HOHO FALUAYA TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA: ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
TESIS
Oleh
Hubari Gulo NIM. 097037004
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011
HOHO FALUAYA TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA: ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh
Hubari Gulo NIM. 097037004
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011
ii
Judul Tesis
: HOHO FALUAYA TRADISI LISAN MASYARAKAT NIAS DI DESA BAWÖMATALUO, KECAMATAN FANAYAMA, KABUPATEN NIAS SELATAN, SUMATERA UTARA: ANALISIS TEKS DAN STRUKTUR MUSIK Nama : Hubari Gulo Nomor Pokok : 097037004 Program Studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. NIP. 196402121987031004
Drs. Irwansyah, M.A. NIP. 19621221199970311001
Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua,
Fakultas Ilmu Budaya Dekan,
Drs. Irwansyah Harahap, M.A. NIP. 196212211997031001
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 195110131976031001
iii
Tanggal lulus: 16 Agustus 2011 Telah diuji pada Tanggal 16 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua
: Drs. Irwansyah Harahap, M.A.
( _________________ )
Sekretaris
: Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.
( _________________ )
Anggota I
: Drs. Kumalo Tarigan, M.A.
( _________________ )
Anggota II
: Drs. Irwansyah Harahap, M.A.
( _________________ )
Anggota III : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.
( _________________ )
iv
ABSTRACT This research learns Hoho Faluaya in the context ritual of title nobility ceremonies at Bawömataluo village, District Fanayama, South Nias regency, North Sumatra Province. The study was conducted to provide a understanding of the Hoho Faluaya as an inherited form of oral tradition’s society in Nias that very exotic where Hoho Faluaya used as a media to convey ideas, thoughts or feelings in an effort for understanding the values that give culture insight. The existence of language elements (text), musical elements (vocal music), as well as the elements of movement (dance), a major review of this research in looking at the function, the meaning of texts, and musical structure of the Hoho Faluaya consist of Fanguhugö (Hugö), Hivfagö, Hoho Fualö, Hoho Fadölihia, and Hoho Siöligö. There is some approaching that has be done is an approach with qualitatively methods of inquiry, which is investigations. Some of the theories are used in support of this Functional Theory, Semiotic Theory, Transcription Theory, Theory.
interdisciplinary based on field research include Weighted Scale
The results of this research indicate that the Hoho Faluaya is an important role because inherent functions in Hoho Faluaya. Those functions are implementation function of the traditional feast, the function as a symbol of strength, reinforcing the function of social status, the adhesive function of social life, the function as communication and telling message, the function of aesthetic values, the function of entertainment and thanksgiving, the function of dance accompaniment, and the function as a cultural defense. The result of text analysis indicate the presence of connotative intention of the text Hoho Faluaya consist of Fohuhugö (Hugö) text which is a calling of approve, Hivfagö is an calling for confirmation of the Hugö and there are 3 (three) types of hoho structures in it, that is: (1) Hoho Fu ' alö is a hymn that be inciter preparation and burning the zeal of the soldiers war or war dancers, (2) Hoho Fadölihia is the as a way of hoho group for extolling the greatness of their village, and (3) Hoho Siöligö have the meaning for unity and integrity for the sake of prosperity of the village. The results of musical analysis, Hoho Faluaya has a pentatonic characteristic in using the scale, the musical structures have styles as call response, counters motifs and counter phrases and using the typical of vocal techniques in their presentation calls "gözö" or vibrate the base of the tongue in the throat area. This is a local wisdom that is only had by the people of Nias, especially in South Nias. Keyword: Hoho, Faluaya, function, text, music structure.
v
INTISARI
Penelitian ini mengkaji Hoho Faluaya dalam konteks upacara adat pengukuhan gelar bangsawan di Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. Kajian ini dilakukan untuk memberikan pemahaman secara menyeluruh tentang Hoho Faluaya sebagai bentuk warisan tradisi lisan masyarakat Nias yang sangat eksotik dimana Hoho Faluaya digunakan sebagai media menyampaikan ide, pikiran atau perasaan dalam upaya pemahaman nilai-nilai yang memberikan wawasan budaya. Adanya unsur bahasa (teks), unsur musikal (musik vokal), serta unsur gerak (tarian), menjadi kajian utama penelitian ini dalam melihat fungsi, makna teks, dan struktur musikal dari Hoho Faluaya yang terdiri dari Fanguhugö (Hugö), Hivfagö, Hoho Fualö, Hoho Fadölihia dan Hoho Siöligö. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan interdisiplin dengan metode penyelidikan kualitatif yang bertumpu pada penyelidikan lapangan. Beberapa teori yang digunakan dalam mendukung penelitian ini diantaranya teori fungsional, teori semiotik, teori transkripsi, dan teori weighted scale. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Hoho Faluaya berperan penting karena fungsi-fungsi yang melekat pada Hoho Faluaya. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pelaksanaan pesta adat, fungsi sebagai simbol keperkasaan, fungsi penguat status sosial, fungsi perekat kehidupan masyarakat, fungsi komunikasi dan penyampaian pesan, fungsi nilai-nilai estetis, fungsi hiburan dan ucapan syukur, fungsi pengiring gerakan tarian, dan berfungsi sebagai pertahanan budaya. Hasil analisis teks menunjukkan adanya makna konotatif dari teks Hoho Faluaya yang terdiri dari teks Fohuhugö (Hugö) yang merupakan seruan persetujuan, Hivfagö seruan penegasan terhadap Hugö dan 3 (tiga) jenis struktur hoho yang ada di dalamnya, yakni: (1) Hoho Fu’alö yang menjadi nyanyian persiapan pembangkit dan pembakar semangat para prajurit perang atau penari perang, (2) Hoho Fadölihia sebagai cara para kelompok hoho mengagungagungkan kebesaran desa mereka, dan (3) Hoho Siöligö bermakna menjalin persatuan dan kesatuan demi kemakmuran desa. Hasil analisis musikal Hoho Faluaya memiliki ciri pentatonik dalam penggunaan tangganadanya, struktur musikal bergaya call respons, counter frase dan counter motif serta menggunakan tehnik vokal yang khas dalam penyajiannya yakni “gözö” atau menggetarkan pangkal lidah di daerah tenggorokan. Hal ini merupakan sebuah kearifan lokal yang hanya dimiliki oleh masyarakat Nias, khususnya Nias Selatan. Keyword: Hoho, Faluaya, fungsi, teks, struktur musik.
vi
PRAKATA Segala puji dan syukur bagi Allah Bapa di Surga atas kasih dan pertolongan-Nya, akhirnya penelitian ini dapat selesai hingga dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah mengizinkan dan memberi fasilitas serta sarana pembelajaran sehingga penulis dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman. 2. Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A, selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Pembimbing Ketua yang telah memberikan bimbingan, arahan dan pertolongan, serta selaku Penguji yang telah memberi masukan dari materi yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis. 3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, selaku Sekretaris Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, dan selaku Penguji yang telah memberi masukan dari materi serta tehnik penulisan yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis.
vii
4. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S, selaku Pembimbing Anggota yang telah memberi masukan, arahan dan menolong dalam memperbaiki penulisan yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis. 5. Bapak
Drs. Kumalo Tarigan, M.A, selaku Penguji
yang telah memberi
masukan dan pandangan-pandangan dari materi yang belum sempurna hingga akhir penyelesaian tesis. 6. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, selaku Dosen dan mantan Ketua Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, telah memberikan perhatian dan semangat dari awal hingga akhir penyelesaian tesis. 7. Bapak Drs. Ponisan, selaku pegawai administrasi Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak mendukung kelancaran proses administrasi penulis. 8. Seluruh dosen yang telah membuka mata penulis akan kekayaan khazanah budaya bangsa dan menambah wawasan cakrawala ilmu pengetahuan. 9. Teman-teman seangkatan, sebagai teman senasib-sepenanggungan ikut memberi sumbangan pemikiran. 10. Pimpinan dan staff perpustakaan dan museum Yayasan Pusaka Nias yang penulis kunjungi telah memberikan sambutan yang hangat. 11. Bapak Hikayat Manaö, selaku informan utama penulis dan pemimpin sanggar Baluseda di desa Bawömataluo Nias Selatan, telah memberikan informasi dalam penelusuran penyelesaian permasalahan penelitian ini.
viii
12. Bapak Dasa Manaö, S.Sn dan keluarga di Teluk Dalam Nias Selatan, yang telah bermurah hari mengizinkan penulis untuk menginap dirumahnya selama proses penelitian dan berkenan mengantarkan penulis dengan sepeda motornya menuju lokasi penelitian. 13. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung ataupun tidak langsung, yang telah memberikan bantuan serta pertolongan yang terlihat ataupun tidak terlihat, yang namanya tidak dapat disebutkan dalam halaman yang terbatas ini, penulis ucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas semua kasihnya. 14. Ayahanda F. Gulö, BA dan ibunda Missiani, ibu mertua Ny. H.L.Ginting br. Sembiring, abangda Simon Ginting, adinda Ida Sudarti Gulö, Handoko Gulö dan Andreas Ginting, serta istri tercinta Susi Berlianna br. Ginting, terlebih kepada anak-anakku Cakra Pratama Gulö dan Deron Eiffel Zhou Gulö, atas dukungan doa selama penulisan tesis ini. Akhirnya, kiranya Damai Sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan dilimpahkan kepada kita semua. Allah yang sumber kasih, Dialah kiranya yang akan membalaskan dengan berkat-berkat melimpah. Amin! Medan,
16 Agustus 2011
Penulis
Hubari Gulo
ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Hubari Gulo
Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 21 Juni 1972 Alamat
: Jl. HOS. Cokroaminoto No. 66 Medan
Agama
: Kristen Protestan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: - Dosen, Departemen Etnomusikologi FIB USU Medan - Dosen, Fak. Sastra Universitas Darma Agung Medan - Guru Seni Budaya, SMK Telkom S. Putra Medan - Guru Seni Musik, Methodist 5 Medan
Pendidikan
: 1. Sarjana Seni (S.Sn) dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Jurusan Etnomusikologi, lulus tahun 1997 2. Akta Mengajar IV dari IKIP UDA Medan, lulus tahun 2009
Pada tahun akademi 2009/2010 diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, dan menyelesaikannya pada 16 Agustus 2011.
x
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 16 Agustus 2011
Hubari Gulo e NIM: 097037004
xi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN................................................................................... ii ABSTRACT ............................................................................................................. iv INTISARI v PRAKATA .............................................................................................................. vi HALAMAN PERNYATAAN .................................................................................. x DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi DAFTAR TABEL .................................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xviii BAB I. PENGANTAR ............................................................................................... 1 1.1. Latar belakang ............................................................................. ......... 1 1.2. Fokus Masalah ............................................................................ ......... 16 1.3. Tujuan & Manfaat Penelitian ....................................................... ......... 17 1.4. Tinjauan Pustaka ......................................................................... ......... 17 1.5. Konsep dan Teori ........................................................................ ......... 19 1.5.1 Konsep ............................................................................. ......... 19 1.5.2 Landasan Teori ................................................................. ......... 23 1.5.2.1 Teori Fungsionalime ............................................. ......... 24 1.5.2.2 Teori Semiotik ...................................................... ......... 29 1.5.2.3 Teori Transkripsi .................................................. ......... 33 1.5.2.4 Teori Weighted Scale ............................................ ......... 33 1.6. Metode penelitian ........................................................................ ......... 34 1.6.1 Rancangan Penelitian ....................................................... ......... 34 1.6.2 Lokasi dan Perjalanan Penelitian ...................................... ......... 35 1.6.3 Informan Kunci ................................................................ ......... 40 1.6.4 Jenis dan Sumber Data ..................................................... ......... 43 1.6.5 Instrumen Penelitian ......................................................... ......... 44 1.6.6 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ............................... ......... 44 1.6.6.1 Observasi .............................................................. ......... 45 1.6.6.2 Wawancara ........................................................... ......... 46 1.6.6.2 Dokumen dan Studi Pustaka.................................. ......... 47 1.6.7 Analisis Data .................................................................... ......... 48 1.6.8 Penyajian Analisis Data .................................................... ......... 49 1.7. Kerangka Penyajian ..................................................................... ......... 50 BAB II. GAMBARAN UMUM BUDAYA MASYARAKAT NIAS ............... ......... 2.1. Identifikasi Penduduk ................................................................ ......... 2.2. Mitologi .................................................................................... ......... 2.3. Penelitian Arkeologi.................................................................. ......... 2.4. Pola Menetap ............................................................................ ......... 2.5. Sistem Mata Pencaharian Hidup ................................................ ......... 2.6. Sistem Kekerabatan................................................................... ......... 2.7. Sistem Kemasyarakatan............................................................. ......... 2.8. Agama dan Religi...................................................................... ......... 2.8.1 Lani dan Langi ................................................................. ......... 2.8.1 Agama Asli Orang Nias.................................................... ......... 2.9. Bahasa dan Kesenian ................................................................. .........
52 52 58 60 60 63 65 67 69 69 70 72
xii
2.9.1 Seruan Ya’ahowu ............................................................. ......... 2.9.2 Bahasa ............................................................................. ......... 2.9.3 Kesenian .......................................................................... ......... 2.9.3.1 Sekilas Tarian Faluaya .......................................... ......... 2.9.3.2 Atraksi Lompat Batu ............................................. ......... 2.9.3.3 Alat-alat Musik ..................................................... ......... 2.10. Dokumentasi Sejarah Dalam Gambar ...................................... .........
72 73 75 75 79 82 84
BAB III. TRADISI LISAN HOHO DALAM MASYARAKAT NIAS ............. ......... 3.1. Pengertian Hoho........................................................................ ......... 3.2. Bentuk Hoho ............................................................................. ......... 3.3. Jenis-Jenis Hoho ....................................................................... ......... 3.3.1 Hoho Dalam Pesta Adat ................................................... ......... 3.3.2 Hoho Penyembahan Ritual ............................................... ......... 3.3.3 Hoho Di Bidang Pertanian dan Peternakan ....................... ......... 3.3.4 Hoho Asal Usul Kejadian ................................................. ......... 3.3.5 Hoho Faluaya ................................................................... ......... 3.4. Sikap Masyarakat Nias Terhadap Hoho ..................................... ......... 3.4.1 Perilaku Religius .............................................................. ......... 3.4.2 Perilaku Sosial Budaya ..................................................... .........
90 90 92 95 97 98 100 101 104 107 108 110
BAB IV. FUNGSI HOHO FALUAYA SEBAGAI TRADISI MUSIK LISAN ....115 4.1. Deskripsi Penyajian Pertunjukan Hoho Faluaya ........................ ......... 4.2. Fungsi Hoho Faluaya Pada Masyarakat Nias Selatan................. ......... 4.2.1 Fungsi Pelaksanaan Pesta Adat ......................................... ......... 4.2.2 Fungsi Simbol Keperkasaan ............................................. ......... 4.2.3 Fungsi Penguat Status Sosial ............................................ ......... 4.2.4 Fungsi Perekat Kehidupan Masyarakat ............................. ......... 4.2.5 Fungsi Komunikasi dan Penyampaian Pesan..................... ......... 4.2.6 Fungsi Nilai-Nilai Estetis ................................................. ......... 4.2.7 Fungsi Hiburan dan Ucapan Syukur.................................. ......... 4.2.8 Fungsi Pengiring Gerakan Tarian Faluaya ........................ ......... 4.2.9 Fungsi Pertahanan Budaya................................................ .........
115 125 126 128 130 133 133 135 138 139 140
BAB V. ANALISIS TEKS HOHO FALUAYA ............................................... ......... 5.1. Analisis Semiotik Penyajian Teks Hoho Faluaya....................... ......... 5.2. Analisis Teks Hoho Faluaya ..................................................... ......... 5.2.1 Analisis Teks Fohuhugö (Hugö) ....................................... ......... 5.2.2 Analisis Teks Hivfagö ...................................................... ......... 5.2.3 Hoho Fu’alö..................................................................... ......... 5.2.4 Hoho Fadölihia ................................................................ ......... 5.2.4 Hoho Siöligö .................................................................... .........
142 142 146 148 150 151 163 169
BAB VI. ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO FALUAYA...................... ......... 6.1. Transkripsi dan Notasi............................................................... ......... 6.1.1 Proses Transkripsi ............................................................ ......... 6.1.2 Notasi .............................................................................. ......... 6.1.2.1 Pemakaian Durasi Ritmis ....................................... .........
178 179 179 180 181
xiii
6.1.2.1 Garis Paranada ....................................................... ......... Tangga Nada ............................................................................. ......... Nada Pusat atau Nada Dasar ...................................................... ......... Birama ...................................................................................... ......... Analisis Struktur Musik Hoho Faluaya ..................................... ......... 6.5.1 Analisis Fohuhugö (Hugö) dan Hivfagö............................ ......... 6.5.1.1 Wilayah Nada Hugö dan Hivfagö ........................... ......... 6.5.1.1.1 Wilayah Nada Hugö ................................ ......... 6.5.1.1.2 Wilayah Nada Hivfagö ............................ ......... 6.5.1.2 Jumlah Nada-Nada Hugö dan Hivfagö ................... ......... 6.5.1.2.1 Jumlah Nada Hugö .................................. ......... 6.5.1.2.2 Jumlah Nada Hivfagö .............................. ......... 6.5.1.3 Interval Hugö dan Hivfagö ..................................... ......... 6.5.1.4 Pola Kadensa Hugö dan Hivfagö ............................ ......... 6.5.1.5 Formula Melodi Hugö dan Hivfagö ........................ ......... 6.5.1.6 Kontur ................................................................... ......... 6.5.2 Analisis Hoho Fu’alö ....................................................... ......... 6.5.2.1 Wilayah Nada Hoho Fu’alö ................................... ......... 6.5.2.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fu’alö ............................ ......... 6.5.2.3 Interval Hoho Fu’alö ............................................. ......... 6.5.2.4 Pola Kadensa Hoho Fu’alö .................................... ......... 6.5.2.5 Formula Melodi Hoho Fu’alö ................................ ......... 6.5.2.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Fu’alö . ....209 6.5.2.6 Kontur ................................................................... ......... 6.5.3 Analisis Hoho Fadölihia .................................................. ......... 6.5.3.1 Wilayah Nada Hoho Fadölihia............................... ......... 6.5.3.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fadölihia ....................... ......... 6.5.3.3 Interval Hoho Fadölihia......................................... ......... 6.5.3.4 Pola Kadensa Hoho Fadölihia................................ ......... 6.5.3.5 Formula Melodi Hoho Fadölihia............................ ......... 6.5.3.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Fadölihia .219 6.5.3.6 Kontur ................................................................... ......... 6.5.4 Analisis Melodi Hoho Siöligö........................................... ......... 6.5.4.1 Wilayah Nada Hoho Siöligö ................................... ......... 6.5.4.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Siöligö ........................... ......... 6.5.4.3 Interval Hoho Siöligö ............................................. ......... 6.5.4.4 Pola Kadensa Hoho Siöligö .................................... ......... 6.5.4.5 Formula Melodi Hoho Siöligö ................................ ......... 6.5.4.5.1 Kajian Bentuk, Frase Motif Hoho Siöligö ....238 6.5.4.6 Kontur ................................................................... .........
182 182 184 186 187 188 192 192 193 194 194 195 195 196 197 199 201 203 204 205 205 207
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. ......... 7.1. Kesimpulan ............................................................................... ......... 7.2. Saran......................................................................................... .........
244 244 246
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... ......... DAFTAR INFORMAN ................................................................................. ......... GLOSARIUM ............................................................................................... ......... LAMPIRAN GAMBAR ................................................................................ .........
247 252 253 259
6.2. 6.3. 6.4. 6.5.
210 212 214 214 215 216 217 220 222 227 228 229 230 233 241
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Analisis Teks Hugö ............................................................. ......... ................... 149 Tabel 5.2 Analisis Teks Hivfagö .......................................................... ......... ................... 150 Tabel 5.3 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 1...................................... ......... ................... 151 Tabel 5.4 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 2...................................... ......... ................... 152 Tabel 5.5 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 3...................................... ......... ................... 154 Tabel 5.6 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 4...................................... ......... ................... 155 Tabel 5.7 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 5...................................... ......... ................... 156 Tabel 5.8 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 6...................................... ......... ................... 157 Tabel 5.9 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 7...................................... ......... ................... 158 Tabel 5.10 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 8 .................................... ......... ................... 159 Tabel 5.11 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 9 .................................... ......... ................... 160 Tabel 5.12 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 10 .................................. ......... ................... 161 Tabel 5.13 Analisis Teks Hoho Fadölihia - Bait 1-10 .......................... ......... ................... 165 Tabel 5.14 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 1) ............. ......... ................... 170 Tabel 5.15 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 2) ............. ......... ................... 171 Tabel 5.16 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi – 1 .......................... ......... ................... 173 Tabel 5.17 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 2 ........................... ......... ................... 174 Tabel 5.18 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 3 ........................... ......... ................... 176 Tabel 6.1 Daftar Penyajian Hoho yang Digunakan pada Hoho Faluaya ... 179 Tabel 6.2 Pemakaian Metronome Malzel (MM) Dalam Penyajian Hoho Faluaya .............. 180 Tabel 6.3 Pemakaian Durasi Ritmis Dalam Penyajian Hoho Faluaya... ... 182 Tabel 6.4 Tanda Birama yang Digunakan Dalam Penyajian Hoho Faluaya186 Tabel 6.5 Distribusi Interval melodi Hugö dan Hivfagö ....................... ......... ................... 195 Tabel 6.6 Distribusi Interval melodi Hoho Fu’alö................................ ......... ................... 205 Tabel 6.7 Formula Melodi Hoho Fu’alö .............................................. ......... ................... 209 Tabel 6.8 Distribusi Interval melodi Hoho Fadölihia ........................... ......... ................... 215
Tabel 6.9 Formula Melodi Hoho Fadölihia ......................................... ......... ................... 219 Tabel 6.10 Distribusi Interval melodi Hoho Siöligö ............................. ......... ................... 229 Tabel 6.11 Formula Melodi Hoho Siöligö ............................................ ......... ................... 238
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.10.1 : Keluarga di desa Bawömataluo, Nias Selatan ............ ......... ................... 84 Gambar 2.10.2 : Jalan sepanjang pantai, Nias, 1930............................. ......... ................... 84 Gambar 2.10.3 : Prajurit Perang dengan Belanda, Nias Sumatera Utara, 1920........ ............ 85 Gambar 2.10.4 : Tari Faluaya di Bawömataluo Nias Selatan, 1954............. 85 Gambar 2.10.5 : Penarikan batu “Daro-daro” untuk almarhum Saoenigeho dari Bawömataluo Nias Selatan ............................................................. . ........ ................... 86 Gambar 2.10.6 : Patung leluhur batu Pria ............................................ ......... ................... 86 Gambar 2.10.7 : Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetanö ..... 87 Gambar 2.10.8 : Sekelompok Laki-laki Nias ....................................... ......... ................... 87 Gambar 2.10.9 : Studio potret dari kelompok perempuan menari dari Nias Selatan ............ 88 Gambar 2.10.10 : Pria Nias pada kostum militer .................................. ......... ................... 88 Gambar 2.10.11 : Pertempuran palsu ................................................... ......... ................... 89 Gambar 8.1 : Peta Sumatera Utara ............................................... ......... ................... 259 Gambar 8.2 : Peta Kepulauan Nias .............................................. ......... ................... 259 Gambar 8.3 : Peta Desa Bawömataluo ......................................... ......... ................... 260 Gambar 8.4 : Peta Desa Bawömataluo ......................................... ......... ................... 260 Gambar 8.5 : Bawömataluo – 87Anak Tangga memasuki Desa Adat261 Gambar 8.6 : Bawömataluo – Desa Orahili Fau dari Puncak Tangga 261 Gambar 8.7 : Bawömataluo - di teras rumah Hikayat Manaö ....... ......... ................... 262 Gambar 8.8 : Bawömataluo – di rumah Sanoyohi ........................ ......... ................... 262 Gambar 8.9 : Bawömataluo – Plank Merk Sanggar Baluseda ....... ......... ................... 263 Gambar 8.10 : Bawömataluo – Ndrölö Halamba’a dari Omo Sebua ......... ................... 263 Gambar 8.11 : Bawömataluo – Ndrölö Raya, kiri rumah Hikayat Manaö264 Gambar 8.12 : Bawömataluo – Pulang dari Gereja melalui Ndrölö Ana’a/Löu ............. 264 Gambar 8.13 : Bawömataluo – Ndrölö Bagoa di kanan rumah Hikayat Manaö ............ 265 Gambar 8.14 : Bawömataluo – Bale tempat musyawarah (orahu) adat265 Gambar 8.15 : Bawömataluo – H.M. memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö............. 266 Gambar 8.16 : Bawömataluo – H.M. memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö............. 266 Gambar 8.17 : Bawömataluo –Bohalima melakukan Gerakan Faluaya Zanökhö .......... 267 Gambar 8.18 : Bawömataluo – Pertunjukan Hombo Batu .............. ......... ................... 267 Gambar 8.19 : Bawömataluo – Kostum Para Bohalima dan Fanari Mogaele ................ 268 Gambar 8.20 : Bawömataluo – Hikayat Manaö sebagai Kafalo Zaluaya ö268 Gambar 8.21 : Gunung Sitoli – Yayasan Pusaka Nias .................... ......... ................... 269
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keindahan dalam penyampaian ide, pikiran atau perasaan kepada orang lain yang diungkapkan secara simbolik dan puitis merupakan kekayaan budaya yang menggambarkan cita rasa dan kehalusan budi warga masyarakat pendukungnya.
Apalagi ungkapan tersebut diekspresikan dengan penuh
ketelitian, keahlian, dan kecerdasan melalui bahasa yang dilantunkan sehingga terjalin hubungan (relasi) tekstual, sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian, terlebih dapat menimbulkan keterpengaruhan (reaksi) terhadap jasmani pelakunya. Keberlangsungan aktivitas seperti ini selalu dilakukan dengan cara mendengar, melihat dan menghafalkan, demikianlah proses pewarisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini merupakan salah satu bentuk aktivitas tradisi lisan atau sastra lisan yang hingga kini ‘syukur’ masih dapat kita temui di beberapa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, walaupun keadaannya sekarang terus tergerus arus globalisasi. Tradisi lisan atau sastra lisan merupakan unsur dan ekspresi kebudayaan manusia. Perubahan dan perkembangnya sejalan dengan proses sosial dan budaya, dan didukung oleh suatu kelompok masyarakat tertentu, baik yang homogen ataupun heterogen. Sejarah budaya suatu masyarakat memiliki struktur tertentu
2
yang berfungsi dalam aktivitasnya. Sehingga tak dapat dipungkiri suatu masyarakat tertentu, biasanya mempunyai wilayah/daerah budaya sendiri. Secara kuantitatif kajian terhadap tradisi lisan atau sastra lisan di Indonesia cukup menggembirakan. Hampir semua sastra daerah (lisan) di Nusantara ini telah diteliti. Pada umumnya, penelitian itu dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Bahasa, dan Perguruan Tinggi. Usaha penelitian ini telah membuahkan hasil berupa dokumen sastra lisan yang dapat dibaca pada berbagai perpustakaan nasional/ daerah dan perguruan tinggi. Banyak pula yang telah dicetak menjadi buku dan disebarluaskan kepada masyarakat. Upaya penyebarluasan ini ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat memahami keragaman nilai-nilai budaya bangsa. Pemahaman nilai-nilai yang terdapat pada tradisi lisan dari setiap daerah secara tidak langsung membantu masyarakat Indonesia di berbagai tempat mengenal dan memahami kebudayaan pemilik tradisi lisan tersebut. Pemahaman ini memberi wawasan budaya yang semakin variatif bagi masyarakat di seluruh Nusantara ini. Pengetahuan nilai budaya sesama suku bangsa, secara tidak langsung pula akan menumbuhkan sikap saling memahami dan menerima di antara sesama bangsa. Demikian halnya dengan masyarakat yang mendiami Pulau Nias1, dimana masih dapat kita temui beberapa peninggalan warisan tradisi lisan.
1
Pulau Nias adalah sebuah pulau terbesar di deretan pulau-pulau yang ada di sebelah barat Pulau Sumatera. Nias merupakan daerah kepulauan yang memiliki pulau-pulau kecil sebanyak 27 buah, namun pulau yang dihuni hanya 11 buah. Menurut letak geografisnya Pulau Nias terletak pada garis 0°12’ - 1°32’ Lintang Utara (LU) dan 97° - 98° Bujur Timur (BT) dekat dengan garis khatulistiwa. Luas wilayah Pulau Nias adalah sebesar 3.495,40 km² (4.88% dari luas
3
Penduduk asli pulau ini biasa dikenal dengan sebutan Ono Niha (orang Nias/etnis Nias2). Etnis Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Seperti yang tulis Koentjaraningrat (1995) : Penduduk dari pulau Nias, yang merupakan pulau terbesar dari seluruh deret, kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan Hindu maupun Islam. Berlandaskan kepada suatu kebudayaan Megalithik, yang rupa-rupa-nya telah mereka bawa dari benua Asia pada jaman perunggu, mereka telah mengembangkan suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan megalithik yang bukan berdasarkan alat pengurbanan kerbau melainkan babi. Lama sebelum kedatangan orang Belanda pada tahun 1669, orang Nias sudah banyak berhubungan dengan orang-orang Aceh, Cina, Melayu dan Bugis, yang datang ke sana untuk berdagang, tetapi berbeda dengan penduduk pulau Simalur, mereka kurang terpengarunh oleh agama Islam. Agama yang paling banyak mempengaruhi mereka adalah Kristen Protestan yang masuk disana sejak tahun 1865 mulai dari Gunung Sitoli, sedangkan agama Kristen Katolik datang kemudian dari bagian Selatan. (1995: 40). Masyarakat Nias (sebagaimana masyarakat lain di nusantara ini) memiliki tradisi lisan seperti mitos, legenda, fabel, dan cerita-cerita lainnya. Hingga saat ini, tradisi lisan ini belum disusun secara sistematis. Tradisi lisan ini masih “tercecer”, baik dalam bentuk naskah maupun dalam wujud tuturan masyarakat Nias. Para peneliti dari bangsa sendiri masih belum menjangkau tradisi lisan ini.
propinsi Sumatera Utara) sejajar dan berada di sebelah barat Pulau Sumatera serta dikelilingi oleh Samudera Hindia. (sumut.bps.go.id). 2 Etnis Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan "Tanö Niha" sebagai sebutan untuk pulau Nias (Tanö = tanah; Niha = manusia).
4
Setelah enam puluh enam tahun merdeka, tradisi lisan yang dimiliki oleh etnis Nias di Propinsi Sumatera Utara belum banyak dikenal dan dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan keterbatasan penelitian dan publikasi, baik kepada masyarakat maupun oleh pemerintah dibeberapa Kabupaten yang ada di Nias3. Hingga saat ini, yang lebih banyak melakukan penelitian tentang Nias adalah peneliti asing.
Beberapa peneliti dari bangsa
Eropa, umumnya misionaris Kristen, telah melakukan pendokumentasian tradisi Nias. Hasil pengkajian mereka ini pada umumnya ditulis dalam bahasa Nias dan juga dalam bahasa asing (Belanda, Jerman dan Inggris). Pada umumnya tujuan para peneliti ini diarahkan pada kepentingan pelayanan keagamaan. Terhadap tradisi lisan Nias yang telah digambarkan di atas, tampaknya perlu dilakukan penelitian secara sungguh-sungguh dan berkesinambungan. Perlu diungkapkan secara jelas hakikat dan makna dari warisan budaya masa lampau ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut, salah satu hal yang perlu dikaji secara
sistematis dari tradisi lisan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Nias di Pulau Nias ini dikenal dengan sebutan hoho. Tradisi lisan Nias yang berbentuk hoho ini adalah syair yang dilagukan secara puitis untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan asal usul kejadian, sejarah, hukum adat, dan hal lain yang berkaitan dengan tata kemasyarakatan (Zebua, 1991).
Hoho ini tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Nias. Hoho memiliki peran yang cukup 3
Nias sebagai wilayah administratif bagian dari Propinsi Sumatera Utara sebelumnya hanya terdiri satu Kabupaten yakni Kabupaten Nias namun dengan semangat dan niat untuk memperjuangkan nasib masyarakat Nias agar terlepas dari kemiskinan dan ketertinggalan, maka dilaksanakanlah pemekaran wilayah. Pemekaran ini dilaksanakan bertahap, dimulai dari pemekaran wilayah Kabupaten Nias Selatan (dimekarkan 25 Pebruari 2003) dan dilanjutkan pada 29 Oktober 2008 pemekaran serempak yakni Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Kini Pulau Nias terdiri dari empat daerah Kabupaten dan satu Kota.
5
berarti dalam berbagai peristiwa sosial dan budaya (Mendröfa, 1981). Hoho adalah cerita lisan yang berkembang di masyarakat Nias dan diwariskan secara turun-temurun sehingga menyerupai mitos. (Hammerle, 2001). Lewat hoho, para penutur tradisional Nias mampu berkomunikasi dengan masyarakat atau penontonnya dengan baik. Harmoni yang dilahirkan memikat pendengarnya. Seseorang yang hendak menyampaikan ide, pikiran atau perasaan kepada orang lain, misalnya, biasanya menggunakan syair hoho ini. Tujuannya agar mitra tutur tidak tersinggung. Pada saat seorang pemuda hendak melamar seorang gadis, misalnya, juru bicara dari keluarga pemuda ketika menyampaikan keinginannya kepada keluarga si gadis, pada umumnya menggunakan syair hoho. Dalam hal ini, hoho merupakan alat atau sarana menyampaikan pikiran kepada pihak lain. Selain sebagai tradisi lisan, hoho ini dapat digolongkan sebagai salah satu genre sastra lisan Nias (Harefa, 1985; Zebua, 1991). Sadieli Telaumbanua4 (2006) dalam wawancaranya dengan Yasato Harefa (salah seorang pemerhati sastra dan budaya Nias) mengatakan hoho sebagai salah satu jenis tradisi dan sastra lisan Nias bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Salah satu hoho yang beriskan mitos asal usul kejadian yang hingga saat ini masih diyakini oleh masyarakat Nias adalah hoho börö gotari gotara (Utara, Barat, dan Tengah Nias) dan atau foere (Selatan Nias). Berdasarkan wawancara dengan Yasato Harefa, menurut Sadieli hoho börö gotari gotara ini adalah induk dari semua hoho yang ada di Nias. Artinya, hoho börö gotari gotara
4
Penulis buku “Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan” dengan fokus bahasan terhadap hoho yang berisi Mitos Asal-Usul Kejadian (MAUK).
6
telah menjadi sumber hoho lain yang saat ini berkembang di tengah-tengah masyarakat Nias. Jaap Kunts, seorang etnomusikolog mengatakan, “Orang Nias bernyanyi pada setiap kesempatan“, dalam catatannya setelah mengadakan suatu kunjungan pada tahun 1930; lalu ia mengeluh, “asalkan misi Rheinische belum menghilangkan sarana untuk menyalurkan perasaan-perasaan mereka secara alami”. Banyak jenis lagu yang diidentifikasi Kunts. Ada yang dinyanyikan secara tunggal (solo): nyanyian menidurkan anak, nyanyian anak-anak, pepatah-pepatah dan nyanyian-nyanyian ratapan, dan nyanyian hiburan lainnya. Tetapi kebanyakan berupa nyanyian-nyanyian kelompok yang dibawakan pada peristiwa-peristiwa seperti perayaan, kematian, dan persiapan untuk berperang. Jika dibandingkan dengan musik vokal, musik instrumental kurang begitu penting artinya dalam kehidupan musikal di Nias. Musik instrumental biasanya dimainkan untuk permainan rakyat, dengan maksud mengumpulkan khalayak ramai, atau sekedar hiburan pribadi si pemain. Di Nias tidak ada ensambel instrumental yang memiliki peranan dan permainan setara dengan ensambel musik instrumental pada orang Karo dan Toba; sebaliknya orang Batak tidak memiliki nyanyian yang bisa disejajarkan dengan nyanyian kelompok dan puisi-puisi yang dilagukan seperti yang ada di Nias. Sebutan umum untuk nyanyian kelompok ini adalah hoho. Keberagaman jenis dan bentuk hoho yang terdapat di Nias ini, umumnya memiliki beberapa unsur yang menjadikan hoho berciri sama dalam penyajiannya, yakni terdapat unsur bahasa (teks) dan unsur musikal (musik vokal), bahkan ada hoho yang dalam penyajiannya melibatkan unsur gerak (tarian), dalam hal ini
7
properti yang digunakan dalam tarian pun dapat menjadi bagian dari unsur musikal (musik ritmis), proses pembelajaran dari seluruh jenis hoho dari generasi ke generasi di Nias, hingga saat ini masih diwariskan atau disampaikan secara lisan (oral tradition). Hoho merupakan bentuk kearifan lokal yang sekaligus menjadi kekayaan budaya masyarakat Nias khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Setelah masyarakat Nias mengenal agama modern (Kristen dan Islam) lambat laun hoho ini mengalami pergeseran peran. Terlebih-lebih dengan kemajuan zaman yang sering dipersepsi secara salah kaprah oleh masyarakat. Seakan-akan nilai-nilai yang pernah menjadi pegangan hidup harus disingkirkan dengan alasan tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman. Padalah, di tengah era globalisasi dewasa ini transformasi kearifan lokal yang telah teruji sangat berguna dalam membentengi nilai-nilai yang akan melunturkan moral manusia. Sebagaimana diungkapkan oleh Darma (1990) bahwa bangsa yang tidak menggali dan melestarikan nilai-nilai budaya yang pernah menjadi tata nilai dalam masyarakat akan tercabut dari percaturan kebudayaan global. (periksa Sadieli, 2006) Pemahaman dan pemberlakuan seperti ini telah membawa konsekuensi dalam hampir seluruh tatanan kehidupan masyarakat Indonesia termasuk di Nias. Seakan-akan budaya modern yang biasa diidentikkan dengan Barat atau Eropa memiliki nilai-nilai yang lebih unggul dibandingkan dengan nilai budaya milik bangsa sendiri. Dampak dari sikap dan perilaku seperti ini di antaranya, menyingkirkan bahkan melupakan nilai-nilai budaya sendiri yang telah teruji oleh
8
zaman. Nilai-nilai baru dari bangsa lain diserap begitu saja. Hal ini akan membawa akibat yang cukup menyedihkan yaitu memudar atau menghilangnya nilai-nilai budaya milik bangsa sendiri sehingga tidak lagi dikenal oleh generasi berikutnya. (periksa Sadieli, 2006) Pemahaman masyarakat (termasuk Nias) yang tidak proporsional terhadap nilai budaya sendiri perlu dibenahi melalui pengkajian terhadap sistem nilai yang pernah diyakini oleh nenek moyang sebelumnya. Generasi muda bangsa perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang nilai-nilai yang pernah diyakini oleh generasi sebelumnya. Untuk itu penelitian hoho yang dimiliki oleh masyarakat Nias perlu dilakukan agar generasi mereka dapat memahaminya dengan baik. Berdasarkan penelusuran awal, misalnya, hoho di kalangan masyarakat Nias, mengisahkan sejumlah hal seperti (1) asal usul manusia (2) asal usul Pulau Nias, (3) manusia pertama yang “turun” ke Pulau Nias, (4) hukum yang harus ditaati manusia di Pulau Nias dan aspek-aspek lainnya. Di lihat dari bentuknya, hoho ini dapat dikategorikan sebagai salah satu syair atau puisi rakyat. Danandjaja (1993) menegaskan, kisah mengenai terjadinya mado-mado (marga) di Pulau Nias berupa syair yang disebut hoho. Hoho ini masih tetap dituturkan oleh masyarakat Nias, terutama pada saat pesta besar (owasa), pesta pernikahan, dan pesta adat lainnya. (periksa Sadieli, 2006). Dari sejumlah kerangka berpikir di atas, penulis berpendapat bahwa jenis tradisi lisan dalam bentuk hoho masyarakat Nias perlu dikaji agar hakikat atau esensinya
dapat terungkap dengan jelas.
Temuan ini dapat menambah wawasan putra-putri bangsa Indonesia tentang keanekaragaman budaya, bahasa, dan sastra nusantara.
