TORTOR DALAM PESTA HORJA PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA
TESIS Oleh SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara
TORTOR DALAM PESTA HORJA PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh SANNUR D.F. SINAGA NIM. 097037013
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis
Nama Nomor Pokok Program Studi
: TORTOR DALAM PESTA HORJA PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA: SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN MAKNA : Sannur D.F. Sinaga : 097037013 : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Dra. Rithaony, M.A. NIP. 196311161997032001
Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum. NIP. 196510211992032003
Ketua Anggota
Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua,
Fakultas Ilmu Budaya Dekan,
Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001
Universitas Sumatera Utara
Tanggal lulus: Telah diuji pada Tanggal
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua
: Drs. Irwansyah, M.A.
(……………………..)
Sekretaris
: Drs. Torang Naiborhu., M.Hum.
(..…..………………..)
Anggota I
: Dra. Rithaony, M.A.
(….… ………………)
Anggota II
: Yusnizar Heniwaty, SST., M.Hum. (...……………………)
Anggota III
: Drs. Kumalo Tarigan, M.A.
(……………...………)
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT This research discusses about Tortor in Horja ceremony for Batak Toba’s society. How the Tortor presented in Horja ceremony, and what is it mean and the floor’s pattern? Tortor is a dancing that is moving all body with Gondang Sabangunan music and it is central moving from feet, hand, fingers, feet palm, back and shoulder. Tortor has spirit of togetherness, brotherhood, or solidarity principles to common interest. Tortor is about custom ceremony, ritual ceremony and also entertainment amusement. In this research, researcher focused for Horja ceremony in Rahut Bosi village, Pangaribuan, North Tapanuli. Tortor is danced equal with the status of Dalihan Na Tolu. From it is moving we will know who is hula-hula, dongan tubu and also boru. Tortor from Batak Toba’s society are still coherent in their life wherever they live. The activity of manortor is dancing in every activity in Batak Toba’s custom society life. Though, the using of Tortor has many growth after christian’s, but the basic motif of Tortor dancing is still pure, even though the context has changed the limits that is equivalent with the Christian’s religion. The presented of Tortor that are the basic dancing, danscript of Tortor dancing, the floor’s pattern and also the clothes are focuses of discussed by researcher about the Tortor in Horja ceremony.
Keywords:
Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan bahasan tentang Tortor dalam Pesta Horja pada masyarakat Batak Toba. Bagaimana bentuk penyajian Tortor dalam Pesta Horja, dan bagaimana makna maupun pola lantainya? Tortor adalah tarian yang menggerakkan seluruh badan dengan iringan Gondang Sabangunan dengan pusat pola gerakan terletak pada kaki, tangan, jari, telapan kaki, punggung dan bahu. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama. Tortor berhubungan dengan upacara adat, upacara ritual, maupun hiburan. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada Pesta Horja di Desa Rahut Bosi, Pangaribuan, Tapanuli Utara. Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukannya dalam Dalihan Natolu. Dari gerakan Tortor kita akan mengetahui siapa hula-hula, dongan tubu maupun boru. Tortor bagi masyarakat Batak Toba tetap melekat dalam kehidupannya di manapun mereka berada. Aktivitas manortor dilakukan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba. Meskipun pemakaian/penggunaan Tortor banyak mengalami perkembangan setelah era kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan, tetapi motif dasar gerak Tortor tersebut masih tetap dilakukan yang sebenarnya, meskipun konteksnya sudah mengalami batasan-batasan yang disesuaikan pada ajaran kekristenan. Bentuk penyajian dari gerak Tortor yang meliputi motif gerak dasar, danskrip gerak Tortor, pola lantai maupun busana merupakan pembahasan penulis tentang Tortor dalam Pesta Horja tersebut.
Kata kunci:
Tortor, Horja, Batak Toba, Gondang Sabangunan, Dalihan na tolu, hula-hula, dongan tubu, boru
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, rahmat dan karunia-Nya yang membimbing dan menyertai penulis dalam penyelesaian studi di Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Tulisan dalam bentuk tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) pada Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak A. Sinaga dan Ibu (Oma) R. Napitupulu (alm), nasehatmu ibu senantiasa mengiringi langkahku di manapun aku berada. Segala yang Bapak berikan (doa dan nasehat) membawaku mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya tidak mampu membalasnya dengan apapun. Kepada suami saya tercinta, Drs. Aipda. Saut Gultom, yang tidak pernah lelah mendukung dan memotivasi saya dengan moril maupun materil dalam perkuliahan hingga selesainya penulisan tesis ini. Hanya tesis ini yang dapat saya persembahkan sebagai tanda terima kasih atas cinta dan kasih sayangmu kepadaku. Tidak lupa kepada kedua anakku yang sangat kucinta dan kusayangi, Kevin Gultom dan Kenny Gultom. Atas dorongan dan kelucuanmu membuat
Universitas Sumatera Utara
mama termotivasi dalam penyelesaian tesis ini, tanpa kalian mama tidak ada semangat dan kekuatan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya haturkan kepada kedua mertua saya, M. Gultom dan L. Br. Sinaga. Tidak lupa saya berterima kasih kepada abang, Ir. Mardi Sinaga, MBA, Sahala Adhel Sinaga, SE, dan adik saya, Imelda Sinaga, SP. Atas dorongan, motivasi dan doa kalian mendukung terselesaikannya pembuatan tesis ini. Semoga kalian selalu diberkati Tuhan Yesus Kristus Juru Selamat kita. Secara akademik penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu., DTM & H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberi fasilitas, sarana dan prasarana belajar bagi penulis sehingga dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Drs. Irwansyah, M.A., dan Sekretaris, Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, atas bimbingan akademis dan arahan yang diberikan. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya ucapkan kepada Ibu Dra. Rithaony, M.A., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra. Yusnizar Heniwaty, M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II atas semua tuntunan, nasehat serta bimbingannya dan memotivasi penulis supaya tetap semangat dan terus maju
Universitas Sumatera Utara
tidak menyerah. Juga saya ucapkan terima kasih kepada Dosen Penguji Drs. Kumalo Tarigan, M.A., yang memberikan koreksi dan kritikan demi perbaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, antara lain: Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D., Drs. Kumalo Tarigan, MA, Dra. Rithaony, M.A., Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si., Dra. Frida Deliana, M.Si., Drs. Bebas Sembiring, M.Si., atas ilmu yang telah diberikan selama ini. Begitu juga kepada Bapak Drs. Ponisan sebagai pegawai adminsitrasi, terima kasih atas segala bantuannya selama ini. Penulis berharap kiranya tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Selain itu juga dapat menjadi sumbangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Penciptaan dan Pengkajian Seni, serta Etnomusikologi. Tentu tesis ini masih jauh dari kesempurnaannya, karena itu kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun pada tesis ini.
Medan, Penulis
Januari 2012
Sannur D.F. Sinaga
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI 1. Nama
: Sannur D. F. Sinaga
2. Tempat/Tgl. Lahir
: Parapat, 22 Juli 1971
3. Jenis Kelamin
: Perempuan
4. Agama
: Kristen Protestan
5. Kewarganegaraan
: Indonesia
6. Nomor Telepon
: 081361776034
7. Alamat
: Villa Mutiara III, Blok H-16 Jl. Bajak II H, Marindal-Medan
8. Pekerjaan
: PNS Guru SMK Negeri 11 Medan
PENDIDIKAN 1. Sekolah Dasar Negeri 091463 Parapat lulus tahun 1984 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Parapat lulus tahun 1987 3. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Parapat lulus tahun 1990 4. Sarjana Seni Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara lulus tahun 1997
Universitas Sumatera Utara
5. Akta Mengajar IV Bidang Kependidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan lulus tahun 2003 6. Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni di Fakultas Budaya Universitas Sumatera Utara
PENGALAMAN KERJA 1. Tahun 2004-2009 PNS Guru di SMA Negeri 2 Yayasan Sopo Surung Balige 2. Tahun 2009-sekarang PNS Guru di SMK Negeri 11 Medan
PENGALAMAN PROFESI 1.
Tahun 2005
Juri Festival Tortor Se Kabupaten Toba Samosir
2.
Tahun 2009
-
Pengurus Lembaga
Pengembangan Paduan
Suara Daerah Kabupaten Toba Samosir -
Pengurus Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Toba Samosir
-
Juru Festival Paduan Suara Wanita Se Gereja HKBP Distrik Humbang Hasundutan
-
Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se Kabupaten Deli Serdang
-
Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara Kabupaten Tapanuli Utara
Universitas Sumatera Utara
-
Juri PORSENI SD Tk. Provinsi Sumatera Utara
-
Juri Festival Paduan Suara TB. Silalahi Center Toba Samosir
-
Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se Kabupaten Toba Samosir
-
Juri PORSENI Tk. I SMP Provinsi Sumatera Utara
-
Pengurus
Lembaga
Pengembangan
Musik
Gereja Sumatera Utara -
Juri Festival Vocal Group dan Paduan Suara Se Kabupaten Tapanuli Utara
-
Panitia Pagelaran Musik Gereja Bernuansa Etnis Se Sumatera Utara
-
Peserta Festival Paduan Suara Gerejawi Tingkat Nasional Utusan Sumatera Utara di Samarinda
3.
Tahun 2010-2012
-
Juri Tari Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara
-
Juri Vocal Group Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara
-
Juri Vocal Solo Tk. SLTA Se Provinsi Sumatera Utara
-
Juri Festival Paduan Suara Gerejawi Se Kabupaten Deli Serdang
Universitas Sumatera Utara
-
Juri Festival Paduan Suara HKBP Se Humbang Hasundutan dalam rangka Jubileum HKBP ke 150 tahun
-
Tim Kesenian Toba Samosir ke Taman Mini Indonesia Indah
-
Juri Vocal Group Perparawi Se Kabupaten Simalungun
-
Juri Paduan Suara, Vocal Group, Solo Se Kabupaten/Kota Nias
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan,
Januari 2012
Sannur D.F. Sinaga NIM 097037013
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
v
ABSTRAK .....................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .....................................................................
x
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xviii BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1
Latar Belakang ......................................................................
1
1.2
Pokok Permasalahan .............................................................
15
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................
15
1.3.1 Tujuan Penelitian ...........................................................
15
1.3.2 Manfaat Penelitian .........................................................
16
1.3.3 Fokus Penelitian .............................................................
17
1.4
Studi Kepustakaan .................................................................
17
1.5
Landasan Teori ......................................................................
19
1.6
Metodologi Penelitian ...........................................................
23
1.7
Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data ...................
25
1.7.1 Observasi ........................................................................
25
1.7.2 Wawancara ...................................................................... 26
Universitas Sumatera Utara
1.7.3 Perekaman ....................................................................... 26 1.7.4 Kerja laboratorium ........................................................... 27 BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA ..............................................................................
28
2.1
Geografi Batak Toba .............................................................
28
2.2
Asal-Usul Masyarakat Batak Toba .......................................
30
2.2.1 Pengertian Batak .......................................................
30
2.2.2 Sejarah Batak .............................................................
31
2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba ........................................
35
2.3
Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara ....................................
36
2.4
Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Batak Toba ...............
44
2.4.1 Hula-hula ...................................................................
47
2.4.2 Dongan Sabutuha ......................................................
48
2.4.3 Boru ...........................................................................
49
2.4.4 Sistem Sapaan ...........................................................
50
2.5
Mata Pencaharian ..................................................................
54
2.6
Kampung dan Desa ...............................................................
54
2.7
Agama dan Kepercayaan .......................................................
56
2.7.1 Islam ..........................................................................
60
2.7.2 Kristen .......................................................................
62
2.7.3 Parmalim ...................................................................
64
2.7.4 Siraja Batak ...............................................................
67
Kesenian Masyarakat Batak Toba .........................................
68
2.8
Universitas Sumatera Utara
2.8.1 Seni Tari dan Seni Suara ...........................................
68
2.8.2 Seni Rupa ..................................................................
72
2.8.3 Seni Sastra .................................................................
73
2.8.4 Seni Musik .................................................................
75
BAB III TORTOR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA ..............................................................................
78
3.1
Tortor Pada Saat Upacara .....................................................
78
3.2
Penggunaan dan Fungsi Tortor .............................................
93
3.2.1 Penggunaan Tortor ....................................................
93
3.2.2 Fungsi Tortor .............................................................
96
3.3
Busana Tortor dalam Upacara ...............................................
104
3.4
Perkembangan Tortor ............................................................
106
BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA ........
108
4.1
Latar Belakang Pelaksanaan Pesta Horja ..............................
108
4.2
Tujuan Pelaksanaan Pesta Horja ...........................................
113
4.3
Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja .................
117
4.3.1 Mamanggil Pargonsi .................................................
117
4.3.2 Adat Tu Pargonsi .......................................................
118
4.3.3 Maniti Ari ..................................................................
120
4.3.4 Menentukan Tempat ..................................................
121
4.4
Tortor yang Disajikan Pada Saat Penyelenggaraan Pesta Horja .............................................................................
4.5
122
Penentuan Judul Tortor dan Hubungannya Dengan
Universitas Sumatera Utara
Pihak yang Manortor ............................................................. 4.6
Hubungan Tortor Dengan Gondang Sebagai Musik Pengiring ...............................................................................
125
Tortor Sipitu Gondang Dalam Pesta Horja ...........................
168
4.7.1 Tortor Mula-mula ......................................................
168
4.7.2 Tortor Somba .............................................................
169
4.7.3 Tortor Mangaliat/Siuk-siuk .......................................
169
4.7.4 Tortor Sibane-bane ....................................................
170
4.7.5 Tortor Saudara/Parsaoran ..........................................
170
4.7.6 Tortor Simonang-monang .........................................
171
4.7.7 Tortor Hasahatan-Sitio-tio .........................................
171
4.8
Mangido Tuani Gondang ......................................................
172
4.9
Pantun (Umpasa) Dalam Meminta Gondang ........................
173
4.7
BAB V
123
STRUKTUR DAN MAKNA PENYAJIAN TORTOR SIPITU GONDANG ...................................................................................
182
5.1
Struktur dan Makna ...............................................................
182
5.2
Motif dan Makna Gerak Dasar Dalam Tortor .......................
183
5.3
Aturan-aturan Dalam Gerakan Tortor ...................................
194
5.3.1 Pangurdot ..................................................................
194
5.3.2 Pangeal ......................................................................
194
5.3.3 Pandenggal ................................................................
195
5.3.4 Siangkup na (siakkup na) ..........................................
195
5.3.5 Hapunan ....................................................................
195
Universitas Sumatera Utara
5.4
Danskrip Tortor Dalam Pesta Horja ......................................
199
5.5
Pola Lantai ............................................................................
203
BAB VI PENUTUP .....................................................................................
219
6.1
Kesimpulan ...........................................................................
219
6.2
Saran ......................................................................................
221
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
222
LAMPIRAN: GLOSSARIUM .............................................................................
225
DAFTAR INFORMAN ................................................................
231
TAROMBO NI OMPU I GURU TOLOAN GULTOM ............
234
TERTIB ACARA PESTA HORJA .............................................
237
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara .......................................
29
Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan menurut Desa/Kelurahan ...
33
Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan .........................
42
Tabel 2.4 Luas Tanah Desa Rahut Bosi ..........................................................
43
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa rahut Bosi ..................................................
43
Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija ..................................................................
43
Tabel 2.7 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga .............................................
44
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari diadakan sesuai dengan kebudayaan setempat dengan cara dalam konteks yang berbeda-beda. Tari diadakan untuk upacara-upacara yang berkaitan dengan adat dan kepercayaan, namun ada juga yang melaksanakannya sebagai hiburan atau rekreasi. Sistem sosial dan lingkungan alam mempengaruhi bentuk dan fungsi tari pada suatu komunitas suku dan budaya. Tari 1 dalam kehidupan masyarakat Batak Toba disebut Tortor, sedangkan penari biasa disebut dengan Panortor. Tortor memiliki prinsip semangat kebersamaan, rasa persaudaraan, atau solidaritas untuk kepentingan bersama. Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, Tortor berhubungan erat dengan upacara adat, upacara ritual, maupun untuk hiburan. Dalam tulisan ini ada beberapa
subyek
pembahasan
yaitu
tentang
konteks,
makna
maupun
perkembangan Tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. 1
Dalam Diskusi Tari Tradisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1975, sejumlah ahli tari merumuskan pengertian dasar unsur estetika tari yang meliputi medium (bahan baku), penggarapan, isi, dan penyajian (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157). Medium atau bahan baku tari adalah gerak yang setiap hari kita lakukan. Berdasarkan fungsinya, gerak dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu gerak bermain yang dilakukan untuk kesenangan pelakunya, gerak bekerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil, dan gerak tari yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan masyarakat tradisional Batak Toba, tari (Tortor) mempunyai peranan penting dalam aktivtas kehidupan mereka yang berkaitan dengan
kehidupan
spiritual
mereka
dan
juga
untuk
hubungan
sosial
kemasyarakatannya. Tortor dilakukan dengan berbagai kegiatan ritual maupun upacara keagamaan dan juga dapat dipertunjukkan dalam konteks adat. Tortor ditarikan sesuai dengan kedudukan masing-masing warga masyarakat di dalam kehidupan adat masyarakat Batak Toba yang disebut sebagai sistem kekerabatan. Sistem ini disebut dengan Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu terdiri dari Hula-hula (pihak pemberi istri), Boru (pihak keluarga istri), Dongan Sabutuha (kerabat semarga). Adat Batak Toba yang dimaksud ialah rangkaian atau tatanan normanorma sosial dan religius yang mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia dengan leluhurnya, hubungan vertikal kepada Sang Pencipta, serta pelaksanaan upacara-upacara ritual keagamaan (Purba, 2003: 1). Tortor adalah “seni tari dengan menggerakkan seluruh badan dengan dituntun irama gondang, dengan pusat gerakan pada tangan dan jari, kaki dan telapak kaki/punggung dan bahu.” (Malau, 2000: 215) “Setiap gerakan pada Tortor Batak yang berekspresi disebut urdot. Mangurdot berarti menggerakkan badan dan anggota tubuh secara ekspresif. Urdot ini dilakukan sesuai dengan iringan gondang. Gondang dan Tortor adalah perpaduan bunyi dan gerak tubuh yang sedang dibawakan.” (Lumbantobing, 1968: 120)
Universitas Sumatera Utara
Tortor dalam upacara ritual maupun adat biasanya diiringi Gondang Sabangunan (musik tradisional masayarakat Batak Toba). Manortor yang dilakukan oleh muda-mudi adalah bentuk penyampaian hasrat hati kepada lawan jenisnya, dan pada dulunya tarian ini dilakukan pada malam bulan purnama. Artinya aktivitas manortor ini dilakukan sebagai sarana penyampaian isi batin baik kepada roh-roh leluhur maupun kepada orang-orang yang dihormati maupun yang disayangi (sesama manusia) yang ditunjukkan dalam bentuk tarian/Tortor. Tortor senantiasa diiringi gondang sabangunan. Setelah paminta gondang (orang yang meminta repertoar gondang dimainkan yang sekaligus juga berperan sebagai pemimpin kelompok penari) menyerukan untuk maminta gondang (meminta gondang) dimainkan dimulailah gerakan mangurdot, seiring dengan bunyi ritme dari gong (ogung) dan gendang (taganing). Dalam hitungan 2 x 8 atau 3 x 8 dengan dimulainya bunyi suara sarune (alat tiup berlidang ganda) maka panortor mulai membuka tangan dan melakukan gerak tortor sesuai yang diminta. Urdot selalu dimulai dengan kaki kanan dalam hitungan untuk memulainya. Kaki kanan itu melambangkan keberhasilan dari sesuatu hal yang kita kerjakan. Dalam bahasa Batak biasa disebut dengan parlangka siamun. Hertz menyatakan bahwa pada berbagai suku bangsa di Indonesia upacara kematian terdiri dari atas tiga tingkat, yaitu: (1) sepelture provisorie; (2) periode intermediaire; dan (3) ceremonie finale. Mula-mula mayat diberi suatu sepulture proisoire yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaire atau masa antara. Setelah masa antara dilewati, diadakan suatu upacara yang
Universitas Sumatera Utara
memberikan suatu kedudukan yang baru untuk roh orang mati dengan jalan ceremonie finale yaitu suatu upacara penggalian tulang belulang dan sisa jasmani dari jenazah, lalu ditempatkan di tempat yang tetap (Koentjaraningrat, 1980:7273). Kepercayaan tradisional masyarakat Batak Toba menyatakan bahwa apabila seseorang ingin mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, maka dia harus melakukan berbagai hal dalam kehidupannya, antara lain sebagai berikut: -
Harus menghormati, menyembah dan memuja orang tua dan roh nenek moyang dengan mengadakan upacara-upacara.
-
Memberi perhatian yang khusus kepada roh-roh pengetua adat (harajaon) maupun dukun (datu).
-
Menyajikan persembahan dalam bentuk sesajen dan memelihara roh.
-
Menuruti kehendak roh.
-
Mentaati tata cara adat di dalam segala aktivitas dalam kehidupan. Dalam kepercayaan Batak Toba manusia mempunyai tiga unsur yaitu:
tondi (jiwa), mudar (darah) dan sibuk (daging). Dalam hal ini tondi akan menyertai manusia selama manusia masih hidup. Tetapi bila manusia meninggal, maka tondi akan meninggalkannya dan tondi akan menjadi penghuni (mempunyai kuasa) dunia tengah yang didiami roh-roh nenek moyang. Dilihat dari sudut kepercayaan, peristiwa kematian manusia pada masyarakat Batak Toba adalah hal yang sangat penting dan sangat dihargai dari peristiwa-peristiwa dalam siklus kehidupan (life cycle), misalnya kelahiran, perkawinan, kematian dan lain-lain. Hal tersebut disebabkan adanya kepercayaan
Universitas Sumatera Utara
tentang tondi, begu, sahala, sombaon, dan sumangot orang Batak Toba (biasanya untuk nenek moyang). Menurut keyakinan masyarakat mereka, segala aspekaspek ini selalu berhubungan erat dengan keyakinan terhadap datangnya berkat kebahagiaan (pasu-pasu), maupun keselamatan. Hal ini akan diterima dengan sendirinya apabila seseorang itu hidup dalam ketaatan adat maupun penghormatan kepada seseorang sebelum maupun sesudah kematiannya. Masyarakat Batak Toba meyakini roh orang yang sudah meninggal dapat melihat keadaan orang-orang yang masing hidup dan keluarga yang ditinggalkannya dan mempunyai hubungan mendatangkan keselamatan dan mendatangkan malapetaka. Ada kepercayaan yang menyatakan bila suatu keluarga atau sekelompok marga dapat melaksanakan upacara atau pesta horja ini maka mereka akan memperoleh keselamatan, dan sebaliknya jika tidak dilaksanakan akan mendatangkan malapetaka. Dengan demikian masyarakat Batak Toba akan berusaha melaksanakan pesta tersebut sebagai tanda penghormatan kepada nenek moyang mereka. Tingkat ketiga dari upacara kematian tersebut, yakni ceremonie finale terdapat pada masyarakat Batak Toba yang diawali dengan penyatuan tulang belulang nenek moyangnya. Kemudian disatukan ke satu tempat yang dibangun khusus. Upacara ini bermaksud untuk menghormati, memperingati, dan meninggikan roh nenek moyang (leluhur) yang dipandang sebagai penentu adat. Monang Naipospos selaku pengetua adat menyatakan Tortor Batak yang sangat individual dan merupakan ritual kehidupan persembahan kepada orang
Universitas Sumatera Utara
banyak, lingkungan dan penciptaannya sifatnya bukan sebagai hiburan. Tortor adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang. Biasanya jenis gondang yang dimainkan adalah sama dengan nama Tortor yang akan ditarikan. Misalnya dalam Gondang Mula-mula yang ditarikan adalah Tortor Mula-mula artinya bahwa semua yang ada di bumi ini pada mulanya ada yang menciptakan (dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dikenal dengan Mula Jadi Na Bolon), dan segala sesuatu yang dimulai dengan baik maka hasilnya akan baik pula. Begitu juga dengan Gondang Somba yang ditarikan adalah Tortor Somba (gerakan menyembah kepada Tuhan dan kepada masyarakat sekeliling), dan masih banyak lagi jenis Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan. Dalam sebuah aktivitas Tortor yang diiringi Gondang Sabangunan biasanya salah satu dari penari (panortor) tersebut akan bertindak sebagai paminta gondang. Paminta Gondang ini adalah orang yang meminta Gondang (lagu) untuk dimainkan dan sekaligus berperan sebagai pemimpin dari kelompok penari (panortor) tersebut. Sebagai seorang paminta gondang, orang tersebut harus punya pengetahuan tentang gondang yang akan dimainkan dan harus mengetahui umpasa (pantun, petatah-petitih) yang selalu mengiringi aktivitas manortor (menari pada kehidupan masyarakat Batak Toba). Jenis-jenis Tortor disesuaikan dengan musik (gondang) yang akan dimainkan. Seni tari Batak Toba pada zaman dahulu merupakan sarana utama pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Menari/manortor juga dilakukan dalam acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang pada waktu itu masih menganut kepercayaan yang berbau mistis. Acara pesta adat membunyikan
Universitas Sumatera Utara
Gondang Sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap) sangat erat hubungannya dengan pemujaan para dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman dahulu. Tata cara memulai tortor dilaksanakan dengan mengikuti persyaratan tertentu. Sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhuton) melakukan acara khusus yang dinamakan mangido tua ni gondang (yang artinya pihak yang punya hajatan/hasuhutan meminta kepada pemain gondang dalam hal ini taganing untuk memainkan gondangnya menggunakan kata-kata yang sopan dan santun. Begini bunyinya: “Amang Panggual Pargonci …(wahai pemusik...) -
Alualuhon damang majo tu omputta Mula Jadi Nabolon, na jumadihon nasa na adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion (sampaikanlah permohonan kami kepada maha pencipta, yang menjadikan segala yang ada, menjadikan manusia serta seluruh isi dunia ini). Gondang pun dimainkan...
-
Alualuhon ma muse tu sumangot ni omputta sijolo-jolo tubu, sumangot ni omputta paisada, omputta paidua sahat tu papituhon (Sampaikan juga kepada roh-roh leluhur, leluhur yang pertama, kedua, hingga leluhur tingkat ke tujuh). Gondang dimainkan...
-
Alualuhon majolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo (Mohonkan jugalah kepada hadirin yang terhormat). Lalu gondang pun dimainkan...
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah, setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga permintaan seruan (alu-alu) tersebut dilaksanakan dengan baik, maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan meminta jenis gondang yang harus dilakukan hasuhutan untuk mendapatkan tua ni gondang. Para penari/panortor menari dengan gembira dan sukacita. Jenis permintaan gondang yang dibunyikan adalah permohonan kepada dewa-dewa dan para arwah leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan upacara diberi keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, rejeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan. Gondang terakhir yang dimohonkan adalah Gondang Hasahatan. Artinya selesailah sudah upacara adat yang diharapkan pasti membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Dalam aktivitas manortor banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas, karena bila itu dilakukan berarti si penari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu pendukunan, atau adu pencak silat, atau ada tenaga dalam. Yang umum dilakukan dalam aktivitas dalam manortor adalah: 1. Gondang Mula-mula dengan Tortor Mula-mula 2. Gondang Somba-somba, dengan Tortor Somba-somba 3. Gondang Sampur Marmeme dengan Tortor Sampur Marmeme 4. Gondang Sampur Marorot dengan Tortor Sampur Marorot
Universitas Sumatera Utara
5. Gondang Saudara dengan Tortor Saudara 6. Gondang Sitiotio dengan Tortor Sitio dilanjutkan dengan 7. Gondang Hasahatan dengan Tortor Hasahatan Atau 1. Gondang Mula-mula 2. Gondang Somba-somba 3. Gondang Sibane-bane 4. Gondang Simonang-simonang 5. Gondang Didang-didang 6. Gondang Hasahatan Sitio-tio Gerak tari sebagai bagian dari seni budaya refleksi dan perwujudan dari sikap, sifat, perilaku dan perlakuan serta pengalaman hidup masyarakat itu sendiri. Tarian atau gerak adalah bahasa tubuh yang menggambarkan identitas bangsa atau daerah. Dalam tarian atau gerak tergambar cita rasa, daya cipta dan karsa dari sekelompok orang. Tortor menggambarkan pengalaman hidup orang Batak dalam kehidupan keseharian, gembira atau senang, bermenung, berdoa, menyembah, menangis, bahkan keinginan dan cita-cita maupun harapan tergambar dalam tortor. Tortor adalah tarian seremonial yang secara fisik merupakan
tarian
namun
makna
yang
lebih
dari
gerakan-gerakannya
menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, karena melalui media gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara (Purba, 2004:64).
Universitas Sumatera Utara
Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu yang berhubungan satu dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah sifat fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas obyektif karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagianbagiannya dan hubungan mereka. Sifat struktur adalah totalitas, transformatif, dan otoregulatif. Struktur ini dapat kita lihat dalam penyajian tortor pada kehidupan masyarakat Batak Toba yang terdiri dari makna gerakan, motif gerakan, pola lantai, maupun busana yang dipergunakan. Struktur penyajian tortor ada empat, yaitu: motif dasar gerak, danskrip tortor dalam pesta horja, pola lantai dan busana tortor. Dalam semantik, juga dikenal teori tiga makna. Odgen and Richards (1923) menyebutkan sebagai symbol, reference, dan referent. Morris Morgan (1955) menyebutkan sign, signal, dan symbol. Brodbeck (1963) menyebutnya sebagai (1) makna referensial, makna suatu istilah mengenai obyek, pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah itu sendiri, (2) makna yang menunjukkan arti suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep lain, dan (3) makna intensional, yakni arti suatu istilah atau lambang tergantung pada apa yang dimaksud oleh si pemakai (dalam Kusuma, 2007). Coumming (1999) menyatakan teori makna melalui tiga pendekatan. Ketiga bagian itu yaitu simbol dalam bahasa yang dilihat dari: 1. Perspektif referensial (makna dalam dunia) berarti entitas dalam dunia luar 2. Perspektif psikologi (makna dalam pikiran) berarti referensi dalam pikiran 3. Perspektif sosial (makna dalam tindakan) berarti dilakukan melalui bahasa.
Universitas Sumatera Utara
Makna tersebut terlihat dari setiap makna gerak yang terdapat dalam tortor Batak Toba yang terdiri dari gerakan kepala, mata, hidung, wajah, kaki, badan dan tangan, semua itu memiliki makna dan aturan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain, dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984:5). Selanjutnya dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenisjenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisik tidak akan dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari. Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuituf. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia (Ellfeldt, 1976:160).
Universitas Sumatera Utara
Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh. Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual dan estetika. Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang, maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari (Thompson, 1974:262; Snyder, 1974:9). Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi disebut
akulturasi
(acculturation)
yang
bermakna
masuknya
pengaruh
kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat. (Websteris, 1994:9). Perkembangan dalam kelangsungan kehidupan tradisi tortor pada masyarakat Batak Toba dimulai dengan masuknya agama Kristen di Tanah Batak. Kedatangan para missionaris Kristen di Tanah Batak telah membuat batasan penggunaan tortor dan gondang Batak Toba, dan dalam beberapa hal ada yang bahkan dilarang untuk dilaksanakan. Hal ini diberlakukan dan dikenakan pada masyarakat Batak Toba yang telah beralih ke agama Kristen. Gereja membuat batasan bahwa tortor yang diiringi gondang sabangunan hanya boleh dimainkan atau dilakukan pada acara-acara tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawainan dan inipun dilakukan harus seizin pihak gereja atau terlebih dahulu dibuka atau dimulai pihak
Universitas Sumatera Utara
gereja. Artinya kegiatan ini akan terhindar dari kegiatan kepercayaan lama masyarakat Batak Toba yang menurut faham kekristenan bertentangan dengan ajaran kekristenannya. Dengan kedatangan para missionaris Kristen ke Tanah Batak telah memperkenalkan jenis ensambel musik tiup logam (brass band) dari Barat (Jerman) kepada masyarakat Batak Toba. Jenis musik inipun dibunyikan sesuai dengan perkembangan musik Batak Toba asli yang digabungkan dan dikolaborasikan dengan musik tiup Barat tadi. Dengan sendirinya musik yang dimainkan seiring dengan dilakukannya gerakan Tortor yang ditarikan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Gondang Sabangunan dan musik tiup dari barat merupakan jenis musik yang memiliki keterikatan yang cukup erat dalam tradisi masyarakat Batak Toba karena karakteristik bunyi yang dihasilkan terdapat penyesuaian satu sama lainnya. Dalam Gondang Sabangunan, Tortor dilakukan sesuai karakteristik bunyi yang dihasilkan, demikian juga dengan brass band. Lagu-lagu yang dibawakan dalam brass band merupakan lagu-lagu gereja yang dibunyikan sesuai karakteristik musik (Gondang) pada kehidupan masyarakat Batak Toba. Kemudian masyarakat sebagai pelaku aktivitas tersebut juga manortor sesuai bunyi musik yang dimainkan dan tetap masih dalam aturan sistem kekerabatan yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. Kadangkala lagu gereja yang dimainkan pemusik Gondang Sabangunan digabung dengan musik brass band tadi, yang hasilnya membuat aktivitas tortor semakin meriah dan dinamis.
