TlNJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Posyandu Perkembangan posyandu tidak terlepas dari pen~bahanorientasi pembangunan kesehatan yang melanda dunia saat it11 yang diawali dengan disepakatinya pendekatan "I'rm7ary Heallh (:ax" atau PHC sebagai strategi untuk mencapai kesehatan untok
selnua, dalam deklarasi Alma Ata, Uni Sowet pada tahun 1978. PHC adalah upaya kesehatan esensial yang secara universal mudah dijangkau dan dapat diterima oleli perorangan dan keluarga dalam masyarakat, dengan peran serta penuh mereka, dcngan biaya yang dapat ditanggung oleli masyarakat dan negara bersangkutan. Fernbangunan kesehatan masyarakat merupakan bagian integral dari sistem kesehatan dan pembanpnan sosial ekonomi masyarakat suahl negara (WHO, 1978). Adapcm definisi PHC menurut Heaver (1995) adalah sebagai upaya pemeliharaan kesehatan yang lebih sederliana dengan teknologi murah dan tenaga kesehatan berorientasi masyarakat untuk cakupan penduduk yang has. yang berfokus pada upaya preventif dibanding kuratif, tejangkau; adil, partisipasi masyarakat. inregmi pelayanan kesehatan dan koordinasi antar sektor. Dengan
disepakatinya pendekatan
PHC maka orientasi pembangunan
kesehatan di Indonesia lebih diarahkan ke preventif dan promotif. Pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD) yang telah dirintis di Kabupaten Banjarnegara sejak tahun 1975 makin dikembangkan. PKMD adalah wujud kegiatan PI-IC di Indonesia, yang kemudian sejak tahun 1985 diarahkan pada pembentukan posyandu. Berkembanpya upaya kesehatan terlihat dari meluasnya posyandu sampai ke pelosok desa-desa terpencil.
I'KMD merupaka~irangkaia~ikegiata~i~nasyarakatyang dilakukan berdasarkan gotong royong dan swadaya ~nasyarakat,dalam rangka menolong din mereka sendiri, dengan mengenal dan memecahkan tnasdah atau kebutuhan mereka di bidang kesehatan atan yang berkaitan dengan kesehatan, sehingga mampu memelihara kehidupan yang sehat, dalatn rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejaliteraan masyarakat. Swadaya masyarakat ini didorong dan dibina serta dilaksanakan secara lintas program dan lintas sektor. PKMD juga ~nerupakanusalia memperluas jangkauan pelayanan kesehatan (Dirjen Kesmas, 2000). Pembentukan posyandu di Indonesia diawali dengan kegiatan yang telah ada yaitu berdirinya pos peni~nbangananak balita yang ~nerupakanbagian dari program Usalia Perbaikan Gizi Keluarga, kemudian ditambah kegiatan-kegiatan lainnya. Usaha perbaikan gin di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1963 yang dimulai dengan kegiatan Applied Nzrlrtio~iI'rogram (ANP) di Jawa, Sumatera, Bali dan NTB. Taliun
1973 diadakan evaluasi kegiatan ANP dan rnenghasilkan berbagai rekomendasi antara lain perlunya disempurnakan kegiatan tersebut. Pada tahun itu juga melalui pertemuan berbagai instansi nama ANP dirubah menjadi
Usa!la Perbaikan Gizi Keluarga
(UPGK). Mulai Pelita I1 program perbaikan gizi merupakan program nasional dengan d~masukkannyakebijaksanaan program tersebut dalam Repelita I1 (Soetirman, 2000) Pada tahun 1984 dikembangkan
kegiatan Posyandu berdasarkan instruksi
bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan Kepala
BKKBN.
