BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Perkembangan yang terjadi dalam setiap aspek di kehidupan tidak terlepas dari
peran serta sejarah. Peran sejarah dalam kehidupan adalah sebagai pembelajaran bagi kehidupan yang akan datang. Pada hakikatnya, kehidupan masa lalu, saat ini, dan kehidupan yang akan datang merupakan bentuk kesinambungan dari nilai-nilai yang telah ada pada masa lampau (Chamamah-Soeratno, 2011:4). Informasi-informasi tentang masa lampau dapat diketahui melalui tulisan para pengamat, pencatat, dan pengkaji data sejarah dalam bentuk tulisan-tulisan sejarah (Chamamah-Soeratno, 2011:4). Sebagai sumber sejarah, tulisan sejarah terkadang menyisipkan unsur kesusastraan di dalamnya. Dengan demikian, kesusastraan Melayu klasik dapat dikategorikan sebagai salah satu sumber sejarah. Liaw (2011:viii) mengungkapkan kesusastraan Melayu klasik dibedakan menjadi sepuluh bagian, yaitu kesusasteraan rakyat, epos India dan wayang dalam kesusastraan Melayu, cerita Panji dari Jawa, sastra zaman peralihan Hindu-Islam, kesusastraan zaman Islam, cerita berbingkai, sastra kitab, sastra sejarah, undangundang Melayu lama, serta pantun dan syair. Adapun pada setiap bagian dari sastra
1
2
Melayu tersebut terdapat ciri-ciri yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Karya sastra Melayu klasik memiliki peran yang penting bagi masyarakat umum maupun pemerhati budaya dan sastra. Peranan sastra Melayu klasik bagi masyarakat umum di antaranya adalah sebagai pembentuk jati diri bangsa (Liaw, 2011:ix). Nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah Melayu dapat menjadi pedoman pembentukan karakter penerus bangsa. Hal ini disebabkan oleh rekam waktu yang terdapat di dalam naskah. Generasi-generasi muda Indonesia saat ini lebih tertarik pada budaya-budaya asing yang masuk secara bebas ke Indonesia. Oleh karena itu, sastra Melayu klasik sebagai budaya asli bangsa Indonesia memiliki peran penting bagi masyarakat, terlebih lagi bagi generasi-generasi penerus bangsa (Chamamah-Soeratno, 2011:21). Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan merupakan karya sastra sejarah yang bersifat travel literature atau sastra perjalanan. Sastra perjalanan ini merekam kejadian dan keterangan yang dianggap penting oleh penulis ketika melakukan perjalanan. Di dalam prosesnya, penulisan sastra perjalanan memungkinkan penulis untuk melakukan persilangan antar dua budaya yang berbeda atau menunjukkan perbedaan-perbedaan tersebut pada satu daerah yang sama. Penulis sastra perjalanan biasa disebut dengan travelogue atau itinerary. (http://en.m.wikipedia.org/wiki/travelog) Dalam pelayarannya ke Kelantan, Abdullah banyak menceritakan keadaan dan peristiwa yang saat itu sedang terjadi di tengah masyarakat Melayu. Naskah ini ditulis
3
pada tahun 1838 ketika Abdullah diperintahkan oleh Bonham, seorang pejabat kolonial Inggris, untuk mengirimkan surat kepada Raja Kelantan. Pada saat itu di Kelantan sedang terjadi perang. Oleh karena itu, para saudagar di Singapura meminta kepada Bonham untuk mengirimkan surat kepada raja Kelantan yang isinya meminta untuk memelihara perahu-perahu pukat milik mereka. Setelah surat itu disampaikan, seluruh saudagar dan orang-orang Yahudi Singapura pergi menghadap kepada Bonham. Kemudian Tuan Bonham memberikan tiga pucuk surat, sepucuk untuk Raja Bendahara, sepucuk kepada Raja Temenggung, dan sepucuk kepada Yang Dipertuan Kelantan. Dari perintah itulah kemudian Abdullah mulai menuliskan catatan-catatan selama perjalanannya (Sweeney, 2008:30). Di dalam dunia kesusastraan Melayu klasik, nama Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi atau Munsyi Abdullah, sudah tidak asing lagi. Selama hidupnya, Abdullah banyak menuliskan karya sastra yang berhubungan dengan Melayu. Tulisan-tulisan tersebut antara lain, Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan (1838), Dawaulkulub (obat hati), Syair Kampung Gelam Terbakar (1847), Hikayat Abdullah (1849), Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Mekah (1854) (Hamidy, 1981:39). Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi adalah seorang Melayu keturunan Arab. Ayahnya bernama Abdul Kadir, berkebangsaan Arab. Sementara itu, ibunya yang bernama Salmah merupakan orang Melayu. Ayahnya sempat bekerja sebagai pengajar bahasa Melayu pada seorang penyusun kamus berkebangsaan Inggris
4
bernama William Marsden. Selain itu, Abdul Kadir juga pernah bekerja di pelabuhan utama milik Belanda di Malaka (Sweeney, 2008:241; Winstedt, 1969:173). Ketika sang ayah berkecimpung dalam dunia penulisan surat dan kontrak, Abdullah diminta untuk menjadi asisten. Dari sanalah awal Abdullah bekerja sebagai juru tulis, penerjemah, guru bahasa, dan informan untuk pejabat kolonialisme Inggris. Selama bekerja sebagai juru tulis dan pengajar bahasa Melayu, Abdullah banyak bekerja sama dengan orang-orang Eropa, di antaranya Thomsen seorang misionaris Jerman, North, Keasberry, dan Milne seorang pendeta agama Kristen (Winstedt, 1969:174). Konsistensi Abdullah dalam bidang bahasa tidak hanya sebatas pada bahasa Melayu tetapi juga pada bahasa-bahasa asing yang berkembang di Tanah Melayu. Hal ini terlihat dari adanya gelar Munsyi di belakang nama Abdullah. Munsyi adalah gelar yang diberikan oleh orang-orang Hindustan kepada mereka yang mahir berbahasa Hindustan. Setelah berhasil mendalami bahasa Hindi, Abdullah juga terlibat dalam penerjemahan Hikayat Pancatanderan ke dalam bahasa Melayu (Hamidy, 1981:37; Liaw, 2011:341). Pada mulanya, Abdullah tinggal di Malaka. Setelah Singapura berdiri, ia pindah ke Singapura. Kepindahan Abdullah ke Singapura disebabkan oleh kematian istrinya yang bertepatan dengan jatuhnya Malaka ke tangan Belanda (Hamidy, 1981:36).
Dari kepindahan ini Abdullah mulai mengenal pejabat-pejabat dan
menjalin hubungan dengan orang dan pegawai pemerintah kolonial Inggris. Hubungan antara dirinya dengan pejabat maupun pegawai pemerintahan kolonial Inggris ini lama-kelamaan menimbulkan hubungan yang saling membutuhkan.
5
Sikap Abdullah terhadap pejabat-pejabat kolonial Inggris sangat berbeda dengan masyarakat bangsa Melayu. Abdullah begitu mengagungkan Inggris yang pada saat itu dipimpin oleh Ratu Victoria. Sebagai perwujudan kekagumannya kepada Ratu Victoria, ia menuliskan sebuah syair yang berjudul Malay Poem on New Year’s Day 1848. Di dalam teks Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan, terdapat pandangan-pandangan merendahkan yang dilakukan oleh Abdullah terhadap bangsa Melayu. Pandangan-pandangan tersebut, selain bersifat negatif, juga bersifat memaksa (Sudibyo, 2009:66) Penelitian ini merupakan penelitian sastra yang menggunakan objek sastra klasik, yaitu Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Pada penelitian ini tidak digunakan metode penelitian filologi karena naskah Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura sampai ke Kelantan ini sudah pernah disunting secara ilmiah oleh Amin Sweeney (2000). Adapun penelitian yang dilakukan oleh Amin Sweeney ini menggunakan naskah edisi 1838. Naskah ini merupakan edisi pertama yang menggunakan cetak huruf atau tipografi. Mengenai metode filologis, penyuntingan menggunakan metode Legger atau metode induk. Metode ini menggunakan naskah edisi 1838 sebagai teks dasar sedangkan naskah edisi 1852 digunakan sebagai teks pembanding. Amin Sweeney juga menyunting naskah-naskah lain yang ditulis oleh Abdullah di antaranya Hikayat Abdullah, Kisah Pelayaran Abullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan, Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Makkah, Malay Poem, Ceritera Kapal Asap,