Universitas Sumatera Utara
Proses percampuran dua kebudayaan atau lebih dan saling mempengaruhi disebut
akulturasi
(acculturation)
yang
bermakna
masuknya
pengaruh
kebudayaan asing terhadap suatu masyarakat (Websteris, 1994:9). Perlahan-lahan Gondang yang mengiringi Tortor berubah menjadi brass band mengiringi Tortor. Hal ini dimulai dari masyarakat yang hidup diperkotaan. Lagu-lagu yang dibawakan sudah lebih banyak diambil dari buku lagu gereja dan lagu-lagu populer. Di sisi lain yang tidak kalah problematis dan nyata adalah ketika kita hendak berbicara yang berkaitan dengan musik di tanah air, namun yang kita miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik, baik dari sudut pandang teoritik analitik, maupun sejarah, sebagian besar berasal dari predominasi pengetahuan Barat – yang/dan belum tentu pas dengan untuk diaplikasikan pada persoalan musik di Indonesia, baik secara pengalaman maupun dalam konteks kajian bangsa. (Hardjana, 2002). Perubahan maupun penyesuaian yang terjadi akibat pengaruh masuknya kekristenan pada masyarakat Batak Toba adalah bahwa masyarakat Batak Toba semakin tidak tahu tentang reportoar gondang yang berkaitan dengan ritual kepercayaan lama, terjadinya pergeseran fungsi tortor dengan iringan Gondang Sabangunan dari kepercayaan lama menjadi lebih sekular seperti penggunaan dalam konteks perayaan dan pesta pembangunan gereja. Akibat larangan dari pihak gereja tentang aktivitas musik gondang mengakibatkan berkurangnya kuantitas penyajian musik tradisi gondang dengan tortor yang mengakibatkan berkurangnya pengetahuan tentang musik gondang dan tortor khususnya bagi generasi muda Batak Toba. Dengan adanya brass band telah memperkenalkan genre musik baru yang telah mampu
Universitas Sumatera Utara
menggeser fungsi maupun penggunaan musik gondang meskipun reportoar lagu yang dibawakan masih memiliki kedekatan yang cukup erat dengan karakteristik musik yang terdapat dalam musik tradisi gondang. Begitu pula dengan gerakan tortor yang pada saat ini sudah banyak menghilangkan unsur-unsur tradisi kepercayaan lama. Seiring dengan perubahan musik tradisi gondang (dari kepercayaan tradisi lama) menjadi jenis musik yang lebih bersifat sekular, demikian pula dengan gerakan tortor yang dilakukan tidak terlalu kaku lagi atau sudah lebih bebas meskipun masih tetap dalam konteks adat yang menganut sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, artinya aturan dalam manortor itu masih tetap dilaksanakan meskipun nilai kesakralannya sudah mulai hilang.
1.2 Pokok Permasalahan Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam tesis nantinya, masalah yang akan dibahas adalah: (1) bagaimana struktur tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba; (2) sejauh mana fungsi dan makna tortor dalam konteks kebudayaan masyarakat Batak Toba(pesta Horja).
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tortor dalam kehidupan sosial adat masyarakat Batak Toba. (2) Untuk mengetahui dan memahami makna tortor. (3) Untuk mengetahui fungsi sosiobudaya dan makna tortor dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya, (4) Untuk mengetahui struktur musik baik dimensi ruang maupun waktu yang dipergunakan dalam musik tortor.
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat yang di ambil dari penelitian yang diwujudkan dalam bentuk Tesis ini adalah sebagai berikut: (1)
Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tortor).
(2)
Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tortor dan musik dalam konteks horja.
(3)
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah.
(4)
Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tortor.
(5)
Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni tradisional yang dalam konteks dunia kepariwisataan di Sumatera Utara pada khususnya dan Indonesia secara umum.
Universitas Sumatera Utara
1.3.3 Fokus Penelitian Yang menjadi fokus dan tempat penelitian ialah Tortor dalam pesta Horja 2 dari keluarga marga Gultom di Desa Rahut Bosi, Kecamatan Pangaribuan adalah pesta Horja yang dilaksanakan sebagai penghormatan kepada leluhur mereka. Acara pesta ini dimulai dari musyawarah keluarga dalam penentuan hari yang disebut dengan maniti ari, kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan dana dari seluruh keturunan yang melaksanakan pesta ini. Kemudian mereka mencari pemain musik (pargondang) atau disebut juga pargonsi. Pihak penyelenggara pesta (hasuhuton) melakukan adat kepada pargonsi. Acara ini dilaksanakan selama 3 hari, dari tanggal 7 Juli 2011 sampai dengan 9 Juli 2011. Di dalam acara ini terdapat acara pembukaan yang disebut mangido tuani gondang kemudian dilanjutkan dengan acara manortor oleh seluruh peserta yang hadir dalam pesta Horja tersebut.
1.4 Studi Kepustakaan Sebelum penulis mengadakan studi lapangan, terlebih dahulu penulis mengadakan studi kepustakaan antara lain: Skripsi Irwansyah yang berjudul “Analisis Komparatif Bentuk (Penggarapan) dan Teknik Permainan dari sebuah Gondang yang disajikan oleh Tujuh Partaganing”, Skripsi S1 Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, menyatakan salah satu aspek kehidupan tradisi seni masyarakat Batak Toba berkisar pada tradisi margondang, 2
Adat feasts are divided into two categories: horja and pesta bius. In general, a horja is a ceremonial feast performed at the clan (marga) level. The central purpose of the horja is the strengthening of social relationships and the workship of ancestral spirits (Purba, 2005:122).
Universitas Sumatera Utara
yaitu suatu aktifitas masyarakat yang melibatkan tradisi musikal dan aturan-aturan adat di dalam suatu pelaksanaan upacara. Menganalisa hubungan peristiwa musik gondang, memberi makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia, atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung. (Irwansyah, 1990:12), yang disajikan dalam upacara masyarakat Batak dengan kegiatan musikal dalam upacara adat Batak Toba masa sekarang ini, merupakan penelitian cross-disipliner antara musikologi dengan antroplogi kebudayaan/etnologi yang mencermati perubahan struktur, gaya dalam penyajian musiknya. Mengacu pada pendapat Dibia, tortor merupakan sebuah tari komunal (segala
aktivitas
tari
yang
melibatkan
instrumen
atau
struktur
sosial
kemasyarakatan, baik atas dasar kepentingan bersama dalam komunitas maupun kepentingan individual (dalam buku Tari Komunal oleh I Wayan Dibia, FX. Widaryanto, Endo Suanda, 2006:53). Dimensi waktu juga telah mengundang seni karawitan ikut serta mengiringi seni tari, dengan peran yang sangat menentukan. Di samping menunjang seni geraknya dalam seni tari dengan menentukan ritme dan tempo yang mewujudkan suasana yang sesuai dengan apa yang ditarikan (Djelantik, 1990:23). Sumaryono dan Endo Suanda dalam buku Tari Tontonan (2005) mengatakan tradisi mengalami proses keberlangsungan dan perubahan-perubahan di dalam dirinya. Perubahan itu merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan,
Universitas Sumatera Utara
mengingat perubahan adalah hal yang alamiah dan niscaya terjadi di berbagai sisi kehidupan dan kebudayaan manusia. Perubahan yang terjadi dalam kebudayaan pada awalnya berlangsung dalam pertemuan panjang lewat persilangan kebudayaan masa lalu dan berlangsung berabad-abad. Hal inilah yang kemudian melahirkan tradisi-tradisi yang menjadi latar budaya yang berkembang di setiap daerah (Sumaryono dan Suanda, 2005:132). Hutasoit menulis dalam buku Ende Dohot Uning-uningan yang menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba dan dalam bukunya yang berjudul Gondang Dohot Tortor Batak yang membahas tentang makna-makna gerak dan aturan-aturan gerak dalam tortor. Batara Sangti dalam bukunya yang berjudul Sejarah Batak juga banyak menjelaskan tentang musik tradisional Batak Toba (Gondang) dan tortor.
1.5 Landasan Teori Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti pergunakan adalah sebagai berikut: Untuk mengkaji konteks penulis mengacu pada tulisan Merriam dengan mengacu pada pendapat (1) musik di dalam konteks kebudayaan (Hood, 1969:298) dan (2) musik dalam kebudayaan (Mariam, 1977:202). Dari dua pendapat di atas bahwa penelitian ini berkaitan dengan perilaku musik, pertunjukan musik dan pengalaman terhadap musik serta mempelajari sekaligus menganalisis keberadaan musik tersebut dalam masyarakat pendukungnya. Sehubungan dengan aktifitas gerak tari (tortor) Anthony V. Shay mengatakan dalam artikelnya yang berjudul “The Function of Dance in Human
Universitas Sumatera Utara
Society” (1971) ada enam fungsi tari yaitu: (1) sebagai refleksi organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi untuk ritual, sekuler dan keagamaan, (3) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai refleksi ungkapan estetis, (5) sebagai ungkapan serta pengendoran psikologis, (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi (terjemahan R. M. Soedarsono). Untuk
mengkaji
perkembangan
tortor
dengan
iringan
gondang
sabangunan penulis mengacu pada teori Webster yang menyatakan: dua kebudayaan
atau
lebih
dan
saling
mempengaruhi
disebut
akulturasi
(acculturation) yang bermakna masuknya pengaruh kebudayaan asing terhadap suatu kelompok masyarakat. (Webster’s, 1994:9) walaupun beberapa di antaranya kebudayaan itu terserap sedikit dan sebagian justru berusaha menolaknya. Keadaan problematik dan nyata ketika pengaruh yang secara sistematis itu berkaitan dengan pemakaian musik di masyarakat Batak Toba, namun yang kita miliki justru dasar-dasar pengetahuan dan referensi kita tentang ‘ilmu’ musik, baik predominasi pengetahuan Barat yang belum dapat diaplikasikan pada persoalan musik di daerah pendukung kebudayaan itu, baik secara pengalaman maupun dalam konteks kajian budaya. (Hardjana, 2002) Tortor merupakan pertunjukan untuk dinikmati penonton. J. Maquet dalam Metodologi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Soedarsono, 1999:56-57) mengemukakan seni yang diciptakan oleh masyarakat bagi kepentingan mereka sendiri disebut sebagai art by destination, sedangkan seni yang dikemas buat masyarakat asing (wisatawan) disebut sebagai art by metamorphosis atau art of acculturation, atau pseudo traditional arts, atau tourist arts.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Lorimer, et.al., teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara
institusi-institusi
(pranata-pranata)
dan
kebiasaan-kebiasaan
pada
masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi institus-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan dengan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme
secara
nyata
berkembang
sebagai
sebuah
teori
yang
mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi AngloAmerika dalam dekade 1970-an. Broinslaw Malinowski dan A.R. RadcliffeBrown, mengembangkan teori ini di bidang antroplogi, dengan memusatkan perhatian pada masyarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsional dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer, et.al. 1991:112-113). Selain itu dalam seni tradisi dipergunakan pula teori evolusi. Pada dasarnya, teori evolusi menyatakan bahwa unsur kebudayaan berkembang sejalan
Universitas Sumatera Utara
dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi lebih kompleks. Kesenian sebagai proses kreatif seniman dalam olahan renungan intuisi, kepekaan seni dan nurani kesenimanan ketika berhadapan dengan problematika masyarakat, persoalan hidup ataupun gugatan rasa religiositas serta kejujuran untuk senantiasa setia pada nurani, barang tentu akan berkreasi mengolah inspirasi-inspirasi ini ke bentuk-bentuk pengucapan seni entah itu puisi, drama, lukisan, film atau tari dan sebagainya (Sutrisno, Verhaak, 1993:157). Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang, sinar, warna dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut “koreografi” (Djelantik, 1990:23) Fungsi utama tarian komunal pada umumnya untuk keperluan ritus spiritual, sosial, dan kultural dari masyarakat setempat. Tarian komunal merupakan ekspresi komunal, yakni perwujudan rasa kebersamaan (Dibia, Widaryanto Suanda, 2006:52). Secara terminologis (Burhan, 2007), semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata
lain,
pengirimannya,
dan
penerimaannya
oleh
mereka
yang
menggunakannya.
Universitas Sumatera Utara
Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan di mana secara lugas memiliki kemiripan. Di mana masing-masing memerhatikan tiga unsur yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna. Ketiga unsur itu adalah (1) tanda, (2) acuan tanda, dan (3) pengguna tanda.
1.6 Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik penyajian dalam bentuk tulisan adalah deskriptif analitik. Dengan menggunakan metode ini hasil penelitian akan dideskripsikan dan dianalisis, dengan fokus utama pada bidang budaya dan sosialnya. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif sebagai berikut. QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disciplines. In sociology the work of the “Chicago school” in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, … charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. … Qualitative research is a field of inquiry in its own right. It crosscuts disciplines, fieldsm and subject matter. A complex, interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research (Denzin dan Lincoln, 1994:1).
Sedangkan Nelson menyatakannya sebagai berikut. Qualitative research is an interdisciplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of
Universitas Sumatera Utara
the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4). Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya ditujukan untuk mempelajari kehidupan kelompok manusia. Biasanya manusia di luar kelompok peneliti. Penelitian ini melibatkan berbagai jenis disiplin, baik itu dari ilmu humaniora, sosial, ataupun ilmu alam. Para
penelitinya
mempercayakan
kepada
perspektif
naturalistik,
serta
menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etis posisi politik. Namun demikian, penelitian ini juga melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif, dengan melihat kepada pernyataan Nasution bahwa setiap penelitian (kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk itu diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data, (e) cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) cara mengambil kesimpulan, dan sebagainya. (Nasution, 1982:29). Karena penelitian yang penulis lakukan bersifat kualitatif, maka fokusnya adalah kepada para seniman tortor (komponis dan pemain) etnis Batak Toba di Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Edi Sedyawati juga mengungkapkan perlunya tahapan-tahapan dalam meneliti seni tari, seperti berikut: Penelitian seni tari juga dapat kita bagi ke dalam tiga macam atau tahap, yakni (1) pengumpulan; (2) penggolongan; dan (3) penganalisaan dan penulisan. Khusus untuk seni tari, ada satu lagi yang dapat kita sebut sebagai tahap nomor empat, yaitu pengolahan atau pemanggungan. (Sedyawati, 1984:116)
1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data Untuk mengumpulkan data, dilakukan penelitian lapangan. Penelitian lapangan yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang penulis lakukan yang berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari observasi, wawancara, dan perekaman.
1.7.1 Observasi Observasi yang dilakukan adalah observasi langsung: yaitu melihat langsung pertunjukan tortor. Untuk menjaring data-data yang diperlukan penulis melakukan studi lapangan dengan cara observasi. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan metode lain. Berdasarkan jenisnya, maka observasi yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah dengan partisipasi pengamat sebagai partisipan (insider) yaitu sebagai anggota masyarakat Batak Toba. Keuntungan cara ini adalah peneliti telah merupakan bagian yang integral dari situasi yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi situasi itu dalam kewajarannya.
Universitas Sumatera Utara
1.7.2 Wawancara Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi tersebut (seperti konsep etnosainsnya tentang estetika dan teknis musikalnya), penulis melakukan wawancara. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu. Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut: Berdasarkan fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik, (c) penelitian. Berdasarkan jumlah respondennya: (a) individual, (b) kelompok. Berdasarkan lamanya wawancara: (a) singkat, (b) panjang. Berdasarkan pewawancara dan responden: (a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non direktif atau client centered; (b) tertutup, berstruktur. 3 Dalam melakukan penelitian ini, berdasarkan fungsinya penulis memakai jenis wawancara penelitian. Berdasarkan jumlah responden adalah wawancara individual dan kelompok. Berdasarkan lamanya adalah wawancara panjang. Berdasarkan peranan peneliti dan nara sumber adalah wawancara terbuka, tak berstruktur, bebas, dan non-direktif. Pada saat wawancara ini penulis melakukan catatan-catatan yang berkaitan dengan penjaringan data, serta merekamnya secara auditif dan audiovisual.
1.7.3 Perekaman Untuk mendokumentasikan data yang berkaitan dengan struktur umum tari dan musik tortor etnis Batak, maka penulis melakukan perekaman. Perekaman
3
Op.cit. p. 31.
Universitas Sumatera Utara
musik dan wawancara dilakukan dengan menggunakan tape recorder merk Sony TCM 70, yang diproduksi oleh PT. Sony Amc Graha Jakarta, dengan menggunakan kaset feroksida BASF dengan ukuran waktu 60 menit (C-60). Untuk dokumentasi audiovisual, dipergunakan Handycam Sony.
1.7.4 Kerja Laboratorium Pada tahapan kerja laboratorium, seluruh hasil kerja yang telah diperoleh dari studi kepustakaan dan dari penelitian lapangan diolah, diseleksi, disaring untuk dijadikan sebagai data dalam penelitian ini. Data mana yang dapat dipergunakan untuk mendukung topik penelitian, data mana yang tak dapat dipergunakan dilakukan dalam kerja laboratorium. Tortor dan gondang sabangunan (musik) yang dijadikan sampel, dan yang telah direkam di atas pita kaset BASF dan CD handycam, selanjutnya ditranskripsikan dan dianalisis di laboratorium. Kemudian karena pendekatan etnomusikologi untuk mendeskripsikan dan menganalisis struktur musik etnis memakai pendekatan-pendekatan yang ada pada musikologi barat, maka penulis juga mengikuti langkah itu, namun dengan menyertakan konsep-konsep etnosainsnya. Semua ini penulis lakukan di dalam laboratorium (etnomusikologi). Laboratorium di sini berarti khas etnomusikologi, sepert peralatannya: tape rekorder, video, metronome maelzel (MM), peralatan fotografi, peralatan gambar, dan sejenisnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA BATAK TOBA
2.1 Geografi Batak Toba Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah Tanah Batak, meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, dan Habinsaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 meter di atas permukaan laut (Siahaan, t.t.) Dilihat dari segi persebaran penduduk, masyarakat Batak Toba telah tersebar di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, bahkan juga di daerah lain di Nusantara serta mancanegara, jumlah yang pasti masyarakat Batak Toba juga tidak dapat dipastikan, tetapi jumlah masyarakat Batak Toba yang terdapat di Sumatera Utara lebih kurang 2.948.264 jiwa, jadi kira-kira 30% dari jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 10.250.027 jiwa, berdasarkan sensus penduduk 2001. 4 Jumlah masyarakat Batak Toba yang berada di luar wilayah yang disebut Tanah Batak lebih besar lagi, dibanding tanah asal ini. Dengan berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Batak Toba ada suatu kebiasaan untuk merantau (meninggalkan tanah asal). Hal ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak, atau pendidikan. 4
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Angka (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2001), hal.,12.
Universitas Sumatera Utara
Persebaran masyarakat Batak Tobadi Provinsi Sumatera Utara, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.1 Penduduk Batak Toba di Sumatera Utara (Sumber: BPS Sumatera Utara 2001) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
KABUPATEN/KOTA Nias Mandailing Natal Tapsel Taput Tapteng Tobasa Labuhan Batu Asahan Simalungun Dairi Karo Deli Serdang Langkat Sibolga Tanjung Balai Pematang Siantar Tebing Tinggi Medan Binjai
JUMLAH PENDUDUK 2.423 10.880 195.309 178.828 393.480 294.149 255.030 208.261 265.984 195.314 31.433 259.978 40.668 54.695 56.219 114.807 18.131 335.758 15.917
Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. (Siahaan, 1982:48)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Asal-Usul Masyarakat Batak Toba Dalam mengaji asal-usul masyarakat Batak Toba, dapat ditinjau dari berbagai hal (disebabkan minimnya data-data yang tertulis). Dalam mengaji tentang asal-usul masyarakat Batak Tobadapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan; (3) Kisah/cerita yang berkembang di masyarakat, yang dalam penulisan ini disebut mitologi tentang lahirnya suku Batak.
2.2.1 Pengertian Batak Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck, Batak berarti “penunggang kuda yang lincah” tetapi menurut H.N. Van dier Tuuk batak berarti ‘kafir’, dan ada juga yang mengartikan ‘budak-budak yang bercap atau ditandai’ (Lumbantobing, 1996:1). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok dan arti dari pembatak adalah perampok/penyamun. Keterangan tersebut di atas tidak memastikan yang mana arti Batak yang sesungguhnya. Jelasnya apabila orang mendengar kata Batak, tanggapannya adalah suatu etnis yang berdiam/berasal dari Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Sejarah Batak Catatan sejarah mengenai asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak ditemukan, sehingga sulit memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Beberapa catatan sejarah yang umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi tentang asal-usul masyarakat Batak akan dikemukakan sebagai berikut. Sehubungan dengan asal-usul suku bangsa Batak, Brahma Putro mengemukakan bahwa pada zaman batu terjadi perpindahan bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu bertebaran ke Nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka ini masuk ke Pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang. Berdasarkan pendapat dari Brahma Putro tersebut maka suku bangsa Batak adalah berasal dari bangsa-bangsa Hindia Belakang (Putro, 1978:20). Tentang waktu perpindahan ini Brahma Putro juga mengutip berbagai pendapat, di antaranya pendapat G. Gerrad, V. H. Geldern, Kern, Mhd. Yamin, sebagai berikut: Menurut G. Gerrad, perpindahan itu terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama kira-kira 1500 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Proto Malay (Melayu Tua), dan gelombang kedua terjadi kira-kira 1000 tahun sebelum Masehi, yang disebut ras Deutro Malay (Melayu Muda).
Universitas Sumatera Utara
V.H. Geldern mengatakan, Perpindahan pertama terjadi 2000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 300 tahun sebelum Masehi. Dr. Kern menyebutkan, Perpindahan ras Proto Malay terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan ras Deutro Malay, terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Mhd. Yamin, sependapat dengan teori Prof. Dr. Kern, yang menyebutkan bahwa perindahan pertama terjadi kira-kira 4000 tahun sebelum Masehi, dan perpindahan kedua terjadi kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikutip oleh Brahma Putro di atas, maka dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak telah lama mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Dapat diperkirakan bahwa suku bangsa Batak adalah termasuk ras Proto Melayu (Melayu Tua), karena desakan dari ras Deutro Melayu maka melakukan migrasi ke daerah pedalaman Sumatera Utara, sehingga suku bangsa Batak lebih banyak mendiami wilayah pegunungan dan pedalaman, sedang wilayah pesisir pantai didiami oleh suku bangsa Melayu yang kemungkinan besar adalah ras Deutro Malay. Namun seorang putra Batak Toba yang pernah menjadi pendeta di berbagai gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang tertarik juga mendalami sejarah, Andar M. Lumbantobing mengutip pendapat yang mengemukakan sebagai berikut. Menurut beberapa prasasti peninggalan zaman Adityawarman abad ke-14, sekelompok murid dan pengikut aliran Mahayani telah memasuki daerah pedalaman Sumatera Utara dan mereka menetap di sana, di tengah-tengah daerah pegunungan. Oleh sebab itu, di daerah pedalaman ini terdapat pengaruh agama Mahayana, yang murid-muridnya, oleh dunia ilmu pengetahuan masa kini, diakui
Universitas Sumatera Utara
sebagai nenek moyang suku Batak yang kini mendiami daerah itu. (Lumbantobing, 1996:1) Berbagai pendapat yang berbeda dilihat berdasarkan tarombo (silsilah tertulis) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah satu yaitu Si Raja Batak. Dari Si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penabalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak. (Schreiner, 2002: 64) Melihat pendapat di atas maka suku bangsa Batak sebenarnya masih tergolong baru mendiami wilayah Sumatera Utara apabila dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi. Hal ini apabila diurut dari tarombo Batak tersebut, yaitu Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907). Mendukung pendapat yang berhubungan dengan Si Raja Batak ini, dari kalangan yang sudah mulai meninggalkan mitos, membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya data dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan
Universitas Sumatera Utara
menghuni Sianjurmulamula, lebih kurang 8 km arah barat Pangunguran, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba (Sinaga, 1997:13). Sejarawan Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan batu tertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Nilakantisasi (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1024 Kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, dan Padang Lawas. Dilihat dari catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1.400 Kerajaan Nagur (Nakur) berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh. Dengan memperhatikan tahun dan kejadian di atas diperkirakan bahwa Si Raja Batak adalah salah seorang yang sudah beberapa generasi berdiam di wilayah timur atau selatan atau barat Danau Toba, namun dia mempunyai kemampuan yang menonjol dalam berbagai hal sehingga mendapat simpati dari rakyat banyak, dan dapat dipastikan Si Raja Batak bukan langsung berasal dari Thailand atau India. Hal ini juga didukung pendapat yang mengatakan: Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba
Universitas Sumatera Utara
kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku Tarombo Bor-bor Marsada anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu: Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya marga-marga Batak.
2.2.3 Mitologi Suku Batak Toba Hampir semua suku bahkan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya, begitu juga masyarakat Batak Toba, memiliki cerita yang berkembang di masyarakat tentang asal-usulnya. Namun sebagaimana sifat dari tradisi lisan, maka sering suatu cerita memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama dan semakin jauh terpisah dari sumber awalnya, semakin berbeda dengan cerita aslinya. Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing (1996). Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam yang bernama Manuk Manuk Hullambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk Manuk Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu Soripada, dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya adalah lelaki. Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk Manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki-laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru Deakparujar. Anak kedua Manuk Manuk Hulambujati, Tuan Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki bernama Tuan Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan. Si Boru Deakparujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki Gunung Pusuk Buhit (Pulau Samosir). Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (lakilaki) dan Boru Itam Manisia (perempuan). Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tingga di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham. Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di Kaki Gunung Pusuk Buhit Pulau Samosir. Cerita di atas hanya merupakan salah satu dari mitologi tentang asal-usul masyarakat Batak Toba, meskipun banyak cerita dengan berbagai versi, tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, dan semua cerita mengatakan bahwa Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.
2.3 Etnografi Kabupaten Tapanuli Utara Etnografi berasal dari istilah ethnic dan secara harafiah berarti suku bangsa dan
graphein
artinya
menggambarkan
atau
mendeskripsikan.
Etnografi
merupakan jenis karya antropologis khusus dan penting yang mengandung kajian pokok dari pengolahan dan analisis terhadap kebudayaan satu suku bangsa atau kelompok etnik.
Universitas Sumatera Utara
Selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk dalam kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan antropologi tentu juga menghadapi soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalam kaitan ini, para ilmuwan antropologi, biasaya membedakan kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup enam macam: (1) masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and gathering societies; (2) masyarakat peternak atau pastoral societies; (3) masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; (4) masyarakat nelayan, atau fishing communities, (5) masyarakat petani pedesaan, atau peasant communities; dan (6) masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban societies. Pembatasan deskripsi tentang sebuah kebudayaan suku bangsa dalam satu karya etnografi, memerlukan metode dalam menentukan asas-asas pembatasan. Selain itu, dibicarakan bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain. Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Perlu membuat suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep “daerah kebudayaan” atau culture area. Sebuah “daerah kebudayaan” atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna. Namun
Universitas Sumatera Utara
mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Satu sistem penggolongan daerah kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persamaan unsur dalam kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalam rangka penelitian analisis atau penelitian komparatif terhadap suku-suku bangsa di daerah atau benua tertentu. Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang pelopor ilmu antropologi Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para pengarang tentang kebudayaan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika abad ke-19 telah mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah-daerah geografi di Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara yang kita kenal sekarang. Walaupun benih-benih untuk sistem klasifikasi culture area itu sudah lama ada pada para pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama Clark Wissler (Koentjaraningrat, 1980: 127-128), seorang ahli museum, adalah yang membat konsep itu populer, terutama karena bukungan The American Indian (1920). Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area. Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan sejumlah ciri mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan yang membentuknya. Ciri-ciri yang menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik saja, seperti alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transpor,
Universitas Sumatera Utara
senjata, bentuk-bentuk ornamen perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk tempat kediaman, alat-alat musik, properti tari dan teater, tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya, seperti unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, cara berpikir, filsafat, adat istiadat, dan lainnya. Ciriciri mencolok yang sama dalam berbagai kebudayaan menjadi alasan untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu culture area itu menunjukkan persamaan-persamaan besar dari unsur-unsur alasan tadi. Semakin kita menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur-unsur yang sama, dan akhirnya persamaan itu tidak ada lagi, sehingga pengkaji masuk ke dalam culture area tetangga. Dengan demikian, garis-garis yang membatasi dua culture area itu tidak pernah terang, karena pada daerah perbatasan itu unsurunsur dari kedua culture area itu selalu tampak tercampur. Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi cultue area tadi telah menimbulkan banyak kritik dari kalangan ilmuwan antropologi sendiri. Kelemahan-kelemahan metode ini memang telah lama dirasakan oleh para sarjana, dan suatu verifikasi yang lebih mendalam rupa-rupanya tidak akan mempertajam batas-batas dari culture area, tetapi malah akan mengaburkannya. Walau demikian, metode klasifikasi diterapkan oleh para sarjana lain terhadap tempat-tempat lain di muka bumi, dan masih banyak dipakai sampai sekarang karena pembagian ke dalam culture area itu memudahkan gambaran keseluruhan dalam hal menghadapi suatu daerah luas dengan banyak aneka warna kebudayaan di dalamnya. Daerah kebudayaan ini boleh saja luas atau boleh juga lebih sempit.
Universitas Sumatera Utara
Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari wilayah-wilayah kecamatan sebagai berikut: Pangaribuan, Garoga, Sipahutar, Siborong-borong, Muara, Sipoholon, Tarutung, Adiankoting, Parmonangan, Siatas Barita, Simangumban, Pahae Julu, Pahae Jae, Pagaran, Simangumban. Wilayah Pangaribuan terdiri dari wilayah desa sebagai berikut: Parlombuan, Lumban Sinaga, Pansur Natolu, Silantom Julu, Silantom Tonga, Rahut Bosi, Batuna Dua, Sampagul, Harianja, Batu Manumpak, Pakpahan, Parsibarungan, Najumambe, Purbatua, Lumban Sormin, Sibingke, Godung Borotan, Parratusan, Sigotom Julu, Parsorminan I, Silantom Jae, Padang Parsadaan. Wilayah Kecamatan Pangaribuan mempunyai letak astronomi dan geografis sebagai berikut: 1. Letak astronomis Lintang Utara
: 010 45’ – 020 06’
Bujur Timur
: 990 02’ – 990 02’
2. Letak di atas permukaan laut
: 500 s/d 1500 m
3. Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan
: 459,25 Km2
4. Berbatasan dengan -
Sebelah Utara
: Kecamatan Sipahutar
-
Sebelah Selatan
: Kabupaten Tapanuli Selatan
-
Sebelah Barat
: Kecamatan Pahae Julu dan Kecamatan Pahae Jae
-
Sebelah Timur
: Kecamatan Garoga
Universitas Sumatera Utara
5. Jarak Kantor Camat ke Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Utara
: 48 Km
6. Iklim
: Sedang
7. Curah hujan
: 2.760 mm/thn
8. Kemiringan tempat -
Dataran rendah
: 0-2%
:
0 Ha
-
Landai
: 3-15%
: 18.375 Ha
-
Miring
: 16 – 40%
: 5.125 Ha
-
Terjal
: 40% Ke atas : 22.425 Ha
Tabel 2.2 Luas wilayah Kecamatan Pangaribuan Menurut Desa/Kelurahan Desa/Kelurahan Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan
Luas (Km2) 23,25 20,00 21,00 29,00 12,20 37,00 20,00 21,00 12,00 39,00 7,00 9,00 25,00 21,00 11,00 12,00 43,00 22,00 40,00 12,17 12,00
Rasio Terhadap Total Luas Kecamatan (%) 5,06 4,35 4,57 6,31 2,65 8,06 4,35 4,57 2,61 8,49 1,52 1,96 5,44 4,57 2,40 2,61 9,36 4,79 8,71 2,64 2,61
Universitas Sumatera Utara
Pansorminan I Jumlah
10,63 459,25
2,31 100
Di Kecamatan Pangaribuan, tepatnya Desa Rahut Bosi merupakan lokasi penelitian mengenai Pesta Horja Marga Gultom yang mempunyai letak koordinat sebagai berikut:
Tabel 2.3 Letak Koordinat Desa di Kecamatan Pangaribuan Desa/Kelurahan Parlombuan Lumban Sinaga Pansur Natolu Silantom Julu Salantom Tonga Rahut Bosi Batu Nadua Sampagul Harianja Batu Manumpak Parsibarungan Pakpahan Najumambe Purbatua Lumban Sormin Sibingke Godung Borotan Parratusan Sigotom Julu Silantom Jae Padang Parsadaan Pansorminan I
Bujur Timur 99,12495 98,97968 99,21614 99,28791 99,19137 99,20013 98,97968 99,14807 99,16312 99,17527 99,16843 99,16401 99,22636 99,20293 99,16399 99,13445 99,10158 99,16891 99,10019 99,15214 99,19137 99,19137
Lintang Utara 1,97481 2,01366 1,94128 1,90997 1,96471 1,95416 2,01366 1,96204 2,00173 1,99450 2,00099 2,01709 2,04536 2,06267 2,01710 2,00988 1,99395 2,00230 1,97588 1,98579 1,96471 1,96471
Universitas Sumatera Utara
Desa Rahut Bosi diresmikan pada tahun 1949. Luas tanah Desa Rahut Bosi menurut penggunaan pada tahun 2011 (Sumber: UPT Pertanian Kecamatan Pangaribuan). Tabel 2.4 Luas Tanah Desa Rahut Bosi Menurut Penggunaannya Pada Tahun 2011
Tanah
Tanah
88
Tanah
Bangunan
Sawah Kering (Ha)
Tanah
Jalan dan Lainnya
Jumlah
Perkebun
Pemuk
(Ha)
(Ha)
an Rakyat
iman
(Ha)
(Ha)
1000
300
Pekarangan
(Ha)
Kuburan
(Ha)
1897
(Ha)
215
1500
3700
Tanah yang diusahai dalam waktu sementara 455 Ha. Sumber ekonomi Desa Rahut Bosi adalah kopi, padi sawah, padi gogo, kemenyan, nenas dan pertambangan mika.