Posyandu merupakan kegiatan terpadu di tingkat desa dalam lima kegiatan pokok yaitu : perbaikan gizi, keluarga berencana, kesehatan ibu dan anak, imunisasi dan
penaiggualangan diare. Pada tanggal 12 Nopember 1986 posyandu dicanangkan oleli Presiden Soeharto sebagai suatu strategi nasional pendukung program dasa warsa anak Indonesia 1986-1 996 (Dirjen Kesmas, 2000)
Dala~n konsep, posyandu men~pakan salah satu bentuk PKMD, yang menggunakan pendekatan yang kekuatannya terletak pada pelayanan kesehatan dasar, kejasama lintas sektor dan peran serta masyarakat. Dengan konsep tersebut dan atas kesepakatan berbagai instansi maka semua kegiatan keluarga berencana dan kesehatan yang ada di desa hams dipadukan dalam kegiatan posyandu. Dengan demikian kegiatan UPGK yang ada di desa dalam bentuk pos penimbangan diintegrasikan ke dalrtln posyandu. Demikian juga pos kegiatan lainnya yang ada di desa diintegasikam seperti pos irnunisasi dan pos KB. Tahun 1990 terjadi terobosan besar dengan keluamya 1nmendag-i Nomor 9 tahun 1990 tentang peningkatan pembinaan lnutu Posyandu. Isi Inrnendagi tersebut antara lain meminta kepada seiumh Kepala Daerah untuk meningkatkan lnutu pengelolaan posyandu melalui pengefektifan fungsi LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) dengan mengkoordinasikan dan ~nenumbuhkariperanserla aktif ~nasyarakat dalam pembanbuan kesehatan. Keluarnya Inrnendari ini menandakan bahwa posyandu adalah tangbmg jawab Pemerintah Daerah. Di setiap tingkatan administratif telah terbentuk kelompok keja operasional (Pokjanal) Posyandu. Sejak dicanangkan tahun 1984 posyandu mengalami perttunbullan pesat. Tahun 1985 jumlah posyandu di Indonesia 25.000, tahun 1989 meninpkat menjadi 226.162 dan tahun 1994 menjadi 251.459, berarti dalam 10 tahun meningkat 10 kali lipat. Dalam beberapa tahun terakhir ini jumlah dan kualitas posyandu makin menurun. Tahun 1995 jumlah posyandu 244.470 buah, diantaranya 42,6% kelas pratama dan 3,9 % mandiri. Tahun 1997 menjadi 240.854 buah, diantaranya 42,l % kelas prarama dan
5,2 % mandiri (Depkes RI. 1999). Tahun 1998 jurnlah posyandu menurun lagi ~nenjadi 21 2.2 15 buah. Terlihat pula terdapat drop out kader yang cukup tinggi dalam 5 tahun terakliir ini yaitu berkisar 20-50 %. Penurunan jumlali dan kinerja posyandu selain
karer~a faktor krisis ekonorni juga karena faktor keienuhan di lapangarl (Warta Posyarldu 2000 No.1). Penyebab lainnya adalah kurarlgnya pembinaan posyandu sec.za terpadu. Untuk membangkitkan kembali posyandu pemerintal~ mengeluarkan Surat Edaran Menteri Daliun Negeri notnor 41 1.315361SJ tahun 1999 tentang revitalisasi posyandu. Seczra urnurr! revita!isasl posyandu lul~ujul"=t%k ~meningkatkanfungsi dar~kinerja posyandu agar dapat dipertahankan dan ditingkatkan status gizi dan derajat kesehatan ibu dan anak, memantapkan sistern pelayanan kesehatan dalan raiigka pembanbwIan
kualitas
manusia
serta
meningkatkan
kemampuan
organisasi
kemasyarakatan dalarn kemandirian untuk kesejahteraannya. Sasaran revitalisasi posyandu pada dasamya rneliputi seluruh posyandu dengan perhatian utana pada posyandu pratama dan madya. Sampai tahun 2000 telall direvitalisasi 120.000 buah dan 180.600 posyandu pratarna dal rnadya yang ada (Warta Posyandu 2000 No. 1 ). Revitalisasi posyandu dilaksanakan dengan berbagai strategi, diantaranya melalui pengelompokan kegiatan pelayanan meningkatkan frekwensi kegiatan, refungsionalisasi organisasi, pelnberdayaan LKMD? pernberdayaan kader. penyediaarl fasilitas operasional, mengupayakan kegiatan yalg menarik, mobilisasi surnber daya masyarakat, mengaktifkan kembali Pokjanal Posyandu dan mernanfaatkan potensi yang ada di berbagai tingkatan administratif pemerintahan (Mendagi; 1999). Adapun kegiatan revitalisasi posyandu terdiri dari dua paket. Pertama, pekat minimal yaitu paket yang hatus dilaksanakan di semua posyandu, berupa kegiatan yang rnempunyai daya ungkit besar bagi upaya peningkatan status gizi. penurunan angka kesuburan, penurunan angka kernatian bayi, anak balita dan ibu. Paket ini terdiri dari 5 progan utama , yaitu : perbaikan gizi berupa pemantauan status gizi, PMT, MP AS1 dan penyuluhan gizi; kesehatan ibu darl anak: keluarga berencana, irnur~isasi
dan penanggulangan diare. Kedua, paket optional yaitu paket pilihan yang dapat ditambahkan bagi posyandu yang telah mapan. Paket optional anfara lain : bina keluarga balita; pemberantasan penyakit endemis setempat seperti malaria, dernan berdarah dengue, gondok endemik; pengadaan sarana air bersih dan perbaikan lingkungan dan usaha perbaikan gigi masyarakat desa (Dirjen Kesmas, 2000).
