TOPIK IDENTIFIKASI KOLEKTIF DAN IDEOLOGISASI JIHAD: STUDI KUALITATIF TERORIS DI INDONESIA G A Z I S A L O O M*)
ABSTRAK Artikel ini menggambarkan bahwa para teroris setidaknya di Indonesia adalah kumpulan orang normal yang memiliki pikiran yang sehat dan memiliki tujuan jangka panjang untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan ajaran Al-Qur ’an dan Hadis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara, telaah dokumen, dan informasi media tentang teroris dan terorisme. Satu orang mantan teroris yang pernah terlibat dalam kasus Bom Bali 1 dipilih untuk menjadi responden penelitian. Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen dianalisa dengan teori identitas sosial dan teori kognisi sosial mengenai ideologisasi jihad. Artikel ini menyimpulkan bahwa proses perubahan orang biasa menjadi teroris sangat berkaitan dengan ideologisasi jihad dan pencarian identitas.
KATA KUNCI: Psikopat, Gangguan Mental, Normal, Islam
ABSTRACT This article articulates that the terrorists in Indonesia are basically a group of normal people who have sound minds and a long-term goal to establish an Islamic government system based on the teachings of the Quran and Hadith. This study employed qualitative approach by acquiring the data through interviews, document analysis and media information covering terrorists and terrorism. A former terrorist involved in Bali bombing I served as the research informant. Data from in-depth interviews and document analysis were analyzed by utilizing social identity and social cognition theory about ideology of jihad. The article concludes that the changing process from the ordinary people into the terrorist strongly relates to jihad ideology and search for identity.
KEY WORDS: Psychopath, Mental Disorder, Normal, Islam
A. PENDAHULUAN Keterlibatan seseorang dalam kelompok dan aksi teror dikaji secara mendalam dari perspektif ilmu psikologi oleh para peneliti dan akademisi di bidang psikologi. Terjadi perdebatan panjang tentang apakah para teroris adalah kaum abnormal yang mengalami psikopati atau justru sebaliknya, kumpulan orang-orang normal yang *Gazi Saloom: Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Fakultas Psikologi UIN Jakarta, Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, Jakarta Selatan 15419. Email:
[email protected]. **Naskah diterima Februari 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015.
melakukan tindakan dengan penuh kesadaran dan perhitungan. Misalnya, Lasch (1979), Cryton (1983), Haynal et.al (1983), dan Pearlstein (1991) menganut pandangan bahwa teroris itu tidak normal dan mengidap gangguan. Sedangkan peneliti mutakhir seperti Moghaddam (2009) dan Kruglanski dkk (2011) berpandangan bahwa para teroris adalah kaum normal dan rasional1. 1 Lihat, Fathalli M. Moghaddam, “The staircase to terrorism: A psychological exploration.” (American Psychologist, 2005): 161-169. Lihat Juga Arie W. Kruglanski, Michele J. Gelfand, dan
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
1
Artikel ini memihak pandangan kedua yaitu bahwa para teroris adalah orang-orang normal yang melakukan tindakan dan aksi mereka dengan penuh kesadaran dan didorong oleh citacita dan ideologi untuk menegakkan sistem pemerintahan yang berbasis Islam. Bagaimana sesungguhnya psikologi terutama psikologi sosial melihat persoalan terorisme ini? Penelitian psikologi terorisme memiliki akar sejarah yang cukup panjang: mulai dari pendekatan psikoanalisis, pendekatan narsisme, sampai dengan pendekatan tipologi. Pendekatanpendekatan ini lebih menekankan pada pandangan bahwa teroris adalah kumpulan manusia abnormal dan mengalami gangguan psikologis, terutama psikopati2. Dalam bahasa yang umum, psikopati sering disebut dengan istilah orang gila. Dengan kata lain, para teroris adalah kumpulan orang-orang gila. Pertanyaannya, benarkah para teroris adalah kumpulan orang gila? Salah satu tokoh penting dalam bidang psikologi, Sigmund Freud menyebutkan bahwa di tengah realitas sosial terdapat sejumlah orang yang sejak masa kanak-kanak memiliki kecenderungan destruktif, sikap anti sosial, dan anti budaya. Jumlah mereka terbilang cukup banyak di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, ada dua rumusan penting tentang terorisme dalam pandangan Freud, yaitu: Pertama, motif terorisme bersifat ketidaksadaran dan bersumber dari permusuhan terhadap orang tua, dalam hal ini, bapak. Kedua, terorisme adalah produk dari kekerasan yang dialami seseorang di masa kanakkanak dan pola asuh yang salah3. Feur (1966) yang mengusung teori konflik generasi (conflict of generations theory) sangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan Freud. Teori Feur didasarkan atas penafsiran Kaum Freudian tentang terorisme sebagai suatu reaksi psikologis
anak terhadap ayahnya. Dalam berbagai literatur psikologi terutama literatur psikoanalisis, hal tersebut berkaitan dengan fenomena kegenerasian yang berakar pada “Kompleks Oedipus”, dan karenanya sangat erat kaitannya dengan dunia laki-laki atau dunia yang didominasi maskulinitas.4 Masih dari kalangan generasi pertama ilmuwan di bidang psikologi, Cryton (1983) mengemukakan terdapat banyak tokoh yang berusaha memahami dan menjelaskan terorisme dalam kerangka konseptual psikodinamika yang memberikan perhatian khusus kepada trait narsisisme sebagai suatu faktor yang menentukan dan mendorong perilaku terorisme pada seseorang. Menurut Cryton, ada dua dinamika utama narsisistik, yaitu perasaan yang berlebihan terhadap diri sendiri dan imago bapak yang ideal. Kemungkinan adanya hubungan antara narsisisme dan terorisme pertama kali dikembangkan oleh Morf pada tahun 1970-an, dan selanjutkan didiskusikan secara serius oleh beberapa tokoh psikologi terorisme seperti Lasch (1979), Cryton (1983), Haynal et.al (1983), dan Pearlstein (1991). Mereka adalah para ilmuwan dan peneliti yang menganggap bahwa para teroris adalah kumpulan orang-orang yang mengalami psikopati atau setidaknya secara klinis mengidap gangguan abnormalitas5. Namun harus dikatakan bahwa rumusan pendekatan narsisisme tidak banyak memberikan pengaruh terhadap penelitian psikologi terorisme kontemporer. Penyebab utama dari hal itu adalah karena tidak banyak data atau fakta empirik yang mendukung hipotesis atau asumsi psikopati dan gangguan mental pada para teroris seperti yang dikembangkan oleh psikoanalisis termasuk pendekatan narsisisme6. Dengan demikian, sampai pada titik ini, para peneliti di bidang psikologi terorisme, termasuk
Rohan Gunaratna, “Aspects of deradicalisation.” Dalam Terrorist Rehabilitation and Counter Terrorism: New Approaches to Counter Terrorism, oleh Rohan Gunaratna, Jolene Jerard dan Lawrence Rubin ( New York: Routledge, 2011) , 135-145. 2 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University of Florida Press, 2008), 15-40; lihat juga John Horgan,. “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 17-29. 3 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University of Florida Press, 2008), 15-40; lihat juga Fathalli M. Moghaddam,
“The staircase to terrorism: A psychological exploration.” American Psychologist, 2005: 161-169. 4 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University of Florida Press, 2008), 15-40. 5 John Horgan, “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 17-29. 6 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University of Florida Press, 2008), 15-40; lihat juga John Horgan, “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh
2
Identifikasi Kolektif dan Ideologisasi ...
penulis menolak keras dugaan bahwa para teroris adalah kumpulan orang gila yang tidak waras atau dalam bahasa psikologi disebut psikopat. Hal itu karena kesimpulan tersebut tidak didukung oleh temuan empirik di lapangan. Perkembangan berikutnya, bersandar pada asumsi tentang keragaman motivasi terorisme, Frederick Hecker, seorang psikiater, mengemukakan gagasan tentang tipologi psikologis kaum teroris. Dia mengemukakan bahwa ada tiga tipologi teroris, yaitu tipologi krusader (teroris yang diilhami oleh suatu citacita yang tinggi), tipologi penjahat (orang yang melakukan terorisme untuk tujuan personal), dan tipologi gila (orang yang melakukan aksi terorisme karena dimotivasi oleh keyakinan dan persepsi yang salah akibat gangguan mental).7 Tokoh lain yang mengenalkan tipologi teroris adalah Jerrold Post (1984). Menurutnya, ada dua pola perilaku teroris, yaitu: Pertama, tipe anarkis-ideolog. Individu-individu yang menjadi teroris diasumsikan berasal dari keluarga yang mengalami disfungsi psikologi yang serius, misalnya mereka adalah korban kekerasan dalam rumah tangga atau korban pola asuh yang salah sehingga membuat mereka bersikap memusuhi orang tua. Ideologi ekstrim yang mereka anut merupakan pengganti dari sikap pemberontakan dan permusuhan terhadap otoritas “negara” yaitu dengan cara melakukan tindakan kekerasan dan permusuhan terhadap “negara” dari ayah mereka. Dalam bahasa psikoanalisa ini kerapkali disebut dengan istilah mekanisme pertahanan diri displacement. Kedua, tipe nasionalis-seksesionis. Tipe ini tidak disebabkan oleh permusuhan terhadap ayah tetapi disebabkan oleh kesetiaan terhadap sang ayah. Sikap ekstrimisnya bermotif balas dendam terhadap kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang dilakukan negara terhadap orang tua. Intinya, mereka melakukan tindak kekerasan dan pemberontakan terhadap masyarakat luar karena
Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 17-29 serta Fathalli M. Moghaddam, “The staircase to terrorism: A psychological exploration.” (American Psychologist, 2005): 161-169. 7 William H. Reid, “Controlling political terrorism: Practicality, not psychology.” Dalam The Psychology of Terrorism: Public Understanding, oleh Chris E. Stout (Westport CT: Praeger Publisher, 2002), 1-8. Lihat juga Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University of Florida Press, 2008), 15-40.
setia terhadap sang ayah8. Pendekatan tipologi dan frofiling teroris dianggap gagal karena tidak mendapatkan pembenaran secara empirik dari temuan-temuan lapangan.9 Dugaan-dugaan yang menyebutkan bahwa para teroris adalah kumpulan orang gila atau kumpulan orang yang mengalami psikopati atau kumpulan orang yang tidak rasional tidak bisa dibenarkan. 10 Kesimpulan yang sama dalam kaitannya dengan teroris di Indonesia dikemukakan oleh beberapa peneliti terorisme seperti Sarlito Wirawan Sarwono, Hamdi Muluk dan Mirra Noor Milla. Tulisan ini hendak menegaskan bahwa keterlibatan seseorang dalam kelompok dan aksi teror adalah pilihan sadar yang digerakkan oleh kesadaran akan identitas kolektif dan ideologi tertentu.11 Tulisan ini difokuskan untuk membuktikan bahwa motivasi terorisme adalah identitas sosial dan narasi ideologi yang mengalami dinamika dan proses yang panjang, baik secara psikologis maupun sosiologis. Perumusan Masalah Keterlibatan seseorang dalam terorisme bukan semata-mata karena satu faktor, misalnya faktor kepribadian, tetapi lebih merupakan interaksi antara berbagai faktor yang melingkupi seorang teroris. Para peneliti psikologi terorisme kontemporer bersepakat bahwa penjelasan abnormalitas atau tipologi teroris tidak lagi shahih dalam menjelaskan fenomena keterlibatan seseorang dalam terorisme karena temuan di 8 Randy Borum, Psychology of terrorism (Florida: University of Florida Press, 2008), 15-40. 9 Graeme C.S. Steven, dan Rohan Gunaratna, Counterterrorism: A reference handbook (California: ABC-CLIO, Inc, 2004), 6. Lihat juga Horgan, John. “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John Horgan (New York: Routledge, 2009), 5. 10 Graeme C.S. Steven dan Rohan Gunaratna, Counterterrorism: A reference handbook (California: ABC-CLIO, Inc, 2004), 6. 11 Graeme C.S Steven dan Rohan Gunaratna, Counterterrorism: A reference handbook. (California: ABC-CLIO, Inc, 2004), 6. Lihat juga Smelser, Neil J., dan Faith Mitchel, Terrorism: Perspectives from the behavioral and social sciences (Washington DC: The National Academic Press, 2002). Hal ini juga disebutkan oleh Hamdi Muluk, “Teroris kambuh?” Majalah Gatra, 2 September 2009, 106. Lihat juga Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok, “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007. Lihat juga Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia (Jakarta: Alvabet & Lakip, 2012), 1-30.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
3
lapangan tidak mendukung teori ini. Ada faktor lain yang lebih tepat menjelaskan keterlibatan dalam terorisme yaitu gabungan berbagai faktor yang berkaitan dengan pribadi teroris dan halhal lain di luar pribadinya atau yang biasa disebut dengan faktor lingkungan atau faktor eksternal di luar masalah personal. Dalam penelitian ini, faktor identitas dan ideologisasi jihad, secara khusus akan dikaji sebagai faktor penyebab keterlibatan dalam gerakan dan aksi teror. Oleh karenanya, masalah penelitian atau pertanyaan penelitian yang hendak dijawab adalah: Bagaimana identitas sosial dan ideologisasi jihad mempengaruhi proses radikalisasi dan keterlibatan seseorang dalam aksi teror di Indonesia? Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh identitas sosial dan ideologisasi jihad terhadap keterlibatan seseorang dalam dunia teror, sedangkan kegunaannya adalah untuk mengembangkan kajian psikologi tentang kekerasan politik dan terorisme serta untuk memberikan penjelasan yang lebih bersifat psikologis tentang aksi teror di Indonesia.
B. KERANGKA TEORI Identitas Sosial, Radikalisasi dan Keterlibatan dalam Teror Perspektif identitas sosial banyak digunakan sebagai pisau analisa untuk melihat berbagai persoalan psikologi sosial,12 termasuk proses radikalisasi dan keterlibatan dalam kelompok dan aksi teror. Pendekatan identitas sosial bersandar pada asumsi-asumsi yang berkaitan dengan sifat manusia dan masyarakat dan hubungan timbalbalik di antara keduanya. Perspektif identitas menyebutkan bahwa: “Society comprises social categories which stand in power and status relations to one another. Kategori sosial merujuk kepada pengertian yang membagi manusia berdasarkan kebangsaan (Indonesia/Belanda), ras (Arab/ Yahudi), kelas (pekerja/kapitalis), pekerjaan (dokter/tukang las), jenis kelamin (pria/wanita), agama (Hindu/Muslim) dan lain-lain. Penting untuk diingat dalam konteks ini adalah bahwa 12 Rupert Brown, “Social identity theory: Past achievements, current problems and future challenges.” European Journal of Social Psychology, 30: 6, 2000: 745-778.
4
Identifikasi Kolektif dan Ideologisasi ...
identitas tidak muncul dalam ruang hampa atau ruang isolasi. Suatu kategori akan muncul jika dipertentangkan dengan kategori yang lain. Sebagai contoh, kategori sosial “Muslim” tidak akan bermakna apa-apa kecuali jika dikontraskan dengan kategori “Non Muslim” atau kategori sosial “Beriman” tidak akan bermakna apa-apa kecuali setelah dikontraskan dengan kategori sosial “kafir” .13 Ada 4 mekanisme psikologis yang mendasari Social Identity Theory (SIT) yaitu kategorisasi sosial, perbandingan sosial, identifikasi sosial dan distingsi kelompok yang positif. Pertama, kategorisasi sosial adalah proses kognitif di mana objek, peristiwa dan manusia diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Dengan melakukannya maka kita cenderung mencari kesamaan pada kelompok sendiri dan mencari perbedaan pada kelompok lain. Kedua, perbandingan sosial adalah kecenderungan membandingkan antara kelompok sendiri dengan kelompok lain. Kita cenderung menjauhkan diri dari kelompok yang tidak memiliki keyakinan dan ide yang sama serta mengambil keyakinan yang lebih banyak dari diri kita dan kelompok kita. Ketiga, identifikasi sosial yaitu bagian dari konsep diri individu yang bersumber dari pengetahuannya mengenai keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial. Pelekatan emosi dan kognisi yang sangat kuat terhadap kelompok sangat mempengaruhi seseorang dalam memandang dirinya dan orang lain. Keempat, distingsi positif adalah kecenderungan untuk menunjukkan bahwa kelompok sendiri lebih baik dibandingkan kelompok lain. Mekanisme dilakukan melalui etnosentrisme, ingroup favoritism, berpikir streotipe, dan konformitas terhadap norma kelompok . 14 Dalam konteks proses radikalisasi serta keterlibatan dalam kelompok dan aksis teror, perasaan terluka karena anggota atau bagian dari 13 Michael A. Hogg dan Dominic Abrams, Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Routledge, 1998), 1-30. Lihat juga Jenkins, Richard, Social identity: Key Ideas (New York: Routledge, 2008), 1-10. 14 Taylor, Donald M., dan Fathali M. Moghaddam, Theories of Intergroup Relations: International Social Psychological Perspectives (Westport: Praeger Publisher, 1994), 3-20. Lihat juga Hogg, Michael A., dan Dominic Abrams, Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Routledge, 1998), 10-50.
ingroup disakiti atau tersakiti dapat memicu perasaan solidaritas seseorang untuk bersikap radikal dan mengambil keputusan untuk terlibat dalam aksi balas dendam sebagai ekspresi keberpihakan kepada identitas dan marwah kelompok yang dipersepsikan terancam.15 Dalam sejumlah kasus teroris Islam, seringkali identifikasi yang kuat sebagai bagian dari umat Islam dan internalisasi nilai dan ajaran agama yang memperkuat proses dan mekanisme identifikasi seringkali menjadi faktor penting keterlibatan seseorang dalam dunia teror. Ideologisasi Jihad dan Pembenaran Teror Jihad sebagai salah satu ajaran penting dalam Islam, seringkali dipersepsi sebagai salah satu sumber inspirasi kekerasan dan perusakan massal yang dilakukan oleh kelompok teroris berbaju Islam. Dalam hal ini, Amin Abdullah sebagaimana dikutip Zulkifli Mubaraq menolak keras pandangan tersebut karena dalam pandangannya hampir semua ajaran agama termasuk ajaran Islam mendorong para pengikutnya untuk mencegah kekerasan dan menghindari cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan keyakinan dan cita-cita kelompok.16 Namun, kenyataan menunjukkan bahwa segelintir orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok gerakan bawah tanah menggunakan ajaran jihad sebagai landasan untuk melakukan aksi teror dan kekerasan padahal jihad sendiri tidak dimaksudkan untuk tujuan yang demikian. Pada titik inilah jihad mengalami proses ideologisasi untuk kepentingan politik melawan negara dan kekuatan lain yang dipandang merugikan umat Islam17. Studi yang dilakukan Milla dkk menunjukkan bahwa interaksi pemimpinpengikut berpengaruh besar terhadap proses ideologisasi jihad di mana dalam hal ini para pemuka kelompok teroris menggunakan 15 Mirra Noor Milla, Mengapa memilih jalan teror: Analisa psikologis pelaku teror (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010), 5-20. 16 Zulkifli Mubaraq, Doktrin Jihâd Dalam Perspektif Pelaku Bom Bali (Surabaya: Disertasi PPS IAIN Sunan Ampel, tidak diterbitkan, 2010), 1-10. 17 Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok, “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007.
penafsiran khusus terhadap ajaran jihad dalam melihat persoalan umat Islam dan bagaimana menyelesaikannya.18 Ideologisasi jihad terjadi karena cara pandang pemimpin kelompok yang melihat adanya ketidakadilan dan perlakuan tidak jujur terhadap umat Islam di sejumlah negara Muslim. Pada konteks ini, keyakinan terhadap dunia yang tidak adil atau belief in unjust world berkombinasi dengan ingroup favoritism (kecenderunga mengutamakan kelompok sendiri) menjadi faktor penting sejumlah orang tertentu untuk cenderung melakukan ideologisasi terhadap konsep jihad. Pandangan tersebut kemudian didesiminasikan ke para pengikut sehingga melahirkan aksi teror dan kekerasan atas nama agama.19 Walaupun ideologi bukanlah faktor utama yang mendorong seseorang bergabung ke dalam kelompok teror tetapi ideologi merupakan bahan bakar utama yang membakar semangat dan gairah anggota kelompok radikal untuk melakukan aksi teror dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.20 Jadi, ideologisasi jihad patut dipertimbangkan sebagai faktor penentu keterlibatan seseorang dalam aksi teror di Indonesia. Penelitian ini hendak melihat bagaimana pengaruh identifikasi dan keanggotaan seseorang dalam kelompok besar serta proses ideologisasi jihad terhadap radikalisasi dan keterlibatan dalam aksi teror. Faktor penyebab pertama akan dilihat dengan menggunakan pendekatan teori identitas sosial, sedangkan faktor penyebab kedua akan dilihat dari perspektif psikologi kognitif terutama terkait ideologisasi jihad yaitu cara seseorang memaknai ajaran jihad dan penerapannya dalam memperjuangkan cita-cita kelompok.
18 Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok. “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007. 19 Robert Loo, “Belief in a just world: support for independent just world and unjust world dimensions.” Personality and Individual Differences 33 , 2002: 703-711. Lihat pula Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok. “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007. 20 Marc Sagemen, Understanding terror network (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2004), 1-12.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
5
C. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak Bulan Juli 2012 sampai Desember 2012 yang dilakukan di Jakarta dan Pekanbaru. Pertimbangan memilih kedua kota ini karena beberapa mantan narapidana teroris dan narapidana teroris yang masih dipenjara bisa diakses langsung dengan bantuan sejumlah pihak terkait. Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung kepada para teroris yang telah dipilih untuk menjadi subjek penelitian, telaah dokumen terutama buku biografi teroris dan catatan-catatan yang dibuat para teroris, dan telaah literatur tentang terorisme terutama dari perspektif psikologi, sosiologi dan agama. Data wawancara diperoleh melalui tatap muka langsung dengan 5 orang narapidana teroris atau mantan narapidana teroris yang terlibat dalam kasus Bom Bali 1 dan Bom Mariot. Berdasarkan pertimbangan tertentu maka satu orang dari lima teroris dan mantan teroris yang berhasil diwawancarai dijadikan responden utama penelitian. Sedangkan data di luar wawancara diperoleh melalui telaah dokumen terkait dan rekaman video atau rekaman berita tentang terorisme yang diperoleh melalui media audiovisual dan internet terutama youtube.com. Metode Analisis Data Analisa dilakukan dengan metode kualitatif yaitu mencari kategori dan konsep dari data-data penting yang diperoleh melalui wawancara dan telaah dokumen berisi pernyataan dan pikiran para pelaku teror yang menjadi subjek penelitian. Kategori dan konsep tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan Teori Identitas Sosial (TIS) dan Pendekatan Psikologi Kognitif terutama teori kognisi sosial terkait ideologisasi jihad.
D. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian ini akan melihat keterlibatan dalam terorisme dari perspektif Teori Identitas Sosial dan Ideologi Jihad. Mekanisme psikologis yang akan dijadikan sebagai pijakan untuk menganalisa fenomena bergabungnya seseorang ke dalam kelompok teroris dikenal sebagai isi utama dari Teori Identitas Sosial, yaitu kategorisasi sosial, 6
Identifikasi Kolektif dan Ideologisasi ...
perbandingan sosial, identifikasi sosial dan distingsi kelompok yang positif. Sedangkan untuk ideologi jihad akan dilihat dari sisi proses ideologisasi jihad yang dilakukan pimpinan kelompok serta bagaimana pengikut memahami atau mempersepsi ideologi jihad tersebut dan bagaimana kemudian ideologisasi jihad tersebut menggerakkan seluruh energi fisik dan psikis seseorang untuk melakukan aksi teror. Identitas Sosial dan Keterlibatan Dalam Terorisme Keterlibatan dalam kelompok teror dimulai dari proses radikalisasi seseorang dalam beragama dan relasi agama dengan bidang-bidang yang lain. Tetapi proses radikalisasi beragama yang dialami seseorang dimulai dari mekanisme psikologis tertentu yang membentuk identitas seseorang, baik personal maupun sosial. Mekanisme pertama adalah kategorisasi sosial yaitu kecenderungan mengelompokkan diri dan orang lain dalam kelompok-kelompok yang berbeda dan saling bertentangan. Dalam kasus terorisme, seorang radikal yang bergabung dalam kelompok teror cenderung mengelompokkan diri dalam kelompok yang dipandang mampu meningkatkan self-esteem dan status yang lebih tinggi dan terhormat sebagaimana terungkap dari pernyataan Id, salah seorang pelaku Bom Bali Jilid 1. Dalam hal ini, menjadi bagian dari kelompok mujahid yang berjihad di jalan Allah mampu membangun perasaan berharga dan status yang tinggi. Id menyatakan pikirannya ketika ditanya kenapa ia memasuki kelompok teror. “Ceritanya panjang... Tetapi mungkin urutan-urutannya dimulai dari permohonan dan doa saya kepada Allah selama lebih kurang 10 tahun sejak saya memasuki Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo pada tahun 1989. Saya selalu berdoa dan meminta kepada Allah semoga saya diberi kesempatan bergabung di dalam barisan para mujahidin. Keinginan bergabung ke dalam barisan mujahidin telah lama muncul semenjak saya belajar di Pondok Pesantren AlMukmin Ngruki Solo. Keinginan tersebut terwujud pada tahun 1999.”(Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012) Menjadi bagian penting dalam kelompok mujahidin (orang-orang yang memperjuangkan tegaknya Islam) adalah keinginan dan harapan
orang-orang tertentu untuk meraih martabat yang tinggi dalam beragama. Dalam pandangan subjek penelitian, jihad adalah bentuk ibadah tertinggi yang sangat diridhai Allah, oleh karenanya, menjadi bagian dari kaum yang berjihad di jalan Allah dengan sendirinya akan meningkatkan self-esteem di mata manusia dan pengharapan di sisi Allah. Bagi sebagian tersangka teroris di Indonesia, dianggap sebagai teroris atau mujahidin sama saja karena yang paling penting bagi mereka adalah bagaimana memperjuangkan Islam dan umat Islam agar tidak diremehkan dan dilecehkan oleh orangorang kafir. Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, kategorisasi semacam ini sesungguhnya merupakan mekanisme peneguhan diri dan kelompok sendiri sebagai kelompok yang benar dan pada saat yang sama sebagai bentukan penegasan bahwa kelompok lain adalah kelompok negatif yang harus dilawan dan diberantas.21 Mekanisme kedua, dilanjutkan dengan perbandingan sosial. Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, kategorisasi sosial akan semakin tajam dan jelas ketika seseorang melakukan perbandingan antara kelompoknya sendiri dengan kelompok lain yang berbeda secara diametral. Perbandingan ini diperlukan sebagai justifikasi bagi dirinya untuk bertindak yang sepadan dengan kelompok lain yang berlawanan dengan kelompoknya.22 Biasanya, perbandingan dengan kelompok lain lebih bersifat prasangka, misalnya sebagaimana terungkap dari pernyataan Id ketika ditanya tentang kenapa harus bergabung ke dalam kelompok teroris. “Ya akhi, mereka kelompok salibis sedang melakukan konsolidasi dan i’dad (persiapan) untuk menyerang dan menghabiskan kita. Kenapa kita tidak melakukan hal yang sama? Jika kita tidak melakukan hal yang sama maka habislah kita umat Islam. Lihat saja, di Ambon dan Poso, kita dihabisi mereka. Itulah salah satu alasan kenapa saya ingin bergabung dengan para mujahid”(Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012)
Dalam perspektif Teori Identitas Sosial, mekanisme perbandingan sosial ini pada kasus konflik tertentu, terutama konflik dalam setting antarkelompok, membuka ruang balas dendam agar pengalaman negatif yang dialami ingroup (kelompok sendiri) juga dialami oleh outgroup (kelompok lawan). Perbandingan sosial dengan kelompok lawan secara psikologis mendorong seseorang untuk berkompetisi dengan anggota kelompok lain agar terjadi kesetaraan dan keadilan dalam pengertian yang luas .23 Mekanisme ketiga, identifikasi kelompok yang sangat kuat juga terjadi pada pelaku teror. Identifikasi yang kuat diindikasikan dengan kekaguman terhadap kelompok sendiri dan pemimpin kelompok, sebagaimana terungkap dari pernyataan Id. “Saya bangga dengan keputusan saya bergabung dalam kelompok mujahidin walaupun kami dipandang sebagai teroris oleh orang lain. Biarkan mereka memandang apa saja kepada kami, walaupun sangat negatif, karena kami yakin bahwa apa yang kami lakukan ini atas kehendak dan restu Allah. Anda tahu ya akhi, dalam lingkaran para mujahid ini, saya menemukan orang-orang yang hebat dan ikhlas dalam berjuang. Mereka konsisten dengan apa yang mereka ucapkan.” (Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012) Mekanisme keempat, distingsi ingroup yang positif. Mekanisme ini memunculkan mekanisme psikologis yang disebut dengan istilah ingroup favoritism and outgroup derogation yaitu kecenderungan menganggap kelompok sendiri lebih baik dibandingkan kelompok lain dan pada saat yang sama menganggap kelompok lain lebih buruk dibandingkan kelompok sendiri. Victoroff menjelaskan bahwa kesan positif adalah harapan dan keinginan yang dicapai oleh semua orang, baik dalam konteks sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok. Dalam hal ini, faktor ekonomi atau akses ke sumber daya ekonomi mampu membentuk kesan positif baik seseorang, baik dalam kapasitas sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok. Inilah salah satu
21 Henry Tajfel dan John C. Turner, “The social identity theory of intergroup behavior.” Dalam Psychology of Intergroup Relations, oleh Stephen Worchel dan William G. Austin, 7-24 (Illinois: Nelson-Hall Inc, 1986). 22 Henry Tajfel dan John C. Turner, “The social identity theory of intergroup behavior.” Dalam Psychology of Intergroup Relations, oleh Stephen Worchel dan William G. Austin (Illinois: NelsonHall Inc, 1986), 7-24.
23 Hayagreeva Rao, Gerald F. Davis, dan Andrew Ward, “Embeddedness, social identity and mobility: Why firms leave the Nasdaq and join the New York Stock Exchange.” Administrative Science Quarterly, Vol. 45 No. 2 Juni , 2000: 268292. Lihat juga Kumar Ramakrishna, Radical pathways: understanding Muslim radicalization in Indonesia (Connecticut: Praeger Security International, 2009).
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
7
pembentuk kesan positif yang menjadi ciri khas kelompok. 24 Relevan dengan hal ini, seorang narasumber mantan teroris yang penulis wawancarai mengatakan demikian: “Ya akhi, saya menemukan makna persaudaraan sejati ketika bergabung dengan ikhwan-ikhwan mujahid. Kami itu ibarat satu tubuh, ketika yang satu sakit maka yang lain juga merasakan sakit yang sama. Kami merasa satu fikrah dan satu semangat untuk membela saudara-saudara seiman yang tertindas di berbagai tempat di Indonesia maupun di luar Indonesia. Kesulitan apapun termasuk kesulitan keuangan kami atasi bersama-sama. Pokoknya saya betul-betul merasakan nilai persahabatan di kelompok saya.” (Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012) Ideologisasi Jihad dan Teror Para ahli seperti Sagemen dan Horgan sepakat bahwa terorisme bermula dari proses radikalisasi terutama dalam beragama dan pemikiran keagamaan, walaupun radikalisasi tidak niscaya akan mendorong seseorang menjadi teroris. Sebab, selain radikalisasi terdapat faktor lain yang bersifat multifaktor yang mendorong keterlibatan seseorang dalam teror. Kendati demikian, ideologisasi jihad patut diduga sebagai faktor yang mendorong keterlibatan individu dan kelompok dalam aksi teror.25 Ideologisasi jihad akan menjadi determinan penting dalam proses pengambilan keputusan bergabung dalam kelompok teror atau keputusan untuk terlibat dalam aksi teror manakala ada interaksi yang intesif antara pemimpin kelompok teror dan individu calon anggota atau anggota kelompok.26 Data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dan telaah dokumen memperkuat asumsi bahwa proses ideologisasi jihad mengawali proses radikalisasi pemikiran dan aksi teror pada para teroris pelaku Bom Bali. Wawancara yang dilakukan peneliti dengan Id,
salah seorang pelaku Bom Bali, yang kini bermukim di Pekanbaru menunjukkan hal itu. “Ya akhi, jihad itu adalah ajaran paling tinggi dalam Islam. Tidak ada gunanya anda berislam jika belum pernah melakukan jihad nyata. Jihad dalam arti perang fi sabilillah atau bergabung dalam kelompok mujahid adalah ajaran utama yang diajarkan Rasulullah. Saya tidak percaya kepada orang-orang yang mengatakan bahwa jihad fi sabilillah untuk saat sekarang ini tidak relevan. Mungkin kalau dikatakan bahwa Indonesia bukan medan jihad, bisa saya terima, tetapi bukan berarti jihad bukan waktunya. Jihad bisa di mana saja, di Afganistan, misalnya.” (Wawancara personal di Pekanbaru, Oktober 2012) Penempatan jihad sebagai bentuk ibadah yang paling tinggi dalam Islam merupakan isu perdebatan yang cukup hangat di kalangan umat Islam. Pertama, dari sisi kebahasaan dan peristilahan, jihad bagi sebagian besar umat Islam tidak selalu bermakna perang, apalagi melakukan teror. Makna jihad diperluas ke hal-hal di luar perang seperti berjihad untuk memberantas kebodohan dan kemiskinan di kalangan umat Islam. Kedua, bagi sebagian besar umat Islam, jihad yang paling utama bukan berperang melawan musuh tetapi berperang melawan hawa nafsu. Tentu saja, kedua argumen tersebut ditolak habis oleh narasumber penelitian. Bagi mereka, jihad apalagi jihad fisabilillah harus difahami dan dimaknai sebagai perang melawan musuh-musuh Islam. Ujung dari semua proses ideologisasi jihad adalah bagaimana konsep perjuangan tersebut mampu menggerakkan anggota untuk berjuang dengan segalanya demi menerapkan sistem pemerintahan berbasis syariah Islam di Indonesia. Berikut ini digambarkan bagaimana proses identifikasi kolektif dan ideologisasi jihad mendorong seseorang bergabung ke dalam jaringan teror. Gambar 1
24
Phillips, Peter J, dan Gabriela Pohl, “Terrorism, identity, psychology and defence economics.” International Research Journal of Finance and Economics, Issue 77, 2011: 102-113. 25 Marc Sagemen, Understanding terror network (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2004). Lihat juga Horgan, John. “Disengagement from terrorism.” Journal of Personality and Social Psychology, 2011: 56. 26 Mirra Noor Milla, Faturochman, dan Djamaludin Ancok, “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007.
8
Identifikasi Kolektif dan Ideologisasi ...
Kelemahan penelitian. Salah satu kelemahan
penelitian berbasis pendekatan psikologi adalah kecenderungan melihat hal-hal yang bersifat mikro, psikis dan personal dan mengabaikan halhal yang bersifat makro dan struktural. Hal ini juga berlaku dengan penelitian ini, yaitu abai untuk menyentuh masalah-masalah yang bersifat struktural seperti perubahan sosial-politikbudaya sebagai konteks peristiwa. Fakta memperlihatkan bahwa respon psikologis teroris seperti proses identifikasi kelompok atau proses ideologisasi jihad tidak terjadi dalam ruang hampa. Ada konteks situasi atau perubahan sosial-politik-budaya pada tingkat global dan lokal yang mempengaruhi semua proses dan mekanisme psikologis yang terjadi pada manusia, termasuk pada kaum teroris atau mantan teroris.
E. PENUTUP Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor identitas sosial dan ideologi merupakan determinan penting keterlibatan seseorang dalam dunia teror di Indonesia. Penguatan identitas yang tidak disertai dengan perluasan wawasan dan pengetahuan tentang keislaman terutama tentang pemahaman jihad dan dakwah dalam Islam, akan mendorong seseorang untuk bergabung dalam kelompok teror atau terlibat dalam berbagai aksi teror yang merusak berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.[]
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
9
D A F TA R P U S TA K A
Ardila, Ruben. “The psychology of the terrorism: Behavioral perspectives.” Dalam The Psychology of Terrorism: A Public Understanding, oleh Chris E. Stout, 9-16. Westport CT: Praeger Publisher, 2002.
Lankford, Adam. “Do suicide terrorist exhibit clinically suicidal risk factors? A review of initial evidence and call for future research.” Aggression and Violent Behavior 15, 2010: 334340.
Borum, Randy. Psychology of terrorism. Florida: University of Florida Press, 2008.
Loo, Robert. “Belief in a just world: support for independent just world and unjust world dimensions.” Personality and Individual Differences 33 , 2002: 703-711.
Brown, Rupert. “Social identity theory: Past achievements, current problems and future challenges.” European Journal of Social Psychology, 30: 6, 2000: 745-778. Crenshaw, Martha. “The causes of terrorism.” Comparative Politics, Vol. 13 No. 4 (July 1981). retrieved 12/3/2012, 1981: 379-399. Furnham, Adrian. “Belief in a just world: research progress over the past decade.” Personality and Individual Differences 34 , 2003: 795–817. Hafez, Mohammed M. “Rationality, culture, and structure in the making of suicide bombers: Preliminary theoritical sythesis and illustrative case study.” Studies in Conflict and Terrorism, (29), 2003: 165-185. Hogg, Michael A., dan Dominic Abrams. Social Identifications: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes. London: Routledge, 1998. Horgan, John. “Disengagement from terrorism.” Journal of Personality and Social Psychology, 2011: 56. Horgan, John. “Individual disengagement: a psychological analysis.” Dalam Leaving Terrorist Behind: Individual and Collective Disengagement, oleh Tore Bjorgo dan John Horgan, 17-29. New York: Routledge, 2009. Jenkins, Richard. Social identity: Key Ideas. New York: Routledge, 2008. Kruglanski, Arie W., Michele J. Gelfand, dan Rohan Gunaratna. “Aspects of deradicalisation.” Dalam Terrorist Rehabilitation and Counter Terrorism: New Approaches to Counter Terrorism, oleh Rohan Gunaratna, Jolene Jerard dan Lawrence Rubin, 135-145. New York: Routledge, 2011.
10
Identifikasi Kolektif dan Ideologisasi ...
Milla, Mirra Noor. Mengapa memilih jalan teror: Analisa psikologis pelaku teror. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010. Milla, Mirra Noor, Faturochman, dan Djamaludin Ancok. “The impact of leader–follower interactions on the radicalization of terrorists: A case study of the Bali bombers.” Asian Journal of Social Psychology, 2012: 1-9 DOI: 10.1111/ajsp.12007. Moghaddam, Fathali M. From the terrorists’ point of view: what they experience and why they come to destroy. London: Praeger Security International , 2006. Moghaddam, Fathalli M. “The staircase to terrorism: A psychological exploration.” American Psychologist, 2005: 161-169. Mubaraq, Zulfi. Doktrin Jihad dalam Perspektif Pelaku Bom Bali. Surabaya: Disertasi PPS IAIN Sunan Ampel, tidak diterbitkan., 2010. Muluk, Hamdi. “Teroris kambuh?” Majalah Gatra, 2 September 2009: 106. Phillips, Peter J, dan Gabriela Pohl. “Terrorism, identity,psychology and defence economics.” International Research Journal of Finance and Economics, Issue 77, 2011: 102-113. Post, Jerold. “Addressing the causes of terrorism: Psychology.” The International Summit on Democracy, Terrorism, and Security. Madrid: Club De Madrid, 2005. 7-12. Post, Jerrold M. “The key role of psychological operations in countering terrorism.” Dalam Countering Terrorism and Insurgency in the 21st Century: International Perspectives, Volume 1-3,
oleh James J.F.Forest, 380-396. Westport: Praeger Security International, 2007.
Counterterrorism: A reference handbook. California: ABC-CLIO, Inc, 2004.
Post, Jerrold M., Ehud Sprinzak, dan Laurita M. Denny. “The terrorist in their own words: interview with 35 incarcarated Middle Eastern terrorists.” Dalam The Psyhcology of Terrorism: Classic and Contemporary Insight, oleh Jeff Victoroff dan Arie W. Kruglanski, 109-118. New York: Psychology Press, 2009.
Tajfel, Henry, dan John C. Turner. “The social identity theory of intergroup behavior.” Dalam Psychology of Intergroup Relations, oleh Stephen Worchel dan William G. Austin, 7-24. Illinois: Nelson-Hall Inc, 1986.
Ramakrishna, Kumar. Radical pathways: understanding Muslim radicalization in Indonesia. Connecticut: Praeger Security International, 2009. Rao, Hayagreeva, Gerald F. Davis, dan Andrew Ward. “Embeddedness, social identity and mobility: Why firms leave the Nasdaq and join the New York Stock Exchange.” Administrative Science Quarterly, Vol. 45 No. 2 Juni , 2000: 268-292.
Taylor, Donald M., dan Fathali M. Moghaddam. Theories of Intergroup Relations: International Social Psychological Perspectives. Westport: Praeger Publisher, 1994. Taylor, Max. “Is terrorism a group phenomenon?” Aggression and Violent Behavior, 2010: 15, 121-129.
Reid, William H. “Controlling political terrorism: Practicality, not psychology.” Dalam The Psychology of Terrorism: Public Understanding, oleh Chris E. Stout, 1-8. Westport CT: Praeger Publisher, 2002. Sagemen, Marc. Understanding terror network. Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press, 2004. Sarwono, Sarlito Wirawan. Terorisme di Indonesia. Jakarta: Alvabet & Lakip, 2012. Savage, Sara, dan Jose Light. “Mapping fundamentalism: the psychology of religion as sub-discipline in the understanding of religioulsy motivated violence.” Archieve For The Psychology of Religion (30), 2008: 75-91. Silke, Andrew. “Cheshire-cat logic: the recurring theme of terrorist abnormality in psychological research.” Dalam The Psychology of Terrorism: Clasic and Contemporary Insight, oleh Jeff Victoroff dan Arie W. Kruglanski, 95-108. New York: Psyhcology Press, 2009. Smelser, Neil J., dan Faith Mitchel. Terrorism: Perspectives from the behavioral and social sciences. Washington DC: The National Academic Press, 2002. Steven, Graeme C.S., dan Rohan Gunaratna.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
11
12
Wisata Religi di Bali ...
TOPIK WISATA RELIGI DI BALI: GELIAT USAHA PENGEMBANGAN PARIWISATA ISLAM M U H A M A D M U R T A D H O*)
ABSTRAK Wisata religi menjadi salah satu alternatif yang menarik dalam rangka revitalisasi agama dalam kehidupan masyarakat modern di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka peningkatan kesejahteraan (ekonomi) masyarakat. Bali merupakan salah satu obyek wisata kelas dunia yang ada di Indonesia. Julukan Bali sebagai pulau dewata menunjukkan Bali sebagai pulau religius. Penelitian ini ingin mencoba menggali potensi wisata agama di Bali dari kelompok-kelompok keagamaan di luar Hindu. Mengambil kasus pada potensi pariwisata Islam di Bali, penelitian ini menemukan adanya beberapa potensi wisata keagamaan non Hindu di Pulau Bali dan adanya permintaan wisatawan terhadap layanan wisata yang ramah terhadap pemeluk agama non Hindu seperti kebutuhan makanan halal dan ketersedian fasilitas ibadah yang memadai.
KATA KUNCI: Wisata Religi, Pulau Dewata, Obyek Wisata Islam
A BSTRACT Religious tourism serves as an attractive choice in revitalizing religious faith among people in the modern society and an economic improvement for the local society. Bali as one of world-class tourist attractions in Indonesia has been known as the land of god that indicates its religiousness. This study attempts to explore the potential of religious tourism in Bali from the perspectives of non –Hindu people. Focusing on the potentials of Islamic tourism in Bali, this study finds out that there is a high potential for non-Hindu tourism in Bali and that there is a demand for non-Hindu-friendly tourism including the availability of halal foods and decent praying facilities. .
KEY WORDS: Religious Tourism, Land of God, Islamic Tourism
A. PENDAHULUAN Pulau Bali telah menjadi magnet tersendiri di bumi Indonesia yang mampu mengundang wisatawan mancanegara untuk hadir ke pulau itu. Keunikan yang dimiliki oleh Pulau Bali menjadi daya tarik yang luar biasa. Sebuah keunikan yang terdiri dari kombinasi antara keindahan alam, pantai, budaya, dan agama telah *) Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Jln. M.H. Thamrin 6 Jakarta. Email:
[email protected] **Naskah diterima Februari 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015
membangun konstruksi budaya sedemikian rupa sehingga Bali mendapat julukan sebagai pulau dewata. Bahkan setelah pembuatan Film Holywood berjudul “Eat, Pray, Love” yang dibintangi Julia Roberts dan aktor Javier Bardem dengan sebagian besar mengambil konteks Bali, menjadikan Bali semakin mengambil hati masyarakat dunia dan Bali diuntungkan dengan momentum ini untuk mempromosikan diri sebagai pulau cinta. Kehadiran film dari pengarang novel Elizabeth Gilbert itu telah menjadikan Bali sebagai tempat yang semakin dikenal dunia. Peristiwa ini sama seperti dampak
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
13
film Lord of The Rings bagi masyarakat Selandia Baru (New Zealand), sebagai tempat latar film itu dibuat. Serta merta kunjungan turis ke negara tersebut meningkat tajam. Kasus Bali menjadi fenomena menarik, bagaimana peran agama mampu menghadirkan suasana tertentu yang mempunyai daya tarik estetis tertentu. Kasus agama itu terjadi justru pada sebuah agama Hindu, sebuah agama minoritas di negeri mayoritas pemeluk agama Islam di Indonesia. Kemampuan masyarakat Hindu Bali menjadikan agama sebagai spirit menjaga keseimbangan alam melalui sistem Subaknya, dan juga keanekaragaman budaya dan tradisi Hindu telah melahirkan pesona tersendiri bagi Bali seperti eksistensi Banjar, hari raya Nyepi, upacara Odalan, umbul-umbul dari Janur (daun kelapa muda) yang menghiasi setiap sudut daerah di Bali menjadikan pulau itu menjadi tempat yang lengkap dan indah dan menyimpan kenangan tersendiri bagi semua orang yang pernah datang ke tempat ini. Pengembangan wisata di Bali, diharapkan tidak saja dinikmati oleh umat Hindu di Bali, tetapi juga komunitas agama non-Hindu di Pulau itu. Kemampuan mengembangkan potensi wisata semua agama akan memantapkan Bali sebagai pulau religius (sebutan lain Pulau dewata). Kalau keadaan itu bisa diwujudkan, maka potensi wisata agama non Hindu tidak lagi dipahami sebagai sebuah sesuatu yang kontraproduktif dengan dunia pariwisata di Bali. Keberadaan khazanah agama lain tidak lagi dipahami sebuah ancaman sehingga perlu lahir sikap curiga dan aksi sepihak yang justru tidak menguntungkan dari sisi pariwisata di Bali. Dari harapan seperti itu, wisata agama di Bali tidak saja disediakan oleh komunitas agama Hindu semata, melainkan juga diikuti oleh pegiat pariwisata dari komunitas agama lain seperti Islam, Kristen, Protestan di Bali. Pengembangan wisata religi berbagai agama bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan agama masing-masing dan menunjukkan sikap toleransi masyarakat yang bisa diwujudkan di Bali. Dengan banyaknya wisatawan baik dari mancanegara maupun domestik, di Bali dapat dikenalkan budaya agama yang membangun hubungan simbiosis mutualisme atau hubungan yang saling menguntungkan bagi model relasi keagamaan yang terkemas dalam tema wisata agama. Dari 14
Wisata Religi di Bali ...
sini pula dapat ditarik positioning agama yang pas dalam menjawab bagaimana posisi agama dalam dunia pariwisata (tourisme). Dalam konteks pariwisata di Bali yang disemangati kultur agama Hindu, penelitian ini merumuskan masalah bagaimana potensi khazanah non-Hindu (Islam) di Bali bisa dan mampu menjadi unsur pendukung pengembangan wisata di Bali. Jawaban dari penelitian ini akan menghasilkan model pengembangan wisata agama yang bisa direplikasi di daerah lain. Kehadiran agama selain Hindu dalam turut mengembangkan pariwisata di Bali diharapkan menjadi perspektif baru yang tidak lagi menganggap agama lain sebagai ancaman tersendiri bagi eksistensi Hindu, namun justru sebaliknya dipahami sebagai unsur yang melengkapi dalam memperkuat Bali sebagai pulau religius di satu sisi, dan di sisi lain sebagai tujuan wisata kelas dunia. Penelitian ini dilakukan dalam rangka membaca potensi wisata religi di Pulau Bali, khususnya potensi yang bisa dilakukan oleh komunitas non Hindu di Bali. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melacak dalam data kepustakaan, website dan survei di lokasi. Pelacakan data kepustakaan diperlukan untuk memetakan secara menyeluruh potensi wisata Islam yang pernah diangkat oleh penulis lain. Dalam tahapan ini dibantu pelacakan data melalui internet. Selanjutnya survei dilakukan untuk mengonfirmasi kenyatuan faktual yang ada di lapangan, serta mencari keterangan tambahan yang diperlukan dalam kajian ini. Beberapa informasi yang terkait dengan potensi wisata Islam dikumpulkan untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Pengumpulan data dilakukan secara snowball, yaitu dari satu informasi digabungkan dengan informasi lain yang terkait. Sumber informasi didapatkan dari wawancara dengan informaninforman yang berhasil dihubungi pengkaji, informasi internet, brosur-brosur atau tulisan mengenai wisata di Bali. Selanjutnya data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Analisis dilakukan secara konstruktif untuk menggambarkan fenomena keberadaan usaha pengembangan wisata agama ini. Analisis meliputi aspek historisitas Bali sebagai pulau wisata, kategori terhadap beberapa obyek
atau potensi wisata Islam dan terakhir analisis permasalahan terkait peluang dan tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan wisata Islam di Bali. Secara konseptual, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan wisata religi seperti wisata spiritual. Dengan medan garap yang sama di kalangan muslim sekarang muncul istilah pariwisata Islami dan istilah wisata syariah. Istilah wisata religi dicoba didefinisikan salah satunya oleh Parwata, seorang Pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di Jakarta. Menurutnya, dalam Agama Hindu ada beberapa istilah yang berkesesuaian dengan wisata diantaranya istilah Tirta Yatra, Dharma Yatra, Vita Sagara. Tirtha Yatra atau perjalanan suci, merupakan suatu kegiatan keagamaan untuk meningkatkan kehidupan spiritual (kerohanian) dengan cara mengunjungi tempat tempat suci kemudian melakukan persembahyangan, melakukan meditasi dan japa. Dharma Yatra, perjalanan suci bagi rohaniwan untuk membabarkan ajaran dharma ketempat tempat yang dianggap suci, Vita Sagara melakukan perjalanan suci dalam bentuk mengarungi lautan/ samudra.1 Konsep Wisata Religi sering dicampur adukkan dengan definisi wisata spiritual. Meminjam pemetaan teoritis oleh Ketut Sutama,2 di kalangan para akademisi terdapat dikotomi antara wisata spiritual (spiritual tourism) dan wisata religi (relegious tourism) dan masih terbuka lebar untuk diperdebatkan. “Religious tourism is far from being a simple concept. A simple quest for religion and travel on a search engine would reveal that there are several terms used in the literature to define travel to religious sites: pilgrimage, religious tourism or faith tourism. In a few studies these terms are used very loosely and often interchangeably” (Sharpley and Sundaram, 2005:163). Egresi dkk (2012) lebih cenderung menyebut pilgrimage dan religious tourism daripada spritual dan religious tourism. Mereka juga menyatakan bahwa pengertian pilgrimage dan religious tourism sering dikaburkan. Hal ini terjadi karena tidak menutup
1 Parwata, Yb. “Konsep Wisata Religi Menurut Agama Hindu,” www.kemenag. go.id/file Akses 4 Jan 2014 2 Ketut Sutama. “Pariwisata Spiritual di Bali dari Perspektif Stakeholders Pariwisata.” Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 hal.9
kemungkinan wisatawan memiliki motivasi ganda, berziarah sekaligus berwisata atau berwisata sambil berziarah. Sementara pandangan yang lebih jelas diberikan oleh Sharpley dan Sundaram (2005), mengutip Heelas, Hay dan Socha yang menyatakan bahwa kesadaran spiritual merupakan hal yang alami dan bersifat universal pada diri manusia, tidak terikat oleh agama apa pun. Malah seseorang dapat dikatakan memahami dan memiliki pengalaman spiritual walaupun ia tidak memeluk atau meyakini sebuah agama tertentu. Rogers (2002) menyatakan spiritualitas merupakan jalan kembali ke dasar pluralitas bentuk agama yang menjadi dasar rasional bagi keberagamaan tanpa batas pada jalan seseorang di dunia. Spiritualitas adalah hal alami dan universal dan oleh karenanya tidak dapat hanya dikaitkan dengan budaya agama tertentu. Berkemenn 2006 (dalam Herntre dan Pechlaner, 2011) menyatakan bahwa secara umum pariwisata spiritual berarti segala bentuk perjalanan wisata yang menyangkut perjalanan pisik dan spiritual. Interaksi antara tubuh (body) dan pikiran (mind) juga mendapat penekanan dari Bramer (2009) yang menyatakan bahwa spiritualitas adalah pencarian untuk mempersatukan kepala (head), hati (heart), dan badan (body) yang dapat dicapai melalui pergerakan badan pisik menyatu ke alam semesta (physical movement in nature). Wisata spiritual adalah wisata mencari pengalaman spiritual yang tidak memandang agama, sedangkan wisata religi terkait dengan perintah agama. Seorang pemeluk Islam yang pergi haji, ia bisa dikatakan berwisata religi sekaligus spiritual. Akan tetapi, kalau ia mengunjungi Pura Besakih misalnya, bisa jadi ia hanya berekreasi, atau mungkin juga mencari pengalaman spiritual, pengalaman batin yang tidak langsung terkait dengan doktrin agama yang dianutnya, melainkan tentang hubungan antara Yang Maha Pencipta dan ciptaan-Nya. Jadi, wisata religi termasuk juga wisata spiritual, namun wisata spiritual belum tentu wisata religi.3 Pitana (2012) menyatakan bahwa sebenarnya wisata spiritual telah hadir di bumi sejak berabad-
3
http://venuemagz.com/September-2012. Akses 11 Januari
2015
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
15
abad lalu. Wisatawan spiritual (spiritual tourists) berwisata ke suatu tempat untuk mencari kedamaian dan keharmonisan (peace and harmony), dan mereka kebanyakan orang yang berpendidikan, peduli pada budaya, peduli pada alam dan lingkungan, dan tidak mengganggu siapa pun. Lebih lanjut Pitana menyatakan bahwa wisata spiritual di Bali merupakan gabungan antara budaya dan aspek keagamaan. Wisatawan yang datang ke Bali untuk tujuan spiritual berpengaruh positif bagi Bali. Mereka ke Bali tidak mencari “sun, sea, sand and sex”, melainkan mencari kedamaian batin.4 Dari perspektif Islam, Faidlal Rahman secara khusus mengeksplorasi wisata religi ini dengan konsep pariwisata Islami. Menurutnya, konsep pariwisata Islami merupakan konsep yang masih baru. Pariwisata Islami melibatkan kegiatan, pengalaman atau kesenangan dalam bentuk perjalanan sesuai dengan konsep Islam dan bisa dilakukan melalui sejarah, seni, kebudayaan, warisan, cara hidup, dan ekonomi. Untuk mewujudkan tujuan pariwisata Islami ada lima hal yang harus diupayakan, meliputi sumber daya manusianya, promosi, infrastuktur, kerjasama, dan lembaganya.5 Kajian ini dalam posisi ingin melihat potensi dan praktek wisata religi di luar khazanah Hindu di Bali. Kajian diarahkan pada potensi yang ada dalam khazanah Islam di Bali. Itu artinya, dalam konteks kajian ini awalnya sebenarnya tidak dimaksudkan untuk memilih salah satu definisi tersebut, bahkan dalam beberapa hal cenderung ingin menganggap sama potensi kedua definisi tersebut dalam perpektif sebagai potensi wisata atas nama keagamaan. Namun karena definisi terlanjur diperdebatkan, maka untuk kajian ini memulai dangan memetakan dari dimensi wisata religi. Karena itu, untuk membaca potensi wisata religi non-Hindu di Bali, dalam hal ini wisata Islam, diajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa dan bagaimana permasalahan yang dihadapi dalam usaha merintis wisata religi Islam dalam
4 http://www.eturbonews.com/30411/Bali -rapidlybecoming-popular-spiritual-tourism - destination) Akses 11 Januari 2015 5 A. Faidlal Rahman, Konsep Pariwisata Islami dalam “ The 2 nd Association of Indonesian Tourism Tertiary Education Institutions (AITEI) “ di Malaysia, 23 Mei 2013.
16
Wisata Religi di Bali ...
lingkup masyarakat Hindu di sana. Bisakah wisata agama non Hindu dapat berkembang di Bali ? Bagaimana peran pemerintah dan apa yang bisa dilakukan oleh pelaku usaha wisata religi non Hindu di Bali ?