6
Syair Singapura Terbakar, dan Syair Kampoeng Gelam Terbakar. Tulisan-tulisan Abdullah yang telah disunting ini kemudian disatukan menjadi sebuah karangan dengan judul Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Di dalam Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan terdapat unsur-unsur yang berhubungan dengan fenomena poskolonial, di antaranya ambivalensi dan stereotip. Ambivalensi bermakna sebagai sebuah tanda, berupa dua pandangan, dua orientasi dalam kemampuan subjek untuk menerima bentuk-bentuk praktik kolonial (Aschroft, 2001:23), sedangkan stereotip dimaknai sebagai bentuk representasi yang salah dengan kenyataan yang sebenarnya (Bhabha, 2007:107). Perilaku-perilaku yang dilakukan oleh Abdullah terhadap para pejabat Inggris, terlebih lagi kepada Tuannya, Raffles, dengan masyarakat Melayu sangat berbeda. Abdullah sangat mengagung-agungkan pemerintah kolonial Inggris, sedangkan kepada masyarakat Melayu, ia sangat memandang rendah bahkan meremehkan. Jika dilihat dari perjalanan hidupnya, Abdullah adalah seorang Melayu keturunan Arab yang sudah mengenal modernitas yang pada saat itu belum dikenal oleh masyarakat Melayu. Perbedaan intelektual yang dimiliki Abdullah membuatnya tertarik dengan bahasa Inggris. Padahal pada saat itu, bahasa Inggris merupakan sesuatu yang dianggap haram oleh mayarakat Melayu. Permasalahan seperti inilah yang mengakibatkan Abdullah memandang rendah kepada bangsanya sendiri. Oleh karena
7
itu, ia selalu membandingkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Melayu yang irasional dengan budaya-budaya Barat yang modern (Sweeney, 2008:345). Ketika melakukan perjalanan ke Tanah Melayu, Abdullah banyak menemukan perilaku-perilaku yang dianggap irasional. Penilaian tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah stereotip bagi bangsa Melayu. Di sisi lain, stereotip yang dilakukan merupakan suatu bentuk kejujuran Abdullah. Pandangannya yang kritis dianggap mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di dalam Tanah Melayu. Sikap seperti ini merupakan wujud kecintaan serta tanggung jawabnya terhadap bangsa Melayu. Perilaku seperti inilah yang biasa disebut dengan perilaku yang ambivalen, di satu sisi ia melakukan stereotip tetapi di sisi lain mencintai bangsa Melayu. Berdasarkan pandangan di atas, ditemukan beberapa permasalahan di dalam naskah Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan. Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah stereotip dan ambivalensi. 1.2
Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, peneliti menemukan beberapa
permasalahan yang ada dalam teks tersebut. Permasalahan tersebut merupakan suatu hal yang menjadi pembahasan pada penelitian ini. Adapun permasalahan tersebut, yakni : 1. Apa sajakah bentuk-bentuk pandangan stereotip Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di dalam teks Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura sampai ke Kelantan?
8
2. Bagaimana bentuk sikap ambivalensi Abdullah terhadap budaya Melayu dalam hubungannya dengan peradaban Eropa? 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian naskah Kisah Pelayaran Abdullah
bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan meliputi tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis melingkupi dua hal. Pertama, mendapatkan bentuk-bentuk stereotip dalam Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan. Kedua, mendapatkan bentuk ambivalensi Abdullah terhadap adat Melayu dalam Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan. Tujuan Praktis dalam penelitian ini adalah meningkatkan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra lama, khususnya karya sastra Melayu klasik yang dikaji dengan menggunakan teori poskolonial. Selain itu, analisis ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sastra Indonesia yang lain, sebagai bahan studi mengenai karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. 1.4
Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi sebagai salah seorang penulis kesusastraan Melayu Klasik. Penelitian yang dilakukan oleh Arbain pada tahun 2012 meneliti tentang hubungan Teori
9
Pembangunan dengan Pahlawan Nasional. Pada penelitiannya, ia memilih Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional. Arbain mengungkapkan bahwa pendapat Abdullah mengenai tempat makam Raja Ali Haji di kandang babi merupakan sebuah bentuk perkataan yang mengandung unsur-unsur politik yang menguntungkan bagi pihak penjajah pada zaman tersebut. Sudibyo (2009) menulis tentang hubungan antara Raffles dengan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Di dalam tulisannya tersebut, Sudibyo menggunakan teori perspektif pascakolonialisme. Hubungan yang terjadi di antara keduanya merupakan hubungan antara Tuan dan Liyan. Abdullah dianggap sebuah keberhasilan proyek yang dilakukan oleh pemerintah kolonial yang bernama mission of civilization atau misi pemberadaban. Tetapi keberhasilan ini dianggap tidak sempurna karena Abdullah tidak mengikuti keyakinan yang dianut oleh Tuannya (Raffles) yaitu Protestan. Pada bagian penutup, Sudibyo mengungkapkan hubungan antara penjajah dan terjajah ini tidak selalu berada dalam oposisi biner. Di tengah-tengah keduanya terdapat hubungan yang disebut dengan ”zona kontak”. Zona kontak ini menimbulkan hubungan antara penjajah dan terjajah yang hampir sama tetapi tidak setara. Dalam buku yang sama, Sudibyo (2009) juga membandingkan persamaan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dengan Ranggawarsita. Kesamaan-kesamaan tersebut adalah mereka sama-sama tumbuh di tengah lingkungan pejabat kolonial baik Inggris maupun Belanda. Ranggawarsita adalah seorang abdi dalem keraton Surakarta yang sudah bekerja sejak masa pemerintahan Pakubuwana IV (sekitar 1826). Ranggawarsita mengenal C. F. Winter dari kerjasama yang dilakukan dalam
10
pembuatan kamus Jawa-Kawi. Sedangkan pertemuan awal Abdullah dengan Raffles adalah ketika Raffles mencari seorang juru tulis Melayu. Abdullah dan Ranggawarsita sama-sama liyan di mata penjajah, yang membedakan antara keduanya adalah bagaimana reaksi-reaksi mereka terhadap masyarakat yang terjajah. Ranggawarsita tidak secara langsung menunjukkan reaksinya ketika berhubungan dengan
pejabat
kolonial,
sedangkan
Abdullah
cenderung
ekspresif
untuk
menunjukkan kebanggaannya berhubungan baik dengan pejabat kolonial Belanda. Di dalam tulisannya ini, Sudibyo juga sedikit menyinggung tentang stereotip-stereotip Barat terhadap Jawa maupun Melayu. Berhubungan dengan teori yang digunakan pada penelitian ini, yaitu poskolonialisme, ditemukan beberapa penelitian yang menggunakan teori yang sama. Muhammad Faqih, melakukan penelitian terhadap Naskah Hikayat Mareskalek pada tahun 2011. Pada penelitiannya, Faqih membahas tentang Diri dan Liyan pada Hikayat Mareskalek. Kesimpulan yang diperoleh adalah pemikiran Abdullah al-Misri dan Sayid Usman memiliki kesamaan, yaitu memuji pemerintahan Belanda dan mencela orang-orang Jawa. Selain itu, keduanya juga menganut keyakinan Islam Ortodoks yang hendak melakukan pemurnian Islam. Tujuan Abdullah al-Misri menulis Hikayat Mareskalek adalah agar dapat dijadikan teladan bagi raja-raja dan para pemimpin lain yang menurutnya masih terbelakang, bodoh, dan malas sedangkan sopan, terdidik, dan berkulit putih merupakan representasi hegemoni kolonial, kesucian ras superior, supremasi ilmu pengetahuan, dan keluhuran peradaban barat.