9
Menindaklanjuti wacana hoho di atas, penulis tertarik untuk melihat bentuk dan isi (fungsi, makna teks dan struktur musik) dari jenis hoho yang dalam penyajiannya terdapat unsur bahasa (teks), unsur musikal (musik vokal dan musik ritmis), dan unsur gerak (tarian). Jenis hoho ini dikenal dengan sebutan Hoho Faluaya, istimewanya Hoho Faluaya hanya terdapat di wilayah Kabupaten Nias Selatan5, dahulu hoho ini dapat di jumpai hampir di seluruh wilayah Nias Selatan, namun sekarang searah perkembangan zaman beberapa desa di Nias Selatan tidak lagi mampu mempertahankan tradisi lisan ini, sehingga kini hanya beberapa desa saja yang masih menggunakan Hoho Faluaya sebagai bagian dari aktivitasnya seperti pada peristiwa-peristiwa perayaan kematian golongan bangsawan, persiapan untuk berperang, mengukuhkan gelar bangsawan dan penyambutan tamu kehormatan. Kabupaten Nias Selatan sejak pemekaran secara administratif kini menjadi 18 daerah Kecamatan6, 354 Desa , dan 2 Kelurahan. Demi fokusnya kajian terhadap bentuk dan isi (makna teks dan struktur musik) dari Hoho Faluaya, penulis memilih desa Bawömataluo7 sebagai lokasi penelitian. Hoho Faluaya di desa Bawömataluo ini sering hanya disebut Faluaya saja, dibeberapa desa lain mereka terkadang menyebutnya dengan Fatele, Folaya, 5
Kabupaten Nias Selatan berada di bagian barat Provinsi Sumatera Utara. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat, sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah selatan dengan Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. 6 18 Kecamatan di Kabupaten Nias Selatan: 1) Hibala, 2) Pulau-pulau Batu, 3) Pulaupulau Batu Timur, 4) Teluk Dalam, 5) Fanayama, 6) Toma, 7) Maniamölö, 8) Mazinö, 9) Amandraya, 10) Aramö, 11) Lahusa, 12) Gomo, 13) Susua, 14) Mazo, 15) Umbunasi, 16) Lölömatua, 17) Lölöwa, dan 18) Hilimegai. 7 Bawömataluo adalah salah satu desa dari 16 desa sejak pemekaran yang berada di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan.
10
Molaya, Zaluaya, dan Maluaya, dimana pengertiannya hampir sama atau disetarakan dengan “menggelar kekuatan (show force), sekaligus membangkitkan semangat patriotisme para prajurit desa, melakukan gerakan berperang, sikap berperang, dalam kondisi atau seperti dalam situasi berperang”. Sehingga dalam penyajiannya selalu menggunakan properti perang (perlengkapan perang) seperti pakaian perang dan senjata perang. Hoho Faluaya cenderung lebih dimaknai sebagai konteks gerak (tarian). Bila dilihat sebagai produk seni, Hoho Faluaya adalah suatu genre (ragam) kesenian yang terdiri dari unsur seni: sastra, musik dan tari, yang memiliki nilai dan makna yang sangat mendalam. Terlebih belum banyaknya penelitian yang dilakukan dalam konteks nyanyian pemberi semangat (Hoho) kepada prajurit perang yang dilakukan dengan tarian perang (Faluaya). Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian dengan memanfaatkan teori ilmiah. Temuan ini akan dapat memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia secara umum dan bidang kesastraan, musik serta tari secara khusus. Dalam penyajian Hoho Faluaya terdapat tiga jenis hoho di dalamnya yang akan dibicarakan pada bab selanjutnya, yakni: Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö. Ketiga jenis hoho ini digunakan pada peristiwa perayaan kematian seorang bangsawan, peristiwa pengukuhan gelar bangsawan, penyambutan tamu kehormatan, serta pada aktivitas persiapan untuk berperang atau perayaan atas kemenangan dalam peperangan antar desa. Sebagai sebuah karya cipta seni masyarakat zaman lampau dan sebagai salah satu tradisi lisan dari leluhur masyarakat Nias Selatan, perlu dilakukan pendekatan yang dianggap memadai untuk mengkaji Hoho Faluaya ini yakni
11
dengan pendekatan paradigma antropologi sastra, sebuah pendekatan yang memusatkan pengkajian pada tulisan etnografis yang bernilai sastra melihat aspek-aspek
budaya
masyarakat
pemiliknya
dan
dengan
pendekatan
etnomusikologis8. Sejarah perkembangan etnomusikologi khususnya di Eropa dan Amerika ditandai oleh berbagai peristiwa terutama yang berkaitan dengan buku-buku dan tulisan-tulisan yang dikerjakan oleh para ahli, seperti munculnya buku Dictionnaire de Musique karya Jean Jacques Rousseau (1768) sebagai tonggak sejarah yang mendasari berkembangnya etnomusikologi. Selain itu ditandai pula dengan ditemukannya peralatan-peralatan alat ukur frekuensi nada dan rekaman, serta berdirinya organisasi dan arkaif-arkaif yang berfungsi sebagai tempat pendokumentasian dan pengkajian musik bangsa-bangsa. Sebelum tahun 1950-an para etnomusikolog lebih banyak melakukan aktivitas
pencatatan
dan
pendokumentasian
musik
bangsa-bangsa
yang
pembahasannya lebih banyak pada kajian tekstual. Untuk menyalurkan minat para etnomusikolog, menampung, serta berbagi informasi mengenai musik etnis dari berbagai suku bangsa di dunia, maka Masyarakat Etnomusikologi (The Society For Ethnomusicology) yang didirikan tahun 1955 memberi kesempatan kepada
8
“Studi musik di dalam kebudayaan” (Merriam, 1960), adalah suatu yang penting bahwa definisi ini sesungguhnya dapat diterangkan jika ia benar-benar dipahami. Makna implisit yang terkandung dalam asumsi bahwa etnomusikologi adalah dibentuk dari musikologi dan etnologi, dan suara musik merupakan hasil dari proses tata tingkah laku manusia, yang dibentuk oleh berbagai nilai, sikap, dan kepercayaan masyarakatnya yang turut mengisi suatu kebudayaan. Suara musik tidak akan tercipta, kecuali dari satu orang ke orang lainnya, dan meskipun kita tidak dapat memisahkan dua aspek tersebut secara konseptual, tidak akan diperoleh kenyataan yang lengkap tanpa mau mempelajarinya. Tata tingkah laku manusia menghasilkan musik, tetapi prosesnya adalah suatu yang kontinu; tata tingkah laku itu sendiri membentuk hasil suara musik, dan dengan demikian studi terhadap aspek yang satu tentunya akan melibatkan aliran studi lainnya.
12
mereka untuk membahas semuanya itudalam jurnal Ethnomusicology. Sejumlah sarjana aliran komparatif musikologi dari Berlin yang kemudian pindah ke Amerika
juga
mempunyai
peran
yang
penting
dalam
perkembangan
etnomusikologi di belahan barat, khususnya George Herzog, Miezyslaw Kolonski, dan Wachman. Begitu pula Charles Seeger yang berkebangsaan Amerika telah banyak memberi sumbangan terhadap disiplin ilmu ini di Amerika Serikat. Trend etnomusikologi setelah tahun 1950-an banyak dipengaruhi oleh disiplin ilmu antropologi, sehingga karya-karya tulis hasil penelitian para etnomusikolog seperti John Blacking, Alan Lomax, Stockmann, Mcallester, Curt Sachs, dll. banyak melakukan studi kontekstual yang melihat persoalan hubungan antara musik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Amerika disebut anthropology of music, dimana musik dianggap sebagai bagian dari kebudayaan dan diteliti dalam konteks kebudayaan. Ilmu ini dipopulerkan oleh Alan P. Merriam, BrunoNettle, dan Mantle Hood. Hingga saat ini etnomusikologi masih sering disebut antropologi musik. Antropologi memfokuskan ilmunya pada others dan difference, yaitu pemahaman perbedaan termasuk dalam hal etnisitas. Artinya dalam antropologi musik esensinya adalah bagaimana kita menghargai, memahami, dan mengerti perbedaan dalam musik. Ada dua pendekatan dalam mempelajari perbedaan itu, yaitu pertama musik dipelajari sebagai sebuah teks, dan kedua teks itu dipelajari di dalam konteks. Sehingga dapat dikatakan antropologi musik merupakan ilmu yang mempelajari musik di dalam konteksnya, seperti definisi yang dirumuskan
13
oleh Alan P. Merriam bahwa Etnomusikologi adalah ilmu yang mempelajari musik di dalam kebudayaan. Dengan
demikian
dasar-dasar
yang
menjadi
perhatian
para
etnomusikolog dalam mempresentasikan penelitiannya, sekurang-kurangnya terdiri dari tiga aspek, yakni: (1) sifat dasar dari proses-proses terjadinya musik secara teknis; (2) hubungan antara dunia musik dan dunia pembahasannya; dan (3) fungsi dari totalitas musik di dalam totalitas kebudayaan. Oleh karena orientasi studi etnomusikologi setelah tahun 1950 berkembang lebih melebar, maka studi ini
menjadi
bidang
kajian
yang
multidisiplin
karena
banyak
menggunakan/meminjam pendekatan dari cabang ilmu lain seperti sejarah, antropologi, sosiologi, akustika, dll. dalam membahas fenomena musik bangsabangsa yang ada di dunia ini. Secara etnomusikologis, pentingnya melakukan studi terhadap teks lagu atau nyanyian adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik masyarakat pengguna dan pendukung nyanyian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Alan Lomax sebagai berikut ini: A song style, like other human things, is a pattern of learned behavior, common to the people of a culture. Singing is specialized act of communication, akin to speech, but far more formally organized and redundant. Because of its heightened redundancy, singing attracts and holds the attention of group; indeed, as in most primitive societies, it invites group perticipation. Wheter chorally performed or not, however, the chief function of song is to express the shared feelings and hold the joint activities of some human community. It is to be expected, therefore, that the content of the sung communication should be social rather than individual, normative rather than perticular (Lomax, 1968:3).
14
Lomax menyatakan bahwa sebuah gaya nyanyian, pada prinsipnya sama dengan tingkah laku manusia yang menjadi sifat umum masyarakatnya dalam suatu kebudayaan.
Nyanyian adalah aksi
khusus dari
komunikasi,
yang
berhubungan dengan ujaran bahasa, tetapi lebih jauh dari itu nyanyian ini diorganisasikan dan diwujudkan lebih formal dibandingkan bahasa. Nyanyian mendapat perhatian sekelompok manusia, karena penekanannya pada perwujudan (yang
dilebih-lebihkan).
Sungguhpun
demikian,
bagi
sebahagian
masyarakat primitif, nyanyian mengundang perhatian kelompoknya. disajikan dalam paduan suara atau tidak.
daripada
Apakah
Dengan demikian, fungsi utama
nyanyian adalah untuk mengekspresikan rasa, dan sekaligus aktivitas
besar
berbagai jenis komunikasi manusia.
sebagai
Nyanyian
suatu sangat
dibutuhkan oleh masyarakatnya. Selanjutnya isi nyanyian tersebut lebih bersifat
komunikasi sosial dibandingkan dengan komunikasi individual, lebih
bersifat normatif dibandingkan menjelaskan fakta. Selain itu, teks juga turut berperanan
dalam
membentuk struktur umum yang menjadi acuan bagi
penciptaan nyanyian Hoho Faluaya.
Dalam hoho jenis ini, teks memberikan
sumbangan besar terhadap garapan struktur musiknya. Dengan demikian teks sangat perlu untuk dianalisis sebagai bahagian dari struktur musiknya. Pernyataan ini didukung pula oleh pendapat Lomax tentang teks pada nyanyian rakyat (dalam hal ini hoho) seperti berikut: SCHOLAR [sic.] and enthusiasts in the field of folk song have long believed that the orally transmitted poetry of a people, passed on by them as part of their noncritically accepted cultural heritage, might yield crucial information about their principal concerns and unique world-view. However, in spite of extensive study and
15
collection of folk song texts, little has been done in a systematic way to test this idea. One of the very few such attempts is Sebeok's analysis of Cheremis lore (Sebeok, 1956, 1959, 1964). The present study develops the hypothesis: that folk song texts, if analyzed in a systematic fashion, give clear expression to the level of cultural complexity, and a set of norms which differentiate and sharply characterize cultures (Lomax, 1968:5). Menurut Alan Lomax, sarjana dan orang-orang yang menaruh minat yang luar biasa di dalam lapangan nyanyian rakyat, telah lama percaya bahwa transmisi puisi secara oral pada suatu masyarakat, bagian
dari penerimaan
mereka selami sebagai
budaya warisan tanpa kritikan, yang
dapat
menghasilkan informasi yang penting tentang prinsip yang menjadi perhatian dunia atas pandangan mereka yang unik. Walau dilakukan kajian dan koleksi teks-teks nyanyian rakyat secara luas, hanya sedikit saja yang dilakukan secara sistematik untuk menguji ide ini. Satu dari berbagai usaha ini adalah analisis terhadap cerita masyarakat Cheremis yang dilakukan Sebeok (1956, 1959,
1964).
nyanyian
Kajian
rakyat,
ekspresi yang memberikan
masa kini mengembangkan
hipotesis: bahwa teks
jika dianalisis dengan cara yang sistematik, memberikan jelas tentang tingkat kompleksitas kebudayaannya, dan
seperangkat
norma
yang
membedakan
dan
memperjelas
karakteristrik berbagai kebudayaan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis akan melihat sejauh apa penyajian Hoho Faluaya yang merupakan warisan tradisi lisan masyarakat Nias Selatan yang disajikan oleh kelompok hoho (seorang sondroro dan kelompok sanoyohi). Dimana mereka telah memanfaatkan bakat dan kemampuan musikalnya sehingga terpilih dan terseleksi dengan sendirinya oleh masyarakat
16
pendukungnya dan menjadi bagian dalam setiap kegiatan-kegiatan ritual adat masyarakatnya. Hal ini juga berkaitan dengan kreativitas para kelompok hoho mereka dalam mengeksplor bakat dan kemampuannya. Begitu juga dengan menciptakan teks sesuai dengan konteksnya. Pendekatan kajian tersebut di atas akan penulis pergunakan dalam mendukung kajian utama penulis, seperti yang akan dituangkan pada sub bab di bawah ini.
1.2 Fokus Masalah Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu menentukan beberapa hal yang menjadi fokus permasalahan agar penelitian ini lebih terarah. Adapun fokus kajian yang sekaligus menjadi batasan tulisan ini adalah : 1.2.1 Bagaimanakah fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan; 1.2.2 Bagaimanakah struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan; 1.2.3 Bagaimanakah struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada (scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada (interval), pola-pola kadens dan kontur serta analisis yang menjadi fenomena musikal.
17
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk : 1.3.1
Menjelaskan fungsi penyajian Hoho Faluaya sebagai bentuk tradisi musik lisan dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.3.2
Menjelaskan struktur teks Hoho Faluaya dalam konteks ritual adat masyarakat di Nias Selatan;
1.3.3
Menjelaskan struktur musikal Hoho Faluaya yang meliputi tangga nada (scale), jumlah pemakaian nada, wilayah nada (range), jarak antar nada (interval), pola-pola kadens dan kontur. Adapun manfaatnya adalah sebagai bahan rujukan bagi masyarakat dan
pemerintah dalam usaha pelestarian seni budaya Nias, dan melengkapi perbendaharaan musik Nias dalam masyarakat luas khususnya tentang Hoho Faluaya. Dan sebagai bahan dokumentasi tradisi sastra dan musik lisan yang akhirnya dapat dibaca pada perpustakaan perguruan tinggi dan sebagai upaya memperlihatkan kepada masyarakat Nias khususnya dan Indonesia umumnya dalam memahami nilai-nilai budaya yang luhur sebagai bentuk kearifan lokal dari Hoho Faluaya.
1.4 Tinjauan Pustaka Sebelum melakukan kerja lapangan terlebih dahulu penulis melakukan studi kepustakaan, yakni dengan mempelajari literatur (buku, skripsi, artikel, makalah, majalah) tentunya yang berkaitan dengan obyek pembahasan yang akan
18
diteliti yakni “Tradisi Lisan Hoho Faluaya Dalam Masyarakat Nias di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan: Analisis Teks dan Struktur Musik”. Kenyataan yang ada pada kebudayaan tradisi lisan masyarakat Nias, di Sumatera Utara. Sebagaimana umumnya tradisi lisan yang ada di Indonesia, tradisi lisan Nias yang memiliki unsur musik (vokal) juga memadukannya dengan gerak dan disebut Hoho Faluaya secara fungsional sangat terkait langsung dengan berbagai upacara adat tradisi yang telah dianut secara turun temurun oleh etnis Nias. Perlu ditegaskan bahwa sepanjang pengetahuan penulis sampai saat ini, buku yang secara khusus berintikan tentang Tradisi Lisan Hoho Faluaya Nias Selatan belum pernah ditemukan. Oleh karena itu, buku-buku yang berkaitan dengan kebudayaan musik Nias secara umum, dan pada bagian tertentu dalam buku tersebut juga berisi tentang Hoho Faluaya, layak untuk dipertimbangkan. Tinjauan terhadap buku-buku yang membahas tentang teks hoho, penulis mengunjungi tulisan Hammerle (1986), dalam bukunya “Famatö Harimao” yang menuliskan bagaimana deskripsi dari pesta harimau, fondrakhö börönadu dan kebudayaan lainnya di wilayah Maena Mölö Nias Selatan. Dalam buku ini penulis dapat melihat bagaimana penyajian Faluaya dalam konteks upacara adat. Berikutnya Hammerle (1995), bukunya “Hikaya Nadu” telah mengumpulkan hoho dari beberapa daerah di Nias yang berhubungan dengan berbagai jenis patung yang disembah dan dipuja oleh masyarakat Nias. Masih Hammerle (1990), “Omo Sebua” membangun rumah adat yang diekspresikan melalui hoho. Selanjutnya Hammerle (1990), “Asal Usul Masyarakat Nias” Suatu Interpretasi,
19
dimana banyak pandangan dari masyarakat Nias sendiri tentang asal usul hadirnya orang Nias di Pulau Nias. Sadieli (2006), dalam bukunya “Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan”, dimana beliau melihat fungsi dan makna dari hoho yang berkaitan dengan mitos asal usul kejadian (MAUK). Pengertian, bentuk, dan jenis-jenis hoho penulis jadikan pendekatan untuk melihat Hoho Faluaya. Secara umum di Nias beberapa contoh musikal baik vokal maupun instrumen sudah pernah didokumentasikan oleh Japp Kunt (1939), dalam bukunya “Music In Nias” selanjutnya penulis jadikan pendekatan dalam menganalisis struktur musik vokal (Hoho Faluaya). Tujuan studi kepustakaan ini agar penulis memperoleh konsep, teori dan informasi yang dapat menjadi bahan acuan atau bandingan bagi penulis untuk mengupas permasalahan. Studi kepustakaan ini juga sebagai landasan bagi penulis dalam penelitian, dan buku-buku tersebut dapat dilihat di bagian daftar pustaka dari tesis ini.
1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep Konsep maupun pengertian, merupakan unsur pokok dari sebuah penelitian. Bila masalahnya serta kerangka teoritisnya sudah jelas, maka dengan mudah dapat diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang merupakan pusat perhatian. Defenisi konsep itu sendiri secara singkat berarti sekelompak fakta atau
20
gejala (Koentjaraningrat 1981:32). Seperti yang dikatakan oleh R.Merton bahwa konsep adalah definisi dari apa yang perlu diamati. Konsep menentukan antara variabel-variabel mana kita ingin menentukan adanya hubungan empiris (ibid 1981:32). Tradisi Lisan adalah semua kesenian, pertunjukan atau permainan yang menggunakan tuturan atau disertai ucapan lisan dalam konvensi budaya masyarakat (Sibarani, 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa jika suatu kesenian, pertunjukan atau permainan tidak menggunakan atau tidak disertai tuturan atau ucapan lisan, maka itu tidak termasuk tradisi lisan. Sebaliknya, jika suatu cerita tidak lagi ditradisikan (dipertunjukkan atau dibiasakan dihadapan masyarakat pendukungnya) maka itu tidak lagi termasuk ke dalam tradisi lisan meskipun itu dahulu termasuk tradisi lisan, dan meskipun itu pada suatu saat potensial menjadi tradisi lisan. Tradisi lisan tidak hanya dimaksudkan sebagai bagian dari informasi atau komunikasi untuk diteliti, didokumentasikan, dan untuk kepentingan sendiri melainkan harus menjadi yang pertama dan utama untuk memahami secara kontekstual keterhubungan struktur sosial (Chamarik, 1999). Tradisi lisan merupakan perangkat pengetahuan dan pembelajaran tentang budaya masa lalu dan fakta kehidupan manusia. Tradisi lisan juga menjadi sumber kekuasaan. Tradisi lisan adalah sumber asli pembelajaran dan oleh karena itu memungkinkan pengembangan nilai-nilai sehingga menjadi penghubung keberadaannya. Tradisi lisan merupakan ekspresi gaya hidup yang tidak tertulis (unletterd) yang dapat
21
digunakan untuk merekonstruksi kehidupan masyarakat saat sekarang. (Periksa Sadieli, 2006: 31) Hoho adalah salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Nias berbentuk syair-syair yang biasa diturturkan dalam berbagai peristiwa sosial-budaya di kalangan masyarakat Nias. Hal ini sejalan dengan pendapat Hammerle (1999: 25) bahwa hoho dalam berbagai versi merupakan salah satu tradisi lisan Nias yang dapat dijadikan rujukan dalam memahami kebudayaan lama mereka. Hoho ini telah berurat berakar dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seluruh kehidupan masyarakat Nias pada zaman dahulu diatur oleh hoho yang dituturkan ini. Itulah sebabnya mereka sering membedakan antara agama, pemerintah, dan adat. Istilah yang sering terdengar yaitu sara lala agama, sara fareta, sara lala hada (lain cara agama, lain cara pemerintah, dan lain cara adat). Hoho Faluaya merupakan salah satu bagian dari beberapa jenis hoho yang ada pada masyarakat Nias, dan khusus hanya ada di daerah Nias Selatan. Hoho jenis ini disajikan untuk merefleksikan suatu kekuatan yang dimiliki masyarakat Nias Selatan dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan musuh. Faluaya mempunyai pengertian gerakan atau tarian perang, dimana dalam penyajiannya dilakukan sambil menyanyikan apa yang dituturkan (di-hoho-kan). Di dalam penyajian Hoho Faluaya terdapat tiga jenis hoho yakni, Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö. Dalam menganalisis teks penulis mengkaji gaya bernyanyi yang ada, gaya bahasa, dan melihat makna-makna yang terkandung di dalamnya. Konsep
22
teks yang penulis maksudkan hanya tertuju pada teks hoho yang diciptakan dan dinyanyikan oleh penyaji hoho (sondroro hoho). Adanya teks lagu atau syair, dan melodi dalam Hoho Faluaya menunjukkan bahwa Hoho Faluaya merupakan bagian dari suatu kegiatan kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga yang disebut seni suara (Koentjaraningrat 1980:395-396) Analisis stuktur musik dapat dikonsepkan sebagai bagian-bagian dari suatu komposisi musik yang terintegrasi menjadi satu bentuk yang estetik (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesis 1998). Struktur musik yang penulis maksudkan di sini adalah mencakup aspek melodi dan ritme dari kelima jenis musikal (fohuhugö, hivfagö, hoho fu’alö, hoho fadölihia dan hoho siöligö) yang ada pada penyajian Hoho Faluaya. Kedua besar pokok ini didukung oleh tangga nada, nada dasar, wilayah nada, persebaran nada-nada, interval, pola-pola kadensa, kontur, dan lainnya (Malm 1997). Masyarakat Nias yang penulis maksudkan adalah sekelompok orang atau manusia yang diikat oleh hukum adat yang disepakati bersama dan telah menjadi salah satu etnis di Indonesia. Dan dalam penelitian ini penulis mengkhususkan kepada etnis Nias yang berdomisili di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Nias Selatan.
23
1.5.2 Landasan Teori Untuk mengkaji sebuah fenomena alam fisik atau sosial, dengan latar belakang masalah tertentu, ada yang relatif sederhana dan ada pula yang kompleks, maka para ilmuwan biasanya menggunakan teori-teori. Teori menurut pendapat Marckward et
al., memiliki
tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah
rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan;
(3)
abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal
atau rancangan
hipotesis untuk menangani berbagai fenomena;
(5)
spekulasi atau hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik, yang membedakannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang dieksekusi (Marckward et al. 1990:1302). Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud teori itu biasanya mengandung pengertian dalam tahapan yang abstrak. Teori mengarahkan ilmuwan untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis permasalahn keilmuan yang ditemuinya. Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti pergunakan adalah sebagai berikut :
24
1.5.2.1 Teori Fungsionalime Dalam upaya melihat fungsi dari Hoho Faluaya sebagai tradisi lisan masyarakat Nias, penulis melakukan pendekatan terhadap ilmu sosiologi dan antropologi melalui teori fungsional yang dikemukakan oleh Lorimer, dimana menurutnya teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang digunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan kepada kebergantungan institusi dengan kebiasaan pada
masyarakat
tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana
susunan
sosial didukung oleh fungsi institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar. Sebagai contoh pada masyarakat tribal, penyertaan dalam upacara kesatuan
sosial
dalam
kelompok
yang
lebih sederhana, masyarakat
keagamaan berfungsi untuk mendukung manusia
yang
berhubungan
kekerabatannya. Teori ini menjadi dasar khususnya bagi Emile
dengan
Durkheim,
fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang kokoh sejak digunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton pada tahun 1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Angloamerika dalam dasawarsa 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A. R. Radcliffe-Brown, mengembangkan teori ini di bidang disiplin antropologi dengan
memusatkan perhatian pada
masayarakat bukan Barat. Sejak dekade 1970-an, teori fungsionalisme digunakan pula untuk mengkaji dinamika konflik sosial (Lorimer et al. 1991:112-113) Selanjutnya teori fungsionalisme oleh Bronislaw Malinowski dimana beliau mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tentang kebudayaan, atau a functiol theory of culture. Konsepnya mengenai fungsi sosial
25
adat, prilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi, yaitu: (1) fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, prilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; (2) fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; dan (3) fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Demikian halnya dengan Arthur Reginald Radcliffe-Brown yang mendasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa pelbagai aspek prilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubunganhubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown 1952). Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu. Komunikasi berfungsi mengikuti keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Oleh karenanya fungsi komunikasi boleh dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik dan metalinguitik
26
yang berkaitan dengan bahasa (Ajid Che Kob, 1991:16)9. Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama iaitu: (1) fungsi memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan dan (4) untuk menghibur orang lain. Dalam etnomusikologi dan atau pertunjukan budaya, ada seorang tokoh fungsionalisme yang sangat penting, dan menjadi rujukan utama jika mengkaji fungsi
musik
(kesenian
atau
kebudayaan)
dalam
konteks
masyarakat
pendukungnya. Beliau adalah Alan P. Merriam, etnomusikolog dari Amerika Serikat. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi.
Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah
sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitasaktivitas lain (1964:210). Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing 9
Disertasi Muhammad Takari Bin Jilin Syahrial. 2010. Fungsi Dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan Tari Melayu Di Sumatera Utara. Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur.
27
a perticular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and perticularly the broader purpose which it serves. (1964:210). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi keinginan biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia].
Jika seseorang menggunakan
musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, selaras dengan Merriam, mengikut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.
28
Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan bahwa sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikolog tentang fungsi musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi. Kesepuluh fungsi musik itu adalah: (1) sebagai pengungkapan emosional, (2) sebagai penghayatan estetika, (3) sebagai hiburan, (4) sebagai komunikasi, (5) sebagai perlambangan, (6) sebagai reaksi jasmani, (7) sebagai yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) sebagai kesinambungan kebudayaan, dan (10) sebagai pengintegrasian masyarakat (Merriam 1964). Merriam menyatakan bahwa fungsi musik termasuk genre musik mungkin kurang dari sepuluh fungsinya atau boleh saja meluas lebih dari sepuluh fungsi tersebut. Selain itu fungsi seni juga dikaji di bidang etnokoreologi (antropologi tari). Soedarsono seorang pakar sejarah seni dan ahli etnokoreologi, yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: (1) untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan (3) sebagai penyajian estetika (1995). Pendapat Soedarsono ini sifatnya adalah induktif dan dia menggeneralisasikan berbagai fungsi sosiobudaya seni. Dalam bidang tari dan teater pula, fungsi tari bisa saja kita lihat sebagai ritual pubertas, sarana memohon hujan turun kepada Tuhan, menunjukkan keberadaan jenis kelamin tertentu, sebagai sarana komunikasi dengan roh-roh nenek moyang atau dunia gaib, sebagai simbol status sosial, sebagai pengiring
29
ritual kelahiran, perkawinan, berkhitan, kematian, sarana perkenalan, ekspresi dorongan seksual, upacara kesuburan perempuan atau tanah, dan masih banyak lagi yang lainnya.
1.5.2.2 Teori Semiotik Untuk mengkaji makna yang terkandung di dalam kedua hoho di atas, penulis menggunakan teori semiotik. Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika atau semiologi itu adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tandatanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce. Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika.
Ia mendefinisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.”
Salah satu
sumbangan Peirce yang besar bagi semiotika adalah dalam menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling
30
berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang
ke
dalam
tiga
kategori:
ikon,
indeks,
dan
simbol.
Pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Contoh lain apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
31
Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Barthes mengatakan bahwa “semiotika tidak akan menggantikan penelitian apapun di sini, tetapi sebaliknya, semiotika akan menjadi semacam kursi roda, kartu As, dalam pengetahuan kontemporer sebagaimana tanda merupakan kartu As dalam wacana”. Menurutnya, semiotika mempunyai hubungan dengan science, namun semiotika itu sendiri bukan science. Barthes menciptakan peta mengenai bagaimana tanda bekerja, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut10 : 1.
Signifier (Penanda)
2.
Signified (Petanda)
3. denotative (penanda denotatif) 5. connotative signified connotative signifier (petanda konotatif) (penanda konotatif) connotative sign (tanda konotatif)
4. 6.
Dari gambaran di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
10
Bahan Perkuliahan Prof. Dr. Robert Sibarani, MS. (Semiotika 2009/2010)
32
material. Hanya jika kita mengenal “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin. Bagi Peirce dan Barthes, tanda dapat dimaknai secara terbuka, tetapi dibatasi oleh konteks, baik teks itu sendiri maupun konteks sosial budaya, serta pengetahuan/pengalaman pembaca. Tanda tidak memiliki makna yang stabil. Teori Peirce dan Barthes memperlihatkan persamaan dan perbedaan dalam hal perincian pemaknaan. Barthes dengan jelas membelah makna menjadi denotasi dan konotasi. Tidak demikian halnya dengan Peirce. Ia mengatasnamakan keduanya sebagai konsep interpretant. Baginya, yang penting adalah proses semiosis. Oleh karena itu, dalam analisis, objek amatan memegang peranan dalam menentukan alat yang lebih sesuai: objek berstruktur dan ada perubahan makna denotasi ke konotasi atau merupakan ikon, indeks, simbol. Konsep kedua tokoh bertemu pada titik interpretasi. Interpretant dari Peirce sama dengan konsep konotasi dari Barthes. Kedua teori dapat bergabung dalam suatu analisis dan saling
melengkapi,
terutama
dalam
analisis
teks
yang
terdiri
atas
gambar/nonverbal (ikon dan simbol) dan unsur verbal. Persamaan lain, yaitu makna bersifat dinamis, berubah sesuai waktu, tempat, dan penafsir. Melalui pendekatan teori semiotik di atas selanjutnya penulis akan pergunakan dalam menemukan hakikat dan makna teks dan frase nyanyian Hoho Faluaya (Fanguhugö, Hivfagö, Hoho Foalö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö).
33
1.5.2.3 Teori Transkripsi Teori
yang
berkaitan
dengan
pentranskripsian,
Seeger
(1964)
mengatakan ada dua jenis notasi musik, yaitu: (1) notasi preskriptif yaitu notasi yang hanya menuliskan bagian-bagian yang menonjol dalam musik dan tidak harus menuliskan secara lengkap tentang detil-detil yang ada dalam musik itu atau dengan kata lain, suatu pedoman tentang bagaimana musik itu dapat diwujudkan atau dihasilkan oleh pemain musik; (2) notasi deskriptif yaitu menuliskan musik secara terperinci tentang detil-detil yang terdapat dalam musik dengan kata lain, suatu laporan yang disertai notasi secara lengkap tentang bagaimana sebenarnya suara musikal dalam suatu pertunjukan diwujudkan. (lihat Nettl, 1964: 99-100).
1.5.2.4 Teori Weighted Scale Dalam mendeskripsikan struktur musik
penulis menggunakan teori
weighted scale, yang dikemukakan oleh Malm (1977:15). Teori ini dipergunakan untuk menganalisis melodi Hugö dan Hivfagö selanjutnya dari Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia, dan Hoho Siöligö yang merupakan bagian-bagian dari Hoho Faluaya. Beliau menawarkan delapan unsur melodi, dalam hal ini penulis akan menganalisis kedelapan unsur dimaksud, antara lain; (1) Tangga Nada (Scale), (2) Nada Pusat atau Nada Dasar, (3) Wilayah Nada (Range), (4) Jumlah Nada-Nada, (5) Jarak antar Nada (Interval), (6) Pola-pola Kadens, (7) Formula Melodi, dan (8) Kontur.
34
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Rancangan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang bersifat kualitatif.
Menurut
Merriam dalam etnomusikologi, dikenal istilah
teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih luas, meliputi dasar-dasar teoretis yang menjadi acuan bagi teknik penelitian
lapangan.
Teknik menunjukkan pemecahan
masalah
pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan juga berbagai-bagai pemecahan
masalah
sebagai bingkai kerja dalam
penelitian lapangan (Merriam 1964:39-40). Metode penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik berupa tulisan atau pernyataan dari seseorang atau suatu perilaku aktor, maupun fenomena tertentu yang dapat diamati oleh seorang peneliti. Titik poin dari penelitian ini adalah memahami fungsi, makna teks dan struktur musik Hoho Faluaya sebagai tradisi musik lisan masyarakat Nias Selatan. Oleh karena penulis berasal dari etnis (suku) Nias, dan pengalaman penulis sejak tahun 1991 hingga sekarang masih terlibat dalam kegiatan seni pertunjukan Tari Perang (Faluaya) dan Lompat Batu (Hombo Batu) di Kota Medan dan di beberapa kota di Indonesia serta mempertunjukkannya sampai ke mancanegara, maka sejak awal rancangan penelitian ini, penulis berusaha mengkaji permasalahan yang ada berdasarkan pertimbangan emik dan etiknya. Dimensi emik akan mempertimbangkan suatu fenomena yang ada berdasarkan
35
pemahaman atau persepsi individu atau komunitas pemilik kebudayaan yang diteliti, dan dimensi etik akan mempertimbangkan fenomena yang ada berdasarkan persepsi kajian budaya. Dengan demikian fenomena tradisi musik lisan akan dilihat secara holistik dalam lingkup sosial budaya masyarakat Nias.
1.6.2 Lokasi dan Perjalanan Penelitian Tercatat ada sekitar 655 desa/kelurahan di Pulau Nias. Dan, uniknya, mereka memiliki tradisi yang berbeda di setiap cakupan wilayahnya. Sebuah refleksi bergaris budaya dengan label Bö’ö mbanua, Bö’ö mböwö yang mempunyai makna lain desa lain pula adat istiadatnya. Dari beragam desa yang ada di sana, penulis mengunjungi satu desa untuk lebih menyelami denyut kehidupan Ono Niha. Desa yang penulis tuju adalah desa Bawömataluo di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Di desa Bawömataluo penulis jadikan sebagai lokasi penelitian, dimana di desa ini masih terdapat para pelaku dan penyaji dari Hoho Faluaya. Bawömataluo termasuk sebuah desa yang masih tetap mempertahankan unsurunsur kebudayaan megalitik hingga abad keduapuluh ini. Tangga batu, jalan-jalan batu, dan benteng pertahanan batu yang mengagumkan, masih dapat dilihat di desa tua ini. Demikian juga dengan bangku-bangku dari batu dan patung batu lainnya. Yang didirikan sebagai bagian dari “upacara-upacara kebesaran”, demi menambah kewibawaan bagi tokoh-tokoh masyarakat atau bagi leluhur mereka. Desa ini mendapat julukan sebagai desa budaya dan budaya yang terkenal dari desa ini adalah tradisi "Lompat Batu" (Hombo Batu). Desa ini juga sudah
36
diusulkan menjadi kawasan warisan budaya dunia, dan masuk pada urutan keempat daftar usulan ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia setelah Ubud Bali, Tanah Toraja, dan kawasan Trowulan, Jawa Timur. Desa Bawömataluo berada di Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Nias Selatan merupakan salah satu Kabupaten dari 4(empat) Kabupaten yang ada di Pulau Nias setelah dari hasil pemekaran Kabupaten Nias, secara geografis lokasinya berada di sebelah barat pulau Sumatera dengan jaraknya ± 92 mil laut dari Kota Sibolga atau Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten Nias Selatan berada di sebelah Selatan Kabupaten Nias yang berjarak ± 120 km dari Kota Gunung Sitoli ke Teluk Dalam (ibukota Kabupaten Nias Selatan). Kabupaten Nias Selatan mempunyai luas wilayah 1.825,2 km²,
dan
pembagian daerah administratif, wilayah ini terdiri dari 104 buah pulau. Kabupaten Nias Selatan terdiri dari delapan belas kecamatan dimana jumlah kelurahan ada 2 dan jumlah desa ada 354. Kabupaten Nias Selatan berada di bagian barat Propinsi Sumatera Utara. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Barat, sebelah Timur dengan Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Tapanuli Tengah, sebelah selatan dengan Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Kondisi alamnya/topografi berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tingginya di atas permukaan laut bervariasi antara 0 – 800 m, terdiri dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 24% dari tanah, dari tanah
37
bergelombang sampai berbukit-bukit 28,8% dan dari berbukit sampai pegunungan 51,2% dari keseluruhan luas dataran. (BPS Kabupaten Nias Selatan 2010). Untuk mencapai desa Bawömataluo memang dibutuhkan tenaga ekstra. Bukan apa-apa, desa ini secara demografi memiliki letak tertinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Nias. Perjalanan dapat ditempuh lewat udara dan mendarat di Bandara Udara Binaka, Gunung Sitoli atau dapat ditempuh dengan Kapal Laut dan berlabuh di Pelabuhan Angin Gunung Sitoli diteruskan lewat jalur darat bila dari Bandara Udara Binaka perjalanan lebih kurang 2,5 jam, dan bila dari pelabuhan perjalanan lebih kurang 3 jam menuju kota Teluk Dalam. Setelah itu perjalanan dilanjutkan menuju Desa Bawömataluo yang masuk ke dalam Kecamatan Fanayama dengan waktu tempuh selama lebih kurang setengah jam. Tipografi Nias yang berbukit dan berkelok, menjadi kenangan penulis sepanjang hayat. Ditambah pemandangan alam yang benar-benar alami, sehingga lengkaplah sebuah sajian penelitian dengan petualangan budaya. Desa Bawömataluo sendiri merupakan salah satu perkampungan tradisional tersebar di Nias. Lokasi desa yang tepat berada di atas bukit, memaksa penulis untuk menapaki 87 anak tangga yang memiliki kemiringan sekitar 45 derajat dan berada tepat di depan gerbang desa. Selepas manapaki anak tangga, langsung berada di pelataran desa (ewali). Dari sini, sejauh mata memandang terlihat pemukiman desa-desa lain yang ada di bawahnya seperti desa Orahili Fau dan desa Ono Hondrö. Tak hanya itu bentangan laut di kejauhan pun terlihat jelas. Suasana pedesaan beraroma tradisi, sangat kental terasa. Deretan rumahrumah adat masih tampak mendominasi. Di bagian tengah desa, terdapat Omo
38
Nifolasara/OmoSebua/Omo Hada (rumah adat besar) yang berusia dua abad lebih. Rumah adat ini dibangun keluarga bangsawan Laowö Fau dan hingga kini masih ditempati oleh keturunan yang ketujuh yakni oleh kakak beradik Mo’arota Fau dan Buala Fau. Selain itu terdapat Bale (balai pertemuan desa), berlokasi di seberang sebelah kanan dari Omo Nifolasara. Balai pertemuan ini rutin digunakan untuk menggelar pertemuan untuk melaksanakan musyawarah atau rapat desa. Tepat di balai pertemuan ini, terdapat lokasi untuk melakukan atraksi Hombo Batu (lompat batu) yang menjadi salah satu ikon pariwisata Nias. Penduduk di sini cukup ramah, terdapat sekitar 800 kepala keluarga yang bermukim di desa ini. Sapaan khas masyarakat Nias, Ya’ahowu yang penulis ucapkan, langsung disambut dengan ucapan yang sama. Desa Bawömataluo merupakan salah satu desa yang paling sering dikunjungi para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Dan jangan heran jika sejumlah anak akan berhamburan menghampiri kita, mereka menawarkan berbagai cendramata, seperti: gelang dan kalung manik-manik, ukiran patung kayu dan atraksi lompat batu, serta benda-benda aksesoris lainnya. Menurut Hikayat Manaö, salah seorang informan kunci penulis dimana beliau adalah juga tokoh masyarakat Bawömataluo, pemimpin Sanggar Seni Budaya Baluseda, mengatakan Bawömataluo berasal dari dua suku kata, yakni Bawö yang berarti di atas/bukit dan Mataluo yang berarti Matahari. Jadi, Bawömataluo bisa diartikan sebagai Bukit Matahari. Secara geografis, letak desa ini memang berada di atas perbukitan. Karena itulah, ada anggapan ‘jika matahari
39
terbit dan terbenam terlebih dahulu di desa ini, dibandingkan dengan desa-desa lainnya di Nias’. Belum banyaknya masyarakat desa ini tersentuh dengan hal-hal yang berbau modern juga terlihat dalam hal pengobatan. Masyarakat masih lebih memilih berobat kepada Ere (dukun), dibandingkan ke puskesmas. Selain karena faktor biaya dan lokasi puskesmas yang jauh dari desa, mereka juga masih percaya ada penyakit-penyakit tertentu yang tidak bisa ditangani secara medis, dan hanya manjur diobati oleh Ere. Dengan resep tradisional dan doa-doa sesuai kepercayaan yang dianut Ere, maka penyakit nyang diderita anggota masyarakat pun bisa disembuhkan. “Ada penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan saat mereka ke dokter, tetapi justru sembuh di tangan Ere. Contohnya, saat ada warga yang terserang muntah darah. Saat dibawa ke dokter, penyakit tersebut tidak bisa ditangani. Tapi saat diberi ramuan tradisional dan dibacakan doa-doa oleh Ere, penyakit itu dapat sembuh. Makanya, tidak sedikit warga yang lebih memilih berobat ke Ere, jika dibandingkan ke puskesmas”, jelas Hikayat Manaö sebagai kerabat dari salah seorang Ere di Desa Bawömataluo. Selain gotong royong, di desa ini dikenal sangat menjunjung tinggi adat kesopanan. Jangan pernah kita pamer kemesraan, apalagi dengan pacar, jika datang ke desa ini. Apalagi sambil berpelukan atau menunjukkan perbuatan yang menyimpang. Jika mendapati kondisi seperti ini, tak peduli turis asing maupun wisatawan lokal, maka tetua adat atau tokoh masyarakat akan langsung menegur secara halus. Hal ini dilakukan, agar desa tidak tercemar oleh perilaku tak terpuji. Khususnya, menghindarkan kaum muda di desa dari pengaruh buruk. Larangan
40
ini menjadi kesepakatan para tetua adat, sehingga menjadi aturan yang berlaku secara umum di desa Bawömataluo. Begitulah Nias. Segala jelujur tradisinya masih sangat terjaga. Mereka seolah tak pernah lupa bahwa hidup di zaman ini, merupakan perpanjangan tangan dari kehidupan di zaman masa lalu. Dan, segala keelokan di masa lalu, bukan berarti kuno di masa sekarang. Sebuah pemahaman yang patut ditiru oleh desadesa lain di penjuru negeri ini. Dalam artian, modernisasi bukanlah segalagalanya, tapi melestarikan tradisi adalah keharusan. Dan, inilah titik balik bagi Nias untuk maju dan tetap melestarikan aset leluhur.