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Desa Rahut Bosi 2011 Jumlah Jumlah Kepadatan
Penduduk Penduduk
Luas Pertengahan
Desa
Penduduk Akhir Tahun
(Km2) Tahun
(Jiwa/Km2) (Jiwa)
(Jiwa) Rahut Bosi
37,00
1.750
1757
47,49
Universitas Sumatera Utara
20
Jumlah penduduk Desa Rahut Bosi adalah 1757 jiwa yang terdiri dari laki-laki 895 jiwa dan perempuan 862 jiwa. Agama yang dianut adalah Kristen Protestan, Kristen Katolik dan agama Islam.
Tabel 2.6 Luas Tanaman Palawija (ha.) Kacang Jagung
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Jumlah Tanah
(Ha)
(Ha)
(Ha)
(Ha) (Ha)
22
12
20
2
56
Tabel 2.7 Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Jumlah
Jumlah
Rata-rata per
Penduduk
Rumah Tangga
Rumah Tangga
779
187
4
Lumban Sinaga
1.202
270
4
Pansur Natolu
1.051
271
4
Silantom Julu
639
145
4
Salantom Tonga
347
189
3
Rahut Bosi
1.757
399
4
Batu Nadua
1.347
305
4
Sampagul
1.007
303
3
719
163
4
2.225
544
4
Desa/Kelurahan
Parlombuan
Harianja Batu Manumpak
Universitas Sumatera Utara
Parsibarungan
1.038
230
5
Pakpahan
2.885
616
5
979
203
5
Purbatua
1.064
233
5
Lumban Sormin
1.229
269
5
972
216
5
1.351
327
4
976
244
4
Sigotom Julu
1.529
385
4
Silantom Jae
5.88
144
4
Padang Parsadaan
402
74
5
Pansorminan I
618
93
7
Jumlah
25.004
5.810
4
Jumlah
24.647
5.663
4
Najumambe
Sibingke Godung Borotan Parratusan
2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu. Dalam berbagai tulisan yang membicarakan masyarakat Toba – kini sudah lebih sering disebut Batak Toba– istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga.
Universitas Sumatera Utara
Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk. Maka adat Batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan, yaitu: (1) pihak semarga (in group); (2) pihak yang menerima istri (wife receiving party); (3) pihak yang memberi istri (giving party). (Siahaan, 1982:35) Ketiga unsur atau posisi penting dalam kekerabatan masyarakat Batak tersebut yaitu: Hula-hula yaitu kelompok orang yang posisinya “di atas”, yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal sebutan “Somba marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memeroleh keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu: teman/saudara semarga yang harus tetap akrab dan kompak, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan yang mengatakan “manat mardongan tubu”, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Adapun unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru, yaitu kelompok penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai “pekerja”, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan dan mengayomi kelompok penerima istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta. Kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak Toba akan
Universitas Sumatera Utara
menduduki ke-3 fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha. Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan kehidupan masyarakat Batak Toba. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu terlihat pada tutur sapa dan bersikap. Dengan perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang disebut tadi, seolah-olah mereka bagai tiga tungku di dapur yang besar, gunanya dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhan halong yang artinya menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan santun/etik. Dari fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka berbeda-beda agama. Mereka yang menganut agama Islam, Kristen, Katolik, dan Budha kadang-kadang begitu erat kaitannya karena konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu orang Batak akan setia terhadap ketentuan adatnya di mana pun mereka berada. Setiap warga Batak yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota pemangku adat Dalihan Na Tolu. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan di tengahtengah masyarakat secara adat Dalihan Na Tolu. Karena bila salah satu unsur dari adat Dalihan Na Tolu tidak hadir maka suatu pekerjaan adat dipandang tidak sah dan tidak kuat.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan gambaran adat Dalihan Na Tolu di atas, dapat dimengerti bahwa adat Dalihan Na Tolu dapat dibentuk dalam mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga di suatu kampung. Akan tetapi meskipun telah berkembang melintas batas daerah Batak namun konsep dasar adat Dalihan Na Tolu berlaku sama di setiap wilayah dan tempat bagi masyarakat Batak Toba. Hal ini bisa terwujud karena tutur dalam Dalihan Na Tolu amat menjaga adanya etika. Dari luasnya hubungan kekerabatan dalam adat Batak Toba, maka dapat dilihat tumbuhnya harosuan (keakraban) dan nilai ini sangat mendasar dalam segala pergaulan. Nilai keakraban itu tidak sekedar teori, tapi diaplikasikan dalam bentuk mekanisme sosial adat Dalihan Na Tolu sampai sekarang.
2.4.1 Hula-hula Kedudukan pemberi anak hula-hula dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur bakat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajaon, artinya dirajakan, dan mereka sangat dihormati oleh borunya. Rasa hormat terhadap hula-hula tercermin dalam falsafah Dalihan Na Tolu, bahwa somba marhula-hula artinya seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat dan patuh kepada hula-hula walaupun kedudukannya dari segi jabatan dan kepangkatan di luar adat lebih tinggi, namun tetap harus menghormati hulahulanya. Penghormatan terhadap hula-hula itu karena mereka dianggap sebagai tempat meminta berkat yang disebut pasu-pasu, sehingga hula-hula dalam masyarakat Batak Toba dianalogikan sebagai perwujudan “tuhan yang kelihatan”.
Universitas Sumatera Utara
Tidak jarang kita lihat Boru pergi mengunjungi Hula-hula yang tujuannya untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak Hula-hula. Keadaan ini seolah-olah memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu akan tercapai apabila hula-hula mendoakan borunya. Fungsi Hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dapat dirinci atas 3 (tiga) bagian, yaitu: 1. Dalam suatu musyawarah dan mufakat untuk sebuah rencana, Hula-hula adalah sebagai tempat meminta nasihat dan bantuan moral agar terlaksananya suatu upacara adat. 2. Pada saat upacara adat berlangsung, Hula-hula bertugas memimpin upacara memberkati dan berdoa, agar acara adat tidak mendapat hambatan. 3. Sebagai juru damai dalam suatu perselisihan, misalnya dalam hal pembagian harta warisan. Hula-hula yang bersusah payah untuk mendamaikan, tanpa memihak, sering menjadi pertimbangan untuk selesainya suatu permasalahan.
2.4.2 Dongan Sabutuha Sehubungan
dengan
kekerabatan
dongan
sabutuha,
Schreiner
mengemukakan: golongan-golongan “seperut” ini menganggap dirinya sebagai persekutuan-persekutuan pemujaan yang anggota-anggotanya secara berkala memperkuat kesatuan mereka dan ikatan persekutuan dengan bapa leluhur mereka melalui pesta-pesta perjamuan bersama. Ikatan mereka diteguhkan melalui musik gondang dan melalui pertukaran pemberian-pemberian. Kepada upacara-upacara pesta yang disertai pertukaran barang-barang antara golongan-golongan yang seketurunan semacam itu termasuk antara golongan-golongan yang seketurunan
Universitas Sumatera Utara
semacam itu termasuk juga kawin dan mengawinkan, yang mempertahankan keselarasan makrokosmos-makrokosmos. 5 Dongan sabutuha adalah hubungan berdasarkan garis keturunan dari ayah. Namun cakupannya dalam suatu pelaksanaan upacara adat lebih luas lagi, setiap marga yang dianggap satu nenek moyang juga termasuk dalam klasifikasi dongan sabutuha. Dari kata “dongan”, yang artinya adalah teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sejajar. Sabutuha adalah “satu ayah” dan “satu ibu”. Dongan sabutuha itu haruslah seia sekata, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, sebagai keluarga kandung seibu-sebapak. Fungsi dongan sabutuha di dalam pelaksanaan suatu upacara adat adalah sama dengan suhut. Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa suaya tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafah manat mardongan tubu yang artinya hati-hati terhadap teman semarga, maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.
2.4.3 Boru Boru merupakan tiang beban pelaksana setiap horja dalam hubungan formal dan nonformal. Penerima boru dalam suatu horja berada pada posisi yang lebih rendah dari hula-hula. Dalam posisi ini kelompok hula-hula harus 5
Lothar Schreiner, Adat dan Injil (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2002) 42. “Seperut” adalah istilah Schreiner untuk semarga yang dalam bahasa Batak Toba disebut dengan istilah dongan sabutuha.
Universitas Sumatera Utara
mengasihi dan bersikap mengayomi boru yang tercermin dari filsafat elek marboru. Pada upacara adat pihak boru bertindak sebagai parhobas yaitu orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta. Jika masyarakat Batak Toba, hendak melaksanakan suatu horja, pada saat musyawarah kelompok dongan sabutuha, pendapat dan pertimbangan dari boru juga diminta, terutama mengenai sanggup atau tidaknya rencana keputusan dilaksanakan. Pendapat boru ini sangat penting, karena apa saja keputusan sidang, pelaksananya adalah boru. Jadi dapat dikatakan peranan utama dari boru dalam adat adalah memberi sumbangan tenaga, materi, dan pemikiran pada setiap upacara adat. Selain itu, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila terjadi perselisihan.
2.4.4 Sistem Sapaan Fungsi lainnya dari adat Dalihan Na Tolu adalah pengenalan garis keturunan hingga jauh ke atas yang disebut tarombo. Kekuatan kekerabatan terwujud dalam pemakaian tutur. Tutur merupakan suatu aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan Na Tolu. Tutur merupakan suatu aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan Na Tolu. Tutur juga sekaligus menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Tidak kurang dari lima puluh macam tutur dalam kekerabatan Batak Toba. Dengan menyebut tutur terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan di antara mereka
Universitas Sumatera Utara
yang menggunakan. Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan perilaku apa yang pantas dan tidak pantas di antara mereka yang bergaul. S. De Jong mengatakan bahwa di bawah payung yang sama yaitu adat, manusia menjaga hak dan kewajiban tutur. Pada orang yang berbeda agama kadang terdapat sikap hidup yang sama. Alasannya cukup sederhana, yakni karena mereka semua pertama-tama merupakan orang Jawa atau Batak yang berpegang pada adat. Hal ini berlaku bagi masyarakat Batak Toba, sehingga perbedaanperbedaan agama, status sosial, jabatan dan lain-lain, namun dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam hal martutur mengesampingkan hal tersebut dan lebih mematuhi ketentuan adat (Jong, 1970:7). Dengan suatu tutur juga diketahui dan dilaksanakan suatu konsekuensi secara adat akan adanya hal dan kewajiban secara adat di antara mereka yang bertutur secara timbal balik. Jika seseorang memanggil tutur tulang yaitu sapaan untuk bapak mertua dan saudara laki-laki dari ibu, maka si pemanggil adalah bere yang artinya keponakan dari tulang tersebut. Konsekuensinya secara adat, yang memanggil tulang harus hormat kepada yang dipanggilnya karena posisinya menjadi hula-hula, sedang yang dipanggil tulang harus mengasihi, melindungi dan membimbing yang memanggilnya, karena dalam falsafah masyarakat Batak Tobadikenal istilah “amak do rere, anak do bere” yang artinya “keponakan adalah anak”. Jadi si bere tersebut harus diperlakukan sebagaimana anaknya oleh tulangnya. Tegaknya hak kewajiban di antara mereka sekaligus menentukan etika yang harus mereka jaga. Mereka harus menjaga etika dalam bersenda gurau.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya seperti tutur antara parumaen terhadap amang boru ada aturan adatnya yang
masing-masing
harus
menjaganya.
Si
parumaen
bila
hendak
mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu kepada amang borunya biasanya melalui anaknya, hal ini juga berlaku sebaliknya, melalui cucunya, karena menurut pandangan masyarakat Batak Toba, janggal bila antara kedua tutur tersebut akrab. Untuk masyarakat yang tidak tercakup dalam lingkungan keluarga yang dekat (masih diketahui hubungan kekerabatan yang jelas) tutur dapat juga dilaksanakan dengan acuan marga. Marga bagi masyarakat Batak Toba adalah asal mula nama nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama diri dari satusatu garis keturunan. Melalui rentetan vertikal turunan marga itu sejak nama nenek moyang sampai saat sekarang ini menumbuhkan silsilah Batak Toba. Marga dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Batak Toba memegang peranan penting untuk menempatkan dirinya berkomunikasi terhadap sesamanya masyakat sesuai dengan Dalihan Na Tolu. Marga dalam masyarakat Batak membentuk keluarga dan menimbulkan ketentuan yang ketat dalam aturan perkawinan. Seseorang harus mengawini wanita dari marga di luar kelompok marganya. Garis keturunan yang patrilineal, mengakibatkan wanita harus meninggalkan marganya, dan anaknya langsung menyandang marga suaminya. Konsekuensinya adalah setiap keluarga secara langsung masuk ke dalam tiga kelompok adat secara sekaligus; dongan sabutuha, hula-hula, dan boru, yang membentuk apa yang disebut dalihan na tolu.
Universitas Sumatera Utara
Marga bagi orang Batak juga sekaligus merupakan identitas yang menunjukkan silsilah dari nenek moyang asalnya. Sebagaimana diketahui marga bagi orang Batak diturunkan secara patrilineal artinya menurut garis ayah. Sebutan
berdasarkan
satu
kakek
dalam
marga
yang
sama
ialah
markahanggi/marampara. Orang Batak yang semarga merasa bersaudara kandung sekalipun mereka tidak se-ibu-se-bapak. Mereka saling menjaga, saling melindungi, dan saling tolong-menolong. Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaan harus selalu memelihara kekeluargaan. Rasa kekeluargaan tetap terpupuk bukan saja keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan seseorang adalah nama marganya bukan nama pribadinya. Jadi apabila orang Batak Toba bertemu di mana saja, terlebih-lebih ketika di perantauan, maka pertama sekali ditanyakan adalah nama marganya dan bukan nama atau tempat asal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka, dengan demikian mereka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal tabu dapat dihindarkan, seperti ungkapan bahwa: “jalo tiniptip sanggar, asa binaen huruhuruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan”. Artinya untuk membuat sangkat burung haruslah terlebih dahulu disiapkan/dibuat bahan-bahannya, dan untuk mengetahui hubungan keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marga. Dengan demikian orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Mata Pencaharian Mata pencaharian (sumber ekonomi) penduduk Tapanuli Utara secara umum adalah di bidang pertanian. Dari luas wilayah itu dapat kita lihat luas panen sawah 2.254/Ha, dan produksi 12.665,29 ton. Untuk Rahut Bosi luas panen sawah 88 Ha, produksi 494,56 ton, luas panen padi ladang di Rahut Bosi adalah 40 Ha, produksi 101,36 ton. Luas tanaman palawija di antaranya jagung 22 Ha, ubi kayu 12 Ha, dan ubi jalar 20 ha. Untuk hasil tanaman perkebunan rakyat di antaranya kopi 121 Ha, kemenyan 420,00 Ha, kulit manis 2 Ha, jahe 0,19 Ha.
2.6 Kampung dan Desa Dalam hal kemasyarakatan Batak Toba, urusan/masalah perkampungan/desa memiliki hubungan yang erat dengan sistem marga. Pada mulanya setiap marga mendiami sendiri suatu area sebagai perkampungan yang disebut huta, yang kemungkinan juga merupakan suatu bahagian dari huta yang dihuni oleh sekelompok induk marga dari suatu keturunan, yang disebut toga. Kesatuan masyarakat yang tercakup dalam suatu wilayah beberapa huta yang didiami unsurunsur marga satu keturunan disebut bius. Misalnya marga Nainggolan dalam cakupan bius Onan Runggu, namun marga Simamora dalam cakupan bius Dolong Sanggul, marga Lumban Tobing dalam cakupan bius Tarutung, marga Sinambela dalam cakupan bius Balige, marga Pasaribu dalam cakupan bius Haunatas, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol daripada kelompok suku. Daerah suatu kampung, kecil adanya batas-batas pasti. Lebih tegas lagi, dia adalah sebidang tanah tempat kampung berdiri dengan tembok dan paritnya. Jika pendiri membangun di atas tanahnya sendiri, atau di atas tanah yang telah diduduki, maka parhutaan adalah bagian dari milik si pendiri serta keturunannya, dan akan terus begitu walaupun kampung itu pindah di kemudian hari ke lain temat, dan parhutaan itu menjadi lobu yaitu huta yang ditinggalkan. Daerah kampung adalah suatu lapangan kecil empat persegi dengan halaman bagus, keras dan kosong di tengah-tengahnya. Di satu sisi bidang empat persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah, biasanya berbaris, setiap rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang. Berhadapan dengan barisan rumah terdapat lumbung padi. Biasanya, adapula satu atau dua kubangan lumpur. Keseluruhan dikelilingi tembok yang ditumbuhi pohon-pohon bambu yang
tinggi,
kadang-kadang
ada
juga
kampung
dengan
sebuah
parit
mengelilinginya. Dalam hal pemerintahan komunitas suatu kampung masyarakat Batak Toba, belum sampai kepada tingkat pemerintahan yang mampu mencakup suatu daerah luas di daerah pemerintahan yang mantap. Tidak ada orang atau orangorang yang memangku kekuasaan sentral. Sepanjang untuk keamanan, kadang-kadang dianggap perlu memiliki suatu kampung sebagai pos tapal batas di tempat yang dianggap rawan, dari mana kelompok suku yang berdekatan diduga mungkin akan menyerbu. Dalam hal demikian, setelah melalui perundingan antara wilayah-wilayah yang berdekatan,
Universitas Sumatera Utara
didirikanlah kampung, diisi dan dipeliharan sebagai sumbangan penting untuk mencegah musuh berani mendekat.
2.7 Agama dan Kepercayaan Dalam kepercayaan masyarakat Batak Purba, diyakini adanya Tuhan Yang Maha Tinggi yang disebut Mula Jadi Nabolon. “Tuhan” itu secara fungsional terbagi atas tiga dalam prinsip yang tri tunggal, yaitu Tuan Bubi na Bolon, Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane Na Bolon yang berurut menguasai wilayah atas: langit yang disebut banua ginjang, wilayah tengah: bumi yang disebut banua tonga dan wilayah bawah: laut dan cahaya yang disebut banua toru. Konsep “Tuhan” yang demikian itu menurut para ahli antropologi religi akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam konsep kepercayaan asli orang Batak. 6 Sebelumnya, keagamaan orang Batak adalah suatu konsep totalitas, yaitu alam, komunitas, pribadi, dan sebagainya terjalin dalam suatu pandangan. Konsep totalitas itu juga yang tercermin dalam pembagian alam menjadi tiga bagian dan Mulajadi Na Bolon sebagai penguasa. Sejak masa sebelum ada pengaruh Hindu, orang Batak yakin akan adanya roh nenek moyang, penguasa tanah, dan roh-roh lain yang bermukim di tempat-tempat suci. Diperkirakan agama Hindu lama cukup memengaruhi perkembangan budaya Batak, seperti dapat dilihat dari kosa kata yang diserap dari bahasa Hindi dalam banyak kosa kata bahasa Batak seperti guru, batara, aditia, anggara dan 6
Hary Parkin, Batak Fruit Hindu Thought, (Madras: Cristian Literature Society, 1978), 253. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 46
Universitas Sumatera Utara
lain sebagainya, dan terdapatnya candi-candi Hindu di Portibi, Sipamutung dan Padang Bolak. Menurut Pedersen pada mulanya antara tahun 2000 dan 1500 sebelum Masehi, kebudayaan Batak di daerah selatan dan pesisir barat Sumatera Utara telah dikuasai oleh suatu peradaban Hindu-Budha. Tetapi kemudian, pendapat tentang masuknya pengaruh Hindu-Budha ke daerah Batak lebih menonjolkan teori kolonisasi yang lebih muda, dengan teori bahwa kolonisasi asing mungkin secara langsung datang dari India atau dari Jawa, tetapi yang paling besar kemungkinannya ialah dari orang-orang Melayu Minangkabau di Sumatera Tengah-Barat. (Pedersen, 1975: 17) Pada masa Si Singamangaraja X (sebelum masuknya Islam dan Kristen) kehidupan beragama bagi orang Batak Toba merupakan kesatuan yang erat dengan pemerintahan, yang pada masa itu dipegang oleh beberapa pimpinan. Sebab walaupun secara keseluruhan wilayah Batak Toba berpegang pada tata cara adat yang sama, tetapi masyarakatnya terbagi atas tiga harajaon yang masingmasing dipimpin oleh Ompu Palti Raja di Samosir Selatan, yang menguasai tujuh marga dari keturunan Si Raja Lontung: Jonggi Manaor di lembah kaki gunung Pusuk Buhit, yang menguasai marga-marga dari keturunan Guru Tatea Bulan; dan Si Singamangaraj X dengan wilayah yang hampir meliputi lima perenam dari keseluruhan wilayah Batak Toba (yang mencakup Toba Holbung, Samosir Utara, Humbang dan Silindung), yang menguasai belasan bius dari keturunan Sumba (Pasaribu, 1996:32).
Universitas Sumatera Utara
Kedudukan ketiga pimpinan tersebut di atas adalah sebagai pendeta agung yang mewakili Mang Maha Kuasa dengan sebutan Malim Ni Debata. Mereka memimpin dari suatu bentuk organisasi politik yang meliputi berbagai bius, yang secara genealogis dan geografis terkelompok sebagai suatu rumpun, sesuai dengan peta hasil pola migrasi marga-marga masyarakat Batak Toba. Status mereka “keramat” (sakral), bahkan lebih lagi, mereka dipandang sebagai perwujudan nyata dari “yang keramat”, yang di dalam dirinya tergabung sifat alamiah (natural) dan adi kodrati (super-natural), dan mereka disebut sebagai orang-orang yang menerima sahala harajaon langsung dari Tuhan. Dalam konsep kebudayaan totalitas, kegiatan keagamaan merupakan kegiatan yang terjalin erat dalam keseluruhan tata kehidupan. Semua ritus pemujaan, baik “sembahyang” maupun upacara yang menyangkut pertanian, diatur oleh Parbaringin, sebuah organisasi bius yang mengatur tata kehidupan masyarakat Batak Toba. Tetapi walaupun organisasi Parbaringin diangkat oleh dan takluk di bawah pemerintahan sekuler biusnya sendiri, namun semua pejabat sekuler, dan terutama para parbaringin, berkiblat kepada Malin Ni Debata secara religius dan ideologis. Sehingga tampaklah suatu bentuk dari struktur “kekuasaan” yang jenjang tangga politiknya terungkap lewat hirarki ritual pesta marga yang tunduk pada ritual pesta bius, yang pada gilirannya tunduk pula pada ritual Malin Ni Debata. Dengan demikian terjadilah hubungan timbal balik antara unsur keagamaan dengan unsur “pemerintahan”. Pada masa Si Singamangaraja XII, ditanamkan suatu keyakinan tentang agama asli yang mereka anut sebagai agama yang berada di atas segala agama.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini merupakan suatu ajakan bagi masyarakat Batak Toba untuk tetap setia menganut agama asli yang berasal dari Mulajadi Na Bolon. Dalam konsep agama yang berada di atas agama, tercatat adanya tiga lapisan atau unsur kepercayaan yang juga tercermin dari ritual-ritual, yaitu: (1) unsur theisme, berdasar pada kepercayaan akan keesaan tuhan; (2) unsur kepercayaan bahwa semua benda dan gejala alamiah adalah roh atau mengandung roh, yang disebut animisme; dan (3) unsur kepercayaan bahwa jagat raya ini dikuasai oleh daya-daya gaib, magis yang lewat pelaksanaan ritual dan mantra dapat dikendalikan oleh datu, seperti penyembuhan orang sakit secara kekuatan supra-natural. Parbaringin dan Malim Ni Debata dapat dikatakan mewakili tahap evolusi kepercayaan Batak Toba dalam mana unsur “theis” semakin menonjol sejalan dengan perubahan wawasan politik dari ala bius ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kerajaan. Sekalipun tetap dianggap sebagai perwakilan kerohanian marga, para Parbaringin dalam tugasnya terlepas dari ikatan kemargaan dan selalu mengabdi kepada urusan keagamaan. Karena setelah dinobatkan oleh pemerintah sekuler bius, mereka menjadi bagian dari struktur oraganisasi keagaman yang berinduk kepada pendeta raja. Pendeta raja sendiri lebih longgar lagi hubungannya dengan marga asalnya. Dari silsilah diketahui bahwa Jonggi Manaor berasal dari marga Limbong, Ompu Palti Raja berasal dari marga Sinaga, dan Si Singamangaraja berasal dari marga Sinambela, tetapi sejak pendeta raja itu mulai menerima fungsinya, mereka terlepas dari hal-hal kemargaan. Mereka menjadi milik umum dan afiliasi kemargaannya tidak lagi mengikat, kecuali untuk kehidupan pribadinya.
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Islam Pada abad XIX terjadi pergolakang besar di Minangkabau, di mana sebuah mahzab Islam bercita-cita mengadakan pemurnian pelaksanaan syariat Islam. Pemimpin-pemimpin gerakan ini menyerang pranata-pranata Minangkabau yang banyak itu, yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak hanya pranata, tetapi juga kepala-kepala adat yang berhubungan dengan itu dan memerolah kedudukan sosial daripadanya. Gerakan pemurnian ini mendapat sambutan baik dari masyarakat, sehingga memperoleh dukungan yang banyak terutama dari golongan yang tidak simpati akan tindakan dari tokoh-tokoh adat. (Keunang, 1990: 302) Kepala-kepala adat yang terancam itu meminta bantuan mula-mula kepada orang Inggris, dan sesudah tahun 1824, kepada orang Belanda; maka pecahlah suatu perang sengit, yang berlangsung dengan mengalami pasang surut bagi kedua belah pihak. Kaum Paderi berhasil mempertahankan diri. Malahan pada tahun 1830
mereka
melakukan
penyerangan
ke
Mandailing
dan
berhasil
memporakporandakan perkampungan dan masyarakat yang dijumpainya. Perlawanan dari raja-raja Minangkabau dan Raja-raja Mandailing yang dibantu oleh Belanda, pada tahun 1837 berhasil menumpas gerakan kaum Paderi ini dengan menyerang pusat mereka yaitu Bonjol, sehingga era baru pun mulailah di derah Batak bagian selatan, yang telah berada di bawah pendudukan Kolonial Belanda. Pemerintah memerlukan
Belanda
tenaga-tenaga
dalam bantuan
melaksanakan untuk
program-programnya
mengerjakan
urusan-urusan
pemerintahan, yang antara lain dimulainya penanaman kopi secara paksa –
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu bagian dari Culturstelsel (Sistem Tanam Paksa). Orang Batak Mandailing yang memenuhi syarat tidak bersedia, sehingga diangkatlah orang Minangkabau hampir dalam segala jabatan yang diisi oleh pribumi. Beberapa sekolah didirikan untuk mendidik putra kepala-kepala adat Batak Mandailing agar memenuhi syarat untuk penempatan dalam aparatur pemerintahan. Guru pada sekolah-sekolah ini pun kebanyakan didatangkan dari Minangkabau. Orang-orang muslim yang menduduki posisi yang besar wibawanya, dijadikan contoh, untuk dipakai sebagai pedoman. Terutama hal ini berlaku terhadap generasi yang lebih muda, yang tidak lagi atau tidak sadar akan pengalaman dari kekejaman kaum Paderi. Sebagai penganut agama Islam yang sangat yakin, orang Minangkabau ini dihinggapi pula oleh semangat yang menyala-nyala untuk agama, sehingga sambil bekerja bagi pemerintah kolonial Belanda mereka juga aktif menyebarkan agama Islam. Dari wilayah Batak Mandailing yang berdampingan dengan wilayah Batak Toba, bahkan nyaris tanpa batas yang jelas, masuklah pengaruh Islam ke masyarakat Batak Toba. Jadi hampir dapat dipastikan, bahwa masyarakat Batak Toba yang memeluk agama Islam pasti mendapat pengaruh dari Batak Mandailing yang sering dianggap masih saudara satu asal-usul. Sehingga daerah Batak Tobayang berbatasan langsung dengan daerah Batak Mandailing sebagian penduduknya memeluk agama Islam sedang sebagian lagi memeluk agama Kristen contohnya Pahae Jahe dan Pahae Julu.
