikan sebagai sebuah istilah umum untuk menjelaskan berbagai fenomena pemampatan (ruangwaktu), peningkatan (jarak) pemadatan (kata, bahasa, informasi), reduksionisme (eksistensi), pensimulasian (realitas, sosial). Melipat kertas berarti merubah ukuran luas kertas sehingga menjadi lebih kecil, akan tetapi sekaligus menambah ukuran tebalnya, melipat bahasa artinya mengurangi jumlah kata, sehingga menjadi lebih padat dan ringkas, sekaligus meningkatan entropi (entropy) atau ketidakpastian maknanya, melipat ruang artinya memperpendek waktu yang digunakan untuk menempuh jarak ruang akibatnya mempersempit ruang relasi fisik dan sosial di dalamnya, melipat waktu artinya menempatkan waktu dalam pengertian memperkecil waktu yang diperlukan untuk satu pergerakan atau perpindahan (movement), akan tetapi sekaligus mempersempit waktu refleksif dan perenungan di dalamnya, melipat sosial, artinya meredusir sistem, dimensi, dan relasi sosial yang menjadi dimensi yang lebih ringkas, misalnya dimensi citra (image), mengakibatkan sekaligus
41
membunuh relasi sosial yang nyata; melipat spiritual artinya meredusir dimensi-dimensi spiritual yang kompleks menjadi dimensi tanda dan gaya (gaya hidup), sehingga melenyapkan dimensi-dimensi kedalaman dan transendentalnya. Dalam konteks perluasan semantik ini, berbagai padanan dari semiosis melipat dunia yang telah dikembangkan menjadi polisemi oleh berbagai pemikir di dalam konteks disiplinnya masing-masing, dapat dikemukakan di sini. Ungkapan melipat, misalnya, dapat diekivalenkan dengan konsep ontologis citra Heidegger, pemampatan ruang-waktu (Hanvey), miniaturisasi dunia, imagologi (Baudrillard), cyberspace (Wertheim), McDonaldisasi dunia (Ritzer), dromologi, kronopolotik (Virilio), dunia tunggang-langgang (Giddens), kolonialisasi meme (Mihaly), teknopoli (Postmant). C. Kesimpulan Dunia yang dilipat, adalah perubahan dan transformasi dunia yang sangat komplek, yang di dalamnya melibatkan berbagai realitas pelipatan, dimensinya yang sangat kompleks, dan konsekuensi yang ditimbulkannya, baik secara sosial, psikologis, politik, ekonomi, kultural, maupun spiritual, kajian semiotik mencoba hanya mengangkat permukaan berbagai implikasi kultural dari kompleksitas pelipatan dunia tersebut. Pelipatan dunia, sebagaimana telah dikemukan di atas adalah proses dari relasi yang sangat kompleks, yang bersifat multidimensi dan multibentuk, yang melibatkan aspek dunia kehidupan dengan bentuk pelipatan berbagai unsur sistem dan aktor yang terlibat di dalamnya. Di balik dunia yang dilipat, sesungguhnya ada relasi kekuasaan tertentu yang beroperasi, khususnya relasi dominasi, dominasi waktu atas ruang di dalam pemampatan ruang-waktu, dominasi meme atas gen di dalam pelipatan informasi, dominasi penanda atas petanda dalam pelipatan semiotik, dominasi simulakra atas
Hariadi Susilo
Jurnal KOMUniKASI PENELITIAN Volume 17 ( 1) 2005
realitas sosial di dalam pelipatan sosial. Berbagai bentuk pelipatan dunia, dengan demikian, merupakan deskripsi atau lukisan dunia adanya tindakan aktor terhadap relasi kekuasaan tertentu untuk merubah dunia ke arah pelipatan dunia. Maka petanda dan penanda, tanda-tanda, bermunculan berbagai polisemi Semiotik Dunia. D. Daftar Pustaka Alam, Bachtiar. 1997. Globalisasi dan Perubahan Budaya Perpektif Teori Kebudyaan. Jakarta: Depdikbud. Abdullah, Irwan. 2004. Antropologi di Persimpangan Jalan. Journal Kebudayaan Barthes, Mikhail. 1967. Element of Semiology. New York: Hill & Wang. Dillistone, Fus. 2002. The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius. Baurdrillard, Jean. 1983. Simulation, Semiotext, New York: The University of Michigan Press. Baurdrillard, Jean. 1993 Symbolic Exchange and Death. London: Sage Publication. Baurdrillard, Jean. 1994. Simulacra and Simulation. New York: The University of Michigan P.
Harvey, David. 1990. The Condition of Postmodernity. Cambridge: Basil Blackwell. Halim. A. Fachrizal. 1980. Beragama Kapitalisme. Yogyakarta: Indonesia Tera. Heidegger, Martin. 1995. Being of Parody. Oxford: Basil Blackwell. K. Nottingham. E. 2002. Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Grafindo Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi 1 dan 2. Jakarta: UI Press Ritzer, Geograge. 1996. The Mecdonaldization of Society. New York: Pine Forge Press. De Saussure, Ferdinad. 1974. Course ini General Linguistics. London: Fontana. Stroker, Elisabeth. 1987 . Investigation of Philosophy of Space. New York: Ohio University P. Suastika, M. I. 2003. Kajian Budaya dan Paradigma yang Dikembangkan, Sebuah Cendramata untuk Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus. Denpasar: Program Studi S2 & S3. Virilio, Paul. 1977. Speed & Politics, Semiotext. New York.
42