B. SEKILAS SEJARAH PERADABAN BALI Keberhasilan daerah Bali menjadi tujuan kelas dunia tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan masyarakat Bali yang mayoritas Hindu. Secara langsung dan tidak langsung, ajaran Hindu di Bali telah mengantarkan pulau ini memiliki khazanah yang mampu menghadirkan obyek wisata pulau ini menjadi eksotik. Sejarah peradaban Hindu diperkirakan dimulai pada 100 SM. Kebudayaan Bali mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. Nama Bali Dwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada 913 M yang menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Semasa Kerajaan Majapahit (1293–1500 M) yang berpusat di pulau Jawa yang menganut agama utama Hindu dan pernah menguasai maritim di nusantara ini, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali pada sekitar tahun 1343 M. Dalam konteks nusantara, kebesaran Hindu kemudian menyusut seiring dengan kedatangan Islam yang berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di berbagai wilayah. Banyak umat Hindu di berbagai daerah yang beralih ke Islam. Pusat peradaban Hindu yang tadinya di Majapahit, terpaksa runtuh dan dan pusat Hindu bergeser ke Bali. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Konsentrasi sumber daya Hindu inilah yang menyebabkan Bali berhasil mempertahankan diri dan mengemas Bali menjadi daerah yang eksotik dan banyak seni budaya nya yang bercorak tradisi besar yang menunjukkan besarnya peradaban Hindu di nusantara masa lalu. Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597 merupakan orang Eropa pertama yang menemukan Bali. Meski sebelumnya sebuah kapal
Portugis pernah terdampar dekat tanjung Bukit, Jimbaran, pada 1585. VOC mulai melaksanakan penjajahannya di tanah Bali, rakyat Bali melawan. Namun karena teknologi perang yang terbatas, kekuasaan di Bali berhasil sedikit demi sedikit diambil alih kolonial. Semenjak 1840-an, belanda mengambil alih wilayah utara dan mulai mengincar daerah selatan. Dengan mengadudomba berbagai penguasa Bali yang saling tidak mempercayai satu sama lain. Belanda melakukan serangan besar lewat laut dan darat terhadap daerah Sanur dan disusul dengan daerah Denpasar. Pihak Bali yang kalah dalam jumlah maupun persenjataan tidak ingin mengalami malu karena menyerah, sehingga menyebabkan terjadinya perang sampai titik darah penghabisan atau perang puputan yang melibatkan seluruh rakyat baik pria maupun wanita termasuk rajanya. Diperkirakan sebanyak 4.000 orang tewas dalam peristiwa tersebut, meskipun Belanda telah memerintahkan mereka untuk menyerah. Selanjutnya, para gubernur Belanda yang memerintah hanya sedikit saja memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah. Penduduk Bali pada tahun 2014 berdasarkan sensus terbaru pada Januari 2014 berjumlah kurang lebih 4 juta jiwa. Mayoritas beragama Hindu dengan prosentase 84,5%. Disusul Islam sebagai agama terbesar kedua dengan prosentase pemeluk sebanyak 13 %. Selanjutnya Protestan dan Katolik sebanyak 1,7% dan Buddha sebanyak 0,5%. Partisipasi umat non Hindu dalam pembangunan Bali adalah sebuah gagasan dan semangat yang sesuai dengan cita-cita falsafah kita berbangsa, Pancasila. Dengan latar belakang agama Hindu, obyek wisata agama di Bali kebanyakan merupakan khazanah agama Hindu seperti Pura Besakih yang Pura terbesar di Indonesia, bahkan konon terbesar di Asia. Selain pura Besakih terdapat Hari raya Nyepi yang diwujudkan dalam tradisi di mana semua lampu seluruh kota di Bali dimatikan dan tidak ada aktifitas duniawi yang dijalankan, Hari Raya galungan dan ratusan pura yang tersebar di seluruh Pulau Bali. Banyaknya pura ini menyebabkan Bali memperoleh sebutan negeri para dewa, karena di sana para dewa banyak disembah oleh umat manusia. Tidak ketinggalan, Katholik juga mempunyai
obyek wisata yang banyak dikunjungi pemeluk Katholik yang kebetulan hadir di Bali seperti gereja Palasari. Menyesuaikan dengan kontek Hindu, Katholik mempunyai gereja dengan warna kultur Bali. Gereja ini dibangun sejak tahun 1940-an oleh Pater Simon Buis yang membuka sebuah hutan Pala yang kemudian diberi nama tempat itu dengan sebutan Palasari (sekarang disebut dengan Palasari Lama). Disinilah Pater Simon membangun sebuah desa yang memiliki Mode Dorf yang berbudaya Bali namun tetap bernuansa Katholik yang kental. Lantas, pada tahun 1955, sebuah bukit di kawasan ini diratakan dan dibangunlah sebuah gereja yang kokoh, yang memiliki arsitektur perpaduan antara Belanda dan Bali. Gereja inipun kemudian diberi nama Gereja Palasari dan diresmikan oleh Pastor Simon Bois. Dan pastor inilah yang kemudian mengenalkan agama Katholik kepada masyarakat Bali secara luas untuk yang pertama kalinya.6 Bagaimana dengan potensi obyek wisata Islam yang ada di Bali ? Ternyata pengkaji menemukan banyak sekali obyek wisata agama Islam di Bali. Obyek-obyek yang sering menjadi obyek kunjungan dalam konteks Islam dapat disebutkan antara lain makam-makam keramat para tokoh Islam awal di Bali, kampungkampung Islam yang terdapat di hampir semua kabupaten di Bali, masjid-masjid yang unik dan sebagian bersejarah karena merupakan masjid paling awal didirikan di Bali. Lebih lengkap sedikit gambaran untuk masing-masing lokasi di bahas pada sub bab berikut. Obyek Wisata Muslim di Bali Menyusuri potensi wisata Islam di Bali, pengkaji menemukan banyak potensi obyek wisata berlatar belakang agama Islam. Obyekobyek wisata Islam di Bali itu dapat dikategorikan dalam 3 kelompok besar, yaitu: 1) obyek wisata berupa makam-makam keramat para tokoh Islam
6 Keunikan dari gereja ini ialah bangunan gereja yang memadukan arsitektur ghotik dengan Bali. Meskipun gereja ini sudah berusia lumayan senja, namun kondisi dan keadaan didalam gedungnya masih terlihat terawat. Di pintu masuknya, terdapat seperti gapura yang pada umumnya tugu tersebut biasa terdapat di sebuah pura atau perumahan masyarakat Bali pada umumnya. Halaman Gereja Palasari yang banyak ditumbuhi pohon cemara dengan beberapa pembatas halaman gedung gereja yang terdapat sedikit ukir ukiran Bali.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
17
di Bali, 2) obyek wisata berupa kampungkampung Islam, dan 3) obyek wisata berupa rumah ibadah unik dan bersejarah. Pengelompokkan ini belum memasukkan beberapa potensi wisata Islam seperti lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah yang sebenarnya tak kalah potensial bagi obyek wisatawan muslim yang berkunjung di Bali. Makam Keramat Islam Dimulai dari obyek wisata Islam berupa makam keramat tokoh Islam, ada beberapa makam Islam di Bali. Terkait keberadaan beberapa obyek wisata makam keramat di Bali, yang menjadi legenda adalah keberadaan Wali Pitu (Wali Yang Tujuh). Sebutan Wali Pitu di Bali dianalogikan dengan keberadaan wali sanga di Jawa. Berbeda dengan di Jawa, Wali Pitu di Bali hanya julukan kepada tujuh orang perintis Islam di Bali yang satu sama lain barangkali tidak pernah ketemu karena hidup di zaman yang berbeda.7 Beberapa makam keramat yang telah menjadi tujuan ziarah, yang sebagiannya anggota Wali Pitu, antara lain meliputi: 1. Makam Keramat Pangeran Sepuh, Pantai Seseh. Pantai Seseh terletak di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Jarak tempuh ke lokasi ini lebih kurang 15 km dari kota Denpasar. Makam ini adalah makam Raden Amangkuningrat. Dia adalah anak Raja Mengwi I (Raja di Bali 1690-1722 M) yang menikah dengan puteri Blambangan. Dia tidak dibesarkan di lingkungan istana kraton di Bali, namun dibesarkan ibunya di Blambangan, suatu ketika bertanya pada ibunya siapa gerangan ayahnya. Setelah memaksa akhirnya berkatalah ibunya bahwa dia adalah Putra raja Mengwi I di Bali. Berangkat sang anak ke Bali, namun di sana terjadi salah paham antara anak dan ayah. Kembali lah sang anak ke Blambangan. Namun di tengah jalan, ia dikeroyok orang. Suatu
7 Berikut makam-makam Keramat di Bali yang disebut Wali Pitu: 1) Pangeran Mas Sepuh alias Raden Amangkuningrat; 2) Habib Umar Maulana Yusuf; 3). Habib Ali Bin Abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid; 4) Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al Idrus; 5) Syeh Maulana yusuf Al Magribi; 6) Habib Ali Bin Umar Bafaqih; 7) Syeh Abdul Qodir Muhammad lihat Kisah Wali Pitu dari Bali oleh Umi Kalsum nasional.news.viva.co.id/news/read/ 239218-kisah-wali-pitu-dari-Bali Akses 11 Januari 2015
18
Wisata Religi di Bali ...
kesempatan, Raden Amangkuningrat menarik kerisnya dan keajaiban terjadi, semua lawan menjadi lumpuh seketika. Selanjutnya, di akhir hayatnya, sosok raden ini dimakamkan di Pantai Seseh. 2. Makam Keramat Siti Khodijah di Pamecutan. Nama aslinya Ratu Ayu Anak Agung Rai. Makam ini berada di kota Denpasar. Dia dipercaya sebagai orang pertama dari keturunan keluarga dalam keraton di Bali yang masuk Islam. Dia adalah putri Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M (Menurut sumber lain, memerintah tahun 1697 dan wafat tahun 1813 M).8 Ada dua versi cerita masuknya Ratu Ayu ke Islam. Versi pertama, dia masuk Islam karena menikah dengan Sosrodiningrat (Senopati dari Mataram) setelah berhasil membantu Raja Pamecutan memenangkan peperangan. Versi kedua, dia diperistri Cakraningrat dari Madura yang berhasil menyembuhkan puteri raja. Raja membuat sayembara, siapa yang mampu mengobati puteri raja maka dia akan dinikahkan dengan puteri tersebut. Ketika hidup di lingkungan keraton, suatu saat terjadi kesalahpahaman antara Siti Khodijah dengan para punggawa. Para punggawa dihebohkan adanya leak (makhluk Jahat) yang masuk istana. Maka semua punggawa berusaha memburunya dan memergoki puteri Khodijah sedang salat malam dan disangkanya sedang melakukan ritual yang menghadirkan Leak. Maka tanpa ragu-ragu seorang punggawa menombak punggung puteri khadijah dan mati seketika. 3. Makam Pangeran Sosrodiningrat di Ubung Denpasar. Dia adalah Suami dari Adik Raja Pamecutan, Siti Khodijah Pamecutan. Pangeran Sosrodiningrat adalah orang dari Mataram yang kebetulan lewat Kerajaan Pamecutan yang semula bertujuan ingin pergi ke Ampenan Pulau Lombok. Karena Kerajaan Pamecutan sedang perang dengan kerajaan lain, maka Pangeran Sosrodiningrat dikira mata-mata. Maka
8 Makam Keramat Siti Khotijah dan Pangeran Sosrodiningrat Di Denpasar Bali. http://achmad-suchaimisememi.blogspot.com/2013/07/mjib-24-makam-keramat-sitikhotijah-dan.html akses 11 Januari 2015
ditangkaplah pangeran itu dan dihadapkan kepada raja. Karena salah tangkap, maka Pangeran Sosrodiningrat ditawari untuk membantu Kerajaan Pamecutan mengalahkan musuh. Kalau perang berhasil dimenangkan, Pangeran Sosrodiningrat akan dinikahkan dengan adik raja. Tawaran itu diterima, dan akhirnya perang berhasil dimenangkan, dan Pangeran menikah dengan keluarga kerajaan dan akhirnya bisa mengajak istrinya masuk Islam. Setelah masuk Islam, Sang istri berganti nama menjadi Siti Khodijah dan merupakan orang pertama dari keluarga keraton yang masuk Islam. 4. Makam Habib Umar bin Yusuf Al-Maghribi di Bukit Bedugul Makam ini berada di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Nasab Habib Umar diyakini bersambung sampai Rasulullah SAW. Untuk mencapai lokasi makam, para peziarah harus mendaki bukit yang cukup tinggi. Mereka harus sangat hati-hati, karena anak tangganya masih asli dari tanah, tanpa pagar atau pegangan tangan. 5. Makam Habib Ali bin Abu bakar al Hamid di Kusumba Klungkung Dia adalah guru besar Raja Klungkung, Dhalem I Dewa Agung Jambe. Ia mengajar bahasa Melayu kepada Raja Dhalem I Dewa Agung Jambe dari Kerajaan Klungkung. Sang raja menghadiahkan seekor kuda kepadanya sebagai kendaraan dari kediamannya di Kusamba menuju Istana Klungkung. Suatu hari, pulang mengajar di istana, ia diserang oleh kawanan perampok. Ia wafat dengan puluhan luka di tubuhnya. Jenazahnya dimakamkan di ujung barat pekuburan Desa Kusamba. Malam hari selepas penguburan, terjadi keajaiban. Dari atas makam menyemburlah kobaran api, membubung ke angkasa, memburu kawanan perampok yang membunuh Sang Habib. Akhirnya semua kawanan perampok itu tewas terbakar. 6. Makam Maulana Yusuf al Baghdadi al Maghribi Karangasem. Tepatnya di desa Bungaya, Bebandhem, Karangasem, Bali. Dia adalah perintis Islam di Karangasem. dimakamkan tidak jauh dari makam Habib Ali bin Zainal Al-Idrus. Di atas makam
tersusun batu bata merah tanpa semen yang tak terawat dan tampak sangat tua. Keistimewaan makam ini terletak ketika makam itu justru selamat dari amukan Gunung Agung yang meletus dengan dahsyat pada 1963. Sejak saat itu orang mempercayai bahwa orang yang dimakamkan di sana adalah orang keramat. 7. Makam Keramat Syeikh Abdul Qadir Muhammad di Temukus Lokasinya di Temukus Banjar, Bulelang, Singaraja Bali. Nama asli syekh ini adalah The Kwan Lie. Penduduk menyebutnya sebagai Keramat Karang Rupit. Semasa remaja, ia adalah murid Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Para peziarah, baik muslim maupun Hindu, biasanya banyak berkunjung pada hari Rabu terakhir (Rebu Wekasan) bulan Shafar. Uniknya, masing-masing mengelar upacara menurut keyakinan masing-masing. 8. Makam Ali Bin Umar Bafaqih di Loloan Jembrana Ia hidup antara (1890-1997). Ia adalah seorang habib yang mengembangkan Islam di Kampung Islam Loloan Jembrana Bali. Ia dikenal sebagai seorang ulama dan terkadang dimasukkan dalam hitungan ulama ke delapan dari “Wali Pitu” yang ada di Bali. Makamnya di Jembrana banyak didatangi para peziarah yang hadir dari berbagai daerah. Di Loloan Habib Ali mendirikan pesantren Syamsul huda pada tahun 1935. Dari pesantren ini, Ia telah melahirkan banyak ulama & da’i. Santri-santrinya berasal dari berbagai daerah di tanah air. Faktor inilah yang diduga menjadi sebab makamnya ramai dikunjungi para peziarah.9 Kampung-kampung Islam Selain makam keramat, terdapat obyek wisata Islam di Bali berupa beberapa kampung Islam yang mulai dikunjungi wisatawan luar daerah. Mengenai jumlah kampung Islam di Bali, menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Denpasar - Bali, KH. Mustofa al-Amin, saat ini di Bali terdapat 59 kampung muslim.10 Beberapa 9 Kisah Wali Pitu dari Bali oleh Umi Kalsum nasional.news.viva.co.id/news/read/239218-kisah-wali-pitu-dariBali Akses 11 Januari 2015 10 Cita-cita Tokoh Islam Bali: Insya Allah, Bali Menjadi Jendela Islam Dunia. http:// wakafalazhar.com/blog/post/view/id/40/title/ akses 4 Jan 2015
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
19
kampung diantaranya berisi orang-orang asli Bali yang telah memeluk agama Islam. Dari sejumlah kampung muslim yang ada di Bali, beberapa diantaranya yang sering disebut Kampungkampung Islam utama yang banyak dikunjungi wisatawan meliputi: Kampung Saren Jawa Budakeling Karangasem, Kampung Gelgel di Klungkung, Kampung Kepaon dan Serangan di Denpasar, Kampung Pegayaman di Buleleng, dan Kampung Loloan di Jembrana. I Made Pageh dkk menyebutkan bahwa terbentuknya kampung-kampung Islam di Bali dilatarbelakangi oleh beberapa sebab seperti: 1) motif dagang orang Islam sehingga bermukim di daerah pelabuhan-pelabuhan kuno di pinggir pantai (Pelabuhan dan Batugambir), yang kemudian ada yang berubah profesi menjadi petani tinggal ke pedalaman. (2) tinggal di pedalaman karena memang di-enclaves-kan oleh raja di daerah khusus. (3) Ikatan patron-klien dikukuhkan dengan perkawinan lintas agama (Kepaon Badung berasal dari Serangan) (4) faktor untuk pertahanan kerajaan dalam memperkuat pasukannya, dijadikan benteng penyebeh puri, penasihat raja dalam perdagangan, sebagai penerjemah bahasa arab dalam kontak dagang (Islam Gelgel, Angantiga, Kepaon, Loloan) (5) kejayaan dan kemenangan raja menghadiahi tanah tempat permukiman khusus sebagai entitas menyejarah, dan diberikan pemerintahan sendiri sesuai dengan sifat etniknya.11 1. Kampung Gelgel di Klungkung. Kampung ini dipercaya merupakan tempat awal agama Islam memasuki daerah ini yang saat itu menjadi pusat kekuasaan Bali. Pada abad ke15, datanglah 40 orang Islam atau wali dari ‘Mekah’ (diduga merupakan sebutan untuk Demak) yang memasuki wilayah Gelgel. Mereka tinggal berdampingan dengan masyarakat Bali yang memeluk Hindu. Awalnya, mereka hanya tinggal berdampingan saja, namun lama kelamaan ada masyarakat lokal yang tertarik kepada Islam. Memang benar bahwa komunitas ini pernah mengajak Raja Gelgel untuk masuk
11 I Made Pageh Dkk. Analisis Faktor Integratif Nyama Bali -Nyama Selam, Untuk Menyusun Buku Panduan Kerukunan Masyarakat Di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Vol. 2, No. 2, Oktober 2013
20
Wisata Religi di Bali ...
Islam. Tetapi ajakan mereka belum diterima oleh raja. Awalnya, untuk sementara waktu mereka tinggal di sekitar daerah sungai. Karena kondisi lingkungan yang tidak layak dan mengenaskan, beberapa orang meninggal dan beberapa di antaranya ada yang sakit. Melihat keberadaan kelompok muslim yang mengenaskan ini, Raja Gelgel menjadi simpati dan memberi mereka tempat bermukim di Gelgel. Saat tinggal di Gelgel, akhirnya mereka mendapatkan pengikut dari kalangan rakyat. Kini, di Gelgel terdapat 800 orang pemeluk agama Islam. 2. Kampung Saren Jawa Karangasem. Mayoritas pemeluk Islam di Karangasem merupakan pendatang dari Lombok Timur (Suku Sasak). Di Amlapura, penempatan kampung Islam dan Hindu dibuat berselang-seling di sekitar puri. Tujuannya adalah selain sebagai garis pertahanan, juga agar masyarakat membaur. Masyarakat Sasak yang tinggal di Karangasem, kini telah membaur dengan masyarakat Bali. Banyak orang Sasak yang telah menggunakan Bahasa Bali. Memang sebagian besar dari mereka sudah tidak fasih berbicara menggunakan Bahasa Sasak, tetapi masih mengerti artinya. Adapula yang masih aktif menggunakan bahasanya, yakni mereka yang tinggal di Karanglongko. Salah satu bentuk akulturasi budaya antara masyarakat Sasak Islam dan Bali adalah Cepung (macapatan) dengan tema umumnya yang mengandung pesan moral agar menjadi manusia yang baik sesuai syariat Islam. 3. Kampung Pegayaman. Kampung ini terletak di Sukasada, Buleleng, merupakan pusat terbesar agama Islam. Nenek moyang masyarakat yang tinggal di desa ini merupakan pendatang dari Jawa dan Bugis. Konon, dahulu, orang-orang Mataram Islam menuju Bali dengan membawa keris gayam. Juga banyak pohon Gayam di sekeliling desa, sehingga tempat itu disebut Pegayaman. Di Pegayaman memiliki situasi yang sedikit berbeda dengan situasi di tempat-tempat lain di Bali. Tidak ada atribut keagamaan maupun tempat ibadah Hindu baik Pura Puseh, Pura Kelod, maupun Pura Dalem. Sebaliknya, justru terdapat masjid. Yang terbesar di Pegayaman bernama Masjid Jami’ Safinatussalam. Selain bangunan fisik berupa masjid, terdapat pula peninggalan berupa Al-
Qur’an yang ditulis tangan, juga pola pendidikan yang mengajarkan Islam pada anak-anak mereka. 4. Kampung Loloan Jembrana. Kampung ini dirintis oleh Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodri (Syarif Abdullah), Sebuah kampung yang menjadi pusat berkembangnya Islam di Bali. Ia berasal dari Pontianak. Ayahnya adalah seorang Ulama Arab termasyur yang menikah dengan ibunda Raja di Matan. Ia bersama anak buahnya berkelana sampai di Loloan-Jembrana karena berbeda pandangan dengan Sultan Pontianak Syarif Abdurrahman yang mau tunduk kepada pemerintah Belanda. Karena memberontak kepada Belanda, Syarif Abdullah memutuskan untuk pindah ke daerahyang belum dikuasai oleh pengaruh Belanda. Rombongan Syarif Abdullah berlayar hingga sampai di Nusa Tenggara Barat dan terus ke barat sampai di Air Kuning-Jembrana pada tahun 1799. Ketika di Bali, Syarif Abdullah disambut dengan baik oleh penduduk yang sudah lama tinggal di sana yang berasal dari suku Bugis bernama Haji Shihabuddin. Syarif Abdullah diantar menghadap kepada Raja Jembrana Anak Agung Putu Seloka. Setelah menghadap raja, Syarif Abdullah diizinkan menetap di Jembrana dan diberikan tempat bermukim di kiri dan kanan Sungai Ijo Gading seluas 80 ha dengan syarat Syarif Abdullah bersedia melakukan kerjasama dan membantu Kerajaan Jembrana dalam menghadapi musuh-musuhnya. 12 Di Loloan Jembrana inilah kelak madrasah pertama dan pesantren pertama di Bali lahir. Selain empat kampung di atas, hampir di semua kabupaten di Bali ada kampung muslimnya, kecuali Kabupaten Badung yang secara eksplisit belum mempunyai Kampung Islam. Ada data yang memasukkan Kepaon terdapat di Kabupaten Badung, tetapi setelah saya konfirmasi dengan informan di Bali, ternyata Kampung Kepaon masuk ke wilayah Kota Denpasar.13 Kampung-kampung Islam di berbagai kabupaten di Bali Seperti Kampung Sudihati (Kintamani) di Kabupaten Bangli, Kampung Jawa 12 I Made Sumarja, Syarif Abdullah Bin Yahya Al Qodri (Syarif Abdullah ) Tokoh Pendiri Kampung Loloan Jembrana 1799 – 1858 Http://F85edonk. Blogspot.Com /2013 /01/SyarifAbdullah-Bin-Yahya-Al-Qodri.Html Akses 31 Oktober 2014 13 Wawancara dengan Mashudi, Penduduk Kampung Kepaon Denpasar Bali pada tanggal 13 Januari 2015
di Kabupaten Gianyar, Kampung Candi Kuning di Kabupaten Tabanan, Kampung Kepaon di Kota Denpasar.
C. MASJID-MASJID UNIK/BERSEJARAH. Selain makam keramat Islam dan Kampungkampung Islam di Bali, Tujuan wisata Islam berikutnya yang bisa dikunjungi adalah masjidmasjid unik atau bersejarah di Bali. Dari sisi sejarah, Masjid Nurul Huda di Gelgel Klungkung dipercaya sebagai masjid pertama di Pulau Bali, berdiri pada abad 13. Dari sisi keunikan, Masjid Al hikmah Kertalangu Denpasar merupakan masjid yang mencoba menggabungkan antara spirit Islam dengan budaya Bali. Berikut gambaran ringkas beberapa rumah ibadah unik atau bersejarah antara lain: 1. Masjid Nurul Huda di Gelgel. Masjid ini terletak di Kabupaten Klungkung. Masjid ini merupakan masjid tertua di Bali berada di Gelgel dengan arsitektur khas Demak. Dari Denpasar, perjalanan menuju masjid tertua di Pulau Dewata ini memakan waktu sekitar satu jam. Masjid Nurul Huda berdiri megah di tengahtengah perkampungan Gelgel yang berpenduduk 280 keluarga. Di halaman masjid, terdapat sebuah menara tua tegak menjulang setinggi 17 meter. Masjid Nurul Huda berdiri pada akhir abad ke13. Saat itu, Bali dikuasai raja Kerajaan Gelgel yang bernama Ketut Dalem Klesir. Usai menghadiri pertemuan raja-raja nusantara di Majapahit pada akhir abad ke-13, Raja Gelgel kembali pulang ke Bali dengan dikawal 40 prajurit Majapahit. Setibanya di Klungkung, pengawal dari Kerajaan Majapahit yang sebagian sudah memeluk Islam kemudian menetap di Gelgel. Mereka lalu menyebarkan agama Islam atas seizin Raja Gelgel.14 2. Masjid Jami’ Singaraja. Masyarakat Islam di Singaraja didominasi oleh pendatang Bugis. Di kampung para pendatang asal Makassar ini terdapat masjid Jami’ yang memiliki arsitektur unik gabungan antara Bali, Cina, dan Arab. Sejarah masjid ini tak bisa dilepaskan dari peran Raja Buleleng A.A. Ngurah 14 Nurul Huda, Masjid Tertua di Bali. http:// www.beritaBali.com/index. php/page/berita /klk/detail /2013/ 07/10/Nurul-Huda-Masjid-Tertua-di-Bali /akses 11 Januari 2015
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
21
Ketut Jelantik Polong (putra A.A. Panji Sakti, raja Buleleng I) yang beragama Hindu. Pintu kayu berukir warna hijau di gerbang masjid pada foto di atas merupakan pemberian beliau ketika masjid tersebut pertama kali dibangun. Masjid ini didirikan pada tahun 1846 M pada masa pemerintahan Raja Buleleng A.A. Ngurah Ketut Jelantik Polong (putra A.A. Panji Sakti, raja Buleleng I). Beliau seorang penganut agama Hindu Bali, maka pengaturan pelaksanaan dan ke-pengurusannya diserahkan kepada saudaranya yang beragama Islam bernama A.A. Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie dan Abdullah Maskati. Masjid Agung Jami’ Singaraja ini menjadi salah satu saksi bisu begitu indahnya toleransi beragama di Pulau Dewata sejak pertama kali Islam masuk ke Pulau Bali hingga detik ini. Masjid Agung Jamik Singaraja hingga kini masih menyimpan kitab Al-Qur’an tulisan tangan A.A. Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie dan sampai sekarang masih ada keturunannya dan tetap menggunakan nama Gusti walaupun memeluk agama Islam. 3. Masjid Jami’ Safinatussalam di Pegayaman. Kisah masuknya agama Islam di Pegayaman, diabadikan menjadi nama masjid, yaitu Masjid Jami Safinatussalam. Masjid Jami Safinatussalam merupakan masjid tertua di Pegayaman. Keberadaan masjid ini diperkirakan sudah ada sejak awal berdirinya Desa Pegayaman. “Safinatussalam berarti perahu keselamatan. Alasan diberi nama Safinatussalam karena datangnya menggunakan perahu dari Jawa, sampai dengan selamat di Bali.15 4. Masjid Al-Hikmah di Kertalangu Denpasar. Masjid Al-Hikmah adalah satu-satunya di Kota Denpasar yang plural dan multikultur tampil dengan sosok Arsitektur Tradisi Bali (ATB). Masjid Al-Hikmah di Kertalangu dibangun pada tahun 1978 menjadi sebuah tanda sekaligus simbol bagaimana dua kebudayaan menjadi satu dalam sebuah teks arsitektur yang menyiratkan penghormatan, kebersamaan dalam bingkai keindahan. Diplomasi kebudayaan melalui tanda dan simbol arsitektur menjadi bukti kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat Kota Denpasar 15 Sejarah Warga Islam di Desa Pegayaman, Bali http:// ulinulin.com/news/sejarah-warga-Islam-di-desa-pegayaman-Bali /page/2 akses 11 Januari 2015
22
Wisata Religi di Bali ...
yang plural dan multi kultural.16 5. Masjid Agung Ibnu Batutah di Nusa Dua. Berdiri dengan megah di pelataran bukit Kampial Nusa Dua, Masjid Ibnu Batutah berdiri berdampingan dengan empat sarana ibadah umat beragama lain, yakni Pura Jagat Natha bagi umat Hindu, Vihara Budina Ghuna untuk umat Buddha, dan Gereja Bunda Maria Segala Bangsa untuk umat Katolik serta Gereja Kristen Bukit Doa untuk umat Protestan. Lokasi ini dikenal dengan nama kompleks peribadatan Puja Mandala di Nusa Dua, Bali. Berawal dari keinginan umat Islam untuk mendirikan masjid di Nusa Dua. Namun, karena izin sulit didapatkan dengan alasan tidak memenuhi syarat pendirian bangunan ibadah yang harus mempunyai 500 KK, akhirnya keinginan itu belum dapat dilaksanakan. Pihak MUI bersama Yayasan Ibnu Batutah kemudian datang ke Jakarta untuk meminta persetujuan. Akhirnya, ada inisiatif dari Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, yang saat itu dijabat oleh Joop Ave, untuk membangun tempat ibadah kelima agama di Indonesia itu dalam satu kompleks. Ide ini didapat atas dasar keinginan presiden Soeharto yang menginginkan adanya tempat ibadah kelima agama yang berdiri di satu tempat. Pihak PT. BTDC lalu menghibahkan bantuan berupa tanah untuk membangun kelima tempat ibadah tersebut. Tanah itu dibagi sama besar dan luasnya. Selanjutnya, untuk pendirian bangunan diserahkan sepenuhnya kepada umat masing-masing agama, dengan aturan pendirian bangunan tersebut harus sama tingginya.17 Kalau dibuat matriks, maka obyek wisata Islam di Bali dari bahasan di atas dan sumbersumber lain yang membahas tentang obyek kunjungan wisatawan ke Bali yang berhasil penulis dapatkan, dilihat dari lokasinya dapat disebutkan sebagai berikut: Potensi Obyek Wisata Islam di Bali
18
16 Putu Rumawan Salain, Arsitektur Tradisional Bali Pada Masjid Al Hikmah Di Kertalangu, Denpasar. (Tesis). Bali: Universitas Udayana, 2011 17 Masjid Agung Ibu Batutah; Sebuah Simbol Kerukunan Tempat Ibadah Dari Nusa Dua Bali. http://Bali muslim.com/masjidsimbol-kerukunan/masjid-ibnu-batutah 18 Disusun berdasarkan beberapa sumber yang berhasil dikumpulkan penulis, pada sel-sel yang kosong dimungkinkan masih ada obyek wisata Islam yang lain.
Bali Halal Tour: Ikhtiar Biro Perjalanan Wisata Islam Melihat potensi wisata Islam di Bali, menggerakkan beberapa pelaku wisata untuk menggagas layanan wisata Islami. Berangkat dari pemikiran diantara wisatawan yang mengunjungi Bali banyak sekali dari umat Muslim yang hadir, maka muncul ide untuk membuat sebuah terobosan sebagian pelaku usaha untuk membuka layanan biro perjalanan wisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan muslim. Fakta bahwa dari jumlah wisatawan yang singgah di Bali tidak seluruhnya merasa nyaman dengan jasa wisata yang ditawarkan. Bagi wisatawan muslim terkadang ada yang masih ragu terhadap kehalalan infrastruktur pendukung wisata di Bali, seperti makanan yang disajikan restoran maupun mengenai lokasi masjid. Maklum, mayoritas penduduk Bali beragama Hindu. Beberapa layanan jasa terkait wisata agama Islam di Bali mulai bermunculan seperti layanan Sopir Islam, Guide Muslim, Travel dan hotel yang memperhatikan kepentingan muslim semuanya mengatasnamakan wisata yang halal bagi orang
muslim. Kalau kita telusuri melalui situs google.com maka akan kita lihat beberapa laman yang menyediakan layanan wisata halal ini seperti Sopir Muslim Bali dan Bali Halal Tour. Kelompok layanan Sopir Bali Muslim adalah sebuah layanan yang menyediakan mobil sekaligus sopir yang siap menjadi guide selama perjalanan; demikian juga Bali Halal Tour, sebuah biro travel yang menggarap wisatawan muslim untuk mengunjungi obyek-obyek wisata religi Islam di Bali. Sebagai obyek kajian ini, studi kasus akan kita arahkan pada keberadaan sebuah biro layanan yaitu Bali Halal Tour. Bali Halal Tour mempunyai kantor di Gedung PELNI lantai 2, JL. Raya Kuta 299, Kuta, Badung Bali. Didirikan di awal 2010 oleh Dandan Syamsuddin dan Firman Hadian. Biro ini dibentuk sebagai sarana untuk menambah jaringan, sedangkan usaha utamanya adalah usaha di luar travel agent. Manager Operasional Bali Halal Tour, Firman Hadian, dengan perkembangan usaha di bidang ini melihat adanya peluang ladang amal dalam membuka biro perjalanan wisata halal. Latar belakang pendirian Bali halal Tour ini didasarkan pada kenyataan banyak wisatawan muslim yang datang ke Bali sering ragu dengan makanan yang ada di Bali. Pendiri Bali Halal tour sering melihat banyak sekali wisatawan muslim asing atau domestik (terlihat dari penampilannya yang berhijab untuk wanitanya) ketika mereka mengikuti program tur dari beberapa travel agen konvensional di Bali, pada saat mereka makan siang atau malam, mereka diajak makan di tempat yang sangat diragukan kehalalannya. Seiring waktu ternyata banyak wisatawan diluar sana yang masih ragu datang ke Bali karena faktor ke non musliman-nya, objek wisata yang tidak Islami dan masalah makanan halal di Bali. Bali Halal Tour pun akhirnya menjadi salah satu dari sedikit biro perjalanan di Bali yang menjadi pionir wisata halal di pulau dewata. Firman berpendapat wisata halal adalah konsep berwisata yang mengedepankan halal sebagai panduan atau pegangan dalam aspek pendukung yang bersangkutan dengan wisata itu sendiri. Ia memaparkan beberapa faktor pendukung dalam wisata halal tersebut antara lain transportasi, akomodasi dan konsumsi. Saat ini yang masih menjadi concern dari para wisatawan menurut para pendiri ini adalah faktor kehalalan konsumsi atau
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
23
makanannya, sebab untuk akomodasi dan transportasi nantinya akan lebih ke konsep syariahnya. Dari deskripsi layanan wisata Islam di Bali sebagaimana yang termuat dalam http:// mysharing.co, tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan wisata Islam ini menurut pengelola Bali Halal Tour adalah masalah perijinan. “...birokrasi yang begitu berbelit kadang membuat kami pelaku wisata di lapangan agak sedikit terhambat,” tukas Firman, pengelola Bali hal Tour. Selain itu, tantangan terbesar lain nya bagi pengembangan wisata Islam adalah infrastruktur pendukung wisata halal yang sangat terbatas, terutama dari segi makanannya. Hampir 95 persen hotel, restauran dan warung makan di Bali tidak bersertifikasi halal, baik yang dimiliki oleh muslim ataupun non muslim. “Cara kami mensiasatinya ya kami maksimalkan yang sisa 5 persen, sambil perlahan kita mulai bersama lembaga yang berwenang seperti Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) untuk mendorong dan mensosialisasikan sertifikasi halal utamanya kepada pengusaha muslim yang bergerak di bidang restoran dan hotel,” ungkap Firman. Ia pun mengharapkan seiring dengan besarnya animo wisatawan muslim yang datang ke Bali, pengusaha non muslim ikut mensertifikasi halal usahanya di masa mendatang. 19 Untuk pengembangan lebih lanjut, dukungan perbankan syariah kepada industri wisata Indonesia juga sangat diperlukan. “Apapun yang berhubungan dukungan untuk kemajuan bisnis syariah saya rasa sangat diperlukan, termasuk dukungan materi, khususnya untuk kami perusahaan kecil yang ingin berkembang. Karena ke depannya tidak hanya secara khusus di Bali, secara nasional pengembangan bisnis syariah perlu di-back up oleh lembaga keuangan yang syariah pula,” papar Firman. Secara umum pelayanan Bali Halal Tour tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan perusahaan lainnya, seperti Inbound dan Outbound Tour, MICE, Rent Car, Team Building dan lainlain. Yang membedakan Bali Halal Tour dengan 19 Mengintip Biro Perjalanan Wisata Halal Di Bali. http:// mysharing. co/ Akses 1 Jan 2015
24
Wisata Religi di Bali ...
biro perjalanan lainnya adalah semua program di atas tadi dikemas menjadi wisata halal. Pengelola Bali Halal Tour ingin memperlihatkan Bali dari sisi yang lainnya, bukan hanya Bali sebagai tempat mayoritas peninggalan non muslimnya (Hindu), tapi juga memperlihatkan bagaimana Islam menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan Bali, dengan adanya mesjid-mesjid lama yang tersebar di seluruh Bali, kampung-kampung muslim yang juga ada sampai ke pelosok-pelosok pedalaman Bali, peninggalan bersejarah seperti Al-Qur’an kuno dan lainnya. Ke depannya, Bali Halal Tour juga berencana menggarap Muslim Wedding Organizer. Itulah optimisme yang dimiliki salah satu pelaku yang menyediakan jasa layanan wisata Islam di Bali. Saat ini perkembangan wisata halal di Indonesia masih kalah dengan Malaysia. Namun di tengah potensi wisata halal Indonesia yang begitu besar karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, Malaysia-lah negara di Asia Tenggara yang menjadi tujuan utama wisatawan beragama muslim, khususnya yang datang dari Timur Tengah. Mengapa? Karena, bagi para wisatawan muslim, Malaysia lebih terjamin dan lebih mudah mendapatkan segala sesuatu yg halal dan syar’i. Sejauh ini animo wisatawan terhadap Bali Halal Tour pun cukup berkembang. Wisatawan berdatangan mayoritas dari Malaysia, Singapura, Timur tengah, Eropa dan selebihnya wisatawan lokal.
D. MENGEMBANGKAN WISATA AGAMA, MEMPERKUAT BALI SEBAGAI PULAU RELIGIUS Predikat Pulau Bali sebagai pulau dewata perlu dipertahankan. Karena predikat pulau dewata hampir sama dengan predikat pulau religius. Artinya kata ‘dewata’ mempunyai konotasi keagamaan, sehingga menyebut pulau dewata searti dengan menyebut pulau religius. Agama, khususnya Hindu, menjadi pilar utama menjaga keseimbangan pembangunan di Pulau Bali. Menjaga religiusitas Bali akhirnya tidak saja menjadi kewajiban umat Hindu, tetapi semua pemeluk agama di Pulau Bali. Dengan demikian perlu kerjasama dan kesepahaman yang mampu menjaga Bali sebagai tujuan wisata yang dijiwai semangat keagamaan.
Untuk menjaga Bali tetap dalam suasana religius diperlukan bersatunya umat antar agama yang terdapat di pulau seribu dewa ini. Hadirnya beberapa di luar Hindu di Bali telah memberi warna tersendiri terhadap nilai-nilai pluralitas yang dianut oleh masyarakat. Keberadaan nilainilai Hindu yang mampu mengagungkan agama dan menjaga hubungan antar agama menjadi nilai plus sendiri yang perlu dilestarikan. Kerukunan antar umat Hindu dan nonHindu sudah terjalin sedemikian rupa. Pemeluk masing-masing agama terbiasa untuk saling mengunjungi setiap ada hari raya. Misalnya untuk upacara kematian, umat Islam mengunjungi umat Hindu yang mengadakan Ngaben. Sebaliknya, umat Hindu pun melakukan ta’ziah bila terhadap umat Islam yang meninggal. Umat Islam akan berkunjung ke rumah umat Hindu yang merayakan Galungan atau Sarawati. Sementara umat Hindu akan berkunjung ke rumah umat Islam bila sedang merayakan Idul Fitri. Selain bentuk-bentuk kerukunan antar agama tersebut, terdapat akulturasi dan pelestarian budaya antara Bali dan Islam. Salah satunya adalah terdapat tradisi penamaan anak yang konon berasaal dari wasiat dari nenek moyang yang menyatakan bahwa anak harus dinamai sesuai tradisi Bali, yaitu: Anak pertama dinamai Wayan, Putu, Gede, atau Ni Luh; Anak kedua dinamai Made, Kadek, atau Nengah; Anak ketiga dinamai Komang atau Nyoman; Anak keempat dinamai Ketut; lalu hitungan Kembali ke awal lagi pada anak kelima dan seterusnya. Dari warna adat lokal itu, muncul kemudian nama-nama anak di lingkungan muslim seperti Wayan Abdul Rahman, Komang Ibrahim Ramadhan, atau Gede Muslimin Dzikrullah. Nama-nama seperti itu muncul dari pandangan sekalipun seorang etnis Bali memeluk Agama Islam, ia tetaplah bagian dari Suku Bali. Sehingga dianggap memiliki tanggungJawab moralkultural terhadap etnisnya.20 Selain penggunaan nama, kesenian dan budaya Islam yang muncul pun berwajah 20 Akulturasi penyusunan nama anak ini banyak terjadi di Kampung Pegayaman. I Made Pageh Dkk. Analisis Faktor Integratif Nyama Bali -Nyama Selam, Untuk Menyusun Buku Panduan Kerukunan Masyarakat Di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Vol. 2, No. 2, Oktober 2013
budaya Bali. Misalnya kesenian Burda (kesenian asal Irak yang diakulturasikan dengan kebudayaan Bali). Kesenian ini masuk Pegayaman pada tahun 1887. Kesenian ini dilakukan dengan menyanyi menggunakan rebana. Pelakunya 10-15 orang laki-laki tanpa perempuan. Tetapi, menggunakan pakaian adat Bali yang digunakan seperti akan bersembahyang ke pura, lengkap dengan udeng dan lancingan sebagai bentuk akulturasi, walaupun Burda yang sebenarnya tentu tidak menggunakan pakaian ini. Kesenian ini dilakukan pada pukul 10 malam sampai hampir subuh. Tujuan dari kesenian ini adalah untuk mensyi’arkan Islam. Demikian juga fenomena yang hampir sama muncul dalam kesenian hadrah. Kesenian ini masuk pada jaman penjajahan Belanda dan mengandung nilai beladiri. Bentuk dari kesenian ini adalah permainan rebana dan menyanyikan lagu puji-pujian pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Nuansa Bali muncul dalam bentuk puji-pujian yang dikombinasikan dengan gerakan tari. Keberhasilan masyarakat Bali dalam menjaga religiusitas pulau ini hingga menjadi daerah yang berkarakter dan dipuji dunia, bukan pekerjaan yang gampang. Banyak ujian yang telah dihadapi masyarakat Bali untuk menjadi daerah Pulau religius, seperti kejadian Bom Bali 2002 di kawasan pariwisata Pantai Kuta, menyebabkan sebanyak 202 orang tewas dan 209 orang lainnya cedera. Kejadian itu tentu saja menyakitkan, sementara pelakunya mengaku muslim. Banyak orang Islam di Indonesia menyesalkan kejadian itu, bahkan mengutuknya. Sebagian orang Bali mungkin ada yang menyalahkan orang Islam.Peristiwa ini sempat menghempaskan ekonomi dan pariwisata Bali. Kejadian ini seperti membuka luka lama bahwa Islam menjadi ancaman bagi eksistensi budaya Hindu Bali. Namun larut dengan trauma seperti itu justru akan memerosokkan Bali ke lubang yang lebih dalam lagi. Trauma sejarah bahwa Hindu di Bali adalah pertahanan terakhir orang Hindu di Indonesia dari perkembangan Islam yang sengaja dihembuskan baik sengaja atau tidak untuk memelihara kepercayaan diri orang Hindu untuk bertahan. Pemahaman seperti itu barangkali pas untuk melihat persaingan agama ketika bangsa
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
25
Indonesia belum merumuskan filsafat hidup bersama, yakni sebelum Indonesia merdeka. Dengan disepakatinya pancasila sebagai pandangan hidup bersama setelah Indonesia merdeka, kekhawatiran semacam itu hendaknya mulai ditinggalkan dengan mengedepankan sikap saling mengakui dan menghormati antara agama satu dengan agama lain. Bom Bali 2002 sempat menjadikan Bali berada di titik nol dalam pariwisata dan butuh waktu 10 tahun lebih untuk mengembalikan potensi wisata di Bali. Kejadian itu, suka atau tidak suka, menjadi bahan evaluasi untuk mengembangkan wisata di Bali selanjutnya. Sikap saling menyalahkan justru akan membuat bibit yang tidak baik dalam hubungan antar agama. Sebaliknya, hubungan antar agama barangkali perlu dilibatkan dalam pengembangan pariwisata di Bali. Wisata religi antar agama nampak belum banyak dikembangkan di Bali. Ada kesan bahwa potensi wisata di luar Hindu belum dibina secara maksimal. Beberapa atribut atau simbol keagamaan masih terkesan kurang santun dan mengesankan ada persaingan terselubung yang tidak sehat. Simbol-simbol seperti “warung muslim” terdapat di banyak tempat. Kata-kata itu seperti simbol yang mengesankan adanya perlawanan dari dalam masyarakat. Alangkah indahnya kalau simbol semacam itu diganti dengan kata seperti “halal food” atau stiker sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mempertahankan keberhasilan wisata di Bali, mempertahankan karisma pulau dewata dalam bahasa lain pulau religius menjadi kebutuhan bersama bangsa Indonesia. Bukankah semua orang mengakui prestasi Bali sebagai tempat yang paling dikenal di Indonesia telah menjadikan kekuatan Indonesia untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan disegani baik secara regional maupun internasional. Paket wisata bernuansa keagamaan yang diwacanakan dalam bentuk wisata spiritual di Bali sedang populer dan mulai dikembangkan di kalangan pelaku pariwisata di Bali. Potensi Bali untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata spiritual sangat besar. Pitana (2012) menyebutkan sejauh ini baru sekitar 5 persen dari jumlah total turis asing di Bali yang berwisata dengan tujuan memperoleh pengalaman spiritual (Pitana; 26
Wisata Religi di Bali ...
Sudibya, 2012) Wisatawan muslim tentu akan menyambut positif apabila pemerintah Bali lebih membuka ruang untuk pengembangan wisata agama di Bali tidak sebatas obyek wisata Hindu tetapi juga obyek wisata agama lain. Rencana pemerintah Indonesia yang ingin membuka peluang pengembangkan wisata syariah di Indonesia diharapkan tidak menjadi sesuatu yang kontra produktif bagi pelestarian Bali sebagai pulau religius. Peluang komodifikasi wisata halal di Bali memang ada. Tinggal kita tunggu implementasinya seperti apa, mungkin pengembangan wisata Islam di daerah lain akan lebih mudah bila dibandingkan dengan di daerah Bali. Namun seandainya gagasan itu juga berhasil dikembangkan di Bali, pasti akan lebih “wah” bila dibandingkan di daerah lain.
E. PENUTUP Dari kajian tentang potensi wisata Islam di Bali ini bisa disimpulkan bahwa prospek pengembangan wisata Islam di Bali sangat besar sekali mengingat jumlah pengunjung Muslim di Pulau Bali dari penduduk Indonesia sangat besar setiap tahunnya. Usaha pengembangan wisata Islam di Bali belakangan menunjukkan menggeliat hal ini dibuktikan kenyataan beberapa hal berikut: 1) terdapat banyak sekali obyek wisata Islam di Bali, baik yang sudah terindentifikasi maupun yang belum; 2) beberapa obyek wisata Islam yang banyak dikunjungi di Bali dapat dikategorikan antara lain: makam keramat Islam, kampung-kampung Islam, masjid unik/bersejarah dan lembaga pendidikan Islam (lainnya); 3) mulai muncul lembaga /biro/layanan jasa yang mulai mengidentifikasikan diri sebagai layanan jasa di bidang wisata Islam di Bali dibuktikan dengan adanya promosi melalui website internet. Prospek pengembangan wisata Islam di Bali tidak akan menjadi semakin maju apabila permasalahan-permasalahan yang dihadapi para pengelola layanan wisata Islam tidak dijembatani. Beberapa permasalahan yang dikeluhkan beberapa jasa layanan wisata Islam di Bali antara lain: 1) masalah perizinan usaha lembaga jasa layanan wisata Islam. Perizinan yang rumit sering dikeluhkan para pengelola layanan wisata Islam di Bali; 2) infrastruktur wisata Islam yang tersedia masih sangat terbatas seperti ketersediaan
makanan yang tersertifikasi halal, tersedianya tempat-tempat untuk melakukan ibadah sholat di tempat-tempat strategis di Bali. Penelitian ini merekomendasikan: 1) perlunya peningkatan komunikasi kepada pihakpihak yang berwenang di Bali terkait potensi wisata religi Islam di Bali sekaligus mengikis kekhawatiran masyarakat dan pemerintah Bali yang Mayoritas Hindu bahwa wisata Islam di Bali tidak akan mengancam keberadaan wisata Hindu. Masing-masing bertujuan untuk menghadirkan lebih banyak wisatawan ke Pulau Bali ; 2) para pelaku layanan wisata Islam perlu melakukan sosialisasi yang santun terkait pengembangan wisata Islam di Bali. Beberapa
simbol yang terkesan anarkis dan berpotensi menimbulkan kecemburuan atau konflik seyogyanya dihindari; 3) lembaga-lembaga Islam di Bali perlu menyediakan jasa sertifikasi halal untuk warung-warung makan yang diperuntukkan untuk wisatawan muslim dan perlu memperhalus pelabelan dari warung Islam menjadi “halal food” atau logo halal dari MUI; 4) lebih diperbanyak dan dilengkapi infrastruktur wisata Islam seperti tersedianya tempat-tempat ibadah yang memadai; 5) memanfaatkan tempattempat ibadah muslim sebagai pusat informasi wisata Islam di Bali. []
D A F TA R P U S TA K A Amanda Destianty Poetri Asmara. Makam Keramat Karang Rupit Syeikh Abdul Qadir Muhammad (The Kwan Lie) di Desa Temukus Labuan Aji Banjar, Buleleng Bali (Perspektif Sejarah dan Pengembangannya Sebagai Objek Wisata Spiritual). Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Vol 11, No. 1 (2012) Egresi, Istvan., Bayram, B. dan Kara, F. (2012). “Tourism at Religious Site: A Case from Mardin, Turkey”. The Journal of Geographica Timisiensis. Vol. 21 No. 1 Parwata, Yb. Konsep Wisata Religi Menurut Agama Hindu, www.kemenag. go.id/file Akses 4 jan 2014 Ketut Sutama. “Pariwisata Spiritual di Bali dari Perspektif Stakeholders Pariwisata.” Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Desember 2013, Vol.3 No.2 Putu Rumawan Salain, Arsitektur Tradisional Bali Pada Masjid Al Hikmah Di Kertalangu, Denpasar. (Tesis). Bali: Universitas Udayana, 2011 I Made Pageh Dkk. Analisis Faktor Integratif Nyama Bali -Nyama Selam, Untuk Menyusun Buku Panduan Kerukunan Masyarakat Di Era Otonomi Daerah. Jurnal
Ilmu Sosial Dan Humaniora. Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. Vol. 2, No. 2, Oktober 2013 I Made Sumarja, Syarif Abdullah Bin Yahya Al Qodri (Syarif Abdullah ) Tokoh Pendiri Kampung Loloan Jembrana 1799 – 1858 Http://F85edonk. Blogspot.Com /2013 /01/ Syarif-Abdullah-Bin-Yahya-Al-Qodri.Html Akses 31 Oktober 2014 Pitana, I Gde. (2012). “Keynote Speaker Seminar Spiritual Tourism”, 28 Juli 2012, Bali Hai Room Inna Grand Bali Beach Hotel, Sanur Bali. Diunduh pada 26 Agustus 2013 dari http://bali.antaranews.com/berita/25650/ spiritual-tourism-menuju-wisataberkualitas. Rogers, C.J. (2002). “Secular Spiritual Tourism” (Unpublished doctoral dissertation). Central Queenland University. Diunduh pada 14 Juni 2013 dari http://www.iipt.org/ africa2007/PDFs/CatherineJRogers.pdf . Sharpley, R. dan Sundaram, Priya. (2005) “Tourism: a Sacred journey?, the Case of Ashram, India”. International Journal of Tourism Research, Vol. 7 Rahman, A. Faidlal, konsep Pariwisata Islami dalam 2 nd Association of Indonesian
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
27
Tourism Tertiary Education Institutions (AITEI) di Malaysia, 23 Mei 2013. Umi Kalsum. Kisah Wali Pitu dari Bali nasional.news.viva.co.id /news/read/239218kisah-wali-pitu-dari-Bali Akses 11 Januari 2015
Naskah Bali Rapidly Becoming Popular Spiritual Tourism Destination (http://www.eturbonews.com/ 30411/ Akses 4 jan 2015 Cita-cita Tokoh Islam Bali: Insya Allah, Bali Menjadi Jendela Islam Dunia. http:// wakafalazhar.com/blog/post/view/id/40/ title/ akses 4 Jan 2015 Masjid Agung Ibu Batutah; Sebuah Simbol Kerukunan Tempat Ibadah Dari Nusa Dua Bali. http://Bali muslim.com/masjid-simbolkerukunan/masjid-ibnu-batutah Mengintip Biro Perjalanan Wisata Halal Di Bali. http://mysharing. co/ Akses 1 Jan 2015 Makam Keramat Siti Khotijah Dan Pangeran Sosrodiningrat Di Denpasar Bali. http:// achmad-suchaimi-sememi.blogspot.com/ 2013/07/mjib-24-makam -keramat-sitikhotijah-dan.html akses 11 Januari 2015
28
Wisata Religi di Bali ...
Nurul Huda, Masjid Tertua di Bali. http:// www.beritaBali.com/index. php/page/berita /klk/detail/2013/07/10/Nurul-Huda-MasjidTertua-di-Bali /akses 11 Januari 2015 Sejarah Warga Islam di Desa Pegayaman, Bali http://ulinulin.com /news/ sejarah-wargaIslam-di-desa-pegayaman-Bali /page/2 Informan Firman, Pengelola Bali Halal Tour Hadi Purwanto, Kepala KUA Kab Karangasem I Ketut Wardana, Dosen IHDN Denpasar Mashudi, Penduduk Kampung Kepaon Denpasar Bali Parwata, Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat
TOPIK EKSISTENSI AGAMA SIKH DI JABODETABEK
Z A I N A L A B I D I N*
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aspek eksistensi pemeluk agama Sikh di Jabodetabek. Pentingnya kajian ini dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam rangka tersedianya data dan informasi pelayanan pemerintah terhadap segenap umat beragama yang dipeluk oleh sedikit masyarakat Indonesia, seperti agama Sikh. Aspek eksistensi yang dilihat mengenai sejarah singkat, pokok ajaran, ritual, lembaga, dan interaksi sosial. Penelitian kualitatif dengan menggunakan teori perspektif post kolonial, subaltern dari Gayatri C Spivak. Secara teologis pemeluk agama Sikh percaya terhadap monoteisme yang disebut Waheguru dan pendirinya Guru Nanank (1469–1539). Kitab sucinya Guru Granth Sahib. Kuil Sikh disebut Gurdwara atau “gerbang menuju Guru”. Kehadiran penganut agama Sikh ke Indonesia berasal dari Amritsar, Punjab, India, (sekarang masuk wilayah Pakistan) masuk melewati Aceh, Sumatera Utara dan Jakarta. Pemeluk agama Sikh masuk pembinaan Ditjen Bimas Hindu. Mereka belum mempunyai wadah/organisasi secara nasional yang menaungi seluruh umat Sikh di Indonesia. Keberadaan pemeluk agama Sikh di Jabodetabek sampai saat ini masih subaltern.
KATA KUNCI: Eksistensi, Subaltern, Pelayanan Pemerintah, Sikh
A BSTRACT This study investigates the existence aspect of Sikh followers in Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi) regions. It aims to provide data and information regarding the government services to all religious communities including minorities, such as Sikh. The existence aspects under study include the short history, the basic teachings, rituals, institutions, and social interaction. This study utilizes qualitative research using postcolonial and subaltern perspective from Gayatri C Spivak’s view. Theologically, Sikh believes in monotheism that was mentioned by Waheguru and Guru Nanank (1469-1539). Sikh has a holy book named Guru Granth Sahib. Sikh temple is called Gurdwara or the “gateway to the Guru”. Sikh followers came to Indonesia from Amritsar, Punjab, India, (now Pakistan territory) through Aceh, North Sumatra and Jakarta. Sikh followers are managed under the Hindu Guidance Directorate. They do not have a national organization that accommodates Sikh community in Indonesia. It can be concluded that the existence of the Sikh in Jabodetabek area is somewhat subaltern.
KEY WORDS: Existence, Subaltern, Government Services, Sikh
A. PENDAHULUAN Indonesia negara penduduknya sangat ** Peneliti Muda pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jln. M.H. Thamrin 6 Jakarta. Email:
[email protected] **Naskah diterima Februari 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015
majemuk dilihat dari suku, budaya, dan agama. Beberapa agama besar dunia hidup dan berkembang berdampingan dengan agama-agama lokal. Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, kebebasan beragama, dalam memberikan perlindungan terhadap semua pemeluk agama dalam mengamalkan dan menjalankan keyakinan
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
29
dan ajaran agamanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) disebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam pengaturan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 Pasal 28E ayat (1)disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Berdasarkan Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dalam Penjelasan II antara lain disebutkan: Pasal 1. Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang diartikan dengan kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Tju (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan apa adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Dengan menggunakan penjelasan yang dimuat dalam Penetapan Presiden ini, maka, agama diluar yang 6 agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia juga mendapat jaminan dari negara termasuk agama Sikh. Berdasarkan fakta bahwa agama Sikh merupakan salah satu dari banyak agama yang hidup dan berkembang di beberapa negara, dan juga di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi faktual mengenai 30
Eksistensi Agama Sikh...
keberadaan agama Sikh, sehingga dapat berkontribusi pada upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan dan jaminan kepada seluruh pemeluk agama dalam menjalankan keyakinan dan ibadahnya. Disamping itu, diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Kementerian Agama RI, dimana posisi penganut agama-agama diluar 6 agama dalam menyusun RUU Kehidupan Keagamaan. Studi mengenai eksistensi agama Sikh di Indonesia belum banyak dilakukan oleh para sarjana, sepanjang penelusuran yang dilakukan belum ditemukan hasil penelitian dan buku yang berkaitan dengan keberadaan agama Sikh di Indonesia. Penelitian ini di lakukan di komunitas agama Sikh di Jabodetabek. Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disusun beberapa pertanyaan penelitian, yakni: Bagaimana eksistensi keberadaan agama Sikh (yang meliputi sejarah, pokok-pokok keyakinan dan ajaran, kelompok pengikutnya, serta persebarannya) di Jabodetabek?; Bagaimana peran negara dalam hal pemberian pelayanan yang ada kaitannya dengan hak-hak sipil sebagai kewarganegaraannya?; dan Bagaimana relasi sosial pengikut agama Sikh dengan masyarakat di Jabodetabek? Tujuan dan kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dalam menyusun kebijakan terkait dengan pelayanan terhadap pemeluk agama Sikh. Penelitian ini penting dilakukan sesuai tugas dan fungsi Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah untuk menyediakan data dan informasi terkait dengan kajian faham, aliran dan gerakan keagaman di Indonesia, penelitianterkait agama Sikh selama ini belum pernah dilakukan. Kebijakan dimaksud dalam upaya pemerintah memberikan ruang bagi penganut agama Sikh dan pelayanan terhadap pemeluknya dimana negara tetap dapat memberikan hak-hak sipil bagi pemeluk agama Sikh. Studi Kepustakaan Sikhisme berasal dari kata Sikh, yang diambil dari kata dasar Sisya dalam bahasa Sanskrit, yang bermakna “murid” atau “pelajar”, atau siksa yang berarti “arahan”, yang terkandung adanya ajaran agama Hindu dan Islam. Sikhisme adalah
agama yang percaya akan satu Tuhan yang yang disebut Waheguru. Pendirinya adalah Guru Nanak (1469–1539), yang dilahirkan sebagai Nanak Dev di Nankana Sahib, sekitar 40 kilometer dari Lahore. Menurut cerita, Guru Nanak yang dilahirkan dari keluarga Hindu, mendapat wahyu setelah mandi pagi di Tahun 1499, ketika berusia 30 tahun. Kemudian Ia melakukan perjalanan keliling negeri sebagai pengkhotbah Sikhisme, untuk menyebarkan kepercayaannya akan satu Tuhan. Guru Nanak tidak mengakui perbedaan kasta dan dengan demikian agamanya menjadi menarik bagi mereka yang berkasta rendah. Persamaan derajat antar manusia ditegaskan dengan menyamakan nama depan antara wanita dan pria. Ajaran Guru Nanak dan Sembilan Guru lainnya tercatat dalam kitab suci Sikh “Guru Granth Sahib”. Kuil Sikh disebut Gurdwara atau “gerbang menuju Guru”. Setiap orang dari semua agama dan budaya boleh makan bersama dua kali sehari di kuil (Dyan Kostermans: www.aw.de/…agama….sikh/a 16151). Dalam penelitian ini, agar tidak terjadi salah pengertian terhadap makna yang terkandung dalam judul penelitian atau data yang akan dikumpulkan maka perlu dibuat batasan. Secara etimologis, kata eksistensi berasal dari bahasa Latin existere, dari ex artinya keluar, dan sitere artinya membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Dalam kamus Bahasa Indonesia, eksistensi berarti hal berada atau keberadaan. Arti ini memiliki 3 unsur utama. Eksistensi dalam artian yang khusus bukanlah hanya keberadaan kita yang sekarang ini, melainkan sebuah usaha yang menjadikan kita ada dan eksis. Eksistensi bukanlah didapatkan dengan pasif, namun eksistensi diraih dengan usaha positif. (Abdul Halim Wicaksono, Imtaq.com, catatanku, 23 Februari 2013). Suatu agama diangap eksis kalau dia mempunyai aktivitas, dan keberadaannya tidak dipermasalahkan oleh masyarakat maupun pemerintah (tidak mengalami hambatan). Pelayanan merupakan kegiatan utama pada orang yang bergerak di bidang jasa, baik itu orang yang bersifat komersial ataupun yang bersifat non komersial. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan antara pelayanan yang dilakukan oleh pihak swasta dengan apa yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Dapat disimpulkan bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk jasa pelayanan baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Febri Galih:2012, eprint.uny.ac.id. Bab 2, Kajian Pustaka). Pelayanan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan publik yang bersifat administrasi, yang diberikan oleh pemerintah terhadap penganut agama Sikh, yang berkaitan dengan KTP, akte kelahiran, akte perkawinan, dan pendidikan keagamaan. Keragaman tentang definisi agama, ada yang bersifat positif, ada pula yang bersifat negatif. Tetapi untuk kepentingan penelitian ini maka agama yang dimaksud adalah: “sistem keyakinan yang dianut dan diwujudkan dalam tindakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpreatsikan dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai sesuatu yang suci dan ghaib” (Abdurrahman Mas’ud, 2009). Keberadaan pemeluk agama Sikh dapat dilihat sebagai subaltern. Konsep subaltern dalam kajian post kolonial disebut sebuah komunitas yang hadir di ruang publik tetapi tidak pernah diakui. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Rajanit Guha, sejarawan India yang menolak sejarah India dihistorisasi dengan gaya kolonial dan mengeluarkan peran masyarakat kelas bawah India. Padahal, mereka komunitas terbesar dari sejarah itu. Konsep ini kemudian diperluas oleh seorang feminis postkolonial, Gayatri C Spivak, dalam tulisannnya Can Subaltern Speaks: Speculation on Widow Sacrifice (1985), yang memasukkan para janda miskin dalam kasta Hindu India sebagai subaltern. Dalam tradisi India kelas menengah bawah, para janda dianggap memiliki sikap mulia jika bunuh diri dan mengikuti kematian suaminya daripada hidup dengan terus menanggung derita. Dalam perspektif postkolonial, subaltern dianggap komunitas yang eksis di ruang publik, tetapi bukan saja tidak diperhatikan, tapi juga tidak pernah dianggap penting. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI yang salah satu kajiannya mengenai paham
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
31
aliran dan gerakan keagamaan selama ini belum pernah meneliti terkait dengan ekistensi agama Sikh di Indonesia. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, pendekatan penelitian ini dipilih karena obyek yang dikaji tidak dapat digeneralisir dan bersifat kasuistik. Penelitian dengan pendekatan kualitatif, pendekatan ini dilakukan untuk memahami fenomena keberadaan pemeluk agama Sikh, dimana peneliti menggali informasi sedalam-dalamnya tentang keberadaan agama tersebut. Juga digambarkan realitas sosialnya, sehingga data data yang dipaparkan betul-betul merupakan serangkaian fenomena dan kenyataan yang memiliki hubungan langsung dengan keberadaan agama Sikh. Dengan melakukan wawancara kepada sejumlah informan pimpinan agama Sikh{antara lain: (a) Dalwindar Singh, pendeta Guru Nanak Sikh Tempel, Tanjung Priok, Jakarta; (b) Mandjid Singh, pengurus Gurdwara Dharma Kalsa, Cileduk. Kota Tangerang; (c) Balwant Singh, pengurus Gurdwara Guru Nanak Sikh Tempel, Ciputat, Kota Tangerang Selatan; (d) Karnel Singh Rhandawa/Pak Tony, anggota Gurdwara Guru Nanak Sikh Tempel, Ciputat, Kota Tangerang Selatan; dan (e) Manohar Singh, pengurus Gurdwara Dharma Kalsa, Cileduk. Kota Tangerang}, serta Gusti Made Mudana (Pembimas Agama Hindu, Kanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan observasi dilakukan oleh peneliti dengan mengikuti peribadatan di Gurdwara. Pengumpulan data dan informasi ke lokasi penelitian dilakukan pada tanggal 14 s.d 25 Mei 2014.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan umat beragama penting dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dimana penganut agama Hindu di DKI Jakarta jumlahnya sangat sedikit, dimana umat Agama Sikh selama ini termasuk dalam pembinaan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu. Studi ini menfokuskan pada agama Sikh, yang menjadi pembinaan Ditjen Bimas Hindu. Ada berbagai aliran/sekte di dalam agama Hindu dan umatnya di sekitar Jakarta diantaranya adalah sebagai berikut: 32
Eksistensi Agama Sikh...
