To Be Continued Orang bilang, jika balikan dengan mantan itu seperti membaca buku untuk kedua kalinya -yang bahkan endingnya tetap sama seperti di awal membaca, dan kita tahu itu. Namun bagaimana jika Clarrisa Crystabelle, hanyalah gadis yang sangat mencintai segudang penuh buku-bukunya. Seorang gadis yang sangat menggilai buku-buku novelnya, yang bahkan rela jika harus mengulang kembali membaca beberapa buku yang sangat disukainya jika ia belum mampu untuk membeli buku keluaran terbaru dengan uang sakunya sendiri.
Part 1: To Be Continued Tidak ada salahnya jika sesekali kita harus mengulang membaca buku yang telah kita baca, dan terlebih kalau itu telah masuk ke dalam 'list favorite'. Tidak ada salahnya kita mengulang, jika memang kita sendiri bahkan belum mampu untuk membeli buku keluaran baru guna pengganti buku sebelumnya. Jadi, menurutku tidak ada salahnya jika kita masih menaruh harapan pada sang mantan jika kita bahkan masih belum mampu untuk mencoba move on dan mencari penggantinya. - Clarrisa Crystabelle
-------------------------------------------------------------------------------------------Hingga kini, aku masih memegang prinsipku dengan teguh, yaitu mencoba mengulang kembali lembaran cerita yang sebelumnya pernah kubaca, menulis kembali sequel dari cerita yang sebelumnya telah kucoba perbaiki dan berniat untuk membuat akhir yang lebih baik selanjutnya. Sama halnya dengan ceritaku. Saat ini yang aku inginkan tidak lain hanyalah kembali ke dalam dekapan sang mantan. Tidak perduli dengan apapun caranya, sekalipun itu dengan cara memalukan aku pasti akan tetap mencoba meluluhkan kembali hatinya. Walaupun aku tahu, keluarga dan teman-temanku selalu menghalang segala prinsipku dan melarangku untuk balikan dengan si mantan. Namun aku tidak mengambil pusing, aku sudah terlanjur jatuh pada sang mantan, yang sebelumnya sudah mengisi hari-hariku penuh warna. Apa aku terlihat bodoh? memang. Lebih baik jika yang lain terus mengatakan hal itu kepadaku daripada aku harus memaksa diri untuk membohongi perasaanku sendiri. Ah tidak usah munafik, jika memang masih sayang, kenapa harus gengsi untuk mencoba meminta kesempatan. Jika itu yang diinginkan demi kebahagiaan, maka buanglah jauh-jauh gengsi di hatimu dan lakukan apapun sebisamu. Karena hidup ini terkadang lucu. Tidak ada yang di bawah akan terus berada di bawah, dan tidak ada yang di atas selalu berada di atas. ***
Hari ini tepatnya sudah 14 hari setelah hari dimana aku diputuskan oleh dia, si manusia berkepala batu dan dingin itu, Devian Danuwinata. Entahlah, pada awalnya aku juga tidak tahu pasti sebenarnya, mengenai hal apa yang sampai-sampai bisa membuatku jatuh ke lubang yang terlalu dalam, hingga dengan polosnya pemikiranku langsung berkata, kalau hanya ialah yang dapat membantu dan menarikku keluar. Ia tampan? tentu saja. Tapi itu menurut pandanganku sendiri. Kenapa? karena temanku selalu mengatakan hal-hal seperti 'aku rasa matamu buram' 'aku rasa otakmu sudah terbentur'. Dan berbeda dengan keluargaku yang jika kutanya mereka hanya akan berdiam dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Kenapa sih? mereka selalu menyebut salah dalam seleraku. Padahal aku memang benar-benar mengatakan yang sesungguhnya, kalau Devian itu memang tampan! Ia juga baik, dan perhatian! Tapi lagi-lagi aku dikatakan salah, dan kalian tahu? bahkan lebih sadisnya aku dikatakan buta oleh mereka. Oke biarkan saja, mau bagaimana lagi. Karena cinta itu sifatnya memang membutakan! Ya, aku buta terhadap wajah tampan dan kulit putih mulus miliknya itu selama ini, terlebih lagi saat sudah melihat tetesan keringat bercucuran dari lehernya sehabis dia bermain futsal. Arghh Ya, aku juga buta terhadap sikap dingin nya yang kadang mencuekkanku saat aku mengomel, tapi yang ada aku malah melihatnya semakin tampan! Oke dan lagi aku juga buta terhadap sikapnya yang terkadang keras kepala itu, namun ia masih juga pandai dalam membujukku yang tengah merajuk, dan terkadang bahkan keahliannya yang selalu meluluhkanku yaitu ia suka memberi perhatian padaku secara diam-diam. Oh Dev!!! Tidak bisakah aku segera meluluhkan hatimu untuk kembali padaku?
