Topik 9 Genetika Kuantitatif 9.1. Sifat Kuantitatif Sejauh ini pembicaraan tentang suatu fenotipe diasumsikan menggambarkan fenotipenya. Fenotipe sifat-sifat demikian mudah dibedakan, misalnya wama kulit buncis bersifat altematif yaitu putih atau abu-abu, tanamannya tinggi atau rendah, sehingga mudah dibedakan. Sifat-sifat demikian dikenal dengan istilah sifat diskontinyu (discontinue traits). Pada sifat-sifat demikian terdapat hubungan yang sederhana antara genotipe dengan fenotipenya. Dalam banyak kasus suatu gnotipe hanya menghasilkan satu macam fenotipe, sebaliknya suatu fenotipe merupakan hasil aktivitas suatu genotipe. Namun demikian telah kita maklumi bahwa hubungan antara genotipe
dengan
fenotipe
dipengaruhi
oleh
fenomena-fenomena,
misalnya
ekspresivitas, penetrasi dan pleiotropi. Dengan kata lain suatu genotipe dapat menghasilkan beragam fenotipe karena genotipe berinteraksi dengan lingkungannya selama proses pertumbuha/perkembangan. Sifat-sifat seperti bobot bayi fahir, tinggi orang dewasa, kandungan protein jagung, menunjukkan kisaran fenotipe yang luas. Sifat-sifat yang menunjukkan kisaran keragaman fenotipe demikian sering disebut sifat kontinyu (continues traits). Pada sifat diskontinyu memiliki distribusi diskrtit, sedangkan sifat kontinyu memiliki distribusi kontinyu, sehingga periu dinyatakan secara kuantitatif. Sifat-sifat demikian sering disebut sifat kuantitatif. Sifat kontinyu memiliki kisaran fenotipe yang kontinyu pula. Untuk mengkaji pewarisan sifat kontinyu/kuantitatif perlu dilihat mengapa suatu sifat memiliki beragam fenotipe. Sifat kuantitatif dapat terjadi dalam berbagai cara. Umumnya kisaran fenotipe terjadi karena berbagai macam genotipe ada dalam suatu kelompok individu (populasi). Hal ini biasa terjadi apabila suatu karakter dikendalikan oleh banyak lokus. Misalnya, apabila suatu lokus dengan dua alel per lokus mengendalikan suatu sifat, maka ada tiga kemungkinan genotipe yakni AA, Aa, aa. Untuk dua lokus dengan dua alel per lokus akan diperoleh 9 genotipe (32), misal AABB, AABb, Aabb, AaBB, AaBb, Aabb, aaBB, aaBb, dan aabb. Demikian pula dengan pertambahan jumlah lokus sebanyak n, maka genotipe yang terbentuk sebanyak 3n. jika terdapat lebih dari dua alel untuk setiap lokus maka akan dihasilkan macam genotipe jauh lebih banyak. Dengan demikian semakin banyak lokus yang mengendalikan suatu sifat, maka akan semakin banyak macam genotipe yang
Universitas Gadjah Mada
mungkin terbentuk. Sifat yang dikendalikan oleh banyak lokus seperti ini disebut sifat poligenik atau sifat kuantitatif. 9.2. Heritabilitas Persoalan yang selalu muncul pada sifat-sifat kuantitatif adalah pertanyaan tentang seberapa jauh suatu sifat dikendalikan secara genetik dan seberapa jauh porsi pengendalian oleh lingkungan. Dengan demikian pertanyaan yang selalu berulang adalah bagaiman imbangan pengaruh alami (genetik) versus pemeliharaan (nature versus nurture) atau pengaruh gen versus lingkungan. Hal inilah yang menjadi fokus pembahasan genetika kuantitatif. Dengan demikian persoalannya dapat dinyatakan sbb. Seberapa besar variasi suatu karakter (fenotipe) yang teramati (Vp) disebabkan oleh variasi genetik (Vg) dan variasi lingkungan (Ve) atau sering dituliskan dengan formulasi yang sederhana sbb. Vp = Vg + Ve. Untuk mengukur suatu variasi fenotipe dan memilahnya menjadi variasi genetik dan variasi lingkungan dipertukan metode statistik. Heritabilitas