Universitas Sumatera Utara
2.7.2 Kristen Sejarah baru perkembangan yang sangat dinamis bagi masyarakat Batak Toba dimulai dalam tahun 1863, ketika misionaris dari Jerman, I.L. Nommensen menetap di Silindung. Sebelum itu, berabad-abad lamanya hampir tidak ada hubungan dunia luar, orang hidup terus dengan gayanya sendiri dan menurut pahamnya sendiri. Sebelum kedatangan I.L. Nommensen, dua orang pengabar Injil berkebangsaan Inggris, memasuki daerah Batak Toba tahun 1824, baru beberapa hari sampai di tanah Batak, mereka sudah dikejar-kejar, sehingga melarikan diri meminta perlindungan kepada pihak Belanda. Sepuluh tahun kemudian, dalam tahun 1834 dua orang penginjil Amerika harus menebus kegiatannya dengan nyawanya karena dibunuh (Schreiner, 2002:56). Satu-satunya orang kulit putih yang tidak lama sesudah tahun 1850 dapat tinggal lebih lama di antara orang Batak-Toba adalah Neubronner Van Der Tuuk, tetapi ia berada dekat pantai di Barus di daerah pinggiran. Perjalanannya ke Danau Toba hampir saja berakhir dengan malapetaka baginya, ketika sekelompok masyarakat Batak Toba mengejar-ngejarnya. Hanyalah dengan melarikan diri dengan tergesa-gesa ia berhasil dapat mencapai kembali tempat tinggalnya di Barus. Tetapi untuk masa selanjutnya sikap masyarakat Batak Toba
mulai
terbuka dalam menerima agama baru. Hal ini merupakan paduan antara keinginan untuk merubah hidup dan gigihnya pekerjaan para zending. Mengenai persentasi penganut agama Kristen di Batak Toba, Geertz menuliskan: Agama Kristen telah dianut oleh kira-kira seperdua dari orang Batak; ada juga sedikit menjadi Islam,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan nyang lainnya tetap memeluk apa yang dinamakan orang Batak Toba sebagai agama perbegu, yaitu kepercayaan kepada roh-roh. (Greetz, 1986) Nommensen pun sebenarnya mengalami banyak kesulitan di tahun-tahun pertama. Dari berbagai pihak ia mengalami berbagai hambatan dan gangguan, berkali-kali nyawanya terancam. Karena wibawa pribadinya yang besar dan kesabarannya yang hampir melebihi kesabaran manusia ia dapat bertahan, dan bukan itu saja ia berhasil pula menobatkan beberapa orang di antara raja-raja, walaupun pada permulaannya agak perlahan-lahan. Sesudah itu gerakannya bertambah cepat, agama Kristen mencapai perkembangan yang cepat. Mula-mula di Silindung, kira-kira 15-20 tahun kemudian di Dataran Tinggi Danau Toba dan Balige dan sekitarnya. Di sekitar Danau Toba walaupun sudah melalui perjuangan yang sengit, dengan campur tangan sebuah ekspedisi militer Belanda dan pencaplokan daerah itu, hasilnya memuaskan bagi Zending. Akan tetapi memang sesudah tahun 1883 Zending telah benar-benar berhasil dengan misinya, orang Batak Toba memahami apa arti kesempatan yang diberikan Zending dan pemerintahan Belanda kepada mereka. Keamanan dan ketertiban, pembukaan daerah permukiman dan lahan pertanian yang baru banyak memengaruhi taraf kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Tobadiberi kesempatan untuk dididik menduduki kedudukan-kedudukan dalam Zending sebagai pengetua-pengetua, guru dan pendeta. (Keunang, 1990: 302)
Universitas Sumatera Utara
2.7.3 Parmalim Organisasi agama Parmalim dibentuk antara tahun 1870 sampai tahun 1883 suatu reaksi dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan sikap hamalimon, dan yang lebih penting lagi adalah untuk menjaga keutuhan kepercayaan asli Batak dari pengaruh agama Kristen dan perluasan administratif Belanda. Bukti lain yang diajukan adalah keeratan hubungan antara Guru Somalaing Pardede, yang dianggap sebagai mandat dari Raja Si Singamangaraja XII untuk meneruskan pengorganisasi Parmalim dengan E. Modligiani 7, seorang ahli botani Katolik berkebangsaan Itali, membuat penyatuan kepercayaan Islam, Kristen, kultus individu Si Singamangaraja dan animisme Batak dianggap sebagai dasar dari organisasi Parmalim ini. (Sangti, 1978:71) Sekitar tahun 1907 Parmalim yang dianggap sebagai suatu gerakan keagamaan dan politis, melahirkan Parhudamdam yang merupakan suatu gerakan keagamaan politis yang lebih ekstrim. “Agama baru” ini secara tidak langsung merupakan bawahan dari Parmalim. Sehubungan dengan ini Barlett menulis: Akhirnya aliran Parmalim ini meningkat menjadi Parhudamdam, yang bertalian dengan penyembahan Si Singamangaraja, dan merambat ibarat api yang menggila meliputi seluruh Tanah Batak. Dalam tahun 1918 dianggap sebagai ancaman politik yang menguatirkan banyak pejabat Belanda. 8 Parhudamdam diilhami oleh kematian Si Singamangaraja XII yang dipadu dengan adanya pembebanan pajak yang berat oleh Belanda, penyusunan kembali 7
Miodligiani, penulis buku laporan botani dan etnografi di daerah Batak yang berjudul “Fra I Bottacchi Indepedenti”, mengangkat Guru Somailing menjadi juru bicaranya. Sehingga diduga ia banyak memengaruhi sikap dan cara berfikir Somailing. Dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 37. 8 H.H. Barlett. The Labors of The Datou, (Ann Arbor: University of Michigan), 15 dalam Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
pola-pola tanah milik, dan pengaruh-pengaruh asing lainnya yang berkembang di wilayah Batak, sehingga hal-hal tersebut di atas menimbulkan suatu mitologi yang messianis, yaitu ada kepercayaan akan datangnya kembali Si Singamangaraja, dan suatu tema kebinasaan apokaliptis bagi orang-orang yang tidak percaya. Tata cara ibadat Parhudamdam merupakan paduan antara ritual-ritual gaya Parmalim dengan Islam. 9 Dalam pelaksanaan ibadat parmalim, selain acara ibadat rutin setiap hari Sabtu, hampir seluruh upacara ritual mereka dilaksanakan dengan musik, baik dengan gondang sabangunan maupun dengan gondang hasapi. Berikut ini tulisan Pasaribu tentang kegiatan Parmalim yang dikutip dari catatan harian Masashi Hiroshue, sebagai berikut. Dungi marliat ma margondangi ganup ripe: manukma digondangkan ia na umpogos, hambing ia di naummora, jadi sai marpunguma nasida ganup ari mangan-mangan, ia dung lojabe manortori, ai ndang ringkot roha nasida marulaon. Ai songon ondo di dok guru nasidai: Mangulape angka parbegu I, dohot angka na Cristen I, na hita do I sogot, ninna, Huhut didok: molo dung mulak sian habuangan Guru Somalaing dohot Ompu Barnit ama pangajari I, sega ma tano on, jadi mago masude na cristen dohot parbegu I, alai sonangma ianggo hita. Ai patarma disi harajaonni rajanta Si Singamangaraja I dohot tuanta Raja Rom. 10 Terjemahannya: Kemudian setiap keluarga menari berkeliling dengan iringan gondang: keluarga yang sederhana mempersembahkan ayam, dan 9
Ismail Manalu, Mengenal Batak, (Medan: CV Kiara 1985), 174. Adanya pengucapan “La Illaha Illallahu” yang berulang-ulang dalam ibadat mereka, merupakan perkembangan yang sinkretis yang sudah akomodatif dalam menerima unsur-unsur agama, terutama agama Islam. 10 Ben Marojahan Pasaribu, “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan” (Universitas Sumatera Utara: Jurusan Etnomusikologi, 1986), hal. 41. Masashi Hiroshue adalah seorang warga Jepang yang menulis topik tentang Parmalim untuk disertasinya pada Australia National University.
Universitas Sumatera Utara
bagi keluarga yang kaya kambing, yang dipersembahkan melalui gondang, setiap hari mereka berkumpul dan makan-makan, dan mereka terus menari hingga letih, namun mereka tidak mengindahkan pekerjaan. Sebab guru mereka pernah berkata: walaupun kaum kafir dan kristen senantiasa bekerja, kelak hasilnya akan jatuh ke tangan kita, kemudian dikatakan: apabila Guru Somalaing dan Ompu Barnit, guru kecintaan kita, sudah kembali dari pembuangan berubahlah dunia ini, lantas musnahlah semua kristen dan kafir, tetapi kalau kita akan mendapat kesenangan. Sebab jelaslah pada saat itu kerajaan dari Raja Si Singamangaraja dan Tuan Kita Raja Rom. 11 Secara umum peribadatan Parmalim dapat dibagi atas tiga kelompok ritual, yaitu: 1. Upacara yang wajib dilaksanakan oleh anggota penganut Parmalim dua kali dalam setahun, yang disebut sipaha sada dan sipaha lima. Upacara sipaha sada berlangsung selama lima hari, sedang upacara sipaha lima berlangsung selama tiga hari. 2. Upacara yang dilaksanakan secara khusus, tanpa berpegang pada bulan-bulan tertentu, yang pelaksanaannya merupakan kehendak dari perseorangan. Upacara seperti ini disebut maradat, misalnya martutu aek yaitu upacara pemandian bagi anak yang baru lahir; manggalang na paet yaitu suatu upacara kurban setelah melaksanakan puasa selama sehari semalam; dan sebagainya. 3. Upacara yang dilaksanakan apabila seseorang ada melakukan kesalahan atau perbuatan asusila sehingga dilaksanakan acara manopoti sala (memohon ampun). Kepada orang yang melakukan kesalahan ini akan dikenakan aturan yang “ingkon pajong-jongonna hau sarung marnaik, halangonna gondang
11
Dalam tonggo-tonggo (doa) Si Singamangaraja, diucapkan hormat kepada Mulajadi na Bolon, Martua Raja Uli, Tuan Soripada Aceh dan kepada Martua Raja Rom, yang diperkirakan adalah Raja Turki dari Istambul dari kekaisaran Ottoman yang pengaruh dan wibawanya masuk melalui Aceh.
Universitas Sumatera Utara
bolon” (harus mendirikan kayu sarung marnaik dan mengadakan acara gondang).
2.7.4 Siraja Batak Organisasi Si Raja Batak berdiri sekitar tahun 1942, merupakan suatu kenangan terhadap Si Singamangaraja dengan memproklamasikan pemujaan terhadap Mulajadi Na Bolon, penghormatan leluhur orang Batak, dan pemeliharaan adat. Perbedaan yang nyata antara organisasi Parmalim dan Si Raja Batak adalah dasar pijakannya. Parmalim menekankan pada hal iman sedangkan Si Raja Batak menekankan pada hal adat. Si Raja Batak didirikan oleh Raja Patik Tampubolon yang beranggapan bahwa tugas penganut Si Raja Batak adalah menghidupkan kembali persekutuanpersekutuan bius melalui pengaruh adat yang berdasarkan kekuatan ilham yang supra alamiah. Tampubolon membuat “kitab suci” dari Si Raja Batak yang disebut Pustaha Tumbaga Holing, yang oleh Tampubolon sendiri disebut sebagai pustaha yang berdasar pada mitos pustaha yang diberikan Mulajadi Na Bolon kepada Si Raja Batak (nenek moyang suku bangsa Batak), dan mencoba membuktikan melalui pustaha karangannya bahwa seluruh habatahon (dasar-dasar kehidupan dan setelah kehidupan masyarakat Batak) adalah dasar anutan Si Raja Batak. Tetapi Tampubolon tidak menyebut agama, melainkan “adat” sebagai inti Si Raja Batak (Schreiner, 2002: 41-43). Hampir keseluruhan dari upacara-upacara penting Si Raja Batak mempunyai kaitan dengan pertanian. Hal ini merupakan suatu warisan dari tata
Universitas Sumatera Utara
aturan parbaringin, yang senantiasa menyertakan siklus aktivitas pertanian dalam ritual bius. Secara umum upacara peribadatan Si Raja Batak dapat dibagi atas tiga kelompok ritual, yaitu: 1. Upacara yang wajib dilaksanakan secara berkala dalam setahun, misalnya: Gondang Patuat Boni Sipaha Ualu, suatu upacara sebelum menanam padi; Gondang Buhuni Taon, suatu upacara menjelang panen; Gondang Matumona Sipaha Dua, upacara panen; Gondang Haroroni Habonaran Sipaha Lima, upacara menyambut kedatangan roh kebenaran; Gondang Sahala ni Raja Si Singamangaraja, upacara memperingati kematian Si Singamangaraja. 2. Upacara yang dilaksanakan oelah penganut Si Raja Batak yang berkenaan dengan adat dan dalihan na tolu, misalnya: Panangkokhon Saring-saring, upacara menggali dan menguburkan kembali tulang-belulang leluhur, dan Gondang Debata Pasahat Tondi ni Naung Mate Matua, upacara kematian. Upacara yang dilaksanakan oleh penganut Si Raja Batak berdasarkan keinginan perseorangan. Hal ini disebut sinta-sinta, misalnya: Sibaran, upacara yang dilakukan atas permintaan seseorang yang telah menderita sakit dan mangompoi gorga, upacara peresmian rumah.
2.8 Kesenian Masyarakat Batak Toba 2.8.1 Seni Tari dan Seni Suara Dalam masyarakat Batak Toba ada dua kata yang dapat dianalogikan dengan istilah tari,
Universitas Sumatera Utara
a. Tumba yaitu suatu tarian bagi anak remaja, biasanya dilakukan malam hari di halaman desa, dan peristiwanya terlepas dari konteks upacara. Tumba mirip dengan joting tetapi semua pemainnya berdiri dan menari bergerak seragam sambil bernyanyi. Gerakannya didominasi gerakan tortor, tetapi ada kombinasi gerakan hentakan kaki dan mengayun disertai menepuk lutut dengan kedua tangan dilanjutkan dengan bertepuk tangan. Paduan gerak dan nyanyian ini disebut Tumbas. Sementara dalam syair lagunya ada kata tumba. Tumba adalah syairnya, embas adalah gerakannya. Pemakaian kata tumba dipopulerkan karena embas tortor batak semakin dihilangkan dan telah didominasi budaya joget melayu. b. Tortor, yang dilakukan dalam setiap upacara dengan iringan gondang sabangunan, secara umum terlihat seperti hiburan. Akan tetapi dalam pemikiran yang asli, kedudukan tor-tor bagi masyarakat Batak Toba tidaklah merupakan suatu seni hiburan. Pastor A.B. Sinaga menuliskan: Pada mulanya tortor bukanlah peragaan keindahan estetis melainkan suatu sembah kepada Pengada Adikodrati… Tortor asli Batak bersifat sakral dan merupakan pujaan kepada Sang Maha Tinggi (Sinaga, 1977:16-19). Dalam pelaksanaannya pola gerak tortor dapat dibagi atas dua bagian: -
Tortor hatopan, suatu pola gerak yang sudah baku dalam setiap upacara. Antara pria dan wanita memiliki pola-pola tersendiri. Gerakan ini biasanya dilakukan pada setiap awal penyajian gondang, setiap penari melakukan gerakan yang sama, menurut pola-pola yang telah baku.
Universitas Sumatera Utara
-
Tortor hapunjungan, tortor yang dilakukan sesuai dengan konteks upacaranya. Dengan kata lain, fungsi tortor ini berhubungan dengan upacara tersebut. Tortor ini dilakukan secara pribadi atau sekelompok orang yang memiliki motivasi serupa misalnya tortor untuk kaum muda, atau tortor dalam acara sukacita, tetapi memiliki gerakan yang relatif bebas, setiap penari bebas melakukan gerakan yang sesuai dengan ekspresinya sepanjang masih mengikuti ritme. Secara umum dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat Batak Toba, tortor sangat individual sekali, walaupun dalam tortor Batak yang asli sebenarnya terdapat pola gerakan yang harus dipatuhi, tetapi seringkali mereka mengabaikan hal ini.
c. Joting Joting adalah seni suara dengan syair yang beraturan dipadukan dengan gerakan yang seragam. Permainan joting biasanya ramai pada saat bulan purnama usai panen raya. Dalam menyanyikan joting seseorang bernyanyi dan diikuti banyak suara (respinsorial). d. Andung Andung adalah ratapan bernuansa kesedihan. Bila tangisannya diiringi dengan suara menggelegar dan hempasan tubuh sembarang disebut dengan “angguk bobar”.
Universitas Sumatera Utara
e. Oing Oing mirip dengan nyanyian sinden Jawa. Oing kebanyakan mengutarakan suka duka dan pengharapan, biasanya dinyanyikan perahan dan dalam kesendirian. f. Dideng Dideng adalah seni suara bernuansa sanjungan dan motivasi kepada seseorang. g. Didang Didang tidak disebut sebagai seni suara, tetapi merupakan sikap menyanjung seseorang. Seorang bayi dipangku dan diayun perlahan disebut “mandidang” dan kadang diiringi nyanyian meninabobokkan. h. Doding Doding adalah kepandaian merangkai kata-kata untuk menyemangati seseorang atau kelompok orang. Doding juga adalah rangkaian kata-kata bentuk nyanyian yang tujuannya menyemangati seseorang atau kelompok orang. Orang tua bertepuk tangan sambil bernyanyi menyemangati anak yang belajar berdiri termasuk juga sebagai kegiatan mandoding. i. Ende Ende (nyanyian) adalah syair dan irama yang dilagukan oleh pemain joting dan tumbas. Opera Batak adalah bentuk kegiatan teatrikal yang diiringi Gondang Hasapi dan nyanyian (andung, ende, oing) untuk hiburan rakyat. Opera Batak mempopulerkan
kesenian
andung,
ende,
oing,
dan
pemainnya
sering
menampilkan (bernyanyi seperti menangis).
Universitas Sumatera Utara
2.8.2 Seni Rupa Di antara beberapa ciri khas kesenian Batak Toba, karta seni rupa yang paling tua dapat dilihat sekarang ini adalah hasil karya seni megalitikum. Peninggalan ini sampai sekarang masih banyak kelihatan di beberapa tempat di Toba. Pengaruh kebudayaan ini juga tercermin pada bentuk atap berbentuk tanduk kerbau, dan dindingnya yang penuh ukiran yang disebut gorga. Wawasan seni rupa yang ada pada masyarakat Batak Toba juga mencakup tenun, ragam hias, patung, dan berbagai bentuk lainnya. Salah satu yang khas dalam penyajiannya adalah apa yang tertera pada bangunan ruma dan sopo (tempat menyimpan padi dan beberapa kegiatan desa yang menyangkut kehidupan muda-mudi). Secara umum, pola-pola ragam hias tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Pola berbentuk manusia, misalnya: ulu paung, singa-singa. b. Pola berbentuk hewan, misalnya: boraspati, hoda-hoda. c. Pola berbentuk raksasa, misalnya: jengger, jorngom. d. Pola berbentuk tumbuhan, misalnya: hariara, sundung di langit. e. Pola berbentuk geometris, misalnya: ipon-ipon, iran-iran. f. Pola berbentuk kosmos, misalnya: silintong, simarogung-gung. Di samping berfungsi sebagai magis, di sisi lain seni rupa yang berbentuk tenunan, ulos misalnya berfungsi dalam upacara adat. Setiap corak atau motif ulos yang dibedakan dalam warna, pola, bahan, dan ukuran memiliki nama-nama tersendiri. Misalnya: ragidup, abit godang, runjat, sibolang, ragi hotang, sadum,
Universitas Sumatera Utara
parompa, dan sebagainya. Tetapi dalam masing-masing upacara adat, nama ulos tersebut berubah menurut kepentingan dan fungsi ulos tersebut. Misalnya: dalam upacara kelahiran diberikan ulos manimpus, ulos tondi; dalam upacara perkawinan diberikan ulos pargomgom, ulos pansamoti, ulos hela todoan, ulos paribanl dalam upacara kematian diberikan ulos saput, ulos saurmatua, ulos panggabei; dalam upacara mangongkal holi diberikan ulos saput; dalam upacara pemberian nama anak diberikan ulos mampe; dalam upacara memasuki rumah baru diberikan ulos mompo jabu. Jadi dalam kehidupan masyarakat Batak Tobakarya seni rupa mempunyai kedudukan penting dalam religi, adat, dan kehidupan sehari-hari.
2.8.3 Seni Sastra Selain untuk keperluan komunikasi sehari-hari, bahasa Batak Toba juga dipergunakan dalam seni-seni sastra masyarakat Batak Toba, yang mencakup turiturian
(cerita/hikayat/legenda),
tonggo-tonggo
(mantra),
torsa-torsa
(perumpamaan), huling-huling (teka-teki). Kesemuanya disampaikan dalam beberapa bentuk penyajian sastra, yang berfungsi sebagai hiburan, bagian dari adat, hukum dan religi. Bentuk bahasa dalam seni sastra ini yang pokok ada tiga macam, yaitu: 1. Umpama, suatu bentuk penyajian sastra yang bermaksud sebagai teladan kebijaksanaan, hukum-hukum lisan, dialog-dialog resmi dalam upacara adat, misalnya:
Universitas Sumatera Utara
-
Songon gondang, dobung-dobung soarana, hape rumar do dibagasan. (Terjemahannya: Seperti gendang, keras suaranya, ternyata kosong di dalamnya).
-
Matek-tek bulung pinasa, matektek tu bona. Tunda ni anakna, dohonan tu amana (Terjemahannya: jatuh daun nangka, jatuh ke batangnya. Perbuatan anaknya, ditanggungkan ke ayahnya). (Pasaribu, 1986:41).
2. Umpasa, suatu bentuk penyajian sastra yang dari segi bentuknya agak sulit dibedakan dari umpama. Tetapi dari segi isinya, umpasa lebih terasa berkesan religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan berkat, contohnya” - Sahat-sahatni solu, sai sahatma tu bontean. Leleng hita mangolu, sai sahat tu pangabean. (Terjemahannya: Melajulah perahu, melaju ke tepian, semoga mempunyai umur yang panjang dan mencapai kebahagiaan/kesuksesan). 3. Tudosan, suatu bentuk penyajian sastra yang berupa perbandingan. Dalam kaitan ini, berbagai permasalahan dalam alam dijadikan suatu bandingan terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati atau keadaan sesuatu, misalnya: -Togu uratni bulu, toguan uratni padang. Togu hatani uhum, toguan hatani padan. (Terjemahannya: Kuat/teguh pun akar bamboo, lebih kuat/teguh akar rumput (sejenis ilalang). Kuat/teguh aturan hukum, namun lebih kuat/teguh aturan janji).
Universitas Sumatera Utara
2.8.4 Seni Musik Musik dalam masyarakat Batak Toba, seperti dalam kelompok-kelompok tercakup dalam dua bagian besar, yaitu: a) musik vokal, dan b) musik instrumen. Dalam musik vokal tradisional pembagian ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut dapat dilihat dari isi liriknya. Masing-masing lagu yang disebut ende memiliki kategori tersendiri, yang secara tradisional dibagi dalam beberapa jenis, yaitu: 1. Ende Mandideng, yaitu musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby song). 2. Ende Sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan pernikahan. Dinyanyikan pada saat senggang pada harihari menjelang pernikahan tersebut. 3. Ende Pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solochorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda dalam waktu senggang, bisanya malam hari. 4. Ende Tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan. Penyanyi sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di halaman kampung yang disebut alaman pada malam terang bulan. 5. Ende Sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi di tempat sepi.
Universitas Sumatera Utara
6. Ende Pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya. 7. Ende Hata, adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk AABB yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dinyanyikan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh seseorang yang lebih dewasa atau orang tua. 8. Ende Andung, adalah vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung, melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya, haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini (Pasaribu, 1986:50-54). Dalam musik instrumen, ada instrumen yang lazim disajikan dalam bentuk ensambel dan ada yang disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya dengan upacara adat, ritual maupun hiburan. Dalam masyarakat Batak Toba, instrumen tunggal adalah yang lepas dari suatu ensambel, namun selain fungsinya sebagai instrumen yang dimainkan secara tunggal, ia juga dapat dimainkan sebagai pendamping vokal. Instrumen-instrumen ini, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1. Dalam kelompok kordophon. Sidideng (seperti rebab dengan dua senar), tanggetang (bamboo idiochordo). Mengmung (seperti prinsip tanggetang tetapi dengan senar dari rotan dan peti kayu sebagai resonator). 2. Dalam kelompok aerophoe, salung (transverse flute), salohat (seperti salung dengan ukuran yang lebih kecil), along-along (alat tiup temporer dari batang padi). 3. Dalam kelompok idiophone, jenggong (jews harp logam), saga-saga (jews harp bambu). Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam musik masyarakat Batak Tobaterdapat dua jenis ensambel yang dalam beberapa repertoar memiliki kesamaan fungsi sebagai pengiring upacara, yaitu gondang hasapi dan gondang sabangunan. 1. Gondang hasapi, yang memiliki beberapa variasi dalam instrumentasinya, tergantung pada guna dan jumlah pemainnya. a. Instrumen pembawa melodi: hasapi ende (plucked lute dua senar), garantung (xylophone), sarune etek (single reed). b. Instrumen ritme konstan; hasapi doal (plucked lute dua senar) dan hesek (plat logam atau botol kosong). 2. Gondang sabangunan, yang terdiri dari: a. Instrumen pembawa melodi: sarune (shawm), taganing (drume chime). b. Instrumen ritme variabel: gordang (single headed drum), taganing. c. Instrumen ritme konstan: ogung (gong) yang terdiri dari oloan, ihutan, doal dan panggora, hesek (plat logam atau botol kosong).
Universitas Sumatera Utara
BAB III TORTOR DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT BATAK TOBA
Pada bab ini penulis akan membahas tentang tortor pada saat upacara, penggunaan dan fungsinya, busana dalam upacara serta perkembangannya.
3.1 Tortor Pada Saat Upacara Bagi masyarakat Batak Toba, Tortor adalah bentuk seni tari yang bukan hanya sekadar bentuk tari, tetapi lebih luas dan kompleks lagi pengertiannya dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tortor adalah tarian yang mempunyai pengertian dalam setiap gerakannya. Tortor juga dilakukan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba, Tortor dapat menjadi sarana interaksi hubungan antar sesama manusia sesuai dengan kedudukannya dalam unsur Dalihan Na Tolu (sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba). Kegiatan manortor tidak terlepas dari kehidupan masyarakat Batak Toba. Di dalam upacara religi, Tortor dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan maupun permohonan kepada Mula Jadi Na Bolon (Pencipta alam semesta), kepada orang-orang yang dihormati dan orang-orang yang disayangi. Kemudian untuk upacara adat, Tortor dilakukan untuk menghormati maupun menyambut orang-orang yang terlibat dalam upacara adat sesuai kedudukannya dalam Dalihan Na Tolu, akan tetapi setiap memulai kegiatan manortor selalu dimulai dengan penghormatan kepada Sang Pencipta. Dalam
Universitas Sumatera Utara
upacara hiburan Tortor dilakukan lebih bebas, tetapi tetap dalam ketentuan unsur Dalihan Na Tolu. Pada saat sekarang ini Gondang Sabangunan sudah banyak dikolaborasikan dengan musik tiup (brass band) setelah masuknya kekristenan ke tanah Batak. Alat musik yang digabungkan adalah terompet, saxophone, keyboard maupun drum. Tortor dilakukan dalam setiap aktivitas upacara religi hiburan dan adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tortor pada dulunya dilakukan pada upacara adat dan religi. Tortor dilakukan untuk upacara yang sakral karena pada dulunya aktivitas manortor ditujukan untuk menghormati Debata Mulajadi Na Bolon (Pencipta alam semesta dan manusia, arwah leluhur, maupun masyarakat sekeliling sesuai kedudukannya dalam Dalihan Na Tolu). Misalnya pada pesta adat perkawinan, meninggal yang disebut dengan upacara kematian Sarimatua (keturunan orang yang meninggal tersebut masih ada yang belum menikah) dan upacara kematian Saurmatua (semua keturunannya sudah menikah), pesta Horja (biasa disebut pesta tugu yaitu menyatukan pemakaman orangtua dari satu garis keturunan ke suatu tempat yang dibangun dari semen yang tujuannya menghormati leluhur). Aktivitas manortor selalu diiringi musik Gondang Sabangunan baik dalam kegiatan adat atau religi. Secara keseluruhan aktivitas masyarakat Batak Toba yang menyangkut interaksi antar sesamanya dapat dikatakan selalu diatur oleh adat. Ada istilah tektek mula mulani gondang, serser mula mulani tortor (artinya tektek bunyi memulai Gondang, kaki yang bergeser memulai tarian/Tortor).
Universitas Sumatera Utara
Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain di balik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan. Saurmatua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sarimatua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang melaksanakannya. Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat untuk keturunan orang tua yang meninggal saurmatua itu, yaitu semua anak laki-lakinya, cucu laki-laki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-laki dari anaknya perempuan. Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala. Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang sabangunan dalam upacara saurmatua. Pemberian napuran tiar ini menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia menerima
Universitas Sumatera Utara
undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada waktu yang bersamaan. Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orang tua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orang tua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan duduk, di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak lakilaki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua mereka masing-masing. Dan semua unsur dari Dalihan Na Tolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos. Upacara di jabu ini biasanya dibuka pada pagi hari (sekitar jam 10.00 Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur Dalihan Na Tolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-unsur Dalihan Na Tolu sedang berlangsung, di antara keturunan orang tua yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang bersamaan, datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan (dengke) Batak, sagu-sagu,
Universitas Sumatera Utara
nasi, rudang, merata atau beras yang ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih). Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-instrumen mereka masingmasing. Umumnya semua pemain duduk menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan dan mengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama. Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua yang meninggal saurmatua, dan pada saat gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saurmatua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur Dalihan Na Tolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal, boru di sebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut hanya tapi mereka paling depan. Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja (pangulani huria). Semua unsur Dalihan Na Tolu berdiri di tempatnya masing-masing. Pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar dimainkan:
Universitas Sumatera Utara
1. Gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan. 2. Gondang kedua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka semua menari. 3. Gondang Liat-liat para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja. 4. Gondang Somba-somba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut. 5. Gondang yang terakhir, hasuhuton meminta gondang hasahatan dan sitiotio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan mereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali. Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Na Tolu meminta gondang kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun uang tersebut adalah dari
Universitas Sumatera Utara
pihak hula-hula atau dongan sabutuha. Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam memainkan Gondang Sabangunan. Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan pada malam-malam hari tersebut diisi dengan manortor semua unsur Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa masuk ke dalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru. Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi di beberapa daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah dongan sabutuha saja. Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut, maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. Pengganti dari ulos ini dapat diberikan sejumlah uang. Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut, dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti mayat dibawa ke halaman rumah orang tua yang saur
Universitas Sumatera Utara
matua tersebut, diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan pada sore hari. Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta lauknya) kepada orang tua yang saurmatua dan kepada semua sanak famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan, lalu semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut, hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai (pagi hari). Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah bersiap-siap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah). Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. Peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang. Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di depannya diletakkan palang salib Kristen yang bertuliskan
Universitas Sumatera Utara
nama orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur Dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya. Upacara maralaman adalah upacara terakhir sebelum penguburan mayat yang saurmatua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang saur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang (halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur Dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara di dalam rumah. Pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka. Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengah-tengah halaman rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka dan agak jauh dari tiang kayu borotan. Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan, bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja, koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu gondang (tanpa menyebut nama gondangnya), yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari. Setelah sitolu gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saurmatua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut. Kemudian pengurus gereja meminta gondang marolop-olop. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu
Universitas Sumatera Utara
atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang hasahatan tu sitiotio. Semua unsur: Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali. Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 (tiga) kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru. Sedangkan boru memegang wajah suhut. Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang mangaliat, dengan memberikan ‘boras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Kemudian giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau Uang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orang tua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong. Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hula-hula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan. Kemudian pihak
Universitas Sumatera Utara
ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau uang. Kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 (tiga) kali. Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhutan dibantu dengan boru dan dongan sahuta, sambil diiringi nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar ke rumah duka. Tortor dalam upacara perkawinan dimulai dengan masuknya pengantin ke dalam gedung tempat dilaksanakannya (adat na gok) atau adat yang sepenuhnya. Pengantin berdiri di pintu masuk bersama keluarga pihak laki-laki. Kemudian dipanggillah terlebih dahulu pihak hula-hula (pihak perempuan) untuk memasuki
Universitas Sumatera Utara
ruangan diikuti hadirin dan undangan lainnya. Dengan diiringi musik seluruh undangan memasuki ruangan sambil menyalami pengantin dan keluarganya. Keluarga hula-hula secara umum datang membawa beras di dalam sumpit (tandok). Beras ini disebut sebagai boras sipirni tondi (beras yang menguatkan semangat) dan ditaburkan di atas kepala orang sesuai kedudukannya sebagai penerima beras tadi. Pada saat manjalo tumpak” (sumbangan tanda kasih) gondang akan mengiringi undangan datang menyalami suhut (tuan rumah) dan pengantin memberikan amplop berisi uang sambil berjalan dan manortor. Tortor yang dilakukan oleh muda-mudi yang disebut dengan gondang naposo, dilakukan hanya untuk muda-mudi tanpa melibatkan unsur Dalihan Na Tolu. Tortor muda-mudi ini dilakukan dalam ajang cari pasangan hidup atau mencari jodoh. Lihat: Tortor dalam Pesta Horja (Bab IV). Di dalam suatu upacara atau pesta, tortor yang wajib dilakukan adalah tortor mula-mula, tortor somba, tortor mangaliat dan yang terakhir tortor hasahatan/sitio-tio. Sebelum tortor hasahatan/sitiotio atau setelah tortor mangaliat, jenis tortor yang lain dapat diminta dan ditarikan sesuai permintaan undangan yang hadir dan disesuaikan dengan upacara atau pesta yang berlangsung. Jenis-jenis tortor yang disajikan misalnya: − Tortor Hata sopisik adalah tortor yang dilakukan seperti berbisik dan membentuk kelompok-kelompok, dan tortor ini biasa juga disebut tortor marhusip. Iramanya yang cepat dan gembira membuat suasana jadi meriah.
Universitas Sumatera Utara
Gerakannya lebih bebas tetapi masih dalam motif dasar gerak tortor yang sudah ada. − Tortor didang-didang adalah tortor yang menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia. − Tortor malim yaitu menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda. − Tortor mulajadi yaitu tortor yang menggambarkan paenyampaian segala permohonan kepada yang Maha Pencipta sumber segala anugerah. − Tortor Haro-Haro yaitu tortor kegembiraan sebagai ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa. − Tortor Si bungka pikkiran yaitu tortor yang mengajak manusia untuk tidak tenggelam
dalam
kegagalan,
mengajak
bergerak
dinamis
dengan
mengutamakan kecerdasan dan mampu menganalisa serta tepat membuat keputusan. − Tortor Si bunga jambu adalah tortor yang biasa ditarikan oleh muda-mudi dengan harapan perkenalan akan berlanjut ke arah membina rumah tangga. − Tortor Si boru yaitu tortor yang dilakukan oleh wanita saja untuk membujuk hula-hulanya dalam meminta sesuatu. Jenis tortor yang ada di luar konteks penyajian tortor si pitu gondang adalah: − Tortor Tunggal panaluan yaitu tortor yang dilakukan oleh para dukun untuk menghindari musibah yang menyerang suatu desa, dengan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa.