***
Part 2: To Be Continued Aku telah bersiap dengan seragam dan tas ranselku di bahu. Aku bercermin dengan senyum pagi yang merekah, tentu karena semakin hari aku semakin bersemangat untuk bangun pagi dan segera berangkat ke sekolah. Jangan tanyakan kenapa, karena tentu saja aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang pujaan, Devian. Setelah turun ke lantai bawah dan mendarat di ruang makan, aku menyapa semua keluargaku dengan ceria yang saat itu masing-masing mereka baru hendak duduk di kursi. Lalu aku segera mencomot selembar roti yang sudah dioleskan selai Bluberry oleh mama. "Pagi Clara sayang." "Pagi anaknya papa." "Hoaam," oke yang satu ini adalah kakakku, si Farel. Dan lihatlah, bahkan ia belum membersihkan diri dan segera memakai seragam sekolahnya. Mau jadi apa dia, bahkan sebagai kakak saja tidak bisa dicontoh,
dasar. "Farel, kok lo belom mandiiiii." Setelah sedikit berteriak, kurasakan ia yang menjitak kepalaku, dan tentu aku sedikit meringis. Refleks. "Gila lo, semangat amat ini masih gelap woy!" bantahnya sambil tetap melahap sarapannya. Oke memang aku akui, kalau ternyata akulah yang bangun dan bersiap kepagian. "Cepetan pokonya gue gak mau telat!" Hanya ancaman, walaupun aku tau kalau tentu tidak bakal telat. Karena sudah pasti mama bakal menarik kunci mobilnya jika ia sekali saja membawa aku ke sekolahku dengan terlambat. Ralat, sekolah kita. Ya, karena aku dan kakakku bersekolah di sekolah yang sama. Lagian jarak sekolah dengan rumahku tidak begitu jauh, apalagi jika dengan mengendarai kendaraan. *** Dan seperti yang di perkirakan, kalau kami memang tidak bakal telat. Udara pagi hari disini masih terasa sangatlah dingin, dan kulihat halaman seputaran sekolah yang masih sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang sudah datang terlihat berjalan gontai. Berbeda sekali denganku, tepatnya setelah Farel memarkirkan mobilnya tadi di parkiran sekolah, aku yang tanpa basa-basi dengannya lagi langsung saja turun dari mobil dan setengah berlarian dengan setengah berloncatan ke arah salah satu gedung yang ditempati para murid kelas sebelas. Termasuk kelasku. Dari kejauhan sini aku dapat melihat pintu dan papan nama kelasku. Aku pun terus berjalan dengan sesekali bersiul, senyum merekah dari bibirku pun tak kunjung meluntur, melihat kelasku yang sudah semakin dekat. Tapi sebelum itu, hal yang pertama kali menjadi tujuanku di pagi hari seperti ini masih tetap sama seperti biasa, yaitu menuju kelas Devian. Yang kelasnya tepat di sebelah kelasku. Aku mendaratkan langkah berlari kecilku tepat di depan pintu salah satu kelas, yang sudah pasti kelas Dev. Aku pun melongokkan kepalaku ke dalam kelasnya, melirik ke sekitaran dan mendapati kelas yang masih kosong. Aku beranjak mendekati salah satu meja di barisan tengah yang ada di paling belakang, lalu menduduki salah satu kursi yang merupakan tempat duduk biasa Devian tersebut. Sejenak aku tersenyum sambil menatap ke arah meja yang hanya kosong tanpa benda apapun di atasnya. Lalu aku mulai membuka ranselku, bersiap mengeluarkan kotak bekalku dan akan meletakkannya di dalam laci milik Dev. Sekotak bekal yang tadi pagi sudah aku isi dengan roti berselai coklat sebelumnya. Karena Devian suka Chocolate. Beberapa menit pagi ini hanya aku habiskan dengan duduk berdiam di sini, yang namun otakku tentu saja tidak ikut berdiam. Ia yang dengan seenaknya malah memutarkan kembali memori disaat aku dan Devian sedang tertawa bersama di kelasnya, dan juga momen disaat ia tengah mencoba membujukku dengan beberapa jebakan yang ia buat agar aku dapat kembali tersenyum dan tertawa. Di kelas ini.
Part 3: To Be Continued
Saat ini aku masih mencari sesuatu. Buku, buku milikku. Ya, buku favorit milikku yang sebelumnya lupa kuletakkan dimana. Aku dengar-dengar sesosok ibu adalah pahlawan yang paling tepat, dalam mencari suatu barang yang tidak dapat kita temukan. Jadi, apa aku harus menanyakan mama juga soal ini?
*** Ini sudah memasuki hari ke-17. Namun, bahkan masih belum ada tanda-tanda bahwa Dev akan menerimaku kembali ke dekapannya. Oh ayolah Dev, apa lagi yang harus kulakukan demi meyakinkanmu untuk memberi kesempatan lagi padaku? Apa aku harus menyerah saja? Tidak, ya aku tidak boleh menyerah begitu saja. Ini belum apa-apa. Ayo Belle, semangat! Kulihat Ica dan Arin yang berada di ambang pintu kelas sedang berjalan menghampiriku, "Belle, kantin yuk!" Ah mereka memang paling tidak bisa untuk soal menggodaku, apalagi saat aku tengah hanya berdiam di kelas seperti ini. Tapi maaf saja, jangan pernah ada yang berani memanggilku dengan sebutan itu lagi! Selain Dev, tentunya. "Ngambek deh, yaudah kita aja yuk beli bubble nya Mang Uda." Baiklah untuk kali ini, hanya untuk kali ini aku telah menyatakannya dengan sendiri bahwa aku sudah berhasil digoda oleh si dua kunyuk itu. Langsung saja aku berlari keluar kelas menyusul mereka. Dan soal Dev? hm, entahlah. Dev tidak masuk sekolah hari ini. Ngeselin memang. Kira-kira dia kemana ya? *** Aku memesan Chocolate Bubble, walaupun padahal aku tidak begitu suka pada coklat. Tapi ini hanya mengingatkanku pada Dev. Omong-omong soal Dev, apa dia hari ini terlambat bangun? tapi padahal aku sudah berusaha mengirim pesan dan menelfonnya berulang kali saat tadi pagi, walaupun masih tidak ada juga balasan darinya. Lalu apa mungkin dia membuat tanda diam di handphone nya? Bisa jadi. Oh atau Dev memang berniat untuk memboloskan diri hari ini? Tapi, kukira itu bukan tipikal seorang Devian. "Akhh..." Dengan tetap meringis aku meremas perutku sendiri dengan sekuat tenaga. "Clarr, Clarrisa! eh kenapa lo???" kulihat Ica dan Arin kini mulai mengkhawatirkanku, oh mereka memang sungguh teman yang baik. Tapi itu masih belum sepenuhnya.