Peran Posyandu Posyandu adalali unit pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh; dari dan untuk masyarakat, dengan dukungan teknis Departemen : Kesehatan, Pertanian, Dalatn Negeri, Agama, BKKBN dan sektor terkait lainnya, yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian bayi. anak balita dan ibu. Posyandu adalah paket keterpaduan kesehatan-keluarga berencana (KB) yang mencakup 5 pelayanan dasar, yaitu kesehatan ibu dan anak (KIA), gizi, jmunisasi, penanggulangan diare dan keluarga berencana (Dijen Kesmas. 2000). Posyandu mempakan forum komunikasi terdekat dengan masyarakat, dimana disana para ibu berkumpul tersama, dalam suasana yang sesuai adat budaya setempat, untuk berbagi pengalaman dan olah keterampilan tentang m a pemeliharaan anak, tennasuk penyiapan makanan bergizi yang dapat diterima oleh waknya. Saat ini jumlah posyandu cukup banyak dimana hampir setiap dusun di Indonesia tela! ada posyandu. Dengan semakin tersebmya posyandu
maka
peranannya dalam meningkatkan cakupan program semakin penhng. Peran posyandu dalam meningkatkan cakupan pelayanan balita adalali 74 %, imunisasi polio ketiga 61 %, imunisasi TT 2 Bumil 22 % dan pelayanan pi1 KB 32 %. Pencapaian UCI
(ztniver.~aIchild immzm;zation) yang lebih cepat 3 bulan pada bulan September 1990
tidak lepas dari peran posyandu irli (Depkes RI, 1999). Nasil penelitian Hadju, dkk (2000) menemukan masih pentingnya perat posyandu, dilna~ialebili 75 % pernah kontak dengan posyandu dalam 3 bulan terakhir d a l sekitar 50 % ibu-ibu rnemperoleh dikungan dari kader. Waas (1994) dalam penelitian di Sulawesi Utara juga rnendapatkan bahwa kelembagaan posyandu telah memberikan peran bagi pembanynan khususnya di bidaig kesehatan terlihatnya dari penurunan angka kernatian bayi dari alak balita teriltama di pedesaan. Angka kematiarl bayi (AKB) di Indonesia taliun 1995 sebesar 55,O per I000 kelahiran hidup mun menjadi 35,O tahun 2000 (Pusat Data Kesehatan, 2000). Demikian juga masalah KEP (kurang enerd dan protein) pada alak balita selnakin menurun. Prevalensi KEP tingkat nasional tahun 1995 adalah 29.8 % KEP total dan 10,3 % KEP berat dan tahun 1999 adalah 25,5
KEP total dar~7,X 9'0 KEP
berat (Jallari, dkk 2000) ;
Pelayanan dasar bagi anak balita terutama ditujukan
i~tltc~kine~ijaga
pertumbuhan potensial anak sejak ldtir berlangsung normal, demikian juga daya tahannya terhadap penyakit.
Dengan perturnbuliati
lisik yatts nonnal
maka
l perkembangan mental dan kecerdasan anak juga dapat dipacu d e i i ~ a ~lingkungan hidup yang baik dan pola pengasuhan yang mendukung (Soekirmai, 2000). Peran posyandu dalam pelayanan dasar bagi bayi, anak balita dari ibit harnil, dilaksaiakan dengan pelayanan pola lima ~neja(Tim Pengelola UPGK TI\. Pusat. 1999). Pola lima meja tersebut terdiri dari : Meja I : Pendaftaran anak balita dan ibu hamil. Meja 2 . Penimbangan anak balita. Meja 3 : PencatatanIper1gisia11KMS. Meja 4 : Penyuluhai berdasar hasil penilnbangan dan pelayanan gizi benlpa pemberian tablet
besi, kapsul vitamin A dan PMT. Meja 5 : Pelayar~ankesehatan d m KB olch tenaga profesional seperti pembenan imunisasi, pelayanan KIA. KB. dati pctnbcr-iari hi~btik
oralit serta nljukan. Kegiatan lainnya yang dilakukan setelah pelayanan di 5 ~neja tersebut adalal~mencatat hasil kegiatan UPGK dalrun register balita dan membahas bersama-sruna kegiatan lain atas saran petugas. Pelaksana kegiatan di posyandu mulai meja 1 sa~npai4 adalah kader, sedangkan meja 5 oleh tenaga kesel~atan. Kodyat (1998) ~nenjelaskanbahwa pelayanan gizi di posyandu dillpayakan dan dikelola oleh lembaba swadaya masyarakat setempat dan berakar pada masyarakat pedesaan. Dengan semakin meluasnya posyandu di hatnpir setnua dusun maka pelayanan gizi di pedesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga serta menjadi ujung tomb& dalam penangbpiangan masalah kurang gizi. Keberadaan posyandu dapat memperluas partisipasi cnasyarakal. Karim et a1 (1994) dalam penelitian di Bangladesh menemukan bahwa kegiatan monitoring pertumbuhan anak yang dilaksanakan oleh para kader desa dapat mengurangi keterlibatan petugas kesehalan sampai 50 % pada akliir program. Diternukan pula bahwa integrasi monitoring pe~tu~nbuhan anak dengan kegiatan imur~isasidan klinik antenatal keliling di desa dapat memperluas partisipasi masyarakat dan c&upan program. Penelitian Haikal (1999) juga ~neltdapatkan balxwa tingkat partisipasi masyarakat sanga; dipengad~i oleh pengelolaan posyandu, dimana pada daerah dengan keragaan posyandu baik maka partisipasi ~nasyarakattinggi.