1. Pemeluk agama Hindu Bali di Jakarta berjumlah 4.623 orang yang berdomisili: Jakarta Utara 741 orang, Jakarta Pusat 269 orang, Jakarta Timur 1.755 orang dan Jakarta Selatan 1.401 orang, serta Jakarta Barat 357 orang. Masing-masing terbagi menjadi tempek (rukun tetangga) dan banjar (rukun warga). 2. Berbagai rumah ibadat agama Hindu di sekitar Jakarta adalah: a. Pura/Hindu Bali memiliki 13 pura. b. Gurdwara 4 buah: Pasar Baru, Tanjung Priok, Ciputat, dan Ciledug. c. Mandir/Hindu Sindhi 3 buah: (1) Siwa Mandir Tempel, Jl. Pluit Barat Raya 46, Penjaringan, Muara Karang, Jakarta Utara. Telp. 6616617; (2) Dewi Mandhir Tempel, Jl. Angkasa I/29 Kemayoran, Jakarta Pusat; (3) Shanti Mandir Tempel, Jl. Pecenongan, Jakarta Pusat. d. Masih ada lagi 13 rumah ibadat dalam agama Hindu diluar Pura diantaranya adalah: (1) Cikung Bio di Jl. Mazda 53, RT.13/RW.09, Penjaringan Jakarta Utara (Sahroni/Kie Po Seng, Telp. 6611901, HP. 08121075628 dan Ruslan HP. 08158971797); (2) Kuil Sri Anandpur Darbar/Kuil Sadhu Vaswani Centre, Jl. Danau Indah Blok E3 No. 17 Jakarta Utara;(3) Jai Kali Maa Mandhir Jl. Agung Barat 13 Blok B35, Sunter Podomoro, Telp. 65307017; (4) Ganeshya Pooja, Jl. Kran I No. 8 Kemayoran Jakarta Pusat, Telp. 4241795. Sejarah Perkembangan Agama Sikh Imigran asal India telah berhubungan dengan bumi nusantara sejak awal tahun Masehi. Melalui orang-orang India oleh orang elit lokal Indonesia, maka berkembang agama Hindu dan dan Buddha di Indonesia. Dua bentuk kerajaan yang kental pengaruh India adalah Sriwijaya dan Majapahit. Sehingga penulis A. Mani menganggap bahwa orang Asia Selatan khususnya Tamil, telah berimigrasi ke Indonesia, sekurangnya sejak pendudukan Belanda atas Indonesia. Orang India dari hasil studi yang dilakukan pada tahun 1977, tersebar hampir diseluruh provinsi di Indonesia yang paling banyak di Sumatera Utara 2.799 orang yang mayoritas berasal dari suku Tamil dan kelompok http:// Sikh (Diringkas dari jendelaperistiwa.blogspot.com/2013/01/sejarahorang-india-di-indonesia-dari.html) [diunduh 4 Juni 2014 pada pukul 11.58WIB].
Orang India yang tinggal di Jakarta (berasal dari komunitas Sindhi dan Sikh) sebanyak 928 orang (jumlah mempresentasikan orang India yang mengaku berkewarganegaraan India). Namun pada tahun 1978 pemerintah memberi kesempatan kepada seluruh WNA untuk menjadi WNI, tanpa biaya dan tidak perlu naturalisasi, sehingga warga keturunan yang sudah turuntemurun di Indonesia menjadi WNI. Menurut A. Mani jumlah etnis India di Indonesia berdasarkan sensus tahun 2000, menyebutkan jumlahnya 34.685 jiwa, sekitar 22.047 (64%) tinggal di Sumut, sementara di Jakarta 3.632 (11%) saja. Mani melanjutkan aktivitas ekonomi India banyak dibidang ekonomi, kelompok Sindhi distereotipkan sebagai pembisnis tekstil, dan orang Sikh bisnis peralatan olah raga. Selanjutnya Mani juga menyampaikan bahwa kelompok Sikh di Jakarta banyak berasal dari Medan, rata-rata pekerja wirausaha/pekerjaan sendiri dan menguasai bahasa Inggris. Secara sosial interaksi kelompok Sindhi dan Sikh di Jakarta berpusat di Gurdwara Sikh Pasar Baru, dimana kelompok Sindhi di Jakarta jumlahnya lebih banyak, namun lebih berpatron pada Gurdwara Sikh Pasar Baru yang di kendalikan kelompok Sikh. Menurut Mani sebelum kedatangan kalangan Sikh dari Medan sudah terdapat 2 gurdwara di Jakarta, yaitu yang tertua di Tanjung Priok dan Pasar Baru. Pada perkembanganya Balwant Singh mendonasikan tanahnya guna membangun gurdwara di kawasan Ciputat, serta Santok Singh dan Major Kumar mendirikan gurdwara di daerah Ciledug, Kota Tangerang, yang saling berkompetisi http:// (Diringkas dari jendelaperistiwa.blogspot.com/2013/01/sejarahorang-india-di-indonesia-dari.html) [diunduh 4 Juni 2014 pada pukul 11.58WIB]. Penganut Sikh di Indonesia merupakan keturunan India, dimana 98% sudah kelahiran Indonesia. Sejak dahulu banyak warga Sikh, keturunan Punjabi yang berprofesi sebagian besar sebagai pedagang tinggal di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Karena kebutuhan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya dalam memeluk agama Sikh, maka pertama kali mendirikan rumah ibadat dan diresmikan penggunaanya pada tahun 1925 berada di Jl. Jepara 4 Tanjung Priok.
Organisasi/Majelis Agama Sikh Gurdwara/tempat ibadah agama Sikh di Jabodetabek terdapat 4 buah, yaitu: a. Guru Nanak Sikh Tempel, Jl. Melur IV/8, Kelurahan Rawa Badak, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Telp. 4304045, 43913927. Pertama kali mendirikan rumah ibadat dan diresmikan penggunaanya pada tahun 1925 berada di Jl. Jepara 4 Tanjung Priok di mana para pendiri sebanyak 38 orang terdapat dalam prasasti. Pada tahun 1997 oleh pemerintah lokasi gurdwara Jl. Jepara 4 Tanjung Priok digunakan untuk pengembangan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga pada tahun 1998 direlokasi pindah ke Jl. Melur IV/ 8 Tanjung Priok, Jakarta Utara, dengan nama “Guru Nanak Sikh Tempel”. Luas bangunan 1.500m 2 dan luas tanah 2.000m 2. Relokasi pemindahan rumah ibadat mendapat penghormatan penggunaannya diresmikan oleh Menteri Agama RI, Prof. Drs. H. A. Malik Fadjar, M.Sc pada taggal 14 April 1999. b. Sikh Gurdwara Mission, Jl. Pasar Baru Timur No. 10, Jakarta Pusat. Telp. 3457550. c. Gurdwara Guru Nanak Sikh Tempel, Jl. Merpati 103, RT/RW 02/03 Kel. Kampung Sawah, Ciputat Kota Tangerang Selatan. Telp. 74634688. Gurdwara Yayasan Sosial Guru Nanak sebelumnya beraktivitas di Jl. Johari No. 2 Tanah Kusir, Jakarta Selatan, dekat dengan rumah almarhum Nurcholis Madjid yang mana beliau menyetujui, tetapi lingkungan tidak memberi izin. Karena tidak mendapat izin warga lingkungan, penganut Sikh pada tahun 1992 menghadap Walikota Jakarta Selatan, keputusannya memberi peringatan supaya kegiatan di Jl. Johari No. 2 dalam waktu 2x24 jam harus ditutup. Balwant Sing pada tahun 1993 membeli tanah di Kampung Sawah seluas 6.000m2, dimana saat ini luas bangunan rumah ibadat dan untuk kegiatan sekolah minggu seluas 2.000m2. d. Gurdwara Dharma Khalsa, Jl. Wanamulya 29 RT.01/RW.03, Kel. Karang Mulya, Cileduk, Kota Tangerang. Telp 28883099;
[email protected]. Gurdwara Dharma Khalsa luas tanah 2.000m2 dan luas bangunan 600m2. Pada awal mulanya 21 Juli 2005 bangunan induk berupa
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
33
wisma, dan sejak tahun 2005 wisma tersebut mulai digunakan untuk kegiatan ibadah. Namun pada waktu dilakukan penelitian lapangan bulan Mei 2014 sedang bermasalah setelah ada penolakan dari warga masyarakat yang menuntut penutupan gurdwara. Hal ini bersamaan dengan pengajuan Izin Pendirian Bangunan (IMB) Rumah Ibadat diajukan pengurus ke Kankemenag dan FKUB Kota Tangerang pada 19 Desember 2013. Persyaratan IMB menurut pengurus sebenarnya sudah dipenuhi seluruhnya (akte tanah, persyaratan persetujuan warga lingkungan sesuai PBM Tahun 2006 dimana masa berlaku KTP dianggap mati, NPWP, persyaratan perizinan yayasan dari Kementerian Hukum dan HAM, rekomendasi dari PHDI, nomer rekening yayasan, dan struktur kepengurusan). Umat Sikh di Indonesia pada dasarnya belum mempunyai wadah/organisasi secara resmi untuk menaungi umat Sikh yang ada di seluruh Indonesia. Saat ini yang ada adalah pengurus Sikh Naojawan Sabha Indonesia (SNSI), dimana masingmasing gurdwara membentuk pegurus SNSI. Tugas pengurus SNSI antara lain adalah: mengadakan pembinaan muda-mudi Sikh, memberdayakan Punjabi School di seluruh gurdwara, aksi sosial dan mengadakan pertemuan “samolau” seluruh umat Sikh.Masa kerja giani/pendeta yang menjadi pengurus SNSI seperti pengalaman Giani Dalwindar Singh di Tanjung Priok tidak dibatasi selama masih menjalankan tugas. Untuk kepengurusan dalam mengelola gurdwara dibentuk yayasan yang melibatkan para sesepuh/pendiri pada masingmasing gurdwara. Gurdwara juga digunakan kegiatan ibadah oleh umat Hindu yang berasal dari Kota Shindi, India tempat kelahiran Guru Nanak (sekarang menjadi provinsi bagian dari Negara Pakistan) yang disebut Shindi Family dan beragama Hindu, namun mengakui ajaran yang dibawa oleh Guru Nanak. Umat Hindu itu mengakui kebenaran ajaran Guru Nanak dan ikut datang beribadah ke gurdwara. Demikian juga masing-masing gurdwara menyelenggarakan sekolah minggu untuk murid sekolah dan mahasiswa bersamaan kegiatan beribadah bagi seluruh umat Sikh. Pokok-pokok Ajaran Agama Sikh Umat Sikh menyakini bahwa Tuhan itu esa/ satu, maha besar, pengasih, pemurah, 34
Eksistensi Agama Sikh...
penyayang, tidak berbentuk namun bisa dirasakan dari karunia dan ciptaanya. Dalam tradisi Sikh Guru mengandung arti penerang (englightener). Guru (bahasa Sansekerta) yang artinya seseorang yang membimbing dari kegelapan menjadi terang (dari yang ngak tahu menjadi tahu). Sikh artinya murid-murid dari guru yang belajar untuk bisa menjadi manusia yang baik yang diinginkan Tuhan. Ajaran agama Sikh yang sederhana menjadikan tidak banyak syarat/proses untuk masuk menjadi penganutnya, hanya dengan membaca mulmantar (mantra-mantra), serta meninggalkan perbuatan yang dilarang seperti merokok dan minuman keras. Ada 10 guru dalam agama Sikh, yaitu: (1) Guru Nanak, yang menurut keyakinan tidak wafat tetapi seperti kembali kepada Tuhan, kalau wafat tidak ada jejak dikubur atau dibakar. Guru Nanak berubah wujud menjadi guru-guru berikutnya, rohnya berganti badan atau reinkarnasi; (2) Guru Anggad Dev Ji; (3) Guru Amerdas; (4) Guru Ramdas; (5) Guru Arjun Ji (anak ke-3 dari Guru Ramdas); (6) Guru Hargoben (anak tunggal dari Guru Arjun); (7) Guru Hararay (anak ke-3 dari Guru Hargoben); (8) Guru Harkrisan (anak Guru Hararay); (9) Guru Tigh Bahadur (anak Guru Hargoben); dan (10) Guru Gobind Singh (anak Guru Tigh Bahadur), yang mentahbiskan/menetapkan, bahwa yang menjadi guru setelah kematiannya adalah kitab suci; serta (11) Berbentuk kitab suci disebut “Sri Guru Granth Sahib”dalam bahasa/ huruf Guru Mukhi (Sansekerta, Farsi, Punjabi, Indi, Urdu, dll). Prinsip utama tulisan para Guru adalah Keesaan Tuhan, sumber aslinya adalah hymne-hymne Guru Nanak. Granth Sahib memberikan ajaran tentang bagaimana memperoleh kebahagiaan abadi dan perpaduan kekal dengan Sang Pencipta. Kitab Suci Sri Guru Granth Sahib berjumlah 1.430 halaman merupakan guru hidup, dan menjadi starting point dalam berkeyakinan bagi penganut agama Sikh, merupakan 1 buku yang pertama dan terakhir. Kitab Suci menggunakan bahasa Guru Mukhi, dimana umat Sikh di Indonesia sulit untuk memahami bahasanya. Disebutkan dalam kitab suci tersebut, bahwa Guru Nanak mensabdakan bahwa God Is One-Ek Onkar (Tuhan adalah Esa/Satu). Dalam kitab suci disebutkan bahwa Tuhan hanya satu dan Tuhan
tidak berwujud (seperti angin tidak berwujud tetapi ada). Kitab Suci terdiri dari 31 raag (bagian), yang cara membacanya harus dinyanyikan/ dilantunkan sesuai dengan waktu, misalkan ada judul-judul lagu yang hanya dinyayikan pada waktu pagi hari saja. Ajaran guru ke-5 (Guru Arjun Ji) ada ayat yang menyebutkan,”semua adalah sahabat saya dan saya tidak bermusuhan dengan siapapun”, juga dikatakan bahwa,”saya bukan baik tapi tidak ada yang buruk”. Mantra awal dari kitab suci adalah: a. Ek Onkar, Tuhan adalah esa/satu; b. Satnaam, namanya benar; c. Karta Park, pencipta segalanya; d. Nirpour, tidak mengenal rasa takut/tanpa rasa takut; e. Nirwair, tanpa musuh; f. Akal murad, tidak lahir maupun wafat; g. Ajuni Saephan, tidak terjadi dengan sendirinya; h. Gur Phersad, dapat dipahami melalui rahmat (guru). Menurut buku saku,”Mengapa Saya Seorang (Penganut) Sikh (Why Am I A Sikh)”, bahwa ada beberapa hal yang menjadi dasar kehidupan seorang Sikh mencakup beberapa larangan keras (banjar kurait) yang ditetapkan Guru Ji, yaitu: a. Kaisa dhi Be adhbee (gunting rambut); b. Kootha khana (menyantap daging sembelihan dengan bacaan doa agama lain); c. Sura, Bhang, Tembako dhi warto (alkohol, narkoba, dan tembakau); d. Pan Istri Sang (berzina). Juga diwajibkan lima hal dikenakan (dimiliki) seorang Sikh, ada 5 hal sebagai pagar pelindung seorang Sikh, yaitu: a. Kes (rambut); b. Kangga (sisir besi murni menjaga kerapihan rambut); c. Karha (stainless/gelang besi murni-bukan baja); d. Kirpan (pedang kecil, juga sarb loh-besi murni); e. Kashairaa (penutup aurat). Namun demikian dalam perkembangan waktu tidak seluruh umat Sikh mampu untuk memenuhi kewajibannya, maka sangat tergantung dengan kemampuan masing-masing umat. Setiap orang laki-laki yang masuk ke gurdwara harus menggunakan tutup kepala/ sorban/kashairaa. Dimana umat Sikh tidak ada
kewajiban untuk melaksanakan puasa. Daswan/ derma umat Sikh sebesar 10% dari penghasilan/ pendapatan bersih dihitung dalam 1 tahun, yang diperuntukkan bagi orang miskin, panti asuhan dan rumah ibadat/gurdwara. Juga diperbolehkan menikah lebih dari 1 isteri jika isteri meninggal atau sakit menahun.Pembabtisan dan pemberian nama baru (nan karan amret) diberi nama dengan mengambil huruf pertama dari kitab yang dibuka di halaman tengah sebelah kiri paling atas, misalkan huruf pertama K (Kalwant, Kudip, Kiren), kalau huruf pertama M (Mandjit, Manpreet). Dalam agama Sikh tidak ada ajaran untuk menyiarkan agama kepada orang selain pemeluk Sikh. Tidak ada metode untuk menarik/dakwah dalam penyebaran agama, para penganut biasanya berasal keturunan India dan adanya perkawinan. Namun demikian karena dalam waktu yang lama masuknya orang Sikh ke Indonesia, sudah terjadi akulturasi dan beberapa orang juga terjadi perkawinan campuran dengan penduduk asli Indonesia. Giani diperbolehkan memberikan pencerahan atau tuntunan kerohanian kepada internal umat Sikh, pelayanan kepada umatnya dalam berbagai bentuk kunjungan/pelayanan keluarga untuk memberikan bimbingan doa terutama dalam upacara daur hidup manusia diantaranya: a. Anggota keluarga mengalami sakit, maka memerlukan bimbingan doa; b. Kelahiran, dibacakan sabda-sabda 8 halaman pertama dari kitab suci. Selanjutnya diberi air (amrid pani), berupa air gula yang diminumkan ke bayi sedikit-sedikit dan diambilkan sabda untuk memberikan nama; c. Pindah rumah/menempati rumah baru, ceramah dan doa; d. Pernikahan, dirumah yang punya hajat dengan disaksikan sanak keluarga, dengan dibacakan 4 sabda guru dalam kitab suci (anade karec). Prosesi pernikahan dilaksanakan di gurdwara; e. Kematian, dibacakan doa diberi kain kafan, dan pada hari itu atau paling lambat hari ke 2 sudah harus dikremasi di Jabodetabek adalah di daerah Cilincing. Keyakinan terkait hari akhir (bukan surga dan neraka), tetapi yang dipercayai adalah adanya reinkarnasi yang berbuat baik nanti akan mendapatkan
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
35
imbalan. Upacara Keagamaan Pertama, Harian, dalam bentuk kegiatan dilaksanakan setiap hari di gurdwar. Ibadah pagi pukul 05.00WIB (buka kitab) dan ibadah malam pukul 19.00WIB (tutup kitab). Namun bagi yang tidak mampu banyak yang melaksanakan ibadah di rumah masing-masing. Kedua, Mingguan, dilaksanakan setiap hari Minggu antara pukul 08.00-10.00 WIB, dan kalau ada keluarga yang mempuyai hajat bisa sampai pukul12.00 WIB. Ibadah mingguan lainnya masing-masing gurdwara melaksanakan ibadah berjamaah misalnya di Tanjung Priok setiap hari Kamis malam. Ketiga, Bulanan dan tahunan, di gurdwara hampir setiap bulan ada 1 kali (sangran) pada bulan purnama sembahyang dilaksanakan pada pagi hari, demikian juga pada perhitungan setiap bulan antara tanggal 13-17 ada perayaan agama. Juga untuk memperingati ulang tahun gurdwara atau hari kelahiran atau kematian dari 10 guru Sikh. Dari 10 guru agama Sikh, guru ke-5 dan ke-9 diperingati sebagai hari pengorbanan, dan yang lainnya masing-masing diperingati pada hari kelahirannya. Keempat, Hari raya keagamaan, diantaranya ada 3 yaitu: (1) pada tanggal 12, 13 dan 14 April memperingati upacara hari jadi/ulang tahun/ panen raya (Vaisakhi) yang puncaknya pada tanggal 14 April dilakukan doa, menyanyikan lagu-lagu pujian dan ceramah kehidupan; (2) pada bulan November setiap tahun pada tanggal yang tidak tetap dilakukan peringatan kelahiran guru pertama (gurpurb); dan (3) setiap 1 September memperingati kitab Sri Guru Granth Sahib. Aktivitas Keagamaan Pengguna Gurdwara Tanjung Priok khususnya umat Sikh yang tinggal di sekitar Tanjung Priok sebanyak 10 KK, dimana jamaah lain berasal dari daerah Sunter, Kelapa Gading, Kemayoran, dan Cempaka Putih. Jamaahnya pada hari Minggu rata-rata sebanyak 100-200 orang tergantung yang mengundang (keluarga yang punya hajat), dan juga penyelenggaraan sekolah Minggu. Pada hari Kamis, 22 Mei 2014 bersamaan peneliti wawancara kegiatan ibadah yang berlangsung pukul 19.00 s.d 20.15 WIB, diikuti oleh 18 jamaah (laki-laki=10, perempuan 36
Eksistensi Agama Sikh...
4, dan 2 giani/pendeta). Untuk dapat menjalankan aktivitasnya umat Sikh yang sudah lebih 500 tahun di Indonesia, antara lain adalah: mempunyai wadah/tempat (gurdwara) untuk berkumpul; mempunyai rasa tanggungjawab untuk meneruskan ajaran para guru; dan bisa beradaptasi berbaur dengan masyarakat menikah dan berketurunan; serta tidak pernah menarik penganut agama lain untuk mengikuti ajaran agama Sikh. Disamping itu negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana warganya harus beragama dapat saling menghormati dengan agama lain. Interaksi dan Relasi Sosial Pengalaman hidup umat Sikh dengan masyarakat pada umumnya sangat bervariasi mulai bertetangga/bermasyarakat, sekolah dan bekerja, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Manjid Singh, 62 tahun, menjadi pemain Hoki nasional pada tahun 1970’an, dan pernah menjadi pelatih lari jarak jauh dan atletik di Medan. Pindah dari Medan ke Jakarta pada tahun 1987 pada awalnya menjadi guru bahasa Inggris di Jakarta Barat dan sekarang mendirikan kursus bahasa Inggris sendiri, dimana muridnya berasal dari semua penganut agama dari lingkungan tetangga. 2. Karnel Singh Rhandawa, 46 tahun, pernah menjadi pengurus Guru Nanak Sikh Tempel, Jl. Merpati 103, Kel. Kampung Sawah, Ciputat Kota Tangerang Selatan, selama 6 tahun. Mengenyam pendidikan di sekolah SD, SMP, dan SMA di Kab. Sekolah Persatuan Amal Bhakti, Yayasan Islam, Deli Serdang. Pengalaman bersekolah di sekolah Islam wajib mengikuti pelajaran agama Islam, namun tidak mengikuti praktek. Teman yang beragama lain pada waktu SD sebanyak 1 murid (Hindu), SMP sebanyak 3 murid (Hindu), dan SMA sebanyak 10 murid (Hindu dan Kristen). Tahun 1988, mulai mencari kehidupan di Jakarta dengan membuka kursus bahasa Inggris untuk murid SD, SMP dan SMA di daerah Cengkareng. Beristerikan keturunan Bapak India (kelahiran Loksumawe tahun 1908) dan Ibu Batak Karo. Karmel mempunyai 2 anak puteri, pada waktu sekolah TK, SMP dan SMA sekolah di Yayasan Katolik Seravin, dan SMA di Bintang Kejora, mengambil mata pelajaran/nilai pelajaran
agama di sekolah Minggu agama Sikh di gurdwara. Hubungan antara pengurus gurdwara”Guru Nanak Sikh Tempel” Tanjung Priok dengan tokoh agama/masyarakat dapat terjalin dengan baik, walaupun penganut Sikh yang tinggal di lingkungan gurdwara hanya 1 keluarga. Lingkungan gurdwara di Jl. Melur IV/8 Tanjung Priok masyarakat multikultur kurang dari 100m dari gurdwara berdiri Gereja Masehi Injili Sangihe Talaut, Jl. Melur IV/5 Tajung Priok, Jakarta Utara dan Masjid Jami’ Ar-Rohman, Jl. Seroja 42, Rawa Badak, Koja, Jakarta Utara. Karyawan gurdwara”Guru Nanak Sikh Tempel”, sebanyak 7 orang semuanya muslim, terdiri dari 5 orang petugas kebersihan (berasal dari Banjarnegara bekerja sejak tahun 2001) dan 2 orang juru masak berasal dari Jakarta. Peraturan di lingkungan gurdwara bahwa semua yang memasukinya wajib menggunakan tutup kepala termasuk para petugas kebersihan dan dilarang (merokok, minuman keras, membawa hewan, makanan dari binatang/hewan). Menurut I Gusti Made Muranda (Pembimas Hindu Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta), untuk melakukan pembinaan ke sekte agama Hindu yang berasal dari India banyak menemui kesulitan, karena masing-masing Dewa (Anoman, Sugriwa, Rama) cara pemujaannya berbeda. Pembimas memberikan pelayanan/ menghadiri acara keagamaan (perkawinan, hari besar keagamaan, ulang tahun gurdwara/kuil/ mandhir). Demikian juga pengurus gurdwara datang ke Kanwil Kementerian Agama, biasanya terkait soal perizinan (yayasan, undangan pencatatan perkawinan, surat-surat izin giani asal India). Pelayanan yang diberikan Pembimas Hindu antara lain adalah menjadi saksi dalam pengambilan sumpah WNA India yang mengajukan menjadi WNI. Pelayanan Hak-hak Sipil Sebagai Warga Negara Menurut Balwant Singh pemerintah Indonesia dalam kebijakan terkait dengan pelayanan keagamaan tidak bertindak diskriminatif, umat Sikh mempunyai kebebasan beribadah, berbicara dan berdemokrasi. Umat Sikh tetap dibantu/difasilitasi oleh PHDI maupun Dirjen Bimas Hindu, dan aparat Kementerian Agama RI. Bahwa umat Sikh sebagian besar
sebagai pedagang (bisnis) kurang memahami peraturan, juga kurang memahami terkait hubungannya dengan pemerintah. Misalkan untuk penyediaan Giani/Pendeta yang harus didatangkan dari India harus mengurus perizinan ke Dirjen Bimas Hindu, Kanwil Kemenag Banten dan Kankemenag Tangerang Selatan semua bisa berjalan lancar tidak ada kesulitan. Masyarakat lingkungan di Kampung Sawah, Kec. Ciputat tidak pernah mempersulit, terkait keberadaan gurdwara. Pendidikan untuk murid-murid yang sedang sekolah di SD, SMP, dan SMA terkait dengan mata pelajaran agama tidak ada masalah nilainya akan diperoleh dari rumah ibadat/gurdwara (pada bimbingan sekolah Minggu). Demikian juga yang sedang menempuh kuliah, biasanya masing-masing kampus mempunyai kebijakan untuk mata kuliah agama, khususnya agama minoritas. Menurut Manohar, terkait dengan kehidupan berbangsa da bernegara warga keturunan India di Indonesia melalui beberapa situasi politik yang terus berubah. Misalkan pada masa Orla tahun 1960an pernah warga keturunan tidak diperbolehkan untuk berdagang maka seluruh uang yang dimiliki dikirimkan ke India. Pada masa Orba tahun 1978 seluruh WNA diberi kesempatan untuk menjadi WNI tanpa naturalisasi, semua gratis tanpa biaya. Dimana kakek-neneknya dulu karena situasi perang etnis dan penjajahan di India pada akhir tahun 1.800an, maka banyak warga India yang eksodus keluar dari negaranya dengan menggunakan kapal yang pada awalya sampai Indonesia berlabuh di daerah Aceh dan menyebar ke Sumut. Pada tahun 1930 berdiri sekolah warga Sikh di Medan dengan nama Kalsa English School dan pada tahun 1932 sudah mendapatkan akreditasi dari Cambrige University. Kalsa English School pada tahun 1952 dikunjungi oleh PM Jawahal Nehru dan tahun 1969 dikunjungi oleh PM Indira Gandi.
C. PENUTUP Kesimpulan 1. Kehadiran penganut agama Sikh yang berasal dari Amritsar, Punjab, India, (sekarang masuk wilayah Pakistan) masuk ke Indonesia melewati Aceh, Sumut dan Jakarta dari berbagai sumber tertulis sulit ditemukan.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
37
Bukti yang ditemukan di Jakarta adalah berdirinya gurdwara/rumah ibadat berada di Jl. Jepara 4 Tanjung Priok Jakarta (sekarang menjadi Terminal Peti Kemas) yang diresmikan penggunaanya pada tahun 1925. 2. Pokok ajaran agama Sikh setelah 10 gurunya wafat adalah berupa kitab suci disebut “Sri Guru Granth Sahib” yang ditulis dalam bahasa/ huruf Guru Mukhi. Prinsip utama tulisan para guru adalah Keesaan Tuhan. Guru Nanak mengsabdakan bahwa God Is One-Ek Onkar- Tuhan adalah Esa/Satu). Kitab Suci terdiri dari 31 raag (bagian), yang terdiri dari 1.430 halaman merupakan guru hidup. Granth Sahib memberikan ajaran tentang bagaimana memperoleh kebahagiaan abadi dan perpaduan kekal dengan Sang Pencipta. 3. Pemeluk agama Sikh di Indonesia walaupun pemeluknya sangat sedikit turut berkiprah dalam masyarakat multikultur dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Jumlah penganutnya tersebar di Jabodetabek kurang lebih 1.000 orang, dimana tidak ada sumber data yang pasti. Di Jabodetabek terdapat 4 gurdwara yang antar pengurus dan jamaahnya terjalin komunikasi dan kerjasama, sehingga dalam kegiatan salah satu gurdwara maka semua umat terkonsentrasi beribadah di gurdwara tersebut. Seluruh jamaah setiap selesai melakukan ibadat diakhiri dengan makan bersama (guru ka langgar), dengan menu-menu vegetarian. Terkait dengan penyiaran agama hampir tidak ada tujuan untuk menambah jumlah umat kenyataan yang ada hampir semua penganut agama Sikh berasal dari keturunan India. Namun sebagian sudah terakulturasi dan beberapa sudah terjadi perkawinan campuran dengan penduduk asli Indonesia. 4. Pelayanan terhadap penganut agama Sikh sampai saat ini masih menjadi tugas Ditjen Bimas Hindu, Kementerian Agama RI, sebagai minoritas umat Sikh pada umumnya dapat di terima oleh masyarakat. Dimana sebagai minoritas umat Sikh sampai saat ini merasa pemerintah sudah melayani hak-hak sipilnya dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sementara proses perizinan IMB rumah ibadat Gurdwara Dharma Khalsa, Jl. Wanamulya 29 RT 01/RW 03, Kel. Karang Mulya, Cileduk, 38
Eksistensi Agama Sikh...
Kota Tangerang sedang diajukan pada 19 Desember 2013, warga masyarakat memprotes menuntut adanya penutupan gurdwara. Pengalaman dari beberapa penganut agama Sikh selama ini bisa bermasyarakat, sekolah, bekerja/berdagang, berprofesi/berprestasi serta beribadah dengan tidak ada rintangan/ masalah yang berarti. Pada tahun 1980’an di Medan pernah KTP dalam kolom agama boleh diisi dengan agama Sikh, namun saat ini seluruh penganut Sikh di KTP masuk kolom agama Hindu. 5. Pemeluk agama Sikh belum mempunyai wadah/organisasi yang menaungi seluruh umat di Indonesia. Saat ini yang ada adalah pengurus Sikh Naojawan Sabha Indonesia (SNSI), dimana masing-masing gurdwara membentuk pengurus SNSI. Rekomendasi 1. Pemeluk agama Sikh yang ajarannya dibawa dari leluhurnya di Punjab bisa hidup berdampingan di masyarakat, namun demikian pemerintah wajib melindungi hakhak sipil pemeluk agama Sikh yang umatnya minoritas. Untuk mengetahui sejarah masuknya agama Sikh ke Indonesia, maka perlu adanya penelitian sejarah yang lebih mendalam.Umat Sikh di Indonesia harus ada yang memulai menulis sejarah dengan menelusuri silsilah keturunan masing-masing keluarga, dan juga menulis dalam bentuk buku/kitab dalam bahasa Indonesia terkait dengan ajaran dan peribadatan agama Sikh. 2. Pemeluk agama Sikh perlu membentuk wadah/organisasi yang menaungi seluruh umat Sikh di Indonesia, dengan beberapa tahapan antara lain dengan para tokoh bertemu dan bermusyawarah, sehingga dapat menampung dan menyalurkan aspirasi penganutnya. Walaupun saat dilakukan penelitian masing-masing gurdwara sudah terbentuk Sikh Naojawan Sabha Indonesia (SNSI)namun belum berfungsi, dan dibutuhkan pembentukan organisasi kepengurusan/kepemimpinan secara nasional. 3. Untuk menghindari sifat yang eksklusif baik pengurus yayasan/gurdwara maupun giani/ pendeta, harus terus berupaya menggunakan kesempatan berinteraksi/berdialog secara lebih
luas dengan pemuka agama dan pemeluk agama lain termasuk dengan pemerintah (khususnya dengan Pembimas Agama Hindu Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta). Dengan demikian kerukunan umat beragama secara internal Sikh maupun secara eksternal dengan para pemeluk agama lain dapat terealisasi. Menyangkut pengajuan izin IMB pendirian rumah ibadat Gurdwara Dharma Khalsa, harus dimusyawarahkan oleh internal umat Sikh untuk mencari solusinya. Dalam memberi rekomendasi tertulis IMB pendirian rumah ibadat yang sudah
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung FKUB dan Kankemenag Kota Tangerang harus berpedoman pada PBM Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.[]
D A F TA R P U S TA K A
Afif, HM.Kehidupan Umat Hindu di Jakarta (Studi Tentang Persepsi Umat Hindu Terhadap Kekerasan). Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta, 2006. Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Budiman, Hikmat. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: Interseksi Foundation, 2005. Budiman, Hikmat (ed). Hak Minoritas: Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme. Jakarta: Interseksi Foundation, 2010. Hakim Choor Singh, Agama Sikh,- Brosur. http://jendelaperistiwa.blogspot.com/2013/01/ sejarah-orang-india-di-indonesia- dari.html (diunduh 4 Juni 2014 pada pukul 11.58WIB)
Jakarta: Interseksi Foundation, 2007. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Jakarta. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama. Edisi Kesebelas, 2012. Parekh, Bikhu. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. London: Macmillan, 2000. Rumadi dkk. Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Jakarta: the WAHID Institute, 2009. Saidi, Anas (Ed.), Abdul Aziz dkk. Menekuk Agama, Membangun Tahta (Kebijakan Agama Orde Baru), Cet. 1. Jakarta: Desantara, 2004. Suaedy, Ahmad dkk. Politisasi Agama dan Konflik
Mas’ud, Abdurrahman. “Menyikapi Keberadaan Aliran Sempalan”. Dalam Dialog Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, No 32, 2009. Noorsalim, Mashudi, M. Nurkhoiron, Ridwan alMakassary (ed). Hak Minoritas, Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
39
40
Eksistensi Agama Sikh...
TOPIK MODAL SOSIAL PELAKU DALAIL KHAIRAT
A B D U L J A L I L*
ABSTRAK Kajian ini membahas tentang Modal Sosial para pelaku Dala’il Khairat di pesantren Darul Falah K.H Ahmad Basyir Kudus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seperti apa modal sosial yang dimiliki pengamal Dala’il Khairat untuk meraih kesuksesan di bidang ekonomi. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus. Selain itu juga para pengamal di luar pesantren yang umumnya sudah berumah tangga dan mengembangkan usaha bisnisnya, baik di Jawa Tengah, Yogyakarta, maupun Kuningan Jawa Barat. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Sumber data dikumpulkan dari informan yang meliputi mujiz Dala’il Khairat, para pengurus pesantren, para santri, tokoh masyarakat, dan para alumni pengamal dala’il khairat. Kajian mengenai aktivitas ekonomi para pengamal Dala’il Khairat menunjukkan bahwa Modal Sosial yang dimiliki para pengamal seperti adanya jaringan sosial sebelum dan setelah mengamalkan, adanya kerjasama dalam melakukan usaha, serta yang terpenting adalah kepercayaan atau trust mampu mendorong kesuksesan dalam melakukan usaha atau bisnis, usaha-usaha dalam mencapai kesuksesan ekonomi melalui pengembangan potensi masing-masing pengamal. Modal Sosial para pengamal Dala’il Kahirat telah menjadi faktor penyebab berkembangya komersialisasi di kalangan para pengamal yang memiliki usaha dan telah membantu proses pencapaian keberhasilan dibidang ekonomi.
KATA
KUNCI:
Modal Sosial, Dala’il Khairat, Aktivitas ekonomi, dan Pengamal.
A BSTRACT This study discusses the Social Capital of Dala’il Khairat actors at school Darul Falah school by Kiai Ahmad Bashir Kudus. This study aims to determine how donators’ social capital of Dala’il Khairat defined success in economic field. The donators are the alumni who live outside the pesantren and develop business ventures in some areas such as: Central Java, Yogyakarta, and Kuningan, West Java. By applying qualitative research this study was conducted in Pesantren Darul Falah Jekulo, Kudus, Central Java. Data were collected through participatory observation, interview, and documentation. The informants include mujiz Dala’il Khairat, school administrates, the students, community leaders, and alumni donators of Dala’il Khairat. It finds out that donators’ social capitals, such as the existence of social networks before and after donation, their business cooperation, and the trust, encouraged the pesantren economic success donators’ potential development. These social capitals have become a determining factor of developing commercialization among the donators who run their business and at the same time have helped the success in the economic field of the pesantren.
KEY WORDS: Social Capital, Dala’il Khairat, Economic Activity, and Performer. * Universitas Halu Oleo Kendari, Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonahu Kendari Sulawesi Tenggara Fax (0401) 390006, Telp. (0401) 394061,
[email protected] **Naskah diterima Januari 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
41
A. PENDAHULUAN Dalâ’il Khairât merupakan antologi rumusanrumusan salawat nabi yang diamalkan dalam praktek keseharian beragama. Dalâ’il ini berasal dari buku yang disusun oleh Syaikh Sulaiman al-Jazuli dari Maroko. Kehadiran Dalâ’il ini dapat dijumpai pada beberapa pesantren, seperti: Pesantren “PETA” di daerah Tulungagung, Jawa Timur; Pesantren “API” di Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah; dan Pesantren “FUTUHIYAH” di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Termasuk di Pesantren Darul Falah Kudus Jawa Tengah. Dalam penelitian ini, Dalâ’il Khairât yang dimaksud dibatasi pada Dalâ’il Khairât yang telah disusun kembali oleh Ahmad Basyir, selaku mujiz atau pemberi ijazah dan sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren Darul Falah di daerah Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang diberikan kepada para santri atau masyarakat yang menginginkan amalan Dalâ’il Khairât. Pembacaan Dalâ’il Khairât sebenarnya merupakan salah satu tata cara ibadah keagamaan yang telah menjadi tradisi pada masyarakat Arab. Fenomena ini dapat dilihat dari pernyataan Husein yang ketika masa mudanya pernah mengecam ayahnya saat membaca Dalâ’il Khairât. Kecaman itu terlontar, sebab pembacaan tersebut dianggap hanya membuang waktu.1Hal senada juga dijelaskan oleh Feillard terkait dengan tradisi kaum salaf yang berkembang di negeri-negeri Arab, baik di Mekkah maupun Madinah yang senantiasa dilakukan masyarakat Islam tradisionalis Indonesia yaitu berupa pembacaan Dalâ’il Khairât.2 Substansi amalan Dalâ’il Khairât pada dasarnya adalah memberikan bimbingan kepada seorang pengamal, agar bisa mencapai sebuah kualitas yang lebih baik ketika mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini sebenarnya juga dapat disebut sebagai bentuk aktifitas tasawuf atau sebuah pengalaman keberagamaan bagi para pengamalnya. Menurut James, ada empat karakter yang membatasi tasawuf. Pertama, sesuatu yang lebih mengutamakan aspek-aspek 1
Thaha Husein, Al-Ayyam(Kairo: Darul Ma’arif,Jilid II, Tanpa tahun), hal. 123. 2 Andre, Feillard, NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna. Terj. Lesmana, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hal. 11
42
Modal Sosial Pelaku Dalail Khairat ...
perasaan atau feeling, sehingga sulit dideskripsikan secara ilmiah. Kedua, dalam kondisi neurotik,3 para sufi meyakini bahwa dirinya menggapai alam hakikat, sehingga mereka memperoleh pengetahuan ilham. Ketiga, kondisi puncak yang diperoleh bersifat sementara dan mudah sirna. Keempat, apa yang diperoleh merupakan anugerah yang tidak dapat diusahakan, sebab pengalaman mistik menggantungkan diri pada kekuatan supernatural yang menguasainya.4 Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah Modal Sosial yang dimiliki oleh para pengamal Dala’il Khairat? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seperti apa modal sosial yang dimiliki pengamal Dala’il Khairat untuk meraih kesuksesan di bidang ekonomi. KajianLiteratur Salah satu fungsi dan peran agama dalam kaitannya dengan pola perilaku ekonomi, umumnya mengacu pada konsep Weber tentang etika protestan dalam kaitannya dengan kemunculan kapitalisme modern. Menurut Weber, kehadiran semangat kapitalisme merupakan aspek sentral modern yang telah menggantikan tradisionalisme dalam kehidupan ekonomi. Konsep semangat yang ditawarkan Weber dalam kaitannya dengan semangat kapitalisme mengacu pada suatu jenis tindakan sosial yang melibatkan pengejaran keuntungan maksimum dengan perhitungan rasional.5 Weber juga menjelaskan bahwa manusia memiliki minat-minat ideal dan material, sehingga aspek tertentu dalam etika Protestan merupakan perangsang kuat dalam menumbuhkan sistem ekonomi kapitalis. Etika protestan memberi tekanan pada usaha-usaha: menghindari kemalasan, menekankan kerajinan, keteraturan dalam bekerja, kedisiplinan, dan semangat tinggi untuk melaksanakan tugas dalam semua sendi kehidupan, khususnya dalam aspek pekerjaan dan kegiatan ekonomi.6 3 Para psikolog menganggap neurotic terjadi pada seorang sufi ketika ia mencapai puncak spiritualnya. Dalam kamus ilmiah populer diartikan sebagai obat penyakit saraf (Partanto dan AlBarry, 1994:521) 4 William, James, The Varieties of Religious Experience (New York: The New America Library, 1974), hal. 19. 5 Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Penerj. TW Utomo & Yusuf Priya Sudiarja. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 108. 6 ...Ibid., 105-115.
Terkait dengan adanya kemungkinan pengaruh agama terhadap etos kerja, menurut Sairin,7 peningkatan ekonomi masyarakat dapat dilakukan dengan mengambil nilai kerja keras dari agama. Setiap agama yang dianut oleh masyarakat, tentu mengajarkan kepada penganutnya untuk bekerja keras dalam hidup. Oleh karena itu, setiap masyarakat dan kebudayaan mempunyai etos yang berbeda-beda, termasuk dalam hubungannya dengan etos kerja. Bagi Sairin, 8 ada tiga kriteria orientasi sosial budaya masyarakat. Pertama, kerja sebagai kegiatan mencari nafkah semata agar dapat survive. Kedua, kerja sebagai alat untuk mencapai status sosial tertentu, dan ketiga, merupakan upaya mencapai hasil yang lebih baik. Dalam penelitian Castle (1982), dengan bukunya Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus, dijelaskan bahwa kelas menengah santri, tidak lain didominasi oleh para pengusaha yang tangguh. Sebagian besar dari mereka ini adalah para santri puritan. Mereka dikenal sangat hemat, sederhana dalam berpakaian, serta cenderung bertingkah laku dan menilai segala sesuatu secara sempit dalam kerangka uang. Menurutnya, para pengusaha kelas menengah di Kudus berhasil menciptakan industri. Mereka berhasil menanggulangi serangkaian gejolak dan tantangan dalam kondisi perubahan ekonomi dan politik, sebaliknya mereka gagal dalam mengembangkan organisasi ekonomi yang lebih kompleks, tidak lebih dari sekedar perusahaan keluarga (Castle, 1982:60). Dari Castle maupun Geertz, dalam hal ini dapat disimpulkan adanya daya dorong puritanisme Islam terhadap kewiraswastaan. Abdullah (1994) dalam disertasinya The Muslim Businessmen of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in a Javanese Town, mengemukakan bahwa pengusaha muslim di Jatinom merupakan pengusaha yang sukses terlibat dalam perekonomian modern, bahkan mereka mampu menggantikan posisi ekonomi Cina. Melalui pengelompokan berdasarkan agama, para pedagang muslim Jatinom telah menjadi kekuatan besar sehingga tekanantekanan dan gangguan dari luar yang dirasa
7 Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi ( Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), hal. 328. 8 ..Ibid, hal. 319-322.
dapat menghancurkan eksistensi ekonominya, benar-benar dapat diatasi. Menurut Abdullah, meskipun agama berperan penting dalam pembaharuan pemikiran yang mengarah pada perilaku ekonomi pedagang, namun ketaatan agama bukan satu-satunya faktor yang berperan penting dalam keberhasilan kaum pedagang muslim di Jatinom. Mu’tasim dan Mulkhan (1998) dalam penelitiannya yang bertajuk “Bisnis Kaum SufiStudi Tarekat dalam Masyarakat Industri” menjelaskan tentang tarekat Sadzliliyah yang dipraktikkan secara berbeda dari sumber aslinya oleh pengikut-pengikutnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi materiil, sosial, ekonomi, politik, dan sistem budaya yang ada. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kehidupan pengikut tarekat ini tidak hanya dipengaruhi oleh ajaran formal ketarekatannya, tetapi juga oleh sistem budaya masyarakat tempat mereka hidup. Yang menarik dari buku ini adalah bahwa para pengikutnya ternyata aktif dalam kegiatan ekonomi modern. Mereka menggunakan waktu di siang hari untuk melakukan kegiatan ekonomi. Selain itu kelompok ini juga menempatkan diri pada posisi oposisional terhadap pemerintah yang berkuasa. Tulisan yang secara spesifik membahas hubungan Dalail Khairat terhadap perilaku ekonomi para pengamalnya, sampai sekarang belum pernah dijumpai. Penelitian tentang Dala’il Khairat dan Pengamalan Keberagamaan yang dilakukan Arikhah menunjukan bahwa setelah menjalani amalan, seseorang bisa memperoleh pengalaman spiritual. Cukup disayangkan penelitian ini belum menyinggung aspek sosialbudaya, dan hanya terbatas pada aspek spritual. Untuk selanjutnya, tulisan ini mencoba menghubungkan keterkaitan antara Modal Sosial pengamal dalai’il Khairot dengan keberhasilan dalam usaha. Sementara terkait dengan konsep teori yang digunakan untuk menjelaskan kesuksesan usaha para pelaku amalan dalail khairat adalah Modal Sosial. Nilai-nilai kemasyarakatan atau modal sosial merupakan istilah yang sering digunakan dalam ilmu sosial untuk menggambarkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial. Kemampuan itu didefinisikan dalam banyak aspek. Secara sederhana, Modal Sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
43
informal yang dimiliki bersama diantara anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga wilayah yang merupakan kehidupan sehari-hari para pengamal, yakni di Daerah Istimewa Yogyakarta, Semarang Jawa Tengah, dan Kuningan, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan yaitu dari bulan April sampai dengan bulan Juni 2007. Dua bulan pertama, digunakan di Pesantren Darul Falah Kudus dan bulan ketiga atau Juni 2007, digunakan di luar pesantren yang masih memiliki transmisi amalan dala’il khairat dengan mujiz Ahmad Basyir. Data dalam penelitian ini terdiri dari: data primer dan data sekunder. Data primer; diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka yaitu dengan memanfaatkan buku berbahasa Arab karya Syaikh Sulaiman al-Jazuli yang telah ditashih kembali oleh Ahmad Basyir selaku Mujiz. Buku ini dipilih karena merupakan buku wajib yang selalu dimiliki setiap calon pengamal yang hendak memulai amalan dala’il khairat.
B. HASIL PENELITIAN
DAN
PEMBAHASAN
Kegiatan Ekonomi Pengamal Dala’il Khairat Ketiga informan berikut ini merupakan anggota komunitas pengamal Dala’il Khairat yang masih satu transmisi dengan Ahmad Basyir. Ketiganya dipilih karena diantara para pengamal9 Dala’il Khairat, merekalah yang banyak memberikan kontribusi dalam setiap pertemuan para pengamal yang diadakan setiap satu tahun
9 Dari para pengamal yang banyak memberikan kontribusi materi dalam kemajuan dan perkembangan pesantren Darul Falah, terutama ketika haul mu’allif Dala’il Khairat sekaligus sebagai media pertemuan antara mujiz dengan santri atau pengamal Dala’il Khairat, yang biasanya dilakukan pada pagi hari antara jam 10.0013.00 WIB setiap tanggal 16 Rabiul Awal tahun hijriyah. Mereka adalah Ali Musta’in (pemilik Jamiyyah Dala’il Khairat Grobogan Jawa Tengah), M. Ihasanudin (pemilik rumah makan “Barokah Agung” yang terkenal di Secang Magelang Jawa Tengah), Martoyo (Pedagang konveksi tinggal di Jekulo Kudus Jawa Tengah), Syaerozi (pengusaha property sekaligus Kyai muda terkenal di Bareng Kudus), Maksum (Direktur lembaga pendidikan Banat Kudus, terkenal memiliki siswa yang luar biasa, karena setiap kelas dengan kapasitas 30 siswa untuk masingamsing level, sampai 6 ruang. Misalnya kelas satu samapai 6
44
Modal Sosial Pelaku Dalail Khairat ...
sekali. Kegiatan ini diadakan tepatnya pada tanggal 16 Rabiul Awal tahun hijriyah, di pesantren Darul Falah Kudus, Jawa Tengah. Kegiatan ini sekaligus merupakan peringatan kelahiran nabi Muhammad SAW yang seharusnya diperingati setiap tanggal 12 hijriyah bulan Rabiul Awal, sesuai dengan tanggal kelahiranya. 1. Asrom a. Awal Mengenal Amalan Asrom adalah seorang pengusaha mebel yang lahir di Jepara pada tanggal 3 November 1957. Asrom memulai amalan dala’il selama tiga tahun, diawali sejak tahun 1975 sampai tahun 1977. Asrom lebih dikenal sebagai pengusaha mebel dari pada karir politiknya di DPD. Sejak kecil orang tua Asrom sudah menanamkan jiwa kewirausahaan dan kemandirian. Setiap pulang sekolah, Asrom kecil seringkali disuruh pergi ke sawah untuk menunggu kuli, ikut membantu menimbang padi hasil panenan, dan juga membayar kuli atau buruh panen. Wajar jika di kemudian hari, Asrom lebih tertarik untuk menjadi pengusaha daripada menjadi pegawai negeri. Setelah tamat sekolah dasar, pada tahun 1971 Asrom merantau ke Kudus. Selain sekolah, Asrom juga menjadi santri di salah satu pesantren di Kudus. Bagi kaum rasionalis, jalan spiritual seseorang mungkin tidak berarti, tapi dalam tradisi berpikir seorang santri, pengalaman spiritual menjadi hal yang sangat berarti. Pada tahun 1975 terdapat peristiwa spiritual yang diakui Asrom menjadi penentu jalan hidupnya. “…Waktu itu saya dibilangin Kyai saya, kamu punya dua pilihan, pinter atau kaya. Kedua-duanya nggak bisa berbarengan, lalu saya disuruh puasa tiga tahun kecuali hari tasrek. Namanya puasa dala’il yang saya lakoni mulai 1975 hingga 1977,” 10 Setelah mendapatkan keyakinan hatinya, Asrom merantau ke Yogyakarta. Sebelum berangkat, Asrom selalu teringat nasehat Kyainya ketika masih menjadi santri: “Kalau kembali ke
ruang), Heris Paryono sebagai pejabat / wakil bupati kudus periode 2003-2008), Sudarsono (pengusaha mebel tinggal di Kudus), Basuni (pengusaha dari Pecangaan Jepara sekaligus pejabat Depag Jawa Tengah). 10 Asrom (wawancara 7 April 2007.
daerahmu, jadilah seperti macan. Sebab macan datang ke kota kan tau semua, tapi kalau kambing kan nggak tau”. Asrom memutuskan untuk malanjutkan pendidikannya di UGM. b. Implementasi Amalan Dala’il Khairat Dalam mengamalkan Dala’il khairat, Asrom melakukan hal yang serupa seperti pengamal pada umumnya. Setiap malam, Asrom berusaha sahur untuk kemudian menjalankan puasa pada siang harinya dan berbuka pada waktunya. Ciri khas Asrom yang membedakannya dengan pengamal lain adalah Asrom sering tidak berbuka pada waktu maghrib. Asrom sering berbuka dan sahur pada waktu yang bersamaan yakni sekitar jam 22.00 WIB malam hari. Pada saat yang bersamaan ini, Asrom baru makan nasi untuk berbuka sekaligus sebagai sahur untuk siang harinya. Pengamalan dala’il Asrom ini dijalani selama dua tahun dalam komunitas pesantren dan satu tahun di luar pesantren. Hal ini dilakukan karena pada saat itu, orang tua Asrom tidak menyarankannya untuk menuntut ilmu selain ilmu agama. Asrom sendiri memiliki keyakinan bahwa menuntut ilmu di luar ilmu agama sangat penting. Akhirnya atas saran pak Akhmad dari Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di depan orang tuanya, Asrom diperbolehkan untuk mencari ilmu di luar Pendidikan Guru Agama (PGA). Hal lain yang menarik dari Asrom adalah dalam mengamalkan dala’il, Asrom selalu berusaha mengamalkan wirid-wirid atau ibadah yang menurut anjuran para Kyai merupakan wasilah untuk dipermudah rizki. Asrom menjadikan ibadah salat Dhuha sebagai ibadah yang wajib dan ini sudah dijalaninya sejak tahun 1995 seperti disampaikannya berikut ini: “Saya selalu berusaha bahkan saya wajibkan pada diri saya untuk melaksanakan salat dhuha. Umumnya saya laksanakan sebelum keluar rumah atau kantor, kira-kira jam 07.00 WIB, baru setelah itu mempersiapkan dan membantu anakanak saya untuk berangkat sekolah”.11 Dala’il yang diwirid ketika masih di pesantren, biasanya diselesaikan Asrom dalam dua kali khatam. Namun setelah menjalani kehidupan rumah tangga dan terbentur dengan kesibukannya sebagai anggota DPD sekaligus sebagai pengusaha, Asrom tidak lagi melakukan 11
Wawancara Asrom Asram (6 Juni 2007)
wirid seperti ketika dia masih tinggal di lingkungan pesantren Kudus. Meskipun demikian, setiap kali memiliki kepentingan, Asrom tetap setia membaca salawat dala’il dalam satu majlis. Semua ini dilakukannya dengan harapan apa yang menjadi hajatnya bisa terkabulkan. c. Dinamika Usaha Pengamal Dala’il Khairat Selain dikenal sebagai politikus, Asrom juga dikenal sebagai pengusaha yang cukup sukses. Usahanya bermula dari berjualan es lilin ketika masih kecil, menjadi loper koran ketika kuliah, sampai akhirnya menjadi pengusaha mebel. Asrom mengaku bahwa dalam setiap usaha yang dijalaninya ini, ia kerap menemui beragam rintangan dan hambatan. Setiap dua tahun menjalani usahanya dengan lancar, seringkali dua tahun berikutnya berjalan tersendat. Hal serupa ini sempat terjadi pada tahun 2006 dan 2007. Asrom menyebutnya sebagai sebuah kegagalan. Usaha furniture, pada awalnya usaha ini sangat prospektif dan berkembang dengan stabil di Yogyakarta, bahkan dapat dikatakan sebagai awal kebangkitan perekonomian Asrom. Justru karena berharap ingin mendapatkan penghasilan yang lebih, cabang baru yang dibuka di Jakarta pada tahun 1996, ternyata kurang menguntungkan. Setelah dipelajari dan dievaluasi, keputusan untuk membuka cabang baru ini ternyata kurang tepat. Yang lebih baik justru dengan memperbanyak jaringan. Selain dapat mempergunakan orang pribumi sebagai tenaga kerjanya, usaha semacam ini juga tidak dikategorikan sebagai perdagangan monopoli. Pada saat terjadi gempa tanggal 26 Mei tahun 2006, sebagian besar perusahaan Asrom juga terkena dampaknya, terutama yang berada di Jalan Parang Tritis. Usahanya yang semula berupa warung makan “wong kampung”, sekarang berganti menjadi tempat jual-beli material. 2. Luthfi Suharnoto a. Awal Mengenal Amalan Suharnoto tidak menjelaskan secara spesifik sejak kapan ia memulai amalan dala’il. Semuanya berawal ketika Suharnoto merasa seakan-akan hidup dalam kegelapan. Semua ini terjadi dalam hidup yang menurutnya penuh kemaksiatan karena tinggal di lingkungan pemuda-pemuda yang kurang baik akhlaknya. Ketika masih tinggal di Semarang, Suharnoto kerapkali terlibat
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
45
konflik brutal dengan pemuda-pemuda tetangganya. Tentu tidak hanya itu, Suharnoto juga seringkali minum, main perempuan, bahkan membunuh pun sama sekali bukan hal yang ditakutinya. Melalui cerita temannya, Suharnoto tiba-tiba merasa mendapat petunjuk Allah. Akhirnya Suharnoto memutuskan untuk meminta ijazah dan amalan dala’il dari Ahmad Basyir, di daerah Kudus, Jawa Tengah. Setelah mendapatkan ijin untuk mengamalkan, Suharnoto selalu membaca atau mewirid salawat dala’il tersebut sesuai tuntunan yang ada. Dampak dari semua amalannya ini mulai dirasakannya ketika Suharnoto bekerja di pelabuhan. Saat bekerja di pelabuhan inilah, Suharnoto merasa karirnya selalu naik. Suharnoto mendapat tawaran jabatan mulai dari sebagai manager sampai akhirnya sebagai direktur. Meskipun jabatan tersebut secara materi menguntungkan, Suharnoto justru memutuskan untuk pindah bekerja di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Semarang dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Semarang. Setelah diterima di bank tersebut, tidak lama kemudian Suharnoto dipercaya sebagai manager. Dalam perjalanan kepemimpinannya, Suharnoto sempat mengalami masalah yang luar biasa berupa kredit macet besar-besaran yang tidak bisa dipertanggungjawabkan di depan atasannya. Suharnoto akhirnya sempat dimasukkan ke penjara. Kehidupan di penjara memberikan pengalaman yang menarik bagi Suharnoto. Selama berada di penjara, Suharnoto selalu menjadi imam dalam salat dan do’a. Dalam setiap permintaan kepada yang maha kuasa, Suharnoto selalu memakai bahasa yang mudah dipahami jama’ah atau makmumnya yakni menggunakan bahasa jawa atau bahasa Indonesia. Pada akhirnya, Suharnoto kerap diminta menjadi imam dalam setiap aktivitas ibadah. “...Ketika saya memiliki hajat atau keperluan, agar keinginan saya terkabulkan, saya baca wirid dala’il dalam satu majelis”.12 Meski permintaannya sering dikabulkan, Suharnoto tetap membiasakan bacaan salawat nariyah. Menurutnya, salawatnariyah dipahami sebagai bacaan untuk mempercepat hajat dikabulkan, apalagi jika dibaca dalam satu majlis
12
46
Wawancara Suharnoto (Juni 2007)
Modal Sosial Pelaku Dalail Khairat ...
sebanyak 4444 kali selama 41 hari. Setelah semua berhasil, Suharnoto juga melakukan tasyakuran dengan membaca sejarah dari Syaikh Abdul Qadir Jaelani berupa kitab Manaqib. Dalam kitab ini, dijelaskan: “kalau kamu didalam mempunyai hajat apapun dan setelah berhasil, kemudian membaca sejarah riwayat saya (Syaikh Abdul Qadir Jaelani), maka akan saya tambahkan.” b. Implementasi Amalan Dala’il Khairat Dalam mengamalkan dala’il, selain berpuasa selama tiga tahun, Suharnoto juga membaca wirid sesuai tuntunan yang ada dalam kitab dala’il. Misalnya jika memulai wirid pada hari Senin, maka akan berakhir pada hari Ahad atau Minggu. Selain pada waktu-waktu tertentu, ketika ada lelang atau tender, dala’il akan diwirid bersama 30 jamaa’ah karyawannya dalam satu majlis. Tujuannya tentu saja agar lelang atau tender tersebut dapat dimenangkan. Dalam menjalani amalan selama tiga tahun, rintangan dan cobaan datang silih berganti. Cobaan ini tidak hanya datang dari dalam diri pengamal, tetapi juga keluarganya. Pada tahun pertama amalan, Suharnoto mengalami kecelakaan yang kemudian disusul oleh kedua orang tuanya yang hampir bunuh diri karena mengalami stres. Setelah dikonsultasikan ke mbah Ahmad Basyir, dia mengatakan: “ ..Memang itu sebuah cobaan, luput nyowomu, yo nyowo wong tuamu. Kalau ujian iki iso lulus, opo sing dadi panjalukmu, insyaalah di sembadani Allah (Dalam mengamalkan dala’il, kalau pengamal masih selamat dalam menghadapi rintangan, biasanya orang tuanya juga akan diberi cobaan, tetapi jika ujian ini bisa dilalui, maka semua permintaan insyaallah akan di kabulkan”. Pada tahun kedua, Suharnoto mengalami penyakit thypus. Cobaan ini bisa dilalui dengan sangat mudah dan penuh kesabaran. Pada tahun ketiga sebagai detik-detik akhirnya amalan, Suharnoto bersama keluarganya mengalami kecelakaan. Meski mobil rusak total, namun semua penumpangnya diberi keselamatan. Semua cobaan masih bisa dilalui, tanpa membatalkan puasa dala’il, apa lagi wiridnya. Artinya dalam puasa dala’il ini, setiap hari harus dilakukan dan tidak boleh ada yang dibatalkan dalam setahun kecuali hari-hari yang diharamkan. Setelah selesai mengamalkan dala’il selama tiga tahun berturut-turut, Suharnoto masih membiasakan wiridnya. Karena sering membaca
dan mendalami do’a-do’a, maka setiap kali Suharnoto berangan-angan untuk memiliki sesuatu, biasanya dalam jangka waktu satu minggu semua permintaannya kepada Yang Maha Kuasa akan dikabulkan. c. Dinamika Usaha Pengamal Dala’il Khairat Suharnoto termasuk sosok yang dekat dengan dunia seni. Hal ini disebabkan dunia usahanya yang lebih terkait dengan entertainmen, termasuk diantaranya: event organizer, property, dan productionhouse. Semua usahanya berada dalam wadah Cakrawala Production yang berdiri pada tahun 1989 dan bergerak di bidang rental sound system. Pada tahun 1994 sampai tahun 2001, Cakrawala Production telah dipercaya untuk mengisi berbagai acara di arena hiburan di Semarang Jawa Tengah atau biasa disebut dengan PRPP. Tepat pada tahun 1996, nama Cakrawala Production berubah menjadi production house dan pada tahun inilah mulai Go Internasional. Usaha yang dijalani Suharnoto, pada kenyataannya tidak selalu berjalan mulus dan stabil. Artinya dengan sumber daya manusia yang berjumlah 30 orang karyawan, Suharnoto tidak selalu melibatkan kesemuanya dalam setiap event. Hal ini dilakukan karena penyelenggaraan event tertentu belum cukup membiayai harga produksi. Oleh karena itu CV. Cakrawala production sekarang ini sedang melakukan penataan manajemen yang diantaranya dilakukan dengan mencoba menawarkan terobosanterobosan pada masing-masing daerah yang memiliki potensi untuk dipublikasikan melalui media. Usaha ini dimulai dari pembuatan stand dan perangkat-perangkatnya untuk kemudian disosialisasikan ke daerah-daerah melalui pameran atau expo potensi daerah. Selain itu kerjasama antar sponshorsip juga selalu digalakkan, misalnya dalam promosi potensi daerah bagi pemerintah tertentu. 3. M. Uci Noor Mukhsin a. Awal Mengenal Amalan Berawal dari sebuah kebingungan, Uci yang saat itu baru saja menyelesaikan pendidikan santrinya di bidang Tafsir, pulang ke daerah asalnya. Pasca studinya ini, Uci tidak memiliki rencana sama sekali untuk dilakukan. Uci sadar, tidak mungkin bisa bekerja di pemerintahan karena ia tidak memiliki ijazah. Uci merasa bahwa ilmu pesantren yang dimilikinya juga masih
sangat kurang. Pilihan untuk menikah pun rasanya tidak mungkin diambil, karena Uci yang meskipun sudah berumur 31 tahun, belum punya cukup biaya. Akhirya Uci memutuskan untuk mencari seseorang yang alim, amil, serta memiliki keilmuan yang kuat. Uci menemukan informasi tentang seorang Kyai yang barokahi dengan memberikan amalan dala’il di Kabupaten Demak Jawa Tengah. Sesampainya di Demak, Uci disarankan oleh seorang temannya untuk minta ijazah kepada Kyai H. Ahmad Basyir di Kudus, Jawa Tengah. Dari temannya inilah, Uci memperoleh informasi bahwa Kyai ini juga biasa memberi amalan serupa, namun dibarengi dengan aktifitas ibadah puasa layaknya puasa ramadan bagi muslim. Sesampainya di Kudus, barulah Uci menerima amalan berupa dala’il Qur’an yakni puasa satu tahun berikut wirid setiap harinya yaitu mengkhatamkan atau menyelesaikan minimal satu juz dalam sehari semalam berikut dibarengi do’a-do’anya. Dala’il ini biasa diterima atau disampaikan bagi pemula dalam menjalani amalan sebelum Dala’il Khairat atau puasa tiga tahun dengan wirid salawat nabi. Uci memulai amalan dala’il qur’an tepatnya pada tahun 1998. Baru pada tahun 1999-2001, Uci memulai amalan Dala’il Khairat. b. Implementasi Amalan Dala’il Khairat Dalam pelaksanaan amalan, Uci selalu berusaha mengamalkan dan melakukan wirid sesuai tuntunan yang ada dalam kitab dala’il. Baginya dengan menjalankan puasa, selain ibadah juga berarti berusaha bangun untuk sahur sebagai bekal kekuatan di siang hari. Setiap jam 03.30 dianjurkan untuk sahur dan ibadah malam, namun Uci lebih memilih untuk bangun lebih awal pada jam 02.00 dan melakukan salat malam serta memohon kepada Tuhan agar semua hajat dipermudah. Ternyata tirakat yang dilakukannya berhasil, permintaan yang dijalani selama kurang dari dua tahun, dapat terkabul seperti disampaikannya berikut ini: “Saya selalu bangun jam 02.00 untuk melaksanakan ibadah malam dan di dalamnya saya menjerit atau memohon dan menangis kepada Allah atas semua hajat-hajatku. Walhasil setelah berjalan dua tahun dala’il saya, tiba-tiba ada orang datang untuk mewakafkan tanahnya seluas 300 bata atau satu bata sama dengan 14 meter persegi untuk dibangunkan sebuah
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
47
masjid”.13 Seiring perkembangan waktu, semakin banyak santri yang menuntut ilmu. Saking banyaknya, tidak mungkin para santri tidur di masjid. Akhirnya pewakaf tadi mewakafkan lagi tanahnya untuk dibangun pesantren. Awalnya berupa bangunan tiga lokal, tetapi karena jumlah siswa didiknya semakin bertambah akhirnya ditambahkanlah enam lokal lantai satu dan enam lokal lantai dua untuk pendidikan umum. Dalam perjalanan waktu, salawat dala’il dan bacaan atau wirid-wirid yang bermuara pada dipermudahkannya rizki seperti surat Waqiah, surat al-Mulk, dan surat Yasin, senantiasa selalu diamalkan oleh Uci. Uci menuturkan bahwa apa yang dialami ini benar-benar diluar perencanaannya. Dengan selalu memohon kepada-Nya selama tiga tahun berturut-turut, Uci selalu diberi kemudahan dalam menjalani hidup. Tentu semuanya memerlukan monitoring dan evaluasi, sehingga Uci akhirnya harus membuat laporan berkala setiap enam bulan sekali kepada para donatur yang berpartisipasi dalam pengelolaan pesantren dan sekolah. c. Dinamika Usaha Pengamal Dala’il Khairat Usaha yang dijalani Uci ada empat bentuk yaitu: (1) pendidikan, baik yang di pesantren Miftahul Huda atau khusus agama maupun pengelolaan pendidikan yang bekerjasama dengan umum; (2) penggilingan gabah; dan (3) travel Jakarta-Kunigan; dan (4) pembuatan roti yang dikelola dirumahnya sendiri. Dalam melakukan terobosan baru dalam usaha, Uci biasanya aktif mendatangi setiap even atau expo tertentu yang dapat memberikan semangat baru dan inovasi dalam berusaha, meskipun terkadang sangat jauh dari latar belakang keilmuan yang dimilikinya bahkan tidak ada sama sekali keterkaitan dengan apa yang selama ini dijalaninya. Uci berupaya mengimplementasi semua ide yang diperolehnya dalam setiap even tersebut. Jika sama sekali tidak mampu, Uci tidak segan-segan meminta orang lain untuk menyelesaikannya, meskipun usianya jauh lebih muda. Baginya pekerjaan tersebut dapat dikerjakan teman atau siapapun yang memiliki keahlian. Hal ini semata-mata dilakukan agar usahanya dapat berjalan, sehingga 13
48
Wawancara M. Uci Moch Sanusi Noor (9 Juni 2007)
Modal Sosial Pelaku Dalail Khairat ...
operasional kebutuhan pesantren dan pendidikan, termasuk memberikan kesejahteraan para santri dan insentif para guru pendidiknya, dapat dipenuhi pada waktunya.