11
Penelitian yang dilakukan oleh Bagus Kurniawan pada tahun 2008 juga menggunakan teori poskolonialisme. Penelitian ini berjudul Syair Raja Siak: Suntingan Teks dan Analisis Pascakolonial (Wacana-wacana Perlawanan terhadap Praktik-praktik Kolonial Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda). Di dalam penelitian ini, peneliti mengungkapkan awal terjadinya perlawanan dari rakyat Siak terhadap pemerintahan kolonial dikarenakan terdapat kesenjangan relasi yang tidak sejajar antara masyarakat pribumi dengan penjajah. Adapun bentuk hubungan tersebut lebih mengutamakan pola hubungan antara dominan dan inferior. Di dalam teks Syair Raja Siak terdapat simbol-simbol yang memiliki arti sebagai wujud perlawanan rakyat kepada Belanda. Simbol-simbol tersebut berfungsi sebagai penciptaan pahlawan lokal. Penciptaan pahlawan lokal tersebut memiliki keluarbiasaan individual, memerankan fungsi sebagai perimbangan kekuatan militer antara Siak dengan militer Hindia-Belanda. Pada 2012, Bagus Kurniawan juga melakukan penelitian pada beberapa naskah Melayu yang berjudul Wacana Antikolonial dalam Teks-teks Sastra Melayu Klasik sebagai perlawanan rakyat Melayu terhadap kolonialisme Belanda: Analisis Pascakolonial. Di dalam penelitian tersebut Bagus Kurniawan menemukan proses pembentukan relasi antara Islam dengan Nasrani yang cenderung menggunakan identitas religius sebagai faktor pembeda. Tidak hanya diferensiasi melalui kesatuan geopolitik (Timur-Barat), Liyan juga dipandang melalui identitas relijius. Di dalam teks-teks karya pengarang istana juga ditemukan ajaran perang sabil. Ajaran perang
12
sabil diposisikan sebagai wacana antikolonial. Efek yang diperoleh adalah pendapat mengenai kematian melawan kafir di medan perang bukanlah akhir di kehidupan. Selain milik Muhammad Faqih dan Bagus Kurniawan yang menggunakan teori filologi-poskolonial, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Istiqamatunnisak. Istiqamatunnisak menuliskan hasil penelitian yang telah diunggahnya pada laman manuskrips.blogspot.com. Ia melakukan penyuntingan pada naskah Hikayat Teungku Dimeukek pada tahun 2011. Di dalam penelitiannya, Istiqamatunnisak menyebutkan terdapat aspek kolonial yang terdapat di dalam Hikayat Teungku Dimeukek. Aspek kolonial tersebut berupa wacana-wacana perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh yang menentang bentuk-bentuk praktik kolonialisme di Aceh. Selain itu, Istiqamatunnisak juga menyebutkan tentang bagaimana seorang pemuka agama melakukan tugasnya sebagai penyebar agama Islam di tanah Aceh. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian tentang Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan dengan menggunakan pendekatan poskolonial, khususnya unsur stereotip dan ambivalensi belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan. 1.5
Landasan Teori Penelitian naskah Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari
Singapura sampai ke Kelantan menggunakan teori poskolonialisme. Teori poskolonialisme dianggap mampu menjawab dan menyelesaikan rumusan-rumusan
13
masalah yang terdapat dalam penelitian ini. Istilah poskolonialisme mulai dikenal semenjak imperialisme Barat mempengaruhi karya sastra di benua Eropa (Gandhi, 1998:141). Poskolonialisme dapat diartikan sebagai sebuah alat perantara yang digunakan oleh peneliti untuk menelusuri jejak-jejak peninggalan masa kolonialisme, seperti konfrontasi antarras, antarbangsa, dan antarbudaya (Day, 2008:2). Kolonialisme terjadi di beberapa belahan dunia. Edward Said menyebutkan, warisan-warisan sejarah dapat menjadi saksi bahwa empat perlima permukaan bumi dan dua pertiga penduduk bumi pernah mengalami kolonialisme (Said dalam Day, 2008:3). Kajian-kajian poskolonialisme meneliti bagaimana hubungan antara penjajah dan terjajah. Efek-efek yang timbul di dalam sebuah karya sastra disebut dengan poskolonialitas. Poskolonialitas juga mengacu kepada posisi penulis sebagai pribadi dengan cara menarik perhatian pada konteks yang lebih luas yang terdapat di dalam karya sastra. Dengan kata lain, ‘poskolonialisme’ adalah istilah yang digunakan pada pendekatan untuk memahami dampak-dampak akibat praktik kolonialisme yang ada di dalam sebuah karya sastra, sedangkan ‘poskolonialitas’ adalah istilah yang mengacu pada sifat dan penyebaran dampak-dampak tersebut (Day, 2008:3). Di dalam penerapannya, teori poskolonialisme memiliki tiga perhatian utama. Tiga perhatian teori poskolonialisme tersebut adalah kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang pernah mengalami penjajahan bangsa Eropa, baik pada saat berlangsung maupun setelah praktik kolonialisme, lalu reaksi objek terhadap pelaku
