PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 2 2009
Korelasi antara Jarak Genetik Inbrida dengan Penampilan Fenotipik Hibrida Jagung Marcia B. Pabendon1, Made J. Mejaya2, H. Aswidinnoor3, dan J. Koswara3 1 Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi Nomor 274, Maros 90514 2 Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Jl. Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang, Jawa Timur 3 Institut Pertanian Bogor Dramaga, Bogor
ABSTRACT. Correlation between Genetic Distance of Inbreds and Grain Yield Performance of Hybrid Maize. The objectives of this study were (a) to estimate the correlation between the GD (Genetic Distance) and F1 yield performance, specific combining ability (SCA), and heterosis of both high parent (HP) and mid parents (MP), (b) to identify the promising hybrid derived from GD of parental selection using microsatellite marker-based. Seven selected inbreds based on the average of GD from low to high were diallel crossed to develop 21 single cross hybrids. Evaluation of the phenotypic performance consisted of 21 single cross hybrids and four hybrid cultivars as check (Bima 1, Bima 2, Bima 3, and Semar 10). The experiment used Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications, conducted at Bajeng Experimental Station, South Sulawesi and Muneng Experimental Station, East Java. Results indicated that the average correlation values between GD and average seed weight per plant, GD and SCA, GD and high parent heterosis (HPH), as well as GD and MPH were in the medium level, i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. From this experiment, six single cross hybrids showed potential to be developed as new hybrid varieties with seed weight ranged from 176.05 to 181.24 g/ plant. These hybrids were Bisma-140-2×SP007-68, BM(S1)C0172×Mr4, SP007-68×SP008-120, P5/GM26-22×SP008-120, Bisma140-2×Mr14, and BM(S1)C0-172×Mr14. The intergroup inbreds placed by genotypic grouping in general produced hybrids with greater yield potential than the intragroup inbreds. It was concluded that the markers are efficient for placing inbreds in a certain heterotic groups. Adding more primers to obtain the best correlation between the value of GD and seed weight per plant was required. Keywords: Heterosis, combining ability, maize hybrid, molecular markers ABSTRAK. Pemilihan tetua yang tepat seringkali harus menghadapi sejumlah besar koleksi galur. Informasi jarak genetik dapat membantu memprediksi penampilan hibrida. Tujuan penelitian adalah untuk (a) mengestimasi korelasi antara jarak genetik berbasis marka mikrosatelit dan penampilan hibrida, daya gabung khusus (DGK) serta heterosis; dan (b) mengetahui potensi hibrida yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik berbasis marka mikrosatelit. Tujuh tetua diseleksi berdasarkan nilai rata-rata jarak genetik yang rendah, sedang, dan tinggi menggunakan marka mikrosatelit, berasal dari sumber populasi yang berbeda berdasarkan data pedigree. Satu set pengujian hibrida terdiri atas 21 hibrida hasil silang tunggal, tujuh tetua dan empat hibrida pembanding (Bima 1, Bima 2, Bima 3, dan Semar 10). Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan empat ulangan, dilakukan di KP Bajeng, Sulawesi Selatan dan di KP Muneng, Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan nilai korelasi rata-rata antara jarak genetik dan bobot biji, antara jarak genetik dan DGK serta antara jarak genetik dan heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi tergolong sedang masing-masing 0,67,
0,59, 0,55, dan 0,64. Nilai korelasi yang tergolong sedang ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah marka yang digunakan belum memadai dan/atau oleh faktor lingkungan. Rata-rata bobot biji yang tinggi dan berbeda nyata terhadap minimal salah satu dari varietas pembanding adalah hibrida dari hasil persilangan antar kelompok heterotik yang berbeda. Dari kedua lokasi tersebut, terdapat enam hibrida yang potensial untuk diuji lebih lanjut yaitu Bisma-1402×SP007-68, BM(S1)C0-172×Mr4, SP007-68×SP008-120, P5/GM2622×SP008-120, Bisma-140-2×Mr14, dan BM(S1)C0-172×Mr14. Kata kunci: Heterosis, daya gabung, hibrida jangung, marka molekuler
alam genetika kuantitatif telah dijelaskan mengenai korelasi antara pasangan tetua jarak jauh dengan estimasi heterosis. Namun, data yang diperoleh dari marka molekuler belum sepenuhnya diyakini dalam hubungannya dengan korelasi antara jarak genetik dengan hasil biji (Falconer and Mackay 1997). Dalam proses seleksi tetua hibrida, dengan jumlah koleksi yang semakin banyak dan beragam, tidak mungkin menilai semua koleksi tersebut. Salah satu alternatif yang dapat dipilih adalah melakukan persilangan berdasarkan perbedaan genetik tetua, yang diestimasi melalui marka molekuler (Arcade et al. 1996; Melchinger 1999). Dari sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau SSR (Simple Sequence Repeat) telah dikenal luas dapat memberikan harapan dalam studi keragaman genetik dan prediksi hibrida karena sesuai dengan pewarisan Mendel dan penampilannya yang kodominan dan spesifik, sehingga dapat mengidentifikasi genotipe homozigot dan heterozigot di dalam populasi. Selain itu, telah tersedia sejumlah besar set mikrosatelit yang dapat digunakan pada jagung, sebagian besar telah diidentifikasi berasosiasi dengan QTL (Quantitative Trait Loci) karakter hasil biji (Sibov et al. 2003). Beberapa prosedur pemuliaan telah mampu meningkatkan hasil biji, baik populasi maupun hibrida jagung. Untuk memilih kombinasi hibrida yang paling baik, sejumlah galur inbrida penting telah disilangkan. Hal ini merupakan pertimbangan yang menguntungkan untuk dapat mengestimasi kemampuan daya gabung
D
69
PABENDON ET AL.: KORELASI JARAK GENETIK INBRIDA DAN FENOTIFIK HIBRIDA JAGUNG
tetua, efek gen, dan efek heterosis dari persilangan sebelum melakukan persilangan antargalur inbrida. Program persilangan dialel telah diaplikasikan untuk mencapai tujuan ini dengan pendekatan yang sistematik untuk mendeteksi tetua yang sesuai bagi karakterkarakter yang akan diamati. Selain itu, analisis dialel memberikan peluang bagi pemulia tanaman untuk memilih metode seleksi yang efisien melalui estimasi beberapa parameter genetik (Verhalen and Murrai 1967). Kendala yang sering dihadapi adalah pemilihan tetua yang tepat di antara sejumlah besar koleksi galur. Selain itu, jika prediksi hanya berdasarkan penampilan fenotipik, intervensi lingkungan banyak berpengaruh selama proses seleksi, terutama terhadap karakter kuantitatif. Akhir-akhir ini beberapa penelitian difokuskan untuk mengidentifikasi galur-galur parental superior yang memiliki karakter khusus, seperti toleran terhadap kondisi biotik atau abiotik. Untuk mengidentifikasi hibrida potensi hasil tinggi, estimasi jarak genetik membantu dalam pengelompokan galur-galur murni ke dalam kelompok heterotik. Jarak genetik telah digunakan untuk memprediksi penampilan hibrida dan efisiensi prediksi lebih besar dengan menyilangkan antara galur inbrida dari kelompok heterotik yang berbeda (Melchinger 1999). Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) mengestimasi korelasi antara jarak genetik berbasis marka mikrosatelit sejumlah inbrida dan penampilan hibrida, heterosis dan DGK; dan (b) mengetahui potensi hibrida yang diseleksi berdasarkan nilai jarak genetik.