C. KESIMPULAN Modal Sosial Modal Sosial merupakan modal yang dihasilkan dari jaringan sosial atau dari ketertarikan seorang individu dengan individuindividu lainnya. Kapital sosial atau yang lebih dikenal dengan sebutan modal sosial dewasa ini telah menjadi topik menarik untuk dikaji, terlebih lagi kajian ini dikolaborasikan dengan konsep pembangunan, mengingat dalam beberapa kasus sebelumnya, pembangunan dilaksanakan tanpa memainkan peran modal sosial, maka yang terjadi adalah kelambanan dalam perjalanannya. Berbicara soal Modal Sosial, para sarjana ekonomi telah lama berbicara, khususnya soal modal ekonomi atau modal finansial yang diartikan sebagai sejumlah uang yang dapat dipergunakan untuk membeli atau sejumlah uang yang dihimpun atau ditabung untuk investasi di masa yang akan datang. Modal Sosial mestinya dikaitkan dengan komunitas, dimana Modal Sosial tersebut di ekspresikan bahkan dari komunitas sendiri terlihat kuat atau lemahnya Modal Sosial dimainkan, mengingat Modal Sosial dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuannya bersama di dalam suatu kelompok masyarakat. Tentu kemunculan Modal Sosial berbeda dengan modal manusia, apalagi jika dibandingkan dengan modal ekonomi. Modal Sosial sedikit banyak memiliki dua pandangan yang menjelaskan kemunculannya. Hal ini oleh Bourdieu dan Wacquant,14 adalah sumber daya aktual atau maya yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terlembagakan. Bourdieu mengembangkan Modal Sosial dari upaya menciptakan antropologi budaya reproduksi sosial. Studinya tentang suku-suku di Al-Jazair selama tahun 1960-an, Bourdieu menggambarkan perkembangan 14 Field, John, Modal Sosial ( Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), hlm. 13
dinamis struktur nilai dan cara berpikir untuk membentuk apa yang disebutnya sebagai habitus yang menjadi jembatan antara agensi subyektif dengan posisi obyektif. Ketika mengembangkan gagasannya tentang habitus, Bourdieu menegaskan bahwa kelompok mampu menggunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda yang menandai dan membangun posisi mereka dalam struktur sosial. Bourdieu juga mempertegas pandangannya dengan membuat metafora modal budaya yang memperlihatkan cara kerja kelompok untuk memanfaatkan fakta bahwa beberapa jenis selera budaya menikmati lebih banyak status dari pada jenis selera budaya lainnya. Jaringan Sosial Modal Sosial berupa jaringan sosial yang kuat antar pelaku ekonomi yang bergerak dibanding perdagangan. Para penjual melakukan kaderisasi dari lingkungan keluarganya sendiri. Jaringan sosial terbentuk tidak karena keluarga tetapi juga ada kepentingan ekonomi. Jaringan adalah sekelompok agen-agen individu yang berbagi norma-norma atau nilainilai informal melampaui nilai-nilai atau normanorma yang penting untuk transaksi untuk menciptakan modal sosial. Jaringan dipahami sebagai pola ikatan yang menghubungkan antar individu atau ikatan yang ada disekitar individu serta jaringan merupakan hubungan moral kepercayaan. Adapun jenis-jenis dari modal sosial berdasarkan dari jaringan yang membentuknya, ada dua macam tipe. Pertama, bonding social capital, yaitu modal sosial yang dibentuk lewat jaringan yang anggotanya sangat akrab satu sama lain. Putman menyebut bonding ties (ikatan yang anggotanya homogen). Keterhubungan antar anggota, bisa dikarenakan persamaan usia, agama, jenis kelamin, etnis atau perasaan senasib; Kedua, bridging social capital, modal yang ini dibentuk lewat jaringan yang anggotanya berbeda, dan sangat sedikit kesamaan diantara mereka. Menurut Putman, jaringan tersebut diberi nama bridging ties. Biasanya hubungan diantara anggota jaringan adalah hubungan yang tidak sejajar, sebagai contoh: hubungan buruh dan majikan, hubungan murid dan guru. Dalam jaringan sosial, baik bonding social capital maupun bridging social capital terdapat kepercayaan, kerjasama, dan timbal balik.
Kerjasama Kerjasama merupakan salah satu komponen penting dalam modal sosial. Kerjasama lahir karena adanya kepentingan, prinsip, dan nilai yang sama serta di arahkan untuk mencapai tujuan bersama. Aktor akan bekerjasama jika memandang aktor lain bukanlah ancaman dari kepentingannya, tetapi dia justru melihat aktor lain adalah kawan yang akan membantu meraih tujuan. Aktor juga akan berfikir bahwa kerjasama dapat menghasilkan output yang lebih besar dibandingkan jika mereka saling berkompetisi atau berkonflik. Dalam bekerjasama juga dibutuhkan adanya komponen pendukung lainnya, diantaranya; kepercayaan, timbal balik. Kepercayaan akan memungkinkan orang lain untuk melakukan kerjasama, begitu pula sebaliknya, ketidakpercayaan akan menghambat terjadinya kerjasama. Trust/Kepercayaan Kepercayaan dibangun melalui interaksi yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama, namun derajat kelamaannya berbeda antara satu orang dengan orang lain. Dalam interaksi tersebut, orang harus berbuat dan bertingkah laku seperti yang diinginkan atau yang diharapkan orang lain sehingga kepercayaan dapat tumbuh. Kepercayaan dapat tumbuh diantara individu dengan kelompok manapun antara kelompok dengan kelompok lain.[]
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
49
D A F TA R P U S TA K A
Abdullah, Irwan. The Muslim Businessmen of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in a Central Javanese Town. Disertasi Ph.D University of Amsterdam, 1994. Field, John. 2010. Modal Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Geertz, Clifford. Penjaja dan Raja Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia, Jakarta: P.T Gramedia, 1977. Husein, Thaha. Al-Ayyam, Jilid II, Kairo: Darul Ma’arif, Tt. Feillard, Andre. NU Vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna. Terj. Lesmana, Yogyakarta: LkiS, 1999. Partanto, Pius A& Al-Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Sairin, Sjafri. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002.
50
Modal Sosial Pelaku Dalail Khairat ...
Weber, Max. Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Penerj. TW Utomo & Yusuf Priya Sudiarja. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. William, James. The Varieties of Religious Experience, New York: The New America Library, 1974. Interview: 1.Wawancara dengn Hafidz Asrom pada 7 April 2007 2.Wawancara dengan Suharnoto Juni 2007 3.Wawancara M.Uci Moch Sanusi Noor 9 Juni 2007.
TOPIK KONTRIBUSI NU SEBAGAI ORGANISASI CIVIL SOCIETY DALAM DEMOKRATISASI
S U R Y A N I*)
ABSTRAK Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana dinamika politik Nahdatul Ulama (NU) sebagai bagian dari masyarakat sipil di Indonesia dalam konstelasi politik nasional. NU adalah contoh kongkrit kekuatan masyarakat dalam bentuk civil society yang keberadaan dan eksistensinya patut diberikan perhatian. Sebagai sebuah komunitas muslim terbesar di Indonesia, NU dicatat sebagi pihak yang lebih awal bersentuhan dan menguatkan konsep civil society di Indonesia, dibandingkan dengan komunitas muslim modernis yang diwakili oleh kalangan Muhammadiyah, alumni HMI, atau tokoh muslim lain alumni dari Masyumi, para aktivis dan intelektual NU lebih dahulu memainkan peranannya dalam pengembangan wacana civil society sejak masa kemerdekaan sampai sekarang.
KATA KUNCI: Demokratisasi, Civil Society, Ruang Publik, Nahdliyyin
A BSTRACT This paper illustrates how the political dynamics of Nahdlatul Ulama (NU) as a part of civil society in Indonesia in the national political constellation. NU is a concrete example of the people power in the form of civil society whose existence should be noted. As the largest Muslim community in Indonesia, NU was recorded as the entity who contacted and reinforced the concept of civil society in Indonesia earlier than other Muslim modernist communities. NU activists and intellectuals play an earlier role in developing the discourse of civil society since the independence to now compared to Muhammadiyah, HMI alumni, or other Muslim leaders alumni from Masyumi.
KEY WORDS: Democratization, Civil Society, Public Sphere, Nahdliyyin
A. PENDAHULUAN Secara filosofis, Demokrasi adalah istilah yang memiliki makna yang bersifat universal, sebagai sebuah konsep yang berkembang menjadi ideologi dan dimaksudkan untuk menghindari bahkan menghadapi perilaku kesewenangwenangan yang cenderung menguat pada sistem pemerintahan yang otoriter dan diskriminatif, namun demikian, dalam prakteknya terdapat *) Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, Jakarta Selatan 15419. Email:
[email protected] **Naskah diterima Maret 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015
perbedaan-perbedaan yang cukup mencolok antara praktek demokrasi di satu negara dengan negara yang lain. Dari perbedaan yang kerap kali muncul dalam implementasinya sebagai sebuah sistem politik, demokrasi tetap menjunjung tinggi nilai nya yang paling tinggi yaitu jaminan akan adanya Hak Azasi Manusia (HAM) dimana didalamnya mengandung prinsip-prinsip persamaan, dihormatinya nilai-nilai kemanusiaan, penghargaan kepada hak-hak sipil dan kebebasan, serta dihargainya pluralitas dan kompetisi yang fair.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
51
Pada prakteknya demokrasi tidak bisa dijalankan secara maksimal tanpa adanya kekuatan penyeimbang atau check and balances sebagai kekuatan kontrol terhadap praktek pemerintahan. Hal tersebut bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk, seperti oposisi yang terlembaga dalam partai politik yang kalah dalam pemilu, institusi sosial non goverment atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau juga kekuatan masyarakat yang terstruktur dan memiliki kekuatan pengaruh yang signifikan dalam mekanisme pengambilan keputusan dan kontrol atau pengawasan kebijakan publik. Minimalnya kontrol sosial atas kekuasaan memberikan potensi yang besar bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan tindak otoritarianaisme yang menyalahi nilai-nilai demokrasi. Seharusnya masyarakat dalam konteks komunitas politik dan sebagai bagian terpenting dalam proses demokrasi memiliki peran yang maksimal sebagai kekuatan kontrol, tidak hanya untuk mengawasi kerja negara, tetapi juga untuk meminimalisir konflik sosial politik yang kerap kali muncul baik yang bersifat vertikal antara masyarakat dengan negara, maupun yang bersifat horizontal yang terjadi antara masyarakat. Kekuatan masyarakat sebagai penyeimbang dalam demokrasi dikuatkan dengan munculnya konsep civil society atau masyarakat sipil atau masyarakat madani yang dianggap efektif dan compatibel sebagai bagian terpenting dari kekuatan demokrasi. Sejak dikenalkan oleh Anwar Ibrahim (waktu itu sebagai wakil perdana menteri Malaysia), konsep civil society dalam konteks Islam Indonesia lebih lekat pada istilah masyarakat madani, walaupun secara historis, konsep masyarakat madani tidak memiliki dasar filosofis yang kuat dan cenderung kontra produktif dengan sejarah pemaknaan civil society sebagai akar konsepnya yang justru memiliki kronologi sejarah dari tradisi Eropa non Islam dan cenderung bersifat sekularistik. Menurut Ibrahim, masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan Individu dengan kestabilan masyarakat. Ciri khas yang melekat pada konsep masyarakat madani adalah kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling 52
Kontribusi NU Sebagai Organisasi ...
menghargai dan memahami (toleransi) dengan menggunakan prinsip-prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah, dan demokrasi.1 Secara historis, Konsep civil society lahir pada masa Cicero (106-43 S.M) dan tumbuh serta berkembang menjadi sebuah konsep masyarakat di daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks dan kondisi masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan. Di Eropa itu pula tumbuh ide demokrasi yang diawali dengan Revolusi Perancis (1789) dan tumbuh pula sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. AS Hikam mengatakan bahwa civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschaung yang menggantikan agama, dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi.2 Dengan demikian, civil society sebenarnya mengandung sifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme. Maka menjadi kontradiktif, tatkala banyak pemikir Islam menafsirkan konsep civil society dengan merujuk kepada masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW, yang jelas tidak mengenal dan tidak pernah menerapkan sekulerisme, liberalisme, demokrasi, rasionalisme, dan ide-ide Barat lainnya. Beberapa kelompok kelompok ormas Islam yang bisa dikategorikan sebagai bagian dari civil society di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah, HMI, PMII, IMM, IPNU, PII, dan lain-lain memiliki kontribusi yang cukup penting baik bagi perjalanan sejarah politik Indonesia sejak masa pra kemerdekaan sampai pada proses beberapa kali terjadinya peralihan kekuasaan dan juga
1 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010), 176. 2 Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1999), 2.
sekaligus menjadi organisasi-organisasi penguat proses demokratisasi di Indonesia. Dengan metode deskriptif, berdasarkan studi literatur yang sudah dilakukan tulisan ini akan menjelaskan bagaimana dinamika politik NU sebagai sebuah kekuatan Civil Society dan bagaimana kontribusinya dalam proses demokratisasi di Indonesia. Paradigma yang digunakan adalah dengan menelaah sejarah NU mulai dari berdiri, proses dinamika organisasi yang terbangun dan beberapa catatan tentang apa saja yang sudah dilakukan oleh NU dalam percaturan politik di Indonesia. Tulisan ini di tulis berdasarkan teknis penulisan yang tertera dalam panduan penulisan jurnal yang sudah ditetapkan oleh redaksi Jurnal Dialog yang merujuk pada teknik penulisan model Chicago. Permasalahan Nahdatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi keagamaan yang pernah menjadi partai politik dan memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan politik Indonesia paska kolonialisme, lalu mengalami reorganiasi dengan kebijakan kembali ke khittah 1926 yang secara otomatis memutus hubungan formal NU dengan PPP sebagai wadah politik Islam di era Orde Baru, Hal ini memberikan konsekwensi logis kepada NU untuk mencari format lain dan alternatif model gerakan dalam menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi besar umat Islam di Indonesia. 3 Kembali ke Khittah 1926 tidak mematikan peran politik NU, hanya menggesernya dari peran struktural menjadi peran kultural dalam format organisasi kemasyarakatan yang lebih jelas programprogram sosialnya, walaupun secara individual, para aktivis NU masih banyak yang menyebar di berbagai macam organisasi politik, partai politik berbasiskan Islam, partai politik yang berideologi nasionalis, duduk di antara jajaran eksekutif, menjadi anggota legislatif, dan lain-lain. Namun mereka tidak berpolitik dengan membawa bendera NU, namun bergerak secara personal namun membawa semangat NU baik secara religius maupun secara politis. Model gerakan selanjutnya yang di pilih NU adalah dengan
3 Bahtiar Effendy, Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?( Bandung: Mizan, 2000), 177.
menjadi organisasi sosial keagamaan biasa namun dengan program program penguatan masyarakat yang dikenal sebagai organisasi civil society yang oleh NU disebut dengan istilah masyarakat sipil. Karena itu perlu dikaji lebih dalam, bagaimana peran NU sebagai kelompok civil society Islam Indonesia dalam hal ini Nahdatul Ulama dan apa kontribusinya bagi proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia? Kiranya pertanyaan tersebut bisa menjadi starting point untuk bisa menelusuri lebih dalam kontribusi Islam Indonesia yang kali ini diwakili oleh eksistensi NU secara lebih luas dalam konteks kehidupan politik di Indonesia dengan menggunakan paradigma civil society. Kerangka Konsep Secara etimologis, civil society berasal dari istilah Latin, civilis societas, mula-mula dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), seorang orator dan pujangga Roma. Beliau memberikan defenisi yang mengacu kepada gejala budaya perorangan dan masyarakat. Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Adanya hukum yang mengatur pergaulan antar individu menandai keberadaban suatu jenis masyarakat tersendiri. Masyarakat seperti itu di zaman dahulu adalah masyarakat yang tinggal di kota. Dalam kehidupan kota penghuninya telah menundukkan hidupnya di bawah satu dan lain bentuk hukum sipil (civil law) sebagai dasar dan yang mengatur kehidupan bersama. Bahkan bisa pula dikatakan bahwa proses pembentukan masyarakat sipil itulah yang sesungguhnya membentuk masyarakat kota. Pemaknaan civil society sebagai sebuah konsep masyarakat politik mengalami beberapa fase tahapan perkembangan, yaitu: Fase pertama: Aristoteles (384-322 SM) memandang civil society sebagai sistem kenegaraan dan bahkan identik dengan negara itu sendiri, konsep ini difahami sebagai koinonia politike yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Aristoteles menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum yang menjadi bagian dari etos atau seperangkat
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
53
nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.4 Masih pada fase ini, pemikiran Aristoteles dilanjutkan oleh pemikiran Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) yang menggunakan istilah societes civilies yang dimaknai sebagai komunitas yang mendominasi komunitas lain. Konsep ini lebih dekat pada istilah city state atau negara kota yang didalamnya terdapat konsep civility atau kewargaan dan urbanity atau budaya kota. 5 Selanjutnya istilah political society diambil dan dihidupkan lagi oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M), John Locke (1632-1704) dan Rousseau (17121778) untuk mengungkapkan pemikirannya mengenai masyarakat dan politik. Locke umpamanya, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik” (political society). Masyarakat politik itu sendiri, adalah merupakan hasil dari suatu perjanjian kemasyarakatan (social contract), suatu konsep yang dikemukakan oleh Rousseau, seorang filsuf sosial Prancis abad ke18. Fase kedua: pada tahun 1767konsep civil society dikembangkan oleh Adam Ferguson yang disesuaikan dengan konteks sosial politik di Skotlandia. Pengaruh revolusi industri dan berkembangnya kapitalisme yang secara empiris memunculkan ketimpangan sosial di tengah masyarakat membuat Ferguson mengidentikkan wacana civil society ini dengan menguatkan faktor etika didalamnya.6 Ketimpangan sosial yang ada bagi Ferguson adalah sebuah fenomena yang harus dihilangkan dan hal itu bisa dilakukan dengan semangat solidaritas sosial dan sentimen moral yang sebenarnya secara alamiah sudah dimiliki oleh masyarakat dan bisa digunakan juga sebagai alat untuk menghalangi munculnya kembali despotisme dalam bentuknya yang lain yaitu yang sudah berkolaborasi dengan kepentingan kapitalisme. Dalam hal ini Ferguson melihat konsep civil society sebagai wadah bagi masyarakat untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya. Fase ketiga: muncul pemikiran Thomas Paine pada tahun 1762 yang memaknai wacana
4 5 6
54
A. Ubaidillah, Ibid., 178. Ibid. Ibid.
Kontribusi NU Sebagai Organisasi ...
civil society sebagai antitesis negara.7 Bagi Paine, peran negara harus dibatasi karena kalau tidak, maka negara hanya akan memberikan kehidupan politik yang buruk bagi masyarakat, negara adalah wujud dari kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat yang menginginkan jaminan kesejahteraan. Pada konteks ini, civil society harus menjadi kekuatan besar yang mampu mengontrol negara agar tidak masuk dalam praktek otoritarianisme dan despotisme. Fase keempat: Pembedaan antara masyarakat sipil dan negara timbul dari pandangan Hegel (1770-1831), pemikir Jerman yang banyak menarik perhatian, yang ditentang dan sekaligus diikuti oleh Karl Marx (1818 – 1883) dan Antonio Gramsci (1891 – 1837) 8. Ketiga tokoh diatas memandang civil society sebagai elemen ideologis kelas dominan. Seperti Locke dan Rousseau, Hegel melihat masyarakat sipil sebagai wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Ini adalah arena, dimana kebutuhan-kebutuhan tertentu atau khusus dan berbagai kepentingan perorangan bersaing, yang menyebabkan perpecahanperpecahan, sehingga masyarakat sipil itu mengandung potensi besar untuk menghancurkan dirinya. Tapi di sini, masyarakat sipil bukanlah dimaknai sebagai masyarakat politik. Yang dipandang sebagai masyarakat politik adalah negara. Oleh Hegel, masyarakat sipil dihadapkan dengan negara. Agaknya, dari teori Hegel inilah dikenal dikotomi antara negara dan masyarakat (state and society). Hegel lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam struktur sosial, civil society memiliki tiga entitas sosial, yaitu: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga adalah ruang sosialisasi pribadi dari anggota masyarakat yang harmonis, masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya berbagai macam bentuk kegiatan pribadi dan sosial, sedangkan negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan publik dan memiliki hak untuk melakukan intervensi terhadap masyarakatnya.9 Karl Marx memandang Civil Society dalam
7 8 9
Ibid., 179. Ibid. Ibid.
konteks hubungan produksi kapitalis sebagai kelompok borjuis. Bahkan lebih jauh menurut Marx, untuk membebaskan manusia dari penindasan kelas pemilik modal, dan terciptanya masyarakat tanpa kelas civil society harus dilenyapkan. Antonio Gramsci justru memandang civil society tidak dalam porsi antagonisme kelas sosial, namun lebih pada sisi ideologis yaitu pada basis superstruktur yang berdampingan dengan negara dan menyebutnya dengan political society. Konsep ini juga dimaknai sebagai tempat perebutan posisi hegemoni diluar kekuatan negara dengan menggunakan konsensus dalam masyarakat.10 Proses hegemoni tersebut bergantung pada peran kelompokkelompok intelektual dalam masyarakat baik yang masuk dalam kategori intelektual organik maupun intelektual tradisional. Fase kelima: Rumusan konsep civil society yang agak maju dibuat oleh Alexis de Tocqueville (1805 – 1859) setelah melakukan penelitian lapangan yang hasilnya dimuat dalam karyanya “Democracy in America” yang terinspirasi oleh Montesquieu. Ia berpendapat bahwa asosiasiasosiasi volunter berguna untuk menjadi perantara aspirasi masyarakat dengan para pengambil kebijakan, dan civil society berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan negara. 11 Masyrakat sipil bagi Tocqueville bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi yang membuatnya mampu menjadi penyeimbang praktek despotisme yang dilakukan negara, konsep ini juga bisa menjadi reflective force atau kekuatan kritis untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat dari modernisasi.12 Di Indonesia, konsep civil society yang diidentikkan dengan konsep masyarakat madani diadopsi oleh Dawam Rahardjo dengan memadukan pemikiran civil society seperti dijelaskan oleh Tecqueville dengan pemikiran Jurgen Habbermas dan Hannah Arrendt tentang free public sphere atau ruang publik yang bebas.13 Pemikiran ini menjelaskan bahwa dengan adanya ruang publik yang bebas, maka setiap individu dapat dan berhak melakukan kegiatan secara
10 11 12 13
Ibid., 180. Ibid. Ibid.,181. Ibid.
bebas dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta berekspresi merespons kerja negara dan pemerintahan yang perlu dikritisi dan juga didukung. Muhammad AS Hikam sebagai salah seorang pemikir yang mengupas pemaknaan civil societydi Indonesia, dengan merujuk pada Tocquiville menyatakan bahwa civil society adalah wilayahwilayah kehidupan sosial yang terorganisir dan bercirikan antara lain: kesukarelaan sosial (Voluntary), keswasembadaan (Self Generating), dan keswadayaan (Self-Supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.14 Secara sederhana dapat digambarkan unsurunsur civil society yang meliputi: 1. Adanya kehidupan pribadi yang bebas tetapi tidak sewenang-wenang terhadap suatu kelompok masyarakat lainnya. 2. Dalam kehidupan bermasyarakat kebebasan individual tidak terkekang khususnya berkaitan dengan hak asasi perorangan. 3. Proses itu berjalan diikat dengan aturanaturan yang luwes tetapi tegas. 4. Tidak terjadi pemaksaan dan keterikatan yang berlebihan tetapi kesejajaran, persamaan dalam hak-hak dan kewajiban asasi. 5. Menyangkut aspek sosial ekonomi politik. 6. Negara sebagai manager, mediator dan pelayan yang terkendali.
B. BIOGRAFI SOSIAL-POLITIK NAHDATUL ULAMA (NU) Nahdatul Ulama atau NU didirikan pada tahun 1926 di Surabaya Jawa Timur sebagai sebuah hasil dari istikharah para pendirinya yaitu KH. Khalil Bangkalan dan KH. Hasyim Asyari yang kemudian memberikan restu kepada muridnya KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk mendirikan organisasi kemasyarakatan keagamaan atau jamiyyah ijtimaiyyah diiniyyah yang diberi nama Nahdatul Ulama atau lebih dikenal dengan istilah NU.15 Diawali dengan pembentukan komite Hijaz yang bermaksud mengirimkan utusan untuk menghadiri Muktamar Islam di Mekkah tahun
14
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, 3. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul Ulama (Surabaya: Duta Akasara Mulia, 2010), 66. 15
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
55
1926, selanjutnya komite ini berubah menjadi ormas Islam dengan nama Nahdatul Ulama seperti yang diusulkan oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Azis. Kepengurusan NU pertama dipegang oleh KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar Syuriyyah, lalu H. Hasan Gipo sebagai ketua Tanfidziyyah dan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib Syuriyyah.16 Pola organisasi yang dibentuk adalah dengan membagi kepengurusan pada dua lembaga yaitu lembaga syuriyyah yang beranggotakan para kyai senior yang memegang kebijakan organisasi dan lembaga tanfidziyyah yang berfungsi sebagai badan pelaksana organisasi yang berisikan tokoh-tokoh ulama yang lebih muda dari berbagai unsur dari keluarga Nahdatul Ulama. Pada tanggal 21-23 September 1926, dilaksanakan Muktamar NU yang pertama di Surabaya dan menghasilkan beberapa keputusan penting yang merespons persoalan sosial kemasyarakatan dan keagamaan namun lebih difokuskan pada pembahasan pokok-pokok keagamaan tentang penetapan rujukan ulama NU pada empat mazhab imam-imam besar Islam. Pada tanggal 9- 11 Oktober 1927 dilakukan Muktamar kedua di Surabaya materi-materi tentang persoalan sosial menjadi fokus utama pembahasan, seputar masalah muamalah seperti jual beli, gadai, riba, pakaian muslim, dan lain lain. Selanjutnya di bentuk lajnah an-Nasihin yang terdiri dari KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri Syamsuri, KH. Raden Asnawi, KH. Ma’shum, KH. Mas Alwi, KH. Musta’in, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Abdul Halim, dan Ustad Abdullah Ubaid. 17 yang direkomendasikan untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang keberadaan NU yang kemudian berlanjut pada pendirian cabang-cabang NU di beberapa kota. Pada muktamar muktamar selanjutnya NU mulai dikenal lebih luas dan mendapat simpati serta dukungan dari banyak kalangan umat Islam, hingga pada tahun 1937 sebagai penguatan organisasi dan bentuk kepedulian terhadap persoalan dan kebutuhan umat NU membentuk lembaga wakaf yang diberi nama badan waqfiyyah NU, selanjutnya didirikan koperasi dengan nama Syirkah Mua’awanah. Dalam bidang pendidikan 16 17
56
Ibid., 67. Ibid., 80.
Kontribusi NU Sebagai Organisasi ...
NU mendirikan beberapa pesantren dan madrasah, yang kemudian urusan pendidikan dipegang oleh lembaga Ma’arif NU sebagai rekomendasi dari Muktamar ke-13 di Banten pada 11-16 Juni 1938. Pada 18-21 september 1937, NU ikut membidani berdirinya MIAI atau al-Majlis al-Islami al-A’la Indonesia bersama beberapa tokoh dari organisasi Islam lain seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, dan W Wondoanisemo walau NU baru menjadi anggota resminya pada tahun 1939.18 Sebagai sebuah organisasi besar yang memayungi hampir 50 persen masyarakat muslim Indonesia, dan lahir di tengah kondisi politik zaman penjajahan, NU tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan penguatan organisasi di bidang politik. Akar keagamaan dan pengelolaan organisasi yang dilakukan secara religius menjadi pijakan yang kuat bagi NU untuk memasuki dunia politik dengan tetap memegang identitas keislaman sebagai ideologi. Setelah bergabung dengan MIAI yang selanjutnya bermetarfosa menjadi Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) pada 1943, dengan pengawasan yang ketat dari pemerintahan Jepang, NU merubah strategi politiknya dengan lebih bersikap akomodatif diplomatis kepada pemerintahan Jepang, salah satu indikatornya adalah dengan masuknya KH. Wahid Hasyim menjadi anggota lembaga legislatif Jepang yang bernama Chuo Sang In. Hal ini dimaksudkan agar NU dan koleganya Muhammadiyah mendapat ruang yang lebih longgar untuk bisa melaksanakan kegiatankegiatan organisasi dan tidak terlalu diawasi secara ketat oleh Jepang.19Politik akomodatif yang dilakukan NU memberikan peluang yang cukup besar bagi perkembangan organisasi, pada tahun 1944, didirikan Jawa Hokokai sebagai lembaga yang mengakomodir masyarakat yang dipersiapkan untuk menjadi tentara terutama dari kalangan pesantren. Lembaga ini dilatih oleh tentara Jepang dan digunakan untuk menghadapi perang Asia Timur Raya. Pada kelanjutannya KH. Wahid Hasyim memunculkan ide pembentukkan laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk menjadi bagian penting dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam bidang keagamaan, NU berkontribusi pada Shumubu atau Kantor Urusan Agama dan 18 19
Ibid., 107. Ibid., 117.
berhasil membentuk shumuka yaitu Kantor Urusan Agama Daerah di sekitar wilayah Jawa dan Madura. Dalam konstelasi politik nasional, NU menjadi bagian penting dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan menjadi bagian dari kelompok 9 yang menginisiasi piagam Jakarta yang kemudian berubah menjadi Pancasila. Pada periode setelah kemerdekaan, sebagai bagian dari Masyumi yang merupakan konsorsium besar organisasi-organisasi besar Islam Indonesia, NU menjadi bagian yang cukup penting, terutama setelah dilakukannya Muktamar Ummat Islam pada 7-8 November 1945 yang memutuskan Masyumi akan berpartisipasi dalam upaya state building politik Indonesia dan bertransformasi menjadi partai Masyumi yang disiapkan untuk mengambil bagian dan posisi dalam kontestasi politik dalam pemilihan umum. Namun pada akhir April 1952 berdasarkan pada rekomendasi Muktamar ke 19 di Palembang pada 28 April – 1 mei 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU, hal ini disebabkan munculnya persoalan dan konflik internal didalam Masyumi yang berkaitan dengan eksistensi NU yang merupakan kekuatan massa terbesar dalam Masyumi namum mengalami ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan dan wewenang di internal Masyumi. Pada pertengahan 1952, NU bersama PSII dan PERTI membentuk Liga Muslimin Indonesia yang mengusung komitmen bahwa kebahagiaan negara dan umat manusia bisa tercapai apabila segala potensi umat dikerahkan dengan bersendikan hukum dan peraturan Allah sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. 20 Federasi tersebut dibentuk untuk membangun konsolidasi umat muslim Indonesia dalam menghadapi Pemilihan umum tahun 1955. Konsolidasi ini membuahkan hasil dan mengantarkan NU sebagai pemenang ketiga setelah Masyumi dan PNI, dengan perolehan suara sebanyak 6. 955.141 dan memberikan 45 kursi di parlemen, sedangkan di jajaran eksekutif, NU mendapatkan 5 posisi menteri. Selanjutnya pertarungan NU pada ranah politik dengan identitas sebagai partai NU mengalami pasang surut dan dilema yang cukup
20
Ibid., 199.
pelik. NU yang berawal sebagai organisasi keagamaan disibukan dengan carut marut peta politik kekuasaan yang terjadi, tarik menarik kepentingan politik antara partai politik baik yang sama-sama menggunakan Islam sebagai ideologi ataupun dengan partai politik lain yang memiliki ideologi berbeda seperti PNI dan PKI. Muktamar NU yang biasanya diwarnai dengan diskusi tentang persoalan keagamaan beralih menjadi diskusi politik, hal ini tampak pada Muktamar ke 20 di Medan pada Desember 1956. Sepak terjang NU dalam dunia politik praktis lebih dikokohkan oleh Presiden Soekarno pada penyusunan kabinet Djuanda, dimana beberapa tokoh NU ditunjuk sebagai bagian penting kabinet yang dibentuk Soekarno sebagai implikasi beralihnya kekuasaan dari parlementer ke presidensial.21 Dalam merespon gerakan PKI, NU melakukan koordinasi dan konsolidasi yang cukup baik dengan beberapa organisasi Islam lain seperti HMI, PMII, Anshor, Muhammadiyah, beberapa organisasi Kristen dan Katolik membentuk Komando Aksi Penggayangan Gestapu atau KAP GESTAPU yang dikomandoi oleh HM Subchan Z.22 PKI dan ideologi Nasakom yang diusung Soekarno akhirnya runtuh yang dilanjutkan dengan bergantinya kepemimpinan nasional dari presiden Soekarno ke Presiden Soeharto yang identik dengan Orde Baru. Politik Orde Baru dan Kembalinya NU ke Khittah 1926 Pada masa Orde Baru, Partai NU termasuk menjadi salah satu partai yang di fusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kondisi ini secara otomatis membuat NU kembali kepada bentuk awalnya yaitu sebagai orgasisasi kemasyarakatan keagamaan atau Jam’iyyah Ijtimaiyyah Diiniyyah yang berkonsentrasi pada persoalan-persoalan dan kegiatan sosial, pendidikan, dan dakwah Islam. Pada tahun 1983 di Muktamar Situbondo bergulir ide tentang NU kembali kepada Khittah 1926 dan agar NU menutup rantai poltik praktis di kancah politik nasional yang dirasa sudah
21 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945 – 1972 (Jakarta: Grafiti Press, terjemahan Safroedin Bahar, 1985), 92. 22 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 244.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
57
tidak efektif lagi sebagai wadah gerakan bagi upaya menjalankan visi dan misi NU. Sebenarnya isu ini bukanlah isu baru dalam elite kepengurusan NU, namun baru disahkan pada 1983 karena pengaruh yang besar dari KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Abdurrahman Wahid.23 Secara organisasi, keputusan kembali ke Khittah 1926 adalah langkah politik NU yang cerdik, terutama untuk memberikan peringatan kepada PPP yang dianggap tidak proporsional memperlakukan NU sebagai organisasi Islam terbesar selain hanya untuk memanfaatkan NU secara elektoral karena basis massa yang dimilikinya yang banyak.24 Secara tidak langsung strategi ini memberikan ruang kepada para aktivis NU untuk mengembangkan kekuatan-kekuatan politiknya di tempat lain yang mau mengakomodisi kepentingan politik mereka. NU seperti memurnikan kembali nilai-nilai sosial keagamaan yang pada awalnya menjadi dasar pendirian NU. Pada masa reformasi, walau tetap berpegang pada prinsip khittah 1926, NU secara artikulatif mengembangkan sayapnya memasuki beberapa kelompok organisasi politik (partai politik) namun tetap tidak maenggunakan identitas NU sebagai background nya. Banyak tanggapan dan opini publik yang muncul dalam menilai perilaku politik NU pada masa reformasi ini, ada yang menanggapinya dengan positif dan banyak juga yang menilainya secara negatif. Namun satu hal yang tidak bisa diingkari, kembalinya NU kedalam politik praktis walaupun hal ini tetap disanggah oleh PB NU, menunjukkan bahwa NU tidak bisa dipisahkan dari diversifikasi makna politik bagi warga NU. Walau terkesan munculnya ambiguitas dalam NU secara organisasi, NU tidak pernah membatasi warganya untuk masuk dalam wilayah politik praktis, namun nilai-nilai gerakan sosial kemasyarakatan yang digagas oleh Abdurrahaman Wahid atau Gus Dur yang diamini sebagai wacana masyarakat sipil tetap menempatkan NU sebagai organiasi Islam tradisional yang konsisten memperjuangkan kepentingan masyarakat sipil dan menjadi organisasi kritis saat berhadapan dengan
23 24
58
Bahtiar Effendy, Repolitisasi Islam, 179. Ibid., 178.
Kontribusi NU Sebagai Organisasi ...
kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. NU dalam Konteks Civil Society dan Demokratisasi di Indonesia Dalam konteks Islam Indonesia, masyarakat muslim yang nota benenya merupakan mayoritas di Indonesia memegang peranan yang penting dalam eksistensi civil society sebagai kekuatan sosial politik. Potensi ummat Islam Indonesia baik secara kuantitas maupun kualitas merupakan pondasi dasar dalam penguatan civil society. NU adalah contoh kongkrit kekuatan masyarakat dalam bentuk civil society yang keberadaan dan eksistensinya patut diberikan perhatian. Sebagai sebuah komunitas muslim terbesar di Indonesia, NU dicatat sebagi pihak yang lebih awal bersentuhan dan menguatkan konsep civil society di Indonesia. Seperti dikatakan oleh Greg Barton sebagaimana di kutip oleh Hendro Prasetyo, bahwa dibandingkan dengan komunitas muslim modernis yang diwakili oleh kalangan Muhammadiyah, alumni HMI, atau tokoh muslim lain alumni dari Masyumi, para aktivis dan intelektual NU lebih dahulu memainkan peranannya dalam pengembangan wacana civil society, setidaknya untuk dua dasa warsa terakhir.25 Kalangan intelektual NU menggunakan istilah civil society dengan menerjemahkannya sebagai “masyarakat sipil” dan bukan masyarakat madani seperti yang sering digunakan oleh para modernis. Mengutip yang dikatakan oleh AS Hikam, bila menerjemahkan civil society kedalam masyarakat madani yang apabila ditelusuri akar sejarahnya merujuk pada fenomena masyarakat madinah pada zaman Rasulullah Muhammad SAW, maka akan memunculkan kekhawatiran akan menjadikan wacana civil society yang diterjemahkan menjadi masyarakat madani menjadi salah satu wacana menjadikan Islam sebagai visi alternatif bagi konsep 26 bernegara. Bagi NU, Civil Society bukanlah konsep
25 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk., Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia (Jakarta: PT Gramedia dan PPIM UIN Jakarta, 2002), 106. 26 AS. Hikam, “Nahdatul Ulama, Civil Society, dan Proyek Pencerahan”, dalam kata pengantar Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani; Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah dan LAKPESDAM NU, 1999), 9-14.
alternatif sistem politik, apalagi upaya untuk melakukan Islamisasi, walau gerakan masyarakat sipil yang dilakukan oleh NU bertujuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat dan menjadikan Islam sebagai salah satu nilai bagi gerakan perlawanan terhadap negara yang otoriter. Di tegaskan oleh Hikam bahwa Islam di Indonesia itu bersifat komplementer, karena itulah penggunaan makna masyarakat sipil membuka peluang kerjasama dengan kelompok yang lain yang memiliki agenda serupa yaitu pemberdayaan masyarakat melawan otoritarianisme yang dilakukan pemerintah.27 Walau tidak menerjemahkan civil society dengan pemahaman masyarakat madani, Hikam tidak menafikkan peran agama dalam menumbuhkan civil society di Indonesia, menurutnya, agama telah memainkan peran besar dalam merangsang aksi-aksi sosial dan politik untuk melawan kekuasaan politik dan ideologi yang dominan yang tidak berpihak pada rakyat. Gerakan sosial yang dilakukan oleh agama memang cenderung kurang terorganisir dan belum memiliki program yang konkrit, namun peran agama sebagai kekuatan dengan basis massa yang besar bisa menjadi pendorong bagi dilakukannya perlawanan sosial dan politik. 28 Penggunaan istilah masyarakat sipil dikaitkan dengan pengalaman politik NU dalam panggung politik di Indonesia dan upaya NU untuk merumuskan identitas dan visi masyarakat NU tentang model gerakan sosial yang harus dilakukan terutama untuk berhadapan dengan kuatnya dominasi negara. Istilah masyarakat sipil juga digunakan sebagai penguatan artikulasi politik NU yang berusaha menjadi otonom dari negara dan memposisikan diri sebagai counter hegemony terhadap besarnya dominasi negara, Identitas NU sebagai masyarakat sipil menguat pada masa Orde Baru yang kurang memberikan kesempatan kepada NU dalam pentas politik nasional secara praktis, yang berakibat pada terpingirkannya aktivitas politik para tokoh NU terutama pada akhir tahun 1980-an.29
27 Ahmad Baso, Civil Society dan Masyarakat Madani (Bandung: Pustaka Hidayah dan LAKPESDAM NU, 1999), 184. 28 AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1999), 143. 29 Hendro Prasetyo, Ibid., 108.
Komitmen NU untuk berperan aktif di luar orbit pemerintahan pada masa Orde Baru tidak hanya dilatar belakangi oleh perlakuan diskriminatif yang diterima, tetapi juga karena NU sebagai organisasi besar ummat Islam merasa sudah memiliki modal sosial yang cukup dan mampu dengan percaya diri menempatkan posisi sebagai check and balances dalam pemerintahan, walaupun tetap saja Orde Baru menganggapnya sebelah mata. Menurut Hendro Prasetyo, setidaknya ada dua hal penting yang bisa menjadi dasar terbentuknya modal sosial NU untuk menjadi bagian dari civil society, yaitu:30 a. Kembalinya NU ke Khittah 1926 pada Mukhtamar Situbondo tahun 1984, dimana komitmen awal didirikannya NU adalah sebagai organisasi sosial keagamaan yang bergerak pada bidang – bidang sosial, agama, pendidikan dan berorientasi pada kesejahteraan ummat. Keinginan untuk kembali kepada khittah 1926 merupakan wujud dari reorientasi sosial politik NU setelah sekian lama terlibat aktif dalam politik praktis sebagai sebuah partai politik pada era 1950-an sampai masuk dalam fusi PPP di era Orde Baru. NU secara signifikan merubah haluan gerakan dari politik praktis ke arah gerakan sosial budaya yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Keputusan kembali ke Khittah 1926 memberikan dua keuntungan yang strategis bagi NU, pertama; mengembalikan fungsi ulama NU dalam kepemimpinan organisasi, kedua; melepaskan NU dari keterkaitannya dengan partai politik atau organisasi politik manapun yang akan membuat NU leluasa bergerak dan menjalankan program-program sosial kemasyarakatannya. b. Munculnya generasi-generasi muda terpelajar NU yang disebut sebagai generasi kedua yang tidak hanya terkonsentrasi di pesantren-perantren (seperti generasi pertama) tetapi juga sudah terintegrasi dengan dunia pendidikan modern dan mampu memunculkan ide-ide tentang pengembangan wacana masyarakat sipil pada sekitar tahun 1990-an. Generasi kedua ini akrab dengan gagasangagasan baru dalam teori-teori ilmu sosial dan aktif dalam organisasi-organisasi sosial
30
Ibid., 109.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
59
kemasyarakatan baik yang di payungi NU maupun LSM lain yang memiliki agenda serupa, yaitu mengembangkan wacana masyarakat sipil dan menjadikannya alat untuk bisa menjadi penyeimbang pemerintahan. Muktamar Situbondo tahun 1984 tidak hanya menghasilkan kesepakatan kembali ke Khittah 1926 yang pada proses dialognya mengalami perdebatan yang cukup panjang melibatkan dua kepentingan besar antara kelompok yang ingin tetap NU berada dalam politik praktis dan kelompok yang secara kritis melihat misi-misi awal NU yang terabaikan dan harus segera dilakukan revitalisasi agar ummat tidak terbengkalai. Muktamar ini juga memutuskan KH. Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum Pengurus Besar NU lewat penunjukkan oleh panitia ahl al ahalli wa al Aqdi sebagai kelompok ulama senior yang memiliki otoritas untuk memutuskan. Abdurrahman wahid atau Gus Dur adalah tokoh NU yang dikenal sebagai intelektual muslim dan aktif di beberapa LSM (LP3ES, LSP, LBH, dan lain-lain) dan memiliki komitmen tinggi pada gerakangerakan intelektual dan pemberdayaan masyarakat. Dipilihnya Gus Dur sebagai ketua PB NU diharapkan dapat menguatkan NU sebagai organisasi non pemerintah yang memiliki komitmen pada misi pengembangan masyarakat dan diharapkan mampu mengubah paradigma NU dari perjuangan politik ke perjuangan sosialekonomi. Pada Muktamar–muktamar selanjutnya (Muktamar Krapyak 1989, Muktamar Cipasung 1994), Gus Dur kembali terpilih walau melawan calon-calon yang ditawarkan Orde Baru.31 Gus Dur mampu membawa NU kembali bersinar sebagai organisasi Nahdliyyin yang mempelopori terbentuknya wacana masyarakat sipil, NU banyak memberikan kontribusi ide tentang pembangunan yang berpihak pada masyarakat kecil, bahkan Gus Dur mampu memberi motivasi kepada para intelektual NU untuk menjadi generasi yang kritis berhadapan dengan pemerintah yang represif dan aktif menjadi generasi yang gigih memperjuangkan demokrasi lewat kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. 32 Gus Dur tidak sendiri dalam memperjuangkan wacana masyarakat sipil dan 31 32
60
Ibid., 119. Ibid.
Kontribusi NU Sebagai Organisasi ...
upaya menjadikan NU sebagai kekuatan sosial kritis pro demokrasi, disekilingnya banyak intelektual muda NU yang memiliki visi dan misi yang serupa untuk mengembangkan NU, mereka adalah para pemikir muda yang telah menempuh pendidikan tinggi di dalam maupun di luar negeri yang berasal dari keluarga NU. Walaupun berlatar belakang keluarga Islam tradisionalis, mereka sudah berkecimpung di berbagai organisasi sosial yang mengembangkan wacana kemasyarakatan sebagai basis gerakan, seperti : PMII, HMI, fatayat, Anshor, LP3ES, LSP, LBH, Bina Desa dan banyak organisasi lain. Diatara para intelektual NU yang cukup berkompeten adalah: M. Ichwan Syam, Slamet Effendy Yusuf, Arief Mudatsir Mandan, Masdar F. Mas’udi, Enceng Sobirin Nadjid, Lies Mustafsiroh Marcus, Muhammad AS Hikam, Fajrul Falakh, Masykuri Abdillah, Ulil Abshar Abadalla, Ahmad Baso, dan para intelektual muda NU lain. Beberapa kegiatan pelatihan pengembangan masyarakat dilakukan yang melibatkan para intelektual muda NU diantara kegiatan yang dilakukan: 1. Program kegiatan pendidikan keterampilan dalam rangka mempersiapkan tenaga relawan di pesantren-pesantren. Kegiatan ini bertujuan untuk menjadikan pesantren sebagai patner pembangunan bagi masyarakat desa dengan mensosialisasikan dan penggunaan teknologi tepat guna, peningkatan hasil kerajinan, manajemen pemasaran, dan akumulasi modal usaha.33 2. Program pendidikan keterampilan bagi guruguru dan pimpinan pesantren tentang pemberdayaan masyarakat yang berpusat di Pondok pesantren Pabelan, Jawa Tengah dan Pondok Pesantren Darul Falakh Bogor. Kegiatan ini melibatkan pihak pesantren baik yang berafiliasi NU atau bukan dengan periode pelatihan selama 1 tahun dan mukim didalam pesantren dengan kurikulum kegiatan keterampilan umum, pertanian dan irigasi, bahasa, keorganisasian, advokasi masyarakat dengan kurikulum yang berperspektif soial, politik dan ekonomi.34 Wacana mengenai penguatan masyarakat sipil merupakan agenda organisasi yang 33 34
Ibid., 125. Ibid., 126.
dijalankan oleh Gus Dur secara sistematis, dari berbagai macam kegiatan yang dilakukan bersama para intelektual muda NU, yang menggabungkan atau mengintegrasikan dua perspektif yaitu perspektif agama secara tradisional dan perseptif sosial secara modern memunculkan penguatan generasi NU yang mampu menempatkan posisi NU tidak hanya sebagai organisasi Islam tradisional, namun juga sebagai kekuataan sosial pendamping masyarakat menuju kesejahteraan baik secara ekonomi maupun politik dan memperjuangkan kehidupan bernegara yang demokratis. Gus Dur menunjukkan keseriusannya dalam upaya menguatkan masyarakat sipil di Indonesia tidak hanya melalui wacana dan kegiatankegiatan yang dibatasi oleh segmentasi masyarakat NU, tetapi lebih luas melibatkan seluruh komponen masyarakat bahkan yang multi etnis sekalipun, terbukti dengan hubungan yang dibangunnya dengan sangat baik dengan beberapa tokoh lintas agama, organisasi antar etnis dan kelompok-kelompok kepentingan yang sama sama membangun wacana civil society, seperti dikatakannya bahwa keharusan bagi gerakan-gerakan Islam di Indonesia untuk menyadari perlunya membentuk format baru dalam memperjuangkan kepentingan bersama (bangsa) yang melintasi batas-batas agama dan kepentingan sekterianisme dalam menghadapi dominasi negara, yaitu suatu perjuangan yang lebih mementingkan masyarakat itu sendiri, bukan bergantung pada negara saja.35 Dengan mengutip Pidato Gus Dur dalam acara PMII, Hendro Prasetyo mengemukakan bahwa eksistensi lembaga keagamaan menjadi bagian dari civil society adalah sebuah kebutuhan mendesak bagi negara yang sedang dalam transisi demokratisasi di Indoneisa. Lebih lanjut Gus Dur menyatakan bahwa organisasi- organisasi keagamaan Islam di Indonesia bisa menjadi representasi dari gerakan masyarakat sipil, sejauh gerakannya diarahkan pada perjuangan untuk memperoleh tempat dan posisi masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan masih memiliki fungsi kemasyarakatan dalam upaya memperkokoh posisi masyarakat.36 Sikap kritis, pluralis dan demokratis yang 35 Abdurrahman Wahid, “Intelektual Eksklusivisme”, dalam Prisma, No. 3 XX, 1991. 36 Hendro Prasetyo, 139.
di
ditunjukkan Gus Dur mampu memberikan motivasi yang tinggi kepada para intelektual NU untuk terus mengeluarkan pemikiran-pemikiran alternatif kritis dan segar dalam merespon kejenuhan masyarakat menghadapi pemerintahan yang otoriter. Ide-ide briliant para aktivis NU memasuki wilayah kajian masyarakat sipil yang berorientasi pada pembangunan, diantaranya ada Masdar F. Masudi yang melakukan kajian ulang penafsiran fungsi zakat lewat bukunya Agama Keadilan Risalah Zakat Pajak yang mengungkapkan bahwa pendayagunaan zakat bisa dijadikan sebagai alat demokratisasi dan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan negara.37 Ada pula AS. Hikam, seorang intelektual NU yang mengembangkan wacana civil society dalam banyak tulisannya seperti “Perlawanan sosial dari civil society terhadap ideologi dominan negara”, “Demokrasi dan Civil Society”, “Ruang Politik yang Terbuka”, “Wahana Bagi Proses Demokrasi”, dan tulisan tulisan lain tentang wacana civil society yang dikaitkan dengan demokrasi, masyarakat, dan etika bernegara. Pada lingkup organisasi, didirikan sebuah kelompok studi yang dikelola oleh para aktivis NU dari Yogyakarta yang diberi nama Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), yang sudah menerbitkan beberapa buku yang berkaitan dengan Islam dan civil society, diantaranya buku NU, Gus Dur dan civil society yang membahas tentang keterkaitan antara NU dan Wacana civil society yang di gagas Gus Dur di lingkungan NU.38 Dalam buku itu juga dibahas bagaimana corporate culture yang dibangun NU sebagai organisasi tradisional Islam yang berintegrasi dengan pemikiran-pemikiran dan mengadopsi ide-ide modern dalam kehidupan masyarakat. Dalam peta politik nasional, kehadiran para tokoh dan kader NU cukup memberikan kontribusi pada dinamika demokratisasi di Indonesia, hampir disetiap lembaga tinggi negara dapat ditemukan para kader NU yang menempati posisi-posisi strategis, baik itu di Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif. NU sebagai bagian dari civil society memiliki banyak peran terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Secara historis, sejak zaman pra kemerdekaan, masa Orde Lama, masa Orde Baru, hingga memasuki era
Tengah 37 38
Ibid., 131. Ibid., 143.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
61
Reformasi. Pendekatan yang dilakukan NU dalam menyikapi situasi politik bertujuan untuk menerima asas-asas demokrasi sebagai sebuah komitmen, karena secara prinsipil nilai-nilai yang diperjuangkan oleh NU sejalan dengan konsep dasar demokrasi. Demokrasi meniscayakan terciptanya sikap saling menghargai di tengah pluralitas masyarakat Indonesia. Memandang hal ini, maka NU juga memiliki prinsip-prinsip yang mendukung terhadap pluralisme, atau yang disebut dengan tasamuh (toleran). Artinya bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan. Disamping itu, NU juga mengedepankan aspek Tawasut dan I’tidal. 39 Tawasut artinya tengah, sedangkan i’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama.40Dengan sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pengejawantahan dari prinsip kemajemukan manusia dalam Al-Qur’an sebagai bentuk kesadaran akhir pluralitas masyarakat Indonesia. Pluralisme dan toleransi sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasyim Muzadi adalah bahwa Sikap akomodatif yang lahir dan adanya kesadaran untuk menghargai perbedaan atau keanekaragaman budaya merupakan salah satu landasan kokoh bagi pola pikir, sikap, dan perilaku yang lebih sensitif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, orang tidak harus diperlakukan secara manusiawi hanya lantaran beragama Islam atau sebaliknya terhadap pemeluk agama lain, tetapi lebih didasari
pemahaman bahwa nilai kemanusiaan memang menjadi milik setiap orang. 41 Sikap hidup demikian merupakan realisasi dari pandangan demokratis, toleran, dan pluralistik. Prinsip selanjutnya yang dikembangkan oleh NU dan sejalan dengan prinsip demokrasi adalah persamaan (Al-musawah) dan keadilan (al‘adalah). Bahkan keadilan merupakan nilai islam yang paling fundamental dalam kehidupan. Oleh karena itu prinsip keadilan harus dilakukan dalam pengertian secara komprehensif antara lain dalam penegakan hukum (law enforcement), dan persamaan semua orang di hadapan hukum (equality before law) .
C. KESIMPULAN Sebagai istilah yang modern, civil society sudah menjadi wacana yang secara inklusif masuk dalam ruh organisasi-organisasi sosial masyarakat di Indonesia, termasuk juga organisasi-organisasi keagamaan. NU sebagai wadah para nahdliyyin dalam mengekspresikan dan menunjukkan eksistensi kegiatan sosial keagamaannya mengambil peran yang sangat penting pada perkembangan wacana civil society di Indonesia.Walaupun pernah mengalami pasang surut dan transformasi orientasi organisasinya, NU dengan konsep kembali ke Khittah 1926 mampu memposisikan diri sebagai kelompok agama yang bergerak memperjuangkan kepentingan masyarakat tidak hanya pada lingkup agama, tetapi juga memasuki wilayahwilayah sosial poitik yang bergerak secara kultural dan substantif. Dengan mengusung pemaknaan civil society sebagai masyarakat sipil yang kontra posisi dengan negara dan berada diluar subordinat negara, NU secara leluasa mampu menjadi bagian kritis dalam menyikapi perilaku politik negara terutama pada masa Orde Baru. Wacana masyarakat sipil yang muncul di kalangan NU mendapat respon yang positif dan antusias diantara aktivis NU baik yang senior (para kyai NU) maupun yang masuk dalam kategori intelektual muda NU disebabkan karena adanya kegelisahan sosial yang muncul akibat perlakuan diskriminatif pemerintah dan beberapa kekalahan politis NU pada tingkat nasional.
39
M.Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya (Yogyakarta: AlAmin Press, 1996), .86-88. 40 Mohamad Shodik, Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 98.
62
Kontribusi NU Sebagai Organisasi ...
41 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa (Jakarta: Logos, 1999), 61.
Marjinalisasi yang di lakukan Orde Baru adalah bahan bakar yang efektif untuk menyulut kebangkitan intelektualitas dan daya kritis NU yang sempat mati suri pada masa Orde Lama ketika NU menemukan eksistensinya dalam kancah politik praktis dengan menjadi partai politik. Selanjutnya demokratisasi yang bergaung pasca Orde Baru menjadi wadah yang efektif bekerjanya NU sebagai kelompok civil society menunjang berjalannya demokratisasi. Walau di klaim sebagai wadah asal sebuah partai politik yaitu partai Kebangkitan Bangsa (PKB), NU tidak secara formal menyatakan diri sebagai bagian dari parpol tersebut. NU tetap mempertegas diri sebagai organisasi keagamaan dengan ummat Islam sebagai basis massanya dan tetap dengan orientasi Islam tradisional yang bergerak secara kultural. Demokrasi juga dianggap sebagai pilihan yang logis ketika menghadapi realitas masyarakat Indonesia yang sangat plural. Prinsip-prinsip tersebut terejawantahkan dalam doktrin teologis, seperti sikap Tasamuh, Tawasuth, I’tidal yang menjadi prinsip utama dalam berorganisasi dan mengantarkan pada terciptanya sebuah kesamaan hak dan kewajiban di antara masyarakat Indonesia dan diharapkan akan mampu menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tokoh tokoh NU yang ada dalam banyak partai politik di Indonesia berpolitik secara individual, bukan dengan menggunakan nama NU sebagai organisasi yang mengusungnya. Hal ini menjadi nilai sendiri bagi NU dalam mendukung proses demokratisasi di Indonesia, secara perlahan namun pasti, NU makin menunjukkan identitasnya sebagai bagian penting dari percaturan politik Indonesia, walau tidak secara langsung menjadi bagian dari pemerintahan, namun nilai-nilai ke Islaman khas Indonesia yang diusungnya terintegrasi jelas dalam kegiatan politik yang dilakukan oleh kader-kadernya baik didalam partai politik, legislatif, eksekutif, maupun di organisasi lain yang dimotori oleh para intelektual NU.[]
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
63
D A F TA R P U S TA K A
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdatul Ulama. Surabaya: Duta Akasara Mulia, 2010. Baso, Ahmad. Civil Society dan Masyarakat Madani. Bandung: Pustaka Hidayah dan LAKPESDAM NU, 1999. Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia 1945 – 1972. Jakarta: Grafiti Press, terjemahan Safroedin Bahar, 1985. Effendy, Bahtiar. Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?. Bandung: Mizan, 2000. Hikam, A.S., Muhammad. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta LP3ES, 1999. ............... “Nahdatul Ulama, Civil Society, dan Proyek Pencerahan”. Dalam kata pengantar Ahmad Baso, Civil Society versus masyarakat Madani; Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah dan LAKPESDAM NU, 1999). Muzadi, Hasyim i. Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa . Jakarta: Logos, 1999. M. Masyhur Amin. NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya. Yogyakarta, Al Amin Press, 1996.