14
tanpa mengesampingkan dampak yang ada, serta bentuk-bentuk marginalitas yang dikaitkan dengan kapitalisme (Lo dan Helen dalam Faruk, 2007:15). Setiap praktik kolonialisme yang terjadi memiliki ciri-ciri yang nampak dari sudut pandang objeknya. Ciri-ciri tersebut berupa penataan ulang terhadap subjek tunggal sehingga kebenaran absolut yang mengarah pada pemaksaan serta pencitraan yang dibuat oleh para pelaku praktik tersebut. Ketika melakukan analisis, terkadang terdapat tumpang tindih dengan postrukturalisme. Perbedaan antara postrukturalisme dengan poskolonial adalah pembicaraan poskolonial yang berhubungan dengan orientalisme, yang menunjukkan tentang cara pandang Barat terhadap Timur. Adapun ciri-ciri kapitalisme kolonial adalah (1) penguasaan yang menonjol dan pengerahan modal oleh kekuatan ekonomi asing, (2) penguasaan terhadap koloni oleh suatu pemerintahan yang dijalankan oleh sekelompok kekuatan asing yang bertindak untuk kepentingannya sendiri, (3) tingkat tertinggi dalam bisnis perdagangan dan industri menjadi milik komunitas penguasa asing, (4) ekspor dan impor negara disesuaikan dengan kepentingan penjajah, (5) pola produksi pertanian lebih dominan daripada pola produksi industri, (6) pengembangan keterampilan teknologi sangat sedikit, (7) organisasi produksi melibatkan tenaga kerja setengah bebas, (8) penduduk tidak terlibat dalam perusahaan kapitalis, (9) berlakunya dualisme dalam masyarakat koloni (Alatas, 1988:3). Para pelaku praktik kolonial tersebut tentu saja membawa budaya-budaya serta kebiasaan-kebiasaan yang sudah lama diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Perbedaan budaya yang terdapat dalam praktik kolonialisme menimbulkan masalah
15
mengenai ambivalensi pada budaya lokal dengan budaya yang terbawa pelaku kolonialisme. Budaya yang dibawa oleh pelaku praktik kolonial tersebut menyerupai pengetahuan baru dan selalu menarik. Selama proses dominasi terhadap budaya lokal tersebut, terdapat celah di antara budaya lokal dengan budaya yang terbawa pelaku kolonial. Budaya lokal ini mengalami perubahan dengan tujuan agar sesuai dengan tuntutan model, tradisi, komunitas, sistem referensi yang stabil dan paksaan terhadap budaya-budaya baru, strategi dalam politik penerimaan, menyerupai politik dominasi atau resistensi (Bhabha, 1994:51). Ambivalensi termasuk salah satu efek yang timbul karena praktik kolonial. Ambivalensi merupakan sebuah bentuk informasi yang nyata dari strategi-strategi yang selama ini telah dijalankan. Dengan kata lain, ambivalensi merupakan hasil yang diperoleh dari para pelaku kolonialisme. Ambivalensi dan mimikri memiliki hubungan yang sangat erat. Proses diskursif yang berasal dari mimikri, tidak hanya mengenai sesuatu yang tidak tersampaikan, melainkan juga terciptanya subjek kolonial yang bertransformasi sesuai dengan keinginan sistem kolonial. Dua hal yang menandai hal tersebut adalah sesuatu yang tidak lengkap serta tidak nyata. Kedua hal ini merupakan bentuk timbulnya kekuatan-kekuatan dari kolonial yang berasal dari representasi beberapa strategi pembatasan atau undang-undang mengenai peraturan wewenang kolonial. Kesuksesan sistem kolonial bergantung dengan perkembangan pada objek yang telah mengalami kegagalan strategi (Bhabha, 1994:123). Pada mulanya, Barat datang ke Timur dengan tujuan untuk berziarah. Dengan alasan ini, mereka mengunjungi, memotret, bahkan kemudian mengeksploitasi
16
terhadap Timur. Kemudian dari penziarahan berlanjut kepada
menuliskan
pengalaman-pengalaman pribadi selama berada di Timur. Pengalaman-pengalaman pribadi itulah yang kemudian akan menjadi sebuah jurnal ilmiah yang digunakan sebagai bahan kajian ketimuran bagi kepentingan kalangan mereka sendiri. Selama Barat berada di Timur, mereka tetap melindungi diri dari pengaruh-pengaruh luar. Jika hal ini tidak dilakukan, akan berpengaruh pada tulisan-tulisan mereka mengenai studi ketimuran. Oleh karena itu, mereka akan menjadikan Timur sebagai panggung imajinatif, yang pada akhirnya dapat dieksploitasi sesuai dengan kepentingan mereka sendiri (Said, 2010:257). Pandangan-pandangan yang dibuat Barat terhadap Timur inilah yang disebut dengan stereotip. Pada