Tabel 1. Dua puluh satu hibrida hasil persilangan setengah dialel dan empat hibrida cek. Persilangan P5/GM26-22 × Bisma-140-2 P5/GM26-22 × BM(S1)C0-172 P5/GM26-22 × Mr4 P5/GM26-22 × SP007-68 P5/GM26-22 × SP008-120 P5/GM26-22 × Mr14 Bisma-140-2 × BM(S1)C0-172 Bisma-140-2 × Mr4 Bisma-140-2 × SP007-68 Bisma-140-2 × SP008-120 Bisma-140-2 × Mr14 BM(S1)C0-172 × Mr4 BM(S1)C0-172 × SP007-68 BM(S1)C0-172 × SP008-120 BM(S1)C0-172 × Mr14 Mr4 × SP007-68 Mr4 × SP008-120 Mr4 × Mr14 SP007-68 × SP008-120 SP007-68 × Mr14 SP008-120 × Mr14 Cek-1 Cek-2 Cek-3 Cek-4
Hibrida T1T2 T1T3 T1T4 T1T5 T1T6 T1T7 T2T3 T2T4 T2T5 T2T6 T2T7 T3T4 T3T5 T3T6 T3T7 T4T5 T4T6 T4T7 T5T6 T5T7 T6T7 Bima 1 Bima 2 Bima 3 Semar 10
Jarak genetik 0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73
dalam kantung kertas yang akan digunakan untuk menguji penampilan fenotipik masing-masing hibrida pada musim berikutnya. Perlakuan terdiri atas 21 materi hibrida F1, tujuh inbrida tetua hasil silang diri, dan empat varietas pembanding (Tabel 1). Uji Daya Hasil Pendahuluan Hibrida Silang Tunggal Berbasis Marka SSR
BAHAN DAN METODE Materi Genetik Seleksi tujuh tetua hibrida dari total 32 inbrida dilakukan berdasarkan data jarak genetik berbasis marka SSR (Single Sequence Repeat) dengan kisaran nilai rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan materi hibrida setengah dialel berdasarkan metode-II Griffing (Singh and Chaudhary 1979) dengan formula:
n(n 1) 2 Dengan metode ini diperoleh 21 hibrida F1. Terhadap ketujuh tetua juga dilakukan silang dalam (selfing) untuk mendapatkan benih yang juga akan digunakan dalam uji daya gabung umum dan uji daya gabung khusus. Masing-masing hibrida dan tetua, dipanen secara terpisah, benihnya dikeringkan dan kemudian disimpan
70
Pengujian dilakukan di KP Bajeng (Sulawesi Selatan) dan di KP Muneng (Jawa Timur). Perlakuan sebanyak 32 genotipe terdiri atas 21 hibrida silang tunggal, tujuh tetua, dan empat varietas pembanding yaitu Bima 1, Bima 2, Bima 3, dan Semar 10. Tata letak percobaan di lapangan menggunakan rancangan acak kelompok, dua ulangan, jarak tanam 75 cm x 20 cm, panjang baris 5 m, dua baris untuk masing-masing genotipe. Dosis pupuk yang digunakan sesuai dengan rekomendasi yaitu 300 kg urea, 200 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Urea diberikan dua kali. Pertama pada saat tanaman berumur satu minggu setelah tanam (200 kg urea/ha), bersamaan dengan semua pupuk SP36 dan KCl. Kedua pada saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam (100 kg/ha). Data yang dikumpulkan adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, hama dan penyakit yang menyerang, skor penampilan tanaman dan tongkol, kadar air biji saat panen, jumlah tongkol panen, bobot tongkol, rendemen
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 2 2009
biji, dan komponen hasil yaitu panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol, jumlah biji per baris, dan bobot 1.000 biji. Analisis Data Analisis varians menggunakan prosedur IRRI-Stat. Model statistiknya adalah Yijk = m + Tij + Rk + {(RT)ijk + eijk}, di mana i = genotipe, j = lingkungan, Yijk = genotipe i x j dalam ulangan ke-k, m = rata-rata umum, Tij = efek genotipe i x j, Rk = efek ulangan ke k, RTijk = interaksi ulangan dengan perlakuan, dan eij = galat. Analisis korelasi sederhana dilakukan untuk melihat hubungan antara nilai jarak genetik berbasis marka SSR dengan data fenotipik hibrida F1. Jika nilai r positif berarti kedua karakter saling menunjang, namun apabila nilai r negatif maka data fenotipik tidak didukung oleh data genotipik. Estimasi nilai daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK), dan heterosis berdasarkan analisis setengah dialel metode II Griffing (Singh and Chaudhary 1979). Bila dalam analisis daya gabung ternyata ketiga kuadrat tengah berbeda nyata terhadap galat maka dapat dihitung secara tersendiri (Singh and Chaudhary 1979). Perbedaan efek DGU diuji dengan uji t dan nilainya dibandingkan dengan nilai beda kritis (BK). Nilai BK digunakan untuk melihat perbedaan efek DGU dari dua galur yang