Penilaian Kinerja Posyandu
Untuk dapat meriilai kinerja dengal baik pcrlu ada indikalor yang obyeklifdan spesifik. Menurut Kamus Besar Ballasa Indonesia (Mocliono. 19891. penilaian be~arti proses atau perbuatan memperkiralian atau rncnghargai scs~~atu. sedangkan indikator
adalali berarti alat pemantau atau sesuatu yarig dapat memberikan petunjuk atau ketera~igan. Kinerja adalali pencapaiari kegiatari rnulai input proses sampai hasil. Indikator kinerja posyandu berarti sesuatu yang dapat memberikan petunjuk baik bun~knyakegiatan meliputi input, proses dan output posyandu. Menurut Habicht (2000) ada 3 tipe penilaian (evaluasi) yaitu somatif, proses dan
formahf. Penilaian sumatif melihat imp& progam apakah berhasil mencapai
tujuari yang direncanakan atau tidak. Penilaiari proses men~pakan penilaian secara kualitatif khususnya mengenai pengertian. ~notivasidan perilaku selama pelaksanaan program. Penilaian formatif untuk menilai hasil pada saat program sedang berlangsung, yang
dirancang untuk meningkatkan program. Ciri khusus penilaian
fonnatif addah informasi yang diperoleli di ulnpari balikkan ke pengambil keputusan sehingga keputusan baru dapat dihasilkan. Departemen Kesehatan RI sejak taliun 1995 telali rne~nbuatindikator kinerja posyandu yang terdiri dari 8 i~idikator.Dan penilaiari itu posyandu digolongkan ke dalam 4 tingkatan meliputi : pratarna madya purnarna dan mandiri. Ringkasnya kriteria penggolongan posyandu tariipak pada Tabel I Tabel 1 : Tingka~Kinerja Posyatidu ~iieriurut8 lridikator Depkes
Posyandu tirrgkat pratama adalalr posyandu yang masih belmn mattap, dengan kegiatw tidak mtin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas. Posyandu tingkat rnadya dan pumama sudah dapat melaksanakan kegatan lebih dari 8 kali per tahun dengan rata-rata jumlalr kader 5 atau lebih, tetapi cakupan program utarnanya rendah yaitu kurang dari 50 %. Ini berarti kelestarian posyandu sudah baik nanun cakupan belurn memuaskan. Perbedaan posyandu madya dan pumama terletak pada ada tidaknya rnakanan tamballan. Posyandu pada tingkat rnandiri adalalt posyandu selain mernenuhi syarat pumama juga terdapat dana seliat dengan cakupan sedikimya 50 % keluarga. Diharapkan semua posyandu menjadi mandiri. Beberapa ciri kemandirian posyandu adalalt: a) kemampuan memecahkan rnasalalr yang dihadapi, lnelnelihara apa yang dimiliki dat meningkatkan apa yang sudah dicapai; b) kemanpuan membentuk dan menjalankan sendiri kegiatan pelayanan di posyandu dengan ciri adanya inisiatif dari rnasyarakat; c) kernampuan nengorganisir kegiatan pelayanar melalui suatu tahapart: dan d ) kernampuan merencanakan, mengimplementasikan, mengevaloasi dan membuat pemecahan masalahnya sendiri (Dij e n Kesmas, 2000). Menurut Depkes (1999) jurnlalt indikator utama posyandu tidaklah mutlak. Bagi daerali yaug relatif tenirtggal jurnld~indikator utarna dapat dikura~gi.Sebaliknya bagi daerah yang rnaju dan menginginkan indikator yang lebih banyak dapat menambah indikator utama. Jenis indikator pada tiap indikator utama merupakan indikator program terpilih. Misalnya indikator imulrisasi lengkap yang dipilih adalah cakupan campak. Untuk cakupan KIA bila satu daerah menganggap indikator K 1 belum cukup. dapat rnertggunakat K4 sebagai irtdikator tambahar?. Nuharnwa (1997) dalaln penelitiari di Kalirnantan Barat menemukan bahwa instrumen telaah kernandirian posyandu dari Depkes sulit diterapkan sepenuhnya. Misalrtye irtdikator prop.an tanballan dan cakuparr darra selral tidak sesuai. Ada
lidaknya progam lambalran dan dana sehat ten~yatatidak berkaitan dengan kegiatan posyandu dan umumnya dibelrtuk ole11 provider pelayanan kesehatan. Ditemukan pula bahwa instrumen tersebut belum mencakup semua kegatan posyandu serta instnunen kemandirian dan peringkat posyandu umunya belum dipahami oleh kader, kepala desa dan tokoh masyarakat. Prarnudho (1997) telah melakukan u~jicoba sejilmlah indikator kemandirian Posyandu di Kabupaten Garut dan telah ~nennnukan5 indiktor yaitu : jumlah kader tugas, pendanaan posyandu, umur posyandu, pertemuan kader dan tokoh masyarakat dan jumlah peserta dana sehat. Namun karma indikator itu hanya menilai kemandirian lnaka tidak terlihat proses rnaupun output program utama. Hardinsyah dkk (1999) telah menyusun instl-umen penilaian kinerja posyandu yang dapat di-makan melihat titibtitik kelemahan atau liekitatan posyandu setiap 6 hulan. Instrumen penilaian melipc~ti: input, proses dan o u t p ~ ~yang t masing-masing diberi skor dan diijumlahkan, dengan skor lnaksilnal 500. Kinerja posyandu dinyatakan baik jika total skor 2 80 % dan skor outpi~t260 %. Komponen input meliputi : alat halltc~,baha~r.kader darr or~anisasi.Komponen proses ~neliputi persiapan, pendaftarm d a l ~pcni~nbangan,penyuluhar~,pelayanm paket pertolongan gizi dan kesehatan serta pelaporan dan tindak lanjut. Komponen output meliptlti pelaporan dan SKDN. Dari uji coba penilaian kinerja posyandu oleh Hartoyo, dkk (2000) pada 10 posyandu di kabupateri Bogor banyak pertanyaan pada input, proses dan output ~ n m i l i k iskor jalvaban yang rendall, sehingga 7 posyandu dinyatakan memiliki kin j a h u n k dan 3 posyandu kinerja kilrang. Sedangkan Penelitian Kaslnita (2000) pada 30 posyandu di Surnatera Barat dengan rnenggunakan instrumen yang sama menemukan hanya ada 3 posyandu ( 10%) !;an? tncrlriliki kirlerja posyarrdu yang baik, lairlrlya kurandsedang. Pertmyaan yang
~ne~niliki skor jawaban yang rendah, pada ko~nponeriinput meliputi ketersediaan alat peraga, formulir pendataan dan struktur organisasi. Pada kornponen proses, skor jawaban yang rendah adalah pertemuan kader, menggerakan potensi masyarakat, pengukuran LLA pada ibu hamil, penyuluhan, pembuatan laporan, pembuatan balok SKDN, dan diskusi sesama kader. Pada komponen output yang skor jawabannya rendah adalah : laporan mudah diakses, rasio DiS, rasio NiS, rasio balita yang lulis penirnbangan, dan rasio balita BGM. Dan h a i l tersebut menunjukkan kornponen pertanyaan tersebut masih memerlukan penyesuaian.