"Anjir, lo mesen rasa coklat?! kebiasaan lo emang!" Oke, yang ini baru sepenuhnya temanku. Ya, karena aku alergi dengan coklat. Mungkin, aku sedikit berbeda dengan orang-orang yang ada di luar sana. Coklat. Salah satu rasa yang mampu membuat perutku terasa sakit setelah menikmatinya, aneh. Padahal, coklat itu terasa manis dan sangat nikmat saat aku memakannya. "Gimana nih? apa gue panggil Kak Farel aja?" ide Arin boleh juga, tapi sayang sepertinya yang aku butuhkan saat ini bukanlah Farel. "Gak usah Rin." "Telfonin emak gue aja, Ca!" Sesekali meringis, aku melihat ke sekitaran kantin. Sebagian orang pada tengah melihatku aneh, dan ada juga yang sebagian melihatku seperti khawatir. "Tante, tan-" Melihat Ica yang sudah mendaratkan telfonnya di telinganya, aku langsung bergerak merebutnya.
Part 4: To Be Continued "Belle, maaf." "Maaf? maaf untuk apa?" "Cuma, maaf." "Kamu mulai aneh, Dev." "Aku rasa, kita gak bisa terus seperti ini. Maaf aku gak bisa terus ngejagain kamu lagi, dan kuharap akan ada penggantiku yang akan menjagamu dengan lebih baik lagi." "Apa-apaan sih?! Jangan ngawur Dev, woi lo udah bangun gak sih?!" "Belle.." "Maaf kelepasan! Abisnya apa-apaan tiba-tiba ngomong gitu sih, gak lucu tau ga, sama sekali gak lucu Dev!" "Ini emang gak ngelucu.." "Aku salah apa? Aku buat kesalahan apa selama ini? Aku gak selingkuh atau bahkan suka dengan cowo lain, Dev! Oh iya ada satu." "....." "Ayahku, ya tentu saja. Oh tidak, tidak, benar-benar ada satu lagi." "Belle-" "Kak Farel, iya walaupun terkadang dia ngeselin, tapi aku tetep sayang dengannya kok. Hahaha" "Aku, pergi dulu."
"Ah gak, no! Dev, kita belom selese! Sekarang jelasin, apa alasan kita untuk berhenti disini? Apa aku tanpa sadar melakukan hal yang fatal??" "Tidak, kamu gak salah Belle." "Haha seperti ini dikatakan tidak melucu, jelas sekarang kalau aku gak punya salah kenapa kita harus berhenti sekarang!!" "Aku gak bisa ngejelasin." "Aku masih sayang kamu, Dev..." "Jangan nangis, Belle. Maaf." "Kamu tega.." "Iya aku tega, aku jahat. Maaf." "......" "......" "......" "Sepertinya aku udah gak ada rasa," "......" "Aku pergi dulu, mama manggil. Jangan nangis, dan jangan lupa jauhin coklat, Belle!!"
"WOI!!" "Anjritt, kagetin!!" Aku tersentak dan menoleh pada dua kunyuk yang baru saja datang dan hampir membuatku jantungan. Siapa lagi kalau bukan Ica dan Arin, memang sialan mereka. "Haha, lagian siapa suruh lo ngelamun di kelas, mana sendirian gini, mikirin Devian lagi? udahlah Clar, mungkin itu memang jalan terbaik." Ucap Arin dengan memasang wajah tanpa dosanya itu. Rasanya ingin sekali kujambak rambut ikalnya si Arin saat ini. Untung saja karena aku masih punya hati nurani nan suci. "Lo gila?! Lo kan tau ceritanya! Dia mutusin gue tanpa alasan lho, Rin!!!" Sengaja kunaikkan nada suaraku agar mereka cepat tersadar dan tidak seenaknya saja menyuruhku menyudahi semuanya. Dan mereka tampaknya sedang mengiyakan kata-kataku, sehingga kulihat mereka hanya saling menatap saat ini. "Clarr, lo lupa? dia bilang kan, kalo dia udah gak punya rasa.." Oke, sepertinya aku salah dalam menebak kalau mereka mengiyakan perkataanku sebelumnya. Tapi kenapa dipelankan suaramu itu Ica? Oh sial, seharusnya itu harus lebih pelan lagi sehingga aku tidak bisa mendengarnya!