adalah proporsi variasi fenotipik populasi yang disebabkan oleh faktor genetik. lsitilah ini seringkali disalah gunakan. Misalnya apabila individuindividu dalam suatu famili memiliki kemiripan dalam suatu aspek fenotipe, misalnya perawakan atau intelgensia, hal ini sering dianggap disebabkan oleh faktor genetik. Akan tetapi sering tejadi kemiripan tersebut semata-mata sebagai konsekuensi dari interaksi genotipe dengan lingkungan yang sama. Konsep heritabilitas dimaksudkan untuk menilai suatu karakter kuantitatif dalam kaitannya dengan kontribusi relatif faktor genetik dan lingkungan pada suatu sifat tertentu. Misalnya seberapa jauh efek gen mempengaruhi kebiasaan, misal kebiasaan minum alkohol, hal ini akan bermanfaat dalam membuat kebijakan sosial tetapi hal ini perlu ditafsirkan dengan sangat hati-hati karena besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan tafsir. Untuk menilai suatu heritabilitas, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengukur variasi fenotipe suatu sifat, kemudian dilajutkan dengan pemerian varians tersebut kedalam berbagai sumber ragam penyebabnya. Varians fenotipe dapat diperikan menjadi varians genetik, varians lingkungan, kovarians genetik x lingkungan dan varians interaksi genetik x lingkungan yang dapat diformulasikan dalam persamaan sedehana sbb.: Vp = Vg + Ve + COVgxe + Vg+e.
Universitas Gadjah Mada
Oleh karena kovarians g x e biasanya bemilai kecil maka biasa diabaikan dan dianggap nol oleh para ahli genetika. Pada komponen Vg dapat diperikan menjadi varians aditif (VA) dan varians dominan (VD) dengan memperhatikan interaksi tindak gen dalam lokus. Apabila terjadi inteaksi tindak gen antarlokus, biasa dikenal dengan isitilah epistasis, maka komponen varians genetik bertambah lagi dengan varians epistasis, V1. Dengan demikian varians fenotipe menjadi : Vp=VA+VD+VI+Ve+COVgxe+Vg+e. Untuk memerikan varians fenotipe menjadi berbagai komponen varias seperti di atas diperlukan rancangan percobaan yang lebih khusus. 9.3. Macam-macam heritabilitas Secara umum ada dua jenis heritabilitas yang dikenal orang, yaitu heritabilitas arti luas (broad-sense heritability) dan heritabilitas arti sempit (narrow-sense heritability), yang masing-masing disimbulkan sbb.: heritabilitas arti luas (broad-sense heritability) = H = h2B = Vg/Vp, dan heritabilitas arti sempit (narrow-sense heritability) = h =h2N = VA/Vp. Lepas dari manfaatnya, parameter heritabilitas memiliki berbagai keterbatasan yang biasanya diabaikan orang, sehingga terjadi misused. Oleh karena itu konsep heritabilitas sering disebut sebagai suatu parameter yang paling sering disalah mengerti (misunderstood) dan disalahgunakan (misused) di bidang genetika. Di bawah ini dikemukan beberapa kualifiaasi dan keterbatasan konsep heritabilitas yang perlu diperhatikan . 1. heritabilitas tidak mengisyaratkan bahwa suatu sifat dikendalikan secara genetik. Apa yang terukur dari parameter heritabilitas hanyalah proporsi varians fenotipe diantara individu dalam suatu populasi karena perbedaan genotipenya. Hal inilah yang sering disalah mengerti dan dianggap sebagai suatu sifat dikendalikan genetik. Suatu gen sering mempengaruhi perkembangan suatu sifat, sehingga dapat dikatakan karakter tersebut bersifat genetik. Namun demikian perbedaan fenotipe antar individu dalam suatu populasi yang terukur pada parameter heritabilitas sama sekali bukan bersifat genetik. 2. heritabilitas diukur berdasarkan nilai varians yang hanya dapat dihitung untuk suatu kelompok individu, sehingga heritabilitas adalah karakteristik suatu populasi bukan karakter suatu individu. 3. heritabilitas tidak bersifat tetap untuk suatu karakter. Tidak ada nilai tertentu yang beriaku umum bagi suatu karakter. Nilai heritabilitas suatu karakter sangat