dibandingkan (Singh and Chaudhary 1979). Jika uji DGK berbeda nyata pada uji F pada taraf 5% berarti ada efek heterosis. Estimasi nilai heterosis biasanya dinyatakan dengan persen, mengikuti prosedur Hallauer dan Miranda (1981), yaitu heterosis tetua tertinggi (High-parent heterosis) dan heterosis rata-rata tetua (Mid-parent heterosis). Pengaruh efek heterosis yang nyata diestimasi dengan menggunakan uji t-Student (= 0,05). Uji beda nyata rata-rata F1 dengan rata-rata tetua dan tetua terbaik dilakukan dengan uji t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jarak Genetik Tetua Hibrida F1 Inbrida yang dipilih sebagai materi persilangan dialel adalah yang mempunyai nilai jarak genetik rata-rata yang rendah, sedang, dan tinggi pada semua peluang persilangan, dengan asumsi inbrida yang mempunyai nilai jarak genetik rata-rata yang tinggi untuk semua peluang persilangan akan mempunyai daya gabung yang baik, sekaligus sebagai konfirmasi. Hasil karakterisasi berdasarkan marka mikrosatelit, nilai jarak genetik dari semua kombinasi persilangan berkisar dari 0,54 yaitu persilangan Bisma-140-2×BM(S1)C0-172 (hibrida T2T3) sampai 0,86 yaitu persilangan Mr4×SP007-68 (hibrida T4T5). Terdapat tiga hibrida yang berada pada kelompok
yang sama, yaitu T1T2, T1T3, dan T2T3 dengan nilai jarak genetik masing-masing 0,75; 0,67; dan 0,54. Materi genetik yang digunakan dalam studi ini mempunyai variabilitas genetik luas yang ditunjukkan oleh kisaran jarak genetik 0,54-0,86 berdasarkan marka mikrosatelit. Berdasarkan nilai jarak genetik, pasangan tetua hibrida yang berada pada grup yang sama mempunyai nilai jarak genetik rata-rata yang lebih kecil (0,65) dibanding nilai jarak genetik rata-rata pasangan tetua dari kelompok heterotik yang berbeda (0,73) (Tabel 4). Kelompok heterotik yang terbentuk berdasarkan marka mikrosatelit membantu dalam pelaksanaan seleksi awal tetua hibrida yang digunakan dalam persilangan dialel. Seleksi dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, akurat, dapat menghindari persilangan dan pengujian dalam jumlah yang besar di lapangan. Penampilan Fenotipik Hibrida F1 Dalam pelepasan varietas baru, potensi hasil merupakan penentu utama yang tercermin pada bobot biji per tanaman (Tabel 2). Hasil analisis varians menunjukkan adanya interaksi antarlokasi. Berdasarkan hasil analisis gabungan, dengan mengeluarkan pengaruh faktor lingkungan, bobot biji tertinggi sebesar 170,7 g/tanaman persilangan Bisma-140-2×Mr14 (hibrida T2T7) dan terendah 85,1 g/tanaman pada persilangan P5/GM2622×BM(S1)C0-172 (hibrida T2T3). Terdapat 12 (57,1%) hibrida silang tunggal yang menghasilkan bobot biji ratarata yang berbeda nyata terhadap minimal salah satu dari varietas pembanding Bima 1, Bima 3, dan Semar 10. Terdapat tiga hibrida yang berbeda nyata terhadap varietas Bima 1, yaitu pasangan P5/GM26-22×SP008-120 (hibrida T1T6), Bisma-140-2×Mr14 (hibrida T2T7), dan BM(S1)C0-172×Mr14 (hibrida T3T7) dengan bobot biji masing-masing 168,5 g, 170,7 g, dan 160,1 g/tanaman. Terdapat dua kultivar yang berbeda nyata terhadap varietas Bima 3 yang memiliki bobot biji tertinggi dari ketiga varietas pembanding, yaitu pasangan P5/GM2622×SP008-120 (hibrida T1T6) dan Bisma-140-2 X Mr14 (hibrida T2T7) masing-masing 168,5 g dan 170,7 g/ tanaman dengan jarak genetik 0,74 dan 0,70. Bobot biji rata-rata dari genotipe antargrup (144,7 g/tanaman) lebih tinggi dibanding bobot biji rata-rata hibrida intragrup (122,6 g/tanaman). Tidak terdapat hibrida yang berasal dari kelompok heterotik yang sama atau intragrup yang menghasilkan bobot biji yang berbeda nyata terhadap salah satu varietas pembanding. Bima 1 merupakan hibrida silang tunggal yang dilepas pada tahun 2001 dengan potensi hasil 9 t/ha. Bima 2 dan Bima 3 adalah hibrida silang tunggal yang dilepas pada tahun 2007 dengan potensi hasil masing-masing 11 t dan 10 t/ha. Semar 10 adalah hibrida silang tiga jalur yang dilepas pada tahun 2001 dengan potensi hasil 9 t/ha. 71
PABENDON ET AL.: KORELASI JARAK GENETIK INBRIDA DAN FENOTIFIK HIBRIDA JAGUNG