64
Kontribusi NU Sebagai Organisasi ...
Muhammad Shodik, Mohamad. Gejolak Santri Kota: Aktivitas Muda NU Merambah Jalan Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Prasetyo, Hendro, Ali Munhanif, dkk. Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia. Jakarta: PT Gramedia dan PPIM UIN Jakarta, 2002. Rahardjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999. Ubaedillah A. dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Jakarta, 2010. Wahid, Abdurrahman. “Intelektual di Tengah Eksklusivisme”. Dalam Prisma, No. 3 XX, 1991.
TOPIK INTERPRETATIVE UNDERSTANDING TERHADAP MAKNA SIMBOL AL-FATIHAH DALAM AMALIAH TASHARRAFUL FATIHAH PADA MASYARAKAT BANTUL, YOGYAKARTA I M A M M U H L I S & F A T H O R R A H M A N*)
ABSTRAK Kegiatan Tasharruful Fatihah merupakan salah satu ritual keagamaan (amaliah) yang tumbuh berkembang di lingkungan warga Nahdliyin (NU), di Kabupaten Bantul sebagai sarana pengabdian, penyembahan, dan penghormatan kepada Allah SWT. Amaliah ini menjadikan Al-Fatihah sebagai bacaan utama. Prosesi ritual keagamaan tersebut dipandang sebagai simbolisme dengan meyakini bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sebuah cara kerja lain untuk sampai kepada yang Maha Kuasa. Rangkaian ritual tersebut menjadi salah satu sumber penyemangat lahirnya gerakan beribadah kepada Allah SWT. Kajian ini menghasilkan rekomendasi bahwa kegiatan amaliah Tasharruful Fatihah yang dimotori para tokoh Nahdlatul Ulama adalah sebagai upaya mendialektikan antara Islam dan budaya lokal dalam satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, meskipun antara keduanya terdapat dasar-dasar prinsip lain yang membedakan sumber ajaran keislaman dengan sumber tradisi kemasyarakatan.
KATA KUNCI: Tasharraful Fatihah, Amaliyah, Bantul, Interpretative Understanding
A BSTRACT Tasharruful Fatihah is one of religious rituals growing in Nahdatul Ulama (NU) surroundings at Bantul regency as a means of devotion, worship, and reverence to Allah the Almighty. This ritual recites al-Fatihah as the primary reading. This ritual procession is barely seen as a symbol of belief that it is a different method to be closer to the Almighty. The series of this ritual becomes one encouraging source for a worship movement towards Allah. This study recommends that Tasharruful Fatihah initiated by some NU leaders is an attempt of dialoguing Islam with the local culture as an inseparable unity. Nevertheless, there are fundamental differences in the source of Islamic teachings versus the source of social traditions.
KEY WORDS: Tasharruful Fatihah, rituals, Bantul, Interpretative Understanding
A. PENDAHLUAN Al-Fatihah berasal dari kata fataha-yaftahufathah yang berati pembukaan dan dapat pula berati kemenangan. Dinamai demikian karena *) Imam Muhlis: Alumnus Magister Ilmu Hukum Univ. Gadjah Mada, e-mail:
[email protected]; Fathorrahman: [Dosen Fak. Syari’ah & Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta], e-mail:
[email protected] **Naskah diterima Maret 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015
dilihat dari segi posisinya surat Al-Fatihah berada pada bagian awal yang mendahlului surat-surat lain di dalam Al-Qur’an.1 Surah ini terdiri dari tujuh ayat dan menurut mayoritas ulama diturunkan di Mekah, meskipun ada sebagian yang mengatakan diturunkan di Madinah. 1
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 14.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
65
Sementara yang lain, berpendapat bahwa surat ini diturunkan dua kali, setengahnya diturunkan di Mekah ketika turun perintah salat, dan setengahnya lagi diturunkan di Medinah ketika turun perintah pengalihan kiblat dari menghadap Baitul Maqdis menjadi ke arah Masjidil Haram.2 Secara teologis, surat Al-Fatihah menjadi penanda bacaan Ilahiyah yang diyakini sebagai doktrin emanasi oleh setiap ummat Islam. AlFatihah pada potongan pertama ayat-ayatnya mengandung ajaran tauhid yang utama, sehingga Al-Fatihah tampak fokus pada keEsaan Allah dan hak-Nya untuk disembah dengan penuh ketulusan oleh seluruh makhluk-Nya. Dalam ranah interpretasi Al-Qur’an, surat Al-Fatihah sering dianggap sebagai mukaddimah Al-Qur’an yang dapat memberikan benang merah ajaran Al-Qur’an. Surat ini dinamakan Al-fatihah (pembuka) karena secara tekstual ia memang merupakan surat yang membuka atau mengawali Al-Qur ’an. Selain Al-Fatihah, surat ini juga dinamakan oleh mayoritas ulama dengan Ummul Kitab (induk kitab).3 Surat ini memang bukan surat yang pertama kali diturunkan, karena surat yang pertama kali diturunkan adalah surat AlAlaq.4 Sementara dalam konteks pengamalan surat Al-Fatihah, masing-masing ummat Islam juga berbeda-beda. Sebagian ada yang sekadar meyakininya sebagai tanda bacaan pembuka AlQur’an semata yang tidak mempunyai pengaruh apapun bagi dirinya, sedangkan sebagian yang lain meyakini bahwa Al-Fatihah sebagai doktrin spiritualitas, yang bila membaca surat Al-Fatihah akan merasakan suasana batin yang berbeda dari sebelumnya, bahkan ada yang meyakini bahwa surat Al-Fatihah sebagai obat, baik obat jasmani maupun rohani. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib-nya juga berpendapat bahwa surat Al-Fatihah dapat meringankan seseorang dari siksa kelak di akhir zaman.5
2
Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, (Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, t.th., Juz I), hlm. 122. 3 M. Quraish Shihah, Tafsir al aMisbah, Juz I, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 78. 4 Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, AlBurhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H, juz 1), hlm. 206. 5 Imam Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, (Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, t.th., Juz I), hlm. 180.
66
Interpretatif Understanding ...
Surat Al-Fatihah ini menjadi sebuah bacaan yang mengandung banyak arti dan tujuan. Ia bisa berbentuk obat—secara spiritual—jika dibaca untuk permohonan kesembuhan penyakit, atau ia bisa juga berbentuk keselamatan yang dibacakan untuk dirinya agar terhindar dari segala macam malapetaka, bahkan ia pun bisa berbentuk perantara pahala (washilah al-tsawbi) yang dibacakan bagi orang mati dalam sebuah acara tahlilan. Dalam konteks sosiologis, surat Al-Fatihah menjadi makna simbol keagamaan yang diarahkan kepada konteks tertentu sesuai dengan maksud dan tujuannya. Tidak heran jika banyak kalangan yang menggunakan Al-Fatihah sebagai sarana penghubung (washilah) antara apa yang diinginkan dengan sesuatu yang terwujud. Bagi kalangan masyarakat Nahdliyin (NU), misalnya, yang terbiasa dengan kegiatan amaliah,—selalu menjadikan Al-Fatihah sebagai sumber energi yang mampu menyibak tabir ketidak-terbatasan melalui jargon washilah yang dilekatkan kepada figur-figur tertentu yang dianggap asketis,6 dan mereka menjadikan Al-Fatihah sebagai amalan utama dalam setiap rangkaian amaliahnya. Di lingkungan warga Nahdliyyin (NU), salah satu amaliah yang menjadikan Al-Fatihah sebagai bacaan utama tersebut adalah Tasharraful Fatihah yang telah berlangsung sejak 19 tahun silam di Desa Wonokromo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, yang diikuti oleh ribuan jama’ah dan diselenggarakan setiap malam Kamis, di bawah pimpinan KH. Abdul Khaliq Syifa. Kegiatan amaliah ini banyak menggunakan Al-Fatihah sebagai prosesi ritual dengan serangkaian pembacaan yang diperuntukkan bagi pribadi seseorang yang hadir, diperuntukkan bagi orang lain yang masih hidup, dan diperuntukkan bagi orang lain yang sudah meninggal dunia. Kegiatan Tasharraful Fatihah tersebut merupakan salah satu ritual keagamaan (amaliah) dalam kehidupan masyarakat Bantul yang dilakukan dalam rangka pengabdian, penyembahan, dan penghormatan kepada Allah SWT., yang diimani dan ditegaskan dalam rumusan washilah guna mendekatkan suasana emosional antara yang mati dengan yang hidup, antara yang sehat dengan yang sakit, antara yang 6
Munawar Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), hlm. 316-317.
miskin dengan yang kaya, antara yang susah dengan yang bahagia, dan antara siapapun yang mengalami berbagai macam situasi, serta didoakan melalui rangkaian bacaan Al-Fatihah. Amaliah Tasharraful Fatihah ini tidak hanya mengusung skema ajaran keislaman yang mengacu kepada ketentuan Sunnah Rasul. Namun amaliah ini mengkolaborasikan antara ajaran keislaman dan tradisi yang sarat dengan ritus kebiasaan masyarakat terdahulu. Hal ini bisa dilihat dari prosesi acara yang dilingkupi oleh tahapan pembacaan Al-Fatihah sebanyak 41 kali yang dibagi dalam tiga fragmen, pertama, AlFatihah untuk para leluhur, kedua, Al-Fatihah untuk orang lain, baik yang sedang mengalami gangguan kesehatan, kesusahan, duka cita, dan lain sebagainya. Ketiga, Al-Fatihah untuk dirinya yang menginginkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Selanjutnya, setelah pembacaan Al-Fatihah selesai, maka masing-masing jama’ah larut dari suasana emanasi yang meniupkan nafasnya ke dalam sebotol air yang dibawa oleh para jama’ah.7 Prosesi ritual seperti itu bagi sebagian kalangan dianggap terlalu melebih-lebihkan sebuah ajaran keislaman, bahkan tidak jarang beberapa kalangan yang tidak sepakat dengan prosesi tersebut dan menganggap sebagai praktek bid’ah yang sesat (bid’ah sayyi’ah). Kalangan yang tidak sependapat dengan prosesi tersebut menggunakan cara pandang literalistik dalam memahami sebuah ajaran keagamaan. Sementara sebagian kalangan berpendapat bahwa ritual keagamaan yang menyertai prosesi tradisi yang menggunakan cara pandang simbolisme dengan meyakini bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sebuah cara kerja lain untuk sampai kepada yang Maha Kuasa—dalam bahasa Paul Tillich, disebut The Ultimate Concern.8 Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk mengetahui fenomena keberagamaan suatu 7
Cara demikian banyak dilakukan oleh para pendahulu yang menyemburkan air kepada benda-benda tertentu yang diyakini bisa menjadi sarana penolak balak. Cara ini diyakini sebagai sarana transfer energi positif kepada air yang bila diminum akan memberikan dampak psikologis yang lebih baik. Terkait dengan perubahan sifat air ini, bisa dibaca dari hasil penelitian orang Jepang yang dikenal sebagai the power of water. 8 Paul Tillich, Teologi Kebudayaan: Tendensi, Aplikasi, Komparasi, Terj. (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hlm. 63. Lihat juga, Markus Hildebrandt Rambe, “Penuntun Simbol-simbol Ibadah Kristen: Sebuah Ensiklopedi Dasar”, Jurnal STT Intim, Makassar Edisi Khusus 2004, hlm. 24.
masyarakat di Kabupaten Bantul Yogyakarta yang banyak mengkolaborasikan antara ajaran keislaman dengan tradisi lokal. Setidaknya, sebuah prosesi ritual yang melingkupi amaliah Tasharraful Fatihah melalui tiga gradasi pemetaan bacaan al-Fatihah ke dalam tiga fragmen di atas, bisa dipahami sebagai rangkaian simbolik yang menegaskan makna tersendiri yang tidak bisa dipahami melalui cara pandang literalistik, apalagi amaliah Tasharraful Fatihah, lebih banyak menggunakan bacaan Al-Fatihah sebagai sarana utama dalam amaliah untuk mampu menarik perhatian ribuan orang yang rela hadir setiap malam Kamis.
B. INTERPRETATIVE UNDERSTANDING: SEBUAH KERANGKA TEORI Dalam pendekatan sosiologi, terdapat tiga paradigma yang melingkupi dasar pemikiran, yaitu fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.9 Dari ketiga paradigma ini, yang paling tepat sebagai kerangka teoritik untuk menjelaskan kegiatan amaliah Tasharraful alFatihah ini adalah teori definisi sosial yang dikembangkan oleh Max Weber. Teori ini mengarahkan sebuah paradigma untuk memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, di mana “tindakan yang penuh arti” itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding).10 Metode interpretative understanding berfungsi untuk menangkap makna maupun pesan yang terkandung di balik teks maupun konteks. Dalam konteks ini, Talcott Parson mengatakan bahwa setiap orang mempunyai keterbatasan untuk mengetahui makna sebuah perilaku seseorang bila dikaitkan dengan lingkungan sekitar yang hanya mendeskripsikan urutan kejadian lahiriah. 11 Padahal, masing-masing individu mempunyai landasan motivasional yang beragam dalam mengarahkan dan mengerahkan
9 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj. (Jakarta: Rajawali Pers, 2002). 10 K.J, Veeger Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 176-180. 11 Talcott Parson, The Structure of Social Action, (The Free Press, Paperback Edition, 1968), hlm. 583.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
67
perilakunya. Interpretatif understanding sangat urgen sebagai landasan teoritik untuk menjelaskan sebuah obyek kajian secara komprehensif yang tidak sekadar mempelajari relasi-relasi lahiriah semata bagi realitas sosial, tetapi juga menjabarkan perilaku seseorang yang bisa dipahami dari dalam, bersifat historis, dan selalu mempunyai hubungan dengan kebudayaan. 12 Namun demikian, teori yang dikembangkan oleh Max Weber ini tidak bermaksud untuk larut dalam dunia subyektivisme an sich maupun penelusuran kesesuaian makna perilaku seseorang yang total seratus persen, tetapi melalui teori ini Weber bermaksud mengembangkan pendekatan sosiologi yang bisa menduduki posisi antara kedua kutub ekstrem.13 Secara epistemologis, aliran sosiologis ini juga dikembangkan bertitik tolak dari kenyataan historis dan mengarah kepada pembentukan konsep-konsep, lalu bertolak dari konsep-konsep kembali kepada kenyataan historis.14 Secara taksonomis, teori interpretatif understanding disusun dalam dua langkah untuk mempersatukan unsur-unsur eksistensial batiniyah berupa arti maksud dengan unsur-unsur relasional yang bersifat lahiriah. Pertama, seorang sosiolog harus memahami arti yang oleh pelaku diberi kepada kelakuannya. Dalam posisi ini, seseorang harus bisa menyingkap arti dari maksud suatu kelakuan seseorang, supaya orang lain bisa memahami apa yang menjadi kehendak seseorang tersebut. Kedua, pengertian atau pemahaman yang telah diperoleh, perlu diterjemahkan ke dalam konsep-konsep. Dalam kaitan ini, konsep bukan merupakan foto copy dari realitas, melainkan suatu abstraksi dan konstruksi oleh pikiran, karena
12
K.J, Veeger Realitas Sosial....hlm. 177. Hal ini serupa dengan pengalaman Max Weber yang lain ketika berupaya meredam perseteruan dan persitegangan antar bidang ilmu, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu humaniora yang sama-sama bersikukuh dengan pendirian disiplin tunggalnya melalui metode ideografik satu sisi dan nomotetik di sisi yang lain. Lalu, Weber menggulirkan proyek kompromisasi untuk membawa kedua kutub metode tersebut ke dalam satu atap (to bring nomothetic and ideographic under one roof) sebagai solusi untuk meredam pertentangan keduanya. Lebih jelasnya, dapat dibaca dalam Heru Nugroho, “Pengilmiahan dan Ambiguisitas Sosiologi”, dalam Yulia Sugandhi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menuju Praksis (Yogyakarta: Pustaka pelajar kerjasam CCSS, 2002), hlm. x-xx. 14 K.J, Veeger Realitas Sosial...hal. 178. 13
68
Interpretatif Understanding ...
realitas yang dihadapi manusia tidak pernah dikenal dalam keseluruhannya. Apa yang dikenal selalu bergantung dari segi pandangan atau pertanyaan yang diajukan. Maka, ilmu pengetahuan yang hadir pada suatu saat bergantung kepada reproduksi pandangan dan cara pandang seseorang terhadap persoalan yang dihadapinya.15 Kedua langkah yang menjadi penyangga teori interpretatif understanding tersebut, tidak berhenti dengan menafsirkan arti subyektif— perikelakuan menjadi langkah pertama—dan memahaminya melalui tipe-tipe ideal—menjadi langkah kedua,—namun Weber hendak merumuskan pula keterangan kausal,16 antara kedua langkah tersebut yang menyingkap relasi sebab-akibat yang terungkap dalam proposisiproposisi. Maka, menurut Weber, sosiologi yang patut dikembangkan sebagai epistemologi ilmu sosial tidak hanya mempermasalahkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi juga mengungkap mengapa hal itu terjadi.17 Karena itu, definisi sosiologi yang terbangun dalam pemikiran Weber adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk memahami kelakukan sosial melalui penafsirannya. Posisi teori interpretative understanding yang dapat memainkan peran penting sebagai pengatur perikelakuan sosial juga meliputi cara 15 Dalam hal ini, Max Weber membuat klasifikasi tipe ideal ke dalam tiga kategori sebagai representasi rumusan konsep, yaitu pertama, tipe ideal yang hendak menyusun kembali suatu fenomina historis dan partikuler dalam keseluruhannya berdasarkan ciri-ciri yang dianggap relevan. Kedua, menyangkut bagian-bagian yang membentuk kategori pertama. Seperti yang berkaitan dengan tiga tipe wewenang yaitu, kharismatik, tradisional, dan rasional. Ketiga, memuat konstruksi-konstruksi konseptual yang merasionalisir salah satu tipe kelakuan tertentu, seperti free enterprise. Lebih jelas dapat dibaca, Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 217-218. 16 Namun demikian, relasi-relasi kausal dalam sosiologi tidak bersifat deterministis seperti halnya ilmu alam. Karena sosiologi tidiak pernah bisa meramalkan dengan kepastian 100% sebuah peristiwa yang akan terjadi. Dalam hal ini, bersifat umum, analisisanalisis sosiologi dapat menghasilakn suatu probabilitas yang kurang lebih besar. Selain itu, sosiologi dapat menyingkap halhal yang mungkin sekali akan terjadi. Dan seluruh pemikiran kausal Max Weber diungkapkan dalam kata “probabilitas”. Lebih jelas dapat dibaca, K.J, Veeger Realitas Sosial...hlm. 186-187. 17 Orientasi pemikiran Sosiologi Max Weber yang demikian telah termanifestasikan dalam salah satu karya monumentalnya, The Protestan Ethic and Spirit Capitalism. Dalam buku ini, Weber menjelaskan suatu sinnzusammenhang antara semangat yang mendasari kapitalisme dan etik Kalvin yang meresapi sebagian umat Protestan pada suatu tahap dalam sejarah. Baca, K.J, Veeger Realitas Sosial...hlm.186.
pandang (world view) seseorang terhadap perikelakuan sosial yang akan dipahami sebagai norma yang diyakini dan diterima oleh pranata sosial. Sehingga, apakah seseorang menginginkan sebuah struktur sosial yang bisa memberikan kebaikan di satu sisi, dan keburukan di sisi lain bagi kehidupannya,—bergantung kepada cara dia memainkan model penafsirannya dalam memahami perilaku sosial itu sendiri. Teori interpretative understanding yang menjadi point of view pemikiran sosiologi Max Weber lebih banyak menaruh perhatian kepada sebuah proses yang berlangsung dalam individu-indvidu, meskipun dia tidak melupakan hasil terakhir dari perbuatan. Sementara pemikiran sosiologi Emile Durkheim lebih memfokuskan kepada hasil dari sebuah proses, seperti pranata, meskipun juga dia tidak melupakan komponen individual di dalamnya.18 Dalam terminologi lain, interpretatif understanding disebut pula sebagai Verstehen.19 Terma ini merupakan metode analitik untuk memahami fenomena sosial yang berkaitan dengan sifat realitas sosial,20 melalui tindakan rasionalisasi terhadap perubahan sosial dan untuk mengkarakterisasi persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat modern.21 Selain itu, verstehen juga dapat digunakan untuk memahami sifat manusia dalam mengekspresikan nilai-nilai tertentu dalam hidupnya dan pranata sosialnya.22 Di samping itu, interpretatif understanding atau Verstehen menjadi sarana untuk memahami relasi sosial yang diekspresikan dalam kontak antara kedua belah pihak dan mencoba memahami maksud yang tersirat di antara keduanya. Secara tegas, Weber menyatakan bahwa dalam sebuah interaksi, bukanlah struktur-struktur sosial atau peranan-peranan sosial yang pertama-tama menghubungkan orang dan menentukan isi corak kelakuan mereka, melainkan arti dan maksud yang dikenakan orang kepada kelakuan mereka.23 Dalam hal ini, Max Weber membatasi
interpretative understanding pada niat subyektif aktor, 24 ketika terlibat dalam pergumulan perikelakuan sosial, relasi sosial, dan interaksi sosial. Bahkan pranata sosial yang mengatur sebuah norma dan konsep-konsep tentang pranata tersebut—di level paling bawah maupun level paling atas—tidak lepas dari anatomi subyektivisme yang memproduksi tindakan.25 Pada posisi ini, Weber menempatkan individu sebagai batas teratas dan pembawa tingkah laku yang bermakna.26 Oleh karena itu, secara epistemologis teori interpretative understanding dikategorikan sebagai sosiologi interpretatif yang selalu mendekatkan cara pandang sosialnya dengan menggunakan pemahaman dan penafsiran untuk melakukan rekonstruksi makna di balik kejadian atau peristiwa yang menghasilkan struktur-struktur dan bentukan sosial.27 Melalui teori ini, maka kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah dapat dianalisis guna mencermati lebih jauh tentang signifikansi dan fungsi kegiatan amaliah ini yang dilaksanakan secara kolektif dan mempertemukan situasi diri dan kondisi sosial yang cukup beragam.
C. KHASIAT AL-FATIHAH
DI
BALIK TUJUH AYAT SURAT
Allah SWT. tidaklah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, tanpa makna dan rahasia. Tidak ada satupun hal yang Allah SWT ciptakan atau yang Allah SWT susun kecuali terkandung makna dan rahasia di baliknya, termasuk salah satunya adalah surat Al-Fatihah. Banyak rahasia yang terkandung dalam surat Al-Fatihah ini, mulai dari segi jumlah ayatnya, susunannya, sampai isi kandungannya. Semua rahasia ini dicoba untuk digali dan dipelajari oleh para ulama. Paling tidak, ada beberapa keutamaan surat Al-Fatihah, pertama: membaca surat AlFatihah adalah salah satu rukun dalam salat. Dengan demikian, ia pun selalu dibaca dalam setiap salat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
18
Ibid., hlm. 194. Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 114. 20 Ralph Schroeder, Max Weber: Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 3-4. 21 Ibid., hlm. 5. 22 Ibid., hlm. 6. 23 K.J, Veeger Realitas Sosial...hlm. 175. 19
24 Max Weber, Sosiologi, terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 69. 25 Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial..... hlm. 114. 26 Ibid., hlm. 65-66. 27 Ibid., hlm. 115.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
69
Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Surah Al-Fatihah (H.R. Ibnu Hibban).28 Keutamaan kedua adalah bahwa Al-Fatihah merupakan surat paling agung dalam Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla, ia berkata, Saya sedang salat, lantas Nabi SAW memanggilku, dan aku tidak menyahut panggilan beliau. (Usai salat), aku pun menemui beliau dan berkata, “Ya, Rasulullah, saya sedang salat.” Beliau lalu bersabda, “Bukankan Allah berfirman: [Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al-Anfal: 24)?”] Kemudian, beliau kembali bersabda, “Maukah kau kuajari sebuah surat yang paling agung dalam Al-Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar masjid, aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, ‘Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?’” Maka beliau bersabda, “(Surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam salat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku”.29 Keutamaan ketiga adalah bahwa Al-Fatihah merupakan surat sebagai do’a penyembuh penyakit (rukyah). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Said al-Khudri r.a. ia berkata, “Ketika kami melakukan perjalanan jauh, lalu kami singgah di sebuah perkampungan. Lalu tiba-tiba datang seorang budak perempuan sambil berkata, tetua kampung kami sedang sakit, apakah di antara kalian ada yang bisa ? Lalu salah seorang di antara kami bangkit dan sebelumnya ia tidak memiliki pengalaman mengobati. Ia lalu membacakan baca’an ruqyah padanya hingga tetua kampung tersebut sembuh. (sebagai hadiah) ia diberikan 30 kambing dan kami juga dijamu dengan susu segar. Ketika ia kembali, kami bilang kepadanya, kamu memang bisa meruqyah atau pernah meruqyah
? dia bilang : saya tidak mengobatinya kecuali dengan bacaan ruqyah surah al-Fatihah. Kami sarankan padanya agar tidak menceritakan hal ini atau nanti kita tanyakan saja masalah ini kepada Rasulullah Saw. Tatkala kami tiba di Madinah, kami menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu beliau berkata, “Siapa yang mengajarinya bahwa al-Fatihah adalah bagian dari bacaan ruqyah. Kalau begitu, bagi-bagi saja hadiahnya. Jangan lupa untuk saya.30 Mengenai surat Al-Fatihah yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, ada beberapa pendapat di dalam kalangan para Ulama besar Islam. Pokok perbedaan pendapat itu berkisar pada hadits yang tersebut di atas ini dan beberapa ayat Al-Qur’an di bawah ini: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, dan penawar (obat) bagi penyakit yg ada di dalam dada, dan sebagai penyejuk dan rahmat bagi orang orang yang beriman”.31 “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yangg jadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan bagi orang-orang yang zhalim tetaplah merugi”.32 “Katakanlah, Al-Qur’an itu sebagai petunjuk dan penawar (obat) bagi yang beriman”.33 Oleh karena itu, ayat-ayat dan hadits yang tersebut di atas ini, semua ulama sepakat bahwa Al-Qur’an itu dapat menjadi obat. Tetapi obat apa? Mereka berlainan pendapat. Ada di antara mereka mengatakan sebagai obat dari penyakitpenyakit batin (rohani) saja, tidak dapat menjadi obat dari penyakit-penyakit jasmani. Tetapi Ulama yang lain mengatakan, bisa menjadi obat bagi penyakit-penyakit rohani dan sekaligus jasmani.34 Itulah faidah surah Al-Fatiah sebagai bagian dari aya-ayat Al-Qur ’an sebagai karya yang sangat orisinil yang bermakna sebagai petunjuk bagi umat manusia. 35 Di dalamnya tidak ada
30
HR. Bukhari. QS. Yunus : 57. 32 QS. Al-Isra : 72. 33 QS. Fusshilat : 44. 34 Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz I, (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2000), hlm. 17. 35 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Miza, 1983), hlm. 1. 31
28 Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, juz 5, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993), hlm. 81. 29 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin alMughirah al-Ja’fi al-Bukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih alMukhtashar, juz 12, (Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H), hlm. 450.
70
Interpretatif Understanding ...
keraguan sama sekali, tidak mengada-ada, serta tiada kebohongan. Gaya bahasanya sangat khas dan memukau, tiada bandingannya dan sangat berbeda dengan syair-syair, tulisan-tulisan atau apapun yang merupakan hasil buatan dan karya cipta dari manusia, jin, malaikat, hewan maupun tumbuhan.
Tasharraful Fatihah: Sebagai Bentuk Kegiatan Amaliah Kegiatan amaliah Tasharraful al-Fatihah merupakan bagian dari ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat beragama di Kebupaten Bantul Yogyakarta yang dilakukan dalam rangka pengabdian, penyembahan, dan penghormatan kepada Allah SWT. yang diimani sembari ditegaskan dalam rumusan washilah guna mendekatkan suasana emosional antara yang mati dengan yang hidup, antara yang sakit dengan yang sehat, antara yang miskin dengan yang kaya, antara yang susah dengan yang bahagia, dan antara siapapun yang mengalami berbagai situasi yang kurang baik didoakan melalui rangkaian bacaan Al-Fatihah. Kegiatan ini telah berlangsung sejak 19 tahun yang lalu di desa Wonokromo, Kab. Bantul yang diikuti oleh ribuan jama’ah dan diselenggarakan setiap malam Kamis, di bawah pimpinan KH. Abdul Khaliq Syifa, bahkan pada waktu tertentu, di malam Kamis, kegiatan Tasharraful Fatihah ini diikuti kurang lebih 10.000 jama’ah yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat di Yogyakarta, yang dengan tulus dan ikhlas mengikuti serangkaian acara dalam Tasharraful Fatihah secara istiqomah. Salah satu warga Bantul bernama ibu Jumiati memberi kesaksian bahwa ia merasakan kepuasan spiritual melalui kegiatan Tasharraful Fatihah, bahkan banyak juga para jama’ah lain yang memberikan kesan-kesan yang sama dengan maksud dan tujuan yang beragam.36 Keterangan dan kesaksian yang disampaikan para jama’ah yang rutin mengikuti kegiatan Tasharraful Fatihah ini ingin meneguhkan bahwa kegiatan amaliah yang berlangsung secara berkala ini sangat memberikan manfaat bagi keberlangsungan hidupnya, baik secara materiil maupun immaterial. Meskipun menurut sudut pandang lain, bahwa penggapaian kebahagiaan
36
Wawancara pada tanggal 23/11/2011.
di dunia yang dilakukan dengan cara mereka— menghadiri kegiatan Tasharraful Fatihah ini mencerminkan diskontinyuitas antara proses yang dilakukan dengan tujuan yang hendak dicapai, karena persoalan dunia bisa dicapai melalui kerja rasionalitas. Namun, bila merujuk terhadap analisa Max Weber, bahwa dalam melaksanakan proses dan menggapai tujuan, terdapat banya cara yang bisa dilakukan guna meneguhkan identitas seseorang untuk memperoleh apa yang diinginkan.37 Analisa secara sosiologis sebagaimana dipaparkan oleh Max Weber, ingin menegaskan bahwa sesungguhnya dalam kehidupan manusia tidak hanya dipenuhi oleh cara-cara rasional untuk menggapai tujuan yang rasional. Karena, setiap orang mempunyai keyakinan yang berbeda-beda dalam menterjemahkan sebuah kebahagiaan dan keselamatan yang menjadi citacita mulia setiap orang. Maka, tindakan kreatif untuk memahami bangunan ajaran yang ada di dalam agama Islam bisa dilakukan melalui kegiatan amaliah sebagai sarana untuk mencapai keinginan untuk hidup bahagia dan selamat. Meskipun, bagi sekelompok orang tertentu masih menganggapnya sebagai tindakan yang terlalu “mengada-ada” dan tidak berdasar kepada sumber yang shahih. Meskipun demikian, jika merujuk kepada beberapa pengalaman orang-orang yang meyakini bahwa kegiatan amaliah bisa memberikan dampak kebahagiaan, dan karena itu, orang-orang yang meyakininya akan tetap mengikuti berbagai kegiatan amaliah, seperti Tasharraful Fatihah, sebagai salah satu sarana sekaligus pedoman yang bisa membimbing kepada jalan yang bisa memberikan kebahagiaan yang diridlai Allah SWT. Dalam kaitan ini, kebahagiaan yang dialami oleh pengikut amaliah Tasharraful Fatihah merupakan salah satu dampak psikologis—yang memberikan nilai ajaran moral—yang dapat mengendalikan perilakunya terhadap antar sesama, sekaligus dampak sosiologis—yang memberikan nilai ajaran sosial—yang bisa menyadarkan pentingnya akan jalinan interaksi
37 Heru Nugroho, “Rasionalisasi dan Pemudaran Pesona Dunia”, Pengantar dalam Ralph Schroeder, Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, terj. (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. ix.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
71
sosial yang sehat dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan analisa sosiologis Max Weber tentang sistem kepercayaan dan cara pandang terhadap ritualisme, bahwa kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah menjadi cara pandang bagi jama’ah NU yang bisa memberikan kebahagiaan. Karena itu, kegiatan Tasharraful Fatihah, yang sudah berlangsung sejak 19 tahun yang lalu dan hingga saat ini masih digemari oleh ribuan masyarakat Bantul sebagai salah satu kegiataan keagamaan yang bisa mencerahkan kondisi bathiniyah-nya. Manfaat teologis yang didapat dari kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah berupa ketenangan bathiniyah yang menunjukkan, bahwa amaliah ini menjadi salah satu bagian penting yang turut berkontribusi bagi peningkatan penghambaan manusia kepada Allah SWT., dan sarana ibadah untuk meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Sementara dampak sosiologis yang diperoleh dari kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah, bisa mempererat hubungan horizonatal antara satu jama’ah dengan jama’ah lainnya yang mempunyai beragam profesi tanpa memilah jenis profesi tertentu untuk membangun solidaritas sosial yang lebih akrab, karena dalam kegiatan amaliah ini, semua orang yang hadir mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu menjalin hubungan sosial yang baik antara satu dengan yang lain. Nuansa religiusitas yang memadukan antara aspek teologis dan aspek sosilogis ini memberikan kontribusi penting bagi tumbuhnya solidaritas sosial yang genuine, tanpa disekati oleh perbedaan profesi, status, maupun identitas lainnya. Kesadaran untuk berperilaku lebih baik melalui refleksi ajaran-ajaran keislaman yang disampaikan di dalam kegiatan amaliah dan berlangsung secara interaktif antara satu dengan yang lain, bisa dipahami sebagai rangkaian dialektis yang saling bersinergi—meminjam analisa sosiolog, Peter L Berger—antara proses eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.38 Dengan kata lain, eksternalisasi merupakan media kehendak secara kolektif untuk menentukan cara peningkatan beribadah dalam bentuk amaliah. Dan cara kehendak yang sudah disepakati dan 38
Peter L Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 4-5.
72
Interpretatif Understanding ...
diwujudkan dalam rangkaian kegiatan amaliah secara berkelanjutan menjadi kesadaran obyektif bahwa kegiatan amaliah menjadi keniscayaan teologis yang dipahami sebagai konstruksi ajaran keislaman yang baru.
D.PERAN NU DALAM MENGAKTUALISASIKAN AMALIAH TASHARRAFUL FATIHAH Sebuah kegiatan keagamaan baik yang bersumber dari kerangka ajaran keislaman atau bersumber dari tradisi kemasyarakatan maupun bersumber dari kolaborasi antara ajaran keislaman dan tradisi kemasyarakatan seperti yang terjadi pada kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah ini, bisa berlangsung secara konstan bila digerakkan oleh kekuatan personal yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dapat dipercaya sebagai motor penggerak kegiatan tersebut. Sehingga mengikutinya meyakini bahwa kegiatan keagamaan tersebut bisa menjadi solusi alternatif bagi pengembangan dirinya. Keberlangsungan kegiatan keagamaan secara istiqomah serta memberikan nuansa ukhrawi dalam setiap rangkaian acaranya bisa menjadi perhatian utama yang ditetapkan sebagai kebiasaan baru. Bahkan, masyarakat yang mengikutinya tidak segan-segan menganggap kegiatan amaliah tersebut sebagai jalan kebenaran yang dapat memuaskan unsur batiniyah-nya, karena muatan religiusitas yang dihadirkan dalam kegiatan amaliah tersebut dapat mempengaruhi unsur intrinsik dari dalam hatinya. Pada titik inilah, masyarakat yang akan hadir setiap waktu pelaksanaan kegiataan amaliah tidak akan diselimuti oleh keraguan terhadap fungsi teologis atas kegiatan amaliah tersebut, apalagi dalam kegiatan ini menyiratkan fungsi lain yang bernuansa sosial yang dapat mengeratkan emosionalitas keummatan dan kemanusiaan bagi pengikutnya. Dalam konteks ini, daya akseptabilitas masyarakat kepada kegiatan amaliah Tasharraful al-Fatihah, yang sudah berlangsung selama 19 tahun dan mampu dihadiri oleh 5.000 hingga 10.000 jama’ah mencerminkan kuatnya kepercayaan mereka terhadap kegiatan amaliah ini. Meskipun, bila diukur dengan aspek duniawi yang lebih menonjolkan sisi materialitas maupun lainnya, kegiataan amaliah semacam Tasharraful al-Fatihah tidak memberikan ruang transaksional
yang bisa menjembatani kepentingan pengikutnya dengan keuntungan yang ingin diperoleh. Tetapi nihilnya, ruang transaksional yang berbau materialitas ini tidak menghambat komitmen mereka yang selalu hadir dalam kegiatan Tasharraful Fatihah yang berlangsung setiap malam Kamis. Kondisi demikian mengundang pertanyaan mendasar bagi peneliti, mengapa kegiatan amaliah seperti Tasharraful Fatihah yang berlangsung setiap malam Kamis ini tetap eksis di tengah gencarnya serangan modernitas yang banyak menawarkan nilai-nilai materialitas yang serba kalkulasi dan transaksi? Dan bahkan, kegiatan amaliah ini tidak surut oleh gencarnya kelompokkelompok lain yang selalu melabelisasi kegiatan amaliah seperti Tasharraful Fatihah ini sebagai kegiatan ibadah yang sarat dengan bid’ah. Menguatnya respon masyarakat Bantul terhadap kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah yang rutin berlangsung setiap minggu, tidak lepas dari keterlibatan peran ulama NU yang secara rajin, ikhlas, dan sepenuh hati menjalankan kegiatan amaliah ini. Sehingga, apa yang dilakukan oleh ulama NU berimbas kuat kepada orang lain yang sama-sama membangun kepedulian yang sama terhadap kegiatan amaliah ini. Dalam perkembangan selanjutanya, kegiatan ini tidak sekadar dipahami sebagai nilai ibadah yang bersifat vertikal semata—sesuatu yang menghubungkan manusia dengan Allah SWT,— namun turut dipahami sebagai nilai sosial yang bersifat horizontal—sesuatu yang menghubungkan manusia dengan manusia lainnya. Kerangka ajaran keislaman yang disampaikan dalam kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah ini secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh bagi tegaknya sebuah eksistensi nilai-nilai keislaman di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilingkupi oleh peradaban modern. Amaliah ini mengandung juga unsur kearifan lokalitas—yang menjadi inti dari tradisi kemasyarakatan—yang banyak mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap arwah leluhur melalui panjatan doa, menghargai ritualitas yang bertujuan untuk kesembuhan orang sakit, maupun siraman rohani yang diperuntukkan bagi orang yang sedang dilanda kesusahan, sehingga banyak jama’ah yang menganggap kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah
sebagai sarana re-charging dan sarana refleksi sekaligus evaluasi atas segala tindak-tanduknya. Hadirnya kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah di Wonokromo, Kab. Bantul yang menyuguhkan suasana sakralitas namun memberikan dimensi sosial dalam rangkaian ritusnya, tidak terlepas dari keberadaan Kyai Abd. Khaliq Syifa. Keterlibatan ulama NU tersebut secara konsisten mengayomi masyarakat Bantul melalui kegiatan amaliah Tasharraful al-Fatihah,39 menjadi pusat perhatian yang sangat mengesankan tersendiri di hati para hadirin ketika bacaan Al-Fatihah mengawali serangkaian amaliah dan beranjak kepada wejangan yang disampaikan dalam tempo waktu 15 menit sebagai penutup dari kegiatan amaliah tersebut. Pelaksanaan amaliah Tasharraful Fatihah yang hanya menghabiskan waktu 1 jam, dari jam 20:00 – 21:00 WIB, memberikan serapan makna yang mendalam di hati para hadirin. Selain waktu kegiatan yang tidak terlalu padat, permulaan pelaksanaan acara yang tepat waktu, respon masyarakat yang hadir berduyun-duyun menunjukkan kesan simpatik terhadap kegiatan amaliah ini, meskipun jarak tempuh yang dijalani oleh sebagian hadirin sangat jauh dari tempat tinggal, tidak menyurutkan mereka untuk menghadiri Tasharraful Fatihah, bahkan para hadirin yang tiba yang di lokasi acara Tasharraful Fatihah, dengan ikhlas menunggu 15 - 30 menit sebelum dimulainya acara. Gambaran suasana para jama’ah yang hadir dalam kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah tersebut, menunjukkan kesadaran masyarakat terhadap penghayatan terhadap pentingnya sebuah ibadah dalam bentuk ritual, meskipun format acara kegiatan amaliahnya memasukkan unsur tradisi yang diwariskan oleh para leluhur, terutama yang berhubungan dengan “ngalap barokah” Allah yang dipersonifikasi melalui wujud lain seperti air yang dibawa oleh para hadirin, mengirim Al-Fatihah untuk ulama, syuhada, dan para salafus shaleh lainnya—yang cara-cara demikian—dipercaya bisa memberikan kekuatan batiniyah dalam menghadapi tantangan hidup.
39 Bahkan, beliau juga terlibat aktif di sejumlah kegiatan amaliah lainnya yang diselenggarakan di Kab. Bantul. Dan Bantul menjadi salah Kabupaten terdepan di Yogyakarta yang kommit dengan pelaksanaan kegiatan amaliah ini.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
73
Amaliah Tasharraful Fatihah yang memasukkan unsur kebiasaan masyarakat yang sudah menjadi tradisi secara turun-temurun ke dalam kegiatan pengajian yang bermuatan syiar keislaman, seperti Tasharraful Fatihah, sudah barang tentu tidak menafikan keesaan dan kekuasaan Allah SWT. sebagai Tuhan yang hanya satu-satunya patut disembah. Kegiatan amaliah ini tidak pula mengajarkan kesyirikan yang bisa mengesampingkan keberadaan Allah SWT. sebagai satu-satunya unsur Dzat yang tidak bisa dipersandingkan dengan kekuatan apapun. Nilai-nilai transformatif yang sangat menonjol di dalam ajaran Tasharraful Fatihah ini adalah sebagai salah satu dinamika amaliah yang banyak dilakukan oleh komunitas NU, dengan maksud dan tujuan untuk mengembangkan wacana fikih baru yang berafiliasi kepada khazanah lokalitas. Sebuah wacana fikih lokalitas yang disertai dengan rumusan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Rumusan ini—dalam babak-babak berikutnya— diapresiasi dan diadaptasi oleh intelektual NU sebagai kerangka pemikiran hukum Islam yang progresif yang pro terhadap kearifan lokal (lokal wisdom). Salah satu contoh adalah lahirnya gagasan pribumisasi Islam yang diprakarsai oleh pemikir besar seperti KH. Abdurrahman Wahid.40 Oleh karena itu, berangkat dari kegetiran kemajuan zaman yang sudah beranjak ke serba modernan ini, maka kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah bisa menjadi oase di tengah samudera kekeringan yang banyak dialami oleh masingmasing individu termasuk orang yang hidup di desa, pesisir, kampung maupun ranah pinggiran lainnya. Dalam hal ini, kehadiran figur ulama NU yang senantiasa tulus mendampingi masyarakat dengan kegiataan keagamaan bisa menjadi potret bakti sosial terbarukan di tengah kuatnya keengganan masyarakat untuk terlibat aktif dalam acara pengajian maupun amaliah dalam ruang publik. Kegiatan amaliah yang banyak dipelopori oleh ulama NU meniscayakan sebuah seruan revitalisasi ajaran keislaman yang bisa menghargai nilai-nilai kearifan lokal yang
40 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh, (ed), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hlm. 82.
74
Interpretatif Understanding ...
dahulu pernah menjadi sarana penyebaran agama Islam.41 Tentunya, yang dilakukan oleh ulama NU bisa dikategorisasikan sebagai—meminjam istilah Ali Shari’ati—agent of social change—yang memberikan pengetahuan keislaman yang arif dan bijaksana mencermati setiap kebiasaan lama yang ingin dipertahankan dan setiap kehendak perubahan yang mau diambil untuk sesuatu yang lebih baik.42 Melalui tata kelola pemahaman keislaman yang arif, ulama NU di Kab. Bantul banyak mengajarkan pesan-pesan sosial kepada jama’ahnya dengan melansir ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan, banyak motivasi sosial yang diberikan dalam kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah yang bernuansa integrasi inter-personal, 43 integrasi sosial,44 dan integrasi kultural.45 Dengan harapan, nilai-nilai tersebut bisa dihayati sebagai salah satu pedoman untuk memperbaiki diri dan lingkungan—disadari atau tidak—telah mengalami degradasi moral yang secara perlahan mulai mengikis karakter keummatan dan kebangsaan. Bermula dari pesan-pesan luhur yang selalu disampaikan dalam kegiatan amaliah Tasharraful al-Fatihah dapat dianggap sebagai salah satu kontribusi besar yang positif bagi tumbuhkembangnya peradaban manusia sejati— sebagaimana yang dicita-citakan oleh agama, masyarakat dan negara di masa depan, sehingga ummat Islam bisa menjadi motor penggerak perubahan di setiap level kehidupannya dan sekaligus menjadi bagian individu yang selalu bermanfaat bagi kemasalahatan kehidupan manusia secara umum. 41 Sebagaimana yang dilakukan oleh Waling Songo. Di antaranya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang memadukan unsur tradisi Jawa ke dalam pelaksanaan ajaran Islam. Lihat, Wiji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, (Jakarta: Mizan, 1999), hlm. 28. 42 Hal ini terkandung dalam sebuah adagium yang berbunyi “al muhafadlah ‘ala qodim al shaleh wal akhdzu bil jaded al aslah”. 43 Seperti menjalin hubungan yang baik antara satu dengan yang lain melalui cara komunikasi yang santun, ramah, elegan, dan asertif, meskipun berhadapn dengan situasi konfliktual. 44 Seperti cara bersosialisasi yang rukun antara satu kelompok dengan kelompok yang lain tanpa mengedepankan perasaan lebih menonjolkan dirinya dan melemahkan orang lain ketika berhadapan dengan perbedaan. 45 Seperti menghargai nilai-nilai budaya dan kebiasaan yang terdapat dalam suatu suku yang memiliki latar belakang bahasa, gender, dan nilai kemasyarakatan yang melekat pada unsur etnisitasnya.
E. TASHARRAFUL FATIHAH DAN FIKIH LOKAL: SEBUAH TAWARAN TEORITIK DALAM KAJIAN FIKIH Hukum Islam (Islamic Law) adalah ketentuan Ilahiyah yang memuat berbagai aturan perintah dan larangan menuju kemasalahatan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Untuk memahami berbagai ketentuan yang diatur di dalam Al-Qur ’an dan hadits diperlukan metodologi fiqhiyah (Islamic Jurisprudence) untuk menjelaskan berbagai latar belakang normatif dan sosiologis lahirnya aturan-aturan tersebut. Supaya maksud dan tujuan dari segala sesuatu yang diperintah dan dilarang dapat dipahami oleh umat manusia sebagai asas manfaat yang dapat menunjang bagi lahirnya kehidupan yang lebih baik. Fakta ini dapat dicermati dari teori-teori penafsiran seperti asbabun nuzul, asbabul wurud, nasakh-mansukh, dan lain sebagainya yang menjelaskan keterkaitan historis antara turunnya ayat maupun hadits dengan realitas sosial yang terjadi saat itu, di mana unsur Arabisme yang menjadi landasan kultural turunnya ayat-ayat Al-Qur ’an dan hadits berpengaruh kuat bagi konfigurasi ajaran Islam. Namun yang menimbulkan pertanyaan krusial dalam kurun waktu berikutnya, seperti saat ini, misalnya, apakah unsur Arabisme tersebut patut menjadi satu-satunya cara pandang yang harus diikuti dan dilaksanakan dalam kehidupan ummat Islam, meskipun ayat-ayat dan hadits yang sarat dengan nuansa kultus Arab—terbukti nyata— bertentangan dengan tradisi lokal yang ada di lingkungannya?. Kondisi inilah yang menjadi basis konflik bagi banyak kalangan dan antar kelompok ummat Islam dalam memahami bangunan hukum Islam yang semata-mata disandarkan kepada Al-Qur ’an dan hadits. Padahal, para ulama terdahulu, seperti Imam Mazhab, telah memberikan contoh penetapan hukum Islam yang juga mengacu kepada kebiasaan masyarakat setempat. Bahkan, pernah suatu ketika, agar kitab Al-Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik diminta untuk dijadikan sebagai sumber hukum positif yang akan diberlakukan di seluruh wilayah Islam oleh Abu Ja’far al-Manshur (khalifah Abbasiyah), namun permintaan tersebut ditolak oleh Imam Malik dengan alasan bahwa setiap masyarakat memiliki tradisinya
sendiri dan berhak atas pelaksanaan tradisinya sebagai sumber penerapan hukum Islam.46 Dalam konteks ini, sesungguhnya di setiap daerah telah terjadi akulturasi timbal-balik antara ajaran Islam dan budaya lokal yang shahih untuk menjadi sumber penetapan hukum Islam. Islam sebagai agama yang universal akan melintasi batas-batas ruang dan waktu dengan berbagai corak tradisi lokal yang berbeda-beda, atau dalam kaidah ushul fiqh diyatakan bahwa: “tidak dapat pungkiri bahwa perubahan hukum karena perubahan zaman47. Dengan demikian, apa yang menjadi kebiasaan sebuah masyarakat perlu diakomodasi dengan bijaksana supaya ajaran Islam dapat dihayati dengan baik sekaligus menjadi way of life yang dapat mengatur cara berperilaku masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan amaliah yang menjadi tradisi lokal khas Indonesia, tidak sepatutnya dipertentangan dengan cara pandang Islam Arabistik, meskipun secara historis kegiatan amaliah ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Mahammad SAW. Namun, jika dimunculkan pertanyaan andaian yang kritis, “seandainya AlQur ’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad di Indonesia maka segala unsur dogmatik yang termuat dalam ayat-ayatnya akan dipengaruhi oleh tradisi ke-indonesiaan, bahkan hadis-hadis yang mencerminkan segala perkataan dan perilaku Nabi-pun, tidak akan lepas dari karakteristik keindonesiaan pula.” Dengan demikian, sesungguhnya perilaku keberagamaan NU yang berbasis kepada tradisi lokal yang selalu memprakarsai lahirnya kegiatan amaliah tidak dapat dikatakan sebagai model keberagamaan yang menyimpang dari ajaran islam (bid’ah). Karena kegiatan amaliah tersebut menjadi filter kebudayaan yang berfungsi untuk membangkitkan semangat sosial-keislaman masyarakat di tengah kuatnya arus modernisasi dan globalisai. Apalagi, arus ini banyak menawarkan cara pandang hedonistik, vulgaristik, dan selebrisistik sebagai pra-syarat menjadi manusia yang “maju”. Pentingnya kegiatan amaliah sebagai filter
46 Husein Muhammad, Spritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hlm. 159. 47 Subhi Mahmasani, Falsafah at-Tasyri’ fi Al- Islam, (Beirut: Dar al ’Ilmi li al- Malayin, 1961), hlm. 201.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
75
kebudayaan dalam era yang serba modern,48 sebagaimana yang telah dilakukan oleh NU di Kabupaten Bantul, perlu penyikapan akademik secara lebih intens untuk mengetengahkan berbagai upaya rekonstruksi fikih baru yang dapat mengakomodasi persentuhan antara tuntunan Islam dan tradisi lokal yang berbasis kepada kegiatan amaliah, seperti Tasharraful Fatihah. Karena, secara asasi fikih merupakan sekumpulan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT., serta hubungannya dengan sesama makhluk. Maka, sebagai salah satu pedoman Islam yang dapat mengendalikan seluruh perilaku manusia, dibutuhkan kerangka teoritis yang bisa mensinergikan antara ketentuan normatif dengan kebutuhan sosiologis dalam menjadikan tradisi sebagai pertimbangan mendasar dalam menentukan sebuah produk hukum Islam. Apalagi, cara penyikapan demikian pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu melalui rumusan teoretiknya seperti, ‘urf, ‘adah, dan ijma’ ulama yang mendasarkan ketentuan hukumnya kepada khazanah lokalitasnya. Upaya rekonstruksi fikih baru melalui kegiatan amaliahnya—menjadi kontribusi berharga bagi pengkayaan kajian fiqhiyah (tsarwah al-fiqhiyah) di tengah kuatnya arus modernisasi yang menitikberatkan fokus kajiannya kepada ajaran-ajaran praktis, seperti amaliah yang memadukan antara tuntunan ajaran keislaman dan tuntutan tradisi kemasyarakatan. Meskipun, dalam perkembangannya, cara demikian banyak melahirkan konfrontasi ideologis yang melibatkan sesama kelompok Islam. Kelompok lain yang tidak setuju dengan cara rekonstruksi fiqhiyah yang dilakukan oleh NU—melalui aktualisasi kegiatan amaliah yang memadukan antara tuntunan ajaran Islam dengan tuntutan penghargaan tradisi kemasyarakatan—lebih memilih untuk mempertahankan cara pandang yang bersifat normatif semata. Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh NU melalui serangkaian kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah menjadi salah satu bagian penting yang merepresentasikan nilai-nilai kebaikan. Karena itu, kegiatan amaliah yang mengkolaborasikan nilai-nilai ajaran keislaman dengan tradisi kemasyarakatan—ini bisa menjadi salah satu 48
Fahmi Hamdi, “Fiqh dan Tradisi Lokal”, Banjarmasin Post, Jumat, 27 Mei 2011.
76
Interpretatif Understanding ...
landasan epistemologis untuk merekonstruksi fikih baru yang berbasis kepada kebiasaan (‘adah) masyarakat yang ditegaskan ke dalam konsep fikih lokal. 49 Epistemologi fikih lokal yang berlandaskan kepada khazanah lokalitas dapat menjadi salah satu kontribusi pemikiran dalam bidang hukum Islam yang dapat diproyeksikan sebagai langkah pengembangan kajian fiqhiyah yang cukup luas. Namun hal ini bergantung kepada respon pemikir selanjutnya yang mempunyai kepedulian yang sama bagi pengembangan kajian fiqhiyah yang berbasis kepada khazanah lokalitas. Tujuannya adalah, supaya fikih lokal menjadi kajian akademik yang bergerak secara dialektis sekaligus berinteraksi dengan ruang publik yang lebih luas. Langkah ini diperlukan, agar fikih lokal memperoleh perhatian yang berimbang di antara epistemologi fikih yang lain. Sehingga, fikih lokal mengalami pengembangan kajian yang berkelanjutan (continues improvement) dan direkonstruksi sebagai kontribusi pemikiran yang inovatif. Cara dan metode seperti itulah, maka sebuah pengetahuan akan mengalami perkembangan yang cukup pesat dan dapat dikonsumsi oleh publik sebagai salah satu khazanah pemikiran. Terlebih, pengetahuan yang berkaitan dengan fikih lokal ini mempunyai tanggung jawab moral bagi pelestarian tradisi kemasyarakatan yang berpadu dengan nilai-nilai ajaran keislaman itu sendiri. Melalui kesadaran akademis ini juga, maka kegiatan amaliah seperti Tasharraful Fatihah akan menjadi salah satu ritus penting yang dapat membangkitkan kesadaran dan semangat umat Islam untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dan kemaslahatan. Dan ketika berhadapan berbagai cara pandang kontradiktif tentang kegiatan amaliah tersebut, maka secara normatif dan empiris, fikih lokal dapat menjelaskan signifikansi dan fungsi amaliah bagi peradaban manusia modern. Fungsi fikih lokal menjadi salah satu pengetahuan hukum Islam kontemporer yang mempunyai kesadaran praksis—selain kesadaran teoretik-akademik—yang bisa dirumuskan dan ditindaklanjuti secara empiris berdasarkan kebutuhan pengelolaan ritualitas dan spritualitas umat Islam itu sendiri. 49 Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. xxiii-iiii.
Dalam kaitan ini, maka ritualitas dan spiritualitas selalu disadari sebagai faktor elementer bagi umat Islam untuk senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. sekaligus menjadi faktor penentu bagi penenangan jiwanya di tengah karut-marut persoalan duniawi. Dan tidak heran jika kemudian dalam momen mujahadah dan istighotsah, banyak orang yang berpartisipasi meskipun harus meninggalkan kepentingan lain yang lebih bermanfaat secara material. Karena, kepuasan jiwa hanya dapat diperoleh melalui ritus keagamaan yang berbaur dengan tradisi kemasyarakatan, seperti mujahadah, istighotash, serta pengamalan Tasharraful Fatihah secara berkelanjutan, seperti yang dilakukan masyarakat Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
F. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan untuk menegaskan hasil penelitian melalui tahapan kesimpulan sebagaimana berikut ini: 1. Al-Fatihah yang dibaca sebanyak 41 kali dalam kegiatan Tasharraful Fatihah di Kabupaten Bantul mempunyai dimensi yang saling berkaitan dengan apa yang mereka yakini. Pertama, sebagai penanda (signifikasi) terhadap keyakinan mereka bahwa Al-Fatihah sebagai sumber energi yang mampu menyibak tabir ketidak-terbatasan melalui jargon washilah yang dilekatkan kepada figurfigur tertentu yang dianggap asketis. Kedua, sebagai legitimasi terhadap apa yang mereka inginkan. Dalam hal ini, terbersit keyakinan yang menjadi pedoman dalam mencapai keinginan mereka, bahwa dengan membaca Al-Fatihah dapat memberi ketenangan bathiniyah, sehingga mereka dapat mencapai keinginan tersebut. Ketiga, Al-Fatihah sebagai transformer dominan terhadap semangat yang diyakini menjadi salah satu jalan lempang yang bisa berwujud semacam energi baru yang selalu diyakini bahwa dengan membaca Al-Fatihah, maka segala urusan dapat dengan mudah dicapai. Inilah dimensi Al-Fatihah pada wilayah makna simbolik yang mengemuka dalam kegiatan Tasharraful Fatihah di kalangan masyarakat Desa Wonokromo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 2. Model penerapan hukum Islam berdasarkan
tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Bantul dilakukan melalui kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah. Animo massif yang berkelanjutan ini tidak terlepas dari kuatnya kesadaran teologis dan kesadaran sosiologis yang dirasakan oleh tiap jama’ah yang menjadi titik balik kesadaran baru dalam siklus kehidupannya. Karena, kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah yang memadukan antara nilai-nilai ajaran keislaman dengan tradisi kemasyarakatan menjadi kegiatan ritual keagamaan yang mengekspresikan aspek spiritualitas secara kolektif. Dengan kata lain, manfaat teologis yang diperoleh dari kegiatan amaliah ini juga menyiratkan manfaat sosiologis yang dapat mengeratkan hubungan persaudaraan antara sesama, sehingga kegiatan amaliah ini memberikan nuansa hubungan vertikal dan horizontal secara sinergis. Oleh karenanya, kegiatan amaliah yang berlangsung setiap malam Kamis tersebut tidak surut oleh terpaan kontradiksi yang selalu menstigmatisasi kegiatan ini sebagai bentuk ajaran yang sarat dengan bid’ah. Bahkan, terpaan tersebut justu menambah energi soliditas gerakan kolektif untuk meningkatkan cara beribadah mereka melalui kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah.[]
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
77
D A F TA R P U S TA K A Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fi alBukhari, Al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih alMukhtashar, juz 12, Beirut: Dar ath-Thauq an-Najah, 1422 H.
Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh, (ed), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Markus Hildebrandt Rambe, “Penuntun Simbolsimbol Ibadah Kristen: Sebuah Ensiklopedi Dasar”, Jurnal STT Intim, Makassar Edisi Khusus 2004.
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jakarta: Gramedia, 1994.
M. Quraish Shihah, Tafsir al aMisbah, Juz I, Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Fahmi Hamdi, “Fiqh dan Tradisi Lokal”, Banjarmasin Post, Jumat, 27 Mei 2011.
Max Weber, Sosiologi, terj, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000.
Paul Tillich, Teologi Kebudayaan: Tendensi, Aplikasi, Komparasi, Terj. Yogyakarta: Ircisod, 2002.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Miza, 1983.
Peter L Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj, Jakarta: LP3ES, 1991.
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terj, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Obor, 2010.
Husein Muhammad, Spritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006.
Ralph Schroeder, Max Weber tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, terj, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, t.th., Juz I.
Sahal Mahfud, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta: LKiS, 2004.
Imam Fakhruddin ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, Kairo: Maktabah Taufiqiyyah, t.th., Juz I.
Subhi Mahmasani, Falsafah at-Tasyri’ fi Al- Islam, Beirut: Dar al ’Ilmi li al- Malayin, 1961.
K.J, Veeger Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia, 1993.
Talcott Parson, The Structure of Social Action, The Free Press, Paperback Edition, 1968.
Munawar Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011. Muhammad bin Bahadur bin Abdullah azZarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391. Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih Ibn Hibban, juz 5, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993.
78
Interpretatif Understanding ...
Wiji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, Jakarta: Mizan, 1999. Yulia Sugandhi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis Menuju Praksis, Yogyakarta: Pustaka pelajar kerjasam CCSS, 2002.