Part 5: To Be Continued Mobil yang sedang dilajukan Kak Farel kini sudah berhenti, menandakan mobil telah terparkir dengan pas di
parkiran sekolah. Dengan segera aku merangkul tas ranselku dan bersiap untuk turun dari mobil. "Kak duluan ya!" pamitku. Berlari dengan bersenandung kecil dalam suasana hati yang merekah menanti sang pujaan dicuaca pagi yang masih dingin seperti ini adalah salah satu cara yang bagus. Karena dengan secara tidak langsung pasti akan membuatmu dapat berolahraga sejenak sekali membiarkan kaki tercegah dari rasa kaku. Berhubung aku salah satu dari sekian orang yang tidak begitu mementingkan olahraga, atau lebih tepatnya malas. Jadi kurasa, merasakan jatuh cinta adalah salah satu alasan yang tepat. Aku berhenti berlari, berganti dengan berjalan pelan aku masuk ke kelas Devian, sudah ada beberapa orang yang telah datang pagi ini. Wah, padahal biasanya aku selalu sendiri saat datang awal kemari. "Eh Clarrisa. Mau delivery?" Tanya Fajar, yang merupakan teman kelas Devian. "Ehe iya, diem aja ya." Dan sepertinya julukan Clarrisa si tukang Delivery kini sudah tidak asing. Kulihat mereka hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku. Oke biarkan saja mereka terus berpikir atau berkomentar tentang apa yang aku lakukan, ini kan kehidupanku. Aku menatap ke arah kotak bekal yang hari ini aku bawa. Hari ini aku membawa Omellete Daging untuk Dev, dan semoga saja dia suka. Yah karena aku memang tidak begitu pandai memasak. Dan Dev juga tahu itu. Setelah selesai menyelipkan kotak bekal di laci Dev, aku beranjak ke kelasku sendiri, kembali menyapa sebagian murid yang telah datang seperti biasa, dan mereka kembali menyapaku dengan ramah.
*** Bel pulang dibunyikan, semua murid yang masih berada di kelas pun sontak langsung bersorak ria dengan aksi kalang kabutnya membereskan buku mereka masing-masing. Dan berhubung jam istirahat tadi aku diberikan hukuman oleh guru Seni karena telah mengoceh dengan Ica dan Arin di jam pelajarannya, sehingga aku dan mereka berdua pun mau tak mau harus menerima tugas hukuman dengan membantu penjaga pustaka untuk membereskan buku-buku yang berkotak-kotak kardus banyaknya, jadilah aku yang tidak mendapat kesempatan waktu untuk bertemu dengan Devian sedari tadi. Sungguh patut disayangkan. Dengan cepat aku segera merapikan buku-buku milikku dan langsung merangkul tas ranselku. "Clarr, ntar sore Mall yuk. Kita jumpa di tempat biasa aja, jam empat ntar oke!" Aku sedang buru-buru, sehingga aku hanya mengacungkan jempol sembari mengangguk mengiyakan ajakan Ica dan Arin tadi, lalu langsung berlari keluar kelas. Aku melongok ke dalam kelas Devian yang tepat berada di sebelahku. Kulihat beberapa murid yang lain juga masih berada di dalam kelasnya, dan Devian juga termasuk. Aku berdiri di depan pintu menunggu antrian murid yang ingin keluar dari kelas mereka, juga turut menunggu Devian yang ikut keluar.
"Dev!" Aku memanggil dengan sedikit keras dan ia langsung melihatku, oh aku rindu sekali dengannya. "Kenapa? aku duluan ya?" tanyanya tiba-tiba. "Jangan!" Dengan refleks aku mencegahnya dan langsung menggeleng dengan cepat. Sudah lama tidak bertatap muka dengannya, sudah lama tidak berbicara panjang dengannya. Dan itu hanya semakin membuatku egois dengan ingin segera meraihnya kembali. "Buru-buru amat sih, gak bisa ngomong sebentar apa?" kulihat ia melirik ke kiri kanannya, yah memang kami masih berada di ambang pintu kelasnya saat ini. Dan kini kurasakan ia mulai menarikku ke dalam kelasnya, tepat di kursi tempat duduknya.
Part 6: To Be Continued Kenangan itu, masih saja terus kembali terngiang-ngiang dibenakku. Tak henti-hentinya memamerkan setiap adegan-adegan manis seperti dimana saat aku tengah duduk bersamanya di taman kota dengan satu cup es cream yang mulai mencair di tangan kami masing-masing. Kembali ia memamerkan adegan reka ulang dimana saat itu aku tengah tidak berhubungan dengan baik dengannya. Dia menjadi semakin cuek denganku, jarang membalas pesanku, dan bahkan ia dengan teganya mengabaikan semua telfon dariku berulang kali. Padahal, ia paling tidak suka dengan hubungan yang seperti itu. Memaksakan hati untuk mengabaikan yang pada nyatanya hanya membuat diri sendiri semakin teriris. Namun, ternyata ada sesuatu yang besar di balik semua itu. Di balik semua sifat dan ucapan aneh yang ia tunjukkan padaku, ada sesuatu yang manis tengah menungguku disana. Tepat dimana hari ulang tahunku, Dev telah mempersiapkan semuanya dengan sangat-sangat sempurna, dan tentu mendapat nilai plus di balik bakat terpendam aktingnya itu. Aku tak habis-habisnya terpukau oleh semua rancangan yang telah ia lakukan di taman kota waktu itu, sangat indah. Salah satu hari yang paling terindah yang pernah kuingat setelah aku lahir. Terima kasih, Dev. Walaupun sampai saat ini aku masih tidak mengetahui alasan mengapa dia bertingkah seperti itu padaku. Dan yang kupikirkan hanyalah, jika ini tidak segera terselesaikan, kuharapkan ada lagi sesuatu yang indah menungguku dibalik ini semua. Entah itu berujung dengan hubunganku yang kembali baik-baik padanya, entah juga kejutan apa lagi yang telah di rancangnya dengan baik. Kuharap, yang pasti itu tidak akan mengecewakanku nantinya.