1.6.3 Informan Kunci (Key Informan) Sebelum melakukan kerja wawancara, tentunya penulis mencari beberapa orang yang kompeten dalam memberikan informasi seputar kajian penulis, sehingga akhirnya penulis dapat memilih dan menetapkan informan kunci (key informan) disamping beberapa informan pendukung lainnya. Dalam penelitian ini penulis menetapkan Hikayat Manaö (Ama Gibson) sebagai informan kunci (key informan) penulis.
Sekilas Tentang Hikayat Manaö (Ama Gibson) Hikayat Manaö (Ama Gibson) adalah salah seorang tokoh masyarakat Bawömataluo yang juga pemimpin Sanggar Seni Budaya Baluseda di
41
Bawömataluo, salah seorang penutur hoho sekaligus sebagai ‘Panglima Perang atau Panglima Tari Perang’ alias Kafalo Zaluaya. Usia Hikayat Manaö menginjak 53 tahun, namun pria dengan sorot mata tajam ini, tetap terlihat gagah. Sesekali ia tersenyum, apalagi saat bercerita tentang masa mudanya. Di mana Hikayat Manaö pernah ditahbiskan sebagai pelompat batu terbaik di era delapanpuluhan. Seiring berjalannya waktu, si pelompat batu ini tetap berada di jalur impiannya yakni melestarikan tradisi budaya Nias khususnya di Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. Tepatnya sejak beberapa tahun lalu, pria beranak empat yang akrab disapa Ama Gibson ini, mengemban
amanah
penting
yakni
sebagai
‘Panglima
Perang’
Desa
Bawömataluo. Tentunya tugas ini tidaklah mudah, sebab begitu banyak aturan dan takaran sosial yang harus dipenuhi, sebelum akhirnya Hikayat dipercaya sebagai pengemban
tugas
sebagai
‘Panglima
Perang’.
Namun
jangan
pernah
membayangkan, sang panglima menghunus pedang dan membunuh lawan yang menyerang kampungnya, bukan demikian. Sekarang ini, tak ada lagi peperangan di Nias, Hikayat adalah Panglima Tari Perang alias Kafalo Zaluaya. “Sekarang ini memang bukan lagi zamannya perang antar kelompok seperti zaman dulu. Kedudukan panglima perang yang saya sandang bukan lagi sebagai pemimpin dalam peperangan sesungguhnya, tetapi sebagai pimpinan atau panglima perang alias Kafalo Zaluaya dalam pertunjukan Tari Perang, ujar Hikayat Manaö. Jika dirunut ke belakang, Hikayat memang berasal dari keluarga yang juga memegang tampuk pimpinan Tari Faluaya. Beliau adalah generasi ketiga,
42
sebelumnya sang ayahanda tercinta serta pamannya pernah menduduki posisi ini. Namun demikian alur ini tak membuat Hikayat dengan mudah menggantikan posisi para pendahulunya tersebut. Berbagai proses pun ia lalui, termasuk menunggu keputusan bersama para tetua adat dan kaum bangsawan di sana. Tepat pada tahun 1992, Hikayat akhirnya dinobatkan sebagai ‘Kafalo Zaluaya’. Pilihan para tetua adat dan kaum bangsawan ini, tidak mengacu pada pola sejarah keluarga, melainkan pada aura dan karisma yang dimiliki Hikayat. Artinya, tingkah laku dan tindak tanduk Hikayat dalam menggeluti hidup bersama warga desa jadi poin penting. “Kalau dia tidak memiliki karisma itu, ya tidak mungkin akan terpilih,” tegasnya. Karisma menjadi syarat mutlak. Sebagai panglima Tari Faluaya, Hikayat harus bertindak selaku ‘panglima’ dan menjadi sosok panutan masyarakat khususnya di lingkungan Desa Bawömataluo. Selain itu, sang panglima harus bisa menjadi mediator dan seorang eksekutor yang baik, terkait dengan permasalahan yang ada dilingkungannya, di antaranya soal pengembangan seni budaya, mempertahankan adat istiadat, juga mengatasi gesekan sosial antara warga. Tanpa karisma, jangan harap apa yang dikatakan orang tersebut bakal didengar atau dilaksanakan masyarakat. Dan, Hikayat telah membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi seorang panglima yang mumpuni, dalam artian sebagai panglima Tari Faluaya juga panglima dalam kehidupan bermasyarakat. Beruntunglah Hikayat, karena para tetua adat senantiasa mendukung apa yang ia lakukan. Bayangkan saja, terdapat sekitar ± 245 tetua adat yang terdiri
43
dari Si’ulu (60 orang) dan Si’ila (185 orang)11 yang bisa saja tidak sejalan dengannya, namun semua itu tidak terjadi. Apalagi segala langkah dan tindakan Hikayat memang berdasarkan tugas sekaligus bermanfaat untuk masyarakat. “Saya ini belum ada apa-apanya dalam pengalaman hidup dibandingkan para tetua adat. Tapi, mereka menyokong sepenuhnya apa yang saya lakukan dalam banyak hal. Ini jelas membuat tugas saya menjadi lebih ringan sebagai panglima, khususnya sebagai panglima di tengah masyarakat,” ungkap Hikayat.
1.6.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian keseluruhannya berupa data kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara pada saat berlangsung suatu upacara pengukuhan gelar bangsawan di lokasi penelitian. Data skunder merupakan dokumentasi berupa buku, jurnal, artikel, majalah, makalah penelitian dan rekaman musik yang masih relevan dengan topik penelitian ini. Berdasarkan sifat data, ada dua sifat data dalam penelitian ini, yaitu: data musikal (bunyi musik) dan data informasi (berupa kata-kata). Data musikal akan direkam dengan kamera video pada saat berlangsung kegiatan musik vokal dalam mengiringi satu upacara adat yakni pengukuhan gelar bangsawan.
11
Wawancara 5 Juli 2011 dengan Ariston Manaö (Kepala Desa Bawömataluo).
44
1.6.5 Instrumen Penelitian Berdasarkan karakteristiknya, metode penelitian kualitatif memposisikan peneliti sebagai instrumen utama (key instrument) dalam mengumpulkan data karena sebagian besar data yang dikumpulkan adalah berbentuk uraian atau deskripsi. Penggunaan alat-alat elektronis seperti:
Handphone Sony Erickson
W910i untuk merekam wawancara, kamera photo Kodak Easy Share C330 China MMC 1GB untuk pengambilan gambar, dan kamera video Sony Mini DV 25x DCR-HC48E Japan + Memory 1 GB untuk dokumentasi audio dan visual adalah sebagai alat bantu bagi peneliti dalam pengumpulan data lapangan. Penggunaan alat-alat bantu tersebut sangat tergantung pada kecermatan dan kemampuan peneliti guna mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya, hasil rekaman-rekaman tersebut masih harus penulis olah untuk disajikan sebagai bagian dari data penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian Hoho Faluaya ini, penulis merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data.
1.6.6 Tehnik Pengumpulan Data Penelitian Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang essensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium. Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh perilaku penyaji Hoho Faluaya, sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang di dapat
45
dari lapangan, menganalisa dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu observasi, wawancara, dan studi pustaka/dokumen.
1.6.6.1 Observasi Observasi atau pengamatan yang penulis lakukan adalah
secara
langsung, contoh seperti yang penulis lakukan yaitu melihat langsung pertunjukan Hoho Faluaya lengkap dalam penyajiannya yang khas dalam penyampaian syair (teks) dengan nyanyian (musik vokal), terekspresikan dalam gerak atau tarian perang. Tujuan observasi ini adalah untuk memperoleh informasi tentang prilaku masyarakat Nias seperti yang terjadi dalam kenyataannya. Dengan pengamatan ini penulis memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keterikatan masyarakat Nias terhadap Hoho Faluaya. Sesuai dengan jenis kerja pengamatan di atas, maka observasi yang selalu penulis gunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan pertunjukan seni tradisi ini adalah partisipasi pengamat sebagai partisipan (insider) yaitu sebagai anggota masyarakat yang ditelitinya walau harus tetap menjaga jarak. Menurut S. Nasution (1989:123) keuntungan cara ini adalah penyelidik merupakan bagian yang menyatu dari keadaan yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi keadaan itu dalam kewajarannya. Banyak tanggapan yang muncul di kalangan masyarakat Nias, masingmasing dari sudut pandangan pribadi mereka. Keseluruhan pandangan dan asumsi
46
yang telah disebutkan di atas merupakan bagian dari pendekatan emik yang merupakan salah satu unsur penting dalam penelitian yang bersifat kualitatif.
1.6.6.2 Wawancara Kerja
selanjutnya
seperti
yang
dikemukanan
Koentjaraningrat
(1991:162), beliau mengatakan bahwa wawancara dalam suatu penelitian bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendiriannya dalam suatu masyarakat, dan sekaligus merupakan bagian penting ketika melakukan observasi. Wawancara merupakan proses tanya jawab antara peneliti dengan informan tentang satu masalah yang diteliti. Selain itu, wawancara juga sangat mendukung guna melengkapi data yang diperoleh dari pengamatan, maupun dari data pustaka yang ada. Wawancara juga berguna untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui pengamatan tersebut (seperti tentang estetika). Dalam kaitan ini yang
konsep-konsep etnosainsnya
dilakukan adalah wawancara yang
sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu (Koentjaraningrat 1980:139).
S.
Nasution membagi jenis wawancara
Berdasarkan
fungsinya: (a) diagnostik, (b) terapeutik
Berdasarkan
jumlah
respondennya:
(a)
individual,
sebagai
berikut.
dan (c) penelitian. dan
(b)
Berdasarkan lamanya wawancara: (a) singkat dan (b) panjang.
kelompok. Berdasarkan
47
penanya dan responden: (a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non-direktif atau client centered dan (b) tertutup, berstruktur (S. Nasution 1989:135). Melalui wawancara yang dilakukan dengan Hikayat Manaö sebagai informan kunci (key informan), maka dapat diperoleh tentang makna teks dan struktur musik pada Hoho Faluaya. Selanjutnya wawancara dilakukan dengan beberapa tokoh masyarakat dan seniman tradisional Nias lainnya guna mendapatkan data yang menyeluruh, baik tentang makna teks dan struktur musik pada Hoho Faluaya sebagai kesenian tradisional Nias, maupun kebudayaan musik Nias pada umumnya.
1.6.6.3 Dokumen dan Studi Pustaka Pertama akan ditelusuri data skunder yang terkait dengan masalah tradisi musik lisan di Indonesia. Penelusuran tentang kondisi dan perkembangan kesenian tradisional di Indonesia dilacak melalui buku, jurnal, surat kabar, dan media elektronik seperti internet. Data-data kependudukan didapatkan
melalui sumber pemerintah,
khususnya daerah kabupaten Nias Selatan. Berikutnya, data-data tentang sosial budaya masyarakat Nias dapat diperoleh melalui buku-buku, dokumentasi seminar, jurnal yang terbit dalam lingkup kebudayaan daerah Nias. Seluruh data tersebut merupakan data skunder yang diperoleh sebelum dan selama berada di lapangan mengadakan penelitian.
48
1.6.7 Analisis Data Penelusuran tentang kondisi dan perkembangan kesenian tradisional di Indonesia dilacak melalui buku, jurnal, surat kabar, dan media elektronik seperti internet. Data-data kependudukan didapatkan
melalui sumber pemerintah,
khususnya daerah Nias Selatan. Berikutnya, data-data tentang sosial budaya masyarakat Nias Selatan dapat diperoleh melalui buku-buku, dokumentasi seminar, jurnal yang terbit dalam lingkup kebudayaan daerah Nias Selatan. Seluruh data tersebut merupakan data skunder yang diperoleh sebelum dan selama berada di lapangan mengadakan penelitian. Data yang terkumpul seluruhnya merupakan data yang bersifat kualitatif yakni data yang menunjukkan kualitas atau mutu dari suatu keadaan, proses, atau peristiwa musik yang dinyatakan dalam bentuk perkataan maupun rekaman musik. Setelah semua data dan informasi diperoleh dari lapangan, selanjutnya dihimpun dan diolah di laboratorium (analisis data) untuk dijadikan bahan penulisan. Sedangkan data musik yang telah direkam akan ditranskripsikan dalam bentuk notasi, dan menganalisanya sesuai dengan kebutuhan tulisan ini. Berkaitan dengan data yang bersifat kualitatif, Hadari Nawawi (1992:68) mengatakan bahwa: “Dalam keadaan data kualitatif mengandalkan proses berpikir dalam melakukan interpretasi dan mengambil keputusan yang dibatasi oleh kualitas kemampuan berpikir secara perseorangan, jangkauan hasil penelitian akan sangat bervariasi kedalaman dan kekuatannya. Data yang sama mungkin ditafsirkan secara berbeda karena sudut pandang dalam proses berpikir berbeda. Dengan kata lain hasil penelitian menjadi subjektif Atas dasar hal tersebut di atas maka untuk
49
memperoleh seluruh data informasi (observasi, wawancara dan dokumentasi) senantiasa dilakukan berdasarkan konsep-konsep kerangka pikir dan teori yang telah ditetapkan sebelumnya. Data-data yang telah diorganisasikan selanjutnya dianalisis. Menurut Muhadjir (2002: 142) analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan data dokumen lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya bagi orang lain. Data yang berhasil dikumpulkan akan dikategorikan berdasarkan pokok dan sub pokok masalahnya. Setiap sumber data akan diseleksi dan dibandingkan antara satu dengan lainnya agar diperoleh data yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena data tersebutlah nantinya digunakan sebagai laporan akhir penelitian ini. Seluruh data yang telah diseleksi dan dikategorisasi tersebut akhirnya dinterpretasikan secara kronologis dan eksplanatif berdasarkan paradigma bentuk, fungsi dan makna sesuai dengan teori-teori yang terkait.
1.6.8 Penyajian Hasil Analisis Data Sebagaimana umumnya penelitian tentang
sosial
budaya
maka
sebahagian besar data yang dikumpulkan adalah berbentuk kata-kata, narasi, teks dan pola tingkah laku manusia yang diwujudkan dalam bentuk deskripsi tulisan. Setiap data yang dikumpulkan harus dipilah-pilah berdasarkan tujuan penelitian dan sekaligus tetap mengacu pada kerangka konsep dan teori yang digunakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses analisis data sebenarnya telah
50
berlangsung secara bersamaan ketika melakukan pengumpulan data karena data yang ada pada suatu hasil pengamatan maupun wawancara sangat beragam dan banyak. Setelah selesai pengumpulan data maka langkah selanjutnya adalah kegiatan reduksi data, yaitu kegiatan memilih, mengkategorisasi dan menyortir seluruh data yang terkumpul guna memfokuskan perhatian untuk penyajian hasil analisis data.
1.7 Kerangka Penyajian Untuk memudahkan organisasi penulisan, penulis menyajikan tulisan ini dalam tujuh bab. Setiap bab merupakan satu kesatuan pokok pikiran yang utuh dan berhubungan erat.
Adapun pembahagian bab itu adalah seperti yang
diuraikan berikut ini. (1)
Bagian "Pengantar" mengawali dan menempati Bab I. Urutan
isinya: latar belakang, fokus masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, konsep dan teori, serta cara penelitian yang meliputi: metode penelitian, rancangan penelitian, lokasi dan perjalanan penelitian, informan kunci, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data; diakhiri dengan kerangka penyajian secara keseluruhan. (2)
Bab II "Gambaran Umum Budaya Masyarakat Nias " disajikan
identitas penduduk, mitologi, penelitian arkeologi, pola menetap, sistem mata
51
pencaharian hidup, sistem kekerabatan, sistem kemasyarakatan, agama dan religi, serta bahasa dan kesenian Masyarakat Nias. (3)
Bab III "Tradisi Lisan Hoho Dalam Masyarakat Nias" Dalam bab
ini di jelaskan jenis-jenis hoho yang sudah mengambil bagian dalam kehidupan budaya masyarakat Nias berikut contohnya dari wilayah Nias bagian utara, tengah, barat dan selatan. (4)
Bab IV "Fungsi Penyajian Hoho Faluaya Sebagai Tradisi Musik
Lisan" menjelaskan fungsi musik dari Hoho Faluaya dengan pendekatan gabungan beberapa teori fungsi. (5)
Bab V "Analisis teks Hoho Faluaya " mengartikan teks Hoho
Faluaya yang terbagi dalam analisis 2 bentuk seruan persetujuan (Hugö dan Hivfagö) dan 3 jenis hoho yakni, Hoho Fu’alö, Hoho Fadöli Hia, dan Hoho Siöligö dan menginterpretasi hasil abduksi dan deduksi dalam menemukan makna konotatif penyajian hoho tersebut. (6)
Bab VI "Analisis Struktur Musik Hoho Faluaya " dikemukakan
bentuk proses trasnkripsi dan notasi, analisis melodi yang terdiri dari tangga nada dan wilayah nada yang digunakan, interval, bentuk, kantur, makna frase melodi serta garapan nada awal dan akhir dari Hoho Faluaya yang disajikan oleh kelompok yang dipimpin Hikayat Manaö (Ama Gibson). (7)
Bab VII "Kesimpulan" sebagai bab penutup, dikemukakan
kesimpulan hasil penelitian dan saran.
52
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT NIAS
2.1 Identifikasi Penduduk Nias adalah salah satu nama suku bangsa yang mendiami Kepulauan Nias di wilayah Provinsi Sumatra Utara. Dalam buku Sumatra, It’s History and People (1935), nama asli dari kepulauan ini adalah Tanö Niha (tanah manusia) dan penduduknya disebut Ono Niha (anak manusia). Semenjak Belanda memasuki wilayah Kepulauan Nias pada tahun 1825, perkataan niha dikonversi menjadi Nias. Sejak saat itu, nama Tanö Niha disebut Pulau Nias dan Ono Niha diganti menjadi orang Nias. Walupun demikian, hingga kini kata Tanö Niha dan Ono Niha masih tetap digunakan oleh orang Nias. Kata Nias hanya dipergunakan untuk situasi formal, seperti, administrasi pemerintahan dan ketika mereka memperkenalkan diri kepada etnis lain baik Nias maupun di luar Pulau Nias. Dalam keseharian, mereka tetap mempergunakan kata niha (Tanö Niha atau Ono Niha). Dalam penulisan tulisan ini, penulis mempergunakan nama resmi dalam tata pemerintahan Indonesia yaitu Nias. Penduduk dari pulau Nias, yang merupakan pulau terbesar dari seluruh deret, kurang sekali terpengaruh oleh kebudayaan Hindu maupun Islam. Berlandaskan kepada suatu kebudayaan Megalithik, yang rupa-rupa-nya telah mereka
bawa dari benua
Asia pada
jaman perunggu,
mereka telah
mengembangkan suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan megalithic yang
53
bukan berdasarkan alat pengurbanan kerbau melainkan babi. Lama sebelum kedatangan orang Belanda pada tahun 1669, orang Nias sudah banyak berhubungan dengan orang-orang Aceh, Cina, Melayu dan Bugis, yang datang ke sana untuk berdagang, tetapi berbeda dengan penduduk pulau Simalur, mereka kurang terpengarunh oleh agama Islam.
Agama
yang paling
banyak
mempengaruhi mereka adalah Kristen Protestan yang masuk disana sejak tahun 1865 mulai dari Gunung Sitoli, sedangkan agama Kristen Katolik datang kemudian dari bagian Selatan. Sebelum terjadi pemekaran wilayah, Kepulauan Nias hanya ada satu Kabupaten bagian dari Propinsi Sumatera Utara. Namun, setelah terjadi pemekaran wilayah mulai tahun 2003 dan dilanjutkan pada tahun 2008, kini Kabupaten Nias sudah menjadi empat wilayah Kabupaten dan satu Kota, yakni wilayah Kabupaten Nias Selatan (dimekarkan 25 Pebruari 2003) dan dilanjutkan pada 29 Oktober 2008 pemekaran serempak kepada Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli. Jumlah penduduk yang mendiami keempat kabupaten ini kira-kira 700 ribu jiwa. Dari 700 ribu jiwa ini. Etnis Nias sekitar 96%, selebihnya etnis Batak, Aceh, Minangkabau, Jawa, Sunda, Cina, dan lain-lain (periksa BPS Nias empat Kabupaten dan satu Kota, 2010). Di Nias, selama bertahun-tahun misi agama Protestan (yang memulai kegiatannya di Nias pada tahun 1865) secara umum telah menentang diadakannya musik dan tarian tradisional, tetapi akhirnya menyempitkan larangannya agar berlaku hanya dalam konteks-konteks tertentu saja. Di Nias Tengah, dan terutama
54
di Nias Selatan kebijaksanaan tersebut telah memungkinkan kelangsungan hidup (dengan repertoar yang sudah dibersihkan) pada jenis musik koor yang begitu menarik, yaitu hoho. Pembicaraan
mengenai
“kelangsungan
hidup”
bukanlah
dalam
pengertian bahwa musik yang dipertunjukkan sekarang di Nias Selatan atau di dataran tinggi Toba dan Karo persis sama dengan sebelum terjadinya kontak dengan Eropa. Sebab kecenderungan dalam hal stilistik mungkin saja sudah berubah. Selama berabad-abad lamanya pulau tersebut dikenal dengan citra buruknya, berkenaan dengan adanya kebiasaan perang antar desa dan budak rampasan, yang baru dapat dihilangkan secara efektif oleh Belanda pada tahun 1914. Nias juga terkenal karena masih tetap mempertahankan unsur-unsur kebudayaan megalitik hingga abad keduapuluh ini. Tangga batu, jalan-jalan batu, dan benteng pertahanan batu yang mengagumkan, masih dapat dilihat di desadesa tua. Demikian juga dengan bangku-bangku dari batu dan patung batu lainnya. Yang didirikan sebagai bagian dari “upacara-upacara kebesaran”, demi menambah kewibawaan bagi tokoh-tokoh masyarakat atau bagi leluhur mereka. Masyarakat Nias secara umum memiliki sistem kebudayaan yang sama di seluruh Kepulauan Nias. Meskipun demikian, terdapat varian yang setidaknya dapat dibedakan menjadi dua wilayah budaya. Wilayah budaya bagian utara meliputi Lahewa, Tuhemberua, Afulu, Alasa, Lotu, Namohalu, Gunungsitoli, Hiliduho, Gido, Idanogawo, Bawolato, Lolofitu Moi, Mandrehe, Sirombu, Lolowau, Lolomatua. Kemudian wilayah bagian selatan yang meliputi Lahusa,
55
Gomo, Amandraya, Teluk Dalam dan Kepulauan Batu. Wilayah bagian selatan ini masih dapat dibagi lagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah budaya Teluk Dalam dan Kepulauan Batu serta wilayah budaya Amandraya, Gomo dan Lahusa. Wilayah yang terakhir disebut ini sebenarnya lebih dekat dengan wilayah bagian utara. Konon, sistem budaya yang saat ini dikenal di bagian utara bersumber dari wilayah ini, terutama dari Kecamatan Gomo. Secara umum masyarakat Nias dianggap berasal dari sekelompok keturunan suku birma dan assam, tapi berbeda dengan asal usul orang batak. Ada banyak teori tentang asal usul suku nias dan belum ada yang dapat memastikan karna mereka aslinya berasal dari lebih dari satu grup etnik. Perpaduan itu akan menjadi sangat bagus karena gabungan dari beberapa grup etnik. Ferrad (keturunan perancis) melaporkan bahwa seorang pelancong dari Arab yang bernama sulaiman menyebutkan banyak perbedaan suku-suku di tahun 851 SM. Penggalian di gua Togi Ndrawa (menurut penelitian yang baru dilakukan di Heilberg, Jerman), atau gua Pelita menunjukkan bahwa masyarakat sudah tinggal disana sejak 7000 tahun yang lalu. Banyak tulisan yang juga mendukung teori tersebut. Contohnya: banyak masyarakat tinggal di pohon-pohon yang dipanggil Bela dan masyarakat tinggal ditebing yang dipanggil Nadaoya, menurut kepercayaan masyarakat Nias, dua suku diatas tersebut adalah sejenis roh-roh, roh terakhir yang jahat.
56
Di daerah Hinako dan di pulau-pulau Wesi Selatan telah ada selama 17 18 generasi yang lalu. Mereka disebut suku Maru yaitu suku asli orang bugis di Nias. Para missionaris menyatakan bahwa bahasa mereka telah hilang kira-kira 100 tahun yang lalu. Orang Aceh datang ke Nias kira-kira 13-14 generasi yang lalu. Mereka selalu berhubungan satu sama lain sebagai polem di Nias. Ketika orang Aceh pertama kali masuk ke desa Foa dengan menyeberangi sungai, masyarakat Nias memotong pohon besar dan menutup jalan keluar. Salah satu tujuan masyarakat Nias adalah untuk mempelajari tenaga-tenaga gaib dan cara berperang dari orang Aceh. Orang Aceh menguasai daerah itu. Ada 3 bentuk cara berperang di Nias, yaitu: Simataha dari Aceh, Starla dari sumbar, dan Trapedo yang merupakan gabungan dari keduanya. Bangsa Belanda melakukan ekspedisi pertama kalinya di Nias tahun 1855, kemudian pada tahun 1863.
Nias telah dikuasai Belanda tahun 1914.
Pulau paling terkenal rentang sebelah barat
Sumatera mungkin Nias. Itu
setidaknya yang terbesar dan paling padat penduduknya. Pada masa VOC, pulau ini dikenal sebagai pengekspor budak ke Aceh, Padang dan Benkoelen. Dengan cara ini bangsawan dari Nias hirarkis meraih emas dibutuhkan untuk mahar dan pesta-pesta ritual. Nias adalah masyarakat pejuang yang tidak hanya diperbudak orang, mereka juga pergi berburu kepala, misalnya untuk upacara pemakaman seorang bangsawan. Pemerintah kolonial berusaha untuk mengakhiri ini (P. Boomgaard, 2001). Sekelompok pemburu kepala tenang, Nias "kelompok pemburu datang untuk menyerahkan diri mereka sendiri".
57
Nias menjadi sumber penjualan budak-budak, sehingga masyarakat Nias disebut “Laku Niha” yang artinya manusia yang diminta. Banyak para pedagang ke Gunungsitoli yang terdiri dari 3 suku asli yang berasal dari masyarakat menengah. Orang Aceh, Sumbar, China dan Eropa membawa budak-budak dari Nias. Didaerah lain banyak budak-budak yang diambil dari suatu daerah, khususnya dibagian utara. Desa-desa di selatan lebih melindungi masyarakatnya dan lebih susah untuk dijangkau. Pemerintah kolonial Belanda mendukung perdagangan budak itu. Pemerintah Belanda menuliskan disebuah buku bahwa penduduk Nias Utara telah menjadi sedikit akibat dari perdagangan budak. Budak-budak dari Nias dikirim ke banyak tempat, contohnya mereka dijual ke Padang (Sumbar) karena untuk melunasi hutang-hutang. Mereka harus bekerja keras untuk beberapa tahun, yang biasanya sebagai pelayan sekarang, ada dibeberapa desa yang masyarakatnya berasal dari Nias di Sumbar. Budak-budak Nias juga dikirim ke Penang, Malaysia.
Para Missionaris Khatolik yang tiba di Nias melaporkan
bahwa orang-orang China membawa budak-budak Nias dengan kapal pada tahun 1820. Budak-budak ini menjadi Kristen karena diberi kebebasan di Penang. Lyman, seorang missionaris dari Amerika menyatakan bahwa sebuah kapal Perancis membawa sebanyak 500 orang budak-budak di tahun 1832.
58
2.2 Mitologi Menurut masyarakat Nias, dalam sebuah mitos, orang Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a yang terletak disebuah tempat yang bernama Tetehöli Ana’a. Mitologi Nias ini terdapat dalam hoho12. Dalam hoho diceritakan bahwa alam semesta beserta segala isinya adalah ciptaan Lowalangi13 (pencipta) dari beberapa warna udara yang ia aduk dengan tongkat yang bernama sihai14. Dewa pencipta terlebih dahulu menciptakan pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a. Pohon ini berbuah dua butir buah yang segera dierami oleh seekor laba-laba emas. Kemudian lahirlah sepasang dewa pertama, yang dinamakan Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a berjenis kelamin lakilaki dan Burutiroangi Burutiraoana’a berjenis kelamin perempuan. Keturunan mereka inilah yang kemudia dikenal sebagai dewa Sirao Uwu Zihönö sebagai rajanya. Mitos asal usul masyarakat Nias pun, dimulai sejak zaman raja Sirao. Dewa ini memiliki tiga istri yang masing-masing beranak tiga putra. Di antara kesembilan putranya ini timbul pertengkaran yang sengit, yaitu mereka memperebutkan tahta Raja Sirao ayah mereka. Melihat situasi ini, Sirao mengadakan sayembara di antara putra-putranya. Intinya, siapapun yang mampu mencabut tombak (toho) yang telah dipancangkan di lapangan depan istana itulah yang berhak menggantikan-nya. Satu persatu putranya mulai dari yang tertua 12
Hoho adalah syair yang ditembangkan. Syair ini masih dinyanyikan dalam pestapesta adat, juga oleh mereka yang sudah beragama Nasrai, bdk: Prof. Dr. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 51. 13 Lowalangi adalah nama yang terlanjur dipopulerkan sebagai dewa pencipta/Allah oleh misionaris Kristen Denniger padahal dewa tertinggi dalam mitologi Nias adalah Sihai. 14 Sumber ini masih bisa diragukan karena Sihai adalah nama dewa maha pencipta mana mungkin dijadikan tongkat lowalangi.
59
datang mencoba mencabut tombak tersebut. Tapi tak satupun berhasil. Kemudian anak yang paling bungsu yang bernama Luo Mĕwöna15 (Lowalangi) datang mencabutnya dan akhirnya berhasil. Kakak-kakaknya yang kalah dalam sayembara tersebut diasingkan dari Tetehöli ana’a, dan dibuang ke bumi, tepatnya di pulau Nias. Dari kedelapan putra Sirao yang dibuang ke dunia (Pulau Nias) hanya empat orang yang dapat sampai di empat tempat di pulau Nias dengan selamat dan akhirnya menjadi leluhur orang Nias. Ke-empat orang lainnya mengalami kecelakaan. Baewadanö Hia karena terlalu berat, jatuh menembus bumi dan menjelma menjadi ular besar yang bernama Da’ö Zanaya Tanö Sisagörö16 (dialah yang menjadi alas/fondasi seluruh bumi). Jika dia bergerak sedikit saja, maka bumi akan bergoncang dan terjadilah gempa bumi. Agar dapat hidup, naga ini diberi makan oleh burung setiap hari. Yang lain jatuh ke dalam air dan menjadi hantu sungai, pujaan para nelayan. Dia sering disebut Hadroli17. Ada yang terbawa angin, dan akhirnya tersangkut di pohon dan menjelma menjadi hantu hutan, pujaan para pemburu. Makluk ini sering disebut ”Bela”18. Ada juga yang jatuh di daerah Laraga yang kondisi tanahnya penuh batu-batu (12 Km dari Gunung Sitoli) menjadi leluhur orang-orang berilmu kebal.
15
Lowalangi ini sebenarnya anak dari raja Sirao yang bungsu, dialah yang berhasil memenangi sayembara perebutan tahta ayah mereka. 16 Nama lainnya adalah Latura danõ 17 Makluk yang menghuni air, khususnya yang dalam dan angker, bisa membunuh orang. 18 Bela ini, seperti manusia, hanya saja seluruh tubuhnya putih seperti kapas, baik itu rambut dan sebagainya. Bela ini sebagai penguasa hutan dan pemilik seluruh binatang di hutan. Bila berburu harus berdoa dan minta kepada Bela yang empunya.
60
2.3 Penelitian Arkeologi Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
2.4 Pola Menetap Orang Nias mendiami kabupaten Nias yang terdiri dari satu pulau besar utama dan beberapa pulau-pulau kecil yang berada di sekitarnya seperti pulau Hinako di Barat, pulau-pulau Senau dan Lafau di Utara, Pulau Batu di Selatan dan lain-lain. Pulau Utama tersebut dikelilingi oleh lautan yang besar gelombangnya, terutama di sebelah baratnya. Pedalaman pulau tersebut adalah penuh dengan bukit yang tertutup hutan sekunder. Di bagian Tengah agak ke Selatan ada juga gunung-gunung dengan Hili Lomatua sebagai yang tertinggi (886 m). Sungaisungai yang pada umumnya dalam keadaan dangkal, tidak penting bagi perhubungan lalu lintas. Satu-satunya perhubungan di sebagian besar pulau Nias pada masa ini, adalah jalan setapak yang sempit berlumpur dan sangat licin pada
61
musim hujan. Jalan - jalan serta jembatan-jembatan yang pernah ada pada zaman Belanda, baru sebagian kecil yang sudah diperbaiki. Banua-banua (desa-desa) Nias di pedalaman sukar dihampiri karena desa-desa tersebut, untuk pertahanan dalam masa lampau, selalu didirikan di puncak-puncak bukit-bukit atau gunung-gunung. Satu banua terrdiri dari beberapa kampung dan dari dua puluh sampai dua ratus rumah-rumah yang masing-masing biasanya didiami oleh suatu keluarga-luas virilokal, terdiri dari suatu keluarga batin senior ditambah dengan keluarga-keluarga batih dari putra-putranya. Bentuk denah desa di Nias, terutama di bagian Tengah dan Selatan berbentuk seperti huruf U, dengan rumah Tuhenöri (Kepala Negeri) atau Salawa (Kepala Desa) sebagai pusat di ujung, menghadapi suatu lapangan yang dilandasi dengan batu-batu pipih. Di kedua sisi dari lapangan ada dua deret rumah-rumah penduduk. Di Nias bagian Utara, Timur dan Barat bentuk denah desa tidak menunjukkan huruf U, tetapi dua garis parallel. Bentuk rumah (omo) di Nias ada dua macam, yaitu rumah adat (omo hada) dan rumah biasa (omo pasisir). Bentuk yang pertama adalah bentuk asli Nias, sedangkan yang kedua berasal dari luar. Bentuk yang pertama pada masa ini adalah tempat kediaman Tuhenöri, Salawa dan para bangsawan, sedangkan bentuk kedua adalah tempat kediaman rakyat jelata. Rumah-rumah tersebut banyak terbuat dari kayu, nibung dengan alas dari daun rumbia. Bentuk rumah tradisional lebih megah dari rumah biasa yang hamper menyerupai rumah warung di Jawa. Rumah adat Nias mempunyai dua macam bentuk, satu yang berdenah bulat telur dan yang lain berdenah segi empat panjang. Bentuk pertama terdapat di
62
Nias bagian Utara, Timur dan Barat, sedangkan bentuk kedua di Nias bagian Tengah dan Selatan. Seperti halnya dengan rumah biasa, rumah adat adalah juga rumah panggung di atas tiang tetapi lebih besar dan lebih tinggi. Tiap ruang dalam rumah adat dibagi ke dalam dua bagian, yang depan dipergunakan untuk menerima tamu menginap dan yang belakang untuk keluarga yang empunya rumah. (Schroder, 1917:104-129). Di depan rumah tradisionil pada umumnya terdapat bagunan-bangunan megalithic seperti tugu batu (menhir) yang disebut saita gari (Nias Selatan), atau behu (Nias Tenggara) dan gowe zalava (Nias Utara, Timur dan Barat). Tugu batu tersebut berbentuk seorang laki-laki dengan alat kelamin yang sangat besar. Selain itu ada juga di depan rumah tempat duduk dari batu yang disebut daro-daro atau harefa. Bangunan-bangunan tersebut pada jaman dahulu didirikan untuk membuktikan bahwa yang empunya rumah pernah mengadakan pesta adat mewah untuk menaiki tangga pelapisan masyarakat. Di lapangan beberapa desa di Nias Selatan, pada masa ini masih dapat dilihat batubatu untuk latihan lompat tinggi (hombo batu). Pada masa dahulu ilmu lompat tinggi penting untuk melompati pagar pertahanan musuh, sekarang hombo batu sudah tidak ada bekasnya lagi di Nias bagian lainnya. Rumah adat dan bendabenda Megalithik megah yang terawat baik sekarang masih ada di desa-desa Bawömataluo dan Hilisimaetanö.