Universitas Sumatera Utara
− Tortor Nasiarsiaran yaitu tortor yang ditarikan oleh seseorang yang akan mengalami kesurupan,dan biasanya dilakukan untuk menyembuhkan yang sakit dengan meminta petunjuk kepada Yang Maha kuasa. − Tortor Si pitu sawan yaitu tarian yang memangku tujuh cawan yang dilakukan pada saat pengukuhan raja. Tarian ini berasal dari tujuh putri khayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak gunung Pusuk Buhit bersamaan dengan datangnya Piso Si pitu Sasarung (pisau tujuh sarung). − Tortor Pangurason yaitu tari pembersihan, biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu dibersihkan tempat atau lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut yang dicampur air. − Tortor Elek-elek (lae-lae) yaitu tortor yang dilakukan dalam upacara Mangalahat Horbo Lae-lae, untuk membujuk kerbau yang akan disembelih menuju tiang kayu borotan agar kerbaunya tidak melawan atau marah pada sat upacara akan dilangsungkan. Secara keseluruhan tortor ini senantiasa diiringi gondang sesuai dengan nama tortor yang ditampilkan. Tortor dilakukan dalam setiap kegiatan adat maupun hiburan bagi masyarakat Batak Toba. Dalam setiap kegiatan itu, tortor memiliki penggunaan dan penyajian yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukannya dalam unsur Dalihan Na Tolu. Tortor hula-hula tidak boleh dilakukan boru demikian sebaliknya akan tetapi meskipun tortor itu berbeda menurut kedudukannya masing-masing dalam
Universitas Sumatera Utara
unsur Dalihan Na Tolu, tortor juga memiliki unsur dasar gerak yang hampir sama satu dengan yang lainnya. Tortor hula-hula merupakan gerakan kedua telapak tangan yang diarahkan ke kepala boru dan menyentuh pundak kepada dongan sabutuha sambil berjalan berkeliling. Tujuan dari gerakan ini adalah mamasumasu (memberikan berkat kepada boru dan menyapa untuk dongan sabutuha). Sebaliknya pihak boru melakukan gerakan tortor dengan posisi kedua telapak tangan dirapatkan posisi menyembah kepada hula-hula sehingga ada pepatah menyatakan (Ditortori naso gondangna) artinya (dia manortor tidak sesuai dengan kedudukannya di dalam unsur Dalihan Na Tolu dan hal ini dapat menimbulkan cemoohan dari orang lain). Tortor yang dilakukan ataupun yang digunakan pada saat upacara religi, adat maupun hiburan berbeda penyajiannya dan reportoar lagu yang mengiringinya pun berbeda juga. Dalam upacara religi memulai tortor selalu dilakukan mangelek pargonsi (membujuk pemain musik), mangido tuani gondang (memohon ijin dan tuah, tujuannya supaya upacara berjalan tanpa hambatan), melakukan urutan tortor dengan reportoar si pitu gondang, melakukan tortor sesuai dengan upacara yang diadakan. Cara manortornya lebih sopan dan terkesan kaku. Pada acara adat, misalnya dalam perkawinan, penyajian tortor lebih bebas, meskipun tetap dalam keterikatan unsur Dalihan Na Tolu.
3.2 Penggunaan dan Fungsi Tortor Tortor disajikan selalu terkait dengan upacara religi, upacara adat, dan hiburan bagi masyarakat Batak Toba. Untuk melihat fungsi tortor penulis
Universitas Sumatera Utara
mengacu kepada fungsi seni pertunjukan dalam kehidupan manusia yang dikemukakan Soedarsono yang mengatakan secara garis besar fungsi seni pertunjukan dalam kehidupan manusia bisa dikelompokkan menjadi 3 fungsi primer, yaitu: (1) seni sebagai sarana ritual; (2) seni sebagai sarana hiburan pribadi; dan (3) seni sebagai presentasi estetis.
3.2.1 Penggunaan Tortor Tortor digunakan dalam setiap acara-acara dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Telah dijelaskan bahwa tortor digunakan untuk menentukan kedudukan seseorang dalam unsur Dalihan Na Tolu, yang dapat dilihat dari gerakan-gerakan tortor yang dilakukan. Tortor Batak Toba menggambarkan perjalanan hidup orang Batak Toba dalam kehidupan kesehariannya. Tortor menggambarkan kegembiraan, rasa senang, bermenung, berdoa, menyembah, menangis, bahkan keinginan atau citacita dan harapan. Semua hal ini dapat tergambar dalam aktivitas manortor (tortor Batak Toba). Tortor dahulu dipergunakan dalam pesta adat (tortor adat), acara kegembiraan (sukacita) dan acara kesedihan (duka) dan untuk perenungan. Tortor senantiasa tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba yang mendiami wilayah Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan sudah pasti senantiasa melakukan aktivitas manortor ini dalam setiap kegiatan dalam kehidupannya. Orang Batak Toba yang mendiami suatu wilayah, apabila dalam sistem kekerabatan mereka telah mempunyai hubungan kekerabatan dengan sesama
Universitas Sumatera Utara
orang Batak Toba yang telah memungkinkan sudah didapati orang-orang dengan struktur dalihan na tolu, pasti adat istiadat akan berjalan dengan baik. Orang Batak Toba yang diperantauan akan membuat sebuah perkumpulan dalam membina kekerabatan sesama orang Batak Toba. Dalam hal ini juga mereka secara otomatis akan menerapkan sistem norma adat yang dilakukan masyarakat Batak Toba umumnya. Jadi wilayah pemakaian tortor ini dilakukan oleh orang Batak Toba itu sendiri di manapun mereka berada di seluruh belahan dunia ini. Bisa saja beberapa marga yang berkumpul dalam suatu wilayah dapat menjadi suatu sistem kekerabatan yang baru di luar dari sistem kekerabatan yang sudah tinggal di kampung. Di tempat yang baru mereka membentuk suatu perkumpuan adat dalam hubungan kekeluargaan dan kekerabatan sesama orang Batak Toba. Jadi tortor itu akan dilaksanakan oleh orang Batak yang ada di manapun di seluruh dunia ini. Dalam upacara religi penganut aliran kepercayaan Parmalim, tortor sangat benar-benar dilakukan karena tortor salah satu media penyampaian keinginan kepada Sang Pencipta seperti kemakmuran dan kesejahteraan. Pada pesta horja sebagai upacara adat, tortor digunakan sebagai media kepada Sang Pencipta dan sebagai media yang dapat menunjukkan pada saat acara berlangsung, orang-orang yang berkedudukan dalam unsur Dalihan na Tolu. Saat ini perkembangan tortor (setelah masuknya era kekristenan) jadi dipergunakan dalam acara kebaktian gereja (memuji Tuhan) dan biasanya teks diiringi lagu-lagu rohani kemudian tortor untuk kepentingan hiburan (pariwisata/
Universitas Sumatera Utara
komersial) dan sudah banyak digabung dengan tarian etnis lain kemudian tarian ini disebut sebagai kreasi tortor.
3.2.2 Fungsi Tortor Fungsi tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba adalah: Sebagai refleksi organisasi sosial (pengesahan lembaga sosial), ritual, dan keagamaan. Tortor dapat dilihat sebagai refleksi organisasi sosial (pengesahan lembaga sosial), ritual, keagamaan dalam upacara Parmalim Sipaha Lima dipercaya bahwa Debata Mula Jadi Na Bolon dan seluruh penghuni Banua Ginjang (atas bumi) turun ke bumi untuk memberkati (mamasu-masu) dan melihat seluruh ciptaan-Nya. Tortor dengan iringan musik Gondang Sabangunan, adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Dalam pembentukan kepemimpinan setiap kegiatan ritual maupun keagamaan. Tortor dan Gondang Sabangunan adalah kedua unsur yang menentukan keabsahan kegiatan tersebut. Dalam setiap kegiatan pemilihan pemimpin pada saat sekarang inipun tortor dan gondang sabangunan dijadikan media pengesahan kepemimpinan yang baru, seperti pemilihan bupati, camat ataupun unsur pemerintahan lainnya. Kemudian salah satu fungsi tortor dalam kehidupan masyarakat Batak Toba adalah sebagai hiburan. Di manapun orang Batak berkembang atau menempati suatu wilayah, pastilah tortor tetap hidup di tengah-tengah mereka. Karena tortor sudah mendarah daging bagi kehidupan orang Batak Toba. Ada ungkapan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang mengatakan:
Universitas Sumatera Utara
Dang tartangishon, tumagonanma tinortorhon, artinya bila ada masalah yang sudah tidak mampu kita tangisi, lebih baik kita menari (manortor) saja. Jadi orang Batak menghibur dirinya dengan melakukan tortor, dan hal ini akan berlangsung bila orang Batak mendengar bunyi gondang, secara sadar ataupun tidak, dapat menggerakkan tubuh si orang Batak sendiri. Berhubungan
dengan
fungsi
seni
sebagai
hiburan,
Merriam
mengemukakan, Music provides an entertainment function is all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must be probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular feature of music in western society, and entertainment combined with other function. The latter may well be a more prevalent feature of non literate societes. (Merriam, 1964:223). Dalam kegiatan hiburan, tortor inipun sering disajikan atau dipertunjukkan untuk menghibur wisatawan yang berkunjung ke daerah seputar Danau Toba (khususnya daerah Parapat, Tomok, Tuktuk, dan Samosir sekitarnya). Kompetisi tortor dalam kegiatan hari jadi atau ulang tahun beberapa kabupaten (Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir) sering dilaksanakan, bahkan telah menjadi agenda tahunan dan dapat menjadi hiburan yang menarik untuk masyarakat. Tortor kreasi telah menarik perhatian para panortor maupun masyarakat pendukungnya. Tortor kreasi yang tidak terikat lagi dengan tata hukum adat, telah banyak menjadi hiburan dalam setiap perayaan hari besar keagamaan maupun kenegaraan. Pada hari besar keagamaan (untuk yang beragama Kristen), tortor sering dipertunjukkan oleh anak-anak atau remaja dengan diiringi gondang yang sudah digabung dengan keyboard, bahkan lagunya diambil dari kaset lagu rohani
Universitas Sumatera Utara
(gerejawi). Dalam aksi pengumpulan dana pada kegiatan pesta pembangunan gereja, tortor juga dijadikan sebagai media hiburan. Bentuk penyembahan terhadap arwah-arwah nenek moyang merupakan kepercayaan yang telah diwarisi secara turun-temurun. Kegiatan pemujaan dan penyembahan kepada roh nenek moyang ini diwujudkan dalam suatu bentuk upacara dengan tarian dalam hal ini tortor yang menyertainya. Upacara yang dilaksanakan dengan menyertakan tari memiliki berbagai ragam yang sesuai dengan tujuannya masing-masing. Ada empat tujuan upacara yang menyertakan tari, yaitu: -
Upacara yang ditujukan untuk penyembahan terhadap roh nenek moyang.
-
Upacara berkenaan dengan peristiwa dalam daur kehidupan.
-
Upacara dengan harapan tertentu.
-
Upacara yang diselenggarakan untuk pergaulan. (Kusmayanti, 1990: 6) Tortor dilakukan dalam setiap kegiatan upacara tersebut. Dalam memulai
tortor (khususnya dalam upacara religi dan adat) selalu dibuka dengan permintaan dan permohonan kepada Tuhan (Debata Mula Jadi Na Bolon), roh-roh nenek moyang (Sahala ni da Ompung), penguasa kampung (Raja Huta) dan menghormati Hula-hula dan masyarakat sekitarnya (Siloloan Natorop). Tujuannya mengharapkan semua yang dipuja dan dihormati memberikan berkat (pasu-pasu) kepada penyelenggara pesta atau upacara (ulaon). Paminta gondang akan menyerukan dan meminta kepada pemain musik (pargonsi), yang bunyinya:
Universitas Sumatera Utara
Amang panggual pargocci, alualuhon damang ma jo tu Omputta Mula Jadi Na Bolon....lalu gendang taganing dibunyikan sebentar, para panortor tidak manortor tetapi dalam keadaan diam dan hening melipat tangan di arah perut, sambil berdoa dalam hati. Dilanjutkan lagi…. Alu-aluhon damang ma jo to akka sahalani da Ompung. ...dalam hal ini posisi dan cara panortor sama dengan yang dilakukan pertama tadi. Dilanjutkan lagi... Alu-aluhon damang ma jo tu akka Raja ni huta, Raja ni hula-hula dohot sude si Loloan na torop....posisi panortor tetap diam dan hening, suasana tetap khidmat sambil berdoa dalam hati. Secara totalitas panortor berserah kepada penguasa alam semesta, penguasa kampung, roh nenek moyang, hula-hula dan masyarakat sekitarnya, yang
tujuannya
supaya
setiap
elemen
yang
ada
di
sekitar
wilayah
penyelenggaraan upacara dapat berjalan baik dan lancar tanpa ada gangguan apapun dan hasil yang diinginkan mendapat berkah kesehatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Hal ini dilakukan juga dalam setiap upacara perkawinan, meskipun tidak secara keseluruhan lagi, karena upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba telah dipengaruhi unsur kekristenan, sehingga penyelenggaraannya sudah didominasi kegiatan gereja meskipun adat tetap dilaksanakan. Tortor dalam upacara kematian (sarimatua maupun saurmatua) sangat berperan dalam kegiatan upacara ini. Karena pihak keluarga yang meninggal harus berusaha menghormati
Universitas Sumatera Utara
semua orang yang datang melayat, hal ini diungkapkan dalam tortor. Begitu juga dalam pesta horja (pesta tugu), bahwa dalam setiap gerakan tortor melambangkan penghormatan kepada semua yang hadir sesuai kedudukannya dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba. Dahulu kala gondang dibunyikan untuk meminta sesuatu kepada penguasa alam. Mengharapkan hujan turun, panen yang baik dan berlimpah, terhindar dari penyakit dan banyak hal lagi. Kegiatan margondang selalu disertai tortor, dan gerakan tortor itulah melambangkan permohonan dan harapan-harapan dapat dicapai. Gondang naposo adalah tortor yang ditujukan khusus untuk muda-mudi dalam hal pencarian jodoh ataupun persahabatan. Hal ini melibatkan pertemuan muda-mudi antar kampung. Kegiatan ini dapat mempersatukan muda-mudi yang sebelumnya tidak saling mengenal menjadi bersahabat bahkan ada yang menikah dari hasil perkenalan tersebut. Dalam upacara religi Parmalim Sipaha Lima dikenal dengan Ulaon Parsahadaton yaitu acara doa (hari pertama), Ulaon pameleon (acara persembahan) pada hari kedua, dan hari ketiga disebut Panggohi atau Mananti (penutup). 12 Dalam upacara ini semua umat Parmalim manortor bersama. Fungsi upacara ini adalah untuk mengucapkan syukur kepada Debata Mula Jadi Na Bolon, karena umat Parmalim telah sampai ke tempat pelaksanaan upacara dengan selamat, tujuannya meminta pengampunan dosa yang dilakukan selama ini, mengucap syukur, memohon bimbingan kepada petunjuk Debata Mula Jadi Na Bolon, menyampaikan persembahan (pelean) dari hasil pertama rejeki yang 12
Upacara religi Parmalim Sipaha Lima adalah upacara dengan kegiatan penyembahan puji pujian kepada Debata Mula Jadi Na Bolon serta seluruh penghuni Banua Ginjang (langit) dari Patumonaan (hasil pertama dari setiap pekerjaannya) dan dilakukan setiap bulan Sipaha Lima.
Universitas Sumatera Utara
diterima, memohon berkat (kesejahteraan, keselamatan, keturunan yang banyak, kekuatan). Dalam upacara adat perkawinan, dilakukan aktivitas manortor sebagai bentuk hubungan yang baik dalam unsur kekerabatan masyarakat Batak Toba antara hula-hula, dongan sabutuha dan boru. Tortor Mangaliat memperlihatkan bentuk tarian yang dilakukan pihak hula-hula menyentuh kepala boru (memberikan berkat pasu-pasu) dan menyentuh pundak dongan sabutuha menggunakan ulos yang dipakai di pundak sebelah kanan hula-hula. Pada dasarnya semua awal dari aktivitas ini membunyikan musik (dalam hal ini gondang sabangunan/gabungan dengan alat musik pop lainnya) tetap memohon dan menyembah kepada Tuhan, supaya setiap aktivitas atau kegiatan upacara berjalan dengan lancar dan baik pula. Hubungan komunikasi jelas terlihat dalam penyajian Tortor Si pitu gondang dalam mengawali setiap kegiatan upacara yang ada pada masyarakat Batak Toba. 1. Tortor mula-mula yang diiringi gondang mula-mula bentuk kepercayaan yang diyakini orang Batak Toba bahwa segala yang ada di bumi ini bermula dari kebaikan (marmula na uli marmula na denggan). 2. Tortor Somba yang diiringi Gondang Somba (repertoar lagu tortor) memperlihatkan komunikasi manusia dengan penciptanya, pelaku upacara dengan hula-hula (bentuk penghormatan), dan pelaku upacara dengan harajaon/pengetua adat maupun dengan masyarakat sekitarnya disebut dengan Si loloan na torop.
Universitas Sumatera Utara
3. Tortor Mangaliat dengan iringan Gondang Mangaliat (tarian berkeliling menghormati dan menyayangi setiap peserta sesuai kedudukannya dalam unsur Dalihan na tolu). 4. Tortor Sibane-bane (dengan iringan Gondang Sibane-bane) yaitu tarian memohon kedamaian. 5. Tortor Saudara/Parsaoran dengan iringan gondang saudara/parsaoran mengharapkan di antara sesama keturunan dan hadirin terdapat persaudaraan yang kekal dan baik. 6. Tortor Simonang-monang dengan iringin Gondang Simonang-monang, yaitu doa memohon kemenangan. 7. Tortor Hasahatan Sitio-tio (dengan iringan Gondang Hasahatan Sitio-tio) dengan harapan segala sesuatu yang diharapkan akan terkabul. Tortor yang dilakukan sebagai aktivitas keagamaan dalam aliran kepercayaan Parmalim dan dilakukan setiap enam bulan sekali, merupakan kegiatan upacara religi rutin yang otomatis telah menjadi suatu kesinambungan budaya Batak Toba. Secara sadar ataupun tidak sadar aktivitas ini telah diwariskan secara turun-temurun hingga saat sekarang ini. Hal ini mengakibatkan generasi muda yang ikut dalam upacara ini sebagai naposo secara otomatis akan menggantikan generasi tua yang sudah tidak mampu lagi dalam melakukan aktivitas ini. Dalam pesta Horja, tortor yang dilakukan telah menjadi sebuah revitalisasi budaya dan telah berperan dalam upaya pelestarian budaya Batak Toba, meskipun pelaksanaannya sekali seumur hidup dalam satu garis keturunan
Universitas Sumatera Utara
tertentu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, dan biasanya pesta Horja itu dilaksanakan oleh generasi ke-3 (tiga) dari yang di”Horjakan” (dalam hal ini adalah cucu). Kompetisi tortor adalah salah satu unsur pelestarian dan kesinambungan budaya Batak Toba. Dengan mengadakan perlombaan dengan janji kompensasi hadiah, telah memacu orang-orang yang ikut kompetisi lebih giat berlatih dan mencari unsur yang paling tradisi ataupun paling natural (bila kompetisi dalam konteks budaya tradisi lama). Demikian halnya dengan tortor kreasi yang dikompetisikan, sedikit banyak telah mempertunjukkan nilai-nilai dasar tradisi yang masih terkandung di dalamnya. Berdirinya sanggar-sanggar seni budaya tradisional Batak Toba juga telah mendorong para anggota sanggar untuk berlatih berbagai macam tortor yang sering ditampilkan dalam setiap kegiatan keagamaan maupun kenegaraan. Dalam berbagai aktivitas budaya, tortor diekspresikan melalui penghayatan estetis. Gerakan-gerakan tortor dilakukan dengan penghayatan secara estetis untuk tujuan yang diharapkan bahwa segala sesuatu yang diinginkan melalui gerakan tortor itu akan mengabulkan segala keinginan kepada Debata Mula Jadi Na Bolon. Ada istilah dalam tortor disebut dengan hohom artinya manortor itu harus dilakukan tertib, sopan, santun dan mata (khususnya wanita) tidak boleh liar. Bila segala aktivitas manortor ini dilakukan dengan penghayatan estetis yang baik, maka segala keinginan (kesejahteraan, kemakmuran, mempunyai keturunan, kekayaan) akan tercapai dan terkabul dalam istilah Batak Toba disebut dapotan hamoraon dohot hagabeon dohot hasangapon.
Universitas Sumatera Utara
3.3 Busana Tortor dalam Upacara Busana atau pakaian yang dipakai dalam aktivitas manortor adalah yang disebut dengan ulos. Ulos adalah bentuk kain atau benang yang ditenun khas masyarakat Batak Toba (motif Batak Toba). Ulos yang dipakai dalam aktivitas kehidupan masyarakat Batak Toba ada berbagai ragam. Mulai dari acara di dalam kandungan, kelahiran, penabalan nama, perkawinan dan kematian. Selain itu banyak aktivitas orang Batak Toba yang senantiasa menggunakan ulos dan setiap kegiatan itu menggunakan ulos yang berbeda-beda sesuai aktivitas yang dilaksanakan menurut adat ataupun upacara yang diadakan. Jenis ulos yang dipergunakan untuk wanita adalah berupa selendang atau yang diletakkan di bahu sebelah kanan yang disebut dengan Sampe-sampe. Jenis ulos untuk Sampe-sampe ini dipakai dengan nama Ragi hotang. Sampe-sampe untuk muda-mudi disebut Ratta-ratta atau Sengka-sengka. Hohop-hohop adalah ulos yang dipakai (dililitkan) menutupi bagian dada ke pinggang. Jenis ulos untuk Hohop-hohop ini disebut dengan Si bunga ni ambasang. Sabe-sabe adalah ulos yang dipakai (dililitkan) dari pinggang sampai ke mata kaki atau dililitkan seperti sarung. Jenis Sabe-sabe ini adalah Runjat. Kemudian jenis ulos yang dipergunakan pria adalah Sabe-sabe. Sabe-sabe adalah ulos yang dililitkan dari pinggang sampai ke mata kaki atau dililitkan seperti sarung. Jenis Sabe-sabe untuk pria ini ada empat pilihan yang boleh dipakai yaitu Marinjamsisi, ragi pangko, ragi harangan, ragi huting. Sedangkan tali-tali adalah ulos yang diikatkan di kepala pria dan jenisnya dinamakan Tumtuman, Padang ursa, Tutur tutur, dan Mangiring. Keempat jenis ini boleh
Universitas Sumatera Utara
dipergunakan. Sampe-sampe (ulos yang diletakkan di bahu sebelah kanan) adalah Ragi hotang. Ulos ini dipakai tanpa busana apapun di bagian dalam tubuh yang dipakaikan ulos. Artinya seluruh pakaian yang dipergunakan adalah ulos dan untuk pria bagian atas tubuh telanjang tidak memakai pakaian. Berbeda dengan keadaan saat ini untuk wanita sudah memakai pakaian kebaya di dalam dan ulos dililitkan di luar pakaian. Ulos yang dipergnakan juga sudah yang dimodifikasi modern. Untuk selendang sudah dipakai dari ulos yang dinamakan Sadum. Sadum dipakai sudah memiliki banyak motif dan warna. Kini, sudah banyak yang memakai sarung dari ulos jenis Ragi idup. Padahal menurut adat Batak Toba, ragi idup itu dipakai untuk tutup peti orang yang sudah meninggal dan ulos ini didapat dari kerabat yang kedudukannya sebagai hulahula. Ulos ini sering disebut sebagai Ulos Saput. Untuk pria sudah lebih sering memakai kemeja dan jas, kemudian ulos dililitkan di pinggang. Ada juga yang melilitkan sarung (seperti pada pesta Horja). Tali-tali atau yang dipakai pria di bagian kepala sudah banyak yang dimodifikasi menjadi mirip seperti topi suku Melayu karena pemakaiannya lebih praktis dan banyak dijual di pasaran. Untuk wanita aksesoris yang diikatkan di kepala yang berhiaskan emas dan ditempelkan di sehelai kain merah disebut dengan Sortali. Saat ini penggunaan Sortali sudah banyak diganti dengan imitasi.
Universitas Sumatera Utara
Padang ursa
Mangiring
Sibungani-
Ragi hotang
b Ragi hotang
Ragi pangko Runjat
Keterangan: Beberapa jenis ulos yang lazim dipergunakan dalam kegiatan manortor pada tradisi masyarakat Batak Toba sebelum era kekristenan.
3.4 Perkembangan Tortor Saat
ini
tortor
banyak
dilakukan
dalam
upacara
pesta
gereja
(pembangunan gereja) dalam rangka mengumpulkan dana atau kegiatan kegembiraan (perayaan hari besar umat Kristen) khususnya Batak Toba. Tortor yang paling sering kita jumpai saat ini adalah tortor dalam pesta perkawinan Batak Toba, pada upacara kematian Saurmatua, dan pada pesta horja (peresmian tugu).
Universitas Sumatera Utara
Banyak masyarakat (khususnya yang sudah tua) menyatakan bahwa penggunaan tortor itu sudah mengalami banyak perubahan. Hal ini terjadi akibat masuknya kekristenan ke Tanah Batak, yang telah banyak membuat laranganlarangan mengenai penggunaan tortor dan gondang sabangunan. Karena kegiatan ini masih dianggap berhubungan dengan kepercayaan sipelebegu (animisme). Kalau dahulu kematian merupakan kutukan dan malapetaka, tetapi dengan masuknya kekristenan telah merubah pandangan masyarakat Batak Toba yang telah menganut ajaran agama Kristen yang mempercayai bahwa malapetaka sehingga saat ini tortor tidak/jarang dilakukan lagi untuk memuja roh-roh dan kekuatan-kekuatan alam seperti yang dilakukan sebelum era kekristenan, meskipun pemeluk aliran kepercayaan yang masih ada sampai sekarang ini masih tetap melakukan kegiatan ritual dengan tortornya, seperti aliran kepercayaan parmalim yang masih ada hingga sekarang. Musik maupun repertoar yang dimainkan sudah lebih mendominasi lagulagu yang lagi tren (populer). Dalam upacara religi alat musik dan teknik manortor masih menggunakan tata cara dahulu (tidak ada penggabungan ataupun dipengaruhi musik atau tarian zaman sekarang), tetapi dalam upacara adat sudah mulai dipengaruhi unsur-unsur masa kini, hal ini karena kehidupan masyarakat Batak Toba sudah banyak dipengaruhi kekristenan yang melarang melakukan upacara-upacara religi yang berhubungan dengan kepercayaan nenek moyang. Sedangkan dalam upacara hiburan, unsur religi maupun adat sudah hilang sama sekali. Lagu-lagu yang dimainkan sudah beragam dari irama pop, dangdut, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV TATA CARA PENYELENGGARAAN PESTA HORJA
Pada bab ini penulis akan membahas tentang latar belakang pelaksanaan Pesta Horja, tujuan pelaksanaan Pesta Horja, hal-hal yang dilakukan sebelum pelaksanaan Pesta Horja, Tortor yang disajikan pada saat penyelenggaraan Pesta Horja, penentuan judul Tortor dan hubungannya dengan pihak yang Manortor, hubungan Tortor dengan gondang sebagai musik pengiring, Tortor Si pitu Gondang dalam Pesta Horja, Mangido Tua ni Gondang, pantun (umpasa) dalam meminta gondang.
4.1 Latar Belakang Pelaksanaan Pesta Horja Pesta Horja adalah pesta merayakan selesainya pembangunan makam nenek moyang atau leluhur dalam hal ini sebagai penyelenggara pesta adalah marga Gultom. Pedersen (1975:22) mengatakan bahwa: “Masyarakat Batak Toba harus memperhatikan adat dan melaksanakannya karena diancam hukum-hukum bencana seperti penyakit, wabah kelaparan dan lain-lain sebagainya.” Dengan latar belakang ini membuat masyarakat Batak Toba berusaha melaksanakan upacara-upacara yang berhubungan dengan penghormatan kepada arwah-arwah leluhur (sumangot ni daompung). Berbeda dengan keadaan setelah kekristenan masuk ke Tanah Batak yang dibawakan missionaris gereja. Aturan dalam kekristenan menekankan bahwa hubungan yang mati dan hidup sudah tidak ada lagi. Kekuatan alam di muka bumi ini adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha
Universitas Sumatera Utara
Kuasa yang saat ini dimanifestasikan masyarakat Batak Toba sebagai Debata Mula Jadi Nabolon. Kalau dulu Debata Mula Jadi Nabolon dipercaya bisa mendatangkan keburukan dan kebaikan bila disembah dan diberi sesajen di suatu tempat yang diyakini tempatnya bermukin (gunung, pohon besar, gua-gua dan sebagainya). Manusia dan kebudayaan memiliki keterikatan yang sangat erat satu sama lainnya. Secara keseluruhan unsur dalam kebudayaan Batak Toba tersebut mempunyai sifat keterikatan dengan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan para leluhurnya dan secara otomatis, masyarakat Batak Toba itu sendiri berusaha mempertahankan kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam kehidupan mereka. Salah satu bentuk adat istiadat yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba adalah Pesta Horja atau sering juga disebut pesta peresmian tugu yaitu setelah nenek moyang mereka bisa bersatu ataupun disatukan permanen maka diadakanlah suatu pesta perayaannya dengan mengundang semua unsur-unsur yang terlibat dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Secara totalitas kegiatan ini tidak terlepas dari unsur kehidupan lainnya misalnya religi, adat istiadat maupun ekonomi. Salah satu yang melatarbelakangi diadakannya Pesta Horja ini adalah karena tuntutan adat. Hukum adat adalah norma-norma yang mengatur sistem kehiduan manusia yang pada awalnya adalah hasil pemikiran manusia dan telah menjadi kebiasaan hidup yang menguasai kehidupan manusia itu sendiri (masyarakat) dalam lingkungan adat tersebut. Norma dan kebiasaan tersebut
Universitas Sumatera Utara
menjadi pedoman yang bisa mengarahkan kehidupan masyarakat tersebut. Hal ini berhubungan dengan yang disebutkan Schreiner (1978:20) yaitu: Adat sebenarnya merangkum semua lapangan kehidupan agama dan peradilan, hubungan-hubungan keluarga, kehidupan dan kematian. Maka adat atau hukum itu bukan hanya memberikan penetapan dengan seksama untuk setiap hal satu persatu… Tuntutan adat yang telah dilaksanakan turun-temurun adalah berlandaskan petuah dari para leluhur yang mengatakan: Tuatma na dolok martungkot siala gundi, napinungka ni na dijolo adat dohot uhumi ihutonon ni na dipudi. (Turunlah menelusuri gunung atau bukit bertongkatkan kayu siala gundi, leluhur atau nenek moyang yang menciptakan adat dan hukum, kita keturunannya yang akan melanjutkan berikutnya).
Pesta Horja dilaksanakan karena tuntutan adat pada masyarakat Batak Toba. Karena meskipun orang Batak telah jauh merantau ke mana pun ke ujung bumi ini, bila pesta ini tidak diadakan mereka akan merasa ada sesuatu yang kurang lengkap dalam hidupnya. Ada kekuatiran akan terjadi sesuatu apabila pesta ini tidak dilaksanakan. Artinya merasa masih kurang menghormati nenek moyang atau leluhurnya, dan masyarakat pun akan menilai keturunan ini na somaradat (tidak beradat), dan akan dicemooh dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Selain itu masyarakat Batak Toba mempercayai bila menghormati leluhur dengan menjalankan adat dengan baik akan mendatangkan kebaikan dan keselamatan. Faktor yang berikutnya adalah faktor ekonomi. Dalam melaksanakan pesta ini dibutuhkan pesta ini dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Keluarga yang selama ini mencari nafkah baik yang di kampung maupun yang di perantauan
Universitas Sumatera Utara
belum tentu dapat mengumpulkan biaya untuk pesta ini. Maka pada suatu saat diadakanlah rapat keluarga yang dipromotori keluarga yang berada di kampung dan mengundang beberapa perwakilan anggota keluarga yang berada di perantauan. Diputuskanlah pesta horja ini harus terlaksana. Anggota keluarga yang
lebih
mapan
diminta
untuk
lebih
banyak
menyumbang
demi
terselenggaranya pesta tersebut. Dalam pesta horja ini yang berperan sebagai pekerja (pelaksana) kegiatan yang disebut sebagai Parhobas adalah Paidua Suhut (anggota keluarga) yang masih satu keturuan dari Ompung paling atas garis keturunannya. Jadi yang berperan di sini adalah keturunan dari yang enam (6) Ompung yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka saling membantu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Dari hasil informasi yang saya terima dari masyarakat setempat, pada dasarnya upacara ini didukung oleh keturunannya yang sudah berpenghasilan di perantauan. Bila dilihat dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan pesta horja ini sangat bertentangan dengan hukum ekonomi, karena yang dirayakan adalah orang-orang yang sudah mati, padahal biaya itu dapat dipergunakan untuk biaya hidup maupun untuk pendidikan keluarga yang kurang mampu. Tetapi hukum adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba tidak dapat diukur secara rasio dan hukum-hukum ekonomi. Masyarakat Batak Toba selalu berusaha meningkatkan taraf hidup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk pemenuhan kebutuhan adat yang harus dilakukan. Selain faktor ekonomi, faktor ‘prestise’ atau gengsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat merupakan
Universitas Sumatera Utara
faktor yang paling penting yang melatarbelakangi terselenggaranya pesta horja ini. Ada tiga jenis aktualisasi hidup dalam kehidupan sosial orang Batak Toba yaitu: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Hamoraon artinya kekayaan. Dengan kekayaan ini marga Gultom dapat menuntukkan kepada marga lain bahwa marga Gultom ini mampu secara materi melaksanakan pesta ini karena keturunannya mempunyai kekayaan yang cukup untuk itu. Hal ini dapat kita lihat cara memberi makan para undangan, hewn yang dikurbankan, pakaian dan perhiasan yang mereka pergunakan. Bila mereka mampu menunjukkan kekayaannya dalam pesta tersebut maka masyarakat setempat akan kagum dan hormat kepada orang yang melaksanakan pesta horja tersebut. Hagabeon artinya baik dalam berketurunan. Seseorang dalam kehidupan masyarakat Batak Tobadikatakan sempurna bukan hanya karena umur dan kekayaan materi, tetapi dilihat dari jumlah keturunannya. Keturunan adalah dasar penilaian bagi seseorang supaya dapat dihormati dan dipestakan. Artinya bila banyak keturunannya, maka pesta akan terlihat ramai dan meriah. Dalam pesta Horja marga Gultom ini dikumpulkan dari enam (6) keturunan Ompu, sehingga jumlah keturunan dari Ompu Uluan Gultom beristrikan boru Pasaribu menjadi ramai dan banyak, sehingga mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka adalah keluarga yang diberkati/dipasu-pasu oleh nenek moyang atau para leluhur. Hasangapon berarti kemuliaan. Hal ini ditujukan kepada yang dipestakan atau dihorjakan. Keenam (6) Ompu itulah yang mendapat penghargaan bahwa
Universitas Sumatera Utara
mereka sudah mendapatkan “Hasangapon” dari keturunannya sampai tingkat ketiga dan keempat. Semakin tercapai hamoraon dan hagabeon dari setiap keturunan yang dihorjakan tadi, maka semakin ‘sangap’ lah (mulialah) dia dalam pandangan masyarakat sekelilingnya.