TOPIK PENERIMAAN PARTAI POLITIK ISLAM DI PTAIN: STUDI ATAS PERILAKU POLITIK MAHASISWA DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA C U C U N U R H A Y A T I & H A M K A H A S A N*)
ABSTRAK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah lembaga pendidikan yang merepresentasikan Islam sebagai nilai, agama, ideologi, ritual, dan simbol. Dengan karakter ini, sejatinya partai politik Islam mendapat simpati yang sangat tinggi. Dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 25.000, 1000 dosen dan karyawan, seharusnya UIN menjadi basis massa yang empuk bagi partai politik Islam. Tulisan ini membuka fakta lain yang memecahkan asumsi bahwa komunitas Islam adalah sumber suara potensial bagi partai-partai politik Islam. Walaupun tetap diterima sebagai salah satu partai alternatif yang cukup dipertimbangkan, partai politik Islam ternyata tidak mendapat tempat yang cukup penting bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah. Tingkat penerimaan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditandai dengan hubungan relasional antara mahasiswa dan partai politik Islam. Dari 450 responden sebanyak 230 atau 51,1% responden menyatakan dirinya bukan bagian dari partai politik Islam, artinya hanya 48,9% mahasiswa yang merasa bagian dari partai politik Islam. Status mahasiswa yang terdaftar dalam partai politik Islam hanya 140 responden dari total 450 responden. Sebanyak 58% mahasiswa menyatakan tidak terdaftar dalam partai politik Islam, artinya hanya 42% mahasiswa yang terdaftar dalam keanggotaan dalam partai politik Islam.
KATA KUNCI: Partai Politik Islam, Perilaku Politik, Mahasiswa
A BSTRACT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta is an institution representing Islam as values, religion, ideology, rituals, and symbols. With these characters, Islamic political parties gain a high sympathy in this institution. Having approximately 25,000 students, 1000 academic and administrative staffs, UIN should have been a mass basis for Islamic political parties. Despite the assumption that Islamic community is a potential vote raiser for Islamic political parties, the parties were not significantly considered by the UIN Jakarta academicians. This study focuses on the students’ acceptance on political parties by their party affiliations. 450 respondents were questioned on this matter and 51,1% of them stated that they are not affiliated or a part of Islamic political parties (while the 48,9% stated that they are). Only 42% of respondents (140 students) are affiliated to Islamic parties, while 58% are not.
KEY WORDS: Islamic Political Party, Political Behavior, Students
*) Cucu Nurhayati (Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dan Hamka Hasan (Dosen Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, Jakarta Selatan 15419. Email: (
[email protected]); (
[email protected]. **Naskah diterima Januari 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
79
A. PENDAHULUAN Peran Islam dalam perkembangan politik di Indonesia dewasa ini turut menuntun arah politik negara Indonesia. Maraknya kehidupan politik Islam ini menunjukkan suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Politik Islam adalah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pada tahapan tertentu, peta politik Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteorisasi Clifford Geerts pada 1950 an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis, sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis. Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43,7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51,7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36,8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38,1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara partai Islam lebih sedikit. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah lembaga pendidikan yang merepresentasikan Islam sebagai nilai, agama, ideologi, ritual, dan simbol. Dengan karakter ini, sejatinya partai politik Islam mendapat simpati yang sangat tinggi. Dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 25.000, 1000 dosen dan karyawan, seharusnya UIN menjadi basis massa yang empuk bagi partai politik Islam. Kajian ini menjadi penting untuk memetakan politik Islam di kalangan mahasiswa yang merupakan penerus bagi keberlanjutan partai politik di masa yang akan datang. Jangan sampai ada klaim bahwa mayoritas pemeluk 80
Penerimaan Partai Politik Islam ...
Islam menjadi asumsi kemenangan terhadap partai Islam tanpa melihat situasi dan kondisi internal masyarakat muslim. Selain itu, kajian ini bermanfaat untuk menyusun strategi dalam memunculkan wajah partai Islam yang diinginkan oleh masyarakat muslim generasi muda. Terlahirnya gerakan pembaharuan berawal dari kaum intelektual yang terdidik dan mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap agamanya. Maka, dengan demikian, penelitian ini menjadi penting dan bermanfaat dalam rangka memberikan masukan bagi eksistensi parpol Islam di kalangan mahasiswa sebagai agent of social change. Tulisan ini diarahkan untuk mengkaji penerimaan partai politik Islam di lingkungan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, apakah sesuai dengan fakta seperti pada pemilu 1999 dan 2004 atau mengukuhkan asumsi bahwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi ladang yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya partai politik Islam. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Sejauh mana tingkat penerimaan partai politik Islam di lingkungan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? 2. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi penerimaan partai politik Islam di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? penelitian ini memiliki 2 sub tujuan, pertama, untuk melihat dan menganalisis secara langsung perilaku politik mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, terutama tingkat partisipasi politik dan pembagian tipologi politik mahasiswa. Kedua, untuk memetakan penerimaan atau penolakan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah atas keberadaan partai-partai politik Islam di Indonesia. Kajian literatur Ada beberapa penelitian yang dapat menjelaskan relevansi antara Islam politik dan perilaku politik umat Islam Indonesia. Pertama, Studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDI Perjuangan (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri. Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable
pada tingkat grassroot. Dengan data hasil pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerahdaerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis, seperti PDI Perjuangan mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, perlu redefinisi politik aliran bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afiliasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “Apakah Anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004 karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah semakin tinggi (Burhanuddin: 2013). Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Nurhakim (2005), yaitu tentang Pemaknaan Agama dalam Partai Politik dalam Konteks Reformasi: Studi Perbandingan PPP, PKB, dan PAN. Penelitian ini dilakukan pada 2005 dimuat dalam Jurnal Humanity, September 2005. Nurhakim menggunakan metode kualitatif untuk mengkaji lebih dalam mengenai penggunaan simbol-simbol agama untuk menguatkan identitas partai Islam, baik dengan perspektif ideologis maupun basis massa konstituen. Dari 3 partai Islam yang dijadikan obyek penelitan, kesimpulannya menunjukkan bahwa muncul 3 persepsi dari penggunaan Islam sebagai identitas politik, yaitu PPP memaknai Islam sebagai alat pemersatu bangsa dan motivator pembangunan dan posisi agama diintegrasikan ke dalam politik, sedangkan PKB memaknai Islam sebagai motivator kebangkitan bangsa secara universal dan posisi agama terspesialkan dari politik keduanya dipisahkan tetapi masih terkoneksi secara kultural. Adapun PAN lebih menekankan pada operasionalisasi nilai-nilai Islam sebagai amanat yang harus diwujudkan dalam konteks nasional dan memposisikan agama terpisah dari politik namun nilai-nilai agama diinternalisasikan ke dalam diri pelaku politik kemudian diobjektivikasikan ke dalam politik praktis dalam program-program partai.
Keempat, penelitian yang dilakukan Hamid Fahmy Zarkasyi (2013) dalam jurnal Islamia Republika pada 2014 yang meneliti tentang eksistensi partai politik Islam Indonesia sejak masa Orde Baru sampai masa Reformasi. Tesis awal yang dibangun dalam penelitian ini adalah terjadinya titik balik depolitisasi Islam Orde Baru dimana terjadi kebangkitan gairah politik Islam dan menegasikan jargon terkenal yang dikemukakan oleh Cak Nur bahwa Islam Yes, Partai Islam No. Peneliti ini menemukan fenomena yang terjadi pada masa reformasi adalah Islam Yes dan Partai Islam Juga Yes, namun perkembangan yang terjadi tampak fakta di lapangan menunjukkan bahwa umat Islam belum bisa menerima sepenuhnya eksistensi partai politik Islam. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pada 3 pemilihan umum pada masa reformasi, perolehan suara partai politik Islam tidak menunjukkan angka yang signifikan. Hal ini bagi peneliti menunjukkan respon yang tidak positif dari umat Islam terhadap keberadaan partai Islam. Dan memunculkan jargon Islam No, Partai Islam Juga No. Dengan menggunakan referensi dari Dale F. Eicklman dan James Piscatori dalam Muslim Politics Fahmi Zarkasyi menarik kesimpulan bahwa partai Islam perlu lebih kuat menggunakan simbol-simbol agama. Seperti yang dikemukakan al-Maududi dan Sayyid Qutb, penguatan simbol dengan menunjukkan pemahaman dan pengamalan Islam secara lebih konsisten. Penguatan simbol oleh partai politik Islam dilakukan secara struktural maupun perilaku yang ditunjukkan oleh elite partai. Berdasarkan beberapa kajian sebelumnya, maka kajian tentang penerimaan partai politik Islam di kalangan mahasiswa UIN menjadi menarik untuk melihat penerimaan parpol Islam dalam komunitas pemilih muslim dan merupakan generasi penerus keberlanjutan masyarakat muslim. Di dalam masyarakat, individu berperilaku dan berinteraksi, sebagian dari perilaku dan interaksi dapat dilihat dari perilaku politik yang berhubungan dengan proses politik. Sebagian lainnya berupa perilaku ekonomi, keluarga, agama, dan budaya. Sebagai contoh, yang termasuk ke dalam kategori ekonomi, yaitu kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, menjual dan membeli barang dan jasa, mengkonsumsi barang dan jasa, menukar, menanam, dan menspekulasikan modal. Namun,
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
81
hendaklah diketahui pula tidak semua individu ataupun kelompok masyarakat mengerjakan kegiatan politik (Ramlan Surbakti, 1992). Perilaku politik dimaknai sebagai sebuah kegiatan yang berkaitan langsung dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, interaksi antar pemerintah dan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok dan individu dalam rangka pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik (Ramlan Surbakti, 1992). Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku politik adalah, pertama; lingkungan sosial politik tidak langsung seperti sistem politik, sistem sosial, sistem budaya, sistem ekonomi, budaya dan media massa. Kedua, lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dalam bentuk pribadi, seperti keluarga, agama, sekolah, kelompok pergaulan. Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Keempat, faktor sosial politik langsung, berupa situasi atau keadaan yang langsung mempengaruhi ketika kegitan politik akan dilakukan seperti faktor cuaca, kondisi keluarga, ancaman, propaganda, dan lain-lain (Ramlan Surbakti, 1992). Ada tiga macam pendekatan atau dasar pemikiran yang berusaha menerangkan perilaku pemilu. Ketiganya tidak sepenuhnya berbeda, dan dalam beberapa hal ketiganya bahkan saling membangun/mendasari serta memiliki urutan kronologis yang jelas. Pendekatan tersebut adalah, pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, dan pendekatan pilihan rasional atau rational-choice (Dieter Roth 2009). Penjelasannya sebagai berikut: a. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis menentukan perilaku memilih pada para pemilih, terutama kelas sosial, agama, dan kelompok etnik/ kedaerahan/ bahasa. Subkultur tertentu memiliki kondisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara pada perilaku tertentu ( Mujani, Saiful. R. William Liddle., dan Kuskrido Ambardi, 2012). Kondisi yang sama antar anggota subkultur terjadi karena sepanjang hidup mereka dipengarui lingkungan fisik dan sosio kultural yang relatif sama. Menurut Paul F. Lazarsfeld, manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, contohnya keluarga, lingkaran rekan-rekan, tempat kerja dan sebagainya. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu: status ekonominya, agamanya, 82
Penerimaan Partai Politik Islam ...
tempat tinggalnya, pekerjaannya, dan usianya untuk mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan para pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya tersendiri, kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi. Namun konteks ini turut mengontrol perilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar individu tersebut menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya (Paul F. Lazarsfeld, Bernard Berelson, Hazel Gaudet, 1968). b. Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis berusaha untuk menerangkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan pemilih jangka pendek atau keputusan yang diambil dalam waktu yang singkat. Hal ini berusaha menjelaskan melalui trias determinan dengan melihat sosialisasinya dalam menentukan perilaku politik pemilih, bukan karakteristik sosiologisnya. Jadi pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek, yaitu identifikasi partai, orientasi, dan isu orientasi kandidat (Dieter Roth, 2009). Sementara itu faktor-faktor lainnya yang sudah ada terlebih dahulu (seperti misalnya keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu) dianggap memberi pengaruh langsung terhadap perilaku pemilih. Identifikasi dalam sebuah partai tentu biasanya tidak harus dengan keanggotaan yang formil/resmi seorang individu dalam sebuah partai. Oleh karena itu, keanggotaan partai secara psikologis juga disebut dengan orientasi partai yang efektif, sebuah efek yang sama sekali tidak menggunakan istilah “keanggotaan”. Identifikasi partai seringkali diwariskan orang tua kepada anak-anak mereka (Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren E. Miller, Donal E. Stokes, 1960). Seiring dengan bertambahnya usia, identifikasi partai menjadi semakin stabil dan intensif. Identifikasi partai merupakan orientasi yang permanen, yang tidak berubah dari pemilu ke pemilu. Tapi kalau seseorang mengalami perubahan pribadi yang besar (misalnya menikah, pindah profesi atau tempat tinggal) atau situasi politik yang luar biasa (seperti krisis ekonomi atau perang), maka identifikasi partai ini dapat berubah (Angus Campbell, Philip E.
Converse, Warren E. Miller, Donal E. Stokes, 1960). Pendekatan psikologis membedakan antara kekuatan, arah dan intensitas orientasi, baik dalam orientasi isu maupun orientasi kandidat. Isu-isu khusus hanya dapat mempengaruhi perilaku pemilih individu apabila memenuhi tiga persyaratan dasar: isu tersebut harus dapat ditangkap oleh pemilih, isu tersebut dianggap penting oleh pemilih, pada akhirnya pemilih harus mampu menggolongkan posisi pribadinya (baik secara positif atau negatif) terhadap konsep pemecahan permasalahan yang ditawarkan oleh sekurang-kurangnya satu partai (Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren E. Miller, Donal E. Stokes, 1960). c. Pendekatan Pilihan Rasional (Rational-Choice) Pendekatan teoritis mengenai perilaku pemilih yang rasional terletak pada perhitungan biaya dan manfaat (cost and benefit). Dari pendekatan pilihan rasional, yang menentukan dalam sebuah pemilu bukanlah adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang kuat, melainkan hasil penilaian rasional dari warga yang baik. Sebenarnya pendekatan pilihan rasional diadopsi dari ilmu ekonomi. Karena di dalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya. Hal ini senada dengan perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim. Dalam konteks pendekatan semacam ini, sikap dan pilihan politik tokoh-tokoh populer tidak selalu diikuti oleh para pengikutnya kalau ternyata secara rasional tidak menguntungkan. Beberapa indikator yang biasa dipakai oleh para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat yang hendak mencalonkan kembali, di antaranya kualitas, kompetensi, dan integritas kandidat. Metode penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif untuk mengetahui opini mahasiswa
tentang penerimaan partai Islam. Pengambilan sampel menggunakan teknik clustered sampling, dilakukan pada Juni-November 2014. Setiap fakultas diambil secara merata sebanyak 40 orang kemudian diklasifikasikan berdasarkan fakultas untuk memudahkan klasifikasi penerimaan antar fakultas. Dari 12 fakultas yang ada di UIN jumlah total kuesioner adalah 480, namun setelah proses clear data, yang dapat diolah hanya 450 kuesioner. Penelitian ini menggunakan analisis distribusi frekuensi, yaitu sebuah analisis yang dirumuskan dari kumpulan data yang telah dipresentasikan berdasarkan jumlah responden terhadap setiap variabel dalam kuesioner/ angket. Pengolahan data dengan SPSS menggunakan analisis chi square. Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa angket atau kuesioner yang terdiri dari 4 variabel yaitu, pemahaman, relasi, perilaku dan penerimaan. Terdiri dari 20 kuesioner dengan nilai reliabilitas 0.879 dengan tingkat validitas 0.6 menggunakan skala likert dengan kategori setuju, sangat setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.
B. HASIL PENELITIAN
DAN
PEMBAHASAN
1. Pemahaman terhadap Partai Politik Islam Pemahaman mahasiswa mengenai partai politik Islam cukup beragam. Dalam penelitian ini ditawarkan beberapa pemahaman terhadap partai politik Islam di antaranya yaitu; sebagai partai peserta pemilihan umum, partai politik yang memiliki basis massa beragama Islam, partai politik yang menjadikan Islam sebagai azas dan program formal, partai politik yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam, partai politik yang mengembangkan ajaran Islam, partai politik yang menggunakan simbol-simbol Islam dan organisasi tempat berkumpulnya para politikus beragama Islam. Berdasarkan data hasil survei mengenai pemahaman tentang partai politik Islam di kalangan mahasiswa UIN, sebagian besar mereka memahami partai politik Islam sebagai partai politik yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam. Dari 450 mahasiswa UIN termasuk pasca sarjana, sebanyak 63,6 % memahami bahwa partai politik Islam adalah partai berbasis agama Islam. Pemahaman mahasiswa terhadap partai politik Islam bisa dilihat sebagaimana tabel di bawah ini:
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
83
Tabel 1 Pemahaman Mahasiswa terhadap Partai Politik Islam
Sumber: Hasil Penelitian Penulis, Oktober 2013
Secara garis besar, partai Islam yang didirikan tokoh-tokoh umat Islam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar. Pertama, partai yang menjadikan Islam sebagai asas dan program formal. Kedua, partai yang mementingkan pengembangan nilai-nilai Islam daripada simbol-simbol Islam. Penerapan nilainilai keislaman dan penggunaan simbol keislaman meskipun menjadi atribut dalam pembentukan partai Islam namun kedua hal ini tidak menjadi jaminan eksistensi pengukuran elektabilitas partai Islam dalam percaturan politik di Indonesia. Secara definitif, sebagaimana disampaikan Effendy (1998), partai Islam merupakan partai politik yang mengedepankan Islam sebagai azas dan ideologi politiknya yang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kepentingan politik Islam. Dijadikannya Islam sebagai azas dan ideologi dalam pendirian sebuah partai politik tentunya mempunyai kaitan yang erat dengan tokoh yang akan mendirikan partai tersebut. Dengan demikian, maka hal ini bisa dijadikan pemahaman bahwa partai Islam sangat berhubungan dengan pemikiran tokoh-tokoh Islam yang mempunyai kepentingan politik secara kolektif bagi terbentuknya sebuah partai yang berideologi dan berazaskan Islam. Keberadaan partai politik Islam di Indonesia secara kuantitas cukup memberikan pilihan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Meskipun adanya keragaman pendapat mengenai kuantitas partai, secara lebih jauh partai Islam bisa dianalisis dengan memberikan dua kategori. 84
Penerimaan Partai Politik Islam ...
Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Ketiganya memposisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologi, tetapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Berbeda dengan PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai universal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta (Burhanuddin, 2013). Namun demikian, bagi PKB dan PAN, identitas keislaman bisa jelas terlihat dari mayoritas anggota dan organisasi massa yang mewadahi dan menjadi latar belakang didirikannya partai politik, seperti PAN yang tidak bisa dipisahkan secara historis dari Muhammadiyah ditambah para pendiri PAN yang memang terdiri dari para petinggi Muhammadiyah. Hal yang sama terjadi pada PKB yang dibidani oleh para petinggi PBNU yang membuat PKB tidak bisa melepaskan identitas ke-NU-annya secara institusional. 2. Simbol Islam dan Hubungan Relasional Simbol-simbol Islam sebagai ciri yang membedakan antara partai Islam dan non partai Islam menjadi penting dalam memahami partai Islam. Dari 460 responden sebanyak 261 orang atau 58 % setuju yang dimaksud partai Islam adalah partai yang menggunakan simbol-simbol Islam. Hal ini menunjukkan, simbol sebagai sebuah atribut menjadi hal yang memperkuat identitas Islam dalam sebuah partai politik, tidak hanya untuk memperjelas tujuan tetapi juga bisa menjadi alat sosialisasi dan komunikasi dengan massa simpatisan dan masyarakat secara lebih luas lagi. Tabel 2 Pendapat Mahasiswa tentang Penggunaan Simbol Islam
Sumber: Hasil Penelitian Penulis, Oktober 2013
Penggunaan simbol Islam, selain sebagai daya tarik, juga diharapkan akan mempermudah ruang gerak dan memperkuat eksistensi partai Islam dalam bersaing dengan partai-partai politik lain yang tidak menggunakan Islam sebagai identitas partai. Lebih lanjut, bagi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, partai politik Islam yang menggunakan nilai-nilai Islam atau atribut Islam bukanlah satu-satunya hal yang paling penting, namun yang harus dikedepankan adalah implementasi nilai-nilai Islam bukan hanya pada penerapan simbol-simbol semata. Penggunaan jargon Islam dan simbol Islam dianggap hanya akan melecehkan Islam apabila tidak ada implementasinya dalam praktek politik dan tidak tercermin dalam perilaku politik para pengurus partai dan kebijakan partai yang dikeluarkan, baik yang berhubungan langsung maupun tidak dengan kepentingan masyarakat secara luas. Berikut beberapa pendapat yang dikemukakan oleh mahasiswa: Tabel 3 Partai Politik Islam vs Simbol Islam
Berdasarkan data survei, hubungan relasional yang dibangun antara partai politik Islam dengan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah tidak signifikan. Tabel 4 Data Hubungan Relasional Sebagai Bagian Parpol Islam
Sumber: Hasil Penelitian Penulis, Oktober 2013
Dari tabel di atas nampak dari 450 responden sebanyak 230 atau 51,1% responden menyatakan dirinya tidak merasa sebagai bagian dari partai politik Islam. Pernyataan ini tentunya akan membawa implikasi pada penerimaan partai politik Islam di kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta karena mereka tidak merasa memiliki partai politik Islam. Status mahasiswa yang terdaftar dalam partai politik Islam hanya 140 responden dari total 450 responden. Angka tertinggi ada pada 261 atau 58% mahasiswa yang menyatakan tidak terdaftar dalam partai politik Islam. Hubungan relasional yang ditandai dengan keterlibatan secara aktif, baik sebagai anggota maupun simpatisan dalam partai politik Islam, memberikan indikator yang sangat kuat atas diterima ataupun tidak diterimanya partai Islam sebagai sebuah lembaga politik yang diharapkan bisa memberikan perubahan atas kondisi masyarakat secara signifikan. Tabel 5 Data Mahasiswa yang Terdaftar Dalam Partai Politik Islam
Sumber: Hasil Penelitian Penulis, Oktober 2013
Namun demikian, secara teoritis, hubungan relasional dengan partai politik tidak selalu ditandai dengan keanggotaan seorang individu dalam partai politik. Secara psikologis, perilaku pemilih bisa dianalisis dengan menekankan pada tiga aspek, yaitu identifikasi partai, orientasi, dan isu orientasi kandidat (Dieter Roth, 2009). Identifikasi partai (party identification) digunakan untuk mengukur jumlah faktor kecenderungan, baik secara pribadi maupun politik yang relevan bagi seorang individu. Keanggotaan partai secara psikologis juga disebut dengan orientasi partai yang efektif, sebuah efek yang sama sekali tidak menggunakan istilah “keanggotaan”. Identifikasi
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
85
partai seringkali diwariskan orang tua kepada anak-anak mereka (Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren E. Miller, Donal E. Stokes, 1960). Identifikasi partai biasanya tidak berubah dari pemilu ke pemilu. Tapi kalau seseorang mengalami perubahan status yang besar (misalnya menikah, pindah profesi atau tempat tinggal) atau terjadi perubahan situasi politik yang luar biasa (seperti krisis ekonomi atau perang), maka identifikasi partai ini dapat berubah (Angus Campbell, Philip E. Converse, Warren E. Miller, Donal E. Stokes, 1960). Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah yang rata-rata adalah pemilih pemula, menggantungkan identitas kepartaian mereka pada pengaruh masukan informasi dan bacaan atas perilaku partai politik yang menjadi peserta pemilu, rasa memiliki yang belum tumbuh dan berkembang yang ditandai dengan kesadaran politik secara aktif mendaftarkan diri atau melibatkan diri dalam partai politik masih harus melalui proses yang panjang. Minimnya sosialisasi yang dilakukan partai politik Islam dan informasi negatif serta fakta politik yang berlangsung dalam kancah politik nasional menjadi faktor yang menghambat tumbuh dan berkembangnya kesadaran politik tersebut. Ini adalah pekerjaan rumah yang cukup sulit bagi partai politik Islam, padahal seharusnya pemilih pemula bisa menjadi ladang suara yang cukup menjanjikan dalam pemilu, apalagi mengingat UIN Syarif Hidayatullah adalah basis Islam yang cukup besar dan seluruh mahasiswanya sudah memiliki hak pilih dalam pemilihan umum. 3. Peluang Partai Politik Islam vs Partisipasi Mahasiswa Peluang keberhasilan parpol Islam pada pemilihan umum 2014 tahun lalu, berkaitan dengan hubungan relasional yang dibangun oleh mahasiswa dengan partai politik Islam, yang juga dipengaruhi oleh situasi politik nasional. Berdasarkan data, bahkan ada beberapa jawaban yang cenderung pesimis. Tabel 6 Asumsi Mahasiswa terhadap Keberhasilan Parpol Islam
86
Penerimaan Partai Politik Islam ...
Beberapa pernyataan di atas mengenai peluang keberhasilan partai politik Islam di kalangan mahasiswa PTAIN terutama UIN terbukti pada hasil pemilu 2014. Berdasarkan hasil survei partisipasi politik mahasiswa UIN dalam kegiatan partai politik atau keterlibatan mereka dalam pemilihan kepala daerah, legislatif dan presiden bisa dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 7 Partisipasi Mahasiswa dalam Partai Politik Islam
Sumber: Hasil Penelitian Penulis, Oktober 2013
Apabila faktor-faktor kecenderungan (seperti pengalaman pribadi atau orientasi politik) diumpamakan sebagai suatu aliran yang dituangkan melewati sebuah corong, hal ini menjelaskan bagaimana mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah menjadi pemilih dalam pemilihan umum tanpa melihat identifikasi pribadinya sebagai mahasiswa Islam, tapi lebih pada pilihanpilihan rasional yang melihat partai politik Islam secara lebih obyektif. Dan mereka tidak mengidentifikasi diri mereka secara formil menjadi bagian dari keanggotaan partai politik Islam tertentu. 4. Realitas Partai Politik Islam di Kalangan Mahasiswa UIN Penerimaan partai politik Islam di kalangan mahasiswa UIN Jakarta berdasarkan enam kriteria yang ditawarkan, angkanya cukup bervariasi.
Angka tertinggi ada pada kemampuan berinteraksi partai politik Islam sebanyak 72% dan 52,9% mahasiswa lebih menyukai parpol Islam dibanding parpol nasionalis. Tabel 8 Penerimaan Mahasiswa terhadap Partai Politik Islam
Sumber: Hasil Penelitian Penulis, Oktober 2013
Dari pendekatan pilihan rasional, yang menentukan dalam sebuah pemilu bukanlah adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang kuat, melainkan hasil penilaian rasional dari warga yang baik. Dalam hal ini, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah menjadi bagian dari pemilih rasional, karena faktor sosiologis dan psikologis pemilih tidak lebih dominan dalam menentukan perilaku pemilih. Pilihan rasional mahasiswa ditunjukkan dengan motivasi mereka bila memilih partai politik Islam lebih dipengaruhi oleh komitmen yang dimiliki partai politik Islam sebagai partai politik yang memiliki kemampuan berinteraksi yang lebih baik dari partai-partai lain (72 %) dan bahwa partai politik Islam adalah partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan publik (63,7 %) Kemampuan berinteraksi merupakan modal yang bisa diandalkan bagi partai politik apa pun. Kemampuan ini bisa dijadikan sebagai sarana sosialisasi program kerja parpol Islam untuk mengambil hati masyarakat. Meskipun ada beberapa stereotip negatif terhadap partai Islam karena beberapa kasus yang melibatkan beberapa orang petinggi di partai politik Islam, namun dengan adanya interaksi dan komunikasi yang baik bisa meyakinkan publik bahwa akan adanya perbaikan dan masih banyak kebijakan partai yang bisa dijadikan komitmen dan kontrak sosial
antara pemilih dan partai politik. Secara rasional, seorang pemilih akan memutuskan memilih kandidat tertentu setelah mempertimbangkan sejauh mana programprogram yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya, atau sebaliknya malah merugikan. Para pemilih akan cenderung memilih kandidat yang kerugiannya paling minim dengan menetapkan pilihannya secara retrospektif, yaitu dengan menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan pada periode legislatif terakhir sudah baik bagi dirinya sendiri dan bagi negara, atau justru sebaliknya. Penilaian ini juga dipengaruhi penilaian terhadap pemerintah di masa lampau. Apabila hasil penilaian kinerja pemerintah yang berkuasa (juga bila dibandingkan dengan pendahulunya) positif, maka mereka akan dipilih kembali. Apabila hasil penilaiannya negatif, maka pemerintahan tersebut tidak akan dipilih kembali. Beberapa indikator yang biasa dipakai para pemilih untuk menilai seorang kandidat khususnya bagi pejabat yang hendak mencalonkan kembali, di antaranya kualitas, kompetensi, dan integritas kandidat. Ada dua sisi dilematis ketika berbicara tokoh dalam partai politik Islam. Pertama, ketokohan partai politik Islam menjadi pemahaman yang utama di kalangan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mahasiswa memahami bahwa partai politik Islam didirikan oleh para tokoh Islam. Kedua, menurunnya kuantitas pemilih parpol Islam dipengaruhi adanya faktor perilaku dari para tokoh yang kurang memberikan referensi yang baik; bahkan cenderung mengecewakan publik. Ada beberapa kritikan yang ditujukan kepada elit partai politik Islam yang dianggap tidak bisa menerapkan nilainilai keislaman. Beberapa kritikan tersebut di antaranya yaitu: Tabel 9 Asumsi Mahasiswa terhadap Perilaku Tokoh Parpol Islam
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
87
Beberapa pendapat tersebut, setidaknya menjadi kritik membangun bagi kemajuan partai politik Islam di masa yang akan datang. Sebagai partai yang mengusung Islam sebagai ideologi dan azasnya, maka sudah selayaknya perilaku elit politik Islam dapat mengimplementasikan nilainilai keislaman dalam kehidupannya. Hal ini harus diperhatikan secara lebih serius, karena ketokohan dalam lingkup partai politik Islam mempunyai nilai kharismatik tertentu di kalangan para pengikutnya. Beberapa harapan yang disampaikan responden terhadap partai Islam lebih pada implementasi nilai-nilai Islam. Beberapa harapan yang disampaikan responden bisa menjadi masukan positif supaya partai politik Islam terus membenahi diri. Sebagaimana disampaikan beberapa responden sebagai berikut:
Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut dengan membuat variabel baru penerimaan mahasiswa terhadap parpol Islam dalam kategori tinggi dan rendah, penerimaan mahasiswa UIN terhadap partai politik Islam ternyata sangat rendah. Tabel 11 Penerimaan Partai Politik Berdasarkan Fakultas
Tabel 10 Harapan Mahasiswa terhadap Parpol Islam
Sumber: Hasil Penelitian Penulis, Oktober 2013
5. Partai Politik Islam, Penerimaan dan Perbedaan Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan chi square nilai p-Value (0,003) < á (0,05) dengan demikian Ha diterima. Dari hasil analisis ini bisa disimpulkan partai politik Islam di kalangan mahasiswa UIN diterima.
Untuk melihat apakah ada perbedaan penerimaan partai politik Islam di kalangan mahasiswa UIN berdasarkan fakultas, digunakan test SPSS kruskall wallis dengan hasil sebagai berikut Test Statistics a,b Penerimaan Chi-Square Df Asymp. Sig.
30.68 11 .001
a. Kruskal Wallis b. Grouping Variable:
P value (0,001) < dari á (0,05), dengan demikian, Ha diterima yaitu terdapat perbedaan dalam penerimaan partai politik Islam antar fakultas. Namun, meskipun tingkat penerimaannya berbeda tapi tetap pada titik rendah. 88
Penerimaan Partai Politik Islam ...
C. KESIMPULAN Partai politik Islam sebagai partai politik yang bisa diidentifikasi sebagai partai politik yang membawa bendera Islam sebagai alat politik mengandalkan segmen massa kaum muslim sebagai sumber suara, baik yang tersebar secara kolektif (dalam organisasi-organisasi keislaman, atau lembaga-lembaga Islam dan kolektivitas masyarakat yang mayoritas Islam) maupun sumber suara yang bersifat individual. Partai politik Islam seharusnya mampu memberikan harapan yang besar bagi perubahan yang diinginkan masyarakat mayoritas muslim dan mewujudkan harapan itu dalam bentuk keberpihakan pada masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara umum. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berbasis muslim dengan 6 Fakultas Agama, 5 Fakultas Umum dan satu program Pasca Sarjana, kurang lebih terdiri dari 10.000 orang mahasiswa yang hampir seluruhnya beragama Islam, menjadi sasaran ladang suara yang cukup menjanjikan bagi partai-partai politik Islam, tentunya dengan mengandalkan jargon Islam dan simbol-simbol Islam yang diusung, baik dengan kemasan biasa maupun dengan metode dan retorika modern. Penelitian ini membuka fakta lain yang memecahkan asumsi bahwa komunitas Islam adalah sumber suara potensial bagi partai-partai politik Islam. Walaupun tetap diterima sebagai salah satu partai alternatif yang cukup dipertimbangkan, partai politik Islam ternyata tidak mendapat tempat yang cukup penting bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah. Tingkat penerimaan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditandai dengan hubungan relasional antara mahasiswa dan partai politik Islam. Dari 450 responden sebanyak 230 atau 51,1% responden menyatakan dirinya bukan bagian dari partai politik Islam, artinya hanya 48,9% mahasiswa yang merasa bagian dari partai politik Islam. Status mahasiswa yang terdaftar dalam partai politik Islam hanya 140 responden dari total 450 responden. Angka tertinggi ada pada 261 atau 58% mahasiswa yang menyatakan tidak setuju terdaftar dalam partai politik Islam, artinya hanya 42% mahasiswa yang menyetujui dirinya terdaftar dalam keanggotaan dalam partai politik Islam.
Banyak faktor yang mempengaruhi penerimaan mahasiswa atas partai politik Islam walau hanya berkisar 48,9% dari seluruh responden mahasiswa. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan mahasiswa atas partai politik Islam adalah: kemampuan berinteraksi partai politik Islam (2,80%), partai politik Islam dianggap memiliki pengaruh terhadap kebijakan publik (2,72%), kualitas tokoh politik Islam yang masih dianggap baik (2,67%), mampu mengakomodir kepentingan masyarakat (2,56%), memiliki program kerja yang lebih bagus (2,38%). Secara keseluruhan, faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan mahasiswa atas partai politik Islam memberikan indikator pola perilaku pemilih mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah adalah perilaku dengan karakter rasional, melihat partai politik secara proporsional rasional dan tidak mengedepankan faktor psikologis maupun faktor sosiologis seperti yang menjadi ciri khas kebanyakan pemilih tradisional. Hal ini menunjukkan bagaimana faktor demografi massa memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih, mengingat mahasiswa adalah bagian dari kelompok intelektual yang berpendidikan. Hal itu pula yang memberikan pengaruh besar terhadap prosentase penerimaan partai politik Islam di kalangan mahasiswa, karena kekecewaan yang cukup besar tercermin dari beberapa jawaban mereka merespons kondisi dan fenomena partai politik Islam yang makin hari makin memprihatinkan.[]
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
89
D A F TA R P U S TA K A Almond, Gabriel A. dan Verba, Sidney. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bina Aksara, 1984. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Campbell, Angus/ Geral Gurin/ Warren E. Miller. The Voter Decides. Evan-ston, 1954. Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2009. Hasan, L. Sahar dkk (Ed). Memilih Partai Islam:Visi, Misi dan Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Indriantoro, Nur, & Supomo, Bambang. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: Fak. Ekonomi UGM, 2004 James Q. Wilson. “New Politics, New Ellites, Old Publics”, dalam Marc K. Landy dan Martin A. Levin, The New Politics of Public Policy. London: The Johns Hopkins University Press, 1995. Kavanagh, Dennis. “Political Science and Political Behavior”, dalam FS Swartono, dan Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 1992. Key, Valdimer O. The Responsible Electorate. Rationality in Presidential Voting 1936-1960, Cambridge, 1966. Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian. 5 Partai dalam Timbangan: Analisis dan Propsek. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. Lazarsfeld, Paul F, Bernard Berelson, Hazel Gaudet. The People’s Choice. How The Voter Makes Up His Mind in a Presidential Campaign. New York, 1968. Michael Rush dan Philip Althof. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000. Mujani, Saiful, R. William Liddle., dan Kuskrido Ambardi. KUASA RAKYAT: Analisa Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Mizan Media Utama (MMU), 2012.
90
Penerimaan Partai Politik Islam ...
Muhtadi, Burhanuddin. Perang Bintang 2014. Jakarta: Noura, 2013. Maliki, Zainuddin. Agama Rakyat Agama Penguasa, Konstruksi tentang Realitas Agama dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2000. Huntington, P. Samuel dan Nelson, M. Joan M. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta: Rineke Cipta, 1990. Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafitipers, 1987. Ordeshook, Peter C. “The Emerging Discipline of Political Economy”, dalam James E. Alf dan Kenneth A. Shelpse, Perspective on Positive Political Economy. Melbourne: Cambridge University Press, 1990. Ridha, Abu. Karakteristik Politik Islam. Bandung: Syamil Cipta Media, 2004. Romli, Lili. Islam Yes Partai Islam Yes; Sejarah Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Roth, Dieter. Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teoriteori, Instrumen dan Metode. FriedrichNaumann-Stiftung dan LSI. Jakarta, 2009. Salim, Arskal. Partai Islam dan Relasi AgamaNegara. Jakarta: Pusat Penelitian IAIN Jakarta. Syamsuddin, Din. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos, 2001. Sadjali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UII Press, 1999. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT.Grasindo, 1992. ————, “Political Parties: A New Typology”, Party Politics, Vol 9 No, 2, 2003. Salim, Abdul Muin. Fikih Siyasah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran. Jakarta: Rajawali Press, 1994. Salaim Alim al-Bahansawi. Wawasan Sistem Politik Islam. Alih Bahasa Mustolah Maufur. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995.
Suryabrata, Sumadi. Metotologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Tim Litbang Kompas Partai-Partai Politik Indonesia:Idiologi dan Program 2004-2009.
Surwandono. Pemikiran Politik Islam. Yogyakarta: LPII UMY, 2001.
Wahid, Abdurrahman, dkk. Mengapa partai islam Kalah? Jakarta: alvabet, 1999.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
91
92
Penerimaan Partai Politik Islam ...
TOPIK KOLABORASI KULTUR DAN KONSEP AL-‘URF DALAM MEMBANGUN FIKIH MAZHAB INDONESIA S A I F U D I N Z U H R I*)
ABSTRAK Fikih Indonesia atau fikih mazhab Indonesia menjadi unik karena menyandarkan negara atau kultur negara sebagai warna fikih. Faktor kultur yang beraneka ragam serta jumlah populasi umat Islam yang mencapai 80 % dari sekitar 235 juta menjadikan fikih yang bercorak Indonesia patut diperhitungkan dalam kancah pemikiran fikih di dunia Islam. Berbagai inovasi fikih dihasilkan atas kolaborasi hukum-hukum fikih dengan kultur Indonesia. Pengembangan fikih mazhab Indonesia terlihat jelas pada kitab Sabilul Muhtadin karya Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) yang berlanjut hingga kini di tangan Gus Dur, Ali Yafie, dan lain-lain. Kolaborasi yang harmonis adat istiadat yang berkembang di Indonesia dengan kedatangan Islam sebagai agama mayoritas menjadi sinergi yang positif dan progresif dalam mengembangkan fikih Indonesia.
KATA KUNCI: Fikih Indonesia, Masyarakat Madani, Budaya, ‘Urf
A BSTRACT The Indonesian fiqh schools in Indonesia become unique as it relies on the national cultures as the colors of fiqh. Diverse cultural factors and the vast number of Muslim population around 80% out of 235 millions of the population account for the Indonesian fiqh to be considered among the Islamic fiqh schools. Some fiqh innovations were produced due to legal collaboration between fiqh legal and Indonesian culture. The development of fiqh schools has been clearly demonstrated in the Sabilul Muhtadin book, a work of Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 AD), which continues today in the hands of Gus Dur, Ali Yafie, and others. Harmonious collaboration between Indonesian customs and Islam becomes a positive and progressive synergy in developing.
KEY WORDS: Indonesian jurisprudence, civil society, culture, ‘urf
A. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Jumlah penduduk muslim yang besar ini tersebar di berbagai wilayah yang berbeda secara demografi dan kultur. Dari Sabang sampai Merauke menjadi istilah yang populer untuk menggambarkan
betapa luas wilayah Indonesia yang diisi oleh berbagai suku dan budaya yang berbeda. Jumlah penduduk Indonesia menurut data statistik Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) pada tahun 2010 adalah 237.641.326.1 Dari data tersebut Indonesia menempati urutan ke-4 negara dengan penduduk terbesar di dunia, setelah Cina, Amerika Serikat,
* ) Dosen UIN Jakarta dpk. Institut PTIQ Jakarta. Email:
[email protected] Alamat rumah: Griya Pamulang 2 B 1/ 11 Pamulang Tangerang Selatan. HP. 081380366843 **Naskah diterima Februari 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015
1 Data Badan Pusat Statistik Nasional. Sementara dalam data pada bulan Maret 2014 mencapai 253.609.643 jiwa sebagaimana data yang dipublikasi dalam http://finance.detik.com/read/2014/ 03/06/134053/2517461/4/.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
93
dan Rusia. Dari jumlah populasi penduduk tersebut umat Islam menempati 87,18%.2 Dengan demikian maka penduduk muslim di Indonesia melampaui puluhan negara-negara muslim lainnya. Dengan keragaman kultur, budaya, dan agama yang ada di Indonesia, maka bangsa Indonesia dapat dikategorikan sebagai bangsa yang majemuk.3 Yang menarik adalah negara ini dapat menjaga kerukunan dalam kehidupan sosial masyarakat. Jika dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah misalnya, maka Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang sangat aman. Sehingga, meski tidak dapat dikatakan nihil dari gesekan, namun secara umum, masyarakat yang multikultural dalam negara ini dapat hidup damai berdampingan. Disebut tidak nihil gesekan, karena tercatat beberapa kali terjadi ‘bentrok’ antar masyarakat yang terlihat dilandasi oleh perbedaan ideologi.4 Demikian juga dengan bentrok antar suku, seperti yang pernah terjadi antara suku Dayak di Kalimantan dengan suku Madura yang bermukim di sana.5 Penulis melihat bahwa setidaknya terdapat 2 (dua) faktor utama yang melanggengkan kerukunan pada masyarakat plural dan multikultural Indonesia yaitu; hegemoni komunitas muslim dan hegemoni kultur masyarakat Jawa. Boleh jadi kesimpulan ini diperdebatkan, namun kenyataan 2
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia. Dalam hal ini, Pierre L. Van den Berghe menyebutkan ciri dasar dari sebuah masyarakat majemuk, yaitu: 1) terdapat segmentasi kepada bentuk kelompok-kelompok dengan subkebudayaan yang berbeda-beda, 2) struktur sosial yang terdistribusi ke bagian-bagian yang bersifat nonkomplementer, 3) konsensus atas nilai-nilai yang bersifat mendasar tidak berkembang, 4) rentan mengalami konflik di antara kelompok masyarakat yang ada, 5) integrasi sosial harus bersifat dipaksa serta terjadi ketergantungan di bidang ekonomi, dan 6) dominasi politik satu kelompok atas kelompok yang lain. Sebagaimana dikutip oleh Nasikhun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), 39-40. 4 Misalnya, bentrok antara warga Cikeusik Pandeglang Banten dengan Jemaat Ahmadiyah pada 6 Februari 2011. Demikian juga bentrok antara warga dengan kelompok Syi’ah di Sampang Madura pada 26 Agustus 2012. 5 Konflik antara kelompok etnik Dayak dan Madura sudah terjadi berulang kali yakni pada tahun 1968, 1969, dan 1986. Kemudian meledak kembali pada 1999 dengan menelan korban yang cukup banyak, di samping banyak pula yang harus menjadi pengungsi. Selengkapnya baca Ruslikan, “Konflik DayakMadura di Kalimantan Tengah: Melacak Akar Masalah dan Tawaran Solusi” dalam JURNAL MASYARAKAT KEBUDAYAAN DAN POLITIK, Volume 14, Nomor 4:1-12, tahun 2001. 3
94
Kolaborasi Kultur dan Konsep ...
memperlihatkan bahwa corak keislaman yang ditampakkan oleh penganut agama Islam di Indonesia adalah corak keagamaan yang moderat, tidak ekstrim ke kiri maupun ekstrim ke kanan. Pengaruh mazhab Sunni Syafi’i6 yang mendominasi ideologi keislaman masyarakat Indonesia, menjadikan kehidupan keagamaan cenderung moderat. Sedangkan hegemoni masyarakat suku Jawa, Sunda, Madura, dan Bali, mencapai populasi 62%7 yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia bermukim di Pulau Jawa yaitu mencapai 57,5 %.8 Hal ini turut andil dalam menjadikan budaya Jawa seperti gotong royong, tepo seliro, kesopanan dan kesantunan menjadi warna dominan di negara Indonesia. Ini tidak menafikan faktor suku-suku lain yang juga memberi kontribusi positif dalam membentuk hubungan yang harmonis di antara berbagai suku bangsa yang berdiam di Indonesia. Ini juga tentu tidak terlepas dari ideologi negara yang disepakati bersama seluruh masyarakat Indonesia, yang telah dicanangkan oleh pendiri negara ini dengan dasar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
B. AKAR BUDAYA NUSANTARA DAN KEDATANGAN ISLAM Budaya Nusantara, sebagaimana juga bangsa-bangsa lain di dunia dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme atau paganisme. Kepercayaan ini mengandaikan adanya jiwa/roh atau kekuatan pada benda-benda atau binatang. Hal ini mirip dengan zaman jahiliyah sebelum kedatangan Islam di Jazirah 6 Mazhab Syaf’i adalah konstruksi pemikiran fikih dan ushul fiqh Imam Syafi’i. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, lahir tahun 150 H di Gaza. Imam Syafi’i menggabungkan 2 mazhab besar pada waktu itu; mazhab Imam Malik yang menguatkan hujjah di bidang hadis-hadis Nabi (mazhab al-hadis), dan mazhab Imam Abu Hanifah yang kuat di bidang pemikiran dan logika (mazhab ahl al-ra’yi). Lihat Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafii, Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih ( Jakarta: Penerbit Lentera, 2007), 23. 7 Data Badan Pusat Statistik Nasional. Terutama masyarakat suku Jawa. Suku ini terkenal sebagai pekerja keras dan banyak berpindah ke wilayah-wilayah lain yang lebih prospektif dari sisi ekonomi. Selain karena program transmigrasi yang digagas oleh Pemerintah, juga dengan insiatif sendiri. Sehingga hampir di setiap wilayah terdapat orang Jawa dengan profesi yang populer sebagai pedagang bakso dan jamu. 8 Data Badan Pusat Statistik Nasional. Suku Jawa diidentikkan dengan berbagai sikap yang baik seperti sopan santun, menjaga etika berbicara.
Arab dengan agama paganisme yakni penyembahan terhadap berhala-berhala yang mereka anut. Hindu dan Budha kemudian datang dan mempengaruhi masyarakat Nusantara dengan sistem religi dan politiknya yang dikuatkan dalam bentuk kerajaan. Agama Hindu dan Budha kemudian berkembang jauh dan memiliki pengaruh dalam masyarakat, baik di tingkat pemerintahan, maupun pada rakyat biasa. Namun pengaruh ini tidak merata di seluruh wilayah Nusantara. Dengan demikian maka Islam datang ke wilayah Nusantara yang telah memiliki berbagai suku bangsa, sistem sosial dan budaya yang sudah berkembang. Pulau Jawa adalah wilayah yang paling banyak menerima pengaruh Hindu dan Budha, terutama di wilayah pedalaman. Sementara di wilayah pesisir dan daerah lain seperti Sumatera dan Sulawesi hanya menerima pengaruh yang sedikit. 9 Karakter utama dari budaya Hindu-Budha adalah mistik panteistik yang kuat. Karakter ini kemudian bercampur dengan paham animisme dan dinamisme sebelumnya. Perpaduan karakter inilah yang kemudian menjadi basis kultur masyarakat Nusantara sebelum kedatangan Islam. Dalam budaya dan paham yang berbasis pada kepercayaan mistis ini, sikap yang menonjol dari penduduk Nusantara, terutama di Pulau Jawa adalah sikap menurut, merunduk, sikap ‘nrimo’, dan kepasrahan. Beberapa budaya ‘tabu’, selamatan, persembahan sesaji (sesajen) misalnya juga tumbuh dan berkembang di masa-masa awal di wilayah ini. Sebagai contoh, calon pengantin menjelang hari pernikahannya harus dipingit. Kematian diperingati dari hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, keseratus, dan haulnya (tiap tahun). Terdapat doa-doa saat akan menanam padi, upacara panen, sesajen, dan seterusnya. Bahkan, hingga kini, meski Islam sudah datang, banyak di antara kebiasaan itu yang masih berlangsung. Islam datang ke Nusantara di masa awal sekitar abad 7-8 Masehi, bermula dari pelabuhan dan daerah pesisir. Di kedua daerah ini, Islam relatif lebih mudah berkembang karena pengaruh
animisme-dinamisme dan Hindu-Budha tidak terlalu kuat. Di wilayah pedalaman yang relatif lebih kental unsur pemahaman dan kepercayaan masa lalu, para penganjur dan pengajar Islam (muballig) menggunakan strategi seni dan tasawuf. Di bidang seni, para muballig menggunakan media seni wayang yang kala itu sangat digemari oleh masyarakat. Pendekatan tasawuf yang juga digunakan oleh para muballig ternyata lebih efektif. Ini karena ajaran tasawuf yang dekat dengan mistik lebih mudah masuk dalam kepercayaan masyarakat yang kala itu sangat gandrung dengan mistisisme yang dipengaruh asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme budaya lokal. Di sini, tarekat-tarekat sufi yang berkembang cenderung memberi ruang dan toleransi kepada pemikiran dan praktek tradisional sebagai strategi, meski dalam beberapa hal masih bertentangan dengan utilitarianisme Islam itu sendiri. 10 Persoalan memberi ruang dan toleransi bagi adat istiadat yang telah berkembang sebelumnya kemudian menjadi peluang bagi usaha mengembangkan fikih di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia yang merepresentasi sebagian besar wilayah Nusantara telah memiliki struktur budaya atau kultur yang beragam. Kultur ini telah ada dan mengakar pada masyarakat dengan karakter ‘ketimuran’ yang kuat sebelum kedatangan Islam. Pada saat kemerdekaan diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, disepakati secara bersama-sama mempertahankan keragaman kultur yang ada untuk dapat harmoni di bawah naungan Pancasila sebagai ideologi bersama. Rasa kebersamaan antar suku bangsa diikat oleh sebuah konsep nusantara yang terdiri dari kawasan pulau-pulau di Semenanjung Malaka dan memanjang ke Timur hingga Merauke, Papua. Meski kemudian negara Indonesia yang resmi didirikan saat proklamasi kemerdekaan tidak seluas wilayah Nusantara, akan tetapi kebersamaan dan rasa serumpun masih berpengaruh dalam budaya, terutama hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Peradaban di Asia Tenggara ini, oleh Badri Yatim disebut dengan Arab Melayu.11 Ini terlihat dari 10
9
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005), 3.
Musyrifah Sunanto, 13. Transformasi kebudayaan lokal kepada kebudayaan Islam dimungkinkan karena Islam, selain menekankan keimanan yang 11
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
95
berbagai peninggalan sisa-sisa peradaban yang ditorehkan oleh kerajaan-kerajaan yang pernah berkuasa di Nusantara, semisal kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Samudra Pasai, Mataram, dan sebagainya. Hampir-hampir tidak terdengar adanya perbudakan atau penindasan kemanusiaan di sebagian besar wilayah Nusantara, kecuali ketika penjajah Eropa berkuasa dan mengeksplorasi berbagai kekayaan alam di Indonesia. Kekuatan Kultur dalam Konsep al-‘Urf Al-Qur ’an turun dan berdialog dengan masyarakat yang tidak kosong dari adat istiadat dan pola pikir. Karena itu, terdapat beberapa kebiasaan masyarakat yang bersesuaian dengan Al-Qur ’an sehingga mendapat pujian dan dilestarikan sekaligus dilegalkan sebagai ajaran Islam. Sementara itu, ada pula beberapa sikap dan pola fikir yang bertentangan dengan Al-Qur’an sehingga diluruskan. Dan, dalam perjalanan sejarah, ternyata Al-Qur’an mampu mengubah pola fikir, sikap, dan tingkah laku, baik individu maupun masyarakat. 12 Berbicara hubungan antara kultur dengan fikih dapat dilihat dari dua hal. Pertama, corak dan warna fikih yang masuk ke dalam masyarakat Indonesia yang sebelumnya telah memiliki sistem kultur budaya yang eksis. Kedua, kultur dasar yang sudah ada di dalam masyarakat ketika ajaran Islam datang. Dalam konteks fikih Islam, terdapat sebuah kaidah yang menegaskan supremasi dan kekuatan kultur dalam perkembangan fikih. Kaidah tersebut berbunyi: “al-‘adatu muhakkamah” (adat istiadat dapat dijadikan hukum). Al-‘aadah seakar dengan kata al-‘aud atau al-mu’awadah yang berarti sesuatu berulangulang.13 Adat berarti sesuatu yang terpendam dalam diri seseorang yang kemudian mendorongnya untuk melakukannya secara benar juga mementingkan tingkah laku dan pengamalan yang baik dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran Islam yang tidak mengenal perbedaan derajat dan kasta serta sangat menjunjung toleransi diterima dengan sangat baik oleh masyarakat Melayu dan Hindu-Jawa. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), 20-2. 12 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam al-Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2004), 96. 13 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 153.
96
Kolaborasi Kultur dan Konsep ...
berulang-ulang dalam kondisi sadar dan berpikir sehat. Istilah lain yang semakna dengan al-‘aadah adalah ‘urf. ‘Urf kemudian berkembang menjadi kata ma’ruf yang berarti sesuatu hal yang sudah biasa dan dianggap baik oleh orang-orang lain. Kedua istilah ini; adat dan ‘urf, mensyaratkan adanya perulangan-perulangan yang dilandasi oleh kesadaran pelaku dan kesadaran pihak lain yang melihat, mengalami, dan merespon (mengikuti) sehingga menjadi sebuah ‘kesepakatan bersama’.14 Kesepakatan ini yang kemudian menjadi adat istiadat, yang diakui dan dilaksanakan, meski beberapa pihak dalam kelompok itu tidak setuju, dengan syarat jumlah mereka yang tidak menyetujui kesepakatan itu tidak signifikan. Kaidah ini menjadi kuat karena banyak sekali term dalam Al-Qur’an yang menyebutkan alma’ruf sebagai target amaliyah dalam mencapai sebuah keimanan yang sempurna.15 Terdapat beberapa pengertian mengenai al-ma’ruf. AlAshfahani mendefinisikan ma’ruf sebagai sebutan untuk setiap perbuatan yang dapat diketahui nilai-nilai kebaikannya, baik menurut agama maupun akal.16 Ibnu Manzhur dengan mengutip pandangan mufassir menyebutkan definisi ma’ruf adalah setiap kebaikan yang dikenal oleh jiwa, yang menjadikan jiwa tersebut suka dan tenang dengannya.17 Adat maupun ‘urf yang dimaksud di sini tentunya adalah hal-hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’. Jadi tidak termasuk dalam kategori adat atau ‘urf yang dapat dijadikan landasan hukum hal-hal yang bertentangan dengan syara’ seperti membuat kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: mu’amalah dengan riba, judi, saling menipu, dan sebagainya. Meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak
14 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis) (Jakarta: Kencana, 2007), 80. 15 Misalnya dalam QS. Ali Imran: 104, yang artinya: “dan hendaklah ada di antara kalian yang mengajak kepada kebaikan, menyeru kepada al-ma’ruf dan melarang kepada kemunkaran, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” 16 Raghib al-Ashfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an (Beirut: Dar al-Qalam, 1412 H), Juz 1, 561. 17 Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar al-Shadir, 1414 H), Juz 9, 240.
dirasa lagi keburukannya.18 Sedangkan kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara dalam mu’amalah seperti dalam jual beli, sewa menyewa, kerja sama pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya. Dalam kasus-kasus seperti di atas seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau ‘urf yang berlaku. Dalam hubungannya dengan kaidah ini para ahli mengatakan: “semua yang datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.19 Terdapat hadis lain yang menggambarkan betapa pandangan umum atau mayoritas dalam sebuah masyarakat adalah pandangan yang direstui oleh agama. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud: “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” 20 Sebuah hadis Nabi saw., yang menunjukkan bahwa budaya atau adat istiadat baik yang sudah ada perlu dipertahankan. Ketika Nabi SAW datang di Madinah, mereka (penduduk Madinah) telah biasa memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun. Maka saat itu Nabi bersabda: “Barangsiapa yang memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan waktu yang tertentu.”21
C. PERKEMBANGAN FIKIH MAZHAB INDONESIA: DARI INKLUSIFISME HINGGA MASYARAKAT MADANI Istilah fikih mazhab Indonesia bermakna warna dan karakteristik pemikiran dan 18 Kebiasaan atau adat istiadat seperti ini disebut dengan ‘Urf Yang Fasid. ‘Urf yang fasid adalah lawan dari yang shahih, yaitu al-‘urf yang jelas-jelas menyalahi teks syariah dan kaidahkaidahnya. Di masa Rasulullah SAW, ‘urf seperti ini misalnya kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi, minum khamar, makan riba dan sejenisnya. Para ulama sepakat untuk mengharamkan ‘urf seperti ini, dan mengenyahkannya dari kehidupan kita. 19 Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyah (Jakarta: UIN Press, 2003), 35. 20 HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir. 21 Hadis riwayat Muslim.
pengamalan fikih bagi masyarakat muslim di Indonesia. Jadi, kata mazhab di sini tidak semakna dengan kata “mazhab” yang disandangkan pada mazhab fikih pada umumnya semisal mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, mazhab Hanafi, dan mazhab Hanbali. Mazhab dalam pengertian terakhir ini adalah kesatuan paham dan tatalaksana pengamalan fikih yang disusun secara sistematis oleh para pendiri (imam) mazhab tersebut. Karena itu, istilah pengembangan fikih mazhab Indonesia adalah upaya mengembangkan sebuah paham atau pemikiran fikih yang dapat menghasilkan rumusan teknis pengamalan fikih dengan mengedepankan keserasian fikih Islam dengan akar kultur masyarakat Indonesia. Upaya pengembangan fikih mazhab Indonesia sejatinya bermula dari pengiriman delegasi Nusantara untuk belajar agama Islam di Mekkah dan Madinah. Upaya ini adalah buah dari hubungan baik antara kesultanan Islam di Indonesia dengan pemerintahan Islam Dinasti Utsmani. 22 Tercatat ulama-ulama seperti Nuruddin ar-Raniry, Abdus Shamad alPalimbani, Muhammad Arsyad al-Banjary, Abdul Rahman al-Batawi, Abdul Wahhab al-Bugisi, dan lain-lain dikirim oleh para sultan untuk belajar Islam di Haramayn. Sekembalinya para alim ulama Indonesia yang belajar ke Mekkah dan Madinah ke Indonesia, mereka membawa dasardasar ilmu pengembangan Islam untuk diterapkan di Indonesia. Terkait dengan pengembangan fikih di Indonesia, Muhammad Arsyad al-Banjari, salah satu dari ulama tersebut merupakan ahli fikih. Al-Banjari menulis kitab “Sabilul Muhtadin” sebuah kitab fikih yang –meskipun kental dengan mazhab Syafi’i- sarat dengan warna lokal, terutama yang terkait dengan persoalan keislaman dan dinamika adat budaya di Kalimantan.23
22 Azyumardi Azra secara lengkap menggambarkan hubungan baik yang terjalin antara raja-raja Islam di Nusantara dengan Khilafah Dinasti Utsmani yang juga sekaligus sebagai Khadim al-Haramayn (Pelayan dua Kota Suci/Makkah dan Madinah). Di antara kesultanan itu adalah Kesultanan Aceh, Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram, Kesultanan Palembang, dan Penguasa Makassar. Buah dari hubungan baik ini adalah pengamanan jalur perdagangan dan ekspedisi dari Nusantara ke Jazirah Arab dari gangguan tentara Eropa terutama Portugis. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII (Bandung: Mizan, 1998), 53-54. 23 Lebih lanjut mengenai sosok Muhammad Arsyad al-Banjari dapat dilihat pada Azyumardi Azra, 252-254.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
97
Mengenai kitab Sabilul Muhtadin ini, Najib Kailani mengomentari mengenai bab zakat, sebagai ‘gagasan brilian dan melampaui zamannya’. Syekh Arsyad al-Banjari melihat bahwa zakat untuk fakir miskin yang tidak memiliki keahlian berdagang, sebaiknya berupa lahan produktif yang hasilnya dapat memenuhi kebutuhan mustahik hingga mampu, atau diwariskan kepada keluarganya hingga mampu pula. Hasil yang melebihi dari kebutuhan mustahik tersebut kemudian diberikan manfaatnya untuk mustahik lainnya secara berketerusan.24 Perkembangan fikih di Indonesia pasca kemerdekaan terlihat dinamis dengan upaya tokoh muslim sebagai representasi masyarakat muslim untuk melaksanakan syariat Islam dan menformalkannya dalam dasar negara. Dokumen Piagam Jakarta menjadi saksi atas tingginya kesadaran serta animo masyarakat muslim Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai warna utama peri kehidupan negara Indonesia. Namun usaha untuk memasukkan kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak berhasil menjadi sila pertama Pancasila, dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Setidaknya ini mencerminkan sebuah kesadaran bagi tokohtokoh muslim –yang tentunya mewakili aspirasi masyarakat muslim Indonesia. Patut dicatat bahwa kaum nasionalis yang waktu itu turut menolak memformalisasi Islam ke dalam dasar negara memiliki pertimbangan yang tidak emosional. Sebab dengan membiarkan statement yang umum dan interpretif akan menjadikan dinamika keberagamaan di Indonesia menjadi kondusif. Selain itu, akan hilang rasa keterasingan bagi kelompok tertentu yakni mereka yang tidak memeluk Islam di Indonesia. Tampaknya, “perjuangan” untuk memformalisasi ajaran Islam setelah kegagalan Piagam Jakarta, tetap berlanjut. Hal ini terlihat dengan disahkannya Undang-Undang Perkawinan yang mensyaratkan perkawinan harus sesuai dengan ajaran agama, UndangUndang Pendidikan yang mewajibkan pelajaran agama di sekolah, Undang Undang Waqaf, dan Undang Undang Zakat.25 24
Lihat Republika Online di www.republika.co.id/berita/ shortlink/69382. 25 M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan, Kebebasan, dan Kebngsaan (Jakarta: Kencana, 2010), 119.
98
Kolaborasi Kultur dan Konsep ...