63
2.5 Sistem Mata Pencaharian Hidup Koentjaraningrat, (1995: 44) menjelaskan, mata pencaharian hidup orang Nias, kecuali yang tinggal di daerah pantai adalah pada umumnya bercocok tanam, sedangkan di daerah pantai mereka umumnya berkebun kelapa. Ada bercocok tanam di ladang (sabé’é) tetapi ada pula yang bercocok tanam di sawah (laza). Alat yang dipergunakan dalam kedua sistem masih sangat sederhana. Pada peladangan hanya dipergunakan fato (kapak besi) serta béléwa (parang besi) untuk membuka hutan dan membabat semak-semak dan taru (tongkat tuggal) untuk menanam benih padi. Pada bercocok tanam di sawah hanya dipergunakan béléwa dan kadang-kadang juga foku (cangkul) untuk menggemburkan tanah. Bajak tidak pernah dipakai. Alat yang dipergunakan untuk menuai padi adalah balatu wamasi, sebuah pisau kecil yang bergagang seperti cincin untuk diselipkan pada jari si pemakainya, dan guti yaitu ani-ani. Namun alat-alat tadi tidak umum dipakai, karena orang Nias lebih senang memetik jurai padi dengan tangan saja tanpa alat. Saat mulai mengerjakan ladang dan sawah tidak sama, karena untuk yang pertama harus dibuka hutan dahulu. Demikian pekerjaan di ladang dimulai lebih dahulu pada bulan April, Mei atau Juni, pada akhir musim kemarau, sedangkan pekerjaan di sawah baru dimulai pada bulan Agustus dan September. Tanaman yang ditanam di ladang adalah padi digilir dengan palawija, seperti ubi kayu, ubi jalar, terong, kacang-kacangan, cabe, jagung, pisang dan lain-lain. Ladang yang sudah beberapa kali dipakai, maka sebelum tanahnya menjadi tandus sama sekali, ditanami dengan karet, kopi, durian, atau lain-lain pohon buahbuahan yang berjangka panjang. Karet sekarang malah menjadi bahan ekspor bagi
64
Nias. Ladang yang sudah mulai menjadi tandus juga dipakai untuk memelihara babi, setelah ditanami dengan ubi jalar untuk makanan babi. Adapun sawah yang ditanami padi, pematang-pematangnya juga dipergunakan untuk keladi. Mata pencaharian tambahan orang Nias adalah berburu, menangkap ikan di sungai, beternak dan pertukangan. Berburu terutama dilakukan setelah benih padi di ladangnya mulai bersemi dengan maksud melenyapkan binatang-binatang perusak ladangnnya dan sekaligus memperoleh sumber protein. Binatang yang diburu adalah sökha (babi hutan), laosi (kancil), boho (rusa), nago atau laoyo (kijang), sigolu (tenggiling), bogi (kalong), dan lain-lain. Cara memburu adalah dengan cara menggiring binatang-binatang tersebut dengan bantuan asu (anjing) ke u’ö (jala) yang dibentangkan di suatu sudut tertutup daun-daun, kemudian dibunuh dengan toho (tombak) atau béléwa. Alat-alat berburu lainnya adalah sukha (ranjau) dan bölödi (pelanting). Karena caranya berburu adalah beramairamai maka hasilnyapun harus dibagi-bagi. Di Nias bagian Barat di desa Sitölubanua misalnya, orang yang mendapat bagian terbesar ialah pemilik u’ö, yang disebut sahulu; kemudian selebihnya berturut-turut diberikan kepada orang yang menikam pertama kali, yang disebut siföföna, yang paling dahulu mengetahui bahwa ada binatang masuk perangkap, dan akhirnya semua orang yang turut dalam perburuan dan yang membantu menggotong hasil perburuan tersebut. Di desa sebagian dari daging buruan juga diberikan kepada Tuhenöri, Salawa, dan Sinenge (guru Injil desa) sebagai tanda hormat. Adapun ikan yang ditangkap adalah antara lain ikan mugu, semacam teri air tawar yang mempunyai kebiasaan berenang dalam kawanan secara beriring-iring beberapa meter
65
panjangnya, sehingga mudah ditangkap dengan buwu (tangguk) yang dipasang di bagian sungai yang menurun. Alat-alat penangkap ikan lainnya adalah fauru (pukat), gai (kail), dan diala (jala). Mengenai beternak: binatang peternakan yang terpenting adalah babi, yang seperti tersebut di atas dipiara di bagian-bagian dari ladang yang sudah mulai tandus, sesudah bagian ladang tadi ditutup dengan pagar dan ditanami dengan ubi jalar. Babi memang pernah untuk ekspor, walaupun ekspor babi Nias itu sekarang sudah amat mundur. Selain babi juga kambing dan sapi dipiara oleh orang Nias, sedangkan kerbau hanya ada di tempat dengan banyak penduduk orang beragama Islam. Hasil pertukangan orang Nias, mulai dahulukala sudah mencapai taraf yang tinggi. Orang Nias sudah mengenal kepandaian membuat benda-benda logam sejak zaman prehistori. Mereka pandai membuat, umpamanya séno, gari, dan télögu, yaitu berbagai jenis pedang dan pisau perang, yang ketajaman serta keindahan bentuknya tak kalah dengan Mandau orang Dayak. Adapun pengetahuan mengenai pengecoran perunggu pandai emas, seni pahat batu dan ukir kayu kini sudah hampir dilupakan oleh orang-orang Nias yang muda-muda.
2.6 Sistem Kekerabatan Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada. Marga Suku Nias: Suku Nias terdiri dari beberapa marga diantaranya: Amazihönö, Beha, Baene, Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, dan masih
66
banyak lagi. Fungsi marga adalah menunjukkan garis keturunan dan asal seseorang. Termasuk mengenal famili, sejauh mana garis keturunan dan tahu bisa atau tidak mereka menikah. Daftar marga Nias (menurut abjad) A:
Amazihönö
B:
Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwao, Bawo, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawolo, Bulu'aro, Bago
D:
Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawolo, Dohare, Dohona, Duha
F:
Fau, Farasi,
G:
Gaho, Garamba, Gea, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae
H:
Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondro, Hulu, Humendru, Hura
L:
Lafau, Lahagu, Lahomi, La'ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawolo, Lo'i, Lombu
M:
Maduwu, Manaö, Mandrehe, Maruao, Maruhawa, Marulafau, Marundruri, Mendröfa, Mangaraja,Maruabaya
N:
Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe
S:
Saoiagö, Sarumaha, Sihura,
T:
Tafonaö, Telaumbanua, Talunohi
W:
Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalo, Warasi
Z:
Zagoto, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamili, Zendroto, Zebua, Zega, Zendratö, Ziliwu, Zoromi
67
2.7 Sistem Kemasyarakatan Dalam strata sosial atau pelapisan masyarakat di Nias khususnya wilayah bagian utara, tengah, dan barat mereka tidak mengenal strata sosial yang begitu ketat. Di wilayah ini setiap masyarakat memiliki kesempatan menjadi balugu (kelompok bangsawan) asalkan mampu mendirikan rumah adat, menjamu seluruh penduduk desa, dan membayar sejumlah uang adat. Masyarakat di wilayah ini lebih “demokratis”. (Sadieli, 2006). Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Berbeda dengan di Nias Selatan, konsep kenaikkan strata sosial ditata secara ketat. Di wilayah ini dikenal tiga strata masyarakat. Pertama, kelompok bangsawan yang dikenal dengan si’ulu atau balö ziu’lu. Status ini ditentukan oleh kekayaan dan bersifat turun temurun. Kedua, rakyat kebanyakan yang di sebut si’ila atau sato. Kelompok ini tidak memungkinkan menaikkan statusnya ke jenjang si’ulu. Ketiga, kelompok budak yang dikenal dengan sawuyu atau sondraha hare. Kelompok ini tidak memiliki hak dalam struktur adat istiadat. Pada umumnya kelompok ini menjadi pekerja di rumah atau di kebun para si’ulu atau balö zi’ulu. Ada satu lagi kelompok yang terkait dengan religius yang dikenal dengan ere. Kelompok ini bertugas memimpin upacara penyembahan sesuai dengan keahlian mereka.
68
Pada zaman dahulu masyarakat di Nias Selatan mengenal empat lapisan masyarakat, yakni: (1) si’ulu (bangsawan); (2) éré (pemuka agama pelebegu); (3) ono mbanua (rakyat biasa/jelata); (4) sawuyu (budak). Selanjutnya lapisan si’ulu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu balö ziulu (yang memerintah) dan si’ulu (bangsawan kebanyakan). Ono mbanua dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu si’ila (cerdik pandai dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat kebanyakan). Akhirnya sawuyu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu binu (orang yang menjadi budak karena kalah perang atau diculik), sondrara hare (orang yang menjadi budak karena tak dapat membayar hutang), dan halite (orang yang menjadi budak karena ditebus orang setelah dijatuhi hukuman mati). Dari semua golongan budak nasib binu adalah yang paling buruk, karena dari kalangannyalah yang dapat dipilih untuk dikurbankan pada upacara-upacara yang memerlukan kurban manusia. (Koentjaraningrat, 1995: 49). Lapisan-lapisan masyarakat bersifat exklusif, mobilitas hanya terjadi dalam lapisan yaitu antar golongansaja. Misalnya anggota dari golongan sato dapat menjadi anggota dari golongan si’ila, tetapi tidak dapat memasuki golongan si’ulu. Untuk menjadi anggota balö ziulu, dahulu seorang anggota si’ulu harus mengadakan upacara owasa yang terdiri dari beberapa tingkat, yang satu lebih mahal biaya pelaksanaannya daripada yang lain. Hal itu semuanya diakhiri dengan suatu expedisi pengayauan. Pada zaman dahulu yang dapat menjadi Tuhenöri atau salawa adalah orang-orang dari lapisan si’ulu, golongan balö ziulu. Pada masa sekarang masih demikian, karena merekalah yang umumnya sudah berpendidikan modern.
69
2.8 Agama dan Religi 2.8.1 Lani, Langi Tradisi lisan Nias sering berbicara tentang langit (lani, langi), tentang lapisan langit yang satu (lani si sara wenaita), ada juga langit yang berlapis sembilan (lani si siwa wenaita) dan tentang seorang leluhur yang bernama satu langit (lani sagörö) atau langit yang satu itu (lani sisagörö). Nama ini dulu sebenarnya bukan Lowalani melainkan Lawalani artinya yang ada di atas langit. Bahasa sehari-hari di Nias Selatan sampai sekarang tetap mempertahankan kebiasaan lama dan mengatakan lawa (atas) dan bukan seperti Nias Utara yang menyebutnya yawa (atas). Pemakaian istilah Lowalangi sebenarnya dipopulerkan oleh seorang misionaris Denniger pada tahun 1865. Ia memilih kata Lowalangi sebagai nama Allah bagi pengikut ajaran Kristen di Nias. Ada kemungkinan saat itu ia belum mengetahui sebutan tradisi Lawalani di Nias Selatan. Walaupun demikian istilah ini diterima juga oleh orang Nias Selatan yaitu yang berada di atas langit. Menurut versi Pastor Johannes M. Hammerle, orang Nias tidak mengharapkan firdaus dalam hidup yang akan datang, tidak pula suatu neraka. Baik hukuman maupun imbalan tidak mereka harapkan. Karena orang Nias percaya, bahwa semuanya akan berakhir. Maka orang Nias tidak takut akan sesuatu dan mengharapkan sesuatu. Hanya inilah yang merupakan imbalan atau hukuman bagi orang Nias. Mereka yang sudah meninggal dipandang terhormat dan terburuk. Selain itu mereka pasrah saja pada nasib mereka dengan hati
70
tenang19. Akan tetapi, versi ini diragukan kebenarannya karena pada kenyataanya orang Nias masih percaya pada arwah leluhur dan peranannya bagi kehidupan. Bisa dilihat dari patung-patung (Nadu) yang dianggap sebagai tempat roh leluhur bisa hadir. Selain itu, konsep tentang adanya dunia orang mati juga dipercaya yaitu Tetehõli ana’a. Bagi orang Nias, setelah meninggal semuanya akan punah. Manusia yang meninggal akan menjadi makanan cacing dan lalat yang besar (ö gulö-kulö, ö deteho) seperti dinyanyikan dalam Hoho yang tertinggal hanyalah ”Nama kebesaran” (töi sebua) dan ”kemuliaan” (lakhömi). Sasaran dari pesta-pesta besar (owasa fatome) yang dirayakan di Nias pada zaman dulu adalah untuk mendapat nama yang mulai (töi so-lakhömi).
2.8.2 Agama Asli Orang Nias “Pelebegu adalah nama agama asli diberikan oleh pendatang yang berarti ”penyembah ruh”. Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah molohĕ adu (penyembah adu). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan ruh leluhur20.” Meskipun tidak ada konsep kehidupan setelah kematian menurut versi Pastor Johannes M. Hammerle, tapi dalam kepercayaan ini terdapat praktik penyembahan roh-roh para leluhur (animisme). Para leluhur itu perlu dikenang, terutama atas jasa-jasa mereka (Nama Besar dan Kemuliaan). Kepercayaan ini termanisfestasi dalam bentuk adu. Orang Nias percaya bahwa patung-patung
19
Bandingkan: Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi, (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1999), hlm. 201. 20 Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 50
71
(adu) itu akan ditempati oleh roh-roh leluhur mereka, karena itu harus dirawat dengan baik. Menurut kepercayaan umat Pelebegu, tiap orang mempunyai dua macam tubuh, yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh halus terbagi dua, yaitu noso (nafas) dan lumömö-lumö (bayangan). ”Jika orang mati botonya kembali menjadi debu, nosonya kembali pada Lowalangi (Allah). Sedangkan lumölumönya berubah menjadi bekhu (roh gentayangan)”.21 Orang Nias percaya, selama belum ada upacara kematian, bekhu ini akan tetap berada di sekitar jenazahnya atau kuburannya. Agar bisa kembali ke Tetehöli ana’a (dunia roh), setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan dunia orang mati. Dalam perjalanan itu, semakin roh itu berjalan, jembatannya semakin mengecil bahkan sampai sekecil rambut. Hal itu akan dialami oleh roh-roh yang banyak melakukan kejahatan selama hidupnya. Akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Akan tetapi, bila selama hidupnya ia baik, jembatannya tidak menyempit sehingga perjalanan mulus dan sampai ke Tetehöli ana’a. Dalam paham agama asli ini, roh tersebut jika sudah sampai ke dunianya, akan melanjutkan kembali hidupnya seperti di dunia ini. Kalau dulu semasa hidup dia seorang raja maka di dunia seberang (Tetehöli ana’a) juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin di dunia seberang nanti. Dunia Tetehöli ana’a ini keadaanya ”terbalik”. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan
21
Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 50
72
barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. ”Pebedaan dunia sana dengan dunia sini hanya terletak pada keadaan ”terbalik”, yaitu jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimiat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik.” Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orangorang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
2.9. Bahasa dan Kesenian 2.9.1 Seruan Ya’ahowu (Kata Salam Etnis Nias) Ya’ahowu. Pdt. Dal. Zendratö, STh
dalam artikelnya Juni 2000,
mengatakan dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang
73
tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
2.9.2 Bahasa Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis darimana asal bahasa ini. Menurut Koentjaraningrat (1995), bahasa Nias juga termasuk rumpun bahasa Melayu – Polenesia, tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya sifatnya vokalis, yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun akhir kata. Kecuali itu bahasa Nias mempunyai huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu ö, yang hampir sama dengan ‘e’ pepet. Bahasa Nias mempunyai dua logat, yaitu logat-logat Nias Utara dan Nias Selatan atau Tello. Logat yang pertama dipergunakan di Nias bagian Utara, Timur dan Barat, sedangkan yang kedua Nias bagian Tengah, Selatan dan Kepulauan Batu. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar 700 ribu orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal. Suku Nias mengenal enam huruf vokal, bukan lima seperti di daerah di Indonesia lainnya. Suku Nias mengenal huruf vokal a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö. Kata-kata
74
bahasa nias tidak mengenal konsonan (huruf mati) sebagai penutup kata; dengan kata lain, kata-kata Li Niha diakhiri oleh salah satu dari vokal (huruf hidup berikut): a, e, i, o, ö, u. Contoh: töla (tulang), lahe (jejak), ngöfi (tepi), moyo (elang), balö (ujung), fandru (lampu). Dalam Li Niha (Kamus Bahasa Nias Indonesia22), ada beberapa aturan khusus yang tidak dicakup dalam ejaan Bahasa Indonesia, yaitu yang menyangkut beberapa huruf dengan bunyi khusus yang hanya ditemukan dalam bahasa Nias. Õ, ô, atau ö memiliki bunyi seperti bunyi “e” dalam keras, gelas, lemas. Karakter õ, ô, dan ö dapat dihasilkan di layar komputer dengan menekan dan menaha tombol Alt lantai berturut-turut menekan tombol-tombol 2, 4, dan 4 (untuk ô), 2, 4, 5 (untuk õ) an 2, 4, 6 (untuk ö) di keypad di sebelah kanan kibor komputer. Contoh-contoh: hôgô (kepala), hõrõ (mata), töwö (cukur). Lihat juga artikel: Karakter ö dalam bahasa Nias. Selanjutnya ‘é’ memiliki bunyi seperti dalam kata: tembok, sepak, enak. Contoh: téma (terima), déha (cabut), éha (batuk). Dan ‘w’ memiliki dua bunyi dalam Li Niha: (1) seperti ‘w‘ dalam bahasa Indonesia (bahwa, hawa, kawan) - contoh: bawa (bulan), walu (delapan), (2) bunyi ‘w‘ khas Nias seperti dalam kata wurawura, waruwaru, werewere. Bunyi ‘w‘ dalam contoh-contoh ini dihasilkan dengan meniupkan udara di antara bibir atas dan bawah yang dipersempit jaraknya. Bunyi ‘w‘ macam ini kurang lebih seperti ‘w’ dalam kata “wulan” atau “woman” (bahasa Inggris). Dalam Li Niha berbagai jenis kata yang muncul dalam kalimat pada umumnya mengalami perubahan pada huruf awalnya, yang dalam ilmu bahasa
22
Lase, Apolonius. 2011. Kamus Li Niha Nias – Indonesia, Penerbit Buku Kompas.
75
disebut mutasi awal (initial mutation), Sebagai contoh, dalam kata “Hadia duria?” (Apa kabar?), kata “duria” telah mengalami perubahan huruf awalnya; kata “duria” di sini berasal dari kata dasar “turia” yang berarti berita atau kabar. Contoh-contoh lain adalah: ama (ayah) menjadi nama; ina (ibu) menjadi nina; balugu (pengetua adat) menjadi mbalugu; tuhe menjadi duhe; sato (publik, orang banyak) menjadi zato; So’aya (Tuhan) menjadi Zo’aya.
2.9.3 Kesenian Terdapat beragam jenis budaya kesenian yang ada di Nias, seperti tradisi lisan musik vokal seperti Hoho (nyanyian bertutur yang bersifat puitis dan berperibahasa), jenis perpaduan nyanyian dengan tarian seperti Tari Maena, Tari Moyo, Tari Mogaele, dan yang sangat sering ditampilkan dalam promosi budaya yakni perpaduan hoho dengan Tarian Perang (Faluaya), serta atraksi Hombo Batu (Lompat Batu). Sekilas penulis akan mendeskripsikan penyajian Tarian Perang (Tari Faluaya) dan Lompat Batu (Hombo Batu) Nias Selatan, menurut wawancara dengan informan Hikayat Manaö :
2.9.3.1 Sekilas Tarian Faluaya (Tari Perang) : Tari
Faluaya
merupakan
tarian
yang
menggambarkan
suasana
peperangan antarsuku atau antardesa di Nias pada zaman dahulu kala.Tarian ini juga menggambarkan kekompakan sebuah suku atau desa saat harus menghadapi musuh. Pada tarian ini juga tergambar bagaimana kemampuan seorang panglima
76
perang (Kafalo Zaluaya) dalam memimpin dan memberi komando kepada pasukannya, baik saat harus menyerang atau bertahan. Biasanya tarian ini digunakan para leluhur Nias untuk meningkatkan semangat penduduk desa, sebelum mereka berperang dengan desa lain. Tarian ini juga menjadi tarian yang sangat prestisius dalam kehidupan kaum lelaki di desa, dikarenakan melambangkan perubahan status dari lelaki remaja menjadi lelaki dewasa. Saat ini, tarian Faluaya banyak ditampilkan dalam berbagai even, baik lokal, nasional, maupun mancanegara. Dalam setiap kunjungan turis dengan jumlah besar atau acara-acara budaya berskala nasional yang digelar di Bawömataluo, tarian ini pasti menjadi sajian utama, di samping tentu saja pertunjukan Hombo Batu. Sebagai tarian kolosal, Tari Faluaya melibatkan banyak penari dari belasan orang hingga ratusan orang. Pembagian posisi para penari biasanya terdiri dari: panglima di barisan depan, wakil panglima di depan kanan dan pemandu hoho (pemandu syair atau yel pemberi semangat). Selain itu, Tari Faluaya juga menggunakan beragam alat, yakni: Baluse (sejenis perisai dari kayu yang dibuat agak panjang), Toho (tombak yang ujungnya dibuat berkait), Balewa (parang yagn cukup panjang dan tajam dan bagian pegangannya dimanterai), Tolögu (pedang terbuat dari besi dan bergagang kayu) serta, Kalabubu (ejenis kalung terbuat dari tempurung kelapa). Khusus mengenai Kalabubu meski sekilas terlihat sebagai hiasan, sejatinya kalung ini digunakan untuk melindungi leher dari tebasan senjata
77
tajam musuh. Sepertinya bisa kita bandingkan dengan baju zirah, yakni baju besi atau baju rantai yang dikenakan pada waktu berperang zaman dahulu di Eropa. Sementara itu, busana Tari Faluaya terdiri dari : 1. Öröba, salah satu baju tari perang yang hampir punah, bahkan sudah jarang kita lihat di penampilan tari perang sekarang. Bahannya terbuat dari plat seng yang agak tebal, dibuat, dirakit sedemikian rupa seperti yang terlihat pada gambar. Untuk mengerjakannya, didominasi dengan menggunting dan dipukul-pukul (lalabago), serta memerlukan keahlian khusus. 2. Leama (terbuat dari ijuk), juga disebut Leama (terbuat dari bahan rumput hutan) yang dijahit rapi dengan menutup/melapisi rotan yang sudah dibentuk seperti yang terlihat pada gambar. Setelah Leama selesai dijahit sesuai keinginan, barulah bagian dalam dilapisi dengan kain atau karung untuk menghindari tusukan-tusukan. 3. Baru uli Geu (terbuat dari kulit kayu oholu/solou), sejenis kayu Oholu/Solou, untuk mengmbil bahan baku saja di hutan harus memerlukan keahlian khusus. Jangan sampai robek saat menguliti kayu tersebut. Panjang kulit kayu kurang lebih 130-150 cm, lebar 40-50 cm. setelah bahan kulit kayu sudah ada, kemudian direndam ke dalam air selama beberapa jam, lalu diangkat dan mulailah dipukul-pukul (lalabago). Lakukan ini berulang-ulang, secara perlahan. Ingat, kulit kayu tidak akan bertambah panjang, melainkan bertambah lebar. Setelah kulit kayu terlihat
78
tipis dan lunak, barulah dicuci dan seterusnya dikeringkan. Setelah bahan baku kulit kayu selesai. Barulah dipotong dan dijahit sesuai kebutuhan. 4. Baru Nukha (terbuat dari kain), bentuk dari baju ini beberapa macam, ditinjau dari motif coraknya antara lain: Baru Nifobowo Gafasi, Baru Ni’o La’a Harimao, yang bahannya dari kain atau baldu yang dijahit oleh tukang jahit yang memiliki keahlian khusus. 5. Öndröra (cawat terbuat dari kain), Juga ada beragam topi (penutup kepala) dalam Tari Faluaya, yakni: 1. Takula Tefaö (topi besi), 2. Takula Leama (topi ijuk), 3. Laeru (topi kain) dan 4. Leia (topi kulit kayu). Membicarakan tarian Faluaya, berarti menyebut Hombo Batu (lompat batu). Sebab, keahlian ini menjadi keharusan bagi setiap laki-laki di desa-desa. Tujuannya sebagai media latihan para prajurit dalam menerobos pagar benteng musuh. Baik dalam penyerangan maupun dalam upaya melarikan diri dari kepungan musuh. Perihal keahlian lompat batu, maka sosok Hikayat pernah membuktikan kehebatannya. Dan, wajar rasanya jika sekarang ini, ia dipilih sebagai Panglima (Kafalo Zaluaya) dari Tari Faluaya di Desa Bawömataluo.
79
2.9.3.2 Atraksi Lompat Batu (Hombo Batu) Sebagai Simbol Heroik Berbicara tentang atraksi wisata di Pulau Nias, pasti tidak bisa dilepaskan dari atraksi lompat batu atau Hombo Batu. Inilah tradisi kaum pria Nias yang tetap lestari hingga kini. Lompat batu bukan sekedar konsumsi atau atraksi pariwisata. Lebih dari itu, lompat batu merupakan sarana dan proses untuk menunjukkan kekuatan dan ketangkasan para pemuda, sehingga memiliki jiwa heroik yang prestisius. Jika seorang putra dari satu keluarga sudah dapat melewati batu yang telah disusun berdempet itu dengan cara melompatinya, hal ini merupakan satu kebanggaan bagi orangtua dan kerabat lainnya bahkan seluruh masyarakat desa pada umumnya. Itulah sebabnya setelah anak laki-laki mereka sanggup melompat batu, maka diadakan acara syukuran sederhana dengan menyembelih ayam atau hewan lainnya. Bahkan ada juga bangsawan yang menjamu para pemuda desanya karena dapat melompat batu dengan sempurna untuk pertama kalinya. Para pemuda ini akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba horö, jika ada konflik dengan warga desa lain. Jika seorang pemuda dapat melompat batu dengan sempurna, maka ia dianggap telah dewasa dan matang secara fisik. Karena itu hak dan kewajiban sosialnya sebagai orang dewasa sudah bisa dijalankan. Misalnya menikah, membela kampungnya atau ikut menyerbu desa musuh dan sebagainya. Salah satu cara untuk mengukur kedewasaan dan kematangan seorang lelaki adalah dengan melihat kemampuan motorik di atas bartu susun setinggi 2,10 meter.
80
Sejak umur sekitar 7 – 12 tahun atau sesuai dengan pertumbuhan seseorang, anak laki-laki biasanya bermain dengan melompati tali. Mereka menancapkan dua tiang sebelah menyebelah, membuat batu tumpuan, lalu melompatinya. Dari yang rendah, dan lama-lama ditinggikan. Ada juga dengan bantuan dua orang teman yang memegang masing-masing ujung tali, dan yang lain melompatinya secara begilir. Mereka bermain dengan semangat kebersamaan dan perjuangan. Untuk latihan dan permainan, sekumpulan anak laki-laki menumpuk tanah liat dan membentuknya seperti lompat batu, walaupun ketinggiannya tidak sama. Mulai dari satu meter. Setelah mampu melewati itu, maka mereka menumpukkan tanah liat untuk menambah ketinggiannya. Permainan ini telah membuat anak-anak terbniasa melompat hingga dapat melompat batu setinggi dua meter dengan sempurna. Bahkan ada yang lebih. Dahulu, lompat batu dilakukan untuk persiapan perang. Sekaligus mempertahankan diri dan membela kampung halaman. Agar lebih mahir, pada sore hari, ketika pemuda desa pulang dari ladang, maka mereka beramai-ramai latihan melompat batu. Terlebih pada sore hari minggu atau hari besar lainnya. Melompat batu merupakan sarana olah raga dan permainan yang menyenangkan bagi mereka dan menarik perhatian penonton. Walaupun latihan terus, ternyata tidak semua laki-laki dapat melompat. Ada yang sangkut-sangkut terus. Bahkan ada juga yang sampai kecelakaan, misalnya patah lengan, kaki, dan lain-lain. Ada kepercayaan bahwa hal ini dipengaruhi oleh faktor genetika. Jika ayahnya atau kakeknya seorang pemberani
81
dan pelompat batu, maka di antara para putranya pasti ada yang dapat melompat batu. Kalau ayahnya dahulu adalah seorang pelompat batu semasih muda, maka anak-anaknya pasti dapat melompat walaupun latihannya sedikit. Bahkan ada yang hanya mencoba satu-dua kali, lalu, bisa melompat dengan sempurna tanpa latihan dan pemanasan tubuh. Kemampuan dan ketangkasan melompat batu juga dihubungkan dengan kepercayaan lama. Seseorang yang baru belajar melompati batu, ia terlebih dahulu memohon restu dan meniati roh-roh para pelompat batu yang telah meninggal. Ia harus memohon izin kepada arwah para leluhur yang sering melompati batu tersebut. Tujuannya untuk menghindari kecelakaan atau bencana bagi para pelompat ketika sedang mengudara, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Sebab banyak juga pelompat yang gagal dan mendapat kecelakaan. Dahulu melompat batu merupakan kebutuhan dan persiapan untuk mempertahankan diri dan membela kampung. Apapun dikorbankan demi kehormatan pada kampung sendiri ‘fabanuasa’. “Öndröra vfabanuasa, kiri-kiri mbambatö sa”. Itulah motto dan prinsip dalam membela dan mempertahankan nama kampung. Artinya, rasa patriotis pada kampung lebih utama dari pada hubungan kekerabatan. Kejadian pada salah seorang warga kampung, merupakan peristiwa pada seluruh warga. Misalnya: jika salah seorang warga kampung A disakiti oleh warga desa B, maka warga desa A yang lain akan turut membalasnya. Demikian sebaliknya. Hal ini menjadi sumber konflik antar kampung yang penyelesaiannya kompleks dan meninggalkan dendam kesumat ‘horö manana’.
82
Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung. Misalnya: masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit ‘bohalima’ yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan melompat untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi dahulu, ketika tradisi berburu kepala manusia ‘magai högö’ masih dijalankan, peperangan antar kampung juga sangat sering terjadi. Ketika pada pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon ‘tali’anu’ supaya tidak terperangkap di daerah musuh. Itulah sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau ‘hili’(gunung) supaya musuh tidak mudah masuk dan tidak cepat melarikan diri.
2.9.3.3 Alat-Alat Musik Jenis kesenian yang lain di Nias yakni terdapatnya alat-alat musik (music instrument) di Nias seperti tercatat dalam Music In Nias, (J. Kunts, 1939): 1.
Klasifikasi Idiophones: Doli-doli (beberapa bilahan kayu - xylophone), Aramba (gong besar), Taboleeya/Da’ula-da’ula/Daola-daola (The slit drum or alarm drum, terbuat dari bambu seperti kentongan di Jawa ), Göndra Hao/Gobi-gobi
(zither
atau
seperti
kecapi
terbuat
dari
bamboo),
Faritia/Faritshia (gong kecil seperti kenong di Jawa biasanya dimainkan 2 buah), Duri/Druri Bewe (jew’s harp), Bulu N’Öhi / Feta (rattle made of the cocoapalm), Tetege’öi (shellrattle or clapper).
83
2.
Klasifikasi Membranophones: Tutu/Chuchu (a small more or less barrelshaped and bimembranous drum), Tamburu, Tamburu Gowasa (a small cylindrical, usually rather flat bimembranous drum), Göndra/Köndra (a bimembranous big drum), Fodrahi/Fondrahi (a vase-shaped drum with one membrane, beaten with hand), Taburana/Tabularanga (a very long canonshaped monomembranous drum).
3.
Klasifikasi Chordophones: Taboleeya (Idiochord - terbuat dari bambu dan dari badannya diambil tipis sebanyak 2 sampai 4 buah sebagai senar, di masyarakat Karo disebut keteng-keteng), Göndra Hao/Gobi-gobi (zitheridiochord, terbuat dari bambu dari badannya diambil tipis sebanyak 1 senar dimainkan dengan dipetik), Laegia (One Stringed Spitted Lute, played with a bow).
4.
Klasifikasi Aerophones: D(r)uri Dana/Da’ul-da’uli (terbuat dari bambu bulat kecil dibentuk seperti garpu tala, 2 buah dimainkan memukulnya ke lutut dengan tangan kanan dan kiri), Sigu Bawa/Sigu M’bawa (this a clarinet consisting of a slender segment of bamboo from 8 – 12 inches (20-30 cm) long and closed by a nodium on one side), Sigu Waghe (seperti sarune bulu di Batak), Fifi/Fonoe/Lili (a grassblade showm), Töla Waghe (slit rice stalk shawm), Sarune, Dsigu/Dsjigu Mbawa (seperti Bansi di Minangkabau), Wicho-wicho/Ki-ki/Ufu-ufu (bird decoy flutes), Riwi-riwi Löchö (the bullroarer, whizzer or thunderstick).
84
2.10 Dokumentasi Sejarah Dalam Gambar :
Gambar 2.10.1 : Keluarga di desa Bawömataluo, Nias Selatan
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.2 : Jalan sepanjang pantai, Nias, 1930
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl)
85
Gambar 2.10.3 : Prajurit Perang dengan Belanda, Nias Sumatera Utara, 1920
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/) Gambar 2.10.4 : Tari Faluaya di Bawömataluo Nias Selatan, 1954
(sumber: http://www.lpamnias.org/sejarah.php)
86
Gambar 2.10.5 : Penarikan batu “Daro-daro” untuk almarhum Saoenigeho dari Bawömataluo Nias Selatan
(sumber: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.6 : Patung leluhur batu Pria
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
87
Gambar 2.10.7 : Bocah di sebelah kursi batu kepala desa Hilisimetanö
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/) Gambar 2.10.8 : Sekelompok Laki-laki Nias
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
88
Gambar 2.10.9 : Studio potret dari kelompok perempuan menari dari Nias Selatan (sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
Gambar 2.10.10 : Pria Nias pada kostum militer
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
89
Gambar 2.10.11 : Pertempuran palsu oleh sekelompok anak laki-laki melompat di atas batu, Nias, 1930
(sumber gambar: http://collectie.tropenmuseum.nl/)
115
BAB IV FUNGSI HOHO FALUAYA DALAM TRADISI MUSIK LISAN
Dalam bab IV ini kajian difokuskan pada masalah fungsi Hoho Faluaya sebagai warisan tradisi lisan masyarakat Nias, dengan pendekatan teori fungsionalisme
dari
Bronislaw
Malinowski
dan
A.R.
Radcliffe-Brown,
pendekatan teori fungsi Alan P. Merriam serta pendekatan hasil reduksi terhadap fungsi dari Soedarsono yang telah diuraikan pada Bab I. Berdasarkan teori-teori mereka penulis dan peroleh data dari lapangan akhirnya penulis dapatlah terjawab bagaimana fungsi Hoho Faluaya dalam tradisi lisan masyarakat Nias Selatan. Berikut ini penulis akan menyajikan fungsi Hoho Faluaya dimulai dari deskripsi penyajian petunjukan Hoho Faluaya, seperti dijelaskan dibawah ini:
4.1 Deskripsi Penyajian Pertunjukan Hoho Faluaya Penyajian Hoho Faluaya dengan teks berbahasa Nias ciri Selatan ini pada umumnya hampir sama jika di bandingkan dengan beberapa desa lain di Kabupaten Nias Selatan (desa Hilisimaetanö, desa Orahili Fau, desa Hilinawalö Fau, desa Ono Hondrö, desa Lahusa Fau, dan lain-lain). Namun dalam hal ini penulis mengkhususkannya pada lokasi penelitian penulis yakni di desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Menurut Hikayat Manaö (Ama Gibson), bahwa pelaksanaan Hoho Faluaya harus disesuaikan dengan konteksnya. Secara umum pelaksanaan hoho jenis ini dilaksanakan dalam dua konteks kegiatan adat yang besar , yakni: (1) dalam konteks upacara kematian
116
bangsawan, (2) dalam konteks pengukuhan gelar adat (gelar bangsawan). Kini, Hoho Faluaya sudah sering dipertunjukkan dalam konteks penyambutan tamu kehormatan maupun turis sebagai salah satu atraksi budaya dari desa Bawömataluo. Penyajian Hoho Faluaya yang akan penulis deskripsikan adalah pada konteks penyambutan tamu kebesaran yang dating ke desa adat Bawömataluo Nias Selatan, dalam hal ini kunjungan Menteri Negara Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) yakni Ir. H. Ahmad Helmy Faisal Zaini pada Juni 2011, sekaligus pemberian gelar adat kebangsawanan di Nias kepada beliau
yakni
dengan gelar “Tuha Samaeri Nahönö”. Ini merupakan gelar tertinggi bagi strata bangsawan di Nias Selatan dan gelar ini setingkat dengan seorang raja. Tuha Samaeri Nahönö bermakna seorang pemimpin yang jujur, cerdas dan adil bagi rakyatnya atau disebut bapak pemelihara masyarakat banyak.
Pelaksanaan
upacara penyambutan dan pengukuhan gelar ini dipimpin langsung oleh Hikayat Manaö (Ama Gibson) sebagai Kafalo Zaluaya (panglima perang)/ Sondroro/ Ere Hoho/ Sifahoho (pemimpin/leader hoho) bersama kelompok Sanoyohi / fanema sato dan seluruh bohalima (prajurit perang/penari perang) dan terlihat hampir 100 orang yang terlibat dalam kelompok Faluaya. Merupakan syarat bahwa dalam penyajian hoho pada umumnya termasuk Hoho Faluaya lazim diperankan oleh minimal 5 (lima) orang dalam kelompok penyaji teks. Kelompok penyaji teks hoho dipimpin oleh seorang penyaji, disebut sondroro hoho atau ere hoho atau sifahoho yang berasal dari golongan si’ulu atau si’ila, dan disahut secara bergantian oleh beberapa kelompok kecil, yang terdiri
117
dari dua (kadang-kadang tiga atau empat) penyaji teks yang disebut sanoyohi atau fanema sato yang berasal dari golongan si’ila atau sato. Semua penyaji Hoho Faluaya adalah kaum pria. Beberapa teks hoho sedikitnya membutuhkan dua kelompok penyaji teks, tetapi lebih dari batas minimum juga boleh. Syair-syair singkat yang bersifat ulangan (repetisi), masih sanggup dihafal oleh semua penyanyi, dan karenanya boleh dikatakan syair tetap; sedangkan syair yang lebih panjang akan disusun kembali oleh sondoro, dan sanoyohi harus mampu menangkap kata-kata itu saat dinyanyikan supaya dengan segera dapat mengulangi kata-kata itu kembali atau menanggapinya secara tepat. Hoho Faluaya adalah salah satu jenis tradisi musik lisan yang menggabung dua aktifitas yang saling mendukung yaitu (1) bernyanyi (ber-hoho): kegiatan bertutur yang disampaikan dalam bentuk syair (teks) disajikan dengan menyanyikan tuturan tersebut, dan (2) menari (faluaya) yakni kegiatan untuk mengekspresikan syair (teks) yang dituturkan dalam bentuk tarian perang, hubungan yang kuat antara keduanya menimbulkan nuansa sakral dalam keutuhan penyajiannya. Sehubungan dengan adanya gerakan tarian, maka perlu penulis sampaikan beberapa nama-nama gerakan yang digunakan pada Hoho Faluaya yakni: 1.
Hugö berarti posisi kuda-kuda siap menyerukan.
2.
Manökhö berarti gerakan mengintai musuh.
3.
Ohigabölöu berarti melompat sambil berjalan dengan berjingkat satu kaki dengan mengepakkan baluse (tameng) dan mengayunkan toho (tombak) dan tolögu (khusus Kafalo Zaluaya)
118
4.
Hivfagö hampir sama dengan Ohigabölöu namun gerakan ini hanya di tempat sesuai posisi masing-masing barisan.
5.
Fu’alö melakukan gerakan siap siaga menghimpun kekuatan untuk berlaga di medan perang.
6.
Faluaya Zanökhö berarti mengelilingi atau mengepung wilayah musuh.
7.
Fasuwö menggambarkan terjadinya perang antara dua kelompok balusé bertabrakan.
8.
Famanu-manu atraksi ketangkasan patriot bertempur satu lawan satu.
9.
Fatélé atraksi ketangkasan satu orang.
10.
Fahidjalé gerakan satu baris membentuk gerakan berliku-liku seperti ular.
11.
Fadölihia merupakan hoho yang dipakai dalam gerakan fahidjalé. Fadölihia juga diartikan sebagai gerakan berliku-liku (meander dances)
12.
Siöligö gerakan membentuk lingkaran dan bergandengan tangan menunjukkan adanya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat, pada penyajian Siöligö sudah tidak menggunakan baluse dan toho.