*** Kembali ke kebiasaanku, dimana saat-saat aku belum bertemu dengannya.
Di saat aku masih belum mau untuk menjalankan suatu hubungan ataupun merasakan cinta untuk saat itu. Berjalan masuk dari parkiran menuju koridor sekolah dengan kepala yang menunduk. Hanya sibuk menatapi pola berbentuk kotak-kotak yang terdapat di lantai keramik koridor. Sesekali aku sedikit melompat dengan melebarkan langkah kakiku, hanya berusaha untuk melewati sekotak keramik yang berada di bawahku. "Aw!" Pekikku setelah sadar sepertinya aku sudah terlalu berlebihan fokus pada lantai keramik. "Jalan emang make kaki, tapi matanya tetep di gunain dong. Itu gunanya kita diberi mata." Seseorang menyentil jidatku. Aku kembali meringis sembari mengelus di mana tempat seseorang menyentil dahiku barusan. "Oke oke, sorry." "Eh lo sakit?" aku mengadahkan kepalaku sedikit ke atas, "lo lagi." Sebuah telapak tangan yang sedikit besar dengan suhu yang hangat kini mendarat di jidatku. "Lumayan panas, tinggal nunggu demamnya dateng." "Setan, lo doain gue sakit??" aku melotot menatapnya, seenaknya saja kalau berbicara. "Lah emang udah agak panas, gue cuma bilang doang karna itu udah nimbul gejala." Dan dia berlalu pergi melewatiku. Tunggu, bukannya kelas dia berada di sebelah kelasku? kenapa dia balik? apa mungkin dia mau bolos??? "Anjir!" "Serius amat sih kelilingin semua koridor sekolah, sampe kelas dimana aja lupa." Aku berbalik ke belakang, kudengar ia yang masih berjalan dengan tertawa sejenak.
Part 7: To Be Continued Cuaca cerah siang hari ini bersama dengan beberapa kicauan burung turut menemani dalam keheninganku membaca, membaca buku novelku yang masih belum kuselesaikan dalam waktu dua minggu ini. Aku juga tidak mengerti, ini suatu hal yang langka menurutku. Karena biasanya aku sudah pasti akan menyelesaikan membaca ratusan lembaran novelku hanya dalam waktu seminggu. Yah sekiranya segitu. Namun berbeda dengan kali ini, entah mengapa akhir-akhir ini aku memang menjadi sangat jarang menyentuh buku-buku novelku. Di balkon kamar, aku duduk bersantai dengan bersandar di atas sofa berbahan lembut yang senantiasa memanjakanku untuk bermalasan disini setiap harinya. Di temani dengan tambahan meja bulat yang saat ini ditumpuki oleh sepiring donat, secangkir hot cocholate dan handphone milikku. Ini hari minggu, hari libur nasional. Karena itulah aku hanya dapat bermalasan seperti ini sedari tadi. Sekiranya sudah ada satu jam lebih aku duduk membaca buku novelku disini. Namun, baru sekaranglah aku tersadar bahwa dari tadi yang aku lakukan disini hanyalah menatap lembaran buku yang ada di genggamanku dan membolak-balikkan lembarannya, tanpa ada sebaris kalimat pun yang telah aku baca
dapat kupahami. Ternyata sedari tadi aku tidaklah membaca, atau lebih tepatnya karena pikiranku yang melayang-layang ke arah lain. Entah apa saja yang sudah aku pikirkan sejak tadi, aku tidak tahu. Hingga aku berniat untuk menghentikan aktifitas membolak-balik lembaran buku novelku. Aku menutup dan meletakkannya di meja bulat yang ada di sebelah sofa, dan beralih meraih handphoneku. Entah apa yang aku pikirkan, yang jelas saat ini aku tengah mencari seseorang dari daftar obrolan LINE. Clarrisa Crystabelle: Hai, Dev? Melihat masih belum ada tanggapan langsung, aku beralih membuka beberapa sosmed milikku yang lain. Dan hal yang pertama kali aku buka saat ini adalah Instagram, setelah layar beranda telah terbuka aku langsung mengetik username IG milik Devian dikolom pencarian. Happy memories don't dissapear. Sekiranya begitulah caption pada foto yang terakhir kali di upload-nya. Dimana ada seorang wanita dan lakilaki tengah tertawa bersamaan, mereka sangat tampak bahagia difoto itu. Dan aku kembali tersenyum sesekali saat membaca beberapa komentar pada foto yang diunggahnya. Foto itu memang sudah diunggah sebulan yang lalu olehnya, namun masih saja aku merasa kalau kejadian nyata yang terjadi dibalik gambar ini masih baru beberapa hari yang lalu. Dan aku ingat sekali, kalau foto ini diunggah oleh Dev saat hari setelah hari jadi kami yang kelima bulan. Ya, wanita yang ada di foto itu adalah aku. Masih ada aku yang berada disitu. Selagi merenung aku sedikit tersentak, merasakan handphone-ku yang bergetar menandakan ada notif baru. Itu adalah notif dari LINE milikku. Devian Danuwinata: Hi, Belle:) apa kabar? Aku mengusap kedua mataku, memastikan kalau saat ini aku sedang tidak salah membaca. Aku kembali memastikannya lagi, namun nyatanya kalau aku memang tidak salah dalam membacanya. Dev bertanya kabarku! Ini suatu permulaan yang baik! Karena biasanya Dev hanya akan menyapaku balik jika aku menyapanya seperti tadi, dan berlanjut hanya akan sekedar menjawab pertanyaan membosankan dariku hingga akhirnya dia akan selalu mencari cara untuk memberhentikan obrolan denganku. Seperti 'aku mau latihan futsal, bye Belle' Ugh itu sangatlah membosankan. Dan untuk kali ini saja, aku berharap kami akan dapat mengobrol lebih lama seperti dalam hubungan yang baik-baik. Apakah bisa, Dev?