Akan tetapi, kesemua undang-undang dan peraturan yang terkait dengan penerapan ajaran Islam di Indonesia telah “disesuaikan” dengan kultur bangsa Indonesia sendiri. Teks-teks suci keagamaan yang sepintas mengisyaratkan penolakan terhadap agama lain sudah mulai dilakukan penafsiran ulang. Perdebatan panjang mengenai inklusifisme keagamaan telah mendapatkan perhatian serius dari para cendekiawan muslim Indonesia semisal Alwi Shihab. Interpretasi inklusifisme Islam di Indonesia menyandarkan pokok pikiran kepada lahirnya piagam Madinah yang di dalamnya sarat dengan ajaran-ajaran kemanusiaan di masa Rasulullah. Hal ini kemudian diperkuat dan disemangati oleh kenyataan bahwa Islam adalah sebuah agama yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebuah kebetulan lagi adalah karena Islam diturunkan dalam suatu komunitas yang heterogen yang memiliki kemiripan dengan Indonesia 26. Model masyarakat di zaman Rasulullah ini kemudian oleh para ahli dijadikan sebagai prototipe sebuah masyarakat madani. Al-Qur’an menyebutkan 2 bentuk masyarakat pada masa Nabi. Pertama, masyarakat badui yang nomaden. Kedua, masyaraka madani, yang telah menetap di wilayah tertentu. 27 Dalam istilah kekinian, sebuah masyarakat dengan kultur yang sudah tertata rapi akan mencapai sebuah model yang disebut masyarakat madani atau biasa disebut dengan istilah civil society. Kata madani seakar kata dengan madinah yang sering diartikan sebagai “kota”. Kata ini juga berasal dari akar kata yang sama dengan madaniyyah atau tamaddun yang berarti peradaban. Secara harfiah madinah berarti “tempat peradaban”, atau suatu lingkungan hidup yang beradab, sopan, dan tidak liar. Kata lain yang semakna adalah al-hadarah. Kata yang terakhir ini menunjuk kepada pengertian “pola hidup menetap di suatu tempat”. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan ‘tsaqafah’ yang berarti kebudayaan atau peradaban. Antonim dari kata ini adalah ‘badaawah’, atau badwi/badui. Kata 26 Nabi mengganti nama Kota Yatsrib menjadi Madinah. Karena nama yang pertama mengisyaratkan makna penaklukan atau penjajahan, maka Nabi menggantinya menjadi Madinah. 27 M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3S, 1999), 123.
yang terakhir ini mengandung makna pola kehidupan berpindah-pindah (nomad), sebuah kehidupan yang terkesan primitif, seperti pola kehidupan padang pasir atau suku pedalaman yang tidak terpengaruh dengan budaya luar. 28 Kultur yang ada pada masyarakat yang beradab, atau masyarakat madani menandakan sebuah pola hidup yang teratur, logis, berkeadilan, tenggang rasa, dan saling menghargai antar sesama anggota masyarakat. Akan tetapi, term madani tidaklah menafikan secara total dan menyeluruh peran anggota masyarakat di sebuah pedesaan. Karena patron yang digunakan dalam terminologi madani adalah pola pikir dan pola hidup. Dalam sebuah masyarakat pedesaan yang mayoritas masyarakatnya telah mengenyam pendidikan yang memadai serta mempraktekkan sebuah laku yang teratur sebagaimana dicirikan dalam sebuah masyarakat madani, maka pedesaan tersebut juga dapat disebut sebagai wilayah masyarakat madani. Dalam konteks Indonesia yang merupakan negara demokratis, terlihat jelas kesebandingan antara prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi tulang punggung masyarakat madani dengan pokok-pokok ajaran Islam. Kesesuaian konsep Islam dengan konsep masyarakat madani sangat terlihat pada pilar-pilar sosial masyarakat muslim itu sendiri.29 Ini karena sistem peradaban Islam yang universal juga bersesuaian dengan watak basyariyyah manusia. Sehingga hampir seluruh hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip kemanusiaan terakomodir dalam Islam dengan istilah “fitrah”.30
28 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), 312-313. 29 Lihat Bahtiar Effendy, “Wawasan al-Qur ’anTentang Masyarakat Madani: Menuju Terbentuknya Negera-Bangsa yang Modern,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. I No. 2, 1999. Istilah ‘khairu ummah’ disinyalir sebagai ciri khas masyarakat muslim dalam al-Qur’an adalah masyarakat yang tercakup dalam pengertian ini. Beberapa ciri masyarakat madani terlihat pada sejumlah ayat dan hadis sebagai berikut: 1. Kesamaan tujuan (QS. al-Baqarah/2: 148). 2. Ada aturan-aturan yang disepakati (QS. Yunus/10: 99) (QS. al-Maidah/5: 48) 3. Tidak ada pemaksaan ideologi QS. al-Baqarah/2: 256. 4. Toleransi. Ibn Abbas menuturkan bahwa Nabi saw. ditanya, “Agama mana yang paling dicintai Allah?”. Nabi menjawab, “semangat kebenaran yang toleran (al-hanafiyyah assamhah). 30 Muhammad Ahmad Khalafallah, Masyarakat Muslim Ideal (Tafsir Ayat-Ayat Sosial) (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), 6.
Tidak terfomalisasinya hukum Islam secara umum, meski beberapa hukum Islam seperti pernikahan telah diformalkan dengah UU No. 1 Tahun 1970, justru memberi peluang besar bagi berkembangnya fikih di negeri ini. Tercatat tokohtokoh fikih nasional telah memberikan demikian banyak kontribusi pemikiran dalam pengembangan fikih dalam warna keindonesiaan. Hasbi as-Shiddiqi misalnya, pada tahun 1948 telah menggagas sebuah fikih mazhab Indonesia. Menurut Hasbi, hukum Islam harus mempu memberi jawaban atas persoalan-persoalan baru yang timbul dalam masyarakat Indonesia. Menurutnya, sudah waktunya muncul fikih alternatif yang berwarna Indonesia karena merespon persoalan-persoalan yang timbul di Indonesia. Hasbi meyakini bahwa ‘urf atau adat kebiasaan yang telah menjadi kultur dalam kehidupan bangsa Indonesia merupakan acuan dalam membuat format hukum Islam yang baru di Indonesia. Sebab Islam datang tidak untuk menghapus kebudayaan dan kultur yang telah ada. Islam datang untuk meluruskan dan bahkan mengembangkan potensi kultur yang ada, sejauh itu tidak nyata-nyata bertentangan dengan pokok-pokok agama Islam. 31 Selain Hasbi as-Shiddiqi, terdapat tokoh nasional lainnya yang memelopori munculnya fikih Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Hazairin, Ali Yafie, termasuk Gus Dur, tidak bisa dikesampingkan peran mereka dalam pencetusan fikih Indonesia. Dua ormas terbesar di Indonesia; Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terlihat vulgar dalam memperlihatkan corak fikih ala Indonesia. Isu-isu kontemporer seperti nikah massal, aborsi bagi korban perkosaan, dan beberapa kasus waris mengambil corak ijtihad tersendiri khas Indonesia. Hazairin adalah tokoh lain yang mencoba menjadikan ciri khas kultur Indonesia sebagai pertimbangan dalam melahirkan hukum-hukum fikih. Menurut Hazairin, fikih Islam yang berkembang di Hijaz, Timur Tengah, banyak terpengaruh oleh faktor budaya setempat. Karena itu, seharusnya budaya Indonesia juga memberi andil dalam pengembangan hukum Islam untuk wilayah Indonesia. 31 Mahsun Fua’d, Hukum Islam Indonesia, dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris (Yogyakarta: Lkis, 2005), 68.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
99
Ali Yafie, seorang tokoh kharismatik dari Nahdlatul Ulama menggagas fikih sosial. Sesuai dengan namanya, pemikiran fikih yang digagas Ali Yafie mengedapankan aspek adat istiadat dan kemasyarakatan di Indonesia sebagai pertimbangan dalam menetapkan hukum-hukum fikih di Indonesia.32 Fikih mazhab Indonesia yang digagas oleh para tokoh tersebut di atas memperlihatkan upaya kolaborasi yang harmonis antara adat istiadat dan budaya ‘timur’ yang berkembang di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Gagasan ini diharapkan menjadi sinergi yang positif dan progresif untuk menginspirasi para pemikir dan intelektual muslim di negara-negara lain. Kekhususan syariat Islam yang shalihun li kuli zaman wa makan (sesuai di setiap tempat dan waktu) dan kemudian mengejawantah dalam hukum-hukum fikih memiliki prospek yang cerah di Indonesia. Dan meskipun terdapat tidak sedikit dalam ajaran-ajaran dan hukum-hukum fikih yang terlihat ‘kejam’ seperti potong tangan, qisash, rajam, dan sebagainya. Namun fikih di Indonesia berupaya mengambil opsi hukum yang lain, yang lebih berkesesuaian dengan budaya dan kultur Indonesia. Sikap dan pengamalan fikih seperti ini kemudian oleh para tokoh fikih (fuqaha) tidak ditolak dan dianggap sebagai warna tersendiri bagi fikih di Indonesia.
32
100
Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial (Bandung: Mizan, 2000).
Kolaborasi Kultur dan Konsep ...
D. PENUTUP Keberadaan fikih dengan corak Indonesia atau fikih mazhab Indonesia mengupayakan sebuah sistem hukum fikih yang selaras dengan kondisi masyarakat. Keberadaan fikih ala Indonesia ini –meski masih dalam tahap pengembangan- diharapkan menjadi inspirasi bagi para cendekiawan Islam untuk terus menggali semangat umum syariat Islam untuk di-combine dengan akar budaya masyarakat Indonesia. Tujuan mulia dari usaha pengembangan fikih mazhab Indonesia ini adalah sebuah masyarakat sipil yang kuat, yang tetap mendasarkan aktifitas dan paham keagamaannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa syariat Islam, tanpa harus terlepas dari akar kulturnya sendiri. Usaha ini juga dapat menjadi proteksi atas beberapa pemikiran baru atau lama, yang mungkin berupaya memengaruhi konstruk fikih di Indonesia, namun dengan menegasikan aspek budaya masyarakat yang sudah mapan.[]
D A F TA R P U S TA K A
Abbas, Sudirman. Qawa’id Fiqhiyah. UIN Press, 2003.
Manzhur, Ibn. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar alShadir, 1414 H, Juz 9.
al-Ashfahani, Raghib. Al-Mufradat fi Gharib AlQur’an. Beirut: Dar al-Qalam, 1412 H), Juz 1.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidahkaidah Asasi). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Ahmad Khalafallah, Muhammad. Masyarakat Muslim Ideal (Tafsir Ayat-Ayat Sosial). Yogyakarta: Insan Madani, 2008.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992.
Abu Zahrah, Muhammad. Imam Syafii, Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih. Jakarta: Penerbit Lentera, 2007.
Nasikhun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2006. Rahardjo, M. Dawam. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3S, 1999.
al-Madani, Abdurrahman Hasan Hanbalah. alAkhlaq al-Islaamiyah wa Ususuha. Damaskus: Dar el-Qalam,1987.
——————————, Merayakan Kemajemukan, Kebebasan, dan Kebangsaan. ( Jakarta: Kencana, 2010.
Badan Pusat Statistik Nasional
Ruslikan, “Konflik Dayak-Madura di Kalimantan Tengah: Melacak Akar Masalah dan Tawaran Solusi” dalam JURNAL MASYARAKAT KEBUDAYAAN DAN POLITIK, Volume 14, Nomor 4:1-12, tahun 2001.
Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalahmasalah yang Praktis. Jakarta: Kencana, 2007. Effendy, Bahtiar, “Wawasan Al-Qur’an Tentang Masyarakat Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern,” Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol. I No. 2, 1999. Fua’d, Mahsun. Hukum Islam Indonesia, dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris. Yogyakarta: Lkis, 2005. Hude, Darwis. Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Shihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam AlQur’an. Jakarta: Penamadani, 2004. Yafie, Ali. Menggagas Fikih Sosial. Bandung: Mizan, 2000.
http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/ 2517461/4/negara-dengan-pendudukterbanyak-di-dunia-ri-masuk-4-besar. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia http://id.wikipedia.org/wiki/ Suku_bangsa_di_Indonesia Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam.Yogyakarta: LPPI UMY, 2000. Manshur, Abdul ‘Azhim. al-Akhlaq wa qawaa’id al-Suluk fi al-Islam. Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
101
102
Kolaborasi Kultur dan Konsep ...
TOPIK STRATEGI PENINGKATAN MUTU RINTISAN MADRASAH UNGGUL: STUDI KASUS DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI YOGYAKARTA I E R L I N A F A R I D A*
ABSTRAK Kehadiran madrasah unggulan ikut mewarnai eksistensi madrasah di tanah air di kancah era modernisasi dan globalisasi saat ini. Keberadaan MTsN Yogyakarta I yang merupakan sekolah rintisan unggulan Kementerian Agama patut diacungi jempol karena madrasah ini menjadi salah satu indikator sekolah yang baik dan berpotensi untuk menjadi unggulan berdasarkan penilaian Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Madrasah ini mampu mengakomodir kepentingan masyarakat agar tertarik untuk mengamanahkan putra-putrinya di sekolah ini karena terdapat keunggulan pada pendidikan agama dan penanaman kebiasaan yang islami. Beragam strategi dilakukan oleh madrasah ini untuk mewujudkan madrasah unggul, mulai dari peningkatan mutu sumber daya manusia tenaga pendidik, kualitas pelayanan, budaya organisasi, sarana prasarana, inovasi kurikulum, dan pembelajaran, khususnya pengembangan kelas unggulan untuk mewujudkan keunggulannya.
KATA
KUNCI:
Strategi, Peningkatan Mutu, Madrasah Unggul
A BSTRACT The presence of exemplary madrasa colors the existence of madrassas in Indonesia in the midst of modernized and globalized era. The existence of MTsN Yogyakarta I as a featured pilot school by the Ministry of Religious Affairs is admirable due to its quality as an excellent school based on the assessment of the MoRA Yogyakarta Province. This madrasa is able to accommodate the parents’ need to send their children to an excellent religious education and an excellent Islamic custom habituation. Various strategies have been undertaken by this madrasa to achieve a superior madrasa, such as: improving the quality educators, service quality, organizational culture, infrastructure, curriculum innovation and learning, especially the development of superior class to realize its excellence.
KEY WORDS: Strategy, Quality Improvement, Exemplary Madrasa
A. PENDAHULUAN Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang muncul sejak masa klasik Islam. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk *) Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Jln.M.H. Thamrin 6 Jakarta. Email:
[email protected] **Naskah diterima Maret 2015, direvisi April 2015, disetujui untuk diterbitkan Mei 2015
dan berkembangnya Islam di Indonesia. Budaya lembaga pendidikan Islam tersebut bersentuhan dengan pesantren (setting Indonesia) dan modernisasi pendidikan sekolah modern Belanda dan kebangkitan Muslim reformis secara bersamasama mendorong berbagai perubahan lembagalembaga pendidikan Islam. Tidak ragu lagi, pencapaian pendidikan madrasah (MI, MTs, MA) dalam empat dasawarsa terakhir sangat fenomenal. Pencapaian paling utama dari segi
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
103
hukum adalah pengakuan negara melalui Undang-Undang terhadap madrasah—melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Dengan Undang-Undang ini, berarti secara legal formal madrasah tidak lagi marjinal dan terasing dari pendidikan nasional, karena regulasi ini telah memposisikan madrasah menjadi subsistem pendidikan nasional. Hal ini sejalan dengan komitmen global dalam upaya peningkatan pemerataan akses pendidikan. Akses pendidikan yang bermutu merupakan hak fundamental setiap warga negara yang tidak dibatasi oleh status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 dan Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan di madrasah (sudah banyak contoh baik negeri maupun swasta) dalam perjalanan sejarahnya terbukti dengan kerja kerasnya mampu memperkuat daya saing dan mutu pendidikan madrasah di kancah pendidikan nasional. Model-model kelembagaan dan substansi pembelajaran madrasah bermunculan secara beragam merespon modernisasi. Perkembangan madrasah tersebut memberikan indikasi bahwa lembaga pendidikan Islam telah mengalami transformasi dan modernisasi sejalan dengan perubahan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan globalisasi. Akan tetapi tantangan yang dihadapi madrasah semakin kompleks dan berat, karena dunia madrasah juga dituntut untuk memberikan konstribusi bagi kemoderenan dan tendensi globalisasi. Oleh karena itu madrasah wajib meningkatkan mutunya untuk mencapai keunggulan. Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di madrasah, Kementerian Agama RI telah melakukan langkah-langkah pengembangan pendidikan melalui tiga pilar, yaitu; 1) perluasan akses dan pemerataan pendidikan, 2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan, 3) penguatan tata kelola dan pencitraan publik. Kementerian Agama juga mengembangkan program Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), Madrasah Model, Madrasah Unggulan, Madrasah Terpadu, dan sebagainya. 104
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
Karenanya, saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang lebih mempercayai lembaga pendidikan madrasah daripada sekolah umum. Hal ini dikarenakan madrasah mempunyai keunggulan plus, yaitu kekuatan di pendidikan agama Islam yang menjadi berbeda dengan sekolah umum. Apalagi jika mengingat siswa MTs adalah siswa usia masih remaja yang sangat membutuhkan bimbingan pendidikan agama dari lingkungan sekolah, rumah, dan keluarganya. Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Yogyakarta merupakan rintisan Madrasah Tsanawiyah unggulan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia yang sudah punya Madrasah Tsanawiyah model atau unggulan, madrasah ini merupakan cikal bakal Madrasah Tsanawiyah Negeri pertama yang akan dijadikan unggulan untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah di wilayah ini. Maksud dari madrasah rintisan unggulan yaitu madrasah ini terpilih sebagai rintisan MTs unggulan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Kementerian Agama Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan sejumlah indikator yaitu memiliki keunggulan sekolah plus keunggulan pesantren. Di satu sisi madrasah ini memiliki kualitas sebagai sekolah umum, di sisi lain, ia menjadi tempat untuk membangun kepribadian Islami pada siswa didiknya. Oleh sebab itu penting untuk diketahui seperti apa strategi yang digunakan oleh madrasah ini untuk meningkatkan mutu lembaganya, mengingat madrasah unggulan belum banyak di Indonesia sehingga pengalaman proses madrasah ini bisa menjadi inspirasi bagi MTs lain di Indonesia yang mayoritas kualitasnya masih kalah unggul dengan sekolah umum. Penelitian eksplorasi ini dilakukan pada tahun 2014. Rumusan Masalah 1. Bagaimana strategi MTsN Yogyakarta I sebagai rintisan madrasah unggulan negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam meningkatkan mutu pendidikannya? 2. Apakekuatan, kelemahan, maupun peluang yang mempengaruhi peningkatan mutu madrasah? Tujuan 1. Untuk mendapatkan data dan informasi terkait strategi MTsN Yogyakarta I dalam
mengelola peningkatan mutu pendidikannya. 2. Untuk menganalisis kekuatan, kelemahan, peluangmaupun tantangan yang mempengaruhi peningkatan mutu madrasah dengan analisis SWOT. Kebermanfaatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. MTsN Yogyakarta I sebagai bahan refleksi dan masukan untuk meningkatkan mutu pendidikannya. 2. Madrasah secara umum, sebagai bahan masukan, inspirasi, ataupun spirit untuk memperbaiki mutu madrasah. 3. Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, sebagai bahan untuk menyusun konsep pengembangan madrasah unggulan maupun peningkatan mutu madrasah. 4. Kementerian Agama RI, khususnya Direktorat Pendidikan Islam sebagai bahan masukan dalam menyusun kebijakan untuk meningkatkan mutu madrasah.
B. KERANGKA KONSEP Strategi Mintzberg dan Waters (2003) menyatakan bahwa strategi adalah pola umum tentang keputusan atau tindakan. Sedangkan Sudjana (2001) menyitir apa yang diungkapkan oleh Hardy, Langley, dan Rose bahwa strategi adalah rencana atau kehendak yang mendahului dan mengendalikan suatu kegiatan. Dari pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa strategi adalah pola yang dengan sengaja direncanakan dan ditetapkan untuk melakukan suatu kegiatan. Adapun strategi yang dimaksud dalam tulisan ini meliputi segala sesuatu yang direncanakan dan dilakukan oleh MTsN Yogyakarta I dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Mutu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 menimbang bahwa Sistem Pendidikan Nasional harus menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terserap dan berkesinambungan. Perihal penjaminan mutu lembaga pendidikan juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 pada Bab XV, dimana setiap satuan pendidikan jalur formal maupun jalur non formal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan, penjaminan mutu tersebut bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan (Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan). Mutu adalah kecocokan penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (Joseph M. Juran 1993). Menurut Sallis, mutu adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, masih dalam buku yang sama Edward mengartikan mutu sebagai keunggulan (excellence) dengan alasan cocok dengan tujuan. Definisi lain mengatakan “quality is often defined in term outcome to match a costumer satisfaction”. Dalam konteks mutu sekolah, kepuasan orang tua, masyarakat, pihak terkait (stakeholder) terhadap lulusan yang berkualitas dan pelayanan sekolah yang baik merupakan kata kunci sekolah yang diandalkan (Syafaruddin 2008). Dari berbagai uraian di atas bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mutu ialah nilai moral terkait kualitas dengan kriteria persyaratan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Jadi dalam hal ini madrasah mempunyai konsep kualitas yang digunakan untuk memenuhi spesifikasi tertentu dan memuaskan pelanggan sesuai dengan kebutuhannya. Madrasah Unggul Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan unggul adalah lebih tinggi, pandai, kuat, dan sebagainya daripada yang lain; terbaik; terutama. Sedangkan Keunggulan artinya keadaan unggul; kecakapan, kebaikan dan sebagainya yang lebih dari pada yang lain (Peter Salim dan Yenny Salim : 1991). Secara ontologis, sekolah unggul dalam perspektif Departemen Pendidikan Nasional adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya. Untuk
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
105
mencapai keunggulan tersebut maka masukan (input), proses pendidikan, guru dan tenaga kependidikan, manajemen, layanan pendidikan, dan sarana penunjangnya harus diarahkan untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut (Muhammad : 2009). Dengan demikian sekolah/madrasah unggulan dapat didefinisikan sebagai sekolah yang dikembangkan dan dikelola sebaik-baiknya dengan mengarahkan semua komponennya untuk mencapai hasil lulusan yang lebih baik dan cakap daripada lulusan sekolah lainnya. Sedangkan menurut Siti Nurhayati keunggulan madrasah bisa dikategorikan dalam keunggulan komparatif dan kompetitif. Dalam konteks lembaga pendidikan, keunggulan komparatif menekankan pada keunggulan kaitannya dengan sumber daya yang disediakan, dimiliki tanpa perlu adanya suatu upaya. Sedangkan keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang timbul karena ada suatu upaya yang dilakukan untuk mencapainya. Keunggulan kompetitif terkait dengan daya saing suatu produk yang relatif mapan sehingga mampu memasuki pasar tertentu dengan tingkat harga dan kualitas sesuai kebutuhan penggunanya. Produk yang memiliki keunggulan kompetitif biasanya didukung oleh pelayanan memadai sehingga memiliki daya saing dibandingkan dengan produk yang berasal dari sumber lain. Keunggulan komparatif menekankan pada keunggulan kaitannya dengan sumber daya yang disediakan. Sedangkan keuntungan kompetitif bersandar pada penguasaan IPTEK dan informasi. Atas dasar pemahaman tersebut, yang dimaksud dengan ‘keunggulan/excellence’ pada istilah ‘center for excellence’ adalah jenis keunggulan kompetitif, yaitu keunggulan yang diraih melalui suatu usaha. Maka yang dimaksud madrasah unggul adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki komponen unggul, yang tercermin pada sumber daya manusia (pendidik, tenaga kependidikan, dan siswa), sarana prasarana, serta fasilitas pendukung lainnya untuk menghasilkan lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara terampil, memiliki kekokohan spiritual (iman dan/atau Islam), dan memiliki kepribadian akhlak mulia. Dalam konteks ini MTsN Yogyakarta I termasuk dalam kategori berkeunggulan kompetitif. Oleh karenanya 106
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
Kementerian Agama wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta memilih sekolah ini sebagai rintisan Madrasah Tsanawiyah unggulan. Bila sekolah mampu mengorientasikan tiga kecerdasan tersebut berarti madrasah unggul telah mengakomodasi dan mengarahkan sisi kemanusiaan peserta didik agar memiliki intelektualitas, spiritualitas, moralitas, sosialitas, rasa, dan rasionalitas dalam kehidupannya, sehingga output yang dihasilkan akan mampu hidup serasi dan seimbang dengan lingkungan keluarga, anggota masyarakat, alam, dan juga dengan Tuhan. Menurut Moedjirto, setidaknya dalam praktik dilapangan terdapat tiga tipe madrasah atau sekolah Islam unggulan. Pertama, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada anak cerdas. Kedua, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada fasilitas. Sekolah Islam atau madrasah semacam ini cenderung menawarkan fasilitas yang serba lengkap dan memadai untuk menunjang kegiatan pembelajarannya. Ketiga, tipe madrasah atau sekolah Islam berbasis pada iklim belajar. Tipe ini cenderung menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah/madrasah. Lembaga pendidikan dapat menerima dan mampu memproses siswa yang masuk (input) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) yang bermutu tinggi. Tipe ketiga ini termasuk agak langka, karena harus bekerja ekstra keras untuk menghasilkan kualitas yang bagus (Agus Maemun dan Agus Zaenul Fitri : 2010). Untuk kategori ini MTsN Yogyakarta I termasuk dalam madrasah unggulan kelompok kedua dan ketiga. Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa sekolah Islam atau madrasah unggulan adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki komponen unggul, yang tercermin pada sumber daya manusia (pendidik, tenaga kependidikan, dan siswa), sarana prasarana, dan fasilitas pendukung lainnya untuk menghasilkan lulusan yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara terampil, memiliki kekokohan spiritual (iman dan/atau Islam), dan memiliki kepribadian akhlak mulia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP 19 Tahun 2005, penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan dilakukan dalam tiga program terintegrasi, yaitu evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, akreditasi
merupakan salah satu program atau kebijakan yang digunakan sebagai strategi penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan nasional. Dalam konteks ini, akreditasi merupakan sebuah “mantra” baru yang digunakan sebagai salah satu instrumen penilaian kelayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan dengan mengacu pada 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar penilaian, dan standar pembiayaan. Oleh karena itu, akreditasi mendapat perhatian serius pemerintah, termasuk Kementerian Agama dalam upaya meningkatkan mutu, daya saing, dan relevansi pendidikan Islam (madrasah) sesuai dengan SNP. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Rencana Strategik Pembangunan Pendidikan Islam 2010-2014 yang menetapkan bahwa pada tahun 2014 semua MI, MTs, dan MA harus telah diakreditasi oleh BANS/M dengan 50% memperoleh peringkat terakreditasi minimal B. Dari berbagai definisi di atas bisa disimpulkan bahwa madrasah unggul adalah madrasah yang bisa menunjukkan ciri-ciri atau memenuhi kriteria keunggulan komparatif dan kompetitif, memenuhi akreditasi minimal B (otomatis memenuhi 8 standar SNP), berprestasi akademik maupun non akademik, unggul dari segi input, proses dan output siswa, berbudaya organisasi unggul, dan lain-lainnya. Dengan demikian madrasah unggulan dapat didefinisikan sekolah yang dikembangkan dan dikelola sebaikbaiknya dengan mengarahkan semua komponennya untuk mencapai hasil lulusan yang lebih baik dan cakap daripada lulusan sekolah lainnya. Oleh karenanya yang dimaksud dengan strategi peningkatan mutu dalam judul penelitian ini adalah berbagai upaya yang dilakukan oleh MTsN Yogyakarta I untuk meningkatkan mutu agar dari rintisan madrasah unggul berhasil menjadi madrasah unggulan.
C. METODOLOGI Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan
pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan temuan yang tidak dapat dicapai melalui prosedur statistik atau cara-cara pengukuran lainnya (Strauss dan Corbin 1990). Kemudian Glesne dan Peshkin menandaskan bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti mengumpulkan kata-kata melalui percakapan dengan sejumlah kecil orang, menghimpun berbagai dokumen dan mengobservasi perilaku (1992). Penelitian ini membuka peluang lebih besar terjadinya hubungan langsung antara peneliti dengan responden atau sasaran penelitian. Dengan demikian akan lebih mudah memahami fenomena yang dideskripsikan dibandingkan jika istilah tersebut hanya didasarkan pada pandangan peneliti sendiri (Lincolln dan Guba 1995). Beberapa pendapat di atas bisa digarisbawahi bahwa yang dimaksud penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang dilakukan melalui kontak langsung antara peneliti dan subyek terutama dengan menggunakan cara observasi, wawancara, studi dokumen sehingga diharapkan akan diperoleh informasi verbal dan non verbal yang diolah tanpa menggunakan pendekatan yang bersifat kuantitatif. Pada penelitian ini subyek perilaku adalah pelaku yang bertugas dalam pengelolaan MTsN Yogyakarta I dan peneliti. Dalam hal ini yang berperan sebagai instrumen utama adalah kepala madrasah, tenaga pendidik dan kependidikan maupun siswa. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa penelitian kualitatif yang dimaksud dalam penelitian ini dimensinya muncul dalam bentuk pengumpulan data dan informasi, berupa pernyataan lisan, observasi, dan deskripsi isi dokumen yang kemudian diolah menjadi satu hasil penelitian. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan terlibat, wawancara, dan analisis dokumen (Moleong 2008). Hal ini bermaksud agar semakin banyak sumber data yang digunakan untuk memahami permasalahan sehingga temuan penelitian akan lebih bermakna dan dipercaya. Untuk observasi peneliti melakukan pengamatan terlibat secara berkesinambungan dengan mengamati pelaksanaan pendidikan di madrasah untuk memperoleh gambaran umum
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
107
kegiatan proses pengelolaan madrasah. Kemudian wawancara dilakukan dengan kepala madrasah, kepala tata usaha, wakil-wakil kepala madrasah, guru mata pelajaran, dan siswa dengan cara wawancara personal dan FGD untuk menggali data dan informasi terkait strategi peningkatan mutu madrasah. Pengumpulan dokumentasi difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan madrasah, seperti prestasi siswa baik akademik maupun non akademik, program kerja dan tata tertib madrasah. Analisis Data Data yang diperoleh melalui wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen dicatat dan dianalisis. Proses pencatatan dilakukan secara bertahap mulai dari pencatatan awal, yaitu melakukan pencatatan selama pengamatan dan wawancara. Kemudian membuat coding sebagai petunjuk catatan yang diperoleh. Prosedur analisis berikutnya mencakup empat tahapan, yaitu analisis domain, taksonomi, komponensial, dan analisis tema yang dikaji lebih lanjut dengan teori yang relevan (Spradley 1990). Triangulasi Triangulasi adalah proses di dalam penelitian untuk dapat memantapkan/menguasai temuan penelitian yang dilakukan dengan metode yang sama, satu sumber yang sama atau satu pengamatan yang absah untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding antara data dokumen, wawancara maupun observasi dalam menganalisisi dan selanjutnya untuk membuat kesimpulan (Michael Quinn Patton 1995).
D. HASIL PENELITIAN
DAN
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Madrasah Madrasah Tsanawiyah Negeri Yogyakarta I berdiri pada 16 Maret 1978. Dasar hukum pendiriannya adalah Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 16/16 Maret 1978. MTsN Yogyakarta I merupakan pemisahan dari PGAN 6 Tahun Yogyakarta. Peserta didik pertama MTsN Yogyakarta I adalah para siswa yang pada saat itu berstatus sebagai siswa PGAN 6 Tahun Yogyakarta kelas I, II, dan III, kemudian beralih status menjadi siswa MTsN Yogyakarta I kelas I, II, dan III. Dalam perkembangan selanjutnya PGAN 6 Tahun Yogyakarta beralih status menjadi 108
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
MAN Yogyakarta III. Kepemimpinan MTsN Yogyakarta I dalam beberapa tahun pertama masih dipegang oleh Kepala PGAN Yogyakarta. Baru pada 7 September 1982, MTsN Yogyakarta I memiliki kepala madrasah secara definitif. R. Dachri Roeslani Soenoewinoto, BA adalah Kepala MTsN Yogyakarta I yang pertama (7 September 1982 – 12 Agustus 1986). Bersama beberapa perintis lainnya seperti Hadi Suparto, BA, Drs. Suharto, Drs. Jamhadi, Sukohono, BA, terus berupaya membina dan memajukan MTsN Yogyakarta I. Jumlah kelas atau rombel pada saat itu ada sembilan. Tenaga pendidiknya semua berstatus guru PGAN Yogyakarta. Pada periode kepala madrasah yang kedua, Iskandar, seluruh tenaga pendidik sudah berstatus guru MTsN Yogyakarta I. Dalam perjalanan sejarahnya, MTsN Yogyakarta I sampai sekarang telah dipimpin oleh tujuh kepala madrasah, dimana yang terakhir hingga saat ini masih menjabat sebagai kepala madrasah, yaitu Drs. H. Abdul Hadi, S.Pd., M.Pd.I (26 Desember 2013 – sekarang). Nama MTsN Yogyakarta I semakin dikenal oleh masyarakat luas. Semula, PSB (Penerimaan Siswa Baru) dilaksanakan dengan sistem jemput bola. Akhirnya masyarakat sendiri yang datang ke madrasah. Sejalan dengan meningkatnya animo masyarakat terhadap MTsN Yogyakarta I, pada tahun 1990-an MTsN Yogyakarta I menambah jumlah rombel menjadi 12 kelas. Selanjutnya pada tahun pelajaran 2001/2002 menjadi 15 kelas. Berkat kerja keras seluruh warga madrasah, pada Mei 2012 oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sleman MTsN Yogyakarta I ditetapkan menjadi Madrasah Percontohan. Selanjutnya pada Desember 2012 ditunjuk sebagai Rintisan Madrasah Unggul melalui Surat Keputusan Kepala Kanwil Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6098 Tahun 2012. Setahun kemudian MTsN Yogyakarta I mendapat peringkat 1 pada penilaian Sekolah Adiwiyata Kabupaten Sleman, sehingga berhak mewakili untuk penilaian tingkat DIY. Secara geografis, letak MTsN Yogyakarta I sangat strategis. Lokasinya dekat dengan jalan raya, Yogyakarta – Semarang, stasiun TVRI, serta berada di perbatasan wilayah Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Hal tersebut menjadikan
MTsN Yogyakarta I dikenal luas oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar MTsN Yogyakarta I sangat mendukung dan berkontribusi bagi kemajuan serta perkembangan madrasah. Lokasinya yang satu komplek dengan MIN Yogyakarta I dan MAN Yogyakarta III sangat mendukung bagi kerja sama antar madrasah. Suasana madrasah sangat kondusif untuk kegiatan belajar mengajar. Interaksi siswa, guru, dan pegawai antara MIN Yogyakarta I, MTsN Yogyakarta I, dan MAN Yogyakarta III sangat baik. Kerja sama antar ketiga madrasah sangat baik. Aktivitas belajar siswa sangat tinggi. Hal ini dikarenakan madrasah menerapkan sistem full day school. Para siswa belajar di madrasah dari pukul 07.00 – 16.00. Suasana kelas yang ada di MTsN Yogyakarta I sangat representatif. Luas setiap ruang kelas 9 x 8m2. Seluruh kelas dilengkapi dengan sarana pembelajaran, termasuk LCD proyektor. Implementasi Visi dan Misi Madrasah: Mencetak Khalifah Pemakmur Bumi Sesungguhnya Allah berkehendak manusia itu menjadi khalifah di bumi agar membawa kemanfaatan, kesejahteraan, keselamatan, kedamaian, kemakmuran, dan keberlangsungannya. Namun kenyataannya justru manusia hanya mengeksploitasi bumi untuk memenuhi nafsu sesaat tanpa memikirkan keberlangsungannya dan kepentingan makhluk atau manusia yang lain. Padahal Allah telah memberi petunjuk hidup berupa Al-Qur’an dan contoh manusia teladan utama. Dalam perilaku kehidupan masih belum ada keseimbangan antara alim dan sholeh. Idealnya seorang yang alim itu harusnya sholeh. Namun kenyataanya justru kebanyakan yang alim berperilaku dhalim, yang berperilaku sholeh tapi tidak alim (bodoh). Dari kenyataan itulah maka MTsN Yogyakarta I bermimpi bisa melahirkan generasi-generasi yang alim lagi sholeh melalui pendidikan yang komprehensif antara pengetahuan ilmiah, illahiah, dan implementasinya dalam bentuk amal nyata. Mimpi tersebut kemudian dituangkan menjadi visi MTsN Yogyakarta I yaitu “Madrasah Idaman”.
Idaman, yang merupakan akronim intelek dunia akhirat bermanfaat sepanjang jaman. Visi ini terinspirasi dari Al-Qur’an surah Al-Qashash 77, “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan”. Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berbasis Islam sedapat mungkin melahirkan generasi-generasi yang sholeh (utama) dalam segala bidang kehidupan. Seimbang antara kepentingan hablu minallah dan hablu minanas. Allah mencipta manusia bertugas sebagai khalifah dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan perangkat untuk menjalankan tugasnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bertugas mempersiapkan calon-calon kholifah harus menanamkan visi kepada peserta didik. Agar visi mudah diingat maka dibuat menjadi sebuah kata yang populer, melekat di hati setiap orang, yaitu IDAMAN. Intelek dunia artinya menguasai ilmu-ilmu umum yang menjadi bekal dalam bermuamalat. Intelek akhirat artinya menguasai ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis yang menjadi dasar menjalankan tugas kehidupan. Dengan kesepahaman bahwa kedua bekal tersebut tidak dapat terpisahkan dan berkonsekuensi di akhirat nanti, maka diharapkan membuka kesadaran untuk membuat diri selalu bisa berbuat kebaikan kepada sesama (amal sholeh) sampai badan tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan memahami visi tersebut lulusan madrasah selalu berusaha menjadikan dirinya bermanfaat bagi kebaikan orang lain. Strategi Peningkatan Mutu Madrasah Berikut ini berbagai strategi yang dilakukan oleh MTsN Yogyakarta I sebagai rintisan Madrasah Tsanawiyah unggulan untuk meningkatkan mutunya: Strategi Input Siswa Untuk mengawal ketercapaian visi madrasah dimulai dari awal penerimaan siswa baru, yaitu syarat menjadi calon siswa madrasah harus
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
109
sudah bisa baca Al-Qur’an, lulus tes psikologi, tes potensi akademik, dan tentunya nilai ujian juga harus tinggi. Setelah diterima semua siswa harus mengikuti program matrikulasi (bridging course) untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan ilmu Pengetahuan Alam. Strategi Peningkatan Mutu Pembelajaran Selanjutnya dalam upaya untuk terus meningkatkan mutu lulusan, sejak kelas VII diadakan tambahan jam belajar untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, Matematika, dan Fisika bagi siswa yang memerlukan. Setelah di kelas IX, untuk menghadapi Ujian Nasional diberikan jam tambahan belajar untuk semua mata pelajaran yang diujikan sejak semester pertama. Untuk mengetahui tingkat ketercapaian prestasi diadakan tes uji coba (try out) sampai sekitar 10 kali. Hasil tes uji coba dijadikan bahan untuk mengetahui dan menindaklanjuti siswa yang kurang, juga untuk memaksimalkan prestasi siswa yang nilainya tinggi dengan memberi penghargaan. Disamping itu juga diadakan program pendampingan siswa, dimana satu guru ditugasi mendampingi 15 siswa. Tugas guru pendamping adalah memberikan bimbingan, tempat curhat, memantau belajar dan pelaksanaan ibadah siswa, serta mengkomunikasikan dengan orang tua siswa. Peningkatan mutu mata pelajaran agama dimulai sejak awal menjadi siswa baru harus mengikuti matrikulasi Baca Tulis Qur’an dan pelaksanaan ibadah praktis sehari-hari. Untuk mengembangkan bakat minat dalam bidang keagamaan diadakan tahfidzul Qur’an, seni baca Qur’an, muhadatsah, pidato/ceramah sesudah salat dhuha dan dhuhur oleh siswa. Strategi Internalisasi Budaya Madrasah Budaya adalah hal yang biasa dijadikan acuan oleh semua anggotanya dan memungkinkan untuk perubahan semua anggota organisasi (Diana C. Phesey 1998). Sedangkan Derek Torrington (1991) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah karakteristik semangat dan kepercayaan yang dirasakan ada oleh semua anggota yang dinyatakan dalam wujud tata nilai dan norma berperilaku yang menyertainya alam kebiasaan-kebiasaan yang 110
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
dilakukan mereka. Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa budaya organisasi adalah sekumpulan nilai yang ada dan diterima oleh anggotanya sebagai pedoman, dalam hal ini yang dimaksud organisasi adalah madrasah. Setelah dibiasakan budaya berilmu dan beragama, di MTsN Yogyakarta I juga dikembangkan budaya mengawali belajar dengan salat dhuha, mendengarkan dan menghargai teman yang sedang menyampaikan ajaran agama (pidato), salat dhuhur berjamaah, membaca AlQur’an di masjid, budaya peduli pada lingkungan yang bersih dan indah, hemat listrik, dan hemat air. Juga dikembangkan budaya senyum, sapa, salam sesuai dengan moto madrasah “Madrasah Ramah dan Menghargai Hak-hak Anak”. Guru dalam mengajar harus bersikap ramah juga menghargai pendapat, keinginan, kemauan, hakhak anak untuk menyampaikan aspirasinya. Strategi Pola Pelayanan Madrasah adalah perusahaan jasa yang melayani siswa. Siswa adalah pelanggan luar pertama (primary external customer). Pelanggan akan terpuaskan apabila jasa/layanan dirasakan memuaskan. Menurut Edward Sallis (2003) antara service dengan customer harus terjadi hubungan yang baik sehingga memuaskan pelanggan. Oleh karenanya dalam rangka memberikan pelayanan yang memuaskan strategi pelayanan yang digunakan oleh MTsN Yogyakarta I adalah pola pelayanan dan pembelajaran yang ramah dan menghargai hakhak anak ternyata berdampak positif terhadap akhlak dan prestasi siswa. Hal ini berimplikasi secara langsung pada animo masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya di MTsN Yogyakarta I. Peningkatan animo masyarakat tidak hanya secara kuantitas tetapi juga kualitas, seperti nilai ujian tinggi dan latar belakang pendidikan dan ekonomi orang tua yang lebih baik. Tabel 1 Nilai Ujian Nasional Siswa
Lulusan madrasah juga semakin banyak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi (SMA, SMK, MA). Jumlah alumni yang diterima di SMA/SMK favorit semakin meningkat, seperti diterima di SMAN 8, SMAN 2, MA Insan Cendekia, dll. Demikian juga alumni MTsN Yogyakarta I juga tersebar luas dalam berbagai bidang kerja dan professional, berikut diantaranya : Tabel 2 Data Alumni Siswa
Strategi Pembiayaan Pengembangan madrasah tidak akan lepas dari pembiayaan. Dana BOS dan DIPA pemerintah belum cukup untuk mengembangkan madrasah, disamping terbentur pada jumlah juga aturan yang ada. Jalan keluar dari pembiayaan ini adalah memperdayakan dana infak dari masyarakat. Dalam pengumpulan dana infak ini dilakukan oleh komite madrasah melalui jalur infak penerimaan siswa baru, infak dari Paguyuban Orang Tua Siswa, infak Jum’at, dan sumbangan/hibah dari donatur yang tidak mengikat. Dana infak tersebut sangat mendukung kegiatan program-program unggul. Banyak dana yang diperlukan untuk pelaksanaan penguatan program unggul, seperti dana penguatan program Sains, Tahfidz, Bahasa, dan Kewirausahaan. Setiap program diberikan waktu 5 jam per minggu. Selain kegiatan in class juga diperlukan dana untuk kegiatan out of door seperti field study, kunjungan, out bond, AMT, dan lain sebagainya. Untuk siswa yang secara ekonomi orang
tuanya kurang beruntung disediakan biaya siswa BSM untuk yang tinggal di wilayah Kabupaten Sleman dan KMS untuk yang berasal dari Kota Yogyakarta. Disamping itu masih ada dana santunan yang berasal dari suka rela bapak/ibu guru. Dana santunan ini terutama untuk konsumsi jajan di madrasah, sepatu dan seragam siswa. Strategi Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik Peningkatan prestasi madrasah tentu tidak lepas dari penigkatan mutu tenaga pendidik dan kependidikannya. Peningkatan tenaga pendidik dimulai dari perubahan paradigma pendidikan dan mindset melalui pelatihan ESQ, kajian AlQur’an, pengajian rutin triwulan, kajian iftitah pada saat rapat dinas. Semangat ini ditindaklanjuti dengan semangat melanjutkan study S2. Sampai saat ini dari 35 tenaga pendidik yang ada tingkat pendidikannya 5 orang guru S2, 28 guru S1, dan 2 orang guru D3. Jumlah guru PNS 33 orang dan GTT 2 orang. Jumlah guru yang sudah bersertifikasi 32 orang dan yang belum 3 orang. Semua guru mengajar sesuai dengan latar belakang keilmuannya masingmasing. Disamping peningkatan mutu pendidik melalui jalur kelanjutan studi juga melalui diklatdiklat, baik yang dilakukan sendiri oleh madrasah maupun mengikutsertakan pada diklat yang diselenggarakan Kemenag maupun Kemendikbud. Demikian juga mengaktifkan kegiatan MGMP, baik tingkat madrasah, kabupaten, maupun provinsi. Prestasi siswa tidak bisa lepas dari tenaga pengajar, maka peningkatan mutu tenaga pendidik selalu ditingkatkan. Penguatan kemampuan tenaga pendidik dilaksanakan melalui program kelanjutan studi S2, diklat, MGMP, baik tingkat madrasah, kebupaten maupun DIY. Berkat bantuan dari DBE, keterampilan guru dalam mengajar semakin baik dan variatif. Untuk meningkatkan kemampuan di bidang IT dilakukan diklat kerjasama dengan Penerbit Erlangga dan Perguruan Tinggi Akprind Diklat tentang pendidikan lingkungan yang hijau bekerjasama dengan LSM SIND Yogyakarta. Meskipun MTsN Yogyakarta I sudah mengalami peningkatan, tetapi belum cukup. Motto para pengelola dan stakeholders bahwa madrasah merupakan lahan untuk beramal soleh
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
111
yang buahnya akan dipetik di yaumul akhir, dijadikan landasan untuk terus berusaha melejitkan prestasi sebagai wujud nyata kesadaran menjalankan ajaran Islam ternyata mampu meningkatkan mutu MTsN ini. Rencana strategis madrasah dalam pengembangan mutu pendidikan adalah merintis madrasah unggul, dengan program unggulan Sains, Tahfidz, Bahasa, dan Enterpreneur (kewirausahaan). Strategi Ramah Lingkungan Madrasahku rumah keduaku. Madrasahku surgaku. Sebuah ungkapan yang menginspirasi untuk menciptakan suasana madrasah yang indah, nyaman, aman, lengkap dengan segala kebutuhan belajar siswa. MTsN Yogyakarta I mempunyai moto “Madrasah Ramah Mengantarkan Siswa Meraih Prestasi Tinggi.”Karenanya, desain lingkungan madrasah dibuat indah tetapi bermanfaat sebagai media pembelajaran sekaligus bernilai ekonomis. Misalnya limbah air wudlu yang melimpah ditampung dalam kolam cantik yang airnya digunakan untuk memelihara ikan. Kelebihan air tidak dibuang percuma tetapi digunakan untuk menyirami tanaman yang ada di sekitarnya. Dengan demikian menjadi media pembelajaran bagi banyak bidang mata pelajaran. Di samping kolam terdapat masjid dan perpustakaan dengan fasilitas wifi internet, semakin membuat suasana akademis, religius, dan rekreatif telah membuat siswa betah di madrasah sampai sore hari. Tata kelola madrasah yang demikian menjadikan semua warga madrasah selalu fresh dan enjoy dalam belajar sehingga berdampak pada peningkatan prestasi. Suasana tersebut merupakan salah satu dampak positif dari sistem open manajemen, manajemen kolegial, dan transparan akuntable. Sudah menjadi tradisi di MTsN Yogyakarta I bahwa setiap warga harus ikut ambil peran dalam menyusun dan melaksanakan program kerja. Panitia pelaksana kegiatan dikelompokkan menjadi 5 kelompok, jadwal kegiatan dibuat dalam satu tahun disertai kelompok panitia pelaksananya. Setelah selesai melakukan kegiatan kemudian diadakan RAA (review after action) untuk melihat secara obyektif kekurangan dan kelebihan dalam melaksanakan program.
112
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
Strategi Peningkatkan Mutu Sarana Prasarana Untuk meningkatkan kualitas sarana dan prasarana dalam rangka menunjang kegiatan belajar mengajar, disetiap kelas MTsN ini dipasang LCD Proyektor lengkap dengan wifi internet. Untuk sarana olah raga dilengkapi dengan lapangan futsal, volley, basket, dan pingpong. Pengembangan bakat seni budaya dan keterampilan juga dilengkapi dengan ruang keterampilan batik, ruang keterampilan sablon, lab computer, studio music, green house, hidroponik, aquaponik, alat masak. Demikian juga sarana penunjang pembelajaran yang lain, lab IPA, perpustakaan, jaringan internet dengan wifi dapat akses merata di semua area kampus, masjid berdaya tampung 700 orang lengkap dengan tempat wudlu berkapasitas 60 kran menjadikan ibadah salat dapat dilaksanakan secara berjamaah. Strategi Pengembangan Kurikulum Madrasah Kurikulum madrasah terdiri dari kurikulum pendidikan nasional untuk mata pelajaran umum (PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, Seni Budaya, Pendidikan Jasmani dan Kesesahatan, Ketrampilan, dan TIK), kurikulum Kemenag untuk mata pelajaran agama Islam (Qur’an Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, SKI) dan Bahasa Arab. Kurikulum muatan lokal DIY (Bahasa Jawa dan Piwulang Agung Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat), dan kurikulum Rintisan Madrasah Unggul (RMU) yang dikembangkan sendiri oleh madrasah, yang meliputi Sains (Matematika, Fisika, dan Biologi), Tahfidz (minimal 2 Juz), Bahasa (Bahasa Arab dan Bahasa Inggris), dan Kewirausahaan. Kewirausahaan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan spirit berwirausahan siswa. Setiap akhir tahun pelajaran diadakan madrasah expo dengan menampilkan segala macam usaha siswa. Untuk mendukung acara expo ini orang tua/wali wajib membeli produk siswa sebagai apresiasi terhadap hasil belajar berwirausaha putranya. Sistem pembelajaran full day school, dimulai dari pukul 06.45 sampai dengan 16.00. Pukul 06.45 sampai dengan 07.15 pembiasaan salat Dhuha dan pembacaan hadis oleh siswa. Untuk kegiatan intrakurikuler dimulai pukul 07.15 sampai dengan 014.10. Setelah itu dilanjutkan dengan
kegiatan ekstra kurikuler sampai dengan pukul 16.00. Kegiatan ekstra kurikuler merupakan sarana untuk menggali dan mengembangkan bakat dan minat siswa. Madrasah ini menyediakan banyak kegiatan ekstra kurikuler, ada yang wajib (pramuka), dan ada yang bersifat pilihan. Untuk kelas VII wajib mengikuti pramuka dan wajib memilih minimal satu kegiatan ekstra. Untuk kelas VIII wajib mengikuti salah satu kegiatan ekstra kurikuler. Kelas IX kegiatan ekstrakurikuler dihentikan, waktunya digunakan untuk les mata pelajaran Ujian Nasional. Sistem pembelajaran di MTsN Yogyakarta I tidak hanya bersifat in class, tetapi juga out class, memanfaatkan lingkungan alam. Maka dari itu lingkungan madrasah didesain menjadi tempat belajar dan sekaligus penelitian. Green house, yang di dalamnya terdapat tanaman hidroponik merupakan salah satu laboratorium penelitian biologi, tetapi sekaligus untuk belajar pertanian modern dan sosial ekonominya. Taman kolam, sebagai tempat menampung limbah air wudlu sekaligus untuk beternak ikan, limbah kotoran ikan ditampung untuk dijadikan pupuk tanaman hidroponik, dan aquaponik. Ini merupakan media pembelajaran siklus saling memanfaatkan tanpa merugikan satu dengan yang lain, dan dapat diketahui bahwa semua yang dicipta Allah tidak ada yang sia-sia. Demikian juga komposter, biopori, dan tempat-tempat pemilahan sampah merupakan media pembelajaran peduli lingkungan dan mengetahui betapa besar manfaat sampah yang sering dianggap tidak berguna. Strategi Penguatan Kelas Unggulan Madrasah Tsanawiyah Negeri Yogyakarta I merupakan “rintisan madrasah unggulan.” Karenanya kegiatan pembelajaran para siswa dikelompokkan dalam lima kelas yang masingmasing kelas memiliki keunggulan dibidangnya masing-masing. Dari lima kelas tersebut dikelompokkan menjadi kelas yang memiliki keunggulan akademik, tahfidzul Qur’an, bahasa, dan entrepreneurship. Untuk mendukung berbagai kegiatan tersebut maka para pendidik di MTsN Yogyakarta I yang hampir 100% berpendidikan sarjana mengembangkan berbagai strategi pembelajaran. Kemampuan para guru dalam
mengembangkan berbagai strategi pembelajaran banyak didukung oleh berbagai kegiatan pelatihan yang diadakan oleh madrasah bekerjasama dengan berbagai lembaga terkait, misalnya UIN, UNY, Pondok Pesantren al-Qodir, Inayatullah dan lembaga lainnya, semisal Ganesha Operation dan Anak Jenius Indonesia. Keterbatasan dana yang diterima madrasah dari negara dalam bentuk dana BOS dan DIPA telah mendorong madrasah mengembangkan berbagai kegiatan usaha koperasi siswa, kantin, penjualan barang bekas, maupun budidaya ikan yang merupakan upaya untuk memanfaatkan limbah air wudhu. Strategi Penguatan Pendidikan Agama Madrasah adalah salah satu pilar bangsa yang turut membidani lahirnya generasi masa depan yang memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki ketinggian dibidang budi pekerti. Dalam kurun waktu yang cukup panjang Madrasah Tsanawiyah Negeri Yogyakarta I menyadari akan tanggung jawab tersebut. Berbagai kegiatan madrasah bukan saja ditekankan pada kecerdasan yang bersifat kognitif namun juga yang bersifat afektif. Upaya agar peserta didik dapat menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang mereka dapatkan di dalam kelas maka dilakukan kegiatan penguatan pendidikan agama dalam bentuk pembiasaan salat dhuha, salat dzuhur, salat lail, salat jenazah, pembacaan hadis, Baca Tulis al-Qur ’an, Tahfidzul Qur ’an, Peringatan Hari-hari Besar Islam dan kegiatan pesantren di bulan Ramadan. Guna mengembangkan kemampuan berbahasa asing bagi para peserta didik, maka pada setiap hari kamis setelah salat dzuhur para siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan kultum (kuliah tujuh menit) dalam bahasa Inggris dan Arab. Meskipun tidak berlokasi di pinggir jalan utama kota Yogyakarta, nama MTs Negeri Yogyakarta I sudah cukup dikenal oleh masyarakat terbukti dengan animo masyarakat yang cukup tinggi untuk memasukkan anak ke madrasah ini. Di usianya yang ke-36, madrasah ini semakin menunjukkan eksistensinya untuk menyejajarkan diri dengan sekolah lain di Kota Yogyakarta. Madrasah tidak lagi dianggap sebagai sekolah yang ‘far left behind’ atau jauh tertinggal dari sekolah lain. Kelebihan sekolah ini adalah
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
113
kurikulum agama yang lebih banyak dibandingkan sekolah umum. Selain itu, di madrasah ini terdapat banyak kegiatan pembiasaan ibadah. Oleh karenanya madrasah ini menamakan dirinya sebagai “Madrasah Darul Adzkiya”. Setiap hari, ada pembiasaan ibadah untuk menguatkan pendidikan agama yang telah menyatu dengan semua warga madrasah. Sebelum bel masuk berbunyi, seluruh siswa dan guru melaksanakan salat dhuha bersama. Bukanlah sesuatu yang mengherankan jika kita menjumpai siswa-siswi yang sesampainya di sekolah segera mengambil air wudlu dan masuk ke masjid untuk melaksanakan salat dhuha. Bapak-ibu guru tidak perlu lagi ‘mengejar’ siswa untuk meminta mereka salat dhuha. Para siswa ini dengan khusu’ menjalankan salat dhuha yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan hadits oleh salah seorang siswa. Mereka baru meninggalkan masjid ketika bel masuk berbunyi dan masuk ke kelas masingmasing. Di dalam kelas, siswa mengawali jam pertama pelajaran dengan membaca tadarus AlQur’an bersama-sama. Ada juga kelas-kelas yang mengikuti tahfidz atau hafalan Al-Quran. Setelah salat dhuha selesai, sebagian siswa melanjutkan aktivitas dengan menghafal Al-Qur ’an bersama guru pembimbing. Program ini bertujuan untuk membekali siswa dan siswi agar ketika lulus dari madrasah, mereka mampu menghafal Al-Qur’an. Madrasah mempunyai visi yang kuat agar para siswa dan siswi mempunyai motivasi yang kuat untuk menghafal Al-Qur’an. Karena ini merupakan program yang baru, maka baru kelas 7D & 7E jurusan tahfidz yang mengikuti program ini. Pada tahun pertama ini, mereka harus menghapal minimal 2 juz: juz 30 (‘amma) untuk kelas 7 dan juz 29 untuk kelas 8. Hal ini didasarkan pada aspek kemampuan dan kesempatan yang mereka miliki. Ditambah lagi, waktu mereka menyetor hafalannya hanyalah waktu di sekolah. Banyak memang kendala yang dihadapi selama berlangsungnya program ini. Pertama, selain program tahfidz, mereka juga mengikuti kegiatan pembelajaran reguler dan ekstrakurikuler. Kedua, MTsN Yogyakarta I belum mempunyai boarding school, jadi mereka harus menghafal di rumah. Adapun strategi pelaksanaannya adalah 114
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
untuk kelas 7E, mereka menghafal di rumah dan tiap pagi ba’da salat dhuha sampai menjelang masuk kelas, mereka menyetorkan hafalan ke guru pembimbingnya masing-masing (sorogan). Untuk yang kelas 7D, mereka menghafal tiap hari pada jam ke-9. Ada satu hari khusus yaitu hari Sabtu untuk tadarus bersama sambil mengecek hafalan-hafalan sebelumnya agar tidak lupa dan masih tetap terjaga. Tepat jam setengah delapan pagi, kegiatan pembelajaran baru dimulai. Kegiatan pembiasaan yang lain adalah jamaah salat dhuhur secara bersama-sama bagi seluruh warga madrasah. Khusus hari Kamis, selesai salat dhuhur diadakan kultum yang diisi oleh siswa secara bergantian dengan menggunakan bahasa Arab, Inggris, Jawa maupun bahasa Indonesia. Latihan pidato empat bahasa ini sudah dilakukan sejak lama di MTsN Yogyakarta I dan kini telah menjadi pembiasaan yang baik. Siswa yang maju tidak perlu lagi dipilih guru namun mereka sendirilah yang berinisiatif untuk maju berpidato. Untuk sementara ini naskah singkat pidato yang berdurasi sekitar 10 sampai 15 menit masih disiapkan oleh guru walaupun untuk naskah pidato dalam bahasa Indonesia dan Jawa kadang siswa menyiapkan sendiri naskah tersebut. Kedepan akan dibentuk dewan siswa yang mengurusi kegiatan ini mulai dari pembuatan naskah pidato sampai pelaksanaan acara ini. Kegiatan ini ternyata sungguh berimbas positif pada pribadi siswa. Bagi siswa yang maju berpidato, ajang ini dapat digunakan sebagai ajang untuk melatih keberanian dan percaya diri. Siswa-siswa yang mendengarkan temannya berpidato dibiasakan untuk menghargai orang lain dengan cara duduk tenang mendengarkan pidato. Bagi sekolah, ajang ini digunakan untuk mencari siswa berbakat pidato untuk menghadapi lomba pidato empat bahasa yang diadakan setiap tahunnya. Jadi “sekali dayung, dua, tiga pulau terlampaui.” Strategi Penguatan Sosial Capital Kegiatan bersifat keagamaan lain yang juga dilaksanakan di madrasah ini adalah mengajak siswa untuk takziyah, jika ada warga disekitar madrasah yang meninggal. Selain bertujuan untuk menumbuhkan rasa simpati pada sesama yang sedang berduka, juga untuk menunjukkan jiwa sosial kemasyarakatan para siswa dengan
lingkungan sekitarnya. Kegiatan ini juga sekaligus menjadi ajang pengaplikasian pengetahuan tentang salat jenazah yang didapatkan siswa dalam situasi yang sebenarnya agar pengetahuan ini tidak berhenti sebatas teori saja. Kedepan, MTsN Yogyakarta I berencana membuat program santri madrasah terjun ke masyarakat. Tugas para siswa atau santri ini adalah mensyiarkan nilai-nilai kebaikan langsung dalam kehidupan nyata di masyarakat. Lebih jauh lagi, diharapkan madrasah menjadi cikal bakal pencetak dai-dai handal pembawa nilai kebaikan dalam masyarakat.