Di lokasi KP Bajeng, bobot biji tertinggi 173,4 g/ tanaman diperoleh pada persilangan Bisma-1402×SP007-68 (hibrida T2T5), sedangkan terendah 86,1 g/ tanaman pada hibrida T2T3. Terdapat empat hibrida yang berbeda nyata terhadap varietas Bima 1 dan tiga hibrida berbeda nyata terhadap Bima 3. Di KP Muneng, bobot biji tertinggi 181,2 g/tanaman diperoleh pada persilangan T2T7, sedangkan terendah 84,1 g/tanaman pada persilangan Bisma-140-2 × BM(S1)C0-172 (hibrida T2T3). Terdapat lima kultivar yang berbeda nyata terhadap varietas Bima 1, dan tiga hibrida yang berbeda nyata terhadap varietas Bima 3. Hibrida T1T6 dengan bobot biji yang berbeda nyata dengan varietas Bima 3 didukung oleh karakter fenotipik lain yang berbeda nyata terhadap minimal salah satu
varietas pembanding, yaitu rendemen biji (0,80), jumlah baris per tongkol (15), dan jumlah biji per baris (36) (Tabel 3). Hibrida T2T7 selain menghasilkan bobot biji tertinggi, juga memiliki jumlah baris per tongkol (14), jumlah biji per baris (34), dan bobot 1.000 biji (354,9 g) yang cukup tinggi dan berbeda nyata terhadap salah satu varietas pembanding. Panjang tongkol pada umumnya lebih rendah daripada varietas pembanding. Demikian pula diameter tongkol, tidak ada yang berbeda nyata dengan varietas pembanding. Tidak terdapat hibrida yang berbeda nyata dengan Bima 2. Beberapa karakter fenotipik lain yang nampaknya berpengaruh, khususnya terhadap dua hibrida F1 yang menghasilkan bobot biji yang tinggi, adalah hibrida T1T6 dan T2T7. Hibrida T1T6 menghasilkan rendemen biji
Tabel 2. Nilai jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1 hasil silang tunggal di KP Bajeng dan KP Muneng, MH 2007. Bobot biji per tanaman (g) Pedigree
Hibrida
Jarak genetik Gabungan
P5/GM26-22 X Bisma-140-2 P5/GM26-22 X BM(S1)C0-172 P5/GM26-22 X Mr4 P5/GM26-22 X SP007-68 P5/GM26-22 X SP008-120 P5/GM26-22 X Mr14 Bisma-140-2 X BM(S1)C0-172 Bisma-140-2 X Mr4 Bisma-140-2 X SP007-68 Bisma-140-2 X SP008-120 Bisma-140-2 X Mr14 BM(S1)C0-172 X Mr4 BM(S1)C0-172 X SP007-68 BM(S1)C0-172 X SP008-120 BM(S1)C0-172 X Mr14 Mr4 X SP007-68 Mr4 X SP008-120 Mr4 X Mr14 SP007-68 X SP008-120 SP007-68 X Mr14 SP008-120 X Mr14
T1T2 T1T3 T1T4 T1T5 T1T6 T1T7 T2T3 T2T4 T2T5 T2T6 T2T7 T3T4 T3T5 T3T6 T3T7 T4T5 T4T6 T4T7 T5T6 T5T7 T6T7
0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73
131,7 126,0 120,5 125,1 168,5 109,8 85,1 154,5 150,1 154,7 170,7 155,2 138,4 148,5 160,1 152,3 136,1 147,7 144,4 147,1 123,0
acd
d d d acd d d ad d d d d
KP Bajeng 137,0 129,3 125,4 139,3 164,4 111,2 86,1 148,6 173,4 150,5 160,1 168,8 144,2 151,6 149,1 152,0 135,5 149,6 167,1 153,3 123,3
ad
acd d ad acd d d d d acd d
KP Muneng 126,4 122,7 115,6 110,9 172,6 acd 108,5 84,1 160,4 ad 126,9 160,1ad 181,2 acd 141,6 d 132,6 145,3 d 171,1 acd 152,7 d 136,8 145,7 d 121,8 140,9 122,7
Inbrida (Tetua): P5/GM26-22 (T1) Bisma-140-2 (T2) BM(S1)C0-172 (T3) Mr4 (T4) SP007-68 (T5) SP008-120 (T6) Mr14 (T7)
53,9 49,9 41,0 44,6 41,8 35,2 30,9
54,6 51,3 42,5 44,5 43,0 36,3 31,3
53,2 48,6 39,6 44,7 40,7 34,0 30,4
Pembanding Bima1 (a) Bima2 (b) Bima3 (c) Semar10 (d) 5% LSD CV (%)
154,0 179,9 161,8 138,4 3,5 2,9
155,8 179,7 161,7 140,7 3,9 2,5
152,2 180,1 162,0 136,1 5,4 3,2
Notasi a, c, dan d artinya berbeda nyata terhadap kultivar pembanding masing-masing berturut-turut Bima 1, Bima 3, dan Semar 10.
72
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 2 2009
tertinggi (0,8), dan memiliki jumlah baris per tongkol dan jumlah biji per baris yang tinggi pula. Hibrida T2T7 memiliki jumlah baris per tongkol, jumlah biji per baris, dan bobot 1.000 biji yang cukup tinggi. Nilai jarak genetik dan bobot biji tidak selalu konsisten, seperti bobot biji tertinggi terdapat pada pasangan hibrida dengan nilai jarak genetik sedang. Sebaliknya, nilai jarak genetik tertinggi tidak diikuti oleh bobot biji yang tertinggi walaupun masih berbeda nyata dengan salah satu varietas pembanding. Hal yang sama juga terjadi pada nilai duga DGK dan heterosis. Dengan demikian bobot biji tertinggi tidak selalu dihasilkan oleh pasangan persilangan yang mempunyai nilai jarak genetik tertinggi.