Dari dahulu hingga kini masyarakat Nias Selatan selalu menyelenggarakan pesta pemberian gelar kepada para bangsawan dan orang-orang yang dinilai berjasa besar bagi kalangan suku Nias. Pemberian gelar bangssawan tidak tertutup pada kalangan etnis Nias bahkan orang luar pun yang dianggap pantas untuk
119
menerima
gelar
penghormatan
tertinggi
terbuka
kemungkinan
untuk
menerimanya. Tujuannya agar kepemimpinan, atau sosok, figur raja tersebut menjadi pemimpin di daerah ini seperti halnya Menteri Negara Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) yakni Ir. H. Ahmad Helmy Faisal Zaini yang dalam kunjungannya ke Nias Selatan bulan Juni 2011 lalu dianugerahi gelar bangsawan oleh masyarakat Nias dengan terlebih dahulu melalui rapat dewan tokoh adat, agama dan pemerintah Kabupaten Nias Selatan di Desa Bawömataluo. Pengangkatan Menteri Negara menjadi setingkat raja tentu berdasarkan penilaian terhadap banyaknya jasa dan besarnya perhatian serta kinerja yang baik dalam upaya mengangkat harkat Kabupaten Nias Selatan dari ketertinggalan. Tata acara seseorang menjadi bangsawan atau raja dalam adat Nias Selatan diisi dengan penyajian Hoho Faluaya, sebagai berikut: 1. Ketika seluruh masyarakat dan para pengetua adat sudah hadir, maka Hoho Faluaya pun dimulai. Dengan diawali fonguhugö (hugö) yang dipekikkan oleh seorang Sondroro hoho (Kafalo Zaluaya) dalam hal ini Hikayat Manaö. Dengan kalimat hugö : “Tari Humöhö Tabörötai Tabörögö!” Bahijalé ! 2. Kalimat ini pun mendapat sambutan dari para bohalima pada posisi yang belum teratur dengan mengatakan Hu! dan Ha! sambil melakukan gerakan mengintai
(manökhö)
dan
berhenti
serempak
ketika
Sondroro
mengehentikannya dengan mengatakan Ha! 3. Selanjutnya para bohalima melakukan gerakan ohigabölöu untuk menyusun formasi barisan dan setelah tersusun dilanjutkan dengan
120
gerakan hivfagö dan berhenti dengan seruan hivfagö yang dimulai oleh Sondroro dengan mengatakan hefa!. Dan disambut oleh kelompok Sanoyohi dengan mengucapkan fakhöyöla la imba, imba horö. 4. Para bohalima selanjutkan melakukan nyanyian Hoho Fu’alö dengan gerakan Fu’alö menunjukkan bentuk kesiapan para bohalima, seperti di bawah ini : 1.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
2.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
3.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
4.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
5.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
6. Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
: Heia hé haia dahumalö : Aé hu! Hé… : Ohaia ba haia dahumalö manö-manö : Aé hu! Hé…
Apa yang mau kita ambil Ya Apa pokok pembicaraan
: Ohaia hé… haia dahumalö : Aé hu! Hé… : Ohaia ba haia dahumalö famaédo : Aé hu! Hé…
Apa yang mau kita ambil Ya Apa yang dijadikan pepatah
: Ohaia hé… yaé ndraono matua : Aé hu! Hé… : Ohaia ba yaé ndraono matua sihino döla : Aé hu! Hé…
Ini para pria (bohalima) Ya Para pria yang gagah perkasa
: Ohaia hé… yaé ndraono matua : Aé hu! Hé… : Ohaia ba yaé ndraono matua salio boto : Aé hu! Hé…
Ini para pria (bohalima) Ya Para pria generasi penerus desa
: Ohaia hé… oi humokha-hokha : Aé hu! Hé… : Ohaia ba oi humokha-hokha mbu jamaigi : Aé hu! Hé…
Pasukan membuat merinding Ya Merinding bulu ‘roma’
: Ohaia hé… oi tumaro mbörö mbu : Aé hu! Hé… : Ohaia ba oi tumaro mbörö mbu jiso : Aé hu! Hé…
Pasukan membuat ketakutan Ya Jangan sampai melihatnya Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
121
7.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
: Ohaia hé… oi jumikhi- jikhi : Aé hu! Hé… : Ohaia ba oi jumikhi- jikhi gahé jagö : Aé hu! Hé…
Pasukan membuat gemetar Ya Seperti bergetarnya atap rumah Ya
8.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
: Ohaia hé… oi huméu-héu : Aé hu! Hé… : Ohaia ba oi huméu-héu mbubu nomo : Aé hu! Hé…
Pasukan membuat tergoncang Ya Bergoncangnya puncak atap Ya
9.
Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
: Ohaia hé… ga baéwali hili Di halaman puncak bukit : Aé hu! Hé… Ya : Ohaia ba ga baéwali hili fanayama Di halaman puncak nusantara : Aé hu! Hé… Ya
10. Son Sa.1&2 Son Sa.1&2
: Ohaia hé… ga baéwali famaédo : Aé hu! Hé… : Ohaia ba ga baéwali hili famaédo danö : Aé hu! Hé é ya’ia-ya’ia hö! Ha…
Inilah wilayah kita yg luas Ya Wilayah desa leluhur kita Ya
5. Selesai Fu’alö para bohalima membuat pagar betis untuk mengawal para penari mogaélé yang dibawakan oleh para ibu-ibu (kaum wanita) memasuki tempat upacara untuk melaksanakan fameafo, yakni pemberian sekapur sirih tamu kehormatan dan kepada para pengetua adat dan para bohalima. Pelaksanaan fameafo diawali dan diakhiri dengan hugö oleh Sondroro. 6. Setelah fameafo para bohalima melakukan gerakan Faluaya Zanökhö menggambarkan
musuh sudah terkepung dengan mengelilingi atau
mengepung wilayah musuh. Gerakan ini dilakukan sambil membentuk lingkaran dan mengepakkan baluse serta mengayun-ayunkan toho.
122
7. Pertunjukan ketangkasan (show force) dengan melakukan gerakan fasuwö untuk menggambarkan dalam suasana pertempuran atau perang antara dua kelompok, balusé bertabrakan. 8. Dilanjutkan dengan atraksi famanu-manu yakni atraksi ketangkasan bohalima dalam bertempur melawan musuh satu lawan satu. 9. Dan atraksi fatélé yakni atraksi ketangkasan atau keahlian seorang bohalima. 10. Selanjutnya melakukan nyanyian Hoho Fadölihia oleh kelompok hoho dan para bohalima dengan gerakan Fadölihia, seperti syair di bawah ini: 1.
Son Sa.1&2 2. Son Sa.1&2 3. Son Sa.1&2 4. Son Sa.1&2 5. Son Sa.1&2 6. Son Sa.1&2 7. Son Sa.1&2 8. Son Sa.1&2 9. Son Sa.1&2 10. Son Sa.1&2 11. Son Sa.1&2
: Tabörötai Tabörögö : Aé hijaho! Hé… : Ono matua sifakhöyö : Aé hijaho! Hé… : Ono matua fotuwusö : Aé hijaho! Hé… : Ae ono nasu lawölö : Aé hijaho! Hé… : Talau fadöli hia fualö : Aé hijaho! Hé… : Baéwali zi’öfa ndrölö : Aé hijaho! Hé… : Baéwali fvamaedo danö : Aé hijaho! Hé… : Mai ‘otamahögö majinö : Aé hijaho! Hé… : Mai salogoi maenamölö : Aé hijaho! Hé… : Mai erogö bagaramö : Aé hijaho! Hé… : Talau fadöli hia fualö : Aé hijaho! Hé é ya’ia -ya’ia hö! Ha
Mari kita mulai lagi Ya Pemuda yang sedang bermain Ya Kaum pria pilihan yang perkasa Ya Pejantan anjing Lawölö Ya Mari menari fadölihia dan fu’alö Ya Di empat lorong halaman desa Ya Didepan pekarangan sang Raja Ya Menghadap wilayah adat Mazinö Ya Merangkul wilayah adat Maenamölö Ya Membelakangi wilayah adat Garamö Ya Menari fadölihia dan fu’alö Ya benar demikian
123
12. Kemudian melakukan Hoho Siöligö menunjukkan sudah selesainya perang dan berdamai lalu menari bersama menggambarkan betapa agungnya perdamaian itu. 1.
Son Sa.1 Sa.2
: Andrö da tabörötai. : Andrö da tabörötai tabörögö. : Hé siwöwö no niwa’ömö, ba siwöwö no niwa’ömö andrö da tabörötai tabörögö haiwa hö, haiwa hö, Sa.1&2 : Aéhu hé
Sekarang kita mulai kita mulai ungkapkan yang mendirikan desa ya pendiri desa kita ya kita mulai ungkapkan ya kumandangkanlah ya, tuturkan
2.
Son Sa.1 Sa.2
: Andre ndrao mané-mané : Andre ndrao mané-mané manö-manö : Hé siwöwö no niwa’ömö, ba siwöwö no niwa’ömö Andre ndrao mané-mané manö-manö Haiwa hö, haiwa hö, Sa.1&2 : Aéhu hé
Sekarang kita ceritakan kita ceritakan masa lampau yang mendirikan desa ya pendiri desa kita cerita leluhur kita ya kumandangkanlah ya, tuturkan
3.
Son Sa.1 Sa.2
Kalian yang sudah pergi sudah pergi leluhur kami ya yang kalian tinggalkan akan diteruskan
4.
Son + Sa.1 &: Hé..hé…ého ba, Sa.2 mba... lö hili…. wöwö…ö…awöni ba ndraso! Sa.1 : Hé lumö! Sa.2 : Hé lumö jimöi! Sa.1 : Hé lumö! Sa.2 : Lumö jiso! Sa.1 & Sa.2 : Hé yai’ia, yai’ia hö!
: Lumö mia lumö jimöi . : Lumö mia lumö jimöi hé aehé ho lauwé. : Lumö ae Lumö mia lumö jimöi ba lumö jiso!
13. Pertunjukkan
Famadaya
Inilah negeri kita di tepi pegunungan sudah dibangun tempat kita ya mereka mereka yang pergi ya mereka. mereka yang datang ya, mari kita bersama
Harimao
(mengarak
patung
menyerupai harimau), tarian ini menggambarkan kebesaran kerajaan zaman dahulu, mengingatkan seorang raja harus
124
mampu
melindungi,
mengayomi
serta
memperhatikan
masyarakatnya. 14. Dan terakhir atraksi Lompat Batu (Hombo Batu). Kepada Bapak Menteri Negara PDT
diberikan baju kebesaran
bangsawan Nias Selatan, yakni rompi sebagai baju penahan panah dari musuh, kalabubu penangkis tebasan musuh dari senjata tajam di leher, öndröra - pakaian lengkap kesatria, tolögu - pedang alat menyerang musuh, baluse - perisai pelindung dari serangan musuh, toho – tombak senjata untuk menyerang musuh dan takula/rai – mahkota tanda seorang raja. Dan sebagai pengumuman kepada khalayak ramai bahwa seseorang melalui keputusan rapat adat telah ditetapkan bahwa telah sah diangkat menjadi raja, dengan gelar kebangsawanan Tuha Samaeri Nahönö dilakukanlah pekikan hugö oleh Sondroro sebagai tanda sahnya penobatan gelar kebangsawanan Ir. H. Ahmad Helmy Faisal Zaini (Menteri Negara Pembangunan Desa Tertinggal). Setelah penobatan itu, maka penerima gelar bangsawan didudukkan di tahta raja (osa-osa). Dalam ritual adat Nias bila seseorang telah diangkat menjadi raja atau gelar bangsawan, maka harus memenuhi syarat yakni harus mampu menyediakan hidangan makan besar untuk rakyatnya, sebagai bentuk simboliknya Menteri Negara PDT menyembelih hewan (masyarakat desa Bawömataluo).
babi untuk dijadikan makanan rakyatnya
125
4.2 Fungsi Hoho Faluaya Pada Masyarakat Nias Selatan Seperti yang dikatakan Bronislaw Malinowski, bahwa fungsi itu intinya adalah bahawa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk ingin tahu.
Namun banyak pula aktivitas
kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan pemahaman ini seorang penyelidik boleh menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.24 Sejalan dengan pendapat Malinowski, Hoho Faluaya timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Nias pada umumnya. Hoho Faluaya timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh daripada itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penggunaan musik berkaitan dengan dalam situasi bagaimana musik itu digunakan oleh suatu masyarakat.
24
Takari (2010:347). Disertasi: “Fungsi dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan Tari Melayu Di Sumatera Utara”. Disertasi Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur.
126
Sedangkan
fungsi
musik
menitikberatkan
perhatiannya
kepada
alasan
penggunaan, terutama maksud dan tujuan lebih luas, yaitu sejauh mana musik dapat melayani kebutuhan manusia itu sendiri. Berikut ini akan dijelaskan beberapa fungsi yang ada pada penyajian Hoho Faluaya sebagai salah satu bentuk tradisi musik lisan.
4.2.1 Fungsi Pelaksanaan Pesta Adat Masyarakat Nias dalam kehidupannya banyak melakukan pesta adat sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan mereka, khususnya di Nias Selatan Hoho Faluaya merupakan sarana utama bagi terlaksananya beberapa pesta adat besar (owasa). Hal ini dapat dilihat pada setiap pelaksanaan pesta upacara kematian seseorang yang bergelar bangsawan dan telah banyak berjasa kepada masyarakat dalam memperjuangkan desanya, akan dibuat hasi nifolasara (peti mayat) yang khusus dan dilaksanakan upacara agung seperti: 1. Folau hoho ba fetataro: Melantunkan hoho untuk menghormati dan menghantar sang bangsawan pada tahtanya yang terakhir. 2. Faböli-böli: Syair-syair
yang dilantunkan dalam
bentuk nyanyian untuk
menceritakan riwayat hidup sang bangsawan, bagaimana pengaruhnya selama dia hidup dan setelah dia meninggal dunia. Yang melantunkannya adalah kaum laki-laki. Selain Faböli-böli, juga dilakukan Fane’esi yaitu acara meratapi orang mati dengan menceritakan liku-liku kehidupannya selama hidup dan bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkannya. Acara ini dilakukan oleh kaum ibu-ibu (perempuan).
127
3. Faluaya: Perarakan dalam bentuk tari perang. Sebelum dikuburkan, mayat yang sudah diletakkan dalam hasi nifolasara di arak dalam prosesi yang agung oleh seluruh warga kampungnya sendiri dan warga kampung lain yang turut belasungkawa. Jika upacara kematian seorang bangsawan tidak agung, maka hal itu merupakan pukulan yang memalukan terhadap anak-anak
dan keluarganya
dan dapat
menurunkan kewibawaan mereka di hadapan masyarakat. Demikian juga halnya pada pelaksanaan pesta yang berkaitan dengan ritual adat pengesahan berbagai bentuk peraturan-peraturan (hukum adat) yang disusun oleh pengetua-pengetua adat untuk ditaati oleh seluruh anggota masyarakat Nias dalam menjalani segala kegiatan kehidupannya yang dikenal dengan fondrakhö (penetapan hukum adat) atau di Nias Selatan lebih dikenal dengan
upacara
Famatö
Harimao/Famadaya
Harimao.
Dalam
upacara
pengesahan hukum adat ini harus disertai penyajian Hoho Faluaya, Fogaélé Fatélé dan Fahombo25. Dalam pengertian hukum adat menjadi sah untuk diberlakukan di tengah-tengah masyarakat Nias bila ditandai dengan mengusung patung yang menyerupai harimau sebagai lambang perjanjian disertai melakukan hoho dan melakukan gerak faluaya. Adapun isi dari hukum adat yang sudah ditetapkan diantaranya mengatur pada saat peristiwa apa saja Hoho Faluaya dapat disajikan. Pada peristiwa ritual adat kematian seorang golongan bangsawan (balö zi’ulu) dan balö zi’ila, dan peristiwa ritual adat pengukuhan gelar bangsawan wajib dilaksanakan Hoho
25
Periksa Pastor Johannes Maria Harmmerte, OFMCap, Famatö Harimao, Pesta Harimao – Fondrakö – Börönadu dan Kebudayaan Lainnya Di Wilayah Maenamölö – Nias Selatan, (Medan, 1986), hlm. 180,212.
128
Faluaya. Bila tidak disertai dengan Hoho Faluaya, maka akan hilanglah wibawa atau kesakralan upacara tersebut. Selanjutnya dapat dilihat pada saat pelaksanaan pesta upacara pengukuhan gelar bangsawan maupun penyambutan tamu kebesaran Hoho Faluaya juga dipakai sebagai bagian dari pesta adat tersebut, dalam hal ini menjadi objek penelitian penulis.
Keharusan ini menunjukkan bahwa Hoho
Faluaya memiliki fungsi yang berkaitan upacara adat atau pesta adat.
4.2.2 Fungsi Simbol Keperkasaan Dahulu masyarakat Nias terkenal sering berperang dan konflik antar desa (banua/öri). Banyak penyebab konflik dan perang antar kampung terjadi dikarenakan, miisalnya: masalah perbatasan tanah, perempuan dan sengketa lainnya. Hal ini mengundang desa yang satu menyerang desa yang lain, sehingga para prajurit ‘bohalima’ yang ikut dalam penyerangan, harus memiliki ketangkasan dan kemampuan yang handal dalam berperang melawan musuh dan tangkas dalam menyelamatkan diri. Peperangan antar kampung masih sangat sering terjadi, apalagi pada saat tradisi berburu kepala manusia ‘magai högö’ masih dijalankan. Ketika pada pemburu kepala manusia dikejar atau melarikan diri, maka mereka harus mampu melompat pagar atau benteng desa sasaran yang telah dibangun dari batu atau bambu atau dari pohon ‘tali’anu’ supaya tidak terperangkap di daerah musuh. Itulah sebabnya desa-desa didirikan di atas bukit atau ‘hili’(gunung) supaya musuh tidak mudah masuk dan tidak cepat melarikan diri.
129
Pada masyarakat Nias menjadi suatu kebanggaan apabila dapat menjadi seseorang yang berani berkorban demi membela kampung mereka. Apapun dikorbankan demi kehormatan pada kampung sendiri ‘fabanuasa’. Dalam kehidupan mereka selalu mengutamakan “öndröra vfabanuasa, kiri-kiri mbambatö sa”26. Itulah motto dan prinsip dalam membela dan mempertahankan nama kampung. Artinya, rasa patriotis pada kampung lebih utama dari pada hubungan kekerabatan. Kejadian pada salah seorang warga kampung, merupakan peristiwa pada seluruh warga. Misalnya: jika salah seorang warga kampung A disakiti oleh warga desa B, maka warga desa A yang lain akan turut membalasnya. Demikian sebaliknya. Hal ini menjadi sumber konflik antar kampung yang penyelesaiannya kompleks dan meninggalkan dendam kesumat ‘horö manana’. Dalam teks Hoho Faluaya juga dikumandangkan bagaimana kehebatan dan keperkasaan para bohalima (prajurit perang) Nias. Seperti frase kalimat la’ imba, imba horö (seperti babi jantan yang liar) yang dimaksudkan untuk menyebut bahwa inilah prajurit yang gagah perkasa. Frase-frase kalimat yang digunakan pada Hoho Fu’alö seperti, oi humokha-hokha (merinding), oi tumaro mbörö mbu (menggigil), oi jumikhi-jikhi (bergetar), oi huméu-héu (berguncang), yang disampaikan semuanya bermaksud menunjukkan kekuatan para bohalima yang memiliki makna konotatif barang siapa yang mendengar kedatangan para pasukan ini akan menggeletar dan lari ketakutan, jangan sampai melihat apalagi mendatanginya.
26
Wawancara dengan Hikayat Manaö, Mei 2010, di Desa Bawömataluo Nias Selatan.
130
4.2.3 Fungsi Penguat Status Sosial Salah satu kebiasaan baik bagi masyarakat Nias Selatan khususnya dan seluruh masyarakat Nias umumnya yang telah berkeluarga (berumah tangga) adalah adanya kebiasaan tidak menyebutkan nama maupun marganya, namun menjadi keharusan dalam menyebutkan identitas seseorang adalah dengan menyebutkan gelar yang telah dianugerahkan kepadanya ataupun dengan menyebutkan nama anaknya yang paling tua. Sebagai contoh seorang dari kelompok si’ulu atau kelompok bangsawan Nias yang bernama Bapak F. Wau beliau dipanggil dengan nama Ama Devi Wau (nama anak yang paling tua adalah Devi) dan semenjak melaksanaakan ritual owasa (upacara pesta besar) kepada beliau dianugerahi gelar kebangsawanan “Tuha Samae Ewali” dan sejak saat itu beliau dipanggil sesuai nama gelarnya. Contoh lain dari kelompok si’ila yakni Bapak Ariston Manaö kebetulan beliau menjabat sebagai Kepala Desa Bawömataluo kepada beliau dipanggil oleh masyarakat umum dengan nama Amada Salawa (Bapak Kepala Desa), untuk lingkungan keluarga dan kerabat dekat beliau dipanggil dengan nama Ama Rocky Manaö (nama anak yang paling tua adalah Rocky), dan dalam posisi adat beliau dipanggil sesuai dengan gelar yang telah diperoleh dari pengetua-pengetua adat yakni “Söfu Farökha”. Ini merupakan norma yang mendukung terciptanya ikatan sosial yang kuat dalam kalangan masyarakat Nias. Adat dan kelompok adat adalah unsur-unsur yang paling sentral dan kuat dikalangan masyarakat Nias Selatan, maupun masyarakat Nias umumnya. Kekuatan adat tersebut ditunjukkan dalam kehidupan mereka melalui peristiwa
131
ritual pengukuhan status sosial dalam hal ini seperti gelar kebangsawanan seseorang. Peranan penyajian Hoho Faluaya dalam konteks pengukuhan gelar adat ini adalah suatu yang sangat menentukan dan dianggap sebagai penguat status sosial. “Musik mencerminkan nilai-nilai, pengatur kondisi sosial dan perilaku kultur lainnya.” Musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Dan sebagaimana aspek-aspek kebudayaan lainnya, musik niscaya akan mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang mendasarinya, yang menghidupkan kebudayaan tersebut secara menyeluruh. Penyajian Hoho Faluaya mempunyai hubungan erat dengan struktur adat. Status para penyaji Hoho Faluaya didasarkan atas peran yang dimainkannya. Kafalo Zaluaya/ Sondroro (leader hoho) yakni seorang yang memandu nyanyian dan tarian serta yang menentukan kapan dimulai dan kapan berhenti dan selalu diakui sebagai pemimpin secara adat di antara mereka. Ia mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan dan mengemas tema pesan yang akan disampaikan. Menurut adat Nias, apabila pihak yang meminta hoho memberikan suatu penghargaan maka pemimpin hoho inilah yang harus menerima penghargaan tersebut. Dalam hal pendapatan di antara para bohalima (peserta tari), ia juga yang akan mendapat imbalan yang lebih besar. Tingkatan kedua yaitu para Sanoyohi (fanema sato)yakni mereka yang mendapat peran sebagai penegas teks hoho yang dilantunkan oleh seorang Sondroro. Jadi peran mereka adalah menjawab apa yang disyairkan oleh sondroro dengan gaya nyanyian yang khas dari kelompok sanoyohi yang minimal terdiri
132
dari 2 kelompok sanoyohi dan masing-masing minimal terdapat 2 orang di dalamnya. Jabatan yang diperankan dalam Hoho Faluaya juga mempunyai hubungan dalam kelompok adat khususnya di Nias Selatan, yang terdiri dari empat kelompok masyarakat yakni: (1) si’ulu (bangsawan); (2) éré (pemuka agama pelebegu); (3) ono mbanua (rakyat biasa/jelata); (4) sawuyu (budak). Selanjutnya lapisan si’ulu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu balö ziulu (yang memerintah) dan si’ulu (bangsawan kebanyakan). Ono mbanua dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu si’ila (cerdik pandai dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat kebanyakan). Akhirnya sawuyu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu binu (orang yang menjadi budak karena kalah perang atau diculik), sondrara hare (orang yang menjadi budak karena tak dapat membayar hutang), dan halite (orang yang menjadi budak karena ditebus orang setelah dijatuhi hukuman mati). Dari semua golongan budak nasib binu adalah yang paling buruk, karena dari kalangannyalah yang dapat dipilih untuk dikurbankan pada upacara-upacara yang memerlukan kurban manusia. Sebagaimana peran sondroro/kafalo zaluaya adalah seseorang yang terpilih karena keahliannya, kecerdasannya dan kemampuannya memimpin khususnya ber-hoho dan menari faluaya dari kelompok si’ulu atau si’ila bahkan kelompok ere. Namun peran ini lebih didominasi oleh kelompok si’ila dan kelompok ere. Sedangkan peran sanoyohi biasanya dari kelompok si’ila (cerdik pandai dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat kebanyakan), keseluruhan penyaji Hoho Faluaya ini adalah kelompok prajurit perang (bohalima).
133
4.2.4 Fungsi Perekat Kehidupan Masyarakat Yang dimaksud perekat kehidupan masyarakat adalah tali pengikat kekeluargaan di antara masyarakat Nias. Hal ini tergambar pada Hoho Siöligö bahwa seluruh masyarakat harus bersatu bergandeng tangan menunjukkan semangat kebersamaan membangun dan mempertahankan desa warisan leluhur mereka. Menurut Merriam (1964: 227) salah satu fungsi musik adalah sebagai wadah atau sarana untuk berkumpul bagi masyarakatnya. Demikian juga halnya dengan konteks upacara adat masyarakat Nias merupakan wadah atau sarana bagi pihak sawatö (pemilik pesta) dengan seluruh unsur kekerabatannya untuk berkumpul, berinteraksi, dan mempererat
hubungan yang terjalin di antara
mereka semuanya. Adanya Hoho Faluaya sebagai sebuah penyajian utama pada peristiwa
ritual
besar
yang
melibatkan
seluruh
masyarakat
khususnya
Bawömataluo, menjadi momen berkumpul serta berinteraksi sehingga melahirkan ikatan yang kuat di antara mereka.
4.2.5 Fungsi Komunikasi dan Penyampaian Pesan Masyarakat Nias dalam menyampaikan maksud keinginannya selain melalui ucapan biasa, akan lebih berharga dirasakan apabila dilakukan dengan menggunakan pepatah (amaedola). Amaedola atau Vfamaedo (Nias Selatan) merupakan salah satu cara yang berwibawa dalam menyampaikan maksud dan tujuan apalagi yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat. Selain dengan amaedola masyarakat Nias juga mengungkapkannya melalui Hoho. Menurut Merriam (1964: 220) manusia sebagai makhluk sosial dalam
134
kehidupannya senantiasa berkomunikasi dengan sesamanya. Komunikasi sebagai proses penyampaian sesuatu pesan kepada yang dituju dapat berupa lisan dan tulisan, maupun isyarat. Penyampaian semua bentuk komunikasi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik jika mempunyai sarana-sarana tertentu. Salah satu sarana komunikasi tersebut adalah melalui musik. Untuk itu dapat dilihat dan dirasakan bahwa musik hoho disini berfungsi sebagai alat penyampai pesan. Ketika Hoho Faluaya dikumandangkan dalam suatu upacara adat berarti sedang terjadi penyampaian pesan kepada seluruh masyarakat. Seperti fohuhugö (seruan persetujuan yang dipekikkan) berfungsi mengirim pesan dan meminta jawaban terhadap pesan. Demikian halnya dengan fu’alö, fadölihia, dan siöligö beberapa pesan dikirim lewat seorang Sondroro dan yang mewakili masyarakat yakni kelompok Sanoyohi menerima pesan dan menjawab pesan tersebut. Mereka saling mengerti bahwa musik yang dinyanyikan dan gerakan tarian tersebut merupakan tanda adanya satu peristiwa upacara adat. Selain itu, Hoho Faluaya juga mau menyampaikan pesan terhadap identitas etnis. Sebagai salah satu dari sekian banyak kelompok etnis di Indonesia, masyarakat Nias yang tertarik pada tari-tarian dan musik tradisionalnya, sangat menyadari keunikan musik mereka, baik di dalam maupun di luar tradisi Hoho. Pada acara-acara silaturahmi, sebagian dari anggota masyarakat sering muncul “nasionalisme primitif kesukuan” dengan musik, tarian dan adat sebagai titik tolak semangat. Pada acara seperti ini kerap kali sangat membantu penyebaran musik dan tari-tarian Nias, yang mempengaruhi musik dan tari-tarian nasional Indonesia.
135
Dengan demikian, pergelaran Hoho Faluaya merupakan suatu acara guna mengkomunikasikan karakter dan kebanggaan etnis mereka.
4.2.6 Fungsi Nilai-Nilai Estetis Nilai-nilai estetis yang dimaksud di sini adalah bagaimana masyarakat Nias menempatkan dirinya ketika berada dalam suasana seremonial atau keterlibatannya dalam upacara adat. Seperti pengukuhan gelar bangsawan yang diberikan oleh pengetua adat Nias (si’ulu dan si’ila) dilakukan dengan menuturkan bagaimana gelar tersebut dapat diberikan kepada seseorang yang ternyata telah banyak memberikan jasa terhadap pembangunan desa mereka. Dalam konteks Hoho Faluaya sebagai sarana pengukuhan gelar bangsawan, tuturan yang disampaikan tidak sekedar menggunakan ucapan biasa namun dengan mempertimbangkan pemilihan kata-kata yang menggambarkan nilai-nilai estetis yang kemudian dirangkai dalam bentuk kalimat syair dengan penuh ketelitian, keahlian dan kecerdasan yang dimiliki oleh seorang ere hoho / sondroro hoho / sifahoho. Kalimat syair tersebut dibahasakan dengan melantunkannya atau disampaikan dengan nyanyian (ber-hoho) sehingga terjalin hubungan tekstual, sifat puitik, dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian. Hubungan inilah yang menjadi ukuran keseriusan pelaksanaan sebuah upacara adat pengukuhan gelar bangsawan tersebut di atas. Berbicara nilai-nilai estetis Hoho Faluaya tentu bukan hanya sekedar melihat yang terhayati dari unsur teks yang dinyanyikan saja (hoho), namun harus melibatkan penghayatan terhadap keindahan gerak atau tarian (faluaya). Tarian
136
Faluaya merupakan bagian dari ritual adat sehingga tidak boleh dipandang hanya sebagai suatu aturan atau kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun, oleh sebab itu dalam menarikannya juga sekaligus tergambar nilai-nilai estetika (keindahan). Nilai-nilai estetik tersebut tidak hanya dapat dirasakan oleh para pelaku tari (fanari), namun sekaligus juga dapat dimengerti oleh penonton pada umumnya. Sikap serius tersebut berhubungan erat dengan penghayatan estetis si penari terhadap nyanyian yang mengiringinya. Hubungan di antara bunyi musik dalam mengiringi tarian dan gerakan-gerakan tari yang dilakukan akan menampakkan nilai-nilai estetik, baik bagi penari, maupun bagi penonton yang terlibat. Selain itu, menari secara serius dan sungguh-sungguh dalam suatu upacara adat sekaligus juga merupakan cerminan dari rasa hormat serta sikap tulus terhadap semua pihak yang terlibat dalam upacara adat tersebut. Sikap serius dalam menari timbul atas dasar penghayatan bunyi musik yang mengiringinya. Dimanapun di dunia ini, tampak jelas bahwa musik mempunyai peran yang kuat dalam mengungkapkan suasana hati seseorang. Pengungkapan suasana hati itu dapat bersifat spesifik seperti halnya pada lagu yang bernuansa politis maupun lagu-lagu percintaan yang mau mengungkapkan perasaan dan kepuasan diri. Apapun jenis suasana hati yang diekspresikan dalam proses pembuatan musik, akan menggugah reaksi dari para pendengar dan reaksi itu tidak lepas dari pementasannya. Maksudnya adalah nuansa lagu yang dibawakan disesuaikan dengan suasana upacara adat. Sebagai contoh, untuk pesta perkawinan, pesta
137
panen dan pesta meriah lainnya tentu sangat berbeda nuansa musiknya dengan suasana kematian atau kesedihan. Salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi suasana hati terhadap musik di kalangan masyarakat Nias adalah tempo musik yang dibawakan. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai tempo sedang hingga tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk yang berhubungan dengan hal-hal musibah, kekecewaan, kesedihan dan kerinduan hati. Banyaknya lagu-lagu sedih di daerah Nias dan digunakannya istilah fange’esi menggambarkan makna suasana hati dari lagu-lagu tersebut serta persepsi masyarakat Nias terhadap lagu-lagu tersebut. Pengungkapan perasaan mungkin paling mudah dan sederhana untuk difahami dari lirik yang dikandungnya. Seorang pemimpin (ere/sondroro/sifahoho) mempunyai peran penting dalam suasana ini. Pemandu hoho ini menjadi pemicu dalam memulai dan memfasilitasi pengungkapan perasaan yang sesuai untuk masing-masing situasi dengan cara “menghidupkan” syair yang dibangun untuk yang dinyanyikan. Sebagai contoh, dalam Hoho Faluaya seorang sondroro harus mampu membangun teks yang berisikan ungkapan semangat patriotisme atau semangat perjuangan, semangat kemenangan maupun semangat tidak terkalahkan dan pantang menyerah. Keberhasilan seorang sondroro, adalah bila syair yang dibangunnya mendapat respon positif dari para bohalima (prajurit perang/penari perang), sehingga bagi yang mendengar atau menyaksikan kehadiran mereka akan ikut terbakar semangatnya atau bahkan menjadi takut dan gentar bila itu orang
138
yang tidak senang pada kehadiran mereka.
Teks yang terbentuk
dikuatkan
dengan ekspresi gerak tarian berperang oleh para bohalima, sehingga lengkaplah sudah suasana emosional dapat tersajikan. Bentuk semangat patriotisme yang diwujudkan dalam aktivitas Hoho Faluaya memiliki fungsi lahirnya nilai-nilai estetis.
4.2.7 Fungsi Hiburan dan Ucapan Syukur Ungkapan syukur seperti yang dilakukan para bohalima pada saat melakukan Hoho
Fadölihia
merupakan sebuah ungkapan kegembiraan,
kebanggaan, dan kepuasan mereka terhadap apa yang sudah diberikan oleh pemimpin-pemimpin mereka. Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1987: 71) menguraikan bahwa semua aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia. Dihubungkan dengan kesenian sebagai aktivitas kebudayaan dalam suatu masyarakat maka keberadaan suatu bentuk kesenian tidak semata-mata ditentukan oleh seniman sebagai pelaku kesenian, namun yang lebih penting lagi adalah terletak pada penerimaan masyarakat sebagai penikmat dan sekaligus apresiator terhadap suatu bentuk kesenian. Melihat penyajian Hoho Faluaya utamanya berfungsi sebagai ritual adat namun dalam pengamatan penulis penyajian tersebut tidak menutup kemungkinan adanya aspek hiburan dalam penyajiannya. Kenyataan ini dapat terlihat dari ekspresi para penonton yang hadir menyaksikan pergelaran Hoho Faluaya baik untuk pengukuhan gelar adat bangsawan Nias maupun untuk atraksi budaya, yang
139
dihadiri oleh para turis asing atau domistik. Dalam penyajiannya penonton dapat dilibatkan untuk ikut serta menari dan menyanyi khususnya dalam penyajian Hoho Siöligö yakni salah satu jenis nyanyian dan tarian yang terdapat dalam Hoho Faluaya. Keterlibatan penonton menunjukkan rasa kebersamaan sesuai dengan makna Siöligö menggambarkan gerakan persatuan sambil menari dan bernyanyi bersama sambil bergandengan tangan satu dengan yang lainnya tanpa ada tombak dan tameng di tangan, sehingga terlihat wajah gembira diantara penonton yang terlibat. Proses belajar secara lisan pun tergambar pada saat mereka melakukan Hoho Siöligö. Saling memberitahukan teks apa yang hendak diucapkan (dinyanyikan) dan langkah apa yang harus digerakkan dengan perasaan penuh kegembiraan. Dengan formasi membentuk lingkaran besar terus berkeliling sambil berpegangan tangan dengan menggerakkan langkah yang sama namun teks nyanyian (hoho) yang berganti-ganti, dan akhirnya gerakan dan nyanyian dihentikan dengan syair penutup oleh sondroro hoho dan dijawab dengan secara serempak oleh peserta yang terlibat dengan jawaban Hu!
4.2.8 Fungsi Pengiring Gerakan Tarian Faluaya Dalam hal ini Hoho Faluaya berfungsi sebagai musik pengiring untuk menggerakkan fisik (menari). Kaitan fungsi ini dengan penyajian Hoho Faluaya dapat dilihat pada saat para bohalima menari. Artinya pada saat hoho dilantunkan oleh sondroro, alunan melodi secara spontan merangsang perasaan para bohalima yang mendengarnya, dan dengan rasa itu kemudian menggerakkan fisik mereka
140
dengan melakukan gerakan-gerakan (gesture) berperang sebagai ungkapan semangat patriotisme yang masih mengalir di darah para prajurit perang / penari perang (bohalima). Reaksi ini mereka perlihatkan dengan melakukan gerakan bertahan, mengendap, menyerang, menangkis, dan gerakan lain seperti berperang melawan musuh dan semua itu dilakukan dengan indah dan khas yang merupakan gerakan tari.
4.2.9 Fungsi Pertahanan Budaya Merriam (1964: 225) menjelaskan bahwa musik juga merupakan suatu perwujudan dan aktivitas yang bertujuan untuk mengekspresikan nilai-nilai. Dengan demikian, fungsi musik tersebut menjadi bagian dari beragam pengetahuan manusia lainnya seperti sejarah, mitos, dan legenda. Dengan demikian musik berfungsi bagi kesinambungan kebudayaan yang diperoleh melalui transmisi pendidikan, kontrol terhadap perilaku yang salah, menekankan kepada kebenaran, dan pada akhirnya menyumbangkan kepada stabilitas (kesinambungan) kebudayaan. Hoho merupakan salah satu pendukung pelaksanaan berbagai upacara adat pada masyarakat Nias. Disebutkan sebagai upacara adat karena memiliki aturan-aturan tertentu dan dilaksanakan secara turun-temurun. Dengan masih disertakannya Hoho Faluaya dalam ritual adat pengukuhan gelar bangsawan Nias, maka kesinambungan kebudayaan etnis Nias masih berlangsung sampai saat ini. Dalam konteks Hoho Faluaya dalam ritual adat pengukuhan gelar bangsawan
141
Nias, bernyanyi sambil menari sebagai satu bagian dari
budaya Nias terus
menjadi suatu aktivitas yang digemari oleh masyarakat Nias pada umumnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Hoho Faluaya dijadikan sebagai sarana untuk menjaga kelangsungan nilai-nilai kultural dan keagamaan. Hoho Faluaya juga menjadi alat untuk pengikat dan peneguh ikatan sosial dan upacara-upacara kultural maupun keagamaan yang dianggap penting oleh masyarakat Nias.
142
BAB V ANALISIS TEKS HOHO FALUAYA
5.1 Analisis Semiotik Penyajian Teks Hoho Faluaya Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi-nya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik ( the study of signs). Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari-hari kita seperti tanda-tanda lalu lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya. Semiotik meliputi studi seluruh tanda -tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Di samping itu sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang dapat berupa gambaran, lukisan dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan bahasa tubuh (body language). Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan
143
menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Berdasarkan pendekatan teori-teori semiotik pada bab I, maka penulis akan menggunakannya dalam rangka melihat makna, maksud dan tujuan teks Hoho Faluaya. Adapun langkah yang akan penulis lakukan dalam proses pembentukan interpretant yakni pertama: melakukan abduksi (firstness), berarti memperoleh gagasan tentatif, sebagai suatu kemungkinan, kedua: lewat proses nalar deduktif (secondness) diperoleh suatu yang telah memperoleh validasi berlebih karena ditopang konsekuensi logis, ketiga: lewat nalar induktif (thirdness), validitas karena konsekuensi praktis dalam masyarakat. Akhirnya, semiosis
pragmatik
ini
menjadi
suatu
epistemologi
yang
memperoleh
keabasahannya bukan lewat teori kebenaran korespondensi (persesuaian gagasan dengan realitas), tetapi karena ditopang secara pragmatis dalam suatu realitas khusus, menjadi menganut realisme sosial dalam teori pengetahuannya. Selanjutnya dengan tipologi tanda oleh Pierce, proses epistemolgi atau semiosis berlangsung menurut dua tahap. Tahap pertama adalah lewat proses “logical argumentation” dalam urutan abduksi, deduksi, dan induksi sehingga tiga tahap fenomenologi pun diterapkan pada tahap ini. Tahap kedua adalah lewat sistem triadik, yakni penjelajahan relasi antarunsur-unsur tanda secara tipologis. Dengan kata lain, tahap pertama memperhitungkan ketiga unsurnya, sedangkan tahap kedua menkaji kaitan antarunsur secara berturut-turut dalam tipologi semiotik sebagaimana terlihat berikut :
144
Interpretant
Tanda (Representament)
Objek
Pengetahuan diperoleh lewat semiosis dan merupakan pengetahuan tidak langsung, yang diperoleh lewat tanda-tanda. Pengetahuan tidak diperoleh langsung dari objek atau realitas (garis terputus-putus). Lewat Barthes, melihat objek teks sebagai tanda denotatif dan interpretant sebagai konotatif. Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari musik disamping perilaku empunya musik itu sendiri. Suatu hal yang penting untuk dimengerti dari manusia dalam hubungannya dengan musik adalah teks nyanyian. Teks nyanyian merupakan lebih dari bahasa tata tingkah laku, tetapi teks nyanyian merupakan bahagian integral dari musik. (Merriam, 1964: 187) Dari hasil wawancara penulis dengan Hikayat Manaö, beliau mengatakan arti dari Faluaya itu sendiri adalah menari dengan membentuk gerakan-gerakan perang. Dan Hoho Faluaya itu sendiri adalah sebuah nyanyian bertujuan untuk membakar semangat jiwa para bohalima. Syair (teks) yang disampaikan dalam
145
Hoho Faluaya tersebut berisikan penekanan atau dorongan semangat untuk mengingatkan bahwa begitu pentingnya mempertahankan wilayah perkampungan mereka dengan mengisahkan keperkasaan dan perjuangan leluhur mereka dalam membangun desa dan mempertahankannya dari ancaman musuh. Sehingga dalam hoho ini kelihatan ekspresi para bohalima yang diungkapkan dalam gerakan fisik (tubuh) mereka pada saat hoho ini dikumandangkan. Hal ini dapat terlihat saat mereka menggambarkan bagaimana sikap mereka pada saat melawan atau menyerang musuh, bertahan terhadap serangan musuh, mengintai posisi musuh, bagaimana melompati pagar atau tembok pertahanan musuh, dan lain-lain yang menggambarkan strategi berperang. Gerakan-gerakan yang dilakukan ini sekarang lebih dikenal dengan nama Tarian Perang (War Dance), dimana ada Panglima Perang (Kafalo Zaluaya) atau pemimpin tari perang dan ada prajurit perang (bohalima) atau rombongan tari perang. Dibawah ini akan penulis transkripsikan teks Hoho Faluaya yang disajikan oleh Hikayat Manaö (Ama Gibson) sebagai Kafalo Zaluaya/ Sondroro/ Ere Hoho dengan 2 (dua) orang kelompok sanoyohi masing-masing terdiri dari 2 (dua) orang. Dalam pengkajian teks hoho ini penulis mentranskripsi dua jenis seruan persetujuan yang sering diulang sebagai sebuah penegasan dalam bentuk hampir seperti pertanyaan disebut Fohuhugö dan Hivfagö serta trasnkripsi struktur penyajian utama teks yang terbagi dalam 3 (tiga) jenis hoho dengan urutan pemakaian, yakni: (1) Hoho Fu’alö, (2) Hoho Fadölihia, dan (3) Hoho Siöligö. Selanjutnya transkripsi
penyajian teks hoho ini tidak seluruhnya penulis
tuangkan, hal ini dikarenakan setiap hoho bisa saja disajikan selama berjam-jam.