E. ANALISIS SWOT Kekuatan, Kelemahan,Peluang, dan Tantangan Madrasah Salah satu indikator sekolah yang baik adalah apabila sekolah tersebut mampu mengakomodir semua kepentingan masyarakat agar masyarakat tertarik untuk mengamanahkan putra-putrinya di sekolah itu. Namun semua itu tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengingat persaingan antar sekolah untuk merebut pangsa pasar sangatlah luar biasa ketatnya. Semua sekolah menawarkan keunggulan-keunggulan tertentu untuk menarik perhatian masyarakat. MTsN Yogyakarta I sebagai institusi pendidikan setingkat SMP juga terus berbenah diri dan melakukan hal yang sama dengan sekolah lain untuk semakin menjadi sekolah pilihan masyarakat. Untuk itu, madrasah ini segera berbenah diri dengan cara introspeksi dan refleksi diri. Analisis SWOT digunakan sebagai panduan untuk mengetahui Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Oportunity (peluang) dan Threat (tantangan/ancaman). Analisis ini akan digunakan untuk acuan madrasah memperbaiki diri. Kekuatan dan peluang yang ada di madrasah ini sangat menjanjikan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada madrasah. Kapasitas Strength (kekuatan) MTsN Yogyakarta I sebenarnya sangat kuat. Motivasi guru dan siswa untuk belajar cukup tinggi. Tingkat kehadiran siswa di sekolah sangat tinggi dan hanya sedikit ditemukan kasus siswa membolos sekolah. Dengan keadaan ini, respon siswa adalah mengikuti pelajaran sangat tinggi. Dalam segi pendekatan belajar, guru menggunakan pendekatan bervariasi agar siswa dapat mengembangkan diri sejalan dengan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kegiatan yang bersifat keagamaan sebagai ciri khas madrasah ini berlangsung secara baik. Dengan demikian, sekolah ini mampu menerapkan iman dan takwa (imtak) secara seimbang. Madrasah ini juga dilengkapi dengan laboratorium IPA, TIK, kewirausahaan dan bahasa yang cukup memadai termasuk alat praktik yang dimanfaatkan oleh siswa untuk penunjang pembelajaran tersedia dengan baik. Siswa dapat praktek langsung di laboratorium semua teori-teori yang didapat di kelas. Madrasah ini di atas kertas memiliki kemampuankemampuan bertaraf nasional dan internasional yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan siswa dalam era global. Letak geografis madrasah yang agak tersembunyi (di belakang MAN Yogyakarta III) merupakan keuntungan tersendiri bagi madrasah ini. Di era merebaknya tawuran antar siswa, letak yang tidak strategis menjadi keuntungan tersendiri bagi madrasah ini dari segi keamanan. Kasus-kasus tawuran antar pelajar sangat minim terjadi. Demikian pula dengan kebisingan lingkungan akibat suara kendaraan yang lalu lalang atau suara keras dari suatu perayaan tidak terlalu menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Tenaga pengajar di madrasah ini banyak yang berusia matang sehingga memiliki kinerja yang tinggi. Tingkat kependidikan dari para gurupun sangat menjanjikan karena 80% lulusan S1 dan 20% lulusan S2. Workshop peningkatan mutu guru dan karyawan juga sering dilaksanakan untuk menjaga dan menambah disiplin semua personal dan kinerja mereka. Tingkat kompetensi guru yang bervariasi dimanfaatkan untuk memaksimalkan kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Sebagai contoh: kegiatan jurnalistik di madrasah ini telah menciptakan jurnalis-jurnalis handal yang mampu melahirkan majalah sekolah yang bagus dan kreatif bernama ‘Adzkiya’. Kegiatan ekstrakurikuler ini juga bertujuan untuk menampung dan meningkatkan prestasi siswa sesuai dengan bakat, minat dan kreativitas. Opportunity (peluang). Belum banyak sekolah yang mempunyai perpustakaan yang representatif padahal perpustakaan merupakan jantung sekolah. Madrasah ini mempunyai
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
115
perpustakaan yang sudah digital dan tertata cukup baik. Rasio jumlah buku selain buku mata pelajaran (textbook) di perpustakaan dengan jumlah siswa walaupun belum proporsional namun sudah mampu memenuhi kebutuhan siswa yang haus akan buku bacaan. Dengan perpustakaan sekolah yang baik, sekolah ini mampu menjawab keinginan masyarakat yang ingin menjadikan putra-putrinya cerdas dalam ilmu dan sekaligus berkarakter yang baik. Sedangkan yang masih menjadi weakness (kelemahan) dan sekaligus threat (tantangan) madrasah ini adalah nilai Ujian Nasional yang secara rata-rata masih di bawah sekolah umum unggulan di daerah ini. Input siswa mayoritas justru bukan siswa dengan prestassi tinggi saat di bangku Sekolah Dasar.
di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meningkatkan mutu pendidikannya melalui beragam cara yaitu mulai dari solusi pembiayaan, mendongkrak mutu tenaga pendidik, pelayanan, sarana prasarana, budaya organisasi, inovasi pembelajaran, kurikulum, open manajemen, dan khususnya pengembangan program unggulan yang merupakan potensi kekuatan MTsN Yogyakarta I ini dalam merintis madrasahnya agar menjadi madrasah uggulan. Sedangkan yang masih menjadi weakness (kelemahan) dan threat (tantangan) madrasah ini adalah nilai Ujian Nasional yang secara rata-rata masih di bawah sekolah umum unggulan di daerah ini dan input siswa yang mayoritas bukan siswa berprestasi di jenjang sekolah sebelumnya.[]
F. KESIMPULAN Beragam strategi dilakukan oleh MTsN Yogyakata I sebagai madrasah rintisan unggulan
D A F TA R P U S TA K A Bush, Tony and Marrianne Coleman. Leadership and Strategic Management in Education. Research Center, 2002.
Koontz Harold, Cyrill O’Donell, and Heinz Weihrich, Management (8th Ed), New York: McGraw-Hill Book Company, 1993.
Dalin, Per. School Development: Theories and Strategies. London: Wellington House, 1998.
Lincoln, Y.S. and E.G. Guba. Naturalistic Inquiry. New Delhi: Sage Publication, 2005.
David J.L. “Syntesis of Research on School-Based Management”. Dalam Educational Leadership, Vol. 46 No. 8 .
Moleong, L.J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Davis, G. Russel. Planning Education for Development: Volume Issue and Problems in The Planning of Education in Developing Countries. Cambridge: Massachusetts, 2006. Diskusi Kelompok dengan Wakil-Wakil Kepala Madrasah di MTsN Yogyakarta I. Hernsey, Paul and Blanchard Kenneth H., Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources, (5th Ed). New Jersey, Englewood Cliffs: Prentice Hall, 2008. Juran, J.M. and Frank M. Gryna (Ed). Juran’s Qualit Control Handbook,4th Edition. New York: Mc Graw-Hill, 1998. 116
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
Nurhadi, Mulijani A. “Peningkatan Mutu Pendidikan dan Strategi Pembiayaannya”. Makalah disampaikan pada Seminar Peningkatan Kualitas Pendidikan, 2005. Patton, Michael Quin. Qualitative Evaluation Method. London: Sage Publicaton, 2000 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Penetapan Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah. Semarang: Duta Nusindo, 2006. Phesey, Diana C. Organizational Culutres: Types and Transformation. London: Routledge, 1993. Rencana Strategis Pendidikan Islam Tahun 20102014.
Sallis, Edward. Total Qualty in Educaton. London: Philadelphia, 2003.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Strauss, Anseim and Juliet Corbin. Basic of Qualitative Research. California: Sage Publication, Inc, 2000.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Syafaruddin. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo, 2001.
Wawancara dengan Kabid Mapenda Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Wawancara dengan Kepala MTsN Yogyakarta I.
Torrington, Derek and Hall, Laura. Personnel Management: A New Aproach. London: Prentice Hall International (UK) Ltd., 1991. Undang-Undang Dasar 1945.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
117
118
Strategi Peningkatan Mutu Rintisan ...
BOOK REVIEW MENGENAL LEBIH DEKAT ANALISIS FRAMING
R I D W A N B U S T A M A M*)
Judul Buku: Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media Penulis: Eriyanto Penerbit: LKIS Yogyakarta, Oktober 2002, Cetakan Pertama Tebal: xxiv + 312 halaman
Buku ini ditulis Eriyanto. Ia lahir di Gresik, 12 Oktober 1974. Alumnus Fisipol-Ilmu Komunikasi UGM Yogyakarta ini pernah aktif di majalah Balairung, juga peneliti pada majalah Pantau. Eriyanto cukup lama menggeluti penelitian di bidang komunikasi. Tahun 2003– 2004, ia dipercaya menjadi Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia. Pada periode 2004–2005, Eriyanto menjadi Direktur Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Saat buku ini terbit, ia adalah
1 Pernah dipresentasikan pada acara “Review Buku Keagamaan Tahap IV (Analisis Framing karya Eriyanto dan Sejarah Maluku Karya Des Alwi),” diselenggarakan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag, tanggal 30 Agustus 2012 di Hotel Desa Wisata TMII Jakarta Timur. 2 Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.
peneliti senior LSI dan sedang menyelesaikan pendidikan doktoral bidang komunikasi di Universitas Indonesia. Eriyanto termasuk peneliti yang produktif. Beberapa karyanya antara lain: Metodologi Polling: Memberdayakan Suara Rakyat (Bandung: Rosda Karya, 1999); Kekuasaan Otoriter: Studi Atas Pidato Politik Soeharto (Yogyakarta: Insist-Pustaka Pelajar, 2000); Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKIS, 2001); Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LKIS, 2002); Panduan Menyelengarakan Quick Qount (Jakarta: LSI, 2005), dan; Teknik Sampling: Analisis Opini Publik (Yogyakarta: LKIS, 2007). Selain buku, tulisannya juga banyak dimuat di berbagai jurnal dalam maupun luar negeri, misalnya Jurnal Wacana, Jurnal Basis, dan Asian Journalism Review. Untuk memahami buku ini, pembaca sangat terbantu oleh Pengantar Redaksi, Pengantar dari Dr. Deddy Mulyana, dan Pengantar Penulis sendiri. Menurut redaktur, tulisan ini memiliki “kesejajaran” dengan karya Eriyanto sebelumnya
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
119
berjudul Analisis Wacan: Pengantar Analisis Teks Media. Keduanya dapat menjembatani pembaca yang mendalami ilmu komunikasi, khususnya jurnalistik. Sementara itu, Deddy Mulyana menegaskan bahwa meskipun analisis framing dipandang Eriyanto sebagai pendekatan konstruktivis, ia justru menganggapnya sebagai analisis konstruktivis, sekaligus analisis kritis. Buku ini menawarkan metode yang relatif baru selain metode klasik [positivis]. Paradigma alternatif yang lebih kritis ini mampu melihat realitas lain di balik wacana media massa, salah satunya melalui analisis framing. Untuk memperkaya interpretasi, kita bahkan dapat memanfaatkan berbagai teori sosiologi, psikologi, antropologi, ilmu politik, teori-teori kritis, hermeneutik dan semiotik, teori-teori pascamodernis (postmodernism), termasuk teoriteori normatif-religius mengenai wacana (komunikasi) yang terkandung dalam kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, AlQur’an, dan Hadis Nabi Saw. Intinya, siapa pun dapat membangun dan mengembangkan sebuah kerangka atau model analisis framing. Sebagaimana penelitian interpretif lainnya, analisis framing merupakan suatu seni atau kreativitas. Metode analisis dan kesimpulannya boleh jadi berbeda meskipun kasusnya sama (hlm. ix-xvii). Media massa di Indonesia sangat kaya dengan wacana, antara lain tentang perubahan konstelasi kekuasaan antara berbagai komponen bangsa, masyarakat, atau komunitas tertentu. Analisis framing cocok digunakam untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yaitu proses atau mekanisme pemberitaan dalam membangun, mempertahankan, memproduksi, meng-ubah, dan meruntuhkan suatu ideologi. Analisis framing mampu melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si ‘penindas’ dan si ‘tertindas’, siapa yang konstitusional dan yang inkonstitusional, kebijakan publik mana yang harus didukung atau ditolak, dan sebagainya (hlm.xiv-xv). Eriyanto menggarisbawahi bahwa buku ini membahas analisis framing dan penerapannya dalam analisis isi media. Analisis framing sendiri adalah analisis yang memusatkan perhatian pada 120
Mengenal Lebih Dekat ...
bagaimana media mengemas dan membingkai berita. Proses itu umumnya dilakukan dengan memilih peristiwa tertentu untuk diberitakan, dan menekankan aspek tertentu dari peristiwa lewat bantuan kata, aksentuasi kalimat, gambar, dan perangkat lainnya (hlm.xxi). Meskipun terkesan terlambat, namun belum “basi” bagi para peneliti di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama untuk “mendalami” kembali buku ini. Model analisis framing memang sudah diperkenalkan para penggagasnya di “Barat” sekitar penghujung 1980-an atau awal 1990-an, akan tetapi model ini baru populer di dunia akademik Indonesia--, terutama bidang ilmu komunikasi dan humaniora. Jika kita menelusuri di berbagai website, tulisan dan buku mereka selalu dirujuk oleh para akademisi yang berminat di bidang komunikasi untuk menulis skripsi, tesis, maupun disertasi, juga para peneliti dari berbagai lembaga ilmiah yang menggunakan analisis framing dalam meneliti suatu wacana, termasuk wacana keagamaan. Mendiskusikan buku ini dapat diibaratkan seperti pepatah “sambil menyelam minum air”. Untuk memahami analisis framing, pembaca mau tidak mau akan digiring untuk mengerti pula paradigma dan teori yang menjadi pijakannya, juga model analisis terkait yang telah dikembangkan sebelumnya seperti analisis isi, analisis wacana, analisis semiotik, analisis kebijakan redaktur, dan sebagainya. Bukan hanya itu, “ketajaman” suatu analisis framing juga akan sangat bergantung pada penguasaan para analisnya atas teori dan model analisis pendukung lainnya seperti sosiologi, politik, antropologi, sejarah, filologi, hermeneutik, folklore, termasuk feminisme, dan mencoba perspektif baru lainnya. Bahasan Eriyanto membagi tulisannya menjadi 13 bab. Pada bab pertama, penulis menjelaskan apa itu analisis framing. Intinya, framing (bingkai) adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas berita. Analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media, yaitu dengan cara dan teknik tertentu suatu peristiwa ditekankan dan ditonjolkan, dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dari pemberitaan. Analisis framing
“menggeser” paradigma penelitian analisis isi kuantitatif (content analysis), yang titik tekannya adalah isi (content) dari suatu pesan/teks komunikasi. Sementara analisis framing, lebih menekankan pada pembentukan pesan dari teks, yaitu mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media, baik melalui proses konstruksi dengan makna tertentu maupun dengan bentukan tertentu, misalnya melalui wawancara dengan orang tertentu (hlm.3-11). Sebagai suatu metode analisis teks yang terbilang masih baru, analisis framing banyak mendapat pengaruh dari teori sosiologi, terutama pemikiran Peter L. Berger dan Erving Goffman, juga dari teori psikologi yang berhubungan dengan skema dan kognisi. Secara garis besar, buku ini dapat dipahami melalui skema berikut ini:
Selanjutnya bab kedua, penulis memaparkan media dan berita dilihat dari paradigma konstruksionis. Konsep konstruksionisme mengenai konstruksi sosial atas realitas, terutama menurut sosiolog interpretatif Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Tesis utamanya adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terusmenerus. Pendekatan konstruksionis mempunyai delapan penilaian mendasar tentang bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Untuk memudahkan, penjelasan kedelapan penilaian konstruksionis tersebut dapat dibandingkan dengan paradigma positivis, sebagaimana ilustrasi berikut:
Bab ketiga menjelaskan karakteristik penelitian konstruksionis. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis sering juga disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Ia sering dilawankan dengan paradigma positivis atau paradigma transmisi. Secara sederhana, terdapat tujuh perbedaan karakteristik penelitian berkategori positivis dibandingkan dengan yang berkategori konstruksionis, sebagai berikut:
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
121
Bab keempat menguraikan tiga hal, yaitu: seleksi isu dan penekanan isu; dimensi SosiologiPsikologi; serta framing dan realitas. Ada beberapa definisi berbeda mengenai framing menurut Robert N.Entman, William A. Gamson, juga Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Meskipun berbeda, terdapat dua aspek yang menjadi titik singgung dari definisi para ahli, yaitu: (1) memilih fakta/ realitas. Proses pemilihan fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded); (2) menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Suatu gagasan diungkapkan dengan kata, kalimat, dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto 122
Mengenal Lebih Dekat ...
dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana keterkaitan framing dengan realitas? Framing pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa itu, yang memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Bab kelima menjelaskan skema dan produksi berita serta skema berita itu sendiri. Dalam taraf awal, kita dapat melihat semua proses konstruksi dan frame dalam perspektif individu. Artinya, frame dapat kita tempatkan dalam perspektif bagaimana seseorang mengonstruksi pesan. Konsep yang dapat digunakan adalah skema (skemata) antara lain: (1) simplifikasi, kita menggunakan skema untuk membuat dunia yang tampak kompleks dan saling terhubung menjadi sederhana, dan karenanya dapat dipahami; (2) klasifikasi, skema ini digunakan oleh individu untuk membuat dunia agar tampak bermakna dan dapat dimengerti; (3) generalisasi, yaitu hasil generalisasi dari berbagai klasifikasi yang telah dilakukan; (4) asosiasi, suatu realitas tidak dipandang sebagai yang unik dan saling terpisah, melainkan sebagai rangkaian yang saling terhubungkan dan berkaitan satu dengan yang lain. Bagaimana hubungan skema dengan produksi berita? Secara garis besar, skema dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu: (a) skema sosial. Skema yang paling sering digunakan ini sering disebut sebagai skrip atau skenario. Kita mengandaikan dunia dan realitasnya seperti layaknya sebuah lakon atau drama; (b) skema tektual. Skema ini berhubungan dengan segi skematis dari teks, yang umumnya digunakan oleh seseorang ketika melihat dan menafsirkan teks; (c) skema ideologi. Skema ini terjadi ketika skema seseorang menggunakan skemanya sendiri untuk melihat dirinya, juga untuk melihat dan menafsirkan realitas. Bab keenam menerangkan proses pembentukan berita dan produksi berita dilakukan. Framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan), tetapi juga berhubungan dengan proses produksi berita, kerangka kerja, dan rutinitas organisasi media. Suatu peristiwa dibingkai atau dipahami dalam kerangka tertentu, bukan semata-mata disebabkan oleh struktur skema wartawan, tetapi
juga dalam rutinitas kerja, dan institusi media yang secara langsung atau tidak memengaruhi pemaknaan peristiwa. Bab ketujuh mengupas tiga hal, yaitu: peta ideologi, peta ideologi dan konstruksi realitas, serta pendefinisian realitas. Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas (peristiwa maupun aktor-aktor sosial) seharusnya dipahami, dan dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Dalam kaitannya dengan ideologi, fungsi utama media adalah sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai itu dijalankan. Media dapat mendefinisikan nilai dan perilaku yang sesuai atau menyimpang dari kelompok. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja (nature), melainkan dikonstruksi sedemikian rupa oleh media sehingga membentuk kenyataan apa yang layak, baik, sesuai, dan dipandang menyimpang. Tujuan utama media adalah memberi legitimasi pada perilaku atau gagasan tertentu, sekaligus mendelegitimasi perilaku atau gagasan lainnya yang dianggap menyimpang. Bab kedelapan mengilustrasikan tentang mobilisasi massa dan menggiring khalayak pada ingatan tertentu. Salah satu efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Efek framing lainnya yang dapat muncul antara lain: (1) mendefinisikan realitas tertentu dan melupakan definisi lain atas realitas; (2) menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek lainnya; (3) penyajian sisi tertentu dan penghilangan sisi yang lain; (4) pemilihan fakta tertentu dan pengabaian fakta lainnya. Selain itu, efek framing yang lebih massif adalah bahwa ia dapat memobilisasi massa untuk tujuan-tujuan tertentu, juga dapat menggiring khalayak pada ingatan (sindrom) tertentu saja. Bab selanjutnya mengenalkan model-model analisis framing beserta contoh studi kasus terkait. Bab kesembilan mengangkat tokoh Murray Edelman. Gagasannya tentang framing disarikan dari tulisannya, “Contestable Categories and Public Opinion”, dalam Political Commmunication, Vol.10, No.3, 1993. Menurut Edelman, apa yang kita ketahui tentang realitas atau dunia
tergantung pada bagaimana kita membingkai atau mengonstruksi (menafsirkan) realitas. Jadi, realitas yang sama bisa jadi menghasilkan realitas berbeda ketika ia dibingkai dengan cara yang berbeda. Edelmen menyejajarkan framing sebagai kategorisasi, yaitu pemakaian perspektif tertentu dengan kata-kata tertentu pula, yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami. Bab kesepuluh mengemukakan pemikiran Robert N. Entman. Konsepnya tentang framing ditulis dalam artikel berjudul, “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm”, dalam Jurnal of Communication, Vol. 43, No. 4, 1993, juga tulisan lain yang mempraktikkan konsep itu dalam suatu kasus pemberitaan media. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan/penonjolan aspekaspek tertentu dari realitas/isu. Secara garis besar, Entman menerapkan analisis framing terhadap teks berita melalui empat cara, yaitu: (1) pendefinisian masalah [define problems]; (2) memperkirakan masalah atau sumber masalah [diagnose causes]; (3) membuat keputusan moral [make moral judgement]; (4) menekankan penyelesaian [treatment recommendation]. Bab kesebelas mengangkat sosok William A. Gamson. Gagasan utamanya adalah menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi lain. Dalam pandangannya, wacana adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup kalau hanya didasarkan pada data survei publik, sebab data tersebut perlu dihubungkan dan dibandingkan dengan cara media mengemas dan menyajikan berita/isu. Gagasan spesifik Gamson tentang frame media ditulisnya bersama Andre Modigliani dalam artikel berjudul “Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A Constructionist Approach”, dalam American Journal of Sociology, Vol.95, No,1, 1989. Frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa, dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Bab kedua belas mengulas pemikiran Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosichi. Model framing ini merupakan salah satu model yang paling populer dan banyak dirujuk. Pan dan
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
123
Kosichi memperkenalkan model tersebut lewat suatu artikel berjudul “Framing Analysis: An Approach to News Discourse”, dalam Journal Political Communication, Vol.10., No,1., 1993. Analisis framing dilihat sebagai wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan yang dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, dan menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak menyetujui pesannya. Dalam model ini, perangkat framing dibagi dalam empat struktur besar, yaitu: (1) struktur sintaksis, cara wartawan menyusun peristiwa (pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa) ke dalam bentuk susunan umum berita; (2) struktur skrip, strategi wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita; (3) struktur tematik, cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan; (4) struktur retoris, cara wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita seperti memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai untuk mendukung tulisan dan menekankan arti tertentu kepada pembaca. Bab ketiga belas menyajikan “intisari” buku secara keseluruhan. Menurut penulis buku, ada empat model analisis yang diperkenalkannya. Meskipun banyak istilah dan definisi yang digunakan, keempat model tersebut memiliki kesamaan. Paling tidak ada tiga kategori besar elemen framing. Pertama, level makro-struktural. Level ini dapat dilihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Bagaimana peristiwa oleh media dalam tingkat abstrak yang paling tinggi (wacana). Kedua, level mikro-struktural. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagian atau sisi mana dari peristiwa yang ditonjolkan, dan bagian atau sisi mana yang dilupakan/kecilkan. Pemilihan fakta, angel, dan narasumber adalah bagian dari level ini. Ketiga, elemen retoris. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagaimana fakta ditekankan, di antaranya dengan pemilihan kata, kalimat, retorika, gambar, atau grafik tertentu. Di mana posisi framing dalam keseluruhan jagat penelitian komunikasi? Framing merupakan perpanjangan dari tradisi penelitian efek media, yaitu yang didasarkan pada asumsi bahwa media mempunyai pengaruh signifikan, meskipun para ahli masih berdebat tentang sejauh mana tingkat 124
Mengenal Lebih Dekat ...
signifikansi tersebut. Artinya, buku ini secara umum memperkenalkan analisis framing sebagai studi teks media. Saat ini framing telah berkembang menjadi teori. Konsep framing bukan hanya terbatas pada alat analisis, melainkan juga berkembang menjadi teori komunikasi secara keseluruhan.
TINJAUAN Meskipun memiliki beragam cara dan pendekatan, berbagai model framing di atas mempunyai kesamaan. Hampir setiap tokohnya membahas tentang bagaimana media membentuk konstruksi atas realitas, kemudian menyajikan dan menampilkannya kepada pembaca. Mengutip Jisuk Woo, paling tidak ada tiga kategori dasar elemen framing. Pertama, level makrostruktural. Level ini dapat dilihat sebagai pembingkaian dalam tingkat wacana. Kedua, level mikrostruktural. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagian/sisi mana suatu peristiwa ditonjolkan atau dilupakan/dikecilkan. Ketiga, elemen retoris. Elemen ini memusatkan perhatian pada bagaimana fakta ditekankan. 1 Pada prinsipnya, model framing yang dikemukakan Entman dan Edelman belum dikembangkan secara detail. Memang dalam tingkatan analisisnya mampu menunjukkan bagaimana kata, kalimat, dan gambar dapat dianalisis sebagai bagian integral dalam memahami frame, akan tetapi belum terdapat gambaran mendetail tentang elemen retoris tersebut. Dapat dikatakan, model tersebut masih bergerak pada level bagaimana memahami peristiwa dan pemilihan fakta oleh media. Sementara itu, model Pan dan Kosicki mampu menjelaskan unit analisisnya, yaitu apa saja elemen retoris yang perlu diperhatikan dalam kerangka framing. Di satu sisi, model Gamson lebih menekankan pada ‘penandaan’ dalam bentuk simbolik, baik lewat kiasan maupun retorika yang secara tidak langsung menggiring perhatian pembaca. Di sisi lain, model Pan dan Kosicki banyak dipengaruhi pendekatan linguistik, misalnya pemakaian kata, penulisan struktur dan bentuk kalimat dibingkai oleh media dalam menggambarkan suatu peristiwa.
1 http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/20/analisisbingkai-framing-analysis/, diakses 4 November 2013.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ide tentang analisis framing digagas pertama kali oleh Baterson tahun 1955. Ketika itu, frame dimaknai sebagai struktur konseptual yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana yang menyediakan berbagai kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974). Ia menganggap frame sebagai kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas2. Hanya saja, para penggagas sebelum Goffman ini kurang mendapat penjelasan memadai dari penulis. Model-model analisis pesan media disistematisasi Eriyanto berdasarkan konsep framing yang dikembangkan Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, serta Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Masingmasing model diterapkannya dalam studi kasus analisis framing “Isu Caleg PDIP Non-Muslim” di tabloid Abadi dan Demokrat, “Isu Aryantigate” di majalah Forum Keadilan dan Panji Masyarakat, “Isu Debat Calon Presiden” di tablod Amanat dan Demokrat, dan “Isu Pengalihan Kekuasaan dari Soeharto ke Habibie” di harian Kompas dan Republika. Buku ini merupakan seri kedua dari metode penelitian media yang dikerjakan Eryanto. Hanya saja, buku analisis framing ini terlihat tidak “nyambung” dengan seri pertama Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2001). Kita tidak dapat melihat kesinambungan metodologis yang para penggagas analisis wacana dengan analisis framing dalam kedua buku tersebut. Berbeda dengan Alex Sobur dan Ibnu Hamad3 yang berhasil menyajikan kedua analisis tersebut secara “berkesinambungan”. Menarik dikemukan pandangan Hamad, bahwa framing dipandang sebagai sebuah strategi penyusunan realitas sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah wacana (discourse). Dalam media massa, wacana ini paling banyak mengambil bentuk dalam wujud berita. Framing juga dipakai sebagai salah satu metode untuk memahami “information strategy” dalam sebuah wacana. Sebagai kebalikan dari “strategi 2 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2001), 161-162. 3 Ibnu Hammad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik, 2004 (Jakarta: Granit).
penyusunan realitas”, maka analisis framing berfungsi untuk membongkar muatan wacana4. Analisis framing sebagai suatu metode analisis isi media memang terbilang “baru”. Analisis ini terutama diilhami oleh paradigma kaum konstruksionis. Dalam kerangka metode analisis, analisis framing dapat dikatakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media yang telah digunakan secara luas, terutama bagi para peminat studi ilmu komunikasi. Dalam ranah ilmu komunikasi, analisis framing kemudian mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menghasilkan analisis teks media yang lebih mendalam, seperti penggunaan analisis sosiologi, politik, sejarah, hermeneutik, feminis, dan sebagainya. Selain itu, konsep tentang framing atau frame bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi dipinjam dari teori kognitif dalam psikologi. Artinya, penerapan analisis framing menjadi tidak “memadai”, apabila tidak diperkaya dengan pendekatan, teori, dan model analisis lainnya. Memang disinilah kelemahan mendasar setiap kajian ilmu-ilmu sosial. Terlepas dari maraknya penerapan analisis wacana maupun analisis framing, kedua bentuk analisis ini sering mendapat kritik tajam karena menganut pandangan “anything goes” (semuanya bisa masuk). Para pakar sering pula melihat bahwa kedua analisis tersebut dalam banyak kasus, terutama di dunia akademik tidak layak mampu menerapkan model analisisnya secara memadai. Apalagi model analisa ini tidak memiliki aturan yang tegas tentang kriteria atau batasan kualitas tertentu dalam melakukan analisis. Kritik seperti ini telah dikemukakan Charles Antaki, Michael Billig (dkk), t.t., dalam paper mereka berjudul “Discourse Analysis Means Doing Analysis: A Critique Of Six Analytic Shortcomings”, makalah yang disampaikannya dalam Discourse and Rhetoric Group Department of Social Sciences Loughborough University, Loughborough Leicestershire, Inggris.5 Menurut Antaki, terdapat beberapa kekurangan atau kelemahan yang sering terjadi dalam penulisan analisis wacana (termasuk analisis bingkai), antara lain: 4 5
Ibid, hlm. 22. Charles Antaki, Michael Billig (dkk), t.t., “Discourse
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
125
1. Belum dapat dikatakan analisis wacana maupun framing, jika hanya meringkas suatu transkrips (under-analysis through summary). Analisis wacana harus menyediakan hasil transkrip, teks, dan percakapan secara lengkap, sebagai sumber data yang akan diteliti. Para analis dituntut mampu menghasilkan sesuatu gagasan atau ide dari transkrips tersebut. 2. Belum dapat dikatakan analisis wacana atau framing, jika muncul keberpihakan (underanalysis through taking sides). Analisis wacana harus menghindari menyertakan pandangan moral, politik, dan pribadi penulisnya. Penelitian yang mengandung bias penulis, baik berupa simpati maupun antipati tidak dapat dikategorikan sebagai analisis wacana. 3. Analisis wacana maupun framing tidak ditentukan dari banyaknya jumlah kutipan (under-analysis through over-quotation or isolated quotation). Kutipan yang terlalu banyak dapat mengurangi porsi pandangan atau komentar penulis, sedangkan kutipan yang terlalu sedikit dapat terkesan hanya sekadar memperkuat pandangan penulis. 4. Belum dapat dikatakan analisis wacana atau framing, jika menggunakan hasil survei palsu (under-analysis through false survey). Para pengguna analisis wacana harus menghindari penelitian yang bersifat dangkal karena tidak menggunakan data secara “utuh”. Demikian pula dengan penggunaan kategorisasi, simplifikasi, dan sebagainya untuk mempermudah kerja analis. 5. Analisis tidak hanya ditentukan dari banyaknya detail yang diungkap (analysis that consists in simply spotting features). Memang analisa wacana maupun framing menitikberatkan perhatian pada detail atau hal-hal kecil dari ucapan atau teks, namun analisis yang baik adalah yang selalu bergerak untuk meyakinkan adanya hubungan timbalbalik antara ucapan/teks umum dengan detailnya. 6. Analisis dipengaruhi upaya identifikasi wacana melingkar dan konstruksi mental (the circular identification of discourses and mental constructs). Secara teoritis dan metodologis, para analis wacana maupun framing harus menyadari bahwa sikap mental mereka sendiri merupakan konstruksi sosial, baik yang 126
Mengenal Lebih Dekat ...
bersumber dari diri sendiri, perorangan, maupun ideologi pada umumnya. Intinya, seorang peneliti atau penulis belum dapat dikatakan telah melakukan suatu analisis, jika “tulisan” mereka hanya bersifat meringkas, jika ada unsur keberpihakan, jika hanya menyajikan sederetan kutipan, atau jika hanya melihat fitur data mereka dari pembicaraan atau teks yang sudah populer. Seseorang juga belum dapat dikatakan telah melakukan analisis, jika temuan yang diungkap baru disajikan dalam bentuk wacana, konstruksi mental, hasil survei, dan sebagainya. Singkatnya, analisis wacana, analisis framing, analisis semiotik, ataupun analisis yang lainnya baru sampai pada tahap melakukan analisis, belum sampai pada tahapan melakukan serangkaian penelitian secara keseluruhan. Dibutuhkan kehati-hatian dalam menerapkan analisis framing, terutama menangani mekanisme kemungkinan balik efek framing. Sedikitnya terdapat tiga efek framing yang harus dihindari, misalnya mendefinisikan realitas secara terbatas; menonjolkan aspek tertentu saja; dan penyajian sisi atau fakta tertentu saja. 6 Kita akan lebih mudah memahami dan menafsirkan perbedaan efek framing jika ketiga hal tersebut dihindari. Tiga kemungkinan efek framing tersebut harus mendapat penjelasan secara berimbang, tetapi tidak seharusnya pula diperlakukan sama. Kita dituntut mampu menghindari penjelasan efek framing yang tidak beralasan sehingga memungkinkan pembaca menjadi kebingungan. Dapat dikatakan bahwa efek framing selalu bersandar pada analisis informasi frame, juga sering bersandar pada analisis psikologis proses kognitif yang memicu pewacana. 7 Analisis informasi itu sendiri dipengaruhi pula oleh analisis empiris komunikasi manusia. Pembicara harus peka terhadap kondisi latar belakang yang Analysis Means Doing Analysis: A Critique of Six Analytic Shortcomings”, makalah yang disampaikan dalam Discourse and Rhetoric Group Department of Social Sciences Loughborough University, Loughborough Leicestershire, Inggris. 6 Irwin P. Levin (at. al.). “All Frames Are Not Created Equal: A Typology and Critical Analysis of Framing Effects”, dalam ORGANIZATIONAL BEHAVIOR AND HUMAN DECISION PROCESSES Vol. 76, No. 2, November, 1998, 178-179. 7 Shlomi Sher & Craig R. M. Mc. Kenzie. 2009. “Levels of Information: A Framing Hierarchy”, dalam G. Keren (Ed.), Perspectives on framing. Psychology Press - Taylor & Francis Group. University of California, San Diego, 40-41.
relevan dalam memilih berbagai alternatif framing. Dalam satu perspektif, intuisi misalnya dapat dipandang sebagai simplifikasi yang lazim. Efek framing dalam lingkungan informasi yang demikian kompleks dapat dilihat melalui kacamata/ pandangan yang luas, meskipun kontras dengan rasionalitas sehari-hari, sebagaimana kesederhanaan atau kehalusan intuisi manusia itu sendiri. Dengan demikian, hal ini mengidentifikasi adanya subdimensi yang membingkai penelitian efek media, konseptualisasi frame media, dan bingkai penonton di satu sisi, juga adanya variabel independen atau tergantung di sisi yang lain. Dengan kata lain, kita berurusan dengan artefak jika dua peneliti mengklaim temuan penelitian yang sama, tetapi memiliki kesimpulan yang berbeda, atau ada perbedaan nyata antara hasil penelitian mereka. Di luar proses klasifikasi penelitian itu, framing sebagai teori efek media menjadi keharusan sebagai model proses. Jadi, penelitian efek media sedikitnya harus membahas empat hal yang saling berhubungan, yaitu: bangunan bingkai, bingkai pengaturan, proses framing tingkat individu, dan umpan balik dari tingkat framing individu maupun framing media. 8 Dengan demikian, keempat kategori tersebut dapat mengatasi masalah yang belum terselesaikan secara sistematis dalam membingkai penelitian, juga mengintegrasikan berbagai pendekatan atomistik menjadi sebuah teori yang koheren.
lembaga ilmiah. Sebagai upaya diversifikasi metodologi penelitian, Badan Litbang dan Diklat diharapkan dapat pula menerapkan analisis framing dalam penelitian teks keagamaan, baik di bidang kehidupan keagamaan, bidang pendidikan agama dan keagamaan, serta bidang lektur dan khazanah keagamaan, khususnya lektur keagamaan kontemporer. Saat ini, memang banyak kasus “lektur kontemporer” yang beredar di media massa. Cakupan media yang mewacanakan lektur keagamaan pun sangat luas, mulai dari media cetak, elektronik, hingga yang bersifat digital yang berada di ‘dunia maya’. Metode analisis framing ini diharapkan mampu mengarahkan penelitian kita ke wilayah yang lebih massif, terutama penelitian lektur keagamaan kontemporer yang “berseleweran” di media cetak maupun elektronik, termasuk yang diproduksi ke dalam VCD-DVD-LED, produk digital, yang “berseleweran” di internet, dan sebagainya. Kita tidak pernah tahu produk lektur kontemporer apa lagi yang akan muncul selanjutnya, demikian pula dengan metode analisis yang diperlukan untuk menjelaskannya. Wallahu’alam.
PENUTUP Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa suatu tulisan tentang analisis framing yang hanya dimuat di dalam jurnal, sebagaimana dilakukan oleh Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, maupun oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosichi, kemudian berubah menjadi model analisis atau rujukan akademik yang bersifat “mendunia”. Menurut reviewer, model analisis framing ini sangat “fenomenal”, baik di dunia akademik maupun
8 Dietram A. Scheufele, “Framing as a Theory of Media Effects”, dalam Journal of Communication, Winter 1999, International Communication Association, hlm. 118. Lihat juga, Claes H. de Vreese, “News framing: Theory and typology”, dalam Information Desiagne Journal + Document Design (13)1. 2005 . John Benjamins Publishing Company, 60.
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
127
D A F TA R P U S TA K A
Antaki, Charles & Billig, Michael (et.al.), t.t., “Discourse Analysis Means Doing Analysis: A Critique Of Six Analytic Shortcomings”. Makalah disampaikan dalam Discourse and Rhetoric Group Department of Social Sciences Loughborough University, Loughborough Leicestershire, Inggris. [versi online] A. Gamson , William. “Media Discourse and Public Opinion on Nuclear Power: A Constructionist Approach” Dalam American Journal of Sociology, Vol.95, No,1, 1989 [versi online].
Pan, Zhongdang dan Gerald M. Kosichi. “Framing Analysis: An Approach to News Discourse”. Dalam Journal Political Communication, Vol.10., No,1., 1993 [versi online]. Scheufele, Dietram A. “Framing as a Theory of Media Effects”, dalam Journal of Communication, Winter 1999, International Communication Association [file online].
Eriyanto. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Sher, Shlomi & McKenzie, Craig R. M. 2009. “Levels of Information: A Framing Hierarchy” . Dalam G. Keren (Ed.). Perspectives on framing. Psychology Press Taylor & Francis Group. University of California, San Diego [versi online].
Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung : Remaja Rosda Karya, 2004.
Edelman, Murray. “Contestable Categories and Publik Opinion”. Dalam Political Commmunication, Vol.10, No.3, 1993 [versi online].
Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2001.
Entman, Robert N. “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm” Dalam Jurnal of Communication, Vol.43, No. 4, 1993 [versi online]. Hammad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta: Granit, 2004. Levin, Irwin P. (at. al.). “All Frames Are Not Created Equal: A Typology and Critical Analysis of Framing Effects”. Dalam ORGANIZATIONAL BEHAVIOR AND HUMAN DECISION PROCESSES Vol. 76, No. 2, November, 1998 [file online].
128
Mengenal Lebih Dekat ...
Vreese, Claes H. de. “News framing: Theory and typology” Dalam Information Desiagne Journal + Document Design (13)1. 2005 . John Benjamins Publishing Company [versi online].
KUMPULAN ABSTRAK
IDENTIFIKASI KOLEKTIF DAN IDEOLOGISASI JIHAD: STUDI KUALITATIF TERORIS DI INDONESIA
KEY WORDS: Psychopath, Mental Disorder, Normal, Islam
GAZI SALOOM
ABSTRAK: Artikel ini menggambarkan bahwa para teroris setidaknya di Indonesia adalah kumpulan orang normal yang memiliki pikiran yang sehat dan memiliki tujuan jangka panjang untuk menegakkan sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan ajaran Al-Qur ’an dan Hadis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara, telaah dokumen dan informasi media tentang teroris dan terorisme. Satu orang mantan teroris yang pernah terlibat dalam kasus Bom Bali 1 dipilih untuk menjadi responden penelitian. Data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan telaah dokumen dianalisa dengan teori identitas sosial dan teori kognisi sosial mengenai ideologisasi jihad. Artikel ini menyimpulkan bahwa proses perubahan orang biasa menjadi teroris sangat berkaitan dengan ideologisasi jihad dan pencarian identitas.
KATA KUNCI: Psikopat, Gangguan Mental, Normal, Islam
WISATA RELIGI DI BALI: GELIAT USAHA PENGEMBANGAN PARIWISATA ISLAM MUHAMAD MURTADHO
ABSTRAK Wisata religi menjadi salah satu alternatif yang menarik dalam rangka revitalisasi agama dalam kehidupan masyarakat modern di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka peningkatan kesejahteraan (ekonomi) masyarakat. Bali merupakan salah satu obyek wisata kelas dunia yang ada di Indonesia. Julukan Bali sebagai pulau dewata menunjukkan Bali sebagai pulau religius. Penelitian ini ingin mencoba menggali potensi wisata agama di Bali dari kelompok-kelompok keagamaan di luar Hindu. Mengambil kasus pada potensi pariwisata Islam di Bali, penelitian ini menemukan adanya beberapa potensi wisata keagamaan non Hindu di Pulau Bali dan adanya permintaan wisatawan terhadap layanan wisata yang ramah terhadap pemeluk agama nonHindu, seperti kebutuhan makanan halal dan ketersedian fasilitas ibadah yang memadai.
ABSTRACT: This article articulates that the terrorists in Indonesia are basically a group of normal people who have sound minds and a long-term goal to establish an Islamic government system based on the teachings of the Quran and Hadith. This study employed qualitative approach by acquiring the data through interviews, document analysis and media information covering terrorists and terrorism. A former terrorist involved in Bali bombing I served as the research informant. Data from in-depth interviews and document analysis were analyzed by utilizing social identity and social cognition theory about ideology of jihad. The article concludes that the changing process from the ordinary people into the terrorist strongly relates to jihad ideology and search for identity.
KATA KUNCI: Wisata Religi, Pulau Dewata, Obyek Wisata Islam
ABSTRACT Religious tourism serves as an attractive choice in revitalizing religious faith among people in the modern society and an economic improvement for the local society. Bali as one of world-class tourist attractions in Indonesia has been known as the land of god that indicates its religiousness. This study attempts to explore the potential of religious tourism in Bali from the perspectives of non –Hindu people. Focusing on the potentials of Islamic tourism in Bali, this study finds out that there is a high
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
129
potential for non-Hindu tourism in Bali and that there is a demand for non-Hindu-friendly tourism including the availability of halal foods and decent praying facilities.
KEY WORDS: Religious tourism, land of god, Islamic tourism
EKSISTENSI AGAMA SIKH DI JABODETABEK ZAINAL ABIDIN
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aspek eksistensi pemeluk agama Sikh di Jabodetabek. Pentingnya kajian ini dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam rangka tersedianya data dan informasi pelayanan pemerintah terhadap segenap umat beragama yang dipeluk oleh sedikit masyarakat Indonesia, seperti agama Sikh. Aspek eksistensi yang dilihat mengenai sejarah singkat, pokok ajaran, ritual, lembaga, dan interaksi sosial. Penelitian kualitatif dengan menggunakan teori perspektif post kolonial, subaltern dari Gayatri C Spivak. Secara teologis pemeluk agama Sikh percaya terhadap monoteisme yang disebut Waheguru dan pendirinya Guru Nanank (1469–1539). Kitab sucinya Guru Granth Sahib. Kuil Sikh disebut Gurdwara atau “gerbang menuju Guru”. Kehadiran penganut agama Sikh ke Indonesia berasal dari Amritsar, Punjab, India, (sekarang masuk wilayah Pakistan) masuk melewati Aceh, Sumatera Utara dan Jakarta. Pemeluk agama Sikh masuk pembinaan Ditjen Bimas Hindu. Mereka belum mempunyai wadah/organisasi secara nasional yang menaungi seluruh umat Sikh di Indonesia. Keberadaan pemeluk agama Sikh di Jabodetabek sampai saat ini masih subaltern.
KATA KUNCI: Eksistensi, Subaltern, Pelayanan Pemerintah, Sikh
ABSTRACT This study investigates the existence aspect of Sikh followers in Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi) regions. It aims to provide data and information regarding the government services to 130
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
all religious communities including minorities, such as Sikh. The existence aspects under study include the short history, the basic teachings, rituals, institutions, and social interaction. This study utilizes qualitative research using post-colonial and subaltern perspective from Gayatri C Spivak’s view. Theologically, Sikh believes in monotheism that was mentioned by Waheguru and Guru Nanank (1469-1539). Sikh has a holy book named Guru Granth Sahib. Sikh temple is called Gurdwara or the “gateway to the Guru”. Sikh followers came to Indonesia from Amritsar, Punjab, India, (now Pakistan territory) through Aceh, North Sumatra and Jakarta. Sikh followers are managed under the Hindu Guidance Directorate. They do not have a national organization that accommodates Sikh community in Indonesia. It can be concluded that the existence of the Sikh in Jabodetabek area is somewhat subaltern.
KEY WORDS: Existence, Subaltern, Government Services, Sikh
MODAL SOSIAL PELAKU DALAIL KHAIRAT ABDUL JALIL
ABSTRAK Kajian ini membahas tentang Modal Sosial para pelaku Dala’il Khairat di pesantren Darul Falah K.H Ahmad Basyir Kudus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seperti apa modal sosial yang dimiliki pengamal Dala’il Khairat untuk meraih kesuksesan di bidang ekonomi. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian dilakukan di Pesantren Darul Falah Jekulo Kudus. Selain itu ada juga para pengamal diluar pesantren yang umumnya sudah berumah tangga dan mengembangkan usaha bisnisnya, baik di Jawa Tengah, Yogyakarta, maupun Kuningan Jawa Barat. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Sumber data dikumpulkan dari informan yang meliputi mujiz Dala’il Khairat, para pengurus pesantren, para santri, tokoh masyarakat, dan para alumni pengamal Dala’il Khairat. Kajian mengenai aktivitas ekonomi para pengamal Dala’il Khairat menunjukkan bahwa
Modal Sosial yang dimiliki para pengamal seperti adanya jaringan sosial sebelum dan setelah mengamalkan, adanya kerjasama dalam melakukan usaha, serta yang terpenting adalah kepercayaan atau trust mampu mendorong kesuksesan dalam melakukan usaha atau bisnis, dan usaha-usaha dalam mencapai kesuksesan ekonomi melalui pengembangan potensi masingmasing pengamal. Modal Sosial para pengamal Dala’il Khairat telah menjadi faktor penyebab berkembangya komersialisasi di kalangan para pengamal yang memiliki usaha dan telah membantu proses pencapaian keberhasilan dibidang ekonomi.
KATA
KUNCI:
Modal Sosial, Dala’il Khairat, Aktivitas ekonomi, dan Pengamal
A BSTRACT This study discusses the Social Capital of Dala’il Khairat actors at school Darul Falah school by Kiai Ahmad Bashir Kudus. This study aims to determine how donators’ social capital of Dala’il Khairat defined success in economic field. The donators are the alumni who live outside the pesantren and develop business ventures in some areas such as: Central Java, Yogyakarta, and Kuningan, West Java. By applying qualitative research this study was conducted in Pesantren Darul Falah Jekulo, Kudus, Central Java. Data were collected through participatory observation, interview, and documentation. The informants include mujiz Dala’il Khairat, school administrates, the students, community leaders, and alumni donators of Dala’il Khairat. It finds out that donators’ social capitals, such as the existence of social networks before and after donation, their business cooperation, and the trust, encouraged the pesantren economic success donators’ potential development. These social capitals have become a determining factor of developing commercialization among the donators who run their business and at the same time have helped the success in the economic field of the pesantren.
KEY WORDS: Social Capital, Dala’il Khairat, economic activity, donators
KONTRIBUSI NU SEBAGAI ORGANISASI CIVIL SOCIETY DALAM DEMOKRATISASI SURYANI
ABSTRAK Tulisan ini ingin menggambarkan bagaimana dinamika politik Nahdatul Ulama (NU) sebagai bagian dari masyarakat sipil di Indonesia dalam konstelasi politik nasional. NU adalah contoh kongkrit kekuatan masyarakat dalam bentuk civil society yang keberadaan dan eksistensinya patut diberikan perhatian. Sebagai sebuah komunitas muslim terbesar di Indonesia, NU dicatat sebagi pihak yang lebih awal bersentuhan dan menguatkan konsep civil society di Indonesia, dibandingkan dengan komunitas muslim modernis yang diwakili oleh kalangan Muhammadiyah, alumni HMI, atau tokoh muslim lain alumni dari Masyumi, para aktivis dan intelektual NU lebih dahulu memainkan peranannya dalam pengembangan wacana civil society sejak masa kemerdekaan sampai sekarang.
KATA KUNCI: Demokratisasi, Civil Society, Ruang Publik, Nahdliyyin
ABSTRACT This paper illustrates how the political dynamics of Nahdlatul Ulama (NU) as a part of civil society in Indonesia in the national political constellation. NU is a concrete example of the people power in the form of civil society whose existence should be noted. As the largest Muslim community in Indonesia, NU was recorded as the entity who contacted and reinforced the concept of civil society in Indonesia earlier than other Muslim modernist communities. NU activists and intellectuals play an earlier role in developing the discourse of civil society since the independence to now compared to Muhammadiyah, HMI alumni, or other Muslim leaders alumni from Masyumi.
KATA KUNCI: Democratization, Civil Society, Public Sphere, Nahdliyyin
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
131
INTERPRETATIVE UNDERSTANDING TERHADAP MAKNA SIMBOL AL-FATIHAH DALAM AMALIAH TASHARRAFUL FATIHAH PADA MASYARAKAT BANTUL, YOGYAKARTA
inseparable unity. Nevertheless, there are fundamental differences in the source of Islamic teachings versus the source of social traditions.
KEY WORDS: NU, Tasharraful Fatihah, Amaliya, Bantul, Interpretative Understanding
IMAM MUHLIS & FATHORRAHMAN
ABSTRAK Kegiatan Tasharraful Fatihah merupakan salah satu ritual keagamaan (amaliah) yang tumbuh berkembang di lingkungan warga Nahdliyin (NU), di Kabupaten Bantul sebagai sarana pengabdian, penyembahan, dan penghormatan kepada Allah SWT. Amaliah ini menjadikan AlFatihah sebagai bacaan utama. Prosesi ritual keagamaan tersebut dipandang sebagai simbolisme dengan meyakini bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sebuah cara kerja lain untuk sampai kepada Yang Maha Kuasa. Rangkaian ritual tersebut menjadi salah satu sumber penyemangat lahirnya gerakan beribadah kepada Allah SWT. Kajian ini menghasilkan rekomendasi bahwa kegiatan amaliah Tasharraful Fatihah yang dimotori para tokoh Nahdlatul Ulama adalah sebagai upaya mendialektikan antara Islam dan budaya lokal dalam satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, meskipun antara keduanya terdapat dasar-dasar prinsip lain yang membedakan sumber ajaran keislaman dengan sumber tradisi kemasyarakatan.
KATA KUNCI: NU, Tasharraful Fatihah, Amaliya, Bantul, Interpretative Understanding
ABSTRACT Tasharraful Fatihah is one of religious rituals growing in Nahdatul Ulama (NU) surroundings at Bantul regency as a means of devotion, worship, and reverence to Allah the Almighty. This ritual recites alFatihah as the primary reading. This ritual procession is barely seen as a symbol of belief that it is a different method to be closer to the Almighty. The series of this ritual becomes one encouraging source for a worship movement towards Allah. This study recommends that Tasharraful Fatihah initiated by some NU leaders is an attempt of dialoguing Islam with the local culture as an 132
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
PENERIMAAN PARTAI POLITIK ISLAM DI PTAIN: STUDI ATAS PERILAKU POLITIK MAHASISWA DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA CUCU NURHAYATI & HAMKA HASAN
ABSTRAK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah lembaga pendidikan yang merepresentasikan Islam sebagai nilai, agama, ideologi, ritual, dan simbol. Dengan karakter ini, sejatinya partai politik Islam mendapat simpati yang sangat tinggi. Dengan jumlah mahasiswa kurang lebih 25.000, 1000 dosen dan karyawan, seharusnya UIN menjadi basis massa yang empuk bagi partai politik Islam. Tulisan ini membuka fakta lain yang memecahkan asumsi bahwa komunitas Islam adalah sumber suara potensial bagi partaipartai politik Islam. Walaupun tetap diterima sebagai salah satu partai alternatif yang cukup dipertimbangkan, partai politik Islam ternyata tidak mendapat tempat yang cukup penting bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah. Tingkat penerimaan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditandai dengan hubungan relasional antara mahasiswa dan partai politik Islam. Dari 450 responden sebanyak 230 atau 51,1% responden menyatakan dirinya bukan bagian dari partai politik Islam, artinya hanya 48,9% mahasiswa yang merasa bagian dari partai politik Islam. Status mahasiswa yang terdaftar dalam partai politik Islam hanya 140 responden dari total 450 responden. Sebanyak 58% mahasiswa menyatakan tidak terdaftar dalam partai politik Islam, artinya hanya 42% mahasiswa yang terdaftar dalam keanggotaan dalam partai politik Islam.
KATA KUNCI: Partai politik Islam, Perilaku Politik, mahasiswa.
harmonis adat istiadat yang berkembang di Indonesia dengan kedatangan Islam sebagai agama mayoritas menjadi sinergi yang positif dan progresif dalam mengembangkan fikih Indonesia.
A BSTRACT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta is an institution representing Islam as values, religion, ideology, rituals, and symbols. With these characters, Islamic political parties gain a high sympathy in this institution. Having approximately 25,000 students, 1000 academic and administrative staffs, UIN should have been a mass basis for Islamic political parties. Despite the assumption that Islamic community is a potential vote raiser for Islamic political parties, the parties were not significantly considered by the UIN Jakarta academicians. This study focuses on the students’ acceptance on political parties by their party affiliations. 450 respondents were questioned on this matter and 51,1% of them stated that they are not affiliated or a part of Islamic political parties (while the 48,9% stated that they are). Only 42% of respondents (140 students) are affiliated to Islamic parties, while 58% are not.
KEY WORDS: Islamic Political Party, Political Behavior, Students
KATA KUNCI: Fikih Indonesia, Masyarakat Madani, Budaya, ‘Urf
ABSTRACT The Indonesian fiqh schools in Indonesia become unique as it relies on the national cultures as the colors of fiqh. Diverse cultural factors and the vast number of Muslim population around 80% out of 235 millions of the population account for the Indonesian fiqh to be considered among the Islamic fiqh schools. Some fiqh innovations were produced due to legal collaboration between fiqh legal and Indonesian culture. The development of fiqh schools has been clearly demonstrated in the Sabilul Muhtadin book, a work of Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 AD), which continues today in the hands of Gus Dur, Ali Yafie, and others. Harmonious collaboration between Indonesian customs and Islam becomes a positive and progressive synergy in developing.
KEY WORDS: Indonesian jurisprudence, civil society, culture, ‘urf
KOLABORASI KULTUR DAN KONSEP AL-‘URF DALAM MEMBANGUN FIKIH MAZHAB INDONESIA SAIFUDIN ZUHRI
ABSTRAK Fikih Indonesia atau fikih mazhab Indonesia menjadi unik karena menyandarkan negara atau kultur negara sebagai warna fikih. Faktor kultur yang beraneka ragam serta jumlah populasi umat Islam yang mencapai 80 % dari sekitar 235 juta menjadikan fikih yang bercorak Indonesia patut diperhitungkan dalam kancah pemikiran fikih di dunia Islam. Berbagai inovasi fikih dihasilkan atas kolaborasi hukum-hukum fikih dengan kultur Indonesia. Pengembangan fikih mazhab Indonesia terlihat jelas pada kitab Sabilul Muhtadin karya Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) yang berlanjut hingga kini di tangan Gus Dur, Ali Yafie, dan lain-lain. Kolaborasi yang
STRATEGI PENINGKATAN MUTU RINTISAN MADRASAH UNGGUL: STUDI KASUS DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI YOGYAKARTA I ERLINA FARIDA
ABSTRAK Kehadiran madrasah unggulan ikut mewarnai eksistensi madrasah di tanah air di kancah era modernisasi dan globalisasi saat ini. Keberadaan MTsN Yogyakarta I yang merupakan sekolah rintisan unggulan Kementerian Agama patut diacungi jempol karena madrasah ini menjadi salah satu indikator sekolah yang baik dan berpotensi untuk menjadi unggulan berdasarkan penilaian Kementerian Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Madrasah ini mampu mengakomodir kepentingan
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
133
masyarakat agar tertarik untuk mengamanahkan putra-putrinya di sekolah ini karena terdapat keunggulan pada pendidikan agama dan penanaman kebiasaan yang islami. Beragam strategi dilakukan oleh madrasah ini untuk mewujudkan madrasah unggul mulai dari peningkatan mutu sumber daya manusia tenaga pendidik, kualitas pelayanan, budaya organisasi, sarana prasarana, inovasi kurikulum dan pembelajaran, khususnya pengembangan kelas unggulan untuk mewujudkan keunggulannya.
Yogyakarta Province. This madrasa is able to accommodate the parents’ need to send their children to an excellent religious education and an excellent Islamic custom habituation. Various strategies have been undertaken by this madrasa to achieve a superior madrasa, such as: improving the quality educators, service quality, organizational culture, infrastructure, curriculum innovation and learning, especially the development of superior class to realize its excellence.
KEY WORDS: Strategy, quality improvement, exemplary madrasa
KATA
KUNCI:
Strategi, Peningkatan Mutu, Madrasah Unggul
ABSTRACT The presence of exemplary madrasa colors the existence of madrassas in Indonesia in the midst of modernized and globalized era. The existence of MTsN 1 Yogyakarta as a featured pilot school by the Ministry of Religious Affairs is admirable due to its quality as an excellent school based on the assessment of the MoRA
134
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
INDEKS PENULIS
A Abdul Jalil Universitas Halu Oleo Kendari, Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonahu, Kendari, Sulawesi Tenggara Fax (0401) 390006, Telp. (0401) 394061,
[email protected] “MODAL SOSIAL PELAKU DALAIL KHAIRAT” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 41-50
C Cucu Nurhayati & Hamka Hasan (Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dan Hamka Hasan (Dosen Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta). Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, Jakarta Selatan 15419. Email: (
[email protected]); (
[email protected] “PENERIMAAN PARTAI POLITIK ISLAM DI PTAIN: STUDI ATAS PERILAKU POLITIK MAHASISWA DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 79-92
E Erlina Farida Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Jln.M.H. Thamrin 6 Jakarta. Email:
[email protected] “STRATEGI PENINGKATAN MUTU RINTISAN MADRASAH UNGGUL: STUDI KASUS DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI YOGYAKARTA I” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 103-118
G Gazi Saloom Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Fakultas Psikologi UIN Jakarta, Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, Jakarta Selatan 15419. Email:
[email protected] “IDENTIFIKASI KOLEKTIF DAN IDEOLOGISASI JIHAD: STUDI KUALITATIF TERORIS DI INDONESIA ” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 1-12
I Imam Muhlis & Fathorrahman Imam Muhlis: Alumnus Magister Ilmu Hukum Univ. Gadjah Mada, e-mail:
[email protected]; Fathorrahman: [Dosen Fak. Syari’ah & Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta], e-mail:
[email protected] “INTERPRETATIVE UNDERSTANDING TERHADAP MAKNA SIMBOL AL-FATIHAH DALAM AMALIAH TASHARRAFUL FATIHAH PADA MASYARAKAT BANTUL, YOGYAKARTA” Jurnal Dialog Vol. 37, No.1, Juni 2014. hal: 65-78
M Muhamad Murtadho Peneliti Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Jln. M.H. Thamrin 6 Jakarta. Email:
[email protected] “WISATA RELIGI DI BALI: GELIAT USAHA PENGEMBANGAN PARIWISATA ISLAM” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 13-28
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
135
R Ridwan Bustamam Peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Jl. M.H. Thamin 6 Jakarta. “MENGENAL LEBIH DEKAT ANALISIS FRAMING” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 119-128
S Saifudin Zuhri Dosen UIN Jakarta dpk. Institut PTIQ Jakarta. Email:
[email protected] Alamat rumah: Griya Pamulang 2 B 1/ 11 Pamulang Tangerang Selatan. HP. 081380366843 “KOLABORASI KULTUR DAN KONSEP AL-‘URF DALAM MEMBANGUN FIKIH MAZHAB INDONESIA” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 93-102
Suryani Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Kertamukti 5 Cirendeu, Jakarta Selatan 15419. Email:
[email protected] “KONTRIBUSI NU SEBAGAI ORGANISASI CIVIL SOCIETY DALAM DEMOKRATISASI” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 51-64
Z Zainal Abidin Peneliti Muda pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jln. M.H. Thamrin 6 Jakarta. Email:
[email protected] “EKSISTENSI AGAMA SIKH DI JABODETABEK” Jurnal Dialog Vol. 38, No.1, Juni 2015. hal: 29-40
136
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
KETENTUAN PENULISAN 1. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini berupa pemikiran dan hasil penelitian yang menyangkut masalah sosial dan keagamaan. Naskah belum pernah dimuat atau diterbitkan di media lain. 2. Naskah tulisan berisi sekitar 15-20 halaman dengan 1,5 (satu setengah) spasi, kertas kuarto (A 4), 3. Abstrak dan kata kunci dibuat dalam dwibahasa (Inggris dan Indonesia), 4. Jenis huruf latin untuk penulisan teks adalah Palatino Linotype ukuran 12 dan ukuran 10 untuk catatan kaki, 5. Jenis huruf Arab untuk penulisan teks adalah Arabic Transparent atau Traditional Arabic ukuran 16 untuk teks dan ukuran 12 untuk catatan kaki, 6. Penulisan kutipan (footnote) dan bibliografi berpedoman pada Model Chicago Contoh: Buku (monograf) Satu buku Footnote 1. Amanda Collingwood, Metaphysics and the Public (Detroit: Zane Press, 1993), 235-38. Bibliografi Collingwood, Amanda. Metaphysics and the Public. Detroit: Zane Press, 1993. 7. Artikel pemikiran memuat judul, nama penulis, alamat instansi, email, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta persentasenya dari jumlah halaman sebagai berikut: a. Pendahuluan (10%) b. Isi Pemikiran dan pembahasan serta pengembangan teori/konsep (70%) c. Penutup (20%) 8. Artikel hasil penelitian memuat judul, nama penulis, alamat instansi, email, abstrak, kata kunci, dan isi. Isi artikel mempunyai struktur dan sistematika serta presentase jumlah halaman sebagai berikut: a. Pendahuluan meliputi latar belakang, perumusan masalah, dan tujuan penelitian (10%) b. Kajian Literatur mencakup kajian teori dan hasil penelitian terdahulu yang relevan (15%). c. Metode Penelitian yang berisi rancangan/model, sampel dan data, tempat dan waktu, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data (10%). d. Hasil Penelitian dan Pembahasan (50%). e. Penutup yang berisi simpulan dan saran (15%). f. Daftar Pustaka 9. Pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis/email. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis. Contact Person: Abas Jauhari, M.Sos HP: 0856 8512504 Naskah diemail ke:
[email protected]
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015
137
138
Dialog
Vol. 38, No.1, Juni 2015