4.2 Tujuan Pelaksanaan Pesta Horja Pesta Horja dilaksanakan untuk merayakan atau mengadakan pesta setelah membangun tempat yang menyatukan leluhur ke suatu tempat yang disebut dengan batu na pir atau tugu atau monumen yang dibuat dari batu dan semen. Yang dihorjakan adalah anak dari Ompu Uluan Gultom yang mempunyai istri Boru Pasaribu. Keenam (6) anaknya itu adalah Ompu Usbin dengan istri boru Pakpahan, yang kedua Ompu Lukman Gultom istrinya boru Panjaitan, yang ketiga Ompu Andar Gultom istrinya adalah boru Tambunan, yang keempat Ompu Nisi Ober Gultom, istrinya boru Pakpahan, yang kelima Ompu Dorlan Gultom istrinya boru Sormin, yang keenam Ompu Radot Gultom istrinya boru Sinaga, yang menyelenggarakan dan mengumpulkan dana dalam pesta Horja ini adalah semua keturunan dari keenam nama tersebut dari anak sampai ke cucu dan cicit mereka (keturunan sampai ketiga dan keempat). Adapun upacara itu dilatarbelakangi suatu keyakinan, yaitu: (1) agar para keturunannya memperoleh berkat dari yang mati, di mana dianggap selalu menyertai dan melindungi keturunannya di dalam setiap kegiatan yang dilakukan; (2) dengan penghormatan yang dilakukan keturunannya maka roh orang mati akan dapat diterima di dunia baru yaitu dunia arwah (Lubis, 1985: 119). Hal ini juga
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Padersen (1975: 23), dimana dia mengatakan: …. pemujaan ini didasarkan pada pendirian bahwa peruntungan orang-orang hidup selalu bergantung pada itikad para nenek moyang bergantung pula pada penghormatan dan persembahan kurban yang dilaksanakan oleh orang-orang yang hidup. Keyakinan ini motivasi masyarakat Batak Toba untuk melaksanakan upacara tersebut dan mendorong kelompok masyarakat memanifestasikan hak dan kewajibannya sebagai rasa solidaritas kebersamaan dan kegotongroyongan, yang merupakan fungsi dinamis dan kontekstual seseorang berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu (Sitompul, 1983:73). Biasanya pesta Horja ini didahului dengan upacara Mengongkal holi (menggali tulang belulang nenek moyang dan akan disatukan ke dalam satu tempat yang disebut dengan batu na pir atau tugu yang bangunan kuburannya berbentuk rumah-rumah kecil dibangun dari semen dan batu). Tetapi yang ada di tempat pesta Horja marga Gultom yang dilaksanakan di Desa Rahut Bosi adalah tempat (kuburan) semennya sudah berdiri/didirikan terlebih dahulu, sehingga bila nenek moyang mereka meninggal sudah langsung diantar dan dikuburkan di tempat tersebut, tanpa repot-repot mengumpulkan tulang belulang (holi-holi) dari nenek moyang yang mungkin ada di perantauan. Artinya nenek moyang marga Gultom ini sudah berfikir lebih praktis supaya keturunannya nanti tidak terlalu kerepotan dari segi waktu dan ekonomi untuk mengumpulkan mereka. Karena untuk mengumpulkan mereka harus diadakan lagi upacara mangongkal holi, sehingga yang dilaksanakan sekarang adalah Pesta Horja (merayakan setelah selesainya dibangun dengan baik tempat/kuburan/tugu/batu napir tempat mayat
Universitas Sumatera Utara
dari nenek moyang marga Gultom tadi). Tujuannya tentu saja untuk menghormati roh-roh para leluhur dari marga Gultom tadi. Keturunan dari marga Gultom ini berkeyakinan bahwa dengan diadakannya pesta Horja ini, akan membuat mereka memperoleh bantuan dari roh-roh nenek moyang untuk mencegah malapetaka, segala bentuk penyakit dan memperoleh peruntungan hidup. Meskipun hal ini bertentangan dengan ajaran kekristenan, akhirnya tujuan ini disebutkan sebagai penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang mereka. Hal ini mereka hubungkan dengan hukum Taurat yang kelima dalam ajaran Kristen yaitu: “Ingkon pasangaponmu do natorasmu asa martua ho jala leleng mangolu di tano na nilehoni Debatam diho”.
Artinya: Hormatilah orangtuamu supaya lanjut usiamu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu. Bentuk penghormatan ini tidak boleh hanya dilakukan selama orangtua hidup, tetapi sesudah orangtua meninggal pun harus tetap dihormati, sehingga dengan melaksanakan pesta Horja tersebut adalah merupakan bentuk penghormatan kepada orangtua mereka. Dalam Alkitab ajaran agama Kristen upacara atau Pesta Horja ini berpedoman kepada ayat yang ada di dalam Alkitab yaitu: Dalam Kejadian 50 ayat 25: Sebelum Yusuf meninggal ia menyuruh anak-anak Israel bersumpah, katanya: “Tentu Allah akan memperhatikan kamu; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulang ku dari sini.” Dalam Keluaran 13 ayat 19: Musa
Universitas Sumatera Utara
membawa tulang-tulang Yusuf, sebab tadinya Yusuf telah menyuruh anak-anak Israel bersumpah dengan sungguh-sungguh: “Allah tentu akan mengindahkan kamu, maka kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini.” Dalam Kejadian 49 ayat 29: Kemudian berpesanlah Yakub kepada mereka: “Apabila aku nanti dikumpulkan kepada kaum leluhurku, kuburkanlah aku disisi nenek moyangku dalam gua yang di ladang Efron, orang Het itu.” Untuk menghindari kepercayaan animisme yang dilarang gereja, maka Pesta Horja ini harus dihadiri pengurus gereja (pendeta, guru jemaat dan sintua (pelayan gereja)). Pesta Horja yang dilaksanakan di Desa Rahut Bosi ini dihadiri oleh dua pihak gereja yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) dan GKPI (Gereja Kristen Protestan Indonesia), meskipun keturunan marga Gultom tadi banyak yang menjadi jemaat gereka lain, tetapi kedua gereja tersebut telah disepakati sebagai perwakilan dari gereja dalam memulai pelaksanaan Pesta Horja tersebut. Tujuan yang paling utama dari pelaksanaan Pesta Horja ini adalah mempertemukan dan mempersatukan seluruh anggota keluarga dari keturunan Ompu Uluan Gultom yang sudah merantau ke berbagai tempat (di parserahan). Hal ini sesuai dengan yang tertulis di dalam Alkitab agama Kristen yang menyatakan: Idama, denggan nai dohot sonang nai, molo tung pungu sahundulan angka namarhaha maranggi. Artinya “lihatlah, alangkah baiknya dan alangkah senangnya, bila semua kakak dan adik berkumpul pada satu tempa.” Artinya tidak ada lagi perseteruan maupun perselisihan di antara sesama keluarga yang selama ini mungkin ada masalah-masalah dalam keluarga
Universitas Sumatera Utara
keturunan marga ini. Hal tersebut biasa terjadi dalam kehidupan manusia di mana, siapapun dalam berkehidupan di antara sesama manusia.
4.3 Hal-hal yang Dilaksanakan Sebelum Pesta Horja 4.3.1 Mamanggil Pargonsi 13 Mamanggil Pargonsi adalah unsur utama sebelum pesta Horja dimulai. Menghormati dan menghargai adalah unsur yang terdapat dalam adat Dalihan Na tolu. Masyarakat Batak Toba selalu mengaplikasikan adat ini dalam kehidupan sosial kemasyarakatnya. Mamanggil Pargonsi ini adalah salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan kepada pemain musik sebagai pendukung terselenggaranya pesta. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, Pargonsi disebut sebagai Batara Guru (dianggap Dewa) dan berhubungan dengan Tuhan (Debata Mula Jadi Na Bolon). Sebelum pesta Horja diadakan, terlebih dahulu pihak hasuhuton (pelaksana pesta Horja) sebagai tuan rumah yaitu keturunan dari Ompu Uluan Gultom mengadakan musyawarah untuk membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam melaksanakan Pesta Horja ini. Salah satunya adalah memanggil Pargonsi. Pihak hasuhuton yang diwakili J. Gultom memanggil Pargonsi dengan membawa “napuran tiar untuk melakukan pangelekan” (sirih dengan isinya sebagai permohonan dengan membujuk pargonsi supaya mau memenuhi panggilan hasuhuton) untuk mengiringi tortor dengan memainkan musik Gondang Sabangunan. Saat itu yang dijumpai adalah pemain sarune (parsarune) atau
13
Pargonsi adalah pemain musik ensambel gondang dalam tradisi Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
pemain gondang (partaganing) yang diteruskan memanggil teman-temannya yang lain. Meskipun secara utuh pemberian napuran tiar (sirih bersama sejumlah uang) untuk melakukan pangelekan (membujuk) ini tidak semuanya menurut tradisi kepercayaan lama, tetapi tujuannya adalah sama yaitu membujuk pargonsi supaya mau memainkan musiknya pada saat pelaksanaan pesta. Karena keturunan dari Ompu Uluan Gultom itu telah banyak menganut agama Kristen, maka perlakuan terhadap Pargonsi ini dilakukan seijin gereja dengan hanya memberikan napuran tiar sebagai tanda penghormatan kepada pargonsi. Hal ini disebabkan karena peraturan gereja yang terdapat dalam “The Order of Dicipline of Church” (Pengawasan Peraturan dalam Gereja [Protestan]), yang salah satu larangannya adalah tidak boleh memberi buah pinang dan daging pada saat memanggil pargonsi sesuai dengan cara pra-Kristen (Purba, 1998: 282). Oleh karena itulah pihak hasuhuton marga Gultom ini berusaha mengambil jalan tengah dalam cara pemanggilan pargonsi. Tujuan memberikan napuran tiar ini kepada pargonsi adalah supaya pemain musik itu baik dalam memainkan musiknya, kemudian dilakukan dengan benar dan penuh semangat. Hasuhuton yang menyelenggarakan pesta Horja ini pun akan merasa bahwa tujuan yang mereka harapkan akan tercapai melalui musik yang dibawakan pargonsi.
4.3.2 Adat Tu Pargonsi Pesta Horja yang diadakan oleh keluarga marga Gultom di Desa Rahut Bosi ini dilangsungkan selama 3 (tiga) hari. Sebelum pesta dimulai, beberapa hari
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya pargonsi datang ke tempat diselenggarakannya pesta tempat pargonsi dibangun sebuah pentas di sebelah kanan rumah hasuhuton siampudan (penyelenggaraan pesta dari keturunan anak yang paling kecil dari yang dipestakan yaitu anak siampudan (anak paling bungsu) dari Ompu Radot Gultom yang bernama Juara Gultom, karena kebetulan beliau tinggal di kampung Rahut Bosi tempat diselenggarakannya pesta Horja itu. Biasanya Pargonsi ditempatkan di bonggar-bonggar ni ruma 14 atau di panca-panca ni sopo yang berpesta sudah ada pada setiap rumah adat tradisional Batak Toba. Tetapi karena pihak hasuhuton yang berpesta sudah tidak memiliki rumah adat tradisional di sekitar lokasi pesta, maka dari itu dibuatlah pentas dari kayu yang dibangun kira-kira satu meter lebih tingginya. Tujuannya juga supaya pargonsi dapat melihat seluruh yang hadir pada pesta dan dapat melihat orang-orang yang manortor (menari). Pada pesta Horja ini adat yang dilaksanakan kepada pargonsi adalah dengan memberikan napuran tiar (sirih yang lengkap) sebagai pangelekan (membujuk) pargonsi mau melaksanakan tugasnya baik meskipun pargonsi dibayar untuk itu. Tradisi lama bagi masyarakat Batak Toba masih mengadakan upacara untuk panangkok pargonsi (mengantar pargonsi naik ke tempat mereka memainkan musiknya). Upacara itu adalah pemberian pinggan sapa panungkunan yang dilakukan pihak hasuhuton kepada pargonsi. Pinggan panukkunan tersebut ialah piring berisi napuran tiar (sirih lengkap dengan isinya), boras sakti (beras),
14
Ruma adalah bentuk rumah tradisional Batak Tobayang memiliki ukiran-ukiran yang menggambarkan budaya Batak Toba, sedangkan sopo adalah rumah tradisional Batak Tobayang tidak memiliki ukiran. Tempat pargonsi pada ruma adalah bonggar-bonggar dan tempat pargonsi pada sopo adalah panca-panca.
Universitas Sumatera Utara
gambiri (kemiri), tolor ni manuk (telur ayam), gundur (semangka), ansimun (mentimun) dan ringgit sitio soara (uang). Napuran tiar mengandung makna mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Menciptakan Langit dan Bumi (mandok mauliate tu Amanta Debata), boras sakti bermakna segala sesuatu yang dikerjakan berhasil dengan baik (gabe naniula), gambiri melambangkan kemakmuran (marmiak), tolor ni manuk diberikan kepada raja (pengulu balang), gundur mempunyai makna untuk keseluruhan segala penyakit (pamalumi), ansimun berarti penyejuk hati (pangalamboki), ringgit sitio soara berarti segala perkataan yang dipergunakan dalam upacara supaya sopan dan berkharisma. Setelah itu pargonsi akan menanyakan hasuhuton, upacara atau pesta apa yang akan dilaksanakan, kemudian hasuhuton menjelaskan secara rinci hal-hal yang akan dilakukan selama pesta berlangsung. Tetapi pada pesta Horja ini, tradisi lama yang tersebut di atas tidak dilakukan lagi secara utuh, karena keluarga ini (hasuhuton ini) sudah menganut agama Kristen pada umumnya. Pada akhir acara pesta Horja ini hasuhuton hanya memberikan napuran tiar (sirih yang melambangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pesta sudah berhasil dan berjalan baik tanpa kurang suatu apapun).
4.3.3 Maniti Ari Maniti ari adalah menentukan waktu penyelenggaraan pesta Horja. Hasuhuton melihat dari kesediaan semua keturunan dari Ompu Uluan Gultom ini. Kegiatan ini sudah direncanakan sejak tahun 2009 yang lalu, tujuannya supaya seluruh keturunannya dapat mengumpulkan uang untuk pulang kampung dan
Universitas Sumatera Utara
mengumpulkan toktok ripe (partisipasi dana dari setiap masing-masing keluarga dan besarnya ditentukan dalam rapat musyawarah oleh keluarga yang tinggal di kampung dan yang ada di perantauan). Melihat dari segi penanggalan masyarakat Batak bahwa penanggalan ganjil itu merupakan penanggalan yang baik, maka dari itu pesta Horja ini dilangsungkan dari tanggal 7 Juli 2011 sampai dengan 10 Juli 2011 di Desa Rahut Bosi, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara. Panitia memilih tanggal dan bulan ini adalah karena pada saat itu bertepatan sekolah masih dalam keadaan libur (artinya anak-anak tidak akan terganggu masa belajarnya meskipun anak-anak tidak diikutsertakan dalam pesta ini). Pada saat itu pula, keluarga di kampung habis panen (artinya ada hasil yang akan dipergunakan sebagai makanan pada acara pesta) dan bila habis panen masyarakat belum mulai bekerja ataupun belum mulai menanam padi kembali dan ada waktu luang untuk menyelenggarakan pesta tersebut. Bila dilihat secara kekristenan yang tertulis dalam buku Almanak Gereja Kristen Protestan Indonesia bahwa tanggal 7 Juli 2011 itu memiliki makna atau berisikan ayat Alkitab yang tertulis dalam Amsal 16 ayat 3 Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka terlaksanalah segala rencanamu. Hal-hal tersebutlah yang menjadi pedoman bagi panitia (hasuhuton) untuk menentukan waktu penyelenggaraan pesta Horja tersebut.
Universitas Sumatera Utara
4.3.4 Menentukan Tempat Menurut hasil musyawarah keluarga, bahwa tempat yang tepat untuk mengadakan pesta Horja ini adalah di tengah-tengah kampung marga Gultom yang di Desa Rahut Bosi. Rumah hasuhuton adalah yang ditempati Juara Gultom/istri Boru Panjaitan (Ama Dewi), dan areal tempat manortor seluruh yang hadir tepat di depan rumah hasuhuton tersebut. Hal ini juga dikarenakan tugu/kuburan yang akan dipestakan berada tepat di ujung areal pemukiman penduduk mengarah ke tombak (hutan kemenyaan) yang ada di kampung tersebut.
4.4 Tortor yang Disajikan Pada Saat Penyelenggaraan Pesta Horja Tortor yang disajikan atau dilakukan pada saat pesta Horja pada umumnya adalah tortor Sipitu Gondang, yang terdiri dari: Tortor Mula-mula, Tortor Somba, Tortor Mangaliat/Siuk-siuk, Tortor Sampur Marorot/Sampur Marmeme, Tortor Sibane-bane, Tortor Simonang-monang dan Tortor Hasahatan/Sitiotio. Dalam pesta Horja, aktivitas manortor diiringi Gondang Sabangunan. Karena kegiatan ini merupakan upacara adat yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Secara totalitas Tortor Sipitu Gondang dalam pesta Horja ini senantiasa diiringi Gondang Sabangunan karena kegiatan ini merupakan upacara adat yang harus dilaksanakan secara adat. Dalam mengawali acara, tuan rumah (hasuhuton) mengadakan acara Mangido tuani gondang dan menarikan Tortor Sipitu Gondang tersebut. Setelah itu, hasuhuton (tuan rumah) balik kanan (membelakangi rumah hasuhuton) untuk hadir dalam acara tersebut. Setelah hula-hula datang menjumpai
Universitas Sumatera Utara
hasuhuton sambil manortor membawa ulos dan uang yang diselipkan di sebatang bambu dan disambut hasuhuton sesuai dengan hula-hulanya masing-masing. Kemudian setelah sampai tempat, ulos dan uang tadi diserahkan kepada boru ni hasuhuton (pihak boru dari tuan rumah). Setelah itu dimulailah maminta gondang, oleh hula-hula yang datang lalu dimulailah acara panortorion. Dimulai dari Tortor Mula-mula, Tortor Somba, Tortor Mangaliat, Tortor Sibane-bane, Tortor Saudara/Parsaoran, Tortor Simonang-monang dan Tortor Hasahatan Sitio-tio. Tortor mula-mula diiringi gondang mula-mula, tortor somba diiringi gondang somba, tortor mangaliat diiringi gondang mangaliat/liat-liat, tortor
sampur
marorot/sampur
marmeme
diiringi
gondang
sampur
marorot/gondang sampur marmeme, tortor sibane-bane diiringi gondang sibanebane, tortor simonang-monang diiringi gondang simonang-monang dan tortor hasahatan/sitiotio diiringi gondang hasahatan sitio-tio. Biasanya bila banyak waktu, tamu yang manortor akan meminta gondang di tengah-tengah atau sebelum hasahatan sitiotio, berupa tortor hiburan misalnya tortor husip-husip yang diiringi gondang husip-husip ataupun tortor yang lainnya yang sifatnya hiburan.
4.5
Penentuan Judul Tortor dan Hubungannya Dengan Pihak yang Manortor Aktivitas tortor dilakukan sesuai dengan sistem kekerabatan dalam unsur
Dalihan Na Tolu. Hari pertama tortor hasuhuton bolon mengawali acara dalam mambuat tuani gondang adalah tortor yang dilakukan oleh pihak penyelenggara
Universitas Sumatera Utara
pesta (keturunan Ompu Uluan Gultom). Kemudian tortor yang dilakukan suhut paidua (keturunan dari Ompu Honni Gultom, Ompu Tarianus Gultom, Ompu Rani Gultom, Ompu Soaduon Gultom) yang merupakan saudara sekandung dari Ompu Uluan Gultom. Berikutnya adalah manortor panambolo dohot sijalosoit (keturunan Ompu Humala, Ompu Ambe, Ompu Pandaman, Ompu Ria). Manortor bonaniari (Panjaitan dan Pasaribu). Panjaitan adalah Suhut dari Ompu Gonsang dan Pasaribu adalah Tulang Ni Nahinorjahon (paman yang dipestakan). Manortor hula-hula ninahinorjahon yaitu Bona tulang (Pasaribu) dan Bonaniari (Panjaitan). Ditutup dengan tortor hasuhuton bolon. Hari kedua pagi harinya Mambuat Tuani Gondang keluarga Hasuhuton Bolon. Kemudian manortor semua urutan keturunan dari anak paling besar sampai yang paling bungsu. Dipanggillah semua hula-hula dari anak dan cucu yang dipestakan. Kemudian yang terakhir adalah tortor hasuhuton. Hari ketiga diawali dengan tortor hasuhuton (mambuat tuani gondang). Dilanjutkan manortor hahaanggi suhut paidua (saudara dari abang/adik dari yang dipestakan yaitu Ompu Uluan Gultom). Kemudian manortor panamboli/Sijalosoit, hula-hula nasonaro. Manortor boruni Suhut apidua (bere, ibebere), manortor ale-ale dohot huria nadi Rahut bosi. Manortor Muspida dohot Dinas Jabatan Kecamatan Pangaribuan, kemudian Manortor Boru ni Hasuhuton Bolon, Boru dohot ibebere. Manortor Partuaek/Naposo Bulung (muda-mudi), kemudian manortor Haha anggi dohot Harajaon (saudara abang adik dan pengetua adat). Kemudian manortor Bonani ari nami, ditutup manortor Suhut (Panakkok Tuani Gondang). Secara keseluruhan tortor yang disajikan adalah tortor Sipitu gondang dari tortor
Universitas Sumatera Utara
mula-mula,
tortor
somba,
tortor
mangaliat/siuk-siuk,
tortor
sampur
marorot/samput marmeme, tortor sibane-bane, tortor simonangmonang, tortor hasahatan/sitiotio.
4.6 Hubungan Tortor Dengan Gondang Sebagai Musik Pengiring Tortor dan gondang sebagai musik pengiring tidak dapat dipisahkan. Tortor dilakukan pada saat gondang dimainkan, dan gerakannya dimulai dengan mendengarkan melodi Sarune (alat musik tiup dalam ensambel Gondang Sabangunan sebagai pembawa melodi). Pengertian gondang 15 sebagai perangkat alat musik, yakni gondang Batak. Gondang Batak sering diidentikkan dengan Gondang Sabangunan atau Ogung Sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan Taganing (salah satu alat musik yang terdapat di dalam Gondang Sabangunan). Hal ini berarti memberi kesan kepada kita seolah-olah yang termasuk ke dalam Gondang Batak itu hanyalah Gondang Sabangunan, sedangkan perangkat alat musik Batak yang lain, yaitu: Gondang Hasapi tidak termasuk Gondang Batak. Padahal sebenarnya Gondang Hasapi juga adalah Gondang Batak, akan tetapi istilah Gondang Hasapi lebih dikenal dengan istilah Uning-uningan daripada Gondang Batak. Istilah gondang bagi masyarakat Batak Tobamemiliki beberapa pengertian di samping sebagai kata yang berdiri sendiri maupun kata majemuk (berimbuhan
15
Pada tradisi musik Toba, kata gondang (secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai: (1) seperangkat alat musik, (2) ensambel musik, (3) komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (Pasaribu 1987). Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orangorang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah, 1990).
Universitas Sumatera Utara
atau diikuti kata lain) dan sebagai kata-kata yang dipakai dalam kehidupan seharihari di luar peristiwa musikal. Istilah gondang dapat berarti: 1) Seperangkat alat musik yang disebut tataganing atau gondang Batak 2) Alat musik gendang yang disebut taganing 3) Ensambel musik, yaitu gondang sabangunan dan gondang hasapi 4) Komposisi atau lagu 5) Beberapa komposisi lagu yang termasuk “satu keluarga” gondang berdasarkan perbedaan kecepatan atau irama lagu 6) Suatu repertoar misalnya sipitu gondang dan panjujuran gondang 7) Nama upacara seperti gondang mandudu, gondang saoan, dan 8) Nama bagian dari upacara atau tingkatan kekerabatan, misalnya gondang datu, pengurason, gondang hula-hula atau gondang nihasuhuton (Hutasuhut, 1990:3-7). Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni Gondang Sabangunan (Gondang Bolon) dan Gondang Hasapi (Uning-uningan). Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi adalah dua jenis ensambel musik yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan keduanya selalu digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara seremonial lainnya. Namun demikian kalau diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan perbedaan yang cukup mendasar dari kedua ensambel ini. Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua. Misalnya: Gondang si Bunga Jambu, Gondang si Boru Mauliate dan sebagainya. Kata si Bunga Jambu, si Boru Mauliate dan Malim menunjukkan sebuah komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri. Berbeda dengan Gondang Somba, Gondang Didang-Didang dan Gondang Elekelek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi, namun kata somba,didang-didang dan elek-elek memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa komposisi yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di atas, yang merupakan ”satu keluarga gondang”. Komposisi dalam “satu keluarga gondang”, memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: Gondang Debata (termasuk di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sori, Bana Bulan, dan Mulajadi); Gondang Sahala dan Gondang Habonaran. Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. Si pitu Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang pargonsi (baca pargocci) 16 atau panjujuran Gondang adalah sebuah repertoar adalah reportoar/kumpulan lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba. 16
Pargonsi: sebutan kepada semua pemain ensambel gondang sabangunan dalam tradisi Batak Toba.
Universitas Sumatera Utara
Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan “inti” dari keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis bagian apa saja yang terdapat pada si pitu gondang tampaknya cukup rumit juga umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si pitu gondang dapat dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh ditarikan. Jumlah gondang (komposisi lagu yang dimainkan harus di dalam jumlah bilangan ganjil, misalnya: satu, tiga, lima, tujuh). Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya gondang Mandudu (“upacara memanggil roh”) dan upacara Saem (“upacara ritual”). Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya: gondang Suhut, gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya Jika dikatakan gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari bersama kelompok kekerabatan lain yang diinginkannya. Demikian juga Boru, artinya yang mendapat kesempatan untuk menari adalah pihak boru, gondang datu, artinya yang meminta gondang dan menari dilakukan seorang datu (dukun) dan gondang naposo, artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk menari. Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang Sadari Saborngin yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas
Universitas Sumatera Utara
margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam. Dengan demikian, pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi beberapa pengertian seperti yang tertera di atas. Pengertian gondang sebagai suatu ensambel musik tradisional khususnya, maksudnya untuk mengiringi jalannya upacara. Upacara keagamaan maupun upacara adat adalah gambaran dari adat yang menuntun seluruh kehidupan Batak Toba (Manik, 1997:67). Setiap pelaksanaan upacara keagamaan, upacara adat maupun hiburan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, selalu menggunakan gondang sebagai musik pengiringnya. Aktivitas gondang disebut dengan margondang dan aktivitas tortor disebut manortor. Margondang dan manortor ini dilaksanakan hampir di setiap aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Hutasoit (1976:9) mengatakan: “Dipamasa do gondang i siala: -
Pesta
-
Sibaran
-
Mamele
Ia namasuk tu pesta (I)
Ima akka las ni ro ha: 1. Gondang tunggal; 2. Anak tubu; 3. Mamestahon jabu; 4. Manampe goar; 5. Mamestahon huta;
Universitas Sumatera Utara
6. Partangiangan; 7. Harajaon; (II)
(Ia namasuk Sibaran) ima akka dokdok ni ro ha: 1. Papurpur Sapata; 2. Margondang akka na dangol; 3. Namonding;
(III)
(Ia namasuk) Mamele ima akka na porsea tu haporseaon najolo 1. Mamele sumangot; 2. Mangongkal holi; 3. Mamele Pangulu balang; 4. Marmiak hoda; 5. Horbo Santi.”
(Artinya, bahwa kegiatan Margondang dilaksanakan karena -
Pesta
-
Kesedihan
-
Membuat sesajen untuk menyembah roh-roh
Yang termasuk ke dalam (I) Pesta adalah yang berhubungan dengan kegembiraan: 1. Pesta muda-mudi yang diadakan pada malam hari; 2. Pesta kelahiran anak; 3. Pesta memasuki rumah baru; 4. Pesta pemberian nama kepada anak; 5. Pesta peresmian kampung baru; 6. Pesta syukuran dalam suatu keluarga yang meningkat taraf hidupnya;
Universitas Sumatera Utara
7. Pesta pengangkatan raja/pemimpin kampung. Yang termasuk ke dalam (II) Sibaran adalah yang berhubungan dengan kesedihan: 1. Upacara menebus dosa; 2. Upacara yang dilakukan sebagai permohonan supaya lepas dari kemiskinan dan penderitaan; 3. Upacara dalam kematian. Yang termasuk ke dalam (III) Mamele adalah upacara yang berhubungan dengan kepercayaan leluhur atau nenek moyang: 1. Upacara memberi sesajen dan memanggil roh nenek moyang 2. Upacara penggalian tulang belulang leluhur 3. Upacara untuk menghindarkan bencana 4. Upacara mengelus/meminyaki kuda tujuannya dalam mengambil suatu keputusan 5. Upacara pemberian sesajen (sajian) yaitu kerbau. Dalam segala aktivitas tersebut gondang akan seiring dengan tortor seiring dengan tortor. Reportoar lagu yang dibawakan pun adalah sama dengan nama tortor yang ditarikan. Misalnya yang diminta atau dilakukan tortor mula-mula, maka yang dimainkan adalah gondang mula-mula, bila ditarikan tortor somba, maka yang dibunyikan adalah gonda somba demikian seterusnya. Tortor tidak akan berlangsung tanpa iringan Gondang (meskipun ada beberapa lagu gondang yang dimainkan tanpa tortor, ini merupakan gondang yang dibunyikan sebagai doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu sebagai pembuka upacara/acara/mengawali acara dan tidak boleh ditarikan atau
Universitas Sumatera Utara
ditortorkan). Akan tetapi itu hanya merupakan gondang mengawali dimulainya upacara/acara yang disebut gondang Alu-alu tu Amanta Debata, Alu-alu tu siloloan natorop, Alu-alu tu harajaon. Gerakan wanita: Dalam hitungan yang dilakukan pada setiap gerakan dapat dihitung x 8 (delapan) ketukan. Pada saat pergantian gerakan dilihat melalui ketukan gong (ogung oloan), sebagai pembawa ritmis dasarnya hitungannya 2 x bunyi ogung oloan tadi (hesek). Dalam pergantian gerakan pertama yang dimulai dari tangan dibutuha (tangan di perut) hitungannya adalah 1 x 8 (terhitung sejak sarune berbunyi) meskipun hal ini tidak mutlak dalam 1 x 8 hitungan bisa saja menjadi 2 x 8 hitungan. Setelah gerakan tangan dibutuha (yang dilakukan sambil mangurdot) dalam hitungan 2 x 8 atau 1 x 8 dimulailah gerakan marsantabi diparateatean (gerakan menyembah). Gerakan ini dihitung sebanyak 3 x 8 atau 2 x 8. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan membuka tangan (bukka tangan). Pada saat bukka tangan ini mangurdot di tempat 1 x 8 hitungan dilanjutkan dengan gerakan ampe diabara sebanyak 1 x 8 hitungan juga dan bergerak ke kanan 1 x 4 hitungan kembali ke posisi semula 1 x 4 hitungan kemudian ke kiri 1 x 4 hitungan dan kembali ke posisi semula 1 x 4 hitungan. Setelah itu gerakan udur juruk tu jolo sebanyak 3 x 8 hitungan dilanjutkan dengan gerakan margolomgolom masak dengan hitungan 3 x 8 (1 x 8 hitungan ditarik dari kanan, 1 x 8 hitungan ditarik dari kiri dan 1 x 8 ditarik dari kanan kembali). Setelah itu dilanjutkan kembali kepada gerakan semula yaitu marsantabi diparateatean. Demikian gerakan ini seterusnya diulang-ulang sampai hitungan 3 x hitung dari keseluruhan gerakan. Kemudian terakhir gerakan tangan dibutuha (tangan di
Universitas Sumatera Utara
perut) yang menandakan gerakan tortor telah selesai dan salah seorang pemimpin tortor melambaikan tangannya kepada pemain musik (pargonsi). Dengan demikian selesailah repertoar gondang ditarikan. Gerakan laki-laki: Dimulai dengan bagian pertama tangan dibutuha dalam hitungan 2 x 8, kemudian gerakan mangaot-aothon tabina sebanyak 3 x 8 hitungan, dilanjutkan dengan gerakan marsantabi dibohina juga dengan 3 x 8 hitungan. Setelah itu dilanjutkan dengan marnaek mijur huhut talak (tangan bergerak-gerak ke samping atau sisi badan bergantian). Kemudian tangan diturunkan sebanyak 2 x 8 hitungan dan dilanjutkan dengan tangan diayun (2 x 8 hitungan dan diayun kembali sebanyak 2 x 8 hitungan) setelah itu kembali ke gerakan semula yaitu pada gerakan mangaot-aothon tabina (yang berakhir dengan gerakan tangan dibutuha).