Motivasi kader Karnus Besar Bahasa Indonesia (Moeliorio, 1989) menyebotkan motivasi berarti dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk nielakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Handoko (1995) mengartikan ~notivasisebagai suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia yang ~nenimbulkan, rnenggerakan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Hal yang ~iienyebabkanseseorang berbuat sesuatu tindakan adalah karena adanya motif. Dalaii suatu motif terdapat dua unsur pokok yaitu unsur dorongan dan unsur hguan. Proses interaksi antara kedua unsur ini di dalam din manusia dipenganrhi oleh faktor internal
.,A-..
$-, ...,..,.&sternal. ..u,,v, Dasar dari motivasi menurut Maslow (1 994) adalah adanya kebutuban manusia
yang liarus dipuaskan. Kebutuhan pokok manusia diklasifikasikan dalam 5 tingkatan yaitu kebutuhan : fisiologis, keselamatan, rasa rnerniliki dan rasa cinia, harga diri dan perwujudan diri. Secara umum pemenuhan kebtduhan-kebutula tersebut secara bcrtingkat meskipun tidak inesti seluruhnya kebutulian pada tingkat dasar terpenuhi.
Namun pada sebagian kecil orang susunannya mungkin beruball, misalnya ada yang menilai harga diri lebih penting dari cinta atau mereka yang menguasai kebutuhan yang lebih tinggi (harga diri) rela meiigorbankan kebutuhan yang paling pokok. Hasil penelitian Permanasan, Kusharto dan Baliwati (1997) diketahui adanya faktor instrinsik dan ekstrinsik yang rnenjadi rnotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan posyandu. Faktor yang termasuk pemotivasi
ekstrinsik
adalah
penghargaan fisik dan pengaruli orang lain. Pengliargaan fisik yang diterima adalah berupa uang, baju seragam, pelayanan kesehata~dKBgratis dan bingkisan lebaran. Faktor inhinsik merupakan motivasi yang didorong oleh keinginan dari kader sendin seperti menyukai kegiatan sosial kemasyarakatan, keinginan untuk memajukan desa, keinginan tampil, keinginan memperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkannya serta mengisi waktu luang. Banyaknya kader yang drop out menunjukkan bahwa motivasi kader rrrasili rendah. Misaluya menurut Kanwil Depkes Sulsel (2000) rata-rata rasio kader dibanding jumlah posyandu tahun 1999 adalah 2,3, b e d yang drop out 2-3 orang tiap posyandu. Juga penelitirui talrun 1999 di Jawa Tirnur, Sulawesi Selatan darl Sumatera Barat menunjukkan bahwa kurang dari 30 % posyandu mempunyai 4 orang kader terlatih dan kurang I5 % posyandu yang tnemiliki kader ak,tif minimal 4 orang (Hadju, dkk, 2000). Kondisi ini karena keadaan ekonomi dan sumber paidapatan keluarga kader rendah, keterarnpilrui kurang serta waktu yang terbatas di sela-sela aktifitas pribadinya (Dij e n Pemberdayaan Masyarakat Desa, 2000). Penelitian Kasmita (2000) di Sumatera Barat juga mendapatkan bahwa jumlah kader per posyandu lununuiya kurang dari 4. Diternultan pula bahwa pengetahuan dan Iketerampilan kader umumnya masih kurang sehingga belum dapat berperan optimal, tr~isalrryabelum dapat mengisi KMS, membuat laporan dan melakukan penyuluhan.