Panjang dan diameter tongkol adalah bagian dari komponen hasil. Salah satu kelemahan dari set persilangan hibrida ini adalah belum mampu menghasilkan panjang tongkol dan diameter tongkol yang bisa bersaing dengan varietas pembanding, khususnyaBima 2 dengan potensi hasil 11 t/ha. Estimasi Nilai Duga Parameter Genetik Hasil analisis DGK terhadap bobot biji berbeda nyata berdasarkan uji t5%. Nilai DGK tertinggi (72,64) terdapat pada hibrida T1T6 dengan nilai jarak genetik 0,74, dan terendah (-27,37) pada hibrida T2T3 dengan nilai jarak
Tabel 3. Penampilan rata-rata beberapa karakter fenotipik hibrida F1 hasil silang tunggal.
Genotipe
Bobot biji (g/tan)
Rendemen biji
Hibrida T1T2 T1T3 T1T4 T1T5 T1T6 T1T7 T2T3 T2T4 T2T5 T2T6 T2T7 T3T4 T3T5 T3T6 T3T7 T4T5 T4T6 T4T7 T5T6 T5T7 T6T7
131,66 125,98 120,46 125,08 168,48 acd 109,82 85,09 154,50 d 150,14 d 154,73 d 170,66 acd 155,23 d 138,42 148,46 d 160,10 ad 152,33 d 136,11 147,68 d 144,43 d 147,09 d 122,97
0,76 0,79 0,78 0,78 0,80 0,72 0,77 0,76 0,77 0,75 0,75 0,76 0,76 0,78 0,75 0,78 0,77 0,71 0,77 0,75 0,78
Tetua T1 (P5/GM26-22) T2 (Bisma-140-2) T3 (BM(S1)C0-172) T4 (Mr4) T5 (SP007-68) T6 (SP008-120) T7 (Mr14)
53,91 49,93 41,02 44,55 41,83 35,16 30,85
Pembanding Bima 1 (a) Bima 2 (b) Bima 3 (c) Semar 10 (d) 5%LSD CV (%)
a abcd abd abd abcd
Panjang tongkol (cm)
Diameter tongkol (cm)
Jumlah baris/ tongkol
Jumlah biji/ baris
bobot 1.000 biji (g)
18,5 15,8 16,9 17,0 18,1 18,4 17,6 18,9 19,2 19,5 c 19,2 18,2 18,5 18,6 19,9 c 17,2 18,6 19,1 17,0 18,2 16,9
4,8 4,5 4,5 4,6 4,6 4,6 4,7 4,9 4,9 4,8 5,0 5,0 4,9 4,8 5,1 4,8 4,4 4,7 4,3 4,8 4,2
14 ad 14 ad 14 13 15 acd 14 d 13 15 acd 15 acd 15 acd 14 d 15 acd 14 acd 15 acd 14 15 acd 14 d 13 14 14 14 ad
32 d 33 ad 31 32 d 36 abcd 27 27 33 ad 34 ad 35 acd 34 ad 35 abcd 34 acd 36 abcd 34 ad 35 acd 34 ad 31 d 36 abcd 33 ad 32 d
292,2 272,2 283,0 292,2 323,7 295,0 232,5 308,5 298,9 288,8 354,9 abcd 300,7 278,9 276,2 341,0 d 287,9 287,7 362,2 abcd 293,2 328,0 274,4
0,79 0,61 0,71 0,68 0,73 0,78 0,43
15,5 13,1 8,0 10,5 9,5 16,8 12,8
4,4 3,6 2,7 2,5 3,2 4,2 3,4
13 13 12 12 12 12 11
23 21 18 20 19 20 15
182,2 183,6 183,9 182,3 180,8 141,4 180,4
154,03 179,89 161,83 138,38
0,73 0,74 0,76 0,75
18,9 21,0 17,6 18,6
4,8 5,2 4,9 4,8
14 15 14 14
32 35 34 30
350,6 347,6 340,3 334,6
3,45 2,90
0,03 3,50
1,75 10,50
0,37 8,50
0,34 2,50
0,44 1,50
2,37 0,90
ab a ab
a a abd abd ab ab abd
Angka yang diikuti oleh notasi a, b, c, d pada data fenotipik hibrida berbeda nyata terhadap kultivar pembanding berturut turut Bima 1, Bima 2, Bima 3, dan Semar 10.
73
PABENDON ET AL.: KORELASI JARAK GENETIK INBRIDA DAN FENOTIFIK HIBRIDA JAGUNG
Tabel 4. Estimasi daya gabung khusus (DGK) pasangan inbrida pada dua lokasi, MH 2007
Tabel 5. Nilai duga DGU tujuh inbrida yang digunakan sebagai tetua dalam pembentukan hibrida.
DGK Hibrida
T1T2 T1T3 T1T4 T1T5 T1T6 T1T7 T2T3 T2T4 T2T5 T2T6 T2T7 T3T4 T3T5 T3T6 T3T7 T4T5 T4T6 T4T7 T5T6 T5T7 T6T7 Intragrup Antargrup BK5% ttabel
Jarak genetik 0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73 0,65 0,73
Daya gabung umum (DGU) Inbrida (Tetua)
Gabungan 19,61 18,14 10,63 19,84 72,64 15,16 -27,36 40,05 40,28 54,27 71,38 44,99 32,77 52,22 65,03 44,69 37,88 50,62 50,78 54,62 39,90 3,46 44,32 3,79* 1,99
KP Bajeng 21,16 18,24 8,26 17,03 47,84 0,68 -29,54 26,89 46,51 28,17 45,00 51,89 22,13 35,22 38,77 23,79 13,03 33,24 39,45 31,78 7,44 3,29 28,73 4,55*
KP Muneng 14,54 17,50 3,09 6,74 61,75 -2,74 -29,22 39,80 14,64 41,18 61,89 27,66 26,96 33,00 58,38 39,78 17,14 25,73 10,53 29,17 4,31 0,94 27,72 5,19*
* = Nilai DGK antarpasangan inbrida baik pada hasil analisis gabungan maupun hasil analisis per lokasi berbeda nyata berdasarkan nilai beda kritis (BK).