146
Dengan latar ini, tidak memungkinkan bagi penulis untuk merekam teks hoho tersebut secara utuh, melainkan hanya mengambil beberapa teks dari jenis hoho tersebut di atas agar dapat memberi gambaran atas masing-masing hoho. Analisis ini mengarah kepada teks atau syair nyanyian seperti disebut di atas, dengan menggunakan teori semiotik, Hal ini dilakukan dalam rangka memahami dan menafsirkan makna, maksud dan tujuan teks dari jenis-jenis karya musikal hoho tersebut di atas. Ini penting dilakukan karena bagaimanapun teks musik adalah sebagai ekspresi lanjutan dari teks ritual masyarakat Nias, khususnya Hoho Faluaya.
5.2. Analisis Teks Hoho Faluaya Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penyajian Hoho Faluaya terdiri dari dua jenis seruan persetujuan (Fohuhugö dan Hivfagö) serta 3 jenis hoho berdasarkan isinya, dengan urutan penyajian (1). Hoho Fu’alö, (2). Hoho Fadölihia, dan (3). Hoho Siöligö, akan penulis deskripsikan apa yang menjadi objek tanda dimana penanda (Signifier) dan petanda (Signified)sehingga dapat terpaparkan makna denotatif dan konotatif dari Hoho Faluaya yang akan disajikan dengan format penulisan seperti di bawah ini : Masing-masing jenis hoho tersebut akan dideskripsikan dalam bentuk tabel seperti contoh di halaman berikut ini :
Contoh format penulisan:
147
Penyaji Son
Teks Nyanyian -Heia hé haia dahumalö
Terjemahan Informan - Apa yang mau kita
dahumalö
ambil:
(mengambil)
Sa.1
-Aé hu! Hé
-Ya
Sa.2
-Aé hu! Hé
-Ya
NO 1.
Denotasi
Konotasi
Objek / Tanda
Keterangan
mengambil: usaha
mengambil: tindakan
frase teks pembuka
memperoleh/
menanyakan apa yang
fu’alö ini merupakan
mendapatkan sesuatu.
hendak dilakukan/
bentuk pertanyaan
dikerjakan/diperbuat
kepada bohalima apa
sekarang.
yang mau diperbuat.
Demi kemudahan penulisan dan untuk efisiensi pencatatan penulis menggunakan singkatan untuk penyaji Hoho Faluaya, yakni menuliskan Sondroro dengan “Son”, Sanoyohi pertama dengan “Sa.1” dan Sanoyohi kedua dengan “Sa.2”. Untuk seluruh prajurit termasuk sanoyohi hoho akan ditulis dengan “Sa.1 & Sa.2“. Dalam pendekatan ucapan Bahasa Nias asli (Li Niha) dalam penulisan teks hoho, maka dalam pentranskripsian ini penulis menggunakan huruf bunyi tunggal (vokal) yang khas yaitu ö, yang hampir sama dengan ‘e’ pepet seperti menyebutkan “enam” dan é seperti dalam penyebutan “tembok”, seperti pada penjelasan sub bab bahasa pada bab II.
5.2.1 Analisis Teks Fohuhugö (Hugö)
148
Kegiatan ini diawali dengan hugö27. Sebelum Hoho Fu’alö terlebih dahulu dilaksanakan Fohuhugö. Fohuhugö (hugö) adalah sebuah teriakan atau seruan yang memberi makna ‘meminta’ persetujuan atau kesepakatan atas apa yang hendak dilaksanakan dan atas apa yang telah dilaksanakan. Seruan ini diteriakkan oleh seorang Sondroro hoho setelah memahami konteks apa yang akan diajukan untuk disetujui atau disepakati. Melihat makna dari fohuhugö maka seruan ini akan hampir sering terdengar diserukan sebelum memulai hoho dan setelah selesai perbagian dari hoho yang akan dan telah dikumandangkan dalam rangkaian kegiatan penobatan gelar bangsawan ini. Demikian pula fohuhugö ini digunakan sebelum Hoho Fu’alö ,dan saat sebelum Hoho Fadölihia, serta saat sebelum dan sesudah Hoho Siöligö, dengan teks yang terlebih dahulu sudah disesuaikan dengan konteks apa yang hendak disepakati atau disetujui sebelum diserukan. Seperti hugö dibawah ini sebagai pembuka acara. Seorang Sondroro (Hikayat Manaö) akan melakukan hugö ‘meminta’ jawaban persetujuan adakah semua yang hadir setuju dan sepakat untuk dilaksanakan acara besar ini (dalam hal ini pengukuhan gelar kebangsawanan seorang Menteri Negara Pembangunan Desa Tertinggal yakni Ir. H. Ahmad Helmy Faisal Zaini pada Juni 2011). Tabel 5.1 27
Dalam J.Kunt (1939:14) penulis terjemahkan: Ketika menyanyi dan menari telah berlangsung selama beberapa waktu, kebutuhan untuk waktu yang singkat, kebutuhan untuk jeda pendek yang menentukan. Salah seorang pria kemudian menyanyikan fangu hugo. Ini adalah suatu kalimat penuh yang dinyanyikan dalam nada yang sama (g' atau a’) dan dalam nuansa gembira, diteriakkan dengan suara yang lantang. Kalimat yang dikatakan: "hugo-hugo" (CN) atau "mihugo" (SN) "si ha sara todo" yang berarti: "Kami semua seide sepikir". Kemudian bersama-bersama dengan teriakan "Hu" atau "Hiu".
149
Analisis Teks Hugö Penyaji
-Tari humöhö tabörötai
Terjemahan Informan - Sudahkah bisa kita
tabörötai tabörögö
tabörögö
mulai:
(memulai)
Sa.1& 2
- Hu!
-Ya kami bersedia
bahijalé (teruskan)
Son
- Bahijalé
-Mari lanjutkan
Sa.1& 2
- Ha!
-Ya mari
Son
NO 1.
Teks Nyanyian
Denotasi
Konotasi
Objek / Tanda
Keterangan
memulai: upaya untuk
memulai: tindakan
frase Hugö ini
segera melakukan
bertanya apa ada
merupakan bentuk
sesuatu.
yang keberatan
pertanyaan apakah
acara ini
masyarakat yang hadir
dilaksanakan.
setuju acara ini dimulai.
teruskan: jangan
teruskan: jika tidak
frase Hugö ini bersifat
berhenti
ada yang keberatan
call respons.
boleh dilanjutkan jangan berhenti.
Deskripsi Penyajian Teks Hugö: Sondroro menanyakan apakah acara ini sudah dapat kita mulai? Jika seluruh yang hadir sudah merasa sepakat dan setuju maka akan dijawab secara serempak oleh kelompok ini dengan mengatakan Hu ! (ya kami sepakat, ya kami setuju). Namun biasanya mereka semua akan setuju karena sebelum dilaksanakannya upacara pengukuhan gelar adat bangsawan ini, terlebih dahulu dilakukan musyawarah (orahu) oleh pengetua-pengetua adat dalam menetapkan gelar apa yang pantas diberikan nanti untuk disahkan dalam upacara pengukuhan tersebut. Setelah dijawab dengan Hu !, sondroro mengajak kembali dengan mengatakan bahijalé yang berarti jika sudah semua sepakat dan setuju
150
untuk dimulai, maka marilah kita lanjutkan, dan ajakan ini sambut kembali oleh sanoyohi dan seluruh prajurit dengan mengucapkan Ha ! yang berarti ya mari kita lanjutkan.
5.2.2 Analisis Teks Hivfagö Setelah hugö oleh sondroro maka kelompok ini akan melanjutkannya dengan melakukan gerakan ohigabölöu untuk menyusun barisan dan melakukan gerakan hivfagö apabila barisan sudah tersusun. Untuk menghentikan gerakan ini dilakukan kembali berupa seruan hivfagö untuk menegaskan hugö di atas, seperti teks di bawah ini. Tabel 5.2 Analisis Teks Hivfagö Penyaji Son
- Hé fa
Terjemahan Informan -Mari,
Sa.1& 2
- khöyöla,
-bermain
2. la’ imba, imba horö
- La’ imba, imba horö
-babi jantan liar
(babi jantan yang kuat)
-He yaiya, yaiya hö!
-Ya, lakukan
- Hu ! Hu ! Ha !
-Ya, pasti
NO 1.
2.
Teks Nyanyian
Denotasi
Konotasi
Objek / Tanda 1. fakhöyöla (bermain)
Keterangan
bermain: beratraksi,
bermain: aktifitas
frase Hivfagö ini
bergerak, bercanda
beratraksi.
menunjukkan symbol
babi jantan yang kuat:
babi jantan yang
keperkasaan para
hewan liar yang
kuat: menunjukkan
bohalima. frase Hivfagö
berbahaya.
keperkasaan.
bersifat call respons.
5.2.3 Hoho Fu’alö
151
Selanjutnya penyajian Hoho Fu’alö yang terdiri dari 10 (sepuluh) bait syair bermaksud menyatakan bahwa kelompok Faluaya dalam kondisi siap siaga atau siap berperang. Terlihat dalam isi syair hoho-nya yang banyak menuturkan perihal keperkasaan dan kehebatan kelompoknya sehingga seolah-olah pasukan mereka tidak akan terkalahkan, dan sepertinya tidak ada kelompok yang lebih kuat dari kelompok mereka. Selain dari hoho yang disampaikan, semangat keperkasaan kelompok ini juga terekspresikan dalam gerakan perang
fu’alö.
Berikut analisis teks Hoho Fu’alö Bait 1: Tabel 5.3 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 1 Penyaji
- Heia hé haia
Terjemahan Informan - Apa yang mau kita
1. dahumalö
dahumalö
ambil:
(mengambil)
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
2. dahumalö manö-
Son
- Ohaia ba haia
- Apa pokok
manö
dahumalö manö-manö
pembicaraan :
(mengambil bahan
- Aé hu! Hé
-Ya
pembicaraan)
Son
Sa.1& 2
NO 1.
2.
Teks Nyanyian
Denotasi
Konotasi
Objek / Tanda
Keterangan
mengambil: usaha
mengambil: tindakan frase teks pembuka
memperoleh/
menanyakan apa
fu’alö ini merupakan
mendapatkan sesuatu.
yang hendak
bentuk pertanyaan
dilakukan/
kepada bohalima apa
dikerjakan/diperbuat
yang mau diperbuat.
sekarang.
frase berikutnya
mengambil bahan
mengambil bahan
menayakan apa yang
pembicaraan: usaha
pembicaraan:
mau dijadikan bahan
152
mendapatkan bahan
tindakan
pembicaraan.
pembicaraan.
menanyakan apa
(usaha memperjelas
bahan pembicaraan
pertanyaan frase 1).
yang hendak disusun
Setiap frase bersifat call
sekarang.
respons dan counter frase (pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 1: Sebagai teks pembuka dari Hoho Fu’alö seorang sondroro menuturkan apa yang hendak kita lakukan sekarang, dan apa yang mau kita jadikan pokok pembicaraan utama kita. Dalam hal ini sondroro hoho menanyakan kepada kelompoknya kata-kata apa yang tepat yang harus disampaikan dalam upacara ini. Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 2: Tabel 5.4 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 2 Penyaji
Son
Teks Nyanyian
Terjemahan Informan
Objek / Tanda
- Ohaia hé haia
- Apa yang mau kita
1. dahumalö
dahumalö
ambil:
(mengambil)
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
2. dahumalö vfamaedo
Son
- Ohaia ba haia
- Apa yang diambil
(mengambil kata
dahumalö vfamaedo
pepatah:
pepatah)
- Aé hu! Hé
-Ya
Sa.1& 2
NO 1.
Denotasi mengambil: usaha
Konotasi
Keterangan
mengambil: tindakan frase 1 teks bait 2 fu’alö
153
2.
memperoleh/
menanyakan apa
ini merupakan bentuk
mendapatkan sesuatu.
yang hendak
pertanyaan kepada
dilakukan/
bohalima apa yang mau
dikerjakan/diperbuat
diperbuat. frase
sekarang.
berikutnya masih
mengambil kata
mengambil kata
menayakan apa yang
pepatah: usaha
pepatah: tindakan
mau dijadikan bahan
mendapatkan kata
menanyakan apa
kata perumpamaan.
perumpamaan.
kata pepatah yang
(usaha memperjelas
hendak disusun
pertanyaan frase 1)
sekarang.
Setiap frase bersifat call respons dan counter frase (pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 2: Apa yang hendak kita ungkapkan sekarang, dan pepatah yang mana yang hendak kita tuturkan dan sampaikan. Dalam hal ini sondroro hoho menanyakan kembali kepada kelompoknya pepatah atau perumpamaan apa yang tepat yang harus disampaikan dalam upacara ini. Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 3:
Tabel 5.5
154
Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 3 Penyaji Son
Teks Nyanyian - Ohaia hé yaé ndraono
Terjemahan Informan - Inilah para pria:
matua
Objek / Tanda 1. ndraono matua (pria) 2. ndraono matua
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
sihino döla
Son
- Ohaia hé yaé ndraono
- Para pria yang
(pria yang kuat)
matua sihino döla
gagah perkasa:
- Aé hu! Hé
-Ya
Sa.1& 2 NO 1.
2.
Denotasi
Konotasi
Keterangan
pria: laki-laki (pria)
pria: prajurit perang
teks bait 3 fu’alö ini
desa Bawömataluo.
(bohalima) sebagai
merupakan bentuk
model panutan yang
pernyataan kepada
harus di contoh.
khalayak bahwa para
pria yang kuat: laki-laki
pria yang kuat:
bohalima yang perkasa
(pria) desa
prajurit perang
inilah yang
Bawömataluo yang
(bohalima)sebagai
membentengi desa
perkasa.
model panutan /
Bawömataluo dari
teladan yang harus di serangan musuh. contoh karena
Setiap frase bersifat call
keperkasaannya.
respons dan counter frase (pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 3: Sondroro mengelu-elukan bahwa yang sedang beratraksi ini adalah para pria pilihan (sebagai bohalima) yang kuat dan handal,
merekalah para pria yang gagah perkasa dari desa
Bawömataluo. Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 4: Tabel 5.6 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 4
155
Penyaji Son
Teks Nyanyian - Ohaia hé yaé ndraono
Terjemahan Informan - Inilah para pria:
matua
Objek / Tanda 1. ndraono matua (pria) 2. ndraono matua salio
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
boto
Son
- Ohaia hé yaé ndraono
- Para pria yang
(pria cepat tubuhnya)
matua salio boto
cekatan:
- Aé hu! Hé
-Ya
Sa.1& 2 NO 1.
2.
Denotasi
Konotasi
Keterangan
pria: laki-laki (pria)
pria: prajurit perang
teks bait 4 fu’alö ini
desa Bawömataluo.
(bohalima) sebagai
mendukung bait 3 yang
model panutan yang
merupakan bentuk
harus di contoh.
pernyataan identitas
pria cepat tubuhnya:
pria yang kuat:
para bohalima yang
laki-laki (pria) desa
prajurit perang
gesit dan cekatan dalam
Bawömataluo yang gesit (bohalima)sebagai
berperang. Setiap frase
tubuhnya.
bersifat call respons
model panutan /
teladan yang harus di dan counter frase contoh karena
(pengulangan)
kecekatannya.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 4: Sondroro kembali mengatakan bahwa yang sedang beratraksi ini adalah para pria pilihan (sebagai bohalima) yang kuat dan handal, merekalah para pria generasi penerus pejuang dari desa Bawömataluo.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 5:
156
Tabel 5.7 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 5 Penyaji Son
Teks Nyanyian - Ohaia hé oi humokha-
Terjemahan Informan - Bisa merinding:
hokha
Objek / Tanda 1. humokha-hokha (merinding)
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
2. humokha-hokha mbu
Son
- Ohaia hé oi humokha-
- Merinding yang
jamaigi
hokha mbu jamaigi
melihat:
(merinding yang
- Aé hu! Hé
-Ya
melihat)
Sa.1& 2 NO 1.
2.
Denotasi
Konotasi
Keterangan
merinding: seperti
merinding:
teks bait 5 fu’alö ini
kedinginan sampai
keperkasaan prajurit
menegaskan bait 4 yang
berdiri ujung bulu
sampai membuat
merupakan bentuk
dipori-pori.
orang takut.
pernyataan identitas
merinding yang melihat: merinding yang
para bohalima yang
seperti kedinginan
melihat: keperkasaan ditakuti dalam
sampai ujung bulu
prajurit sampai
berperang. Setiap frase
dipori-pori yang
membuat siapapun
bersifat call respons
melihat.
ketakutan bila
dan counter frase
melihatnya.
(pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 5: Sondroro mengungkapkan siapapun yang melihat para prajurit ini pasti merinding ketakutan, dan lari menghindar.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 6:
157
Tabel 5.8 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 6 Penyaji Son
Teks Nyanyian - Ohaia hé oi tumaro
Terjemahan Informan - Bisa merinding:
mbörö mbu
Objek / Tanda 1. tumaro mbörö mbu (merinding)
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
2. tumaro mbörö mbu
Son
- Ohaia hé oi tumaro
- Merinding yang
jiso
mbörö mbu jiso
datang:
(merinding yang
- Aé hu! Hé
-Ya
datang)
Sa.1& 2 NO 1.
2.
Denotasi
Konotasi
Keterangan
merinding: seperti
merinding:
teks bait 6 fu’alö ini
kedinginan sampai
keperkasaan prajurit
menegaskan bait
berdiri akar bulu dipori- sampai membuat
sebelumnya yang
pori.
orang takut.
merupakan bentuk
merinding yangdatang:
merinding yang
pernyataan identitas
seperti kedinginan
datang: keperkasaan
para bohalima yang
sampai berdiri akar
prajurit sampai
ditakuti dalam
bulu dipori-pori yang
membuat siapapun
berperang. Setiap frase
datang.
ketakutan, jangan
bersifat call respons
sampai
dan counter frase
mendatanginya.
(pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 6: Sondroro mengungkapkan lagi barang siapa yang menemuinya pasti akan ketakutan, sebab itu menghindarlah jangan sampai terlihat oleh pasukan ini apalagi sampai mendatanginya.
Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 7:
158
Tabel 5.9 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 7 Penyaji Son
Teks Nyanyian - Ohaia hé oi jumikhi-
Terjemahan Informan - Bisa bergetar:
jikhi
Objek / Tanda 1. jumikhi-jikhi (bergetar)
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
Son
- Ohaia hé oi jumikhi-
- Bergetar kaki ujung jagö
jikhi gahé jagö
atap :
(bergetar kaki ujung
- Aé hu! Hé
-Ya
atap)
Sa.1& 2 NO 1.
2.
Denotasi
2. jumikhi-jikhi gahé
Konotasi
Keterangan
bergetar: terjadinya
bergetar:
teks bait 7 fu’alö ini
goyangan kecil
keperkasaan prajurit
menegaskan bait
berulang dengan cepat.
sampai membuat
sebelumnya yang
tubuh musuh
merupakan bentuk
menggeletar.
pernyataan identitas
bergetar ujung atap:
bergetar ujung atap:
para bohalima yang
terjadinya goyangan
dengan keperkasaan
ditakuti dalam
kecil berulang dengan
prajurit membuat
berperang. Setiap frase
cepat di atap rumah
tubuh musuh
bersifat call respons
adat di bagian ujung
menggeletar
dan counter frase
titisan air.
ketakutan.
(pengulangan)
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 7: Sondroro mengingatkan kepada seluruh yang hadir bahwa pasukan ini bukan hanya membuat orang menggigil bahkan sampai gemeletar bila sudah mendengarnya. Gemetar bagaikan ujung atap rumah yang bagian ujungnya tertiup angin, sampai terlihat oleh pasukan ini. Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 8:
sebab itu menghindarlah jangan
159
Tabel 5.10 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 8 Penyaji Son
- Ohaia hé oi huméu-
Terjemahan Informan - Bisa berguncang:
Sa.1& 2
héu
-Ya
(berguncang)
Son
- Aé hu! Hé
- Berguncang
2. huméu-héu mbubu
- Ohaia hé oi huméu-
bumbung atap :
nomo
héu mbubu nomo
-Ya
(berguncang bumbung
Sa.1& 2
Teks Nyanyian
- Aé hu! Hé
Objek / Tanda 1. huméu-héu
atap)
NO
Denotasi
1.
berguncang: terjadinya
berguncang:
teks bait 8 fu’alö ini
goyangan lebih besar
keperkasaan prajurit
menegaskan bait
berulang dengan cepat.
sampai membuat
sebelumnya yang
tubuh musuh
merupakan bentuk
menggeletar.
pernyataan identitas
berguncang bumbung
berguncang
para bohalima yang
atap: terjadinya
bumbung atap:
sangat perkasa, kuat
goyangan lebih besar
dengan keperkasaan
dan ditakuti musuh
berulang dengan cepat
prajurit membuat
dalam berperang. Setiap
di bagian puncak/
tubuh musuh
frase bersifat call
bumbung atap rumah
menggeletar dan lari
respons dan counter
adat.
ketakutan.
frase (pengulangan)
2.
Konotasi
Keterangan
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 8: Sondroro kembali mengingatkan kepada seluruh yang hadir bahwa pasukan ini bukan hanya membuat orang merinding dan gemetar bahkan lebih dahsyat lagi sampai membuat orang yang mendengarnya dan melihatnya merasa terguncang ketakutan. Berguncang seperti
160
berguncangnya bumbung atap rumah adat karena tertiup angin yang sangat keras, Itulah keperkasaan mereka dan oleh sebab itu menghindarlah, jangan sampai terlihat oleh pasukan ini. Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 9: Tabel 5.11 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 9 Penyaji
- Ohaia hé ga baéwali
Terjemahan Informan - Di halaman puncak
1. ga baéwali hili
hili
gunung:
(halaman di puncak
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
gunung)
Son
- Ohaia hé ga baéwali
- Di halaman puncak
2. ga baéwali hili
hili fanayama
gunung fanayama:
fanayama
-Ya
(halaman di puncak
Son
Sa.1& 2 NO 1.
2.
Teks Nyanyian
- Aé hu! Hé Denotasi
Objek / Tanda
gunung fanayama) Konotasi
Keterangan
halaman di puncak
halaman di puncak
teks bait 9 fu’alö ini
gunung: pekarangan
gunung: wilayah
merupakan penyataan
desa yang letaknya
kekuasaan tempat
baru dengan tema
paling tinggi sehingga
tinggalnya para
wilayah keberadaan
dapat melihat desa lain.
prajurit yang perkasa
mereka Setiap frase
dan masyarakat yang
bersifat call respons
teranyomi.
dan counter frase
halaman di puncak
(pengulangan)
halaman di puncak
gunung fanayama:
Nb. fanayama =
gunung fanayama:
wilayah kekuasaan
julukan kebesaran desa
pekarangan desa adat
yang aman dan
Bawömataluo, seperti
Bawömataluo yang
damai tempat
Indonesia julukannya
letaknya paling tinggi
tinggalnya para
Nusantara. Sekarang
161
sehingga dapat melihat
prajurit yang perkasa
nama Fanayama telah
desa lain.
dan masyarakatnya.
menjadi salah satu kecamatan di Nias Selatan
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 9: Sondroro menuturkan bahwa seluruh pasukan sudah siap siaga di halaman yang letaknya paling tinggi di puncak gunung, dan di halaman yang letaknya di puncak gunung paling tinggi di desa kebanggaan mereka. Selanjutnya teks Hoho Fu’alö Bait 10:
Tabel 5.12 Analisis Teks Hoho Fu’alö - Bait 10 Penyaji
- Ohaia hé ga baéwali
Terjemahan Objek / Tanda Informan - Di halaman pemilik 1. ga baéwali famaédo
famaédo
pepatah:
(halaman pemilik
Sa.1& 2
- Aé hu! Hé
-Ya
pepatah)
Son
- Ohaia hé ga baéwali
- Di halaman
2. ga baéwali famaédo
famaédo danö
bangsawan kita:
danö
- Aé hu! Hé
-Ya
(halaman bangsawan/
Son
Sa.1& 2
Teks Nyanyian
raja) NO 1.
Denotasi
Konotasi
Keterangan
halaman pemilik
halaman pemilik
teks bait 10 fu’alö ini
pepatah: pekarangan
pepatah: wilayah
mendukung bait 9
desa bangsawan / raja.
kekuasaan para
dengan tema perihal
bangsawan dan para
wilayah kekuasaan
162
2.
pemimpin desa yang
yang luas. Setiap frase
sangat luas.
bersifat call respons
halaman
halaman
dan counter frase
bangsawan/raja:
bangsawan/raja:
(pengulangan)
pekarangan pendiri
wilayah kekuasaan
Nb. famaédo danö =
rumah adat besar
para bangsawan dan
nama gelar adat
(nifolasara)di desa
para pemimpin desa
kebangsawanan pendiri
Bawömataluo.
yang luas seluas
rumah adat besar
jagad raya mari
(nifolasara) desa
dijaga dan
Bawömataluo.
dipelihara.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fu’alö Bait 10: Sebagai teks penutup dari Hoho Fu’alö, sondroro menuturkan bahwa begitu luasnya wilayah kita terbentang terlihat dari puncak gunung ini, begitulah luasnya wilayah nusantara kekuasaan kita yang sepatutnya kita jaga bersama. Ungkapan sondroro ini disambut oleh kelompok sanoyohi dengan mengatakan demikianlah yang kita sepakati. Dari penyajian Hoho Fu’alö di atas teks (1) merupakan teks pembuka, teks (2) sampai dengan teks (8) merupakan teks isi, dan bagian penutup dari Hoho Fu’alö yakni teks (9) sampai dengan teks (10).
5.2.4 Hoho Fadölihia Setelah kata sepakat diperoleh, maka sebelum melakukan hoho fadölihia terlebih dahulu dilakukan fameafo oleh para wanita dengan membawa nafo (perlengkapan makan sirih) sambil menarikan tarian mogaélé. Fameafo
163
(pemberian sekapur sirih) kepada para bohalima dan kepada pengetua adat dan dalam hal ini kepada tamu kehormatan yakni Menteri Negara yang datang. Pemberian sirih ini adalah sebagai tanda penghormatan kepada orang-orang yang dihormati karena peran dan jasanya membela desa mereka. Para penari mogaélé ini berjalan dengan sangat perlahan melangkah menembus ditengah barisan para bohalima sebagai pengawal mereka, semua dalam situasi yang sangat hening menunggu para penari mogaélé melangkah menuju tempat duduk para pengetuapengetua adat dan para tamu kehormatan untuk memberikan sekapur sirih. Pada saat akan diberikan sekapur sirih terlebih dahulu disampaikan hugö oleh sondroro, sebagai pernyataan bahwa pemberian sekapur sirih merupakan hadiah yang sangat mulia dari seluruh masyarakat kepada para pengetua adat dan para tamu kehormatan ini karena mereka sangat senang dan bangga memiliki pemimpin-pemimpin yang melindungi desanya. Hugö diteriakkan pada awal akan diberikan dengan teks mengenai akan dimulainya pemberian sekapur sirih dan frase melodi sama dengan (lihat tabel 5.1). Hugö kembali diteriakkan menandakan telah selesai pemberian sekapur sirih kepada para pengetua adat dan tamu kehormatan tersebut. Selesai fameafo semua yang hadir menjadi gembira dan para bohalima mengungkapkan kegembiraan mereka dengan melakukan beberapa gerakan atraktif yang menggambarkan bahwa para bohalima sangat kuat dan perkasa. Pertunjukan ketangkasan (show force) oleh para bohalima dimulai dari melakukan gerakan Faluaya Zanökhö
menggambarkan
musuh sudah terkepung dengan
mengelilingi atau mengepung wilayah musuh. Gerakan Faluaya Zanökhö yang
164
dilakukan yakni dengan melangkahkan kaki kanan dua langkah kea rah kanan diikuti kaki kiri dan melangkahkan kaki kiri satu langkah ke kiri diikuti kaki kanan dan ditutup dengan hitungan empat oleh kaki kanan. Gerakan ini dilakukan sambil membentuk lingkaran dan mengepakkan baluse serta mengayun-ayunkan toho. Gerakan ini akan berganti menjadi gerakan hivfagö ketika sondroro meneriakkan seruan hivfagö (lihat tabel 5.2). Setelah gerakan terhenti atraksi yang seru dilanjutkan dengan menampilkan gerakan fasuwö untuk menggambarkan suasana dalam pertempuran atau perang antara dua kelompok, balusé bertabrakan. Selanjutnya famanu-manu yakni atraksi ketangkasan bohalima dalam bertempur melawan musuh satu lawan satu. Diteruskan dengan aksi fatélé yakni atraksi ketangkasan atau keahlian seorang bohalima. Selesai melakukan atraksi akhirnya para kontestan kembali masuk dalam barisan. Dan dilanjutkan kembali dengan menampilkan gerakan fasuwö untuk menggambarkan suasana dalam pertempuran atau perang antara dua kelompok, balusé bertabrakan, dan pada saat semua bohalima berhadapan dengan posisi kuda-kuda gerakan dihentikan dengan seruan Ha! Kemudian gerakan dilanjutkan dengan gerakan ohigabölöu dan dihentikan dengan gerakan hivfagö ketika sondroro menyerukan hivfagö (lihat tabel 5.2). Untuk melanjutkan kepada penyajian Hoho Fadölihia kembali diawali oleh sondroro dengan seruan persetujuan (hugö), seperti hugö (lihat tabel 5.1) di atas. Selanjutnya penyajian Hoho Fadölihia
pun dilantunkan. Dalam hal ini
sajikan dalam 10 bait syair Hoho Fadölihia diikuti dengan gerakan Fahidjalé yakni gerakan satu baris membentuk gerakan berliku-liku seperti ular atau disebut
165
juga gerakan Fadölihia. Adapun isi hoho ini merupakan ungkapan mengagungagungkan keperkasaan dan kepedulian pemimpin mereka dan ungkapan rasa syukur, seperti yang tertuang dalam teks di bawah ini : Tabel 5.13 Analisis Teks Hoho Fadölihia - Bait 1-10 Penyaji
Teks Nyanyian
Son
- Tabörötai tabörögö
Terjemahan Informan - Mari mulai:
Sa.1& 2
- Aé hijaho! Hé
-Ya
(memulai)
Son
- Ono matua sifakhöyö
- Pria yg bermain:
2. ono matua sifakhöyö
Sa.1& 2
- Aé hijaho! Hé
-Ya
(pria yang bermain)
Son
- Ono matua fotuwusö
- Pria yg bertumbuh:
3. ono matua fotuwusö
-Ya
(pria yang bertumbuh)
- menari fadölihia
4. talau fadöli hia fualö
dan fualö:
(menari fadölihia dan
Sa.1& 2
- Aé hijaho! Hé
Son
- Talau fadölihia fualö
Objek / Tanda 1. tabörötai tabörögö
Sa.1& 2
- Aé hijaho! Hé
-Ya
fualö)
Son
- Baéwali zi’öfa ndrölö
- halaman 4 lorong
5. baéwali zi’öfa ndrölö
desa:
(halaman 4 lorong
-Ya
desa)
Sa.1& 2
- Aé hijaho! Hé
Son
- Baéwali famaedo danö - halaman rumah
6. baéwali famaedo
bangsawan:
danö (halaman rumah
Sa.1& 2
- Aé hijaho! Hé
-Ya
bangsawan)
Son
- Mai ‘ota högö Majinö
- menghadap
7. mai ‘otamahögö
Majinö:
majinö (menghadap
Sa.1& 2
- Aé hijaho! Hé
-Ya
Majinö)
Son
- Mai salogoi
- Lindungannya
8. mai salogoi
Maenamölö
Maenamölö:
Maenamölö
- Aé hijaho! Hé
-Ya
(lindungannya
Sa.1& 2
166
Maenamölö) Son
- Mai erogö ba Garamö
- Aé hijaho! Hé
- Membelakangi di
9. mai erogö ba
Garamö:
Garamö
-Ya
(membelakangi
Sa.1& 2 Son
Sa.1& 2
NO 1.
2.
3.
4.
Garamö) - Talau fadölihia fualö
- menari fadölihia
10. talau fadölihia fualö
dan fualö:
(menari fadölihia dan
- Aé hijaho! Hé
-Ya
fualö)
Yai’ia, yai’ia hö! Ha!
Benar demikian
Denotasi
Konotasi
Keterangan
memulai: upaya untuk
memulai: tindakan
teks bait 1-10 fadölihia
segera melakukan
bertanya apa ada
ini bertema ungkapan
sesuatu.
yang keberatan
rasa syukur atas
acara ini
keberhasilan dan
dilanjutkan.
kemenangan para
pria yang bermain: para
pria yang bermain:
prajurit perang
pria yang mampu
menyapa hai kalian
melawan kelompok
beratraksi unjuk
prajurit yang sedang
musuh. Aé hijaho! Hé:
kekuatan.
bergmbira.
merupakan
pria yang bertumbuh:
pria yang
uangkapan/masyarakat
para pria yang sedang
bertumbuh: para
yang hanya ada pada
bertumbuh kembang.
prajurit yang masih
tarian penyambutan
usia muda. Pria
kepda ‘bala tentara’
pilihan yang
yang kembali dari
perkasa.
medan perjuangan
menari fadölihia dan
menari fadölihia dan dengan hasil gemilang.
fualö: tarikanlah
fualö: atraksikan
Setiap frase bersifat call
fadölihia dan fualö
kehebatanmu hai
respons dan counter
para prajurit,
frase (pengulangan)
lakukan gerakan2
167
fadölihia dan fualö 5.
halaman 4 lorong desa:
halaman 4 lorong
desa Bawömataluo
desa: beratraksi di
memiliki 4 buah lorong.
pusat desa di antara 4 lorong.
6.
halaman rumah
halaman rumah
bangsawan: halaman
bangsawan:
rumah pendiri rumah
tepatnya di depan
adat besar (nifolasara)
halaman omo sebua/nifolasara (rumah adat besar)milik raja.
7.
menghadap Majinö:
menghadap Majinö:
tepatnya menghadap
menunjukkan
Majinö salah satu ‘öri’
wilayah kekuasaan
(wilayah adat) di Nias
desa mereka yang strategis.
8.
lindungannya
lindungannya
Maenamölö : merangkul Maenamölö : wilayah adat
menunjukkan
Maenamölö, salah satu
wilayah yang
‘öri’ (wilayah adat) di
strategis dan
Nias Maenamölö
kekuasaan mereka terhadap desa lain.
9.
membelakangi
membelakangi
Garamö: wilayah desa
Garamö:masih
Bawömataluo yang
menunjukkan
membelakangi desa
wilayah kekuasaan
Garamö
desa mereka yang letaknya strategis.
168
10.
menari fadölihia dan
menari fadölihia dan
fualö: tarikanlah
fualö: atraksikan
fadölihia dan fualö
kehebatanmu hai para prajurit, lakukan gerakan2 fadölihia dan fualö
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Fadölihia Bait 1 - 10: Sebagai teks (1) sebagai pembuka dari Hoho Fadölihia, seorang sondroro mengajak mari kembali kita mulai tarian ini sebagai ungkapan rasa syukur kita atas telah berlangsungnya upacara ini,
dan teks isi Hoho Fadölihia dilanjutkan dengan menuturkan
bagaimana keperkasaan para prajurit perang (bohalima) para pria yang tangguh yang terpilih sedang merayakan kemenangan dengan menarikan tarian Fadölihia dan Fu’alö sebagai rangkaian tarian Faluaya seperti pada teks (2) sampai dengan (4). Kembali dijelaskan sebagai penghormatan dan ungkapan syukur sondroro menuturkan keunggulan dari posisi/letak desa mereka yang sangat strategis yang tidak dimiliki desa lain dengan mengatakan bahwa para bohalima melakukan tarian ini tepat di tengah perempatan lorong desa28 yakni di halaman atau pekarangan Tuada Laowö (bangsawan atau raja yang telah mendirikan desa Bawömataluo) pemilik rumah adat besar (Omo Hada Sebua). Sondroro dalam tuturannya kembali mengungkapkan bahwa mereka sedang berada dipekarangan Tuada Laowö yang menghadap wilayah adat Mazinö, dan merangkul wilayah adat Maenamölö serta membelakangi wilayah adat Garamö seperti pada teks (5) 28
Desa Bawömataluo memiliki 4 buah lorong yang disebut ndrölö (lorong) yakni: 1) ndrölö löu (arah pintu masuk/gerbang melewati 88 anak tangga); 2) ndrölö raya (lorong yang berhadapan dengan löu); 3) ndrölö halamba’a (lorong yang menghadap omo hada sebua); dan 4) ndrölö bagoa (terletak disebelah kiri sejajar dengan omo hada sebua)
169
sampai dengan (9). Dan sebagai syair penutup teks (10) menjelaskan bahwa disinilah dilakukan tarian Hoho Fadölihia sebagai ungkapan rasa syukur kita atas telah berlangsungnya upacara ini.
5.2.5 Hoho Siöligö Setelah melakukan Hoho Fadölihia dengan gerakan Fahidjalé yakni gerakan satu baris membentuk gerakan berliku-liku seperti ular dan ditutup dengan teks (10) dari Hoho Fadölihia dan barisan telah membentuk formasi lingkaran selanjutnya dengan diawali hugö seperti (lihat tabel 5.1), kemudian diteruskan dengan Hoho Siöligö diikuti dengan gerakan Siöligö yakni dengan gerakan berpegangan tangan mengungkapkan indahnya sebuah persatuan dimana dalam gerakan ini diperbolehkan menari bersama baik dari kelompok si’ulu, si’ila maupun sato, seperti yang tertuang dalam teks di bawah ini :
Tabel 5.14 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 1) Penyaji Son
Teks Nyanyian - Hé..hé…ého!
Terjemahan Informan - Inilah negeri kita
- Ho mba ba
- terletak di
Objek / Tanda 1. ého (wilayah/negeri)
170
- Ha…lö...hili no laukha
- tepi pegunungan
2. hili no laukha
- A……..
-Ya
(pinggir gunung)
Sa.1& 2
- O Inagu Aé
- Oh ibuku
3. Inagu (ibuku)
Son
- Ho Ina…Aéhé ya
- Ya ibuku
- Ho iwa wöwö awöni
- Pembentuk Desa
ba ndraso
4. wöwö awöni ba ndraso (pendiri desa)
- Lumö….hö….jimöi
- Sudah pergi
5. jimöi (pergi)
- Aé lumö…hö…jiso
- Yang datang
6. jiso (datang)
- Jangan lupakan
7. böli (jangan)
- Lau babö… - Böli…hé….é NO 1.
2.
Denotasi
Konotasi
wilayah/negeri :
wilayah/negeri :
teks bait pembuka
wilayah desa
wilayah strategis
Siöligö ini bertema-kan
desa
pesan pewarisan dan
pinggir gunung : letak
pinggir gunung :
peran generasi penerus
desa Bawömataluo
letak yang hanya
untuk memeliharanya.
dimiliki desa
Setiap frase bersifat
Bawömataluo
call respons.