Akibalnya sebagian kader kurang aktif Kader uinumilya tidak diberikan insentif material atau pakaian seragam, karena posyandu tidak meiniliki sumber dana rutin. Untuk merangsang keaktifan kader mereka diberikan k m seiiat (kartu berobat gratis). Pihak Puskesmas juga menunjuk petugas kesehatan sebagai pe~nbinaposyandu untuk tiap desa. Para kader yang terns mengabdi umumnya telah tahan uji dan memiliki .motivasi religius. Suatu studi di Garut menujukkan baliwa 60 % kader telali ~nengabdi lebih dari 5 tahun. Studi di Jawa Tengah juga menu~ijukkanbahwa 96 % kader bangga mcnjadi kader. Mereka tidak mendapat imbalan uang, namun mereka mendapatkan berbagai macam pengakuan dan penghargaan dalatii bentuk peningkatan pengetahuan, pelayanrui gatis di Puskesmas, piagam penghargaan d m peningkataii status di m a s y d a t (Dij e n Pembinaan Kesmas, 1999). Tjukami dkk (2000) di NTB menemukan baliwa 75 % kader memiliki peiigetahuan gizi yang kurang bahkan setelah diadakan peiiyululian gizipun masill 33 % yang kurang. Namun ditemukan bahwa beberapa kader telah berperan melakukan
penyuluhan gizi ternlama bagi yang telah memiliki pengetaliuan gizi. Sebagian besar kader telah berperan di posyandu baik dalam penimbangan anak balita, pengisian KMS maupun pernasakan dan pembagian PMT. Ditemukan pula beberapa kader berperan dalam pengumpulan dana untuk PMT. Sulamto (1993) dalrun penelitian di Kabupaten Semariilig ~nene~nukan bahwa kemauan kader berpartisipasi berhubungan dengan pengetahuan dan tingkat pendapatannya.
Penelitian Saliidu (1998) di Lombok ~nenyatakan bahwa faktor
pe~iggerakpartisipasi yang paling utama adalal~kemauan dan ke~nampuan.Kernauiili rnenrpakan energi pembangunan yang membangkitkan kemiilnpuan dan kesempatan berpartisipasi. Sedangkan kemauan berpartisipasi dipengaruhi oleh kebutuhm,
..
imbalan; harapan dan penguasaai infomasi. Kemampuan dipengaruhi oleh pendidikan formal dan not1 formal, pengalaman dan modal. Penelitian Hartoyo, dkk (2000) pada uji coba penilaian kinerja posyruidu di Bogor menunjukkan baliwa ko~nponen proses khususnya persiapan, pendaflaran, penimbangan dan penyuluhan ~ne~niliki skor yang rendah, menunjukkan baliwa peran kader dalam pelaksanaan poqlandu masih kurang.
Swadaya Masyarakat Pengertian swadaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia IMeoliono, 1989) adalah kekuatan atau tenaga sendiri. Jadi swadaya masyarakat dalam posyandu adalali kekuatan sendiri dari masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan posyandu agar
kegiatannya dapat terlaksana dengan baik, khususnya dalam pengadaan sarana, tenaga atau dana sendiri seperti tempat posyandu, balian penyciluhan. bahan PMT, buku pencatatan, papan data dan kesejaliteraan kader. Tingkat swadaya masyarakat dalam posyandu umumnya masih klrrang. Survey talicln 1999 yang dilahlkan di Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan ~nenunjukkan bahwa lebih sepanlll jwnlah posyandu tidak memiliki peralatan dan tempat yang memadai. Keadaan ini sebenarnya dapat diatasi dengan menggali potensi masyarakat yang ada. Pelayanan posyandu akan berjalan balk apabila potensi yang ada dalan masyarakat dapat dioptimalkan dengan sung@-sungguh,
baik yang lnampli
maupun yang kurang mampu (Dirjen Pemberdayaan Masyarakat Desa 2000). Sander (1999) dalam pengkajian tentang proyarn-program gizi rnasyarakat di beberapa negara menyimpulkan baliwa program UPGK di Indonesia lebih banyak menggtmakan pendekatan
instniktif dari partisipatif sehingga dt~kungan dari
masyarakat sulit diciptakan. la menernukarl pula baliwa program UPGK tergolong
menggonakari biaya mural1 dimana banyak digunakai tenaga sukarela yang dibina ole11 teliaga keseliatan setempat. Penelitian Tjukami, dkk (2000) di 4 desa di NTB mene~nukan bahwa pernberian lnakanan tambahan (PMT) umumnya diselenggarakan atas bantuan pernerintah atau piliak luar, dan hanya beberapa posyandu yang menyelenggarakan PMT atas biaya swadaya bempa bantuan Kas desa, Majlis Ta'lim atau jimpitan beras. . ~. Nuhanara (1997) menemukan bahwa bantitan proyek untuk posyandu dapat meningkatkai fungsi posyandu, partisipasi lnasyarakat &an rerata kader yang aktif, namun setelah proyek berakhir maka ketiga indikator tersebut cendenmg mulai menilrun kembali. Hal ini karena ktlran~mya swadaya masyarakat seliingga begitu proyek berhenti maka dana untuk kegiatan posyandu d a i penyuluhan kepada masyarakat tidak tersedia. menur rut Sander (1999) keberlangsungan p r o w sangat tergantung pada kemampuali ke~rangarimasyarakat setempal dan pelrieliharaar~iiya. Pe~ielitianZulyali (1996) di Kodya Bengkulu ~nenernukaibahwa kernatnpuan teknis (keterampilan) berhubungan nyata dengan keswadayaan karang taruna serta ada liubungan nyata antara keswadayaan derigan dinarnika karang taruna. Maka demikian pula peningkatan kemampuan teknis dalam pelaksanaan posyandu kemungkinai aka1 mempengaruhi keswadayaan posyandu. Kuranbmya swadaya masyarakat diduga karena kelemahan dalam pelaksanaan program kemasyarakatan saat ini yaitu kurang melibatkan lnasyarakat sejak awal. Masyarakat sekedar diperkenankan berpartisipasi dalam pelaksanaan fisiknya di lapangan. Jika masyarakat dapat dilibatkan secara berarti dalrun keselurulian proses dari survey awal sanpai perencanam dan peligorgaiisasian program, maka s l a i n progfam menjadi lebih relevan dengan kebutuhan mas~arakatdan rasa kepemililtan
warga terl~adap progaln lebih tinggi, juga keteratnpilan-keterainpilan atlalitis dan perencatlam rnenjadi teralihkan kepada rnereka (Studio Driya Media, 1994).