Part 8: To Be Continued Oke si dua kunyuk mampir di mulmed. Udah pasti pada tahu kan itu siapa? ayo tebak??? ehe So, langsung saja.
Happy reading! xx -----------------------------------------------------------------------------------------Bel penanda jam istirahat baru saja berderu, dan beruntungnya sampai jam ini masih belum ada salah satu guru pun yang masuk mengajar, atau bisa di bilang kelasku jamkos sedari tadi pagi. Kecuali hanya ada salah satu guru yang hanya masuk untuk mengabari bahwa guru yang seharusnya datang untuk mengajar kami sedang kurang sehat sehingga ia hanya menitipkan beberapa tugas kepada kami. Walaupun murid kelasku sepakat dari awal untuk tidak mengerjakannya. Karena apa? karena suatu usaha yang di lakukan tanpa di hargai itu adalah suatu hal yang sangat sia-sia. Ya, kami sudah mengetahui kalau saja dengan nurutnya kami membuat tugasnya lalu di kumpulkan ke mejanya, itu juga pasti tidak akan di periksa atau bahkan di masukkan ke dalam daftar nilai kami. Juga nyatanya hal itu bukanlah terjadi untuk pertama atau kedua kalinya. Selalu. Sehingga pada saat free time seperti ini sebagian murid di kelas hanya bebas melakukan apapun, termasuk pada kelompok cewe yang sedang ber-selfie ria di pojok sana, dan bahkan lagi ada juga yang keluar pergi ke kantin. Termasuk aku bersama Ica dan Arin tadi, sehingga saat jam istirahat ini bukannya berniat pergi untuk ke kantin aku malah hanya duduk santai di kursiku dengan earphone yang aku pasangkan di telingaku. Sedikit merasa bosan juga ternyata jika hanya menghadapi jamkos sedari tadi. "Sshht." Merasakan lenganku yang di sikut oleh seseorang yang ada di sebelahku, aku beralih menoleh dan mendapati Sania yang menduduki kursi biasa Ica sebelahku. Aku melepas earphone disebelah kananku. "Clarr, itu di depan ada yang nyariin lo!" Ujar Sania. Aku pun menyerngit dan mulai menebak. "Siapa? Devian?" "Bukan! Anak baru kelas sebelah." Aku menampilkan aksi ber-oh ria di hadapan Sania lalu segera beranjak mendekati pintu kelas. "Apaan Dan?" Daniel langsung berdiri menghadapku setelah sebelumnya dia hanya berdiri bersandar dengan dinding kelasku. "Kantin yuk!" Mesti banget si Daniel ngajakin aku apa? "Temen kelas lo mana? ga punya temen apa lo?" dan Daniel hanya mengangkat bahunya. "Pada ke Lab, mau latihan buat praktek. Gue mah males." "Nah gue juga males, udah duluan tadi." Ucapku dengan melempar senyum kemenangan. Lagian ganggu banget padahal lagi pengen nyantai duduk diam dan dengerin lagu di kelas. "Gitu amat lo, ayolah!" Daniel mulai menarik-narik lenganku dan mulai memasang wajah layaknya anak kecil yang meminta sesuatu kepada ibunya. Tidak tahu mengatakan alasan lain lagi lantas aku hanya memutar bola mataku malas, dan berbalik melongokkan kepalaku ke dalam kelas. "San! Liat Arin ama Ica gak?" Setelah melirik ke sekitar kulihat Sania hanya mengangkat kedua bahunya. "Tau, kantin lagi kali!" Jawabnya. Yasudah kalau begitu, ah padahal aku berniat mau mengajak mereka bareng.
Part 9: To Be Continued Aku mendelik ke suatu arah, dimana kursi yang biasa di duduki oleh Devian kini hanyalah sebuah kursi kayu yang kosong tanpa ada yang mendudukinya. Oh aku juga tidak mengerti, walaupun sebelumnya sudah dikatakan oleh Fajar kalau Dev tidak hadir hari ini, namun aku masih juga berkeras hati untuk mencoba memastikannya sendiri. Dan Dev memang benar-benar tidak hadir hari ini. Bahkan sudah dua hari, karena kemarin ia juga tidak hadir, dan tanpa keterangan apapun. Aku berbalik dengan lesu, masih merisaukan tentang keadaan Dev yang bahkan juga belum membalas pesan dan LINE dariku sedari kemarin. Bahkan telfonnya tidak aktif, dan sekalinya aktif saat aku menelefon, Dev tak kunjung mengangkatnya. Aku menyusuri lorong koridor yang terlihat tidak begitu ramai kali ini. Jelas karena pasti murid-murid lainnya tengah memanjakan perut mereka dengan segala jenis hidangan di kantin. Yah ini adalah jam istirahat, aku bahkan ditinggal Ica dan Arin saat ini yang berada di perpustakaan demi mencari tugas yang dipesankan oleh guru Sejarah. Bukan ditinggalkan sebenarnya, hanya saja aku yang saat tadi sedang ingin mengecek Dev di kelasnya mau tak mau harus menolak ajakan mereka. "Woi! Ngelamun mulu, kesambet ntar. Eh si Arin mana ya?" Aku langsung menoleh ke arah Daniel yang baru saja datang dengan sewotnya. Tapi ini sedikit terdengar aneh, tepatnya sejak beberapa hari yang lalu setelah Daniel resmi telah berkenalan dengan Ica dan Arin, ia menjadi sering menanyakan tentang Arin. "Daniel, yakali udah gue bilangin si Arin itu udah kaga jomblo. Kalo mau si Ica noh baru aja kemarin di putusin." Daniel mengerutkan keningnya, seakan ia masih kurang paham dan tengah meminta penjelasan lebih kepadaku. "Iya, iya gue tau lo demen ama dia. Tapi ya sayangnya lo telat, oke segitu aja gue mau masuk kelas. Bye!" Setelah melempar senyum ke arahnya, aku beranjak mendekati pintu kelasku. Namun sebelum itu, Daniel telah lebih dulu menarik baju lenganku. "Tuh gue bilang juga apa, nah kan sekarang udah kesambet lo." Daniel berujar dengan memarlingkan wajahnya ke arah lain. "Apaan sih, gue masih sadar odong!" Aku menyangkalnya dengan sedikit menghentakkan lengan kiriku agar terlepas dari jemarinya. Daniel tampak mulai tertawa melihatku, oh sial jadi siapa yang sebenarnya kesambet disini? "Claraaa, makanya kalo mau komentar itu di pastiin dulu jangan ngasal ceplos!" Menjijikan, mendengar bagaimana ia melontarkan nadanya saat memanggil sebutan yang biasa keluargaku panggil, juga dengan aksi kedua jarinya yang kini menyumpit bibirku. Lantas aku menepisnya. "Siapa juga bilang gue ngejar Arin, yang ada juga temen sebangku gue nanyain dia mulu, sampe mual gue."