genetik 0,54. Di KP Bajeng nilai DGK tertinggi (51,89) terdapat pada hibrida T3T4 dengan nilai jarak genetik 0,73 dan terendah (-29,54) pada persilangan Bisma-1402 X BM(S1)C0-172 (hibrida T2T3). Di KP Muneng, nilai DGK tertinggi (61,25) terdapat pada persilangan T1xT6 dan terendah (-29,22) juga pada hibrida T2T3. Nilai ratarata antargrup (44,32) lebih besar dibanding nilai ratarata intragrup (3,46) (Tabel 4). Hasil analisis menunjukkan tetua dengan nilai duga DGU tertinggi (0,36) adalah inbrida Bisma-140-2 (T2). Hanya T2 yang mempunyai nilai DGU yang positif. Hasil analisis per lokasi, yang tertinggi (7,34) di KP Bajeng adalah pada inbrida SP007-68 (T5), sedangkan di KP Muneng (3,99) adalah inbrida Mr4 (T4) (Tabel 5). Estimasi heterosis rata-rata tetua (MPH) dan tetua tertinggi (HPH) berdasarkan analisis gabungan, nilai tertinggi terdapat pada hibrida T3T7 masing-masing 345,50 dan 290,24. sedangkan terendah pada hibrida T2T3 masing-masing 87,12 dan 70,44. Hasil analisis per lokasi, di KP Bajeng, heterosis rata-rata tetua (MPH) dan tetua tertinggi (HPH) berdasarkan analisis gabungan, nilai tertinggi terdapat pada hibrida T5T6 masing-masing 321,42 dan 288,73, sedangkan terendah pada hibrida 74
Bajeng 5/GM26-22 (T1) Bisma-140-2 (T2) BM(S1)C0-172 (T3) Mr4 (T4) SP007-68 (T5) SP008-120 (T6) Mr14 (T7)
-3,72 0,88 -3,89 2,19 7,34 1,62 -4,42
Muneng Gabungan -4,80 3,35 -3,29 3,99 -4,33 2,35 2,73
-4,26 0,36 -3,86 -1,86 -6,45 -15,86 -17,03
T2T3 masing-masing 83,54 dan 67,80. Di KP Bajeng, heterosis rata-rata tetua (MPH) dan tetua tertinggi (HPH) berdasarkan analisis gabungan, nilai tertinggi terdapat pada hibrida T3T7 masing-masing 389,40 dan 332,61, sedangkan terendah pada hibrida T2T3 masing-masing 90,93 dan 73,23. Persentase heterosis rata-rata antargrup, baik heterosis rata-rata tetua maupun tetua tertinggi, lebih besar dibanding heterosis rata-rata intragrup dan berbeda nyata pada uji t5% (Tabel 6). Pada kedua lokasi penelitian masing-masing terdapat tiga hibrida dengan bobot biji yang berbeda nyata dengan varietas pembanding Bima 3. Hal ini menunjukkan bahwa keenam hibrida tersebut merupakan pasangan tetua dari kelompok heterotik yang berbeda dengan bobot rata-rata, berkisar dari 176,05 sampai 181,24 g/tanaman atau setara dengan 11,7 t sampai 12,1 t/ha. Keenam hibrida adalah T2T5 (Bisma-140-2×SP00768), T3T4 (BM(S1)C0-172×Mr4), dan T5T6 (SP00768×SP008-120) di KP Bajeng, dan T1T6 (P5/GM2622×SP008-120), T2T7 (Bisma-140-2×Mr14), dan T3T7 (BM(S1)C0-172×Mr14) di KP Muneng. Berdasarkan analisis gabungan di mana pengaruh lingkungan dikeluarkan, terdapat dua hibrida yang berbeda nyata dengan varietas Bima 3, yaitu T1T6 (P5/GM26-22×SP008120) dan T2T7 (Bisma-140-2×Mr14) dengan bobot biji berturut-turut 164,5 dan 170,7 g/tanaman. Korelasi Antara Jarak Genetik dan Penampilan Hibrida F1 Analisis korelasi dilakukan antara jarak genetik dan bobot biji (gabungan, KP Muneng dan KP Bajeng), jarak genetik dan DGK, jarak genetik dan heterosis tetua tertinggi, jarak genetik dan heterosis rata-rata tetua. Nilai korelasi gabungan berkisar antara 0,55-0,67, tergolong sedang. Korelasi tertinggi adalah antara nilai jarak genetik dan bobot biji, sedangkan yang terendah antara nilai jarak genetik dan heterosis rata-rata tetua. Nilai korelasi antara jarak genetik dengan parameter genetik yang dianalisis cenderung lebih tinggi di Bajeng. Nilai korelasi di antara nilai duga parameter genetik hampir sama pada kedua
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 2 2009
Tabel 6. Estimasi heterosis tetua tertinggi, dan heterosis rata-rata tetua hibrida F1 silang tunggal pada dua lokasi, MH 2007. Heterosis (%) Genotipe hibrida
Jarak Genetik
Gabungan
KP Bajeng
KP Muneng
Rata-rata tetua
Tetua tertinggi
Rata-rata tetua
Tetua tertinggi
Rata-rata tetua
Tetua tertinggi
T1T2 T1T3 T1T4 T1T5 T1T6 T1T7 T2T3 T2T4 T2T5 T2T6 T2T7 T3T4 T3T5 T3T6 T3T7 T4T5 T4T6 T4T7 T5T6 T5T7 T6T7
0,75 0,67 0,66 0,65 0,74 0,61 0,54 0,77 0,82 0,72 0,70 0,73 0,72 0,71 0,73 0,86 0,75 0,70 0,76 0,74 0,73
153,6 165,4 144,7 161,3 278,3 159,1 87,1 227,1 227,3 263,7 322,6 262,8 234,1 289,8 345,5 252,7 241,5 291,7 275,2 304,8 272,6
144,2 133,7 123,4 132,0 212,5 103,7 70,4 209,5 200,7 209,9 241,8 248,4 230,9 261,9 290,2 241,9 205,5 231,5 245,3 251,6 249,8
158,7 166,3 153,1 185,5 261,7 158,8 83,5 210,4 267,8 240,9 287,5 288,3 237,5 284,7 303,9 247,6 235,5 295,0 321,4 312,8 264,6
150,9 136,8 129,6 155,2 201,1 103,7 67,8 189,6 238,0 191,1 212,1 279,8 235,6 256,7 250,8 241,9 204,8 236,7 288,7 256,8 239,6
148,3 164,5 136,1 136,1 295,6 159,5 90,9 244,2 184,5 287,9 359,3 236,4 230,5 295,1 389,4 257,9 247,7 288,5 226,2 296,4 281,1
137,4 130,5 117,1 108,3 224,2 103,8 73,2 230,4 161,4 229,8 273,3 258,1 225,9 311,0 332,6 242,0 206,2 226,3 199,4 246,2 260,7
Intragrup Antargrup thitung 5% Ttabel
0,65 0,73
135,4 253,0
116,1 216,1
136,2 253,2
118,5 217,3
134,6 252,9
113,7 219,8