3.
ibuku :yang melahirkan
ibuku : leluhur desa
4.
pendiri desa :nenek
pendiri desa :yang
moyang
membangun dan menata desa
5.
6.
pergi : tidak berada lagi pergi : sudah di desa
meninggal dunia
datang : hadir di desa
datang :lahir generasi baru
7.
Keterangan
jangan : tidak boleh
jangan : teruskan
dilakukan
warisan leluhur
171
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö
(tabel 5.14 dan 5.15): Sebagai
pembuka dari Hoho Siöligö, seorang sondroro menggambarkan indahnya sebuah persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat Nias bila bersatu mempertahankan warisan leluhur nenek moyang mereka, menumbuhkan rasa bangga akan desanya. Dalam syair pembuka diungkapkan rasa bangga memiliki wilayah desa warisan leluhur mereka yang terletak tepi dataran tinggi (pegunungan) maupun yang ada didataran rendah, dan kepada rakyatnya baik yang pergi maupun yang kembali juga siapapun yang berkunjung ke desa ini merasa bangga dan mengagumi keharmonisan desa ini. Syair ini kemudian di aminkan dengan dielu-elukan oleh seluruh masyarakat dan para bohalima dengan syair ke 2 (tabel 5.15), di bawah ini: Tabel 5.15 Analisis Teks Hoho Siöligö (pembukaan bagian 2) Penyaji
Teks Nyanyian
Son +
- Hé..hé…ého ba
Terjemahan Informan - Inilah negeri kita
Objek / Tanda
Sa.1& 2
- mba... lö hili
- pegunungan
2. hili (gunung)
- wöwö…ö…awöni
- sudah dibangun
3. wöwö awöni ba
- ba ndraso!
- tempat kita
ndraso (pendiri desa)
Sa.1
- Hé lumö!
- ya mereka
Sa.2
- Hé lumö jimöi!
- mereka yang pergi
Sa.1
- Hé lumö!
- ya mereka
Sa.2
- Lumö jiso!
- mereka yang
1. ého (wilayah/negeri)
4. jimöi (pergi)
5. jiso (datang)
datang Sa.1&2
- Hé yai’ia, yai’ia hö!
- ya, mari kita bersama
NO
Denotasi
Konotasi
Keterangan
172
1.
2.
3.
4.
5.
wilayah/negeri :
wilayah/negeri :
teks bait pembuka 2
wilayah desa
wilayah strategis
Siöligö ini merupakan
desa
penegasan dari
pinggir gunung : letak
pinggir gunung :
pembuka 1 bertema-kan
desa Bawömataluo
letak yang hanya
pesan pewarisan dan
dimiliki desa
peran generasi penerus
Bawömataluo
untuk memeliharanya.
pendiri desa :nenek
pendiri desa :yang
Setiap frase bersifat
moyang
membangun dan
call respons & counter
menata desa
motif.
pergi : tidak berada lagi pergi : sudah di desa
meninggal dunia
datang : hadir di desa
datang :lahir generasi baru
Selanjutnya sondroro mulai melanjutkan tuturan Hoho Siöligö ini, seperti pada tabel 5.16 :
Tabel 5.16 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 1 Penyaji Son
Teks Nyanyian - Andrö da tabörö tai
Terjemahan Informan - Sekarang kita
Objek / Tanda 1. ta börö tai (mulai)
173
mulai Sa.1
Sa.2
- Andrö da tabörö tai ta - Ya kita mulai
2. tabörö tai ta börögö
börögö
ungkapkan
(mulai katakan)
- Hé siwöwö no
- Pendiri desa
3. siwöwö no niwa’ömö
niwa’ömö - ba siwöwö no
(pendiri rumah adat) - Ya pendiri desa
niwa’ömö
Sa.1&2
NO 1.
2.
- andrö da ta börö tai ta
- Ya kita mulai
börögö
ungkapkan
- Haiwa hö, haiwa hö
- Ya nyanyikanlah
- Aéhu hé
- Ya, tuturkan
Denotasi
Konotasi mulai: tindakan
teks bait isi -1 Siöligö
segera melakukan
bertanya apa ada
ini merupakan bagian
sesuatu.
yang keberatan
bertema ungkapan rasa
acara ini
kebersamaan persatuan.
dilanjutkan.
Setiap frase bersifat call
mulai katakan:
mulai katakan:
respons & counter
bicarakan dan
menyampaikan
frase.
sampaikan
ungkapan maksud
ini. pendiri rumah adat :
pendiri rumah adat :
pendiri rumah adat desa kepada generasi Bawömataluo
muda diharapkan peduli pada peninggalan leluhur
4.
Keterangan
mulai: upaya untuk
dan tujuan upacara
3.
4. haiwa hö (nyanyikan)
nyanyikan : bersuara
nyanyikan :
dengan bernada
ungkapan kegembiraan dan
174
kebersamaan di kumandangkan denga bernyanyi hoho.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö isi -1 : Sebagai bagian isi dari Hoho Siöligö, seorang sondroro dengan dijiwai teks (tabel 5.14 dan 5.15) kembali menggambarkan indahnya sebuah persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat Nias bila bersatu mempertahankan warisan leluhur nenek moyang mereka, menumbuhkan rasa bangga akan desanya. Dengan mengajak untuk memulai tarian Siöligö kepada para bohalima dan seluruh masyarakat dalam rangka menumbuhkan jiwa semangat seperti yang tertuang pada teks di tabel 5.16 di atas. Dengan bentuk hoho yang sama kembali dituturkan oleh sondroro syair berkait berikutnya, seperti pada teks tabel 5.17 di bawah ini: Tabel 5.17 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 2 Penyaji Son
Sa.1
Sa.2
Teks Nyanyian - Andre ndrao mané-
Terjemahan Informan - Sekarang kita
1. mané-mané
mané
ceritakan
(ceritakan)
- Andre ndrao mané-
- Ya ceritakan masa
2. manö-manö (cerita
mané manö-manö
lalu
masa lalu)
- Hé siwöwö no
- Pendiri desa
3. siwöwö no
niwa’ömö - ba siwöwö no
niwa’ömö (pendiri - Ya pendiri desa
niwa’ömö - andre ndrao mané-
Objek / Tanda
- Ya cerita lelehur
rumah adat)
175
mané manö-manö. Sa.1&2
-Haiwa hö, haiwa hö
- Ya nyanyikanlah
4. haiwa hö
- Aéhu hé
- Ya, tuturkan
(nyanyikan)
NO 1.
2.
Denotasi
Konotasi
Keterangan
ceritakan: hal sejarah
ceritakan: tindakan
teks bait isi -2 Siöligö
desa
bertanya apa ada yang ini merupakan bagian keberatan acara ini
bertema ungkapan
dilanjutkan.
rasa kebersamaan
cerita masa lalu:
cerita masa lalu:
persatuan. Setiap frase
bicarakan dan
menyampaikan pesan-
bersifat call respons &
sampaikan
pesan moral dan
counter frase.
nasehat yang dibutuhkan generasi. 3.
pendiri rumah adat :
pendiri rumah adat :
pendiri rumah adat desa kepada generasi muda Bawömataluo
diharapkan peduli pada peninggalan leluhur
4.
nyanyikan : bersuara
nyanyikan : ungkapan
dengan bernada
kegembiraan dan kebersamaan di kumandangkan denga bernyanyi hoho.
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö isi -2 : Selanjutnya bagian dari teks isi dari Hoho Siöligö, seorang sondroro dengan tetap menjiwai teks pada (tabel 5.14 dan 5.15) kembali digambarkan indahnya sebuah persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat Nias bila bersatu mempertahankan warisan leluhur nenek moyang mereka, menumbuhkan rasa bangga akan desanya. Dengan mengajak
176
para bohalima dan seluruh masyarakat untuk memulai mencerritakan bagaimana jiwa semangat persatuan itu dapat tumbuh seperti yang tertuang pada teks isi - 2. Dengan bentuk hoho yang sama namun di tengah syair sedikit berbeda, dan menjadi syair penutup dari isi Hoho Siöligö, dituturkan oleh sondroro, seperti pada teks tabel 5.18 di bawah ini: Tabel 5.17 Analisis Teks Hoho Siöligö bagian Isi - 3 Penyaji Son
Teks Nyanyian - Lumö mia lumö jimöi
Terjemahan Informan - Kalian yang sudah
Objek / Tanda 1. jimöi (pergi)
pergi Sa.1
- Lu mö mia lumö jimöi
- Kalian yang sudah pergi
Sa.2
- hé aehé ho lauwé
- ya leluhur kami
- Lumö…..ae
- ya..
- Lumö mia lumö jimöi
- yang kalian
2. ho lauwé (leluhur)
tinggalkan - ba lumö jiso!
Sa.1&2 NO 1.
2.
- akan diteruskan
3. jiso! (datang)
Dilanjutkan sebagai penutup Hoho Siöligö dari keseluruhan Hoho Faluaya dengan menyanyikan seperti pada teks hivfagö di atas. Denotasi Konotasi Keterangan pergi: tidak berada lagi
pergi: sudah
teks bait isi -1 Siöligö
di desa
meninggal dunia
ini merupakan bagian
leluhur :nenek moyang
leluhur :yang yang
bertema ungkapan rasa
berjasa mendirikan
kebersamaan persatuan.
desa mereka.
Setiap frase bersifat call
177
3.
datang : hadir di desa
datang :lahir
respons & counter
generasi baru
frase.
harapan penerus warisan para leluhur
Deskripsi Penyajian Teks Hoho Siöligö isi -3 :: Sebagai teks penutup dari teks isi dari Hoho Siöligö, dan penutup Hoho Faluaya, seorang sondroro kembali menggambarkan indahnya sebuah persatuan dan bagaimana kuatnya masyarakat Nias bila bersatu mempertahankan warisan leluhur nenek moyang mereka, menumbuhkan rasa bangga akan desanya. Dengan mengajak para bohalima dan seluruh masyarakat untuk menyatakan lengkaplah sudah tergambar rasa sukacita desa atas terlaksananya upacara pengukuhan gelar bangsawan di desa ini.
178
BAB VI ANALISIS STRUKTUR MUSIK HOHO FALUAYA
Struktur musik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)29, struktur adalah cara bagaimana sesuatu itu disusun. Sehubungan dengan musik, maka struktur lagu adalah komposisi musik vokal yang disusun sesuai dengan materi musik tertentu. Kajian dalam Bab VI ini mencakup bagaimana struktur musik Hoho Faluaya yang merupakan bagian dalam penelitian ini. Seluruh bagian hoho dari Hoho Faluaya di atas akan dikaji melodinya melalui delapan unsur seperti yang ditawarkan oleh Malm melalui teori weighted scale. Adapun kedelapan unsur melodi yang akan dianalisis meliputi: (1) tangga nada, (2) nada pusat atau nada dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah nada-nada, (5) interval yang digunakan, (6) pola-pola kadensa, (7) formula melodi (bentuk, frase, motif), dan (8) kontur. Unsur melodi Hoho Faluaya dalam penelitian ini penulis dapatkan dari hasil rekaman kelompok hoho yang dipimpin oleh Hikayat Manaö di Desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan dalam konteks upacara
pengukuhan
gelar
bangsawan,
dan
selanjutnya
akan
penulis
transkripsikan dan analisis yang menjadi fenomena musikal sesuai dengan urutan penyajiannya yang terdiri dari :
Tabel 6.1 29
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2007, hal., 825.
179
Daftar Penyajian Hoho yang Digunakan pada Hoho Faluaya No
Penyajian Hoho Faluaya
Keterangan
1.
Fohuhugö/Hugö
Seruan Persetujuan
2.
Hivfagö
Seruan Penegasan
3.
Hoho Fu’alö
4.
Hoho Fadölihia
5.
Hoho Siöligö
Persiapan Ucapan Syukur Kebersamaan
6.1. Transkripsi dan Notasi 6.1.1 Proses Transkripsi Sesuai yang ditulis May (1987) ...transkripsi dibutuhkan untuk memvisualisasikan apa yang kita dengar untuk memampukan kita mempelajari musik secara komparatif dan detail, dan membantu kita mengkomunikasikan kepada pihak lain apa yang kita pikirkan dari apa yang kita dengar. Disamping itu Crader (1980) mengatakan pula bahwa tujuan dari pentranskripsian adalah untuk mencatat hal-hal yang esensil, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensil.
Transkripsi penulis gunakan dalam mendeskripsikan Hoho Faluaya
untuk memudahkan penulis di dalam menganalisis musik dan untuk menemukan strukturnya. Sebelum melakukan pentranskripsian jenis - jenis melodi dari Hoho Faluaya penulis menyertakan bunyi ketukan Metronome Malzel (MM) buatan Jerman untuk mempermudah mengidentifikasi kecepatan/nilai durasi ritmis dari masing-masing penyajian Hoho Faluaya, seperti di bawah ini :
180
Tabel 6.2 Pemakaian Metronome Malzel (MM) Dalam Penyajian Hoho Faluaya No
MM / q =
Penyajian Hoho Faluaya
1.
Fohuhugö/Hugö
85
/ q = 85
2.
Hivfagö
100
/ q = 100
3.
Hoho Fu’alö
90
/ q = 90
4.
Hoho Fadölihia
110
/ q = 110
5.
Hoho Siöligö (Pembuka)
75
/ q = 75
6.
Hoho Siöligö (Isi & Penutup)
90
/ q = 90
Alasan menyatukan musik dengan metronome berhubung Hoho Faluaya bersifat pulsa yang agak bebas / free meter (tidak mempunyai meter tetap). Karena Hoho Faluaya ini tidak terikat kepada pulsa dasar akibatnya durasi ritmis yang tertulis tidak seakurat ritmis yang mempunyai meter tetap.
6.1.2 Notasi Di dalam membuat transkripsi penulis menggunakan notasi barat, karena notasi inilah yang paling umum digunakan saat ini untuk penulisan musik. Seeger mengemukakan seperti yang ditulis Nettl (1964: 99) telah membedakan dua jenis notasi yang mempunyai dua tujuan yang berbeda, yaitu notasi preskriptif dan notasi deskriptif yaitu digunakan sebagai petunjuk untuk mengkaji musik. Simbolsimbol notasi preskriptif kadang-kadang tidak lebih daripada alat pembantu untuk
181
si penyaji supaya ia dapat mengingat apa yang dimainkannya. Sedangkan notasi deskriptif dimaksudkan untuk menyampaikan kepada para pembaca tentang ciriciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh si pembaca sebelumnya. Berdasarkan tujuan pemakaiannya maka notasi yang digunakan adalah notasi deskriptif. Alasan lain penulis menggunakan notasi Barat dalam mentranskripsikan Hoho Faluaya karena sejauh ini belum ada ditemukan notasi khusus untuk menuliskan musik Nias. Alasan lain menggunakan notasi Barat adalah karena notasi Barat telah terdapat gambaran-gambaran tinggi rendahnya serta pembagian durasi ritmis yang jelas. Sehingga sangat membantu dalam segi penulisan dan analisis musikal.
6.1.2.1 Pemakaian Durasi Ritmis Untuk menuliskan satuan nilai durasi ritmis penulis membuat sebuah not seperempat ( q ) lebih kurang satu ketuk. Sebuah not seperdelapan (e ) lebih kurang setengah ketuk dan seterusnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam penulisan durasi ritmis dibuat seperti di bawah ini:
Tabel 6.3 Pemakaian Durasi Ritmis Dalam Penyajian Hoho Faluaya No
Bentuk Bunyi
Durasi Ritmis Diam
182
1.
4 ketuk
2.
2 ketuk
3.
1 ketuk
4.
1/2 ketuk
5.
1/4 ketuk
6.
1/8 ketuk
6.1.2.2 Garis Paranada Disamping itu untuk memberi kemudahan dalam kerja analisis maka nilai not dan diam dalam bentuk melodi yang akan ditranskripsikan akan penulis tuangkan dalam garis paranada dengan Clef ‘G’, seperti paranada di bawah ini : Contoh:
6.2 Tangga Nada Sebelum menganalisis struktur melodinya, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan dengan menentukan tangga nada dan nada dasar dengan pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7). Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat pendukung Hoho Faluaya, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi Hoho Faluaya, terutama bagi para
183
pemula yang dilatarbelakangi pendidikan musik Barat—yang selanjutnya lebih dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya dari musik ini, baik pandangan musikologis secara umum maupun masyarakat Nias khususnya. Dari hasil transkripsi seluruh isi melodi penyajian Hoho Faluaya, penulis menemukan nada-nada yang dipakai dalam Hoho Faluaya terutama yang paling banyak dipakai, seperti berikut ini:
Dari nada-nada tersebut di atas didapati nada E sebanyak 42, nada F sebanyak 12, nada G sebanyak 201, nada Bb sebanyak 112, nada C sebanyak 32 dan nada D sebanyak 54. Sedangkan nada lain yang lebih sedikit muncul seperti nada Ab sebanyak 2, nada A sebanyak 4, nada Cb sebanyak 2, dan nada Db sebanyak 8 tidak diabaikan begitu saja melainkan menjadi nada pendukung. Melihat kecendrungan nada yang paling sering muncul di atas maka dapatlah diyakni nada-nada tersebut merupakan gambaran tangga nada dari Hoho Faluaya dan dari struktur tangga nada yang digunakan tersebut kecendrungannya adalah tangga nada pentatonik.
6.3 Nada Pusat atau Nada Dasar Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh
184
kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut: (1)
Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik;
(2)
Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada dasar, walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.
(3)
Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian tengah komposisi musik dianggp mempunyai fungsi penting dalam menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.
(4)
Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggp penting.
(5)
Interval-interval yang terdapat di antara nada, kadang-kadang dapat dipakai sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada sebuah komposisi musik yang digunakan bersama oktafnya.
(6)
Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan tonalitas.
(7)
Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas
185
seperti itu, cara terbaik adalah berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan Marc Perlman 1990). Melalui pendekatan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar penyajian Hoho Faluaya tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini: (1)
Nada yang paling sering dipakai Hoho Faluaya dalam komposisi Hugö, Hvifagö, Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia dan Hoho Siöligö adalah nada G
(2)
Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi Hoho Faluaya ini adalah nada G
(3)
Nada awal Hoho Faluaya ini dan paling sering digunakan adalah nada G
(4)
Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada G
(5)
Dalam hoho ini tidak ada nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf.
(6)
Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada G dan Bes
(7)
Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik hoho, kemungkinan paling besar sebagai nada dasar Hoho Faluaya adalah nada G minor = la (do=Bb), namun untuk menghindari banyaknya pemakaian tanda pugar ( § ) untuk nada E yang terdapat pada Hoho Fadölihia akhirnya penulis mentranspose transkripsi ini menjadi nada dasar D minor = la (do=F), seperti bentuk visual di bawah ini :
186
6.4 Birama (Ayunan Ketukan) Sedangkan untuk ayunan ketukan (birama) akan digunakan pendekatan tanda birama (time signature) seperti di bawah ini: Tabel 6.4 Tanda Birama yang Digunakan Dalam Penyajian Hoho Faluaya No
Penyajian Hoho Faluaya
1.
Fohuhugö/Hugö
2.
Hivfagö
3.
Hoho Fu’alö
4.
Hoho Fadölihia
5.
Hoho Siöligö (Pembuka)
6.
Hoho Siöligö (Isi & Penutup)
Tanda Birama
Seperti pada analisis teks, maka transkripsi melodi dari para penyaji hoho ini akan penulis sajikan dalam 3 buah garis paranada clef ‘g’ untuk masingmasing kelompok penyumbang suara (penyaji Hoho Faluaya), yakni garis paranada pertama untuk sondroro hoho disingkat “Son”, garis paranada kedua untuk sanoyohi pertama disingkat “Sa.1” dan garis paranada ketiga untuk sanoyohi kedua disingkat “Sa.2”. Dapat dilihat pada contoh dibawah ini :
187
6.5 Analisis Struktur Musik Hoho Faluaya Dari lima jenis teks syair yang dinyanyikan oleh kelompok hoho pimpinan Hikayat Manaö dalam konteks upacara pengukuhan gelar bangsawan, hoho ini dinyanyikan oleh seorang pemimpin (sondroro) dan dua kelompok koor (sanoyohi), yang masing-masing terdiri dari dua orang penyanyi berasal dari desa Bawömataluo, untuk Hugö dan Hivfagö bukan termasuk hoho, kedua jenis ini merupakan teriakan seruan singkat saja dan bukan nyanyian, hanya satu frasa panjang. Khusus untuk Hoho Fu’alö, Hoho Fadölihia dan Hoho Siöligö, ketiganya dikelompokkan ke dalam bentuk hoho yang menggunakan jenis melodi tritonus namun masing-masing hoho memiliki struktur yang berbeda. Hoho Fu’alö mulai dengan suatu bagian introduksi yang dinyanyikan oleh sondroro (pemimpinnya), selanjutnya oleh pemimpin dan sebuah kelompok koor (sanoyohi). Setelah itu penyanyi-penyanyinya mengulangi suatu rangkaian melodi yang terdiri dari suatu frasa koor. Hoho Fadölihia memiliki struktur yang hampir sama dengan Fu’alö. Dan Hoho Siöligö yang sedikit agak rumit dari antara ketiga hoho ini. Hoho Siöligö mulai dengan nyanyian yang dibawakan oleh sondroro hoho dan sanoyohi saling tumpang tindih dengan frasa yang dinyanyikan
188
sondroro, lalu dilanjutkan lagi dengan sebuah frase yang dinyanyikan secara bersamaan sementara kadang-kadang bersatu pada metrum tiga (triple meter).
6.5.1 Analisis Fohuhugö (Hugö) dan Hivfagö Fohuhugö (hugö) adalah sebuah teriakan atau seruan persetujuan yang memberi makna ‘meminta persetujuan atau kesepakatan atas apa yang hendak dilaksanakan dan atas apa yang telah dilaksanakan. Seruan ini diteriakkan oleh seorang sondroro hoho setelah memahami konteks apa yang akan diajukan untuk disetujui atau disepakati. Hivfagö adalah seruan dari kelompok sanoyohi untuk menegaskan Hugö sekaligus merupakan nyanyian untuk menghentikan gerakan dari gerakan Hivfagö. Pada bagian Hugö dan Hivfagö jenis ini sering dipakai dalam penyajian Hoho Faluaya yakni pada saat awal acara, dilakukan satu kali Hugö selanjutnya pada saat hendak menghentikan gerakan Hivfagö dilakukan seruan Hivfagö, pada saat menghentikan gerakan Faluaya Zanökhö kembali dinyanyikan seruan Hivfagö. Hugö kembali diserukan pada saat memulai pemberian sirih dan mengakhiri acara pemberian sirih, Hugö juga diserukan pada saat pengesahan pemberian gelar bangsawan, dan pada saat akan memulai Hoho Siöligö kembali dikumandangkan Hugö. Terakhir untuk menyelesaikan gerakan Ohigabölöu (dalam rangkaian gerakan Siöligö) dinyanyikan kembali Hivfagö. Dalam hal ini melodi yang digunakan dari Hugö dan Hivfagö pada dasarnya selalu sama.
189
Sebelum menganalisis struktur melodi Hugö dan Hivfagö yang merupakan bahagian dari penyajian Hoho Faluaya, maka terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi Hugö dan Hivfagö dimaksud.
Adapun teknik
transkripsi ini sudah diuraikan pada Bab I tulisan ini. Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) untuk melodi Fohuhugö (Hugö) dan Hivfagö adalah sebagai berikut:
Dari transkripsi Hugö di atas, dapat dijelaskan bahwa Hugö dalam transkripsi ini terdiri dari 1 bar bertanda birama 13/4, 2 bar tanda birama 3/4 dan MM 85 yang dikenal sebagai tempo lagu. Tempo merupakan cepat lambatnya suatu komposisi musik dinyanyikan ataupun dimainkan. Dalam teori musik, banyak dijumpai istilah-istilah yang berhubungan dengan tempo tetapi penulis tidak membahas istilah itu satu persatu cukup hanya menyebutkan istilah tempo pada lagu yang bersangkutan. Tempo lagu, cepat atau lambatnya lagu dapat dihitung atau diukur dengan Metronom Maelzel yang sering disingkat dengan MM, dalam satuan not
190
seperempat. Selanjutnya dilakukan pencarian jumlah rata-rata not permenit dengan menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas. Maelzel memiliki rumus untuk menghitung rata-rata permenit yaitu sebagai berikut: banyak bar x pembilang x 60 detik MM Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hugö pada birama 13/4 sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 1 x 13 x 60 detik 85 = 9,176 detik
Selanjutnya berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka akan diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hugö birama 3/4 sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 2 x 3 x 60 detik 85 = 4,235 detik
191
Dari transkripsi Hivfagö di atas, dapat dijelaskan bahwa Hivfagö dalam transkripsi ini terdiri dari 1 bar bertanda birama 13/4, 2 bar tanda birama 4/4 dan MM 100. Selanjutnya dilakukan pencarian jumlah rata-rata not permenit dengan menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas. Maelzel memiliki rumus untuk menghitung rata-rata permenit yaitu sebagai berikut: banyak bar x pembilang x 60 detik MM Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hivfagö pada birama 13/4 sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 1 x 13 x 60 detik 100 = 7,8 detik
192
Selanjutnya berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka akan diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hivfagö birama 4/4 sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 2 x 4 x 60 detik 100 = 4,8 detik
6.5.1.1 Wilayah Nada Hugö dan Hivfagö Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hugö dan Hivfagö. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya serta jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada kedua lagu ini dapat dilihat sebagai berikut:
6.5.1.1.1 Wilayah Nada Hugö Penyajian Hugö oleh Sondroro: (1) birama 13/4 (meter 13) disajikan hanya dalam 1 bar saja, dengan nada yang dihasilkan secara monoton (tetap) yakni nada D, dan (2) terjadi perubahan ayunan ketukan menjadi 3/4 pada bar kedua dan ketiga, dengan catatan pada bar ketiga tidak penulis jadikan ukuran untuk melihat wilayah nada disebabkan hanya berupa bunyi ucapan (seperti tertawa). Sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah nada pada birama 13/4 (meter 13) adalah nada D secara monoton, dan untuk birama kedua (birama 3/4)
193
wilayah nadanya adalah dari nada C terendah sampai nada F’ oktaf, seperti di bawah ini: (1). Wilayah Nada pada birama (meter) 13/4
(2). Wilayah Nada pada birama (meter) 3/4
6.5.1.1.2 Wilayah Nada Hivfagö Penyajian melodi Hivfagö terdiri dua macam birama yakni birama 13/4 dan birama 4/4. Pada birama 13/4, diawali dengan ritem up beat pada ketukan pertama oleh Sondroro dan langsung disambut oleh kelompok sanoyohi pada ketukan ketiga dalam birama yang sama. Selanjutnya terjadi perubahan ayunan ketukan menjadi 4/4 pada bar 2 dan bar 3, dengan catatan pada bar ketiga tidak penulis jadikan ukuran untuk melihat wilayah nada disebabkan hanya berupa bunyi ucapan (seperti tertawa). Dari dua macam birama di atas dapat disimpulkan wilayah nada Hivfagö yakni dari nada G yang terendah sampai nada Bb tertinggi, seperti bentuk visual di bawah ini:
194
6.5.1.2 Jumlah Nada-Nada Hugö dan Hivfagö Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan. Yang pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah durasinya secara komulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus
menghitung durasi komulatif, karena durasi juga menentukan
komposisi jumlah nada dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah masing-masing nada dari Hugö dan Hivfagö adalah seperti berikut ini:
6.5.1.2.1 Jumlah Nada Hugö
Dilihat dari jumlah nada-nada yang dipakai, nada D adalah nada yang paling sering muncul, namun demikian nada-nada lain yang jarang muncul tidaklah dapat diabaikan begitu saja, karena nada-nada tersebut berfungsi sebagai nada pendukung.
195
6.5.1.2.2 Jumlah Nada Hivfagö
Jumlah nada-nada yang dipakai pada Hivfagö di atas, hanya terdiri dari 2 macam nada yakni nada G sebanyak 15 dan nada Bb sebanyak 10. Pada penyajian Hivfagö tidak terdapat nada lain sebagai nada pendukung yang digunakan oleh Sondroro dan Sanoyohi.
6.5.1.3 Interval Hugö dan Hivfagö Yang dimaksud dengan interval adalah jarak antara dua nada. Pada Hugö dan Hivfagö secara keseluruhan hanya memiliki 1 interval yakni interval 1perfect (murni), namun dipenutup melodi terdapat jenis interval lain yang distribusinya masing-masing satu kali untuk Hugö dan 2 kali untuk Hivfagö. Lebih jelasnya distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 6.5 Distribusi Interval melodi Hugö dan Hivfagö Interval
Distribusi
1 perfect
Hugö 16
Hivfagö 16
7 minor
1
-
4 perfect
1
-
Interval
Distribusi Hugö
Hivfagö
196
5 diminis
1
-
2 minor
-
2
6 mayor
-
2
6.5.1.4 Pola Kadensa Hugö dan Hivfagö Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada setiap frase melodi, namun pola kadensa ini juga dapat diartikan sebagai nada-nada akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara atau sejenisnya. Kadens memiliki dua fungsi yaitu menandai berakhirnya suatu frase dan memulai sesuatu yang lain. Jika memulai sesuatu maka kadens yang datang sebelumnya kurang empatis dan berperan sebagai jembatan atau figur perpindahan. Pola-pola kadensa dalam Hugö dan Hivfagö adalah sebagai berikut:
197
Disamping nada yang monoton (tetap) dan memiliki ciri call respons dari Hugö yang terdapat pada bar 1, hal juga terdapat kadens untuk menandai berakhirnya suatu frase lagu di bar kedua dari birama 3/4. Berikutnya: Demikian halnya dengan Hivfagö terdapat gaya melodi call respons dari
kelompok Sanoyohi, yang tergambar pada kadens di bar 1 dari birama 13/4.
6.5.1.5 Formula Melodi Hugö dan Hivfagö Formula melodi yang dimaksud
disini adalah susunan melodi
berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai ke terkecil, yaitu: (a) bentuk, (b) frase, dan (c) motif melodi. Yang dimaksud dengan bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu
198
ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter pengulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964). Formula Melodi Hugö dan Hivfagö adalah seperti pada bentuk visual berikut di bawah ini: Frase dan Motif Hugö
Dari notasi di atas dapat dilihat bahwa Hugö hanya terdiri dari satu frase (frase A) dan 3 buah motif (motif a, b,dan c). Pada frase melodi A ini selalu muncul pada bagian-bagian tertentu dalam urutan penyajian pertunjukan Hoho Faluaya. Dan Frase A di atas merupakan bagian yang wajib ada pada setiap penyajian pertunjukan Hoho Faluaya. Dengan perkataan lain frase A pada Hugö di atas merupakan ciri khas dari Hoho Faluaya.
199
Frase dan Motif Hivfagö
Dari notasi di atas dapat dilihat bahwa Hivfagö juga hanya terdiri dari satu frase (frase B) dan 5 buah motif (motif a, b, c, c’ dan d). Pada frase melodi B ini akan selalu muncul setiap dilakukannya gerakan Hivfagö. Pada motif c dan c’ terdapat pengulangan motif melodi yang merupakan bagian dari jawaban (call respons) kelompok Sanoyohi.
6.5.1.6 Kontur Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian. Menurut Malm (1977: 16), kantur dapat dideskripsikan dengan menggunakan istilah ascending (menaik), descending (menurun), pendulous (melengkung), attraced (berjenjang), atau dapat diperlihatkan dengan garis-garis dalam bentuk grafik. Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi:
200
(a) Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending; (b) Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending; (c) Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum atau pendulous; (d) Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced; (e) Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disebut dengan statis (Malm 1977:17). Berkaitan dengan pendapat di atas, penulis akan menggambarkan kontur Hugö dan Hivfagö yang terdiri dari kontur statis, asending dan disending, seperti di bawah ini: Kontur Hugö (frae A)
Kontur Hivfagö (frase B)
201
6.5.2 Analisis Hoho Fu’alö Berikutnya penulis akan menganalisis struktur melodi Hoho Fu’alö yang merupakan bagian dari penyajian Hoho Faluaya, untuk itu terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi Hoho Fu’alö dimaksud. Adapun hasil transkripsi melodi Hoho Fu’alö adalah seperti bentuk notasi (visual) berikut ini:
202
Dari transkripsi Hoho Fu’alö di atas, dapat dijelaskan bahwa Hoho
Fu’alö dalam transkripsi ini terdiri dari bagian pembuka, isi dan penutup yang pada dasarnya berkaitan dengan isi teks. Namun secara struktur melodi yang terlihat hanya berupa gerakan melodi pengulangan saja. Hal ini merupakan ciri yang unik dari tradisi musik vokal dengan gaya bernyanyi call respons. Selanjutnya dalam transkripsi di atas dapat dilihat bahwa Hoho Fu’alö terdiri dari 7 bar bertanda birama 10/4, 1 bar tanda birama 5/4 sebagai penutup lagu dan MM 90 yang dikenal sebagai tempo lagu. Selanjutnya dilakukan pencarian jumlah rata-rata not permenit dengan menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas dengan bantuan rumus . Maelzel, sebagai berikut:
203
banyak bar x pembilang x 60 detik MM Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hoho Fu’alö pada birama 10/4 sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 7 x 10 x 60 detik 90
4200 det ik 90
= 46,6 detik
Dan bar penutup pada birama 5/4, dapat diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hoho Fu’alö, sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 1 x 5 x 60 detik 90
300 det ik = 3,3 detik 90
6.5.2.1 Wilayah Nada Hoho Fu’alö Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hoho Fu’alö. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada nyanyian ini dapat dilihat di bawah ini:
204
Penyajian Hoho Fu’alö oleh Son dilakukan dengan birama 10/4 (meter 10), dan di akhiri oleh Son, Sa.1 dan Sa.2 dengan birama 5/4, maka wilayah nada Hoho Fu’alö nada terendahnya adalah nada G dan tertinggi adalah nada D.
6.5.2.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fu’alö Dalam penjelasan teks pada Bab V disampaikan bahwa penyajian hoho jenis ini terjadi pengulangan-pengulangan melodi yang terus dilakukan sepanjang sondroro masih dapat mengutarakan teks baru. Oleh karena itu penyajiannya tidak dapat diukur dengan waktu yang tetap. Dari situasi di atas dalam hal melihat jumlah nada yang digunakan Hoho Fu’alö, penulis hanya menghitung dari hasil trankripsi di atas dan di dapati jumlah masing-masing nada yang digunakan untuk Hoho Fu’alö adalah seperti berikut ini:
Dilihat dari jumlah nada-nada yang dipakai, nada G adalah nada yang paling sering muncul, diikuti nada Bb dan nada-nada lain yang jarang muncul yakni nada C dan D, nada-nada tersebut berfungsi sebagai nada pendukung.
205
6.5.2.3 Interval Hoho Fu’alö Pada Fu’alö terdapat beberapa interval yang didistribusikan. Untuk lebih jelas distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 6.6 Distribusi Interval melodi Hoho Fu’alö Interval 1 perfect
Distribusi Hoho Fu’alö 55
2 minor
19
3 mayor
6
6 minor
3
6 mayor
14
7 minor
6
6.5.2.4 Pola Kadensa Hoho Fu’alö Pola-pola kadensa dalam Hoho Fu’alö dalam menandai akhir frase nyanyian terdapat dua pola kadensa yakni satu pola pada setiap akhir frase dan satu pola lagi pada penutup Hoho Fu’alö, seperti digambarkan di bawah ini :
206
207
Kadens pada melodi Hoho Fu’alö merupakan ciri call respons dari Sanoyohi terhadap Sondroro si pemberi respons dan pada bagian penutup hoho ini terjadi saling isi antara kelompok Sanoyohi dengan Sondroro.
208
6.5.2.5 Formula Melodi Hoho Fu’alö Formula Melodi Hoho Fu’alö adalah seperti pada analisis berikut di bawah ini:
209
Melalui bentuk visual di atas, formula melodi Hoho Fu’alö terdiri dari :
210
Tabel 6.7 Formula Melodi Hoho Fu’alö Bentuk
Frase
Motif
A = 1 kali
Frase 1 = 1 kali
Motif 1 = 1 kali
A’ = 1 kali
Frase 1’ = 2 kali
Motif 1’ = 2 kali
A’’ = 1 kali
Frase 2 = 3 kali
Motif 2 = 3 kali Motif 3 = 12 kali Motif 4 = 3 kali Motif 5 = 1 kali Motif 6 = 2 kali
6.5.2.5.1 Kajian Terhadap Bentuk, Frase dan Motif Hoho Fu’alö Dari notasi dan distribusi formula melodi di atas maka dapat dilihat bahwa Hoho Fu’alö terdiri dari : 1. Bentuk A terdiri dari 2 frase (frase 1, 2), dan 4 motif (motif 1,2,3,4): Frase 1 ini bersifat call respons, dapat dilihat pada motif 1 dan 2 merupakan melodi pengantar respon dari Sondroro dan direspon (disambut) oleh kelompok Sanoyohi seperti pada motif 3. Pada frase 2 bentuk A ini juga bersifat call respons, hal ini terlihat pada motif 4 adalah
pengantar
respon
dan
kembali
kelompok
Sanoyohi
menggunakan motif 3 untuk merespon. Motif 4 ini merupakan melodi penjelasan terhadap motif 1 dan 2 pada frase 1 yang diperankan oleh Sondroro. Melihat frase 1 dan frase 2 bentuk A di atas, dapatlah
211
dikatakan bahwa terdapat counter motif, hal ini terlihat ada pemakaian motif yang sama (motif 3) pada frase 1 dan frase 2. Dengan demikian hubungan melodi antara frase 1 dan 2 menjadi lebih kuat karena diikat oleh motif 3. 2. Bentuk A’ terdiri dari 2 frase (frase 1’, 2), dan 4 motif (motif 1,2,3,4): Pada dasarnya Bentuk A’ adalah sama dengan bentuk A, karena hanya dibedakan oleh motif 1’ yakni merupakan melodi awal sebagai pengantar respon dari Sondroro. 3. Bentuk A” terdiri dari 2 frase (frase 1’, 2), dan 6 motif (motif 1,2,3,4,5,6): Demikian halnya pada Bentuk A” pada dasarnya memiliki frase yang sama dengan A’ namun dibedakan dengan munculnya motif 5 dan motif 6 sebagai
motif penutup yang bersifat call respons dari
kelompok Sanoyohi dan diikuti Sondroro.
6.5.2.6 Kontur Dari transkripsi melodi di atas tergambar kontur Hoho Fu’alö yang terdiri dari kontur statis, terraced, asending dan disending, seperti di bawah ini:
Kontur (1) Hoho Fu’alö (Frase 1)
212
Kontur (2) Hoho Fu’alö (frase 2)
Kontur (3) Hoho Fu’alö (frase 1’)
Kontur (4) Hoho Fu’alö (frase 2, motif 5 & 6)
213
6.5.3 Analisis Hoho Fadölihia Selanjutnya penulis akan mengkaji struktur melodi dan makna frase melodi Hoho Fadölihia yang merupakan bahagian dari penyajian Hoho Faluaya. Untuk itu terlebih dahulu akan dibentangkan hasil transkripsi Hoho Fadölihia dimaksud. Dan unsur-unsur melodi yang akan penulis analisis adalah seperti pada uraian pembahasan sub bab 6.5.1. di atas. Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) untuk melodi Hoho Fadölihia adalah sebagai berikut:
214
Dari transkripsi Hoho Fadölihia di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Hoho Fadölihia dalam transkripsi ini memiliki gaya atau bersifat call respons, lebih jelasnya akan di uraikan pada kajian bentuk, frase dan motif pada sub bab di bawah ini. Selanjutnya dalam transkripsi di atas dapat dilihat bahwa Hoho Fadölihia terdiri dari 9 bar bertanda birama 4/4 dan MM 110 yang dikenal sebagai tempo lagu. Selanjutnya pencarian jumlah rata-rata not permenit dilakukan dengan menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas dengan bantuan rumus . Maelzel, sebagai berikut: banyak bar x pembilang x 60 detik MM Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah rata-rata not permenit dari Hoho Fadölihia pada birama 4/4 sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM
215
9 x 4 x 60 detik 110
2160 det ik 110
= 19,636 detik
6.5.3.1 Wilayah Nada Hoho Fadölihia Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hoho Fadölihia. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada nyanyian ini dapat dilihat di bawah ini:
Penyajian Hoho Fadölihia oleh Son, Sa.1 dan Sa.2 dilakukan dengan birama 4/4, maka wilayah nada Hoho Fadölihia memiliki nada terendah yaitu nada E dan tertingginya adalah nada C.