Universitas Sumatera Utara
Hubungan Gerakan Tortor Dengan Gondang Sabangunan (Gondang Sibane-bane) Pembukaan : Taganing
Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 1 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Notasi 2 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 3 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Notasi 4 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Notasi 5 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 6 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 7 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 8 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 9 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 10 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Notasi 11 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Notasi 12 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Notasi 13 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Notasi 14 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Notasi 15 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 16 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 17 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 18 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 19 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Notasi 20 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
Notasi 21 Sarune
Hesek
Gordang
Doal
Universitas Sumatera Utara
4.7 Tortor Sipitu Gondang Dalam Pesta Horja Tortor Sipitu Gondang dalam pesta Horja ini adalah tortor yang lazim dilakukan pada setiap kegiatan upacara maupun adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tortor Sipitu Gondang ini senantiasa dilakukan dalam setiap memulai acara.
Universitas Sumatera Utara
4.7.1 Tortor Mula-mula Tortor Mula-mula artinya tortor yang dilakukan dalam memulai atau mengawali aktivitas manortor dalam suatu acara. Dalam pesta Horja ini Tortor Mula-mula adalah tortor pembukaan yang artinya berisi permohonan kepada Tuhan supaya segala sesuatu dapat berjalan baik dan lancar. Tortor Mula-mula juga berarti bahwa manusia percaya bahwa segala sesuatu yang dimulai dengan baik akan berakhir dengan kebaikan pula, marmula na uli marmula na denggan. Manusia juga percaya bahwa semua yang ada di bumi ini pada mulanya ada kekuatan yang menciptakan yang disebut Debata Mula Jadi Na Bolon, dan semua hal itu akan mendatangkan tuah dan berkat bagi penyelenggara pesta (hasuhuton). Gerakan Tortor Mula-mula ini diawali dengan gerakan mangurdot (gerakan lutut yang ditekuk lembut dan ditarik perlahan berulang-ulang), kemudian setelah diawali bunyi gondang, lalu diikuti suara melodi sarune dan saat itulah dimulai gerakan tangan seperti menyembah dan dirapatkan di depan dada. Pada Tortor Mula-mula ini gerakan pria dan wanita adalah sama. Biasanya gerakan ini dilakukan dengan hitungan 3 x 8 hitungan atau 4 x8 hitungan. Kemudian kedua tangan diturunkan dan diposisikan di perut (menutup tangan). Gerakan panortor menentukan berhentinya bunyi gondang, karena apabila panortor menutup tangan di perut menandakan gerakan tortor telah selesai dilakukan dan otomatis pemain gondang akan menghentikan permainannya dan biasanya diikuti dengan gerakan melambaikan tangan oleh paminta gondang (yang meminta lagu gondang dibunyikan). Lambaian tangan itu atau mengangkat
Universitas Sumatera Utara
tangan itu pemberitahuan bahwa tortor telah selesai. Kemudian paminta gondang meminta kembali musik (gondang) dimainkan dan gerakan tortor pun kembali dilakukan.
4.7.2 Tortor Somba Tortor Somba dilakukan untuk menyembah Tuhan (Debata Mula Jadi Na Bolon), Harajaon (Pengetua adat), seluruh yang hadir di tempat pesta Horja (siloloan natorop). Posisi tangan menyembah sejajar dengan kening (menyembah Tuhan), kemudian bergerak berputar di tempat sambil menurunkan posisi tangan agak di depan dada (tujuannya untuk meminta restu dari seluruh yang hadir dalam pesta tersebut).
4.7.3 Tortor Mangaliat/Siuk-siuk Tortor ini dilakukan untuk menghormati dan menyayangi sesama manusia dan unsur gerakan tortornya jelas terlihat dalam wujud sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Hasuhuton manortor berkeliling menyapa hula-hula dengan mengambil ulos dari pundaknya dan dikenakan ke bahu hula-hula dan menyapa boru dengan memegang dagu boru, demikian seterusnya berkeliling, kemudian bergantian pihak boru datang manortor berkeliling menyembah hula-hulanya, kemudian hula-hula memegang kepala boru yang artinya hula-hula memberkati borunya.
Universitas Sumatera Utara
4.7.4 Tortor Sibane-bane Tortor ini mengandung makna doa permohonan kedamaian. Kedamaian artinya antara sesama keluarga, sesama yang bersaudara dalam satu garis keturunan maupun terhadap para tamu atau undangan yang hadir. Gerakannya lebih bebas tangan digerakkan ke atas bahu, turun ke bawah kemudian melenggang lincah (embas) karena tortor ini melambangkan kegembiraan. Para tamu membawa batang bambu yang diselipkan uang di antara buluh-buluh bambunya, kemudian dihentak-hentakkan ke atas sambil berjalan berkeliling sambil hasuhuton manortor dan di akhir bunyi gondang pihak undangan menyerahkan uang yang diselipkan di bambu kepada panitia (bere dari hasuhuton).
4.7.5 Tortor Saudara/Parsaoran Tortor ini melambangkan persaudaraan atau kekerabatan yang baik dalam Dalihan Na Tolu. Tortor ini dapat dikatakan juga sebagai tortor parsaroan yang artinya semua keluarga yang belum saling mengenal akan (marsaor) atau bergabung dan menyatu dengan semua peserta tortor. Tortor ini mengharapkan kehidupan yang damai, tidak ada perselisihan dan doa permohonan mengharapkan kemakmuran. Gerakan tortor ini lebih bebas, ada yang mengajak sesama adik kakak (haha-anggi) manortor, tetapi tetap harus diperhatikan dengan siapa dia boleh manortor dan dengan siapa yang tidak boleh (pantang) atau tokka. Tangan melambai-lambai dalam gerakan marembas.
Universitas Sumatera Utara
4.7.6 Tortor Simonang-monang Tortor ini melambangkan doa permohonan kemenangan dan gerakannya lebih lincah dan gembira. Pepatah mengatakan “Talu maralo musu, monang maralohon dongan”. Kira-kira artinya kalah melawan musuh, menang melawan teman. Artinya permusuhan itu akan berakhir dengan mengalah lebih dahulu.
4.7.7 Tortor Hasahatan-Sitiotio Tortor Hasahatan adalah doa pengharapan kepada Tuhan dan seluruh yang hadir bahwa semua permohonan yang disampaikan dan diharapkan akan terkabul. Hasahatan artinya sampai pada tujuan yang diharapkan, sedangkan Sitiotio artinya “bening” atau jernih, jelas dan terang (segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diminta akan berhasil dengan baik sesuai yang diharapkan). Tortor Hasahatan-Sitiotio disatukan di akhir permintaan membunyikan gondang. Posisi tangan dirapatkan seperti menyembah di depan dada kemudian ujung ulos dipegang dan dikibaskan sebanyak tiga kali sambil menyerukan horas tiga kali. Itulah akhir dari aktifitas manortor setiap undangan yang hadir.
4.8 Mangido Tuani Gondang Dalam pesta Horja, mangido tuani gondang dilakukan tiga kali selama tiga hari acara dilaksanakan. Mangido tuani gondang dilakukan setiap pagi sebelum acara dimulai. Mangido tuani gondang pada hari pertama acara dilakukan setelah memberitahu kepada seluruh peserta upacara tentang tujuan
Universitas Sumatera Utara
pesta, menyebutkan nama pesta (pesta Horja), kemudian mengumumkan dan menceritakan silsilah kekeluargaan orang tua yang dipestakan atau dihorjakan. Pada pesta Horja ini ditunjuklah seorang cucu (pahompu) laki-laki dari yang dihorjakan, namanya adalah Ernis Gultom. Mambuat tuani gondang oleh hasuhuton adalah untuk meminta/menerima berkat dari Tuhan (Debata dan roh nenek moyang/leluhur) yang disampaikan melalui tortor dan bunyi gondang. Gondang yang diminta dalam acara ini pertama sekali adalah gondang alu-alu tu Amanta Debata (yaitu doa memohon izin dan pemberitahuan kepada Tuhan bahwa acara pesta Horja akan dimulai oleh pihak hasuhuton). Setelah itu gondang alu-alu tu Sahala ni Amanta Raja (permohonan izin dan pemberitahuan kepada Raja-raja), dan gondang alu-alu tu Siloloan Natorop (doa permohonan izin kepada seluruh peserta yang hadir dalam pesta Horja), yang terakhir adalah gondang alu-alu tu hasahatannai (permohonan izin kepada Mula Jadi Na Bolon dan roh-roh leluhur atau Sumangot Ni Da Ompung). Semua doa permohonan ini diminta kepada Tuhan dan sesama manusia dan hal ini menandakan sikap menghargai dan menghormatu yang sesuai dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Pada saat gondang alu-alu ini dimainkan hasuhuton belum boleh manortor, karena gondang ini merupakan doa permohonan dan pemberitahuan kepada Tuhan, manusia dan leluhur. Sikap diam dan tenang menunjukkan penghargaan dan penghormatan kepada Tuhan, manusia dan leluhur. Setelah gondang alu-alu, maka hasuhuton meminta gondang sipitu gondang dan mulailah hasuhuton manortor.
Universitas Sumatera Utara
Gondang sipitu gondang tersebut adalah gondang mula-mula (doa memulai acara), gondang somba (doa menyembah kepada Tuhan dan manusia), gondang mangaliat (gondang siuk-siuk) yaitu gerakan berkeliling yang menunjukkan penghormatan kepada sesama sesuai dalam unsur Dalihan Na Tolu, gondang sampur marmeme atau sampur marorot (doa permohonan mengharapkan mempunyai banyak keturunan), gondang sibane-bane (doa permohonan kedamaian), gondang simonang-monang (doa permohonan kemenangan), gondang hasahatan sitio-tio (doa permohonan dan pengharapan supaya segala sesuatu yang diminta akan terkabul).
4.9 Pantun (Umpasa) Dalam Maminta Gondang Umpasa adalah suatu bentuk pantun sastra yang lebih terasa berkesan religius, dalam arti lebih menekankan hal-hal yang bersifat rahmat, kurnia, dan berkat. Dalam maminta gondang banyak petuah-petuah dan nasehat-nasehat yang diserukan dalam bentuk pantun. -
Tortor Mula-mula Paminta gondang akan menyerukan: Amang panggual pargocci nami! (Para pemain musik!) (Disahuti pemain gondang dengan membunyikan gondang beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Na nialap manogot tinaruhon botari, parindahan na suksuk parlompan natabo nuaeng pe di son Amang pande nami partarias namalo, marmula jadi marmula tompa, marmula denggan marmula horas.
Universitas Sumatera Utara
Baen damang ma jo gondang mula – mulai baen damang ma! Artinya: Bapak pemain musik kami! (Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Yang dijemput pagi hari dan diantar pulang di sore hari, Yang mempunyai nasi lezat dan lauk yang enak. Sekarang di sini Bapak kami yang pintar! Pemain musik yang pandai, Asal mula dunia ini adalah dimulai dari penciptaan, Bermula baik bermula horas (baik) Bunyikanlah “Gondang mula-mula” Bunyikanlah wahai Bapak! Setelah manortor mula-mula, berhenti sejenak kemudian dilanjutkan dengan, -
Tortor Somba Paminta gondang akan menyerukan! Nuaeng pe amang pargocci nami, (Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Asa marsomba hami tu Amanta Mula Jadi Nabolon na tumompa langit dohot tano dohot nasa isina. Jala asa marsomba hami tu akka harajaon na adong
Universitas Sumatera Utara
dihuta on, dohot tu siloloan na torop dohot rajani hula-hula nami baen damang majo gondang sombai baen damang ma. Artinya: Di sini sekarang Bapak pemain musik kami! Supaya kami menyembah Tuhan Pencipta Alam Semesta yang menciptakan langit dan bumi serta isinya. Dan supaya kami menyembah kepada pengetua adat yang ada di kampung ini, seluruh yang hadir dalam acara ini, kemudian kepada ‘hula-hula’ kami. Bunyikanlah “Gondang Somba” Bunyikanlah! Setelah manortor somba, kemudian berhenti sejenak dan dilanjutkan dengan, -
Tortor Mangaliat/Siuk-siuk Paminta gondang menyerukan! Amang panggual pargocci nami (Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Di son ro do hami hasuhuton, naeng manortor mangaliat jala maniuk akka boru dohot bere nami, asa liat parhorasan liat panggabean. Baen damang ma gondang liat liati, asa mangaliat hami di tonga ni alamanon. Baen damang ma! Artinya:
Universitas Sumatera Utara
Wahai Bapak pemain musik kami! Di sini kami sebagai tuan rumah ingin menari berkeliling, menyapa dan menyayang semua keturunan kami, supaya tercapai segala kebaikan dan keberhasilan masa depan. Bunyikanlah gondang liat-liat, supaya kami berkeliling di tengah-tengah halaman ini. Bunyikanlah wahai Bapak. Setelah tortor mangaliat/siuk-siuk berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan, -
Tortor Sibane-bane Paminta gondang menyerukan! Amang panggual pargocci nami, (Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Di son pungu do hami sude naeng manortor mangidohon asa marmade hami sude na mar keluarga, namar haha maranggi, dohot sude siloloan natorop na adong di ingananon saluhutna sude. Baen damang majo gondang sibane-banei, asa mardame hami sude na adong di son. Baen damang ma! Artinya: Bapak pemain musik kami!
Universitas Sumatera Utara
Di sini kami berkumpul semua ingin menari, meminta supaya datanglah kedamaian bagi kami semua yang berkeluarga, berkakak adik, dan semua yang hadir di sini. Bunyikanlah ‘Gondang Sibane-bane’, Supaya kami semua berdamai yang ada di tempat ini. Bunyikanlah wahai Bapak! Setelah tortor sibane-bane, kemudian berhenti sejenak, dan dilanjutkan dengan, -
Tortor Saudara/Parsaoran Paminta gondang menyerukan! Amang panggual pargocci nami, (Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Nunga pungu hami na sa ripe di son akka nasaroha, sisada pikkiran, sisada Ompu mangidohon tu amanta pardenggan basai asa dilehon akka nasa hahipason, hadameon, parsaoran nauli di hami na sa Ompu dohot tu harajaon dohot siloloan natorop na mangingani hutaon. Jala asa lam tamba akka paccamotan, asa gabe mardame-dame hami sude na di luat parserahan nang dohot akka na dihutaon. Baen damang ma gondang saudarai asa marsaor hami sude na adong diingananon. Baen damang ma!
Universitas Sumatera Utara
Artinya: Bapak pemain musik kami! Kami sekeluarga sudah berkumpul di sini sehati, sepikirm satu garis keturunan meminta kepada Tuhan Yang Maha Baik, supaya diberikan kepada kita kesehatan, kedamaian, persaudaraan dan kebersamaan yang baik, baik kami yang satu keturunan dan kepada pengetua-pengetua adat dan seluruh yang hadir di tempat ini dan menempati kampung ini. Dan supaya makin ditambahi Tuhan pencaharian dan penghasilan yang baik, berdamai kami sekeluarga yang di perantauan dan yang tinggal di kampung ini. Bunyikanlah ‘Gondang Saudara’ supaya berbaur kami sekeluarga yang mungkin sudah lama tidak ketemu! Bunyikanlah wahai Bapak! Setelah tortor saudara/parsaoran, berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan, -
Tortor Simonang-monang Paminta gondang menyerukan! Amang panggual pargocci nami, (Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Gala di gala bulu, panggalaan nibonang, molo naeng monang maralohon musu, jolo talu ma marolohon dongan nuaeng pe amang pande nami, asa
Universitas Sumatera Utara
monang hita saluhutna, di sude akka ulaonta, baen damang majo gondang simonang-monangi. Baen damang ma! Artinya: Bapak pemain musik kami! Galah terbuat dari bambu, tempat menyangkutkan benang kalau mau menang melawan musuh harus kalah terlebih dahulu melawan teman. Sekarang pun, Bapak pemain musik kami yang pandai, Supaya kita menang seluruhnya di segala pekerjaan yang kita lakukan, Bunyikanlah ‘Gondang Simonang-monang’, Bunyikanlah wahai Bapak! Setelah tortor simonang-monang, berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan, -
Tortor Hasahatan/Sitio-tio Paminta gondang menyerukan! Amang panggual pargocci nami, (Disahut pemain gondang dengan membunyikan gondang dengan memukul beberapa kali) Dilanjutkan paminta gondang berkata, Eme si tamba tua perlinggoman ni si borok, Debata do silehon tua, horas ma hamu diparorot. Sahat-sahat ni solu sahat ma tu bontean. Sahat ma hamu leleng mangolu, sahat tu parhorasan dohot tu panggabean.
Universitas Sumatera Utara
Nuaeng pe amang pargocci nami Mungga sahat sude nauli sahat sude na denggan jala tio akka na niula horas sude hami namangulahon. Alami amang, baen damang ma gondang hasahatoni, laos padomu damang ma tu sitio-tio i, anggiat sahat akka na tio akka na uli jala na denggan. Baen damangma! Artinya: Bapak pemain musik kami! Padi yang menguning tempat berlindung burung si borok. Tuhan pemberi tuah, sejahteralah kita dijaga-Nya. Sampailah sampan ke labuhan, sampailah kami panjang umur, sampai sehat selamat sejahtera dan berhasil ke masa depan. Sekarang Bapak pemain musik kami! Sudah sampai semua yang baik sampai semua yang sejahtera dan bening serta jernih segala hal yang sudah kita kerjakan dan kita semua yang mengerjakan. Karena itu, wahai Bapak! Bunyikanlah ‘Gondang Hasahatan’ dan gabungkanlah dengan ‘Gondang Sitio-tio’, semoga sampai semua yang bening dan jernih segala yang baik dan sejahtera sentosa. Bunyikanlah wahai Bapak! Setelah tortor hasahatan/sitio-tio, maka berakhirlah satu urutan panortorion dari satu undangan atau hadirin.
Universitas Sumatera Utara
BAB V STRUKTUR DAN MAKNA PENYAJIAN TORTOR SI PITU GONDANG
Pada bab ini penulis akan membahas tentang struktur, makna, motif, makna gerak dasar dalam Tortor, aturan-aturan dalam gerakan Tortor, danskrip Tortor dalam Pesta Horja, pola lantai dalam Tortor maupun busana yang dipakai dalam Tortor.
5.1 Struktur dan Makna Struktur adalah suatu bangunan yang terdiri dari bahagian-bahagian yang lebih kecil, dan yang membentuk satu kesatuan. Struktur seni diwujudkan dalam dimensi ruang dan waktu. Struktur memiliki tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri (Hawkes, 1978:16). Pertama, struktur merupakan keseluruhan yang bulat yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu berisi gaya transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan proses transformasional dalam arti bahan-bahan baru diproses dengan melalui prosedur itu. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri dan setiap unsur mempunyai fungsi berdasarkan letaknya. Analisis struktural dalam Tortor adalah penyajian yang tidak dapat terlepas dari segala unsur maknanya. Di dalam struktur penyajian Tortor terdapat motif dan makna gerak dasar, kemudian aturan-aturan dalam gerak, danskrip tortor, pola lantai maupun busana yang dipakai dalam Tortor.
Universitas Sumatera Utara
Makna adalah hal-hal yang dapat diketahui tujuannya melalui yang hendak disampaikan kepada orang lain. Seni yang bermutu adalah seni yang memberikan pengalaman estetik, pengalaman emosi, pengalaman keindahan, atau pengalaman seni yang khas milik dirinya. C. Bel dalam Sumardjo (2000:124) menanamkan kualitas seni yang demikian itu sebagai significant form (bentuk bermakna). De Saussure dalam Hoed (2008:3-4) mengungkapkan “hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial yakni didasari oleh kesepakatan (konversi) sosial.
5.2 Motif dan Makna Gerak Dasar Dalam Tortor Tortor mempunyai perbedaan dalam setiap konteks penggunaannya dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Tetapi bentuk gerakannya adalah sasma dan sudah baku pada setiap Tortor yang ditarikan. Dalam aktivitas Tortor setiap gerakannya mempunyai makna yang senantiasa berhubungan dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Gerakan Tortor senantiasa berhubungan dengan unsur kehidupan berkeluarga, dalam hal ini berkaitan dengan adat Dalihan Na Tolu. Dalam melakukan gerakan Tortor, tangan merupakan bagian tubuh yang paling penting dan lebih banyak melakukan gerakan. Setiap gerakan tangan menunjukkan arti dan makna setiap aktivitas Tortor. Sinaga mengatakan bahwa gerakan tangan menunjukkan ciri-ciri kehidupan orang Batak Toba itu sendiri (1991:28) dan yang paling banyak menunjukkan bagaimana adat Dalihan Na Tolu dilakukan. Hal itu dapat dilihat dari awal memulai manortor, bahwa kedua telapak
Universitas Sumatera Utara
tangan harus diletakkan di atas perut dengan cara tangan kanan menimpa tangan kiri (tangan kanan di atas tangan kiri). Tangan kanan dan tangan kiri adalah lambang suami dan istri (tangan kanan adalah lambang suami dan tangan kiri adalah lambang istri). Artinya suami harus senantiasa melindungi istrinya. Dan dalam posisi manortor laki-laki harus selalu berada di sebelah kanan perempuan (hal ini berlaku juga dalam segala aktivitas kehidupan orang Batak Toba), misalnya dalam upacara adat perkawinan ataupun berdiri di hadapan khalayak ramai. Gerakan tortor yang dilakukan laki-laki maupun perempuan adalah berbeda, Sinaga (1991: 29) menyatakan: “Sian falsafah, pardijabu do anggo ina jala parbalian ianggo ama. Boima berengon bonsir ni perbedaan ni tortor ni baoa dohot tortor ini boru-boru. Lobi bebas jala ‘riar’ do tortor ni baoa sian tortor ni boru-boru. Hira na holan humaliang jabuna (jaha: pamatangna) do ianggo tortor ni ina, hape ianggo tortor ni baoa tung luas jala mangerbang huhut mangebangi. Parpantunna pemansai andul. Hombar tu ngolu siapari, agresif (mungka ni pangaririton) do tortor ni baoa, hape ianggo tortor ni boru-boru hira manjalo laos marpaima”.
Artinya: Berdasarkan pandangan hidup (Dalihan Na Tolu), bahwasanya seorang istri (ina) sudah seharusnya tinggal di rumah, sedangkan seorang suami (ama) harus bekerja ke luar rumah. Itulah yang mendasari perbedaan
Universitas Sumatera Utara
tortor laki-laki dan Tortor perempuan. Gerakan Tortor laki-laki lebih bebas dan lincah (liar) daripada Tortor perempuan. Tortor perempuan lebih mengarah sekitar rumahnya (baca: tubuhnya) saja, akan tetapi gerakan Tortor laki-laki lebih luas dan bebas bergerak, gerakannya juga lebih santai dan tangannya bebas dikibaskan kesana kemari. Sopan santunnya juga sangat berbeda. Hal tersebut dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, agresif (diperlihatkan dari awal pencarian pasangan hidup atau jodohnya), itulah Tortor laki-laki, kenyataannya Tortor perempuan menunjukkan sikap menerima dan menunggu. Hal tersebut juga selalu dihubungkan dengan peran dan fungsi yang berbeda antara suami dan istri. Serser adalah bentuk gerakan telapak kaki membentuk segitiga dengan mempertemukan kedua jempol kaki dan mempertemukan tumit kaki secara bergantian. Dulu serser dilakukan pada waktu panen dilakukan pada waktu panen sebelum padi ditumbuk. Para wanita yang akan menumbuk padi menginjak padi terlebih dahulu dengan menggesekkan atau menggeser kaki sambil menari, karena panen dianggap suatu kegembiraan. Ada filosofi orang Batak yang mengatakan “jolo serser asa tortor, jolo tektek asa gondang”, yang artinya geser kaki dahulu baru menari, menata irama dahulu baru bergendang. Serser sebenarnya dilakukan oleh panortor (penari wanita) yang akan bergerak atau berpindah tempat ke kiri maupun ke kanan. Serser ini melambangkan kesopanan, keterikatan, dan keterbatasan gerakan perempuan dalam kehidupan sehari-harinya. Berbeda dengan gerakan pria, untuk
Universitas Sumatera Utara
berpindah melakukan gerakan melangkah sesuai dengan sifat laki-laki yang agresif mencari nafkah. Namun dalam pengamatan penulis, gerakan serser ini tidak dilakukan dalam pesta Horja maupun dalam beberapa upacara lainnya. Penulis menemukan serser dilakukan pada Tortor sawan (tarian membawa cawan berisi air di kepala), Tortor dalam kegiatan hiburan (pertunjukan), dan tortor dalam kompetisi Tortor adat yang banyak sekarang diselenggarakan dalam berbagai aktivitas perayaan kedaerahan sekitar daerah Batak Toba. Tortor juga dapat menjadi sarana menumpahkan isi hati si panortor itu sendiri baik dalam keadaan sedih maupun gembira. Dalam keadaan gembira kegiatan manortor sampai melompat dan tangan dilambai-lambaikan di kedua sisi paha panortor. Kegiatan ini dinamakan marembas. Akan tetapi “marembas pun” dapat dilakukan dalam suasana hati sedih dan sering dikatakan dengan “mangondas”. Ada pepatah Batak Toba mengatakan Indada tartangishon, tumagonan ma tinortorhon (tiada tertangiskan kejadian yang sudah lalu, lebih baik aku menari). Kalau sudah demikian, hilanglah rasa duka yang dideritanya. Artinya, manortor juga dapat membuat suasana hati menjadi gembira ataupun sedih. Motif dasar gerak tortor dapat kita lihat pada uraian berikut:
Universitas Sumatera Utara
MOTIF DAN MAKNA GERAK DASAR TORTOR No Uraian Gerakan 1 Setiap gerakan tortor diawali menutup tangan di perut. Pada saat gondang dimainkan, posisi tangan masih tetap di atas perut dan panortor mulai mangurdot (gerakan tubuh ke atas dan ke bawah dengan tekanan pada dengkul kaki). Gerakan ini juga dilakukan oleh perempuan. Mangurdot akan dilakukan pada setiap gerakan manortor di tempat. Untuk laki-laki gerakan melangkah atau jalan di tempat setelah dilakukan gerakan membuka tangan setelah gerakan tutup tangan di atas perut tadi.
Foto
Gerak Laki-laki Tangan dibutuha
Makna Tangan dibutuha ini melambangkan hasangapon atau wibawa bagi penarinya, sedangkan mangurdot menggambarkan dalam kehidupan ini ‘adong hangoluan’ artinya dalam kehidupan suatu keluarga senantiasa ada siklus kehidupan yang terus-menerus.
Universitas Sumatera Utara
2
Tangan yang manortor digerakkan ke kanan dan ke kiri. Pada saat tangan sudah diletakkan di perut kemudian dibuka perlahan, lalu digerakkan ke kiri dan ke kanan
Mangaot-aothon tabina
Melambangkan bahwa panortor (penari) menghormati semua orang yang hadir pada saat upacara berlangsung.
3
Gerakan ini adalah gerakan yang dilakukan di depan wajah sambil digerakkan bergantian telapak tangan kiri dan telapak tangan kanan digerakkan bergantian ke atas dan ke bawah.
Marsantabi dibohina
Artinya bahwa laki-laki atau suami harus jadi pelindung bagi keluarganya dan suami adalah yang memegang kekuasaan dalam keluarga.
4
Tangan terbuka dan digerakkan secara bergantian tangan kanan dan tangan kiri. Setelah gerakan marsantabi dibohi dilanjutkan dengan gerakan marnaek mijur huhut talak. Gerakan tangan yang terbuka digerakkan ke atas dan ke bawah bergantian antara tangan kanan dan tangan kiri.
Marnaek mijur huhut talak
Arti dari semua gerakan itu melambangkan sistem hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Arti dari setiap pergantian gerakan tangan itu adalah bahwa dalam suatu keadaan pesta
Universitas Sumatera Utara
Setelah gerakan ini berlangsung kemudian dilanjutkan gerakan lincah mangebang (diayun) ke bawah dan dilakukan bergantuan ke kiri dan ke kanan dan semua gerakan laki-laki menggerakkan jari-jarinya dengan cara merapatkan dan merenggangkan jari-jarinya yang disebut dengan mangguitguit.
adat, posisi hula-hula bisa berubah jadi boru, sesuai dengan kedudukannya masingmasing dalam kehidupan masyarakatnya. Panortor pria gerakannya lincah dan bebas, karena pria harus gesit mencari nafkah untuk keluarga dan dalam kegiatan upacara adat.
Universitas Sumatera Utara
No
Uraian Gerakan
1
Gerakan ini adalah gerakan memulai semua tortor. Sama dengan gerakan awal yang dilakukan laki-laki. Posisi tangan diletakkan di atas perut, tangan kanan di atas tangan kiri.
2
Gerakan dilakukan perlahan bergerak ke atas dan ke bawah. Gerakan ini menggambarkan bahwa panortor dengan sopan sangat menghormati semua yang hadir dalam upacara tersebut.
Foto
Gerak Perempuan Tangan dibutuha
Marsantabi diparateatean
Makna Tangan dibutuha ini melambangkan hasangapon atau wibawa bagi penarinya, sedangkan mangurdot menggambarkan dalam kehidupan ini ‘adong hangoluan’ artinya dalam kehidupan suatu keluarga senantiasa ada siklus kehidupan yang terus-menerus.
(Mohon izin atau menghormat dengan posisi tangan didekatkan di hati atau dada). Parate-atean artinya bagian hati dan jantung manusia. Artinya meletakkan tangan di bagian parateatean merupakan bentuk penghormatan dan permohonan izin kepada seluruh yang hadir di tempat upacara. Perempuan yang melakukan gerakan ini
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan bahwa wanita atau ibu adalah pemberi kehidupan kepada anak-anaknya melalui air susu ibunya. 3
Gerakan ini dilakukan setelah marsantabi diparateatean. Perlahan-lahan kedua telapak tangan dibuka dan tidak boleh lebih tinggi dari telinga.
Bungka tangan
Gerakan ini menggambarkan kejujuran atau hati yang terbuka seorang istri kepada suaminya.
4
Gerakan ini setelah bungka tangan, perlahan-lahan kedua telapak tangan digerakkan ke arah bahu kemudian digerakkan ke kanan dan ke kiri.
Ampe di abara
Gerakan ini menggambarkan tanggung jawab seorang istri lebih berat dari suami. Gerakan ke kiri dan ke kanan menunjukkan sikap mengalah seorang istri kepada suami. Karena suami adalah kepala keluarga yang harus dihormati dan dilayani sebaik-baiknya.
Universitas Sumatera Utara
5
Bersama-sama bergerak menuju ke depan. Perlahanlahan kedua tangan digerakkan ke depan sampai menuju ke bawah, dan secara perlahanlahan agak diayunkan ke kanan dan ke kiri.
Rap udur juruk tu Gerakan ini menggambarkan kesetiaan istri kepada suaminya jlo rap udur (secara bersama-sama) dengan suaminya melangkah ke depan (juruk tu jolo) dalam pencapaian nilai kehidupan yang sesuai dengan adat dalam sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu.
Universitas Sumatera Utara
6
(Gerakan ini dilakukan setelah rap udur juruk tu jolo) diayun beberapa saat, kemudian gerakan tangan diayun dan ditarik menuju pinggang bergantian dengan gerakan tangan kiri menuju arah pinggang. Gerakan tangan kanan diarahkan ke pinggang sebelah kiri dan gerakan tangan kiri diarahkan ke pinggang sebelah kanan. Gerakan ini dilakukan tiga kali, dimulai dengan gerakan tangan kanan, dilanjutkan gerakan tangan kiri, dan yang terakhir diakhiri dengan tangan kanan. Bentuk telapak tangan melengkung seperti ditekuk.