13,75* 1,99
* = Nilai heterosis hibrida pada hasil analisis gabungan dan hasil analisis per lokasi berbeda nyata berdasarkan nilai t_Student (5%)
lokasi. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan, khususnya curah hujan yang lebih normal di Bajeng daripada Muneng. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa nilai korelasi tergolong sedang, dan korelasi tertinggi terdapat antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman. Secara umum terlihat bahwa jarak genetik yang sempit cenderung menghasilkan bobot biji yang rendah, utamanya pada hibrida T2T3. Nilai jarak genetik sedang sampai tinggi cenderung menghasilkan bobot biji yang tinggi. Berdasarkan lokasi, nilai korelasi antara jarak genetik dan bobot biji yang diamati lebih tinggi di Bajeng dibanding dengan Muneng (Tabel 7). Hal tersebut disebabkan karena kondisi iklim di Bajeng normal sedangkan di Muneng lebih kering, sehingga karakterkarakter akan lebih terekspresi di Bajeng dibandingkan dengan Muneng. Oleh sebab itu, untuk penelitian dasar seperti ini, pengujian lapangan cukup dilakukan pada kondisi normal. Menurut Dias et al. (2004), jumlah marka molekuler yang digunakan sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam seleksi tetua, sehingga pasangan tetua dengan jarak genetik yang relatif tinggi
Tabel 7. Korelasi (r) antara nilai jarak genetik dengan bobot biji, DGK, dan heterosis pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP. Muneng). Korelasi (r) Parameter genetik Bajeng Jarak genetik dengan bobot biji (g/tanaman) Jarak genetik dengan DGK Jarak genetik dengan heterosis rata-rata tetua Jarak genetik dengan heterosis tetua tertinggi
Muneng Gabungan
0,72
0,52
0,67
0,62 0,57
0,52 0,41
0,59 0,51
0,68
0,51
0,64
tidak selalu menjadi pasangan persilangan heterotik yang terbaik, tetapi juga dapat diperoleh dari hasil persilangan tetua-tetua dengan jarak genetik yang sedang. Moll et al. (1965) mengemukakan bahwa tetua jarak jauh tidak selalu memberikan hasil yang tertinggi karena kombinasi gen yang tidak sesuai (incompatible) pada dua tetua akibat adanya perbedaan genetik yang sangat tinggi. Kemungkinan lain yang menyebabkan
75
PABENDON ET AL.: KORELASI JARAK GENETIK INBRIDA DAN FENOTIFIK HIBRIDA JAGUNG
korelasi belum maksimal adalah paket marka yang digunakan untuk mengkarakterisasi jarak genetik, baik dalam percobaan ini maupun yang digunakan oleh Dias et al. (2004) mungkin belum merupakan paket marka yang terbaik. Jika paket ini ditemukan dan dapat meningkatkan nilai korelasi dalam kaitannya dengan peningkatan heterosis maka akan sangat berguna dan efisien untuk diaplikasikan oleh pemulia. Tsegaye et al. (1996) mengemukakan bahwa jumlah primer yang digunakan harus banyak untuk memperoleh hasil analisis yang akurat. Sedikitnya jumlah marker yang digunakan juga merupakan alasan utama kurangnya pemanfaatan isoenzim, karena selain tidak meliputi seluruh genom juga menghasilkan korelasi yang sangat lemah terhadap marka yang lain dan terhadap kondisi lingkungan yang memungkinkan. Faktor lain yang berpengaruh adalah faktor lingkungan, khususnya untuk karakter kuantitatif seperti bobot biji. Sant et al. (1999) mengemukakan bahwa hubungan nonlinier yang terjadi antara jarak genetik dan hasil yang eratik (tidak menentu) dari sejumlah hasil penelitian disebabkan oleh pengaruh lingkungan, sehingga untuk mendapatkan korelasi yang akurat maka data lapangan yang diperlukan adalah yang berasal dari lingkungan yang optimal untuk pertumbuhan jagung. Nilai duga DGK rata-rata antargrup lebih besar dibandingkan nilai duga DGK intragrup. Heterosis ratarata antargrup baik berdasarkan rata-rata tetua maupun heterosis tetua tertinggi, juga lebih tinggi dibandingkan intragroup. Hasil tersebut konsisten dengan bobot biji, yang menunjukkan bahwa hibrida dari tetua dengan kelompok heterotik yang berbeda akan menghasilkan heterosis yang lebih tinggi dan berbeda nyata berdasarkan uji t5%. Menurut El-Maghraby et al. (2005), metode yang digunakan dalam program pemuliaan hibrida akan lebih sederhana, efisien, dan relatif murah jika dapat memprediksi heterosis lebih dini sebelum percobaan di lapangan, guna mengurangi sejumlah persilangan, pengurangan jumlah evaluasi di lapangan, serta mempercepat program pembentukan hibrida. Berdasarkan kemampuan bergabung, hasil persilangan antargrup dengan tetua T2 (Bisma-140-2) secara umum menghasilkan bobot biji yang tinggi dan berbeda nyata terhadap minimal salah satu varietas pembanding. Nilai estimasi DGU secara gabungan menunjukkan hanya T2 yang menghasilkan nilai positif. Artinya, inbrida tersebut merupakan penggabung umum yang baik di antara tetua yang lain. Persilangan antara dua galur inbrida penggabung umum yang baik tidak selalu menunjukkan DGK yang baik, tetapi penggabung umum yang sedang atau kurang juga dapat menunjukkan DGK yang baik (Maurya and Singh 1977; Silitonga et al. 1993).