Aku melongo menatap Daniel yang kini masih berlagak jaim dengan aksi kekehannya. Tentu dia merasa begitu karena tebakanku yang salah kali ini. "Sekalian kantin yuk gue bilangin deh, masa iya ngomong depan pintu gini." Sembari berjalan mengikuti Daniel, aku masih tak henti-hentinya bertanya. "Siapa? Siapa sih? Eh lo duduk ama siapa sih? kok gue gak tau!" Bukan, ini bukan soal tebakanku yang salah tadi, hanya saja aku penasaran akan siapa yang telah memendam rasa kepada Arin saat ini. Perasaanku, anak baru di sekolah ini cuma Daniel. Lalu apa yang menyukai Arin merupakan murid lama disini? yang namun sayangnya Daniel pun tak kunjung menjawab segala pertanyaanku hingga kami tiba dan mengambil tempat di kantin. "Reka" "Ha?! Serius? Reka? suka ama Arin? anjir," Daniel mulai menatapku dengan alis yang ia kerutkan. "Reka kan? yang anak culun diem seribu bahasa itu??" aku mengulanginya lagi mencoba untuk memastikan kalau orang yang saat ini kupikirkan adalah benar.
Part 10: To Be Continued Aku mengetok beberapa kali pintu berlapis cat coklat yang kini ada di hadapanku. "Kak! Gue masuk ya!" "Apaan sih? sibuk, lagi nyatet!" sahut suara dari dalam sana, yang sudah pasti itu kakakku. "Mau ngomong!" "Yaudah masuk gak gue kunci." Merasa dipersilahkan, aku segera memutar knop pintu dan mendorong nya ke dalam hingga penglihatanku langsung mendapati Kak Farel yang duduk di meja belajarnya sedang berkutat dengan pulpen dan beberapa buku-buku di hadapannya. Aku memilih untuk duduk dipinggir kasurnya. "Kak, kok lo kenal Daniel?" tanyaku to the point. "Oh, soal Daniel nih?" kulihat ia yang langsung meletakkan pulpennya dan berbalik menatapku. Kurasa ia tampak tertarik dengan topik pembuka kali ini. Ini semakin mencurigakan dan terus saja menggiring alur pemikiranku ke sembarang arah, sepertinya ada sesuatu hubungan mendalam yang terlarang diantara mereka hm? "Lo gak pernah ketemu dia ya? iyasih gue gak pernah bawa dia ke rumah dul-" aku sedikit melongo dan tanpa sadar bahkan aku langsung memotong pembicaraannya yang sebelum selesai. "Ya p-pasti lo bawanya ke motel?" kulihat wajahnya yang mulai berubah setelah mendengar penuturan gila dariku barusan, namun ini lebih ke arah -dia yang tidak mengerti maksud dari omonganku tadi. "Hah? apaan sih gak nyambung! Mau dengerin gak sih?" melihat wajahnya yang mulai serius aku pun menarik nafas lega dan lantas mengangguk. "Jadi, dulu dari smp gue kan sering tuh ikut-ikut main basket yang masih lawan anak sekolahan lainnya, belom ke tingkat provinsi apalagi nasional. Nah gue sering ketemu ama itu anak pas lawan antar smp, gue lupa tapi dia dulu smp mana deh." Jadi dia beneran anak basket. Pantes sih, kan sewaktu smp aku tidak satu sekolah dengan ka Farel. Jadi tidak tahu dengan segala aktifitas
apa saja yang di lakukannya selain ia mengikuti ekskul basket, maupun siapa saja teman-teman sekolahannya selain yang sudah pernah ia bawa ke rumah. Seraya mendengar penjelasannya aku pun mengangguk-angguk dengan memasang wajah serius. "Terus, yaudah dari situ gue kenal dia. Gila tuh anak mainnya jago amat, ya tapi kalo gue yah jagoan juga gue tetep!" Ka Farel mulai memasang wajah menyombongkannya saat ini. Cih. Ya walaupun aku tahu dengan beberapa banyak piagam yang telah di raih oleh tim ka Farel, tetep saja ketahuan ia telah kalah kalau hanya melihat dari anak lelaki yang sudah memuji anak lelaki lainnya. "Alah lo paling ngebela diri." "Dah pokonya itu anak walopun punya badan kurus cungkring kaya senar gitar tapi jago banget, cekatan gitu, gak tau sekarang gimana ya kalo gue rasa pasti lebih jago sih. Intinya gue seneng kalo ketemu tuh anak pengen-" "Pengen lo apain??!" Dengan antusias aku kembali memotong pembicaraan ka Farel barusan, takut-takut hal yang kutakuti sedari tadi ternyata ada benarnya. "Lebay banget lo alay," beruntungnya pula aku dapat menangkis serangan lemparan penghapus darinya barusan. "Pengen gue ajakin tanding lah, pasti seru." Aku pun kembali menarik dan membuang nafas lega. "Eh btw lo udah