Universitas Gadjah Mada
tergantung pada perubaan genotipe dan lingkungan dimana genotipe tersebut tumbuh. 4. bahkan apabila ada dua populasi dimana masing-masing populasi memiliki nilai heritailitas tinggi untuk karakter yang sangat berbeda, maka tidak dapat dikatakan bahwa kedua populasi tersebut berbeda secara genetik. 5. suatu karakter yang dimiliki oleh individu-individu dalam suatu famili tidak selalu memiliki nilai heritabilitas tinggi. Karakter demikian disebut karakter famili (familial trait). Karakter famili bisa disebabkan oleh gen yang sama ataupun oleh lingkungan yang sama, sehingga familiality tidak identik dengan heritability. 9.4. Pewarisan kuantitatif Pada awalnya para ahli kesulitan memahami bagaimana suatu karakter kuantitatif diwariskan, kecuali mereka sekedar memahami bahwa pola pewarisan karakter kuantitatif berbeda dari karakter kualitatif (karakter diskontinyu). Kajian yang pernah dilakukan para ahli tentang pewarisan kuantitatif adalah karakter panjang tongkol pada jagung. Pada tahun 1913, Rollins Emerson dan Edward East membuat persilangan jagung varietas jagung manis yang memilkii tongkol pendek dengan varietas jagung popcorn (jagung brondong) yang memiliki tongkol panjang, kemudian membuat sating silang sesama individu Fl. Dari percobaan tersebut mereka melaporkan bahwa sifat-sifat kuantitaif, dengan mengabaikan pengaruh lingkungan, memiliki karakteristik sbb.: 1. nilai rerata sifat kuantitatif pada populasi Fl mendekati nilai tengah antar kedua tetua. 2. nilai rerata sifat kuantitatif pada populasi F2 mendekati nilai rerata pada populasi Fl-nya. 3. pada populasi F2 menunjukkan kisaran yang lebih luas dibanding populasi Fl. 4. nilai-nilai ekstrim pada populasi F2 lebih jauh dari nilai ekstrim pada populasi Fl, mendekati nilai-nilai ekstrim kedua tetuanya. Dari data tersebut tidak dapat diterangkan menggunakan prinsip-prinsip genetika Mendel yaitu kaidah `satu gen-satu lokus' yang mengendalikan pewarisan karakter diskontinyu. Dengan demikian Emerson dan East mengemukankan hipotesis bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh banyak gen/lokus. Hipotesis ini dikenal dengan sebutan hipotesis poligenik atau multiple gen untuk pewarisan kuantitatif (polygene or multiple-gene hypothesis for quantitative inheritance). Pada karakter kauntitatif tidak ada dominansi antar alel dalam suatu lokus, sehingga ekspresi suatu
Universitas Gadjah Mada
karakter tergantung pada berapa banyak alel yang berpengaruh terhadap fenotipe dikandung oleh genotipe yang bersangkutan. Dalam perspektif ini dikenal istilah alel berefek (contributing alleles) dan alel tidak berefek(noncontributing alleles). Misalnya pada karakter warna biji gandum, untuk genotipe RRCC (memiliki 4 alel berefek), maka fenotipenya akan berwarna merah gelap, sedang genotipe rrcc (tidak memiliki alel berefek) maka fenotipenya akan berwarna putih. Fenotipe wama dari suatu genotipe merupakan fungsi dari seberapa banyak genotipe tersebut memiliki alel berefek (dalam hal ini R dan C).
Universitas Gadjah Mada