76
Dalam penelitian ini tidak terdapat hibrida yang menghasilkan bobot biji yang lebih tinggi dari varietas Bima 2 walaupun jarak genetik memperlihatkan variasi yang cukup luas. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh penggunaan tetua hibrida jarak jauh yang terbatas karena penggunaan tetua jarak genetik dekat dan sedang juga diikutkan untuk mendapatkan nilai korelasi yang merupakan tujuan utama penelitian ini.
KESIMPULAN Jarak genetik antartetua hibrida yang rendah (<0,70) menghasilkan hibrida dengan bobot biji yang rendah, sedangkan jarak genetik antartetua hibrida sedang sampai tinggi (>0,70) menghasilkan hibrida dengan bobot biji tinggi. Nilai korelasi yang tergolong sedang mengindikasikan bahwa antara nilai jarak genetik sedang sampai tinggi belum secara tegas memprediksi bobot biji, nilai DGK, dan heterosis sedang sampai tinggi. Pembentukan kelompok heterotik berbasis marka molekuler cukup efektif dalam seleksi tetua untuk memprediksi tetua hibrida lebih awal. Terdapat enam hibrida harapan yang dapat diuji lebih lanjut, yaitu T2T5 (Bisma-140-2×SP007-68), T3T4 (BM(S1)C0-172×Mr4), T5T6 (SP007-68×SP008-120), T1T6 (P5/GM26-22×SP008120), T2T7 (Bisma-140-2×Mr14), dan T3T7 (BM(S1)C0172×Mr14).
DAFTAR PUSTAKA Ãrcade A., P. Faivre-Rampant, B. Le Guerroué, and LE Pagues. 1996. Heterozigosity and hybrid performance in larch. Theor. Appl. Genet. 93:1274-1281. Dias, L.A.S., E.A.T. Picolt, R.B. Roca, and A.C. Alfenas. 2004. A priori choise of hybrid parents in plants. Genet. Mol. Res. 3(3):356-368. El-Maghraby, M.A., M.E. Moussa, N.S. Hana, and H.A. Agrama. 2005. Combining ability under drought stress relative to SSR diversity in common wheat. Euphytica 14:301-308. Falconer, D.S. and T.F. Mackay. 1997. Introduction to quantitative genetics. Longman, London. Hallauer, A.R., and J.B. Miranda. 1988. Quantitative genetics in maize breeding. second edition. Iowa State University Press/ Ames. Iowa. p. 337-368. Maurya, D.M and D.P. Singh. 1977. Combining ability in rice for yield and fitness. Indian J. Agric. Sci. 47(2):65-70. Melchinger, A.E., 1999. Genetic diversity and heterosis. p. 99-118. In: J.G. Coors and S. Pandey (Eds.). The genetics and exploitation of heterosis in crops. American Siciety of Agronomy/Crop Science Society of America Inc., Madison, W.I. Moll, R.H., J.H. Lonnquist, J.V. Fortuna, and E.C. Johnson. 1965. The relationship of heterosis and genetic divergence in maize. Genetics 52:139-144.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 2 2009
Sant, V.J., A.G. Patankar, N.D. Sarode, L.B. Mhase, M.N. Sainani, R.B. Deshmukh, P.K. Rajenkar, & V.S. Gupta. 1999. Potential of DNA markers in detecting divergence and in analyzing heterosis in Indian elite chickpea cultivars. Theor. Appl. Genet. 98: 1217-1225. Sibov, S.T., C.L. de Souza Jr., A.A. Garcia, A.R. Silva. 2003. Molecular mapping in tropical maize (Zea maize L.) using microsatellite markers. 2. Quantitative trait loci (QTL) for grain yield, plant height, ear height and grain moisture. Hereditas 139:107-115.
Singh, R.K. and B.D. Chaudary. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. Kalyani Publishers, Ludhiana, New Delhi. Tsegaye, S., T. Tesemma, and Gelay. 1996. Relationships among tetraploid wheat (Triticum turgidum L.) lanrace populations revealed by isozyme markers and agronomic traits. Theor. Appl. Genet. 93:600-605. Verhalen, L.M. and J.C. Murray. 1967. A diallel analysis of several fiber property traits in upland cotton. Crop Sci. 7:501-505.
Silitonga,T.S., Minantyorini, Lilis Cholisoh, Warsono, dan Indarjo. 1993. Evaluasi daya gabung padi bulu dan cere. Peneltian Pertanian 1:6-11.
77