saat pasukan dan pejabat kolonialisme Inggris mulai berdatangan ke Malaka, mereka memandang masyarakat Melayu dengan pandangan yang merendahkan. Inggris memandang bangsa Melayu tidak memperoleh tingkat perkembangan intelektual yang tinggi, memiliki karakter primitif dan tidak beradab (Alatas, 1988:53). Pandangan-pandangan tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah kajian. Kehidupan Timur yang eksentrik, bahasanya yang asing dengan moralitas yang dianggap sesat itu kemudian diringkas, sehingga menjadi detail-detail yang akan disajikan dengan gaya Eropa yang normatif. Hal-hal inilah yang membuat Barat semakin tertarik pada Timur. Ambivalensi yang terdapat di setiap tindakan mimikri (mirip tetapi tidak sama) memberikan kesan bahwa kebudayaan kolonial berpotensi besar dan secara strategis
17
dapat mengacaukan kemampuan sistem kolonial. Hal seperti inilah yang kemudian disebut dengan ‘efek identitas’ yang tidak sempurna. Di balik kamuflase, mimikri, seperti sebuah bentuk pemujaan yang mendalam. Di dalam sikap ambivalen, terdapat perbedaan dari hasrat modernitas untuk menemukan obyek dari dunia barat yang aneh, eksentrik, dan perbedaan yang mencolok tentang kolonial (Bhabha, 1994:131). Pembicaraan mengenai karya sastra dan teori perspektif poskolonial memiliki hubungan yang erat. Terlebih lagi di dalam karya sastra Melayu. Hal ini disebabkan karena bangsa Melayu pernah mengalami penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat. Efek yang ditimbulkan dari masa kolonialisme, selain dari yang disebutkan di atas, terdapat pula efek kanonisitas yang terjadi pada karya sastra-karya sastra yang muncul baik pada maupun setelah masa itu. Kanonisitas terhadap karya sastra itu berdampak terhadap penggunaan bahasa maupun cerita yang dikembangkan oleh pengarang (Faruk, 2007:365). Pengetahuan mengenai bahasa dan sejarah mengenai suatu teks sangat penting, tetapi untuk mendapatkan pemahaman filologis pada karya sastra, salah satunya adalah dengan berusaha untuk memasuki kehidupan teks tertulis berdasarkan perspektif waktu dan pengarangnya (Said, 2010:xxv). Oleh karena itu, penelitian yang menggunakan karya sastra sebagai objeknya, dapat menggunakan teori perspektif poskolonial. Teori poskolonial mampu membawa peneliti memasuki kehidupan teks yang berdasarkan waktu dan pengarangnya.
18
1.6
Metode Penelitian Penelitian naskah Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura sampai ke
Kelantan ini menggunakan metode pengumpulan data dan metode analisis data. 1.6.1
Metode Pengumpulan Data Di dalam penelitian ini tidak digunakan metode penelitian filologi, karena
penulis tidak melakukan penyuntingan terhadap teks Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan. Penelitian ini menggunakan teks Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura sampai ke Kelantan yang sudah disunting oleh Amin Sweeney pada tahun 2000. Penyuntingan yang dilakukan oleh Amin Sweeney menggunakan naskah edisi 1838 yang menggunakan cetak huruf sebagai naskah induk atau utama, sedangkan naskah edisi 1852 yang menggunakan cetak batu digunakan sebagai pembanding naskah utama. Setelah menentukan teks, penulis melanjutkan penelitian dengan mencari informasiinformasi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang terdapat di dalam teks, baik yang berasal dari dalam maupun luar teks. 1.6.2
Metode Analisis Data Teori yang digunakan untuk analisis dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif-analisis dan interpretasi. Pada tahap awal penelitian, peneliti melakukan pengumpulan data yang berhubungan dengan objek penelitian. Setelah data
19
terkumpul, kemudian dilakukan pengkajian data secara deskriptif-analisis. Pada tahap yang selanjutnya, dilakukan interpretasi terhadap data yang telah dianalisis sesuai dengan teori poskolonial. 1.7
Sistematika Penyajian Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I dikemukakan
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Pada Bab II akan dijelaskan tentang kolonialisme di Tanah Melayu dan awal pertemuan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dengan Thomas Stamford Raffles. Analisis stereotip dan ambivalensi yang dilakukan Abdullah terhadap bangsa Melayu dijelaskan pada Bab III. Bab IV merupakan kesimpulan dari hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian. Kesimpulan ini merupakan bagian yang berisi pokok-pokok hasil penelitian secara menyeluruh.