Pembinaan posyandu Pernbinaan adalah proses atau usaha tindakan dan kegiata~iyang dilakukan secara berdaya guna dan bert~asil Lwna untc~k rnemperolelr hasil yang lebih baik (Kamus Besar Bahasan Indonesia, 1989). Jadi pernbinaan mempakan keaatan prioritas yang direncanakan dan berkesinambungan agar hasil kegatan meningkat: Dirjen
Kesehatan
Masyarakat
(2000)
rnenyatakan
bahwa
posyandu
diselenggarakan oleh, dari dan untuk masyarakat, dengan dukungan teknis Departemen Kesehatan, BKKBN dan sektor terkait lainnya. Dalam undang-ondang No. 23 talnin 1992 tentang kesehatan dinyatakan pula balrwa pemerintah bertugas ~nenggerakan peranserta ~nasyarakatdalam menyelenggardian dan pembiayaan kesehatan. Dcnca~i demikian posyandt~ sebagai wujud peranserta masyarakat adalah merljadi tugas pernerintah kliususnya sektor terkait untuk mengperakan dan me~nbinanya. Namun beberapa llasil penelitian menunjukkan baliwa pernbinaan posyandu belum baik. Sulamto (1993) dalam penelitian di Kabupaten Semarang menemukan bahwa kegiatan posyandu belum ditangani secara lintas sektor, yang ada ban1 keterpaduan dalam pelayanan kesehatan. Di sektor kesehatan pembinaan posyandu adalah tangg~ngjawab Puskesmas dan Puskesrnas pembantu. Posisi Puskesmas dalam jaringan upaya kesehatan dan peranannya dalatn menggalang partisipasi masyarakat merupakan posisi serrtral karena rnenjadi pusat pelayanan kesehatan dengan tenaga profesional yang terdekat dengan
~nasyarakat.Peran Puskesmas dalan pe~nbinaru~ posyruldu adalali dengall menyediaka~i pelatil~at,bantuan teknis, bimbingan teknis dan pemantauat~(Depkes, 1990). Peitelihan yang dilakukan oleh Dit Bina Gizi Masyardat dan FKM UI (1998) ~nenemukanbahwa pembinaan kader ~nerupakansarana penling dala~npeningkatan pengetal~uan dan keterampilan kader. Kader yang terampil sangat me~nbantudalan pelaksanaan kegiatan di dalam dan di luar jadual kegiatan posyandu. lnformasi dan pesan-pesan gizi akan dapat dengan mudah disa~npaikankepada masyarakat. Kasmita (2000) menemukan baliwa para. bidan di desa sangat beperan membina keterampilan kader posyandu. Menunit Nuhamara ( I 997) faktor yang cukup berperan lerltadap kesinambungan posyandu adalal~ju~nlahkader aktif dar~kt~njur~gan petugas puskesmas. Hardjono (2000) dalam penelitian di Bekasi menemukan bahwa sikap petugas kesellalar~ terhadap masyarakat dan ~rlelode penyululta~~cukup berperari dalaln penerimaan
dan pe~nanfaatan Puskestnas sebagai telnpat inendapal pelayanan
kesehatan dan kebutuhan kesehatan lain. Penelitian Hikmawah ( 1997) di Kodya Bogor merlanukan bahwa penilaian ibu tnenyusui terl~adapperan petugas kesellatan tunumnya baik. Ditemukat pula bahwa interaksi ibu-ibu derigarl petugas keselialrui berhubungan nyata dengm penilaian ibu menyusui pada peran petugas kesehatan sebagai motivator. Pembinaat yang kurang baik dapat berakibat buruk, misalnya pe~idekatanyruig bersifat instmktif dalam pelaksanaan posyandu, ~nenyebabkanpara pengelola kuraig tanggung jawab dan keberhasilan cendert~ngsemu dilnana laporan dibuat ltartya unluk memenuhi target (Sulanto (1993).