Margolom-golom masak
Gerakan ini menggambarkan seorang ibu yang sedang mengumpul harta (bekal kehidupan) yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan dalam unsur Dalihan Na Tolu yang merupakan hal yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat Batak Tobayang disebut dengan hamoraon, hagabean dohot hasangapon (kekayaan, keturunan yang banyak dan terpandang).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
5.3 Aturan-aturan Dalam Gerakan Tortor Tortor adalah sebuah ungkapan individual, kultur maupun keagamaan. Empat gerak (posisi) tangan yang baku dalam Tortor Batak Toba, sesuai dengan kedudukan penari (Panortor) dalam sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, Maneanea artinya meminta berkat (turut menanggung beban), mamasu-masu artinya memberi berkat, mangido tua artinya meminta dan menerima berkat dan manomba artinya menyembah dan meminta berkat. Lumbantobing (1986) menjabarkan Tortor dibentuk dari gerakan pangurdot, pangeal, pandenggal, siangkupna, dan hapunanna.
5.3.1 Pangurdot Pangurdot ialah gerakan seluruh badan, dengan fokus geraknya berada pada telapak kaki, tumit dan badan. Ujung telapak kaki bergerak ke atas, lalu turun sesuai dengan irama gondang. Sedangkan bahu bergerak perlahan ke kiri dan ke kanan. Semua gerakan badan dan anggota tubuh merupakan perpaduan gerak dan irama gondang.
5.3.2 Pangeal Pangeal ialah gerakan tubuh pada pinggang dan daun bahu (sasap). Kedua anggota tubuh ini akan bergerak ke kiri dan ke kanan sesuai dengan irama gondang. Gerakan ini terkait dengan gerakan pangurdot.
Universitas Sumatera Utara
5.3.3 Pandenggal Pandenggal ialah gerakan gemulai anggota tubuh secara keseluruhan berfokus pada gerakan lengan, telapak tangan dan jari tangan. Kedua telapak tangan yang terbuka diangkat ke atas perlahan-lahan, lalu diturunkan ke bawah secara gemulai. Kemudian kedua tangan bergerak ke depan dengan gerakan setengah lingkaran, yang bertumpu di bawah dada. Bersamaan dengan gerakan itu semua jari-jari tangan bergerak-gerak terbuka dan tertutup sejajar dengan bidang telapak tangan.
5.3.4 Siangkup na (siakkup na) Siakkup na ialah gerakan leher. Gerakannya seirama dengan gondang dan urdot yang telah disebut di atas. Siakkup na, yang secara harfiah berarti “tambahan”, bukan merupakan sekadar gerak selingan. Gerakan siakkup na adalah wujud mengekspresikan jiwa tarian.
5.3.5 Hapunanna Yang dimaksud dengan Hapunanna ialah ekspresi yang tampak dari wajah panortor (penari). Dari wajah panortor dapat diketahui situasi kegembiraan atau situasi duka cita. Ekspresi wajah dan jiwa tortor haruslah seirama, sehingga tortor tersebut berkomunikasi kepada penonton yang hadir. Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak (1997:289-290) mengatakan, tortor terdiri dari: 1. Pangurdot. Yang termasuk pangurdot ialah bagian daun kaki, tumit sampai bahu. 2. Pangeal. Yang termasuk pangeal ialah pinggang,
Universitas Sumatera Utara
punggung sampai daun bahu (sasap). 3. Pandenggal. Yang termasuk pandenggal ialah tangan, daun tagan sampai jari tangan. 4. Siangkupna. Yang termasuk siangkupna ialah leher. 5. Hapunanna. Yang dimaksud hapunanna ialah ekspresi wajah saat manortor. Badan tegak dan lurus mangurdot tanpa goyangan ke samping, bagaikan alu menumbuk padi dalam lesung. Bila ada hentakan miring maka resiko padi akan terburai keluar. Tangan menyembah dan mengait ke arah tubuh. Menghormati semua pihak menghormati penciptanya dengan harapan mendapat berkah atau manfaat pada dirinya. Tangan dibuka datar ke atas pundak. Seandainya ada benda di atas tangan itu tidak akan jatuh. Dia memikul segala tugas dan perannya tanpa goyah/sepenuh hati. Tangan melayang dari samping menuju perut. Telapak tangan ditekuk, persis seperti mengumpulkan padi dalam jemuran atau mengais/mengumpul beras di atas tampi. Ini disebut mangahit. Segala kegiatan yang mendapatkan buah semuanya diarahkan kepada dirinya dan menjadi bekal dalam kehidupan yang disebut paiogon yang dikumpulkan dalam bakul-bakul bekal kehidupan sepanjang tahun. Gerakan pria lebih liar dan bebas sesuai dengan cara kehidupannya sehari-hari lebih agresif mencari uang atau nafkah. Dalam aktivitas manortor setiap orang harus berdiri dengan sikap sempurna (berdiri di atas kedua telapak kaki), pandangan rata ke depan, kemudian mulailah bergerak manortor setelah sarune berbunyi dalam 1 x 8 hitungan. Jadi ukuran waktu untuk mulai manortor bukan bunyi gondang/taganing atau ogung.
Universitas Sumatera Utara
Tortor memiliki pakem yang kuat dan menjadi pengamatan penting mengenali perempuan maupun laki-laki dengan segala sikap dasar yang diperlihatkan melalui tortor itu. Menurut hasil wawancara dari beberapa pengetua adat, gerakan Tortor pada laki-laki dan perempuan terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi seperti: − Simanjujung atau ulu, unang paundukhu, unang padirgakhu (artinya kepala jangan terlalu tunduk ke bawah dan jangan terlalu mendongak ke atas). Tetapi hal ini (tunduk kepala) diperlukan pada saat gerakan Tortor dalam posisi menyembah. − Simalolong (mata) panortor (penari) perempuan tidak boleh momar (liar dan membelalak) supaya kelihatan hohom atau donda artinya sopan. Yang diperbolehkan hanya melirik yang tujuannya adalah melihat supaya gerakan seragam/tidak saling mendahului. − Parnianggoan/igung (hidung) tidak boleh diangkat supaya tidak terkesan sombong. − Bohi (wajah) atau roman wajah harus minar marsaudara atau cerah dan enak dipandang. − Pamangan/baba (mulut) harus ditutup supaya sopan. − Simanjojak/pat (kaki), untuk panortor perempuan harus rapat sedangkan kaki panortor laki-laki agak renggang dan biasanya gerakannya seperti jalan di tempat. − Pamatang/badan harus tegak, tetapi pada saat melakukan gerakan, bergerak sesuai gerakan tortor yang diinginkan atau diminta.
Universitas Sumatera Utara
− Simangido/tangan (tangan), untuk panortor laki-laki gerakannya lebih bebas, sedangkan untuk panortor perempuan harus lebih sopan.
Universitas Sumatera Utara
5.4 Danskrip Tortor Dalam Pesta Horja
1
Uraian Gerak Pembukaan diawali Tortor Mula-mula
2
Tortor Somba
No
Foto
Gerak Laki-laki
Gerak Perempuan
Makna
Iringan
Tangan dibutuha (diperut) kemudian dilanjutkan dengan posisi telapak tangan dirapatkan di depan dada seperti menyembah
Tangan dibutuha (diperut) kemudian dilanjutkan dengan posisi telapak tangan dirapatkan di depan dada seperti menyembah
Segala awal mula di Gondang dunia ini dimulai Mula-mula dan diawali dengan segala kebaikan
Tangan diperut (dibutuha) kemudian dilanjutkan dengan menyatukan telapak tangan dengan posisi menyembah sampai dekat ke posisi dahi sambil berputar di tempat
Tangan diperut (dibutuha) kemudian dilanjutkan dengan menyatukan telapak tangan dengan posisi menyembah sampai dekat ke posisi dahi sambil berputar di tempat
Gerakan ini adalah bentuk penyembahan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta (Debata Mula Jadi Na Bolon), kepada seluruh hadirin (Situan natorop) juga kepada Hulahula
Gondang Somba
Universitas Sumatera Utara
3
Tortor Mangaliat/ Siuk-siuk
Hula-hula
Boru
Dimulai dengan posisi tangan dibutuha (diperut) kemudian mulai ‘manortor’ dilanjutkan dengan gerakan berjalan berkeliling dari hula-hula berjalan sambil menyentuh ulos ke pundak (boru) peserta yang dilaluinya Kemudian dibalas pihak boru berjalan berkeliling menyembah hulahulanya
Sama dengan gerakan laki-laki, apabila posisinya sebagai hula-hula berarti akan menyentuhkan ulos ke pundak setiap peserta yang dilaluinya
Kemudian dibalas pihak boru berjalan berkeliling menyembah hulahulanya
Hula-hula memberikan berkat kepada anggota keluarga yang dilaluinya sambil berjalan
Gondang Mangaliat
Dalam hal ini boru sangat menghormati hulahulanya yang diyakini mampu memasu-masu (memberikan berkat)
Universitas Sumatera Utara
4
Tortor Sibane-bane
Diawali tangan menutup di perut kemudian manortor di tempat
Diawali tangan menutup di perut kemudian manortor di tempat
Gerakan ini bermakna doa permohonan kedamaian dalam sesama keluarga, dan seluruh tamu undangan yang hadir
Gondang Sibane-bane
5
Tortor Saudara/ Parsaoran
Selalu dimulai menutup tangan di perut, kemudian dilanjutkan gerakan manortor. Gerakan ini lebih bebas, ada yang mengajak adik atau kakak (haha anggi) manortor, tetapi harus diperhatikan dengan siapa dia manortor
Selalu dimulai menutup tangan di perut, kemudian dilanjutkan gerakan manortor. Gerakan ini lebih bebas, ada yang mengajak adik atau kakak (haha anggi) manortor, tetapi harus diperhatikan dengan siapa dia manortor
Gerakan ini melambangkan semakin eratnya tali persaudaraan di antara keturunan yang melaksanakan upacara ini
Gondang Parsaoran/ Gondang Sondar
Universitas Sumatera Utara
6
Tortor Simonangmonang
Dimulai menutup tangan di perut dilanjutkan dengan gerakan manortor
Dimulai menutup tangan di perut dilanjutkan dengan gerakan manortor
Gerakan ini melambangkan permohonan kemenangan dengan gerakan lincah dan gembira
7
Tortor Hasahatan Sitio-tio
Diawali dengan tangan di perut mulai dengan manortor kemudian dalam hitungan 2 x 8 setelah sarune berbunyi kedua tangan memegangi ujung ulos (selendang) sambil menyerukan horas 3x
Diawali dengan tangan di perut mulai dengan manortor kemudian dalam hitungan 2 x 8 setelah sarune berbunyi kedua tangan memegangi ujung ulos (selendang) sambil menyerukan horas 3x
Gerakan ini melambangkan sampainya segala tujuan, harapan dan cita-cita dengan cerah, cemerlang tanpa kurang suatu apapun.
Gondang Simonangmonang
Universitas Sumatera Utara
5.5 Pola Lantai a. Pola lantai dalam tortor hasuhuton No Tortor 1 Mulamula
Gondang Mulamula
Pola Lantai c O O O O ++ ++x x x x x b
a
Makna Tortor ini dilakukan sebelum tamu datang. Tortor merupakan awal pelaksanaan Horja dan disebut Mangido tuani gondang. Selalu dimulai dengan Gondang Mula-mula oleh paminta gondang, artinya segala awal mulai dunia ini adalah baik Tortor ini masih hanya dilakukan oleh hasuhuton atau tuan rumah sebagai penyelenggara pesta. Menghadap ke rumah hasuhuton. Pemain musik ditempatkan di sebelah kanan rumah hasuhuton
Keterangan a = panggung tempat pargonsi b = rumah hasuhuton c = posisi panortor x = hasuhuton (tuan rumah lakilaki) + = anak dari hasuhuton = istri dari semua hasuhuton O = menantu (parumaen) dari hasuhuton = istri ‘ boru’ (perempuan) Seluruh peserta menghadap ke rumah hasuhuton
Universitas Sumatera Utara
No Tortor 2 Somba
Gondang Somba
Pola Lantai O O O O O
3
Mangaliat /Siuk-siuk
Mangaliat /Siuk-siuk
O O O O O
Makna Posisi ini tetap di tempat menyembah kepada Tuhan dan sesama manusia (Debata Mula Jadi Na Bolon, hula-hula dohot siloloan natorop) masih tetap menghadap
Posisi ini melambangkan hubungan hormat menghormati boru kepada hula-hula dan sayang menyayangi dari hulahula kepada boru. Dengan melihat posisi ini kita tahu bahwa semua peserta berada pada posisi mereka sesuai dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu. Berjalan melawan arah jarum jam, karena posisi hula-hula yang akan dihormati pada saat berkeliling di sebelah kiri lantai dan yang pertama harus dihormati itu adalah hula-hula
Keterangan Seluruh panortor (penari) menari di tempat dengan posisi tangan dan kepala menyembah dan berputar di tempat dalam posisi menyembah = Gerakan mangaliat (mengelilingi) dimulai dari anak hasuhuton berjalan menyembah orang tuanya selanjutnya diikuti para orang tua (bapak, ibu, dan menantu) berjalan terus berkeliling sampai kembali ke posisi semula
Universitas Sumatera Utara
(bapak dari pihak hasuhuton) kemudian sampai ke ibu, menantu, lalu boru)
4
Sibanebane
Sibanebane
O O O O O
Dan yang pertama sekali berjalan itu adalah anak laki-laki dari hasuhuton kemudian diikuti hasuhuton (bapak) lalu diikuti ibu dan menantu (ina-ina) kemudian ke boru dan boru kembali balik menghormati hula-hulanya setelah boru tadi di sayang (disiuk) Posisi ini menggambarkan permohonan kedamaian dan dilakukan penuh kegembiraan
Posisi manortor tetap di tempat tetapi gerakan yang dilakukan adalah marembas (mengayunayunkan tangan dan menghentakhentakkan kaki).
Universitas Sumatera Utara
5
Saudara/ Saudara/ Parsaoran Parsaoran
O
Posisi ini melambangkan persaudaraan yang erat di antara satu garis keturunan, yang satu sama lain saling bertegus sapa, memberi salam dan semakin mempererat hubungan kekerabatan
Tortor ini boleh dilakukan berpasangan, tetapi harus melihat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu, tanpa melanggar aturan adat
Universitas Sumatera Utara
No Tortor Gondang 6 Simonang- Simonangmonang monang
Pola Lantai
O
Makna Posisi ini menggambarkan kegembiraan karena prinsip menang lawan teman, kalah dalam melawan musuh artinya tetap rendah hati dan baik kepada siapapun, dan menang dalam segala perkara
Keterangan Tortor ini boleh dilakukan berpasangan juga dan boleh tetap di tempat manortor linear dan gembira
O O O O O
Universitas Sumatera Utara
No Tortor 7 Hasahata n/Sitio-tio
Gondang Hasahata n/Sitio-tio
Pola Lantai
O O O O ++ ++x x x x x
b
Makna Setelah posisi Tortor Simonangmonang, maka panortor kembali ke posisi semula. Dalam tortor terakhir yang dilakukan adalah Tortor Hasahatan Sitio-tio. Sesuai namanya yang berarti segala keinginan kita telah sampai pada yang kita inginkan dan cerah bening segala sesuatu yang kita lakukan
Keterangan Pada hitungan 2 atau 3 x 8 seluruh peserta memegangi ujung ulosnya dengan kedua tangan dan mengibaskannya seraya menyerukan horas… horas… horas…
Universitas Sumatera Utara
b. Pola lantai dalam Tortor menyambut Hula-hula (tamu undangan) No Tortor 1 Panomunomuan/ elek-elek
Gondang Panomunomuan/ elek-elek
Pola Lantai
x + O x x
d
x x x + O
Makna Posisi ini menggambarkan penyambutan hasuhuton tuan rumah kepada hula-hula atau tamu undangannya. Penyambutan ini menggambarkan penghormatan kepada para hula-hula dan tamu yang hadir. Masing-masing hasuhuton mempunyai hula-hula yang berbeda-beda. Jadi setiap hasuhuton menyambut hulahulanya masing-masing
Keterangan Hasuhuton (tuan rumah) mengambil posisi balik kanan/ membelakangi rumah hasuhuton. Rombongan hula-hula/tamu undangan yang datang tidak selamanya berpasangan d = posisi kelompok hasuhuton menyambut tamu/undangan dan menghadap ke arah tamu e = hula-hula/tamu undangan yang akan datang manortor menghadap hasuhuton yang menyambut = hula-hula/tamu undangan = istri hula-hula/tamu undangan
Universitas Sumatera Utara
No Tortor 2 Mulamula
Gondang Mulamula
Pola Lantai
++++++xxxxx d
Makna Posisi ini menggambarkan hasuhuton sangat menghormati hula-hulanya/tamu undangan datang membawa uang dan ulos yang ditempelkan pada sebatang bambu kecil. Ulos yang dibawa hula-hula diberikan kepada borunya masing-masing, uang itu disebut sebagai juhut nialap
Keterangan d = hula-hula atau tamu undangan
Posisi ini menggambarkan seluruh yang hadir menyembah kepada Debata Mula Jadi Na Bolon dan minta izin kepada seluruh yang hadir
Hasuhuton dan hula-hula/tamu undangan tetap berhadap-hadapan
Posisi ini setelah tamu/undangan datang manortor
3
Somba
Somba
Bentuk ini adalah sebuah penghormatan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta dan kepada semua yang hadir dalam pesta
++++++xxxxx
d
No
Tortor
Gondang
Pola Lantai
Makna
Keterangan
Universitas Sumatera Utara
4
Mangaliat / Siuk-siuk
Mangaliat / Siuk-siuk
++++++xxxxx
Posisi ini menggambarkan saling menyayangi dan mengasihi di antara yang berkeluarga. Juga menggambarkan sikap hormat menghormati satu dengan yang lainnya. Hula-hula mendatangi hasuhuton (sebagai borunya) dengan menyentuhkan ulos yang dipakai dipundaknya kepada hasuhuton (borunya)
= Pola gerak mengelilingi atau melewati hasuhuton oleh hula-hula/tamu undangan
Tortor ini lebih lincah, karena artinya adalah memohon kedamaian dan dilakukan dengan gembira
Posisi seperti semula
5
Sibanebane
Sibanebane
++++++xxxxx d
Universitas Sumatera Utara
No Tortor Gondang 6 Saudara/ Saudara/ Parsaoran Parsaoran
Pola Lantai
O O O O
Makna Posisi ini menggambarkan hubungan kekerabatan yang baik antara hula-hula dengan kelompok boru sebagai hasuhuton
Keterangan Posisi mengambil pasangan masingmasing sesuai sistem kekerabatan yang tidak melanggar norma
Universitas Sumatera Utara
No Tortor Gondang 7 Simonang- Simonangmonang monang
Pola Lantai
O O O O
Makna Menang melawan teman dan kalah melawan musuh, menanamkan prinsip rendah hati dan baik kepada setiap orang dan menang dalam segala hal. Ditarikan dengan gembira
Keterangan Boleh dilakukan berpasangan dan boleh tetap di posisi semula
d
Universitas Sumatera Utara
No Tortor 8 Hasahata n/ Sitio-tio
Gondang Hasahata n/ Sitio-tio
Pola Lantai
Makna Sampai kepada tujuan dan citacita kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran segala keinginan tercapai tanpa kurang satu apapun
Keterangan Kedua tangan memegangi ujung ulos dan menyerukan horas… horas… horas…
d
Universitas Sumatera Utara
5.6 Busana Tortor Dalam Pesta Horja a. Busana untuk perempuan N o 1
Foto
Pemakai -
Hasuhuton boru-boru (tuan rumah perempuan)
-
Boru ni hasuhuton boruboru (boru dari tuan rumah yang wanita)
Nama Busana
Makna
Ulos sadum (selendang yang disandangkan pada kedua bahu dan dipakai 2 buah) Ulos sadum yang dipakai hanya 1 (satu) di selendangkan di sebelah kanan
Ulos sadum dipakai untuk mengikuti segala aktivitas manortor bagi perempuan saat ini, dan ini melambangkan motif ulos dikhususkan dipakai perempuan
Universitas Sumatera Utara
-
2
3
Boru ni hasuhuton baoa (boru dari tuan rumah yang pria) Hasuhuton boru-boru (tuan rumah perempuan)
Hasuhuton boru-boru (tuan rumah perempuan)
Mandar (sarung)
Sarung ini boleh dari motif apa saja, bukan dari ulos. Kebanyakan sudah memakai sarung suji Palembang atau mandar tarutung
Kebaya (baju yang dipakai perempuan)
Kalau dulu perempuan hanya memakai ulos untuk menutupi tubuhnya, namun setelah mengalami perkembangan, pakaian kebaya sudah menjadi tradisi bagi perempuan Batak Toba
Universitas Sumatera Utara
b. Busana untuk laki-laki N o 1
2
Foto
Pemakai Hasuhuton baoa (tuan rumah pria)
Hasuhuton baoa (tuan rumah pria yang belum pernah menikahkan anak laki-lakinya)
Nama Busana
Makna
Detar (penutup kepala) dibuat dari/dibentuk dari ulos mangiring. Sekarang dimodifikasi mirip penutup kepala orang Melayu. Dulu dipergunakan untuk menghindari panas dan hujan. Disebut juga sebagai tali-tali, pada awalnya diberikan kepada anak yang baru lahir supaya si anak diiringi beberapa anak berikutnya, dan dipakai juga untuk gendongan. Ulos ragi hotang (selendang yang disandangkan di bahu pria)
Melambangkan seorang pria, tetapi sekarang sebagai simbol bahwasanya yang memakai itu adalah suhut (tuan rumah penyelenggara pesta) dan yang memakai adalah pria
Ulos ini dipakai pria yang sudah menikah karena ulos ini diterima dari mertua sebagai pertanda bahwa si pria sudah sah sebagai menantu
Universitas Sumatera Utara
3
Hasuhuton baoa (tuan rumah pria yang sudah pernah menikahkan anak laki-lakinya)
Ulos ragi idup (selendang yang disandingkan di bahu kanan pria)
Ulos ini dipakai pria yang sudah menikahkan anak laki-lakinya dan ulos ini diterima dari besan atau orang tua menantu perempuan
4
Hasuhuton baoa (tuan rumah pria)
Mandar (sarung yang biasa dipakai pria dalam pesta sebagai pelayan/parhobas, jika pada saat itu dia berkedudukan sebagai boru)
5
Hasuhuton baoa (tuan rumah pria)
Setelan jas
Mandar ini adalah pemberian orang tua perempuan kepada menantnya, supaya dalam marulaon atau pesta dapat dipakai/dililitkan di pinggangnya untuk melayani tamu/marhobas pada saat dia berkedudukan sebagai boru Kalau dulu orang Batak hanya memakai ulos dalam aktivitas manortor, tetapi sejak masuknya pengaruh kekristenan pakaian ditambahi celana panjang, jas kemeja dan dasi (tradisi barat)
Universitas Sumatera Utara
Motif dasar gerak tortor adalah sama dalam setiap pelaksanaan upacara maupun pesta. Secara keseluruhan motif dasar ini tidak selalu dilakukan secara teratur. Artinya pada setiap aktifitas manortor seluruh motif dasar gerak tortor ini tidak selalu ditarikan. Bisa saja ditarikan pada tortor mangaliat/siuk-siuk sambil berjalan berkeliling, pada tortor sibane-bane, tortor simonang-monang ataupun tortor saudara/parsaoran. Sedangkan untuk tortor mula-mula, tortor somba, tortor mangaliat dan tortor hasahatan/sitio-tio sudah ada gerakan yang pasti dilakukan seperti kita lihat dalam gambar. Bentuk penyajian tortor pada dasarnya mempunyai pola gerak yang sama dalam setiap bentuk upacara maupun pesta. Penyajian tortor sipitu gondang tidak sama pada setiap upacara maupun pesta. Dari tujuh gondang yang harus disajikan adalah tortor mula-mula, tortor somba, tortor mangaliat dan tortor hasahatan/sitio-tio. Yang bisa berubah adalah bagian tengah dari tujuh gondang yang dimainkan maupun yang ditarikan sesuai dengan konteks upacara atau pesta yang dilaksanakan. Misalnya setelah tortor mangaliat boleh diminta tortor hata sopisik, tortor marhusip, tortor debata sori, dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Penulis membuat kesimpulan untuk menjawab pokok-pokok permasalahan dalam penelitian ini dan berdasarkan seluruh uraian yang telah dijabarkan tentang Tortor dalam Pesta Horja pada kehidupan masyarakat Batak Toba: Suatu Kajian Struktur dan Makna. Tortor adalah bentuk tarian yang dilakukan secara seremonial yang secara nyata merupakan sebuah gerakan tarian dan secara totalitas mempunyai makna yang luas dalam setiap gerakan dan menunjukkan bahwa Tortor menjadi media komunikasi karena dalam melakukan aktivitas manortor dapat dilihat interaksi di antara sesama manusia dan Penciptanya atau setiap yang terlibat dalam kegiatan manortor dan juga interaksi di antara manusia dan Penciptanya. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, bahwa penulis menemukan Tortor dalam motif gerak dasarnya tidak berubah dari dahulu hingga sekarang. Gerakan Tortor terkesan kaku dan motifnya hanya sedikit, tetapi mengandung makna yang luas dan dalam bagi kehidupan masyarakat Batak Toba. Busana yang digunakan mengalami perekembangan yang dulunya tidak memakai baju (hanya ulos) tetapi saat ini sudah dimodifikasi dengan pakaian internasional (jas) dan nasional (kebaya). Gerakan dasar Tortor senantiasa ditarikan dalam setiap aktivitas kehidupan adat masyarakat Batak Toba, meskipun pada beberapa kegiatan bentuk
Universitas Sumatera Utara
tarian atau tortor ini sudah banyak mengalami modifikasi hasil kreasi senimanseniman tari yang mengalami perkembangan akibat pembauran kehidupan masyarakat Batak Tobadengan masyarakat lainnya, misalnya Jawa, Melayu, Karo, Simalungun, Mandailing. Gerak dasar Tortor tidak berubah sampai saat ini, meskipun penggunaan Tortor ini sudah lebih banyak untuk pertunjukan atau konsumsi wisata. Hal ini akibat pengaruh masuknya kekristenan ke tanah Batak yang telah membuat batasan-batasan terhadap pemakaian maupun penggunaan alat musik tradisional dan tari tradisional (Tortor dan Gondang Sabangunan) karena dianggap berhubungan dengan hasipelebeguon atau kepercayaan animisme. Penggunaan tortor dan Gondang Sabangunan masih utuh dilakukan aliran kepercayaan pada masyarakat Batak Toba yaitu Parmalin. Tortor dilakukan harus selalu sesuai dengan kedudukan dalam unsur Dalihan Na Tolu. Karena di dalam Dalihan Na Tolu itu terdapat norma-norma yang mengatur sistem kehidupan masyarakat Batak Toba. Tortor dan Gondang Sabangunan adalah tarian dan musik yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Pada saat gondang dimainkan, kemudian bunyi sarune mengiringi dimulainya gerakan tortor. Tortor akan mengikuti setiap kegiatan adat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba di manapun berada di seluruh belahan dunia ini.
Universitas Sumatera Utara
6.2 Saran Pada zaman dahulu tortor dilakukan hanya untuk upacara yang sakral, akan tetapi pada saat sekarang ini tortor sudah banyak dipergunakan dalam kegiatan pertunjukan maupun konsumsi wisata. Otomatis bentuk kemasannya sudah lebih diarahkan kepada nilai jual sampai tidak memperhitungkan nilai keaslian maupun kesakralannya. Penulis mengharapkan seluruh unsur yang terlibat dalam pengelolaan pelestarian budaya lebih dapat memperhatikan nilai keaslian dari Tortor dan Gondang Sabangunan tersebut. Jangan sampai unsur kesakralannya atau keasliannya hilang akibat pengaruh kreasi dan modifikasi yang tidak terarah. Kemudian gerakannya banyak yang terlalu dipaksanakan supaya kelihatan lebih indah tanpa menghiraukan unsur natural yang terdapat pada tortor yang sebenarnya. Juga kepada para seniman tari/tortor penulis berharap supaya gerak tortor tetap diarahkan kepada gerakan yang sebenarnya meskipun sudah dikreasikan. Pemakaian kostum atau busana yang benar juga menjadi perhatian bagi penulis, supaya seluruh anggota masyarakat Batak Toba tahu dengan benar pemakaian ulos sesuai fungsinya masing-masing dalam pemakaiannya. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumber informasi dan teknik bagaimana belajar Tortor yang sebenarnya menurut kaidah adat Batak Toba dan tulisan ini dapat sebagai acuan dalam mempelajari Tortor dan bagi yang memerlukannya.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2001. “Sumatera Utara dalam Angka.” Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Denzin, K. Norman dan Lincoln S. Yvona. 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London dan New Delhi: Sage Publications. Dibia, Wayan I Widaryanto, FX Suanda. 2006. Tari Komunal. Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN). Jakarta. DJ. Gultom Raja Marpodang. 1987. Dalihan Na Tolu. Medan. Djelantik, A. A. M. 1990. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid I Estetika Instrumental. Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Greetz, Hildred. 1986. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Terjemahan Zainuddin A. Rahman. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS-UI. Gultom, H. 1991. Penggalian Tulang Belulang Leluhur (Mangongkal holi). Tinjauan Dari Segi Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hardjana, Suka. 2002. Corat-coret Musik Kontemporer Dulu dan Kini. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hood, Mantle. 1982. The Ethnomusicologist. Ohio: The Kent State University Press. Hutajulu, Ritha Ony. 1991. “Turisme Etnik: Dampak Turisme Terhadap Upacara Tradisional Pada Masyarakat Batak Toba.” Jurnal Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Hutasoit, M. 1976. “Buku Ende Dohot Uning-uningan Batak.” Unpublished Article, Tarutung. Irwansyah, Harahap. 1990. “Analisis Komparatif Bentuk (Penggarapan) dan Teknik Permainan dari sebuah Gondang yang disajikan oleh Tujuh Partaganing.” Skripsi S-1. Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Jong, De S. 1970. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Keunang, J. 1990. Batak Toba dan Batak Mandailing Dalam Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Koentjaraningrat. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Lumbantobing, M. Andar. 1996. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Manalu, I. 1983. Mengenal Batak. Medan: Kiara. Manik, Liberty. 1977. “Suku Batak dengan Gondang Bataknya.” Jurnal Peninjauan. Lembaga Penelitian dan Studi D.G.I. 4.1. Jakarta. Marriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago. Evaston III: Northwestern University Press. (Edisi terjemahan Drs. Muhammad Takari). Nasution, S. 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars. Nelson, P.A, Treichler dan Grossberg L. 1992. Cultural Studies. New York: Routledge. Pasaribu, Ben. 1986. “Taganing Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan.” Skripsi S1, Universitas Sumatera Utara. Medan. Pederson, Paul. 1970. Batak Blood and Protestan Soul. Grand Rapids, Mich: William B. Eerdmans. Purba, Mauly. 1989. “Mangido Gondang di Dalam Penyajian Musik Gondang Sabangunan Pada Masyarakat Batak Toba.” Unpublished Paper, Presented at The Conference of The Society for Indonesia Musicologist. Jakarta. ----------------. 1989. “Musical and Function Change in The Gondang Sabangunan Tradition of The Protestant Toba Batak 1860s-1990s With Special Reference To The 1980s-1990s.” Unpublished Ph.D Thesis, Monash University. Melbourne.
Universitas Sumatera Utara
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Putro, Brahma. 1978. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber. Sach, Curt. 1962. The Wellsprings of Music’s. Netherlands: Da Capo Press. Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar. Schreiner, Lothar. 2002. Adat dan Injil. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Sedyawati, Edy. 1984. Tari Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya. Siahaan, Mangaraja Asal. t.t. Gondang Dohot Tortor Batak. Pematang Siantar: Sjarif Saama. Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: CV. Napitupulu and Sons. --------------. 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Penerbit Grafindo. Siahaan, Nalom and Pardede. H. 1975. Sejarah Perkembangan Marga-marga Batak. Balige: Indra. Sihombing, T.M. 1997. Jambar Hata. Medan: Tulus Jaya. Simangunsong, Emmi. 2001. “Ensembel Gondang Sabangunan Batak Toba: Perhubungan di Antara Muzik, Tortor dan Adat Dalihan Natolu.” Tesis Program Pasca Sarjana, Sastera Universiti Sains Malaysia, Pulau Pinang. Sinaga, A. B. 1977. “Martutu Aek Sebagai Permandian Orang Batak: Penghampiran Theologis.” Kertas Kerja dalam Lokakarya IRAPAS di Universitas HKBP Nomensen Pematang Siantar. Sinaga, Anicetus B. 1981. “The Toba Batak High God.” Germany: St. Augustin. Sinaga, Richard. 1997. Leluhur Marga Batak, Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda. Jakarta: Dian Utama.
Universitas Sumatera Utara
Sinaga, Sannur. 1997. “Mangalahat Horbo Sebagai Seni Pertunjukan untuk Konsumsi Wisata di Huta Bolon Desa Simanindo Kecamatan Simanindo.” Skripsi Sarjana (S-1), Universitas Sumatera Utara. Situmorang, Billy H. Ruhut-ruhut Ni Adat Batak. Medan: Jl. Perjuangan No. 2. Suanda, Endo Sumaryono. 2005. Tari Tontonan. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN). Sutrisno, Mudji Verhaak, Christ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius. Webster’s, Merriam. 1994. “Collegiate Dictionary”.
Universitas Sumatera Utara