move on dari si kuprit itu?" lah? Apa yang di maksudkan oleh Farel tadi si Dev? ah aku jadi merindukannya kan. Sekilas bayang-bayang ingatan tentang Dev pun hinggap kembali di pikiranku, tentang sifatnya yang belum lama kemarin itu berubah dengan sangat drastis, juga tentang ia yang masih belum ada kabar juga beberapa hari ini. Oh iya apa aku harus mencoba menjenguknya ke rumah langsung? ah tapi Dev belum tentu sakit! Lagipula, jika ia benar-benar sedang tidak dalam keadaan sehat, pasti tante Dean- mamanya Dev langsung datang ke sekolah untuk memberi kabar. "Dia punya nama kali kak, Devian!" Kembali ke alam kesadaran, aku menyangkal Kak Farel dengan tidak terima, dasar nih anak satu memang sama saja seperti si kunyuk dua itu yang sukanya ngasal mulu.
Part 11: To Be Continued Urusan Ica kini telah beres, bahkan dengan resmi Ica telah mengatakan sendiri kalau dirinya sudah tidak lagi memikirkan tentang lelaki sialan itu. Ya urusan Ica telah beres, lalu bagaimana dengan urusanku? Walaupun sebelumnya Ica dan Arin kembali mengingatkanku kalau urusanku dan Dev memang sudah benarbenar beres tepat saat dimana ia mengatakan putus, namun kenapa aku masih tidak bisa menganggap kalau ini belum benar-benar beres? *** Aku menutup aplikasi Instagramku, dan menyimpan kembali handphone ke dalam sakuku. Sudah 5 hari ini aku belum bertemu dengan Dev, dan 5 hari juga belum ada kabar apapun dari Dev maupun keluarganya. Ya karena saat kemarin aku memberanikan diri untuk datang kerumahnya, ternyata Mbok Ijah- orang yang telah menjaga keluarga Dev sejak lama itu mengatakan, kalau mereka sekeluarga sedang melakukan
perjalanan jauh dalam beberapa hari. Sedang Mbok Ijah yang tidak mengetahui tujuan mereka kemana dan kapan mereka kembali pun apa lagi denganku? karenanya otakku menjadi buntu seperti ini. Ah parfum pemikat apa sebenarnya yang dipakai Dev hingga membuatku sampai tidak bisa berpikir jernih saat tidak bersamanya seperti ini. Lebay memang, namun aku harus bagaimana lagi di saat hati benar-benar ingin terus berteriak memanggil namanya. Bahkan untuk menggeser kerinduan, aku hanya dapat menatapnya berulang kali dari foto di akun Instagramnya. "Clarr!" Panggil seseorang dengan aksi tangannya menepuk sebelah bahuku, yang tentu membuatku sedikit terlonjak kaget karena posisiku saat ini adalah baru saja keluar dari toilet. Aku menoleh dan mendapati Daniel dengan senyum lebar dibibirnya, lantas aku membuang napas lega. "Setan, mesti banget lo manggil gue disini Dan?!" Dengan gerakan menghindar aku kembali berjalan menjauh dari toilet dan mengabaikan segala jenis senyum atau cengiran yang ditampakkan oleh Daniel, aku hanya berniat untuk kembali ke dalam kelas karena kuyakin pasti semua murid di kelasku sedang asik berbagi kue tar dan berfoto berulang kali bersama dengan Bu Azzair, wali kelasku yang sangat susah untuk diketemui itu. Ini adalah hari guru, semua keletihan murid dalam menghias kelas sedari kemarin hanya untuk mempercantik kelas dan memberi kejutan untuk wali kelas pun sudah terbayar dengan hari ini dimana murid seharian akan free dari namanya 'belajar'. Walaupun kata 'upacara' tidak akan jauh dari namanya hari peringatan. Beruntungnya upacara yang di laksanakan langsung oleh para guru itu sendiri pun telah selesai, tepatnya 10 menit yang lalu. Dan setelah itu, pasti akan ada penyerahan bunga sebagai tanda jasa terima kasih dari pihak murid masing-masing kelas yang akan di berikan kepada guru-guru disini. "Aduh!" Ya, bunga. Kuucapkan sekali lagi, kalau itu adalah bunga. Aku berbalik badan dan baru saja berniat untuk segera meluapkan emosi dengan segala umpatan kepada seseorang yang kurasa dengan sengaja mengetuk kepalaku dengan sesuatu. Namun segera kutahan karena saat berbalik aku mendapati sesuatu yang sangat disayangkan hanya untuk tergeletak di lantai. Sebuket bunga mawar putih yang telah dibungkus cantik dengan tambahan pita berwarna nila dibagian tangkainya. Aku memungutnya dan mataku langsung menyapu ke sepanjang lorong koridor.