Partisipasi Tokoh Masyarakat Pentinpya partisipasi atau penn s m a rnasyarakat antara lain tercantuln dalam Undang-undng nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatai. Di dalamnya disebutkan bahwa peran serta masyarakat ditekankan pada kemaidirian kesehatan dengan peran serta rnasyarakat temasuk swasta. Khusus kemandirian dalarn trpaya kesehatarl lebih diarahkan pada pelaksanaan pe~nberian kesempatan kepada lnasyarakat unhrk liidup sehat secara merata, bermutu, efisien dan efektif. Posyando merupakan salali sahr bent& partisipasi ~nasyarakat di bidang kesehatan atacr upaya kesehatan bersumber daya lnasyarakat (UKBM). Makin berkembanbmya posyandu ternyata lnampu rnelnacu munculnya berbagai bentuk UKBM
lainnya seperti pondok bersalin desa; pos obat desa. pos irpaya liesellatan
kerja, taman obat keluarga, pos kesehatan pesantren dan dana seiiat (Depkes, 1999). Menurut Dirjen Pembinaan Keseliatai Uepkcs 1<1 (1999) ada beberapa
WLI.~LI~
peranserta rnasyarakat dalam pernbangnnan keseltatan. antara lain: pertama sebagai su~nberdayatnancrsia yaitu setiap insan y a ~ gberpartisipasi aktif dala~npembangunan keseharan, ini dapat berupa pelnilnpin masyarakat formal riiauplrri irlfonnal (tokoh lnasyarakat). Wurjod kedua adalah sernua jenis institusi atau organisasi masyarakat yang
aktivitasnya di bidaig kesehatan seperti posyaidu atau letnbaga swadaya
masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang upaya kesehatan. Wirjud ketiga adalah peran dalam pembiayaan kesehatan, seperti dana sehat7 asuransi kesehatan dan jarninan pemeliliaraan keseliatan masyarakat. Wcrjud lain seperti gotong royong dalam .lum'at bersih atau jimpitan beras untuk PMT di posyandu.
Menurut Habicht (2000) partisipasi tokoh inasyarakat meliptiti keterlibatan intelektual dan emosional. Tokoh masyarakat adalah target alih pengetaliuan dimana rnereka dapat ~ n e m p ~ n u d keputusan ah dan kegiataii program. Sander (1999) menggambarakar~partisipasi masyarakat adalah prinsip utama dalan pendekatan pelayanan kesehatan dasar, tennasuk program gizi masyarakat. Kebijakan pemerintah dan partisipasi rnasyarakat inerupakan kekuatan dan hubungan sosial yang kuat mempengaruhi keberhasilan prograin gjzi. Heaver (1995) mengemukakan ada tiga bentuk partisipasi masyarakat untuk kelestarian program : pertama, pemanfaatan kontinyu provider masyarakat setempat, kedua; berkembangnya proses konsultasi untuk belajar dan membimbing dari masyarakat, dan ketiga pemi~npinlokal dan kelornpok rnasyarakat berperan memonitor kinerja program. Kasmita (2000) dalam penelitian di Sumatera Barat rneriernukan bahwa jika tokoh inasyarakat berperan ineinbantu kelancaran pelaksmiaan posyandu
sangat
berpengaruh positif. Namw kenyataannya urnurnnya peran pernuka agama dan tokoh inasyarakat dirasakan masili kurauz. Tjukanii, dkk (2000) inei~dapatkru~ bali\va sikap tokoh ~nasyarakat terhadap kegiatan posyandu positif namun pensetahuan mereka tentang masalah gizi umumnya masih kurang. Demikian juga Sularnto (1993) inenernukan bahwa partisipasi tokoh masyarakat berhubungan dengan pengetaliuan dan kemauan yang dimilikinya. Sehingga apabila mereka diharapkrui berperrui sena memberikan penyuluhan dalam kegiataii posyandu perlu ditingkatkail pengetalluan dan keterrunpilannya. Tokoh rnasyarakat yang berperan uinuinnya dari uilsur leinbaga keagainaan terutaina icladrasah, poodok pesantren, Majelis Tia'lim, kelompok pe11ga.jian daii Fataydt NU.
-.Peran ibu-ibu PKK di desa sangat penting bagi posyandu. Waas (1994) dalatn
penelitian di Sulawesi Utara tnendapatkan bahwa dengan melibatka~libu-ibu PKK di desa ~nakaposyandu dapat menjadikan dirinya sebagai institusi yalg konsisten d a ~ kontinyu dalan memainkan perannya. Penelitian Ginting (1999) di Tapanuli Utara menujukkan bahwa pemimpin infonnal di pedesaan masih menunjukkan perilaku kepemimpi~lanyang arahannya patut diikuti tercennin dari interaksi ~nerekasehari-hati dengan pengikutnya. Mereka dalan menggerakan partisipasi masyarakat lebih berdasar pada tanggung jawab tnoril dan komitmen terhadap amanah leluhur yang memandang peranannya sebagai panggilan. la menemukan pula bahwa pemimpin infonnal baik secara langsung tnaupun tidak langsung berpenganih terhadap upaya menggerakan partisipasi tnasyarakat dalan pembangunan desa.
Adapun peran pemimpii~inforinal adalah :
~nenyanpaikaninfonnasi, rnengarahkan kegiatan dan rne~nbirlakerjasana.