6.5.3.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Fadölihia Dalam penjelasan teks pada Bab V disampaikan juga bahwa penyajian hoho jenis ini dilakukan dengan pengulangan melodi dan dapat terus dilakukan sepanjang sondroro masih dapat mengutarakan teks baru. Oleh karena itu
216
penyajiannya tergantung kemampuan sondroro dalam menciptakan syair dengan melodi tetap. Dari situasi di atas dalam hal melihat jumlah nada yang digunakan Hoho Fadölihia, penulis hanya menghitung dari hasil trankripsi di atas dan di dapat jumlah
masing-masing nada yang digunakan untuk Hoho Fadölihia adalah
seperti berikut ini:
Dilihat dari jumlah nada-nada yang dipakai, nada E adalah nada yang paling sering muncul dan merupakan nada yang hanya digunakan pada hoho ini, diikuti nada G sementara Nada C hanya muncul sebanyak 4 kali dan berfungsi sebagai nada pendukung.
6.5.3.3 Interval Hoho Fadölihia Pada Hoho Fadölihia terdapat beberapa interval yang didistribusikan. Untuk lebih jelas distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
217
Tabel 6.8 Distribusi Interval melodi Hoho Fadölihia Interval 1 perfect 3 minor 3 mayor 6 mayor
Distribusi Hoho Fadölihia 49 5 1 7
6.5.3.4 Pola Kadensa Hoho Fadölihia Pola-pola kadensa dalam Hoho Fadölihia dalam menandai akhir frase nyanyian terdapat dua pola kadensa yakni satu pola pada setiap akhir frase dan satu pola lagi pada birama ke 8 dan 9 sebagai penutup Hoho Fadölihia dimana kadens penutup ini sama dengan kadens penutup pada Hoho Fu’alö, seperti digambarkan di bawah ini :
218
Kadens pada melodi Hoho Fadölihia juga bersifat call respons dari Sanoyohi terhadap Sondroro sebagai si pemberi respons dan pada bagian penutup hoho ini terjadi saling isi antara kelompok Sanoyohi dengan Sondroro.
6.5.3.5 Formula Melodi Hoho Fadölihia Formula Melodi Hoho Fadölihia akan diuraikan bentuk, frase dan motif yang trdapat di dalamnya seperti pada analisis berikut di bawah ini:
219
220
Melalui bentuk visual di atas, formula melodi Hoho Fadölihia terdiri dari : Tabel 6.9 Formula Melodi Hoho Fadölihia Bentuk
Frase
Motif
B = 1 kali
Frase 1 = 1 kali
Motif 1 = 1 kali
B’ = 1 kali
Frase 1’ = 1 kali
Motif 1’ = 2 kali
Frase 1’’ = 1 kali
Motif 2 = 8 kali
Frase 2 = 1 kali
Motif 3 = 1 kali Motif 4 = 3 kali
6.5.3.5.1 Kajian Terhadap Bentuk, Frase dan Motif Hoho Fadölihia Dari notasi dan distribusi formula melodi di atas maka dapat dilihat bahwa Hoho Fadölihia terdiri dari :
221
1.
Bentuk B terdiri dari 1 frase (frase 1), dan 2 motif (motif 1,2): Frase 1 ini bersifat call respons, dan diulang sepanjang Sondroro mampu menciptakan syair, dapat dilihat pada motif 1 merupakan melodi pengantar respon dari Sondroro dan direspon (disambut) oleh kelompok Sanoyohi seperti pada motif 2.
2.
Bentuk B’ terdiri dari 3 frase (frase 1’, 1”, 2), dan 4 motif (motif 1’,2,3,4): Frase 1’ terdiri dari motif 1’ dan motif 2 yang bersifat call respons. Frase 2 terdiri dari motif 3 dan motif 2 dan frase 2 terdiri dari motif 1’, motif 2 dan motif 4 sebagai penutup dinyanyikan bersama saling kompak
antara Sanoyohi dan Sondroro. Dari kondisi ini dapat
dikatakan bahwa motif 2 adalah kunci karena sebagai call respons dari hoho ini.
6.5.3.6 Kontur Dari transkripsi melodi di atas tergambar kontur Hoho Fadölihia yang terdiri dari kontur statis, terraced, asending dan disending, seperti di bawah ini: Kontur (1) Hoho Fadölihia (frase 1)
222
Kontur (2) Hoho Fadölihia (frase 1’)
Kontur (3) Hoho Fadölihia (frase 2)
Kontur (4) Hoho Fadölihia (frase 1”)
223
6.5.4 Analisis Melodi Hoho Siöligö Terakhir penulis akan mengkaji struktur melodi dan makna frase melodi Hoho Siöligö yang merupakan bagian yang paling menunjukkan karakter benyanyi pada setiap penyajian hoho masyarakat Nias Selatan, dimana terdapat gaya bernyanyi yang khas dari jenis hoho ini yang mereka katakan gözö30 yakni penyaji hoho (Sondroro hoho) menggunakan suara vokal yang digetarkan pada bagian tekak (rongga tenggorokan). Setiap masyarakat tradisi biasanya memiliki ciri dalam bernyanyi (bermusik vokal) seperti pada masyarakat Melayu disebut cengkok, masyarakat Karo disebut rengget, dan lain-lain. Dalam notasi penulisan ini gaya bernyanyi yang disebut gözö oleh masyarakat Nias Selatan akan penulis buat dengan simbol “
“. Selain itu dalam frase melodi Hoho Siöligö ini
akan terlihat gaya bernyanyi repetisi atau melakukan pengulangan-pengulangan frase melodi, hal ini dimulai oleh seorang Sondroro terlebih dahulu melemparkan sati frase melodi dan disambut atau dijawab dengan frase melodi yang mirip oleh kelompok Sanoyohi 1 dan Sanoyohi 2. Sehingga dapat terdengar saling mengisi antara kelompok-kelompok tersebut. Dan hal inilah yang menjadi ciri khas dalam tradisi musik lisan yang ada di Nias Selatan. Untuk lebih jelasnya terlebih dahulu dibentangkan hasil transkripsi Hoho Siöligö dimaksud. Dan unsur-unsur melodi yang akan penulis analisis dibagi mulai dari Hoho Siöligö pembuka, isi dan penutup. Hasilnya dalam bentuk notasi (visual) untuk melodi Hoho Siöligö adalah sebagai berikut:
30
Wawancanra dengan Hikayat Manaö, di desa Bawömataluo Nias Selatan.
224
Bagian Pembuka dari Hoho Siöligö :
225
Bagian Isi dari Hoho Siöligö :
226
Bagian Penutup dari Hoho Siöligö :
227
Dari transkripsi Hoho Siöligö di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Hoho Siöligö dalam transkripsi ini memiliki masih bersifat call respons, lebih jelasnya akan di uraikan pada kajian bentuk, frase dan motif pada sub bab di bawah ini. Dalam transkripsi di atas dapat dilihat bahwa Hoho Siöligö penulis bagi menjadi bagian pembuka yang terdiri dari 12 bar bertanda birama 4/4 dan MM 75 dan pada birama yang sama terjadi perubahan tempo MM 90 sebanyak 8 bar terakhir. Sebagai catatan pada tempo MM 90 ini juga dipakai pada melodi Hoho Siöligö penutup. Bagian isi Hoho Siöligö terdiri dari 18 bar dengan birama 3/4 dan MM 90. Selanjutnya pencarian jumlah rata-rata not permenit dilakukan dengan menghitung jumlah not yang ada dalam transkripsi di atas dengan bantuan rumus . Maelzel, sebagai berikut: banyak bar x pembilang x 60 detik MM Berdasarkan MM dan jumlah bar di atas, maka dapat diketahui jumlah rata-rata not permenit Hoho Siöligö pembuka, pada birama 4/4 MM 75 sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 12 x 4 x 60 detik 75
2880 det ik 75
= 38,4 detik
Berikutnya jumlah rata-rata not permenit Hoho Siöligö pembuka, pada birama 4/4 MM 90 yang juga dipakai pada Hoho Siöligö penutup, sebagai berikut:
228
banyak bar x pembilang x 60 detik MM 8 x 4 x 60 detik 75
1920 det ik 90
= 21,3 detik
Selanjutnya untuk jumlah rata-rata not permenit Hoho Siöligö bagian isi, dengan birama 3/4 MM 90, sebagai berikut : banyak bar x pembilang x 60 detik MM 18 x 3 x 60 detik 75
3240 det ik 90
= 36 detik
6.5.4.1 Wilayah Nada Hoho Siöligö Dari tangga nada yang telah didapatkan pada nyanyian Hoho Faluaya di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi Hoho Siöligö. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada nyanyian Hoho Siöligö ini dapat dilihat seperti di bawah ini:
Penyajian Hoho Siöligö oleh Son, Sa.1 dan Sa.2 dilakukan dengan birama 4/4 pada bagian pembuka, dan
229
terjadi perubahan birama menjadi 3/4 pada isi selanjutnya kembali ke birama 4/4 pada saat bagian penutup, dari keadaan di atas maka didapati wilayah nada Hoho Siöligö dari nada terendah yaitu nada F dan tertingginya adalah nada D.
6.5.4.2 Jumlah Nada-Nada Hoho Siöligö Sebagai hoho terakhir yang disajikan dalam rangkaian Hoho Faluaya, penyajian Hoho Siöligö hanpir sama penyajiannya dengan Hoho Fu’alö, dan Hoho Fadölihia di atas, yakni dalam hal pengulangan melodi sepanjang sondroro masih dapat mengutarakan teks baru. Oleh karena itu lamanya penyajian tergantung kemampuan sondroro sebagai pencipta syair dengan melodi tetap. Dari situasi di atas dalam hal melihat jumlah nada yang digunakan Hoho Siöligö, penulis hanya menghitung nada-nada dari hasil trankripsi di atas dan jumlah masing-masing nada yang digunakan pada Hoho Siöligö di atas, seperti berikut ini:
Dilihat dari jumlah nada-nada yang dipakai dalam Hoho Siöligö, nada G adalah nada yang paling sering muncul, diikuti nada Bb dan nada-nada lain yang jarang muncul yakni nada F, Ab, A, C, Db dan D, nada-nada tersebut berfungsi sebagai nada pendukung.
230
6.5.3.3 Interval Hoho Siöligö Dalam Hoho Siöligö terdapat beberapa interval yang didistribusikan. Untuk lebih jelas distribusi interval tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 6.10 Distribusi Interval melodi Hoho Siöligö Interval
Distribusi Hoho Siöligö
1 perfect
141
2 minor
8
2 mayor
15
3 minor
17
3 mayor
8
4 perfect
5
5 perfect
3
6 minor
6
6 mayor
19
7 minor
12
7 mayor
5
6.5.4.4 Pola Kadensa Hoho Siöligö
231
Pola-pola kadensa dalam Hoho Siöligö dalam menandai akhir frase nyanyian dari Hoho Siöligö pembuka, isi dan penutup terdapat sedikitnya sepuluh pola kadensa, seperti visual di bawah ini :
232
233
234
6.5.4.5 Formula Melodi Hoho Siöligö Formula Melodi Hoho Siöligö adalah seperti pada analisis berikut di bawah ini:
235
236
237
238
239
Melalui bentuk visual di atas, formula melodi Hoho Siöligö terdiri dari : Tabel 6.11 Formula Melodi Hoho Siöligö Bentuk
Frase
Motif
3 Bentuk
11 Frase (frase
29 Motif
(C, D, E)
1,2,3,4,5,6,7,7’,8,9,10)
(1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,14’,
dan E’
14”,15,16, 17,18,19,20,20’ 21,21’,22,23,24,25)
6.5.4.5.1 Kajian Terhadap Bentuk, Frase dan Motif Hoho Siöligö Dari notasi dan distribusi formula melodi di atas maka dapat dilihat bahwa Hoho Siöligö terdiri dari:
240
1.
Bentuk C sebagai pembuka dari Hoho Siöligö memiliki 4 frase (frase 1,2,3,4), dan 9 motif (motif 1,2,3,4,5,6,7,8,8’,9): Frase 1 ini memiliki 2 buah motif (motif 1,2) yang bersifat call respons, dapat dilihat pada motif 1 merupakan melodi pengantar respon dari Sondroro dan direspon (disambut) oleh kelompok Sanoyohi seperti pada motif 2. Pada frase 2 terdiri dari 3 motif (motif 3,4,5) yang seluruhnya menjadi frase melodi Sondroro. Frase 3 terdapat 1 motif (motif 6) yang masih menjadi frase melodi Sondroro. Pada Bentuk C frase melodi terakhir yakni frase 4 yang terdiri dari 4 motif (motif 7,8,8’,9), dimana motif 9 merupakan menjadi pengantar menuju bentuk D.
2.
Bentuk D terdiri dari 2 frase (frase 5, 6), dan 8 motif (motif 10,11,12,13,14,14’,14”,15): Frase 5 merupakan melodi berciri unisono antara Sondroro dan Sanoyohi secara bersama memainkan motif 10, 11, 12, dan motif 13. Pada frase 5 ini menjadi bagian yang akan diulang pada bagian akhir dari hoho ini. Selanjutnya frase 6 terdiri dari 4 motif (motif 14, 14’,14” dan motif 15). Dari motif tersebut dapatlah dikatakan bagian ini terjadi counter motif dimana terjadi saling isi motif antara Sondroro >< kelompok Sanoyohi 1, Sanoyohi 1 >< Sanoyohi 2, dan Sondroro >< Sanoyohi 1. Gaya melodi vokal seperti ini menjadi bagian yang unik dan khas yang hanya dimiliki oleh masyarakat
241
Nias Selatan dalam tradisi musik lisannya. Dari penjelasan di atas, frase 5 dan 6 ini akan diulang pada bagian akhir dari hoho ini. 3.
Bentuk E merupakan bagian isi dari Hoho Siöligö terdiri dari 3 frase (frase 7,8,9), dan 7 motif (motif 18,19,20,21,21’,22,23): Frase 7 memiliki 3 motif (motif 18,19,dan motif 20), frase ini bersifat call respons dimana motif 18 dan 19 sebagai pengantar respons dari Sondroro dan di respons oleh kelompok Sanoyohi 1 yang merupakan repetisi atau pengulangan dan jawaban terhadap motif Sondroro. Berikutnya Frase 8 terdiri dari 2 motif (motif 21 dan 21’) yang di nyanyikan oleh kelompok Sanoyohi 2. Selanjutnya Sanoyohi 2 meneruskannya pada frase 9 dengan motif 20,22 dan 23. Bentuk E ini diulang terus sampai dengan Sondroro merasa sudah cukup.
4.
Bentuk E’ merupakan bagian pengantar penutup dari Hoho Siöligö terdiri
dari
2
frase
(frase
7’,10),
dan
6
motif
(motif
7,18,19,20’,24,25): Frase 7’ pada dasarnya hampir sama dengan frase 7 dimana terdiri dari 4 motif (motif 18,19,20’ dan motif 24), pada frase ini terlebih dahulu Sondroro mengantar motif (18,19) dan disambut oleh Sanoyohi 1 dan disusul secara bersamaan pada motif 24 oleh Sanoyohi 1 dan 2. Pada frase 10 merupakan pengantar penutup Hoho Siöligö menuju bentuk D seperti di atas, terdiri dari 2 motif yang diantar sendiri oleh Sondroro.
242
6.5.4.6 Kontur Dari transkripsi melodi di atas tergambar kontur Hoho Siöligö yang terdiri dari kontur statis, terraced, asending dan disending, seperti di bawah ini:
Kontur (1) Hoho Siöligö (frase 1)
Kontur (2) Hoho Siöligö (frase 2)
Kontur (3) Hoho Siöligö (frase 3)
243
Kontur (4) Hoho Siöligö (frase 4)
Kontur (5) Hoho Siöligö (frase 5)
Kontur (6) Hoho Siöligö (frase 6)
Kontur (7) Hoho Siöligö (frase 7-7’)
244
Kontur (8) Hoho Siöligö (frase 8)
Kontur (9) Hoho Siöligö (frase 9)
Kontur (10) Hoho Siöligö (frase 10)
244
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Dari uraian-uraian di Bab I sampai VI, maka pada Bab IV, V dan VI ini penulis menyimpulkan penelitian ini dengan topik utama fungsi musik, makna teks dan struktur musik Hoho Faluaya Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara sebagai berikut: (a) Berdasarkan peroleh data dari lapangan dan teori-teori fungsi yang penulis dapatkan dan akhirnya penulis dapatlah terjawab bagaimana fungsi Hoho Faluaya dalam tradisi lisan masyarakat Nias Selatan. Hoho Faluaya sebagai warisan tradisi musik lisan masyarakat Nias Selatan khususnya dan Indonesia umumnya dapat terdapat bebeberapa fungsi yang merupakan kearifan lokal masyarakat Nias Selatan. Adapun fungsi Hoho Faluaya yang penulis dapatkan yakni berfungsi sebagai pelaksanaan pesta adat atau sebagai sarana upacara pesta adat, berfungsi sebagai simbol keperkasaan para prajurit perang, penguat status sosial dalam pengukuhan gelar-gelar adat, perekat kehidupan masyarakat yang menumbuhkan rasa cinta dan kebersamaan yang kuat di antara masyarakat Nias, berfungsi sebagai sarana komunikasi dan penyampaian pesan, menumbuhkan nilai-nilai estetis dalam kehidupan sosial, berfungsi sebagai hiburan dan pengucapan syukur, sebagai pengiring gerakan tarian
245
faluaya, dan berfungsi sebagai pertahanan budaya sebagai pengawal identitas budaya masyarakat Nias. (b) Dari hasil analisis teks penulis dapat menyajikan analisis semiotik yang pemaparannya dengan pendekatan teori Roland Barthes dalam melihat signifier dan signified sehingga dapat dilihat makna konotatif dari teks syair Hoho Faluaya yang terdiri dari teks Fohuhugö (Hugö) yang merupakan seruan persetujuan, Hivfagö seruan penegasan terhadap Hugö dan 3 (tiga) jenis struktur hoho yang ada di dalamnya, yakni: (1) Hoho Fu’alö yang menjadi nyanyian persiapan pembangkit dan pembakar semangat para prajurit perang atau penari perang, (2) Hoho Fadölihia sebagai cara para kelompok hoho mengagung-agungkan kebesaran desa mereka, dan (3) Hoho Siöligö bermakna menjalin persatuan dan kesatuan demi kemakmuran desa. (c) Dari struktur analisis musik Hoho Faluaya yang dikaji melalui pendekatan teori weighted scale yang terdiri dari kajian tangga nada, nada pusat atau nada dasar, wilayah nada, jumlah nada-nada, interval yang digunakan, pola-pola kadensa, formula melodi, dan kontur, terdapat ciri tangga nada tradisi yakni pentatonik. Masyarakat Nias dalam hohonya memiliki struktur bernyanyi dengan gaya dan sifat musikal tersendiri seperti adanya call respons dan counter frase maupun counter motif, juga dalam tehnik vokal dalam menyanyikan hoho ini terdengar sangat khas dengan menggunakan tehnik “gözö” atau menggetarkan pangkal lidah di daerah tenggorokan. Hal ini merupakan sebuah kearifan yang hanya
246
dimiliki oleh masyarakat Nias Selatan. Demikianlah Hoho Faluaya ini disajikan melalui melodi-melodi yang tercipta ternyata dapat menjadi pembangkit semangat bagi para bohalima (prajurit perang/ penari perang) juga bagi yang mendengarkannya.
7.2 Saran Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dan beberapa simpulan yang telah dibuat, ada beberapa saran yang perlu dikemukakan, mengingat seni tradisi musik lisan Hoho Faluaya masih memiliki peranan penting dalam masyarakat Nias dan juga peranan penting dari kesinambungan warisan budaya tradisi musik lisan yang telah terjadi sekarang ini. Dalam kenyataannya, walaupun penerima warisan tradisi musik lisan hoho Faluaya ini sudah sangat berkurang dan sudah mulai ditinggalkan oleh karena perkembangan teknologi, namun belum sepenuhnya diabaikan karena masih ada beberapa orang yang peduli khususnya salah satu kelompok di desa Bawomataluo yakni sanggar Baluseda pimpinan Hikayat Manaö.
Dengan
demikian penelitian ini masih terbuka untuk permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengannya, seperti: (a) mengupayakan pengembangan Hoho Faluaya sebagai warisan tradisi musik lisan masyarakat Nias; (b) mengupayakan penggunaan genre musik vokal secara proporsional dalam aktivitas masyarakat Nias, khususnya dalam konteks upacara adat Nias; (c) tetap mengeksiskan Hoho Faluaya dalam upacara ritual adat, dan mengembangkannya melalui pertujukanpertunjukan sebagai sarana wisata budaya di Nias Selatan.
247
DAFTAR PUSTAKA
Adler, Mortimer J. et al. (eds.). 1983. Encyclopaedia Britannica (Vol. XII). Chicago: Helen Hemingway Benton. Adshead, Janet. 1988. Dance Analysis: TheoRy and Practice.London: Dance Book. Ajid Che Kob, Farid Mohd dan Ramli Saleh, 1987. Pemakaian Kod dan Refleksi Sosial dalam Masyarakat Melayu. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia. (Disertasi Muhammad Takari Bin Jilin Syahrial. 2010. “Fungsi Dan
Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan Tari Melayu Di Sumatera Utara”. Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur) Aston, Elaine dan George Savona. 1991. Theatre as Sign-System:A Semiotics of Text and Performance. London dan New York.- Routledge. (Dalam buku ini termuat analisis semiotis teater olch Tadeus Kowzan dan Patrice pavis). Bachtiar, Harsya, W. 1985. “Pengamatan sebagai Metode Penelitian.” Dalam Metde-metode Penelitian Masyarakat. Kentjaraningrat (ed.). Jakarta: Gramedia. Badan Statistik Kabupaten Nias Selatan. 2010. Nias Selatan Dalam Angka.BPS Nias Selatan. Barthes, R., 1967. Elementss of Semiology. London: Jonathan Cape. Barthes, R., 1977. Image -Musi -Text. New York: Hill & Wang. Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil. Dananjaya, James. 1993. Cerita Rakyat Dari Sumatera. Jakarta: Grasindo Dananjaya, James. 1998. Pendekatan Foklore dalam penelitian bahan-bahan tradisi lisan dalam Pudentia MPSS, Metodologi Kajian Tradisi Lisan (hlm 54-66). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. Dananjaya, James dan Koentjaraningrat. 2002. Penduduk Kepulauan Sebelah Sumatera dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Darma, Budi. 1990. Perihal Studi Sastra dalam Basis, Agustus 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.). 1995. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, dan New Delhi: Sage Publications. Daeli, Fa’ano. Juni 1988. “Pengaruh Nilai-nilai Budaya Nias Terhadap Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia”, Seminar Kebudayaan Nias dan Kualitas Manusia, Ikatan Keluarga Nias (IKN) Yogyakarta. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana; Pengantar Analisis teks media. Yogyakarta: LKiS Goldsworthy, David J. 1979. Melayu Music of North Sumatra: Continuities and Changes. Sydney: Monash University.
248
Hall, D.G.E. 1968. A History of South-east Asia. T.p: St. Martin’s Press. Halliday, M.A.K dan R. Hasan. 1985. Language, Context, and Text: Aspect of Language in A Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press. Hammerle, Johannes M. 1986. Famatö Harimao. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. -------------------. 1990. Omo Sebua. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. -------------------. 1995. Hikaya Nadu. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias,. -------------------. 1998. He’iwisa ba Danö Niha. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. -------------------. 1999. Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. -------------------. 1999. Nidunö-dunö ba Nöri Onolalu. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. -------------------. 2001 “Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi.” Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. Hoed, Benny H., “Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002) Ihromi, T.O. 1987. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Jambaan. Jones, Georges Thaddeus. 1974. Music Theory. Barnes & Noble Books A Division Of Harper & Row. Publishers. New York. Evanston. San Fransisco. London. Kartomi, Margaret J. 1981. “The Processes and Results of Musical Cultural Contact: A Discussion of Terminology and Concept” in Ethnomusicology No. XXV-2:B. Bloomington: Indiana University Press. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. -------------------. 1991. “Metode Wawancara” dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat (Koentjaraningrat, red). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama -------------------. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama -------------------. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koestoro, Lucas Partanda & Ketut Wiradnyana. 2007. “Tradisi Megalit di Pulau Nias”. Balai Arkeolog Medan. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Kunts, Jaap. 1939. Music In Nias. Internationales Arciv Fur Ethnographie.Leiden. Laiya, B. 1979. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias, Indonesia.Gajah Mada University Press. Lase, Apolonius. 2011. Kamus Li Niha Nias – Indonesia, Penerbit Buku Kompas. Lauer, Robert. H. 2001, Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta, terj. Alimandan Legge, J.D. 1964. Indonesia. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
249
Legemann, H. 1906. Ein Heldensang der Niasser, Gesang der Gaste Beim Feste Eines Hauptlings, Al ser Sich den title Balugu Beilegte.Batavia: Albrecht & Co. Lokin. 1990. Nias Tribal Treasures: Cosmic reflection in stone, wood and gold, Volkenkundig Museum Nusantara, Delft. Lomax, Alan P. 1968. Folk Song Style and Culture. Transaction Books New, Jersey. Lorimer, Lawrence T. et al. 1991. Grolier Encyclopedia of Knowledge (volume 120). Danburry, Connecticut: Groller Incorporated. Malinowski. 1987. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I. Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press. Marckward, Albert H. et al. (eds.), 1990. Webster Comprehensive Dictionary (volume 2). Chicago: Ferguson Publishing Company. Malm,William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terJemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, 1993, Kebudayaan Musik Pasiflk, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Marsden, W. 1966. The History of Sumattra. Kuala Lumpur: Oxford University Press. Mendröfa, Snk B. Ama Wohada. 1982. Amaedola Nono Niha. Pepatah Nias dan Artinya. Medan. -------------------. 1982. Li Niha Ba Li Indonesia. Kamus Bahasa Nias - Indonesia. Medan. Mendröfa, S.W. 1969. Börö Gotari Gotara. Gunung Sitoli: Percetakan BNKP. -------------------. 1981. Fondrakö Ono Niha. Jakarta: Inkultura Fondation, Inc. -------------------. 1996. Sosial Budaya di dalam Masyarakat Ono Niha. Gunung Sitoli: Tanpa Nama Penerbit. Merriam, Alan P. 1964. The Anhropology of Music. Chicago: North Western University Prees. Moeliono, Anton dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Muhadjir, Noeng. 2002, Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin Mulyana. 2005. Kajian Wacana; Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana, Yogyakarta: Tiara Wacana Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik; Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Nasution, S. 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars. Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1994. Instrumen Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss Nias, Yayasan Pusaka. (Tanpa Tahun). Daeli Sanau Talinga dan Tradisi Lisan Onowaembo Idanö. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias. Nettl, Bruno. 1973. Folk and Traditional of Western Continents, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall.
250
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology, New York : The Free Press of Glencoe. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Patersen, William. 1995. "Migration: Social Aspects," International Encyclopedia of the Sosial Sciences, volume 9, David L. Sills (ed.), (New York dan London: The Macmillan Publishers). Radcliffe-Brown, A.R. 1952. Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Robinson, Jenefer (ed). 1997. Music and Meaning. Ithaca and London: Cornell University Press. Rice, Kenneth A. 1980. Geertz and Culture. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Rice, Kenneth A. 1980. Geertz and Culture. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Saragih, Amrin. 2000. Bahasa dan Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik. Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Sedyawati, Edi. 1980. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya. Sibarani, Robert. 2000. “Tradisi Lisan Nias” dalam Warta ATL, Edisi IV/ April/2000, halaman 24-29. Shadily, Hassan. 1983. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru-Vanhoeve. Soedarsono, 1995. “Pendidikan Seni dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan”. Makalah Seminar dalam Rangka Penringatan Hari Jadi Jurusan pendidikan Sendratasik ke-10 FPBS IKIP Yogyakarta, 12 Pebruari 1995). Soedarsono, 1974. Dances in Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Soekanto, Soerjono. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Perss. Steinhart, W.L. 1954. Nias Teksten. Vertaald En Van Aantekeningen Voorzien. Suparlan, Parsudi. 1987. “Perubahan Sosial Dalam Masyarakat” dalam Bulletin Antropologi. Yogyakarta: Perpustakaan Jur. Antropologi UGM Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra Takari, Muhammad. 2010. “Fungsi Dan Bentuk Komunikasi Dalam Lagu Dan Tari Melayu Di Sumatera Utara”. Disertasi Jabatan Pengajian Media Fakulti Sastera Dan Sains Sosial Universiti Malaya Kuala Lumpur. Tomsen, Martin. 1979. Die vom Stammuater Hija Ein Gesang Ausittelnias.Braunschweig. Telaumbanua, Sadieli. 2006. Representasi Budaya Nias Dalam Tradisi Lisan.Gunung Sitoli. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Nias. Ulack, Richard. 2007. Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica. Wahab, Abdul. 2000. Mitos Asal Mula Kejadian dan Hidup Setelah Mati Lintas Budaya. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). Kajian Serba Linguistik (hlm 795-807). Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Unika Atma Jaya. Yampolsky, Philip. 1991. “MUSIC OF INDONESIA, VOL. 4: Music of Nias and North Sumatra: Hoho, Gendang Karo, Gondag Toba”. Recorded, edited,
251
and annotated by Philip Yampolsky. 65 minutes. 2-page booklet with map. SWF 40055 (1991). Zebua, S. 1984. “Sejarah Kebudayaan Ono Niha Seri I”. Makalah yang tidak dipublikasikan. Gunung Sitoli.
Zebua, HS. 1995. Sastra dan Tatabahasa Daerah Nias (Ono Niha). Gunung Sitoli: Depdikbud Kabupaten Nias. Zebua, S. 1995. Sejarah Kebudayaan Ono Niha. Seri adat istiadat perkawinan di Laraga. Gunung Sitoli. Zebua, Victor. 2008, Kisah Awuwukha Pemburu Kepala. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zebua, Victor. 2010. Jejak Cerita Rakyat Nias. Yogyakarta: Posko delasiga bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Internet:
http://collectie.tropenmuseum.nl http://dolinktome.com/browse/284035/pemerintahan-asli-suku-nias-iii-niasonline.cnet http://halilintarblog.blogspot.com/2010/10/teori-pengembangan-perubahan.html http://learning-of.slametwidodo.com/2010/02/01/perspektif-teori-tentangperubahan-sosial-struktural-fungsional-dan-psikologi-sosial/ http://staff.ui.ac.id/internal/130536771/publikasi/metodesemiotika.pdf di download tgl. 19 Sept 2011 pkl. 10.11 wib http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/Tinjauan%20Teoritik%20tentang%20Se miotik.pdf di download tgl. 19 Sept 2011 pkl. 10.11 wib http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html http://www.niasisland.com/ http://niasonline.net/ http://www.nias-bangkit.com/
Majalah: Journal Ethnomusicology (edisi ke-3). 1959. The Hague. Martinus Nijhoff Media Warisan.2000. Edisi no. 5 tahun I Juni, hal. 7. “Arti dan Makna Salam Ya’ahowu”. Terbitan: Museum Pusaka Nias. Gunung Sitoli. Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010. “Titik Balik Nias”.
252
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: Hikayat Manaö (Ama Gibson)
Umur
: 53 Tahun
Pekerjaan
: Pimpinan Sanggar Baluseda
Alamat
: Desa Bawömataluo Nias Selatan
2. Nama
: Sanea Bu’ulölö (Ama Risa)
Umur
: 59 Tahun
Pekerjaan
: Bertani
Alamat
: Desa Bawömataluo Nias Selatan
3. Nama
: Dasa Manaö (Ama Sorai)
Umur
: 45 Tahun
Pekerjaan
: PNS Dinas Pariwisata Nias Selatan
Alamat
: Jl. Sudirman Teluk Dalam Nias Selatan
4. Nama
: Ariston Manaö (Ama Rocky)
Umur
: 48 Tahun
Pekerjaan
: Kepala Desa Bawömataluo
Alamat
: Desa Bawömataluo Nias Selatan
5. Nama
: P. Johannes Maria Hammerle
Umur
: 60 Tahun
Pekerjaan
: Direktur Yayasan Pusaka Nias
Alamat
: Jl. Yos Sudarso 134 A Gunung Sitoli Nias
253
GLOSARIUM
Adu
: patung
Afo
: sirih
Aramba
: gong
Aramö
: salah satu wilayah di Nias Selatan, terkenal sebagai tempat pengambilan kepala orang bagi suku-suku Maenamölö. “Aramö, halösö mbinu Maenamölö.”
Awöni
: pohon besar, salah satu pohon yang dianggap sebagai rumah Bela.
Bagoa
: pohon Pandanus
Bala Högö
: hiasan kepala
Balatu Nifolasara : pedang, yang pegangannya berbentuk kepada Lasara. Bale
: balai tempat pertemuan
Bekhu
: roh-roh
Bela
: 1. Anak dari Sirici 2. Makhluk yang hidup di atas pohon besar dan berkuasa atas margasatwa di hutan, 3. Ono Mbela anak atau keturunan Bela
Bohalima
: prajurit perang, pasukan perang
Bola nafo
: kampin sirih
254
Bosi
: derajat untuk orang yang telah mengadakan pesta jasa (owasa)
Börö
: titik dasar, awal, sebab
Börönadu
: 1. Nama desa leluhur di Gomo 2. Titik paling dasar pada patung asal
Böröta Niha
: permulaan manusia
Böwö
: jujuran adat perkawinan
Buruti Rao
: istri pertama dari Sirao
Cuhanaröfa
: s.d. Tuhangaröfa, nama seorang leluhur pemilik ikan dan belut
Daeli
: 1. Satu dari empat leluhur yang diturunkan di Tölamaera sebagai leluhur marga Gea, Daeli, Larosa dsb. 2. Marga yang berkembang di daerah kecamatan Sirombu
Eho
: sejenis pohon Ficus
Ere
: orang pintar, pemuka masyarakat. (dulu ere dipercaya sebagai orang yang bisa mengusir roh-roh jahat dari tubuh orang sakit dengan melakukan sesembahan. Sebelum agama Kristen masuk di Nias, masyarakat yang menganut kepercayaan animism dipimpin oleh ere).
255
Ewali
: pekarangan rumah = olayama. jalan atau tanah kosong di depan rumah tempat orang lalu lalang.
Fakhöyö
: mencampur
Falagö
: mengelilingi; Sifalagö, 1. nama desa 2. yang dikelilingi
Faluaya
: tarian perang
Famadaya
: pengusungan
Famadaya Harimao : arak-arakan sambil mengusung patung harimau Famatö Harimao : 1. pematahan patung harimau 2. ritus membuang patung harimau Faritia
:
canang, gong kecil dengan nada yang berbeda
Fondrahi
: gendang tambur
Fondrakhö
: pengesahan hukum-hukum adat
Fösi
: salah satu pohon yang dianggap keramat
Gari
: pedang, parang
Gözö
: nama seorang leluhur diturunkan di Hilimaziaya, dan menjadi leluhur marga Baeha
Gulö
: nama suatu marga yang tersebar dan berkembang di wilayah Nias Barat. Leluhur itu dulu disebut Kulö.
Hada
: s.d. böwö- adat istiadat
Halawa
: marga orang Nias
256
Harakana
: budak
Hasi
: peti mayat
Hasi nifedadao
: peti mayat duduk
Hasi Nifolasara
: peti mayat berbentuk perahu berkepala Lasara
Hia
: 1. nama leluhur Nias 2. marga yang berkembang di Nias Barat
Hili
: gunung atau bukit
Ho
: 1. nama leluhur s.d. Hia 2. s.d. Eho – sungai yang bermuara ke laut di sebelah Nias Selatan
Ho ba mböröta
: Ho pada mulanya
Hoho
: syair yang dilakonkan pada pesta adat Nias, mis. pesta pernikahan, kematian, pendirian kampung dsb.
Högö
: kepala
Huku
: hukum
Iwöwöi
: dia membentuk
Lahagu
: salah satu marga Nias Barat
La’ia
: nama satu marga
La’imba
: babi hutan jantan
La’imba horö
: gelar orang gagah perkasa
Lakhömi
: kemuliaan, wibawa
257
Laoya
: salah seorang keturunan Hia
Lasara
: 1. nama lain dari suatu perahu, 2. sering dipakai sebagai nama desa di Nias 3. nama binatang khayalan mirip kepala naga
Li niha
: suara manusia, bahasa nias
Lölö
: kain lampin dari kulit kayu
Luo
: 1. matahari 2. hari
Maenamölo
: salah satu wilayah ni Nias Selatan
Mazinö
: nama bukit di Sifalagö Gomo
Mölö
: leluhur yang pindah ke Nias Selatan dan menjadi leluhur masyarakat di wilayah Maenamölö
Nadaoya
: 1. roh yang ditakuti 2. leluhur yang jatuh ke lembah sungai yang terjal waktu diturunkan
Nandrua
: istri pertama Ho atau Hia
Nawalö
: pelbagai
Ndrao
: batu kapur yang lembek dan berwarna merah, hitam atau putih
Nidada
: yang diturunkan
Niha
: manusia
Omo
: rumah
258
Omo bale
: rumah balai, tempat pertemuan adat
Omo Nifolasara
: rumah tradisional, bagian depannya dilengkapi dengan tiga kepala Lasara
Ono
: anak
Ono Garamö
: keturunan dari leluhur Aramö, salah satu rumpun
Ono Niha
: anak manusia
Orahua
: bermusyawarah
Rai
: mahkota, hiasan kepala
Sawuyu
: s.d harakana: budak
Si’ila
: orang yang maha tahu, penasehat desa
Sirao
: dipandang sebagai leluhur dari tiga suku pertama di Nias
Sirici
: ibu para leluhur pertama di Nias
Si’ulu
: bangsawan, yang ada di sebelah atas
Tanö Niha
: bumi manusia; pulau nias
Tora’a
: 1. diibaratkan sebagai pohon dalam syair hoho 2. tubuh perempuan yang menandakan kehamilan
Uli
: kulit
Wöwöi
: membentuk
Zanökhö
: gerakan mengepung musuh tari faluaya
Zebua
: nama salah satu marga
259
LAMPIRAN GAMBAR Gambar 8.1. Peta Sumatera Utara
Sumber: Atlas Indonesia dan Dunia
Gambar 8.2 Peta Kepulauan Nias
Sumber: niasjaya.wordpress.com
260
Gambar 8.3 Peta Desa Bawömataluo
Sumber: Kantor Kepala Desa Bawömataluo Gambar 8.4 Peta Desa Bawömataluo
Sumber: Kantor Kepala Desa Bawömataluo
261
Gambar 8.5 Bawömataluo – 87Anak Tangga memasuki Desa Adat
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.6 Bawömataluo – Desa Orahili Fau dari Puncak Tangga
Sumber: Dok. Hubari Gulö
262
Gambar 8.7 Bawömataluo - di teras rumah Hikayat Manaö
Sumber: Dok. Hubari Gulö Gambar 8.8 Bawömataluo – di rumah Sanoyohi
Sumber: Dok. Hubari Gulö
263
Gambar 8.9 Bawömataluo – Plank Merk Sanggar Baluseda
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.10 Bawömataluo – Ndrölö Halamba’a dari Omo Sebua
Sumber: Dok. Hubari Gulö
264
Gambar 8.11 Bawömataluo – Ndrölö Raya sebelah kiri rumah Hikayat Manaö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Sumber: Dok. Hubari Gulö Gambar 8.12 Bawömataluo – Penduduk pulang dari Gereja melalui Ndrölö Ana’a/Löu
Sumber: Dok. Hubari Gulö
265
Gambar 8.13 Bawömataluo – Ndrölö Bagoa di sebelah kanan rumah Hikayat Manaö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.14 Bawömataluo – Bale tempat musyawarah (orahu) adat
Sumber: Dok. Hubari Gulö
266
Gambar 8.15 Bawömataluo – Hikayat Manaö memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.16 Bawömataluo – Hikayat Manaö memimpin Tari Faluaya dan HohoFualö
Sumber: Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010
267
Gambar 8.17 Bawömataluo – Para Bohalima melakukan Gerakan Faluaya Zanökhö
Sumber: Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010 Gambar 8.18 Bawömataluo – Pertunjukan Hombo Batu
Sumber: Dok. Hubari Gulö
268
Gambar 8.19 Bawömataluo – Kostum Para Bohalima dan Fanari Mogaele
Sumber: Dok. Hubari Gulö
Gambar 8.20 Bawömataluo – Hikayat Manaö sebagai Kafalo Zaluaya
Sumber: Majalah Warisan Indonesia.2010. Vol.1 No.01.Agustus2010
269
Gambar 8.21 Gunung Sitoli – Yayasan Pusaka Nias
Sumber: Dok. Hubari Gulö