BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari interaksi antar sesama, dengan demikian kebutuhan kehidupan saling terpenuhi. Dengan adanya interaksi tersebut, dapat menumbulkan permasalahan dalam masyarakat, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini hukum mempunyai peranan yang sangat penting. Dengan terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang teratur dan tertata tentunya tidak terlepas dari kerjasama antara para penegak hukum dan masyarakat yaitu dengan cara menaati suatu kaidah peraturan hukum yang sudah ada dan tidak melanggarnya. Dalam pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNKRI 1945) diamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadlan sosial. Konsepsi pembangunan nasional dalam garis-garis haluan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang bekadilan. Sebagai Negara yang berkembang,
Indonesia melaksanakan pembangunan di bidang hukum, yang sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Kegiatan perusahaan pada umumnya dijalankan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal sesuai dengan pertumbuhan perusahaan tersebut dalam jangka panjang. Untuk itu kehadiran perusahaan diharapkan dapat membuka lapangan dan dan mensejahterakan tenaga kerja, serta menyediakan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat. Selain itu, kehadiran perusahaan juga diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembangunan nasional baik itu melalui pembayaran pajak maupun tanggung jawab sosial lainnya.1 Kehadiran
perusahaan-perusahaan
tersebut
tidak
semuanya
memperoleh
keuntungan dan memenuhi harapan seperti yang direncanakan. Bahkan banyak yang mengalami kerugian yang mengarah pada kesulitan likuiditas, sehingga tidak mampu melanjutkan usahanya dan melakukan pemutusan hubungan kerja. Hal ini terjadi antara lain karena dalam menjalankan kegiatan usaha pengurus perusahaan tidak memiliki keampuan membuat kebijakan-kebijakan dalam memperoleh, mengelola dan menggunakan simber-sumber ekonomi yang dimiliki dengan tepat. Selain itu juga karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak beroperasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak menerapkan etika bisnis dengan baik.
1
Abdulkadir Muhammad, 2012, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya, Bandung, hal.
27.
Sebaliknya apabila pengurus perusahaan tersebut memiliki kemampuan dan menjalankan kepengurusannya dengan baik, maka perusahaan yang bersangkutan akan memperoleh keuntungan dan mendapat kepercayaan dari pihak lain yang terkait, yitu antara lain dari para pelanggan dan kreditur-krediturnya. Akan tetapi, pada perusahaan yang pengurusannya tidak menjalankan tugas sebaik-baiknya terhadap perusahaan
yang dipimpinnya, maka
akan dapat
menyebabkan atau mengakibatkan perusahaan yang bersangkutan dalam keadaan yang tidak sehat. Hal seperti ini ternyata telah menyebabkan banyak perusahaan tidak mampu mengembalikan utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Akumulasi dari banyaknya perusahaan yang melakukan tindakan serupa dalam hal yang tidak sehat tadi telah menyebabkan utang swasta menjadi lebih besar dari utang Negara. Keadaan yang seperti itu terbukti pada keadaan tahun 1997 dimana permintaan dolar untuk melunasi penjaman luar negeri melonjak secara drastis.2 Menyikapi akibat naiknya nilai dolar tersebut, para pengurus perusahaan terpaksa melakukan berbagai tindakan dalam rangka menyelematkan perusahaan dan/atau asetnya. Bagi perusahaan yang dalam perkiraan para pengurusnya akan dapat membayar utangnya, maka ia akan segera melakukan negoisasi keadaan kreditur untuk dapat menunda dan menjadwalkan kembali pembayaran utangnya. Sementara, bagi perusahaan yang sudah tidak mungkin lagi membayar utangnya, maka ia hanya
2
Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 150.
menunggu untuk menjalankan pembubaran perusahaan melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) yang dilakukan atas usul Direksi sesiak dengan ketentuan dalam Pasal 115 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang perseroan Terbatas. Dalam rangka mendukung upaya para pengusaha tersebut dan agar perekonomian nasional dapat bangkit kembali, maka pemerintah bersama dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya melakukan reformasi disegala bidang kehidupan, termasuk dibidang hukum. Dimana salah satu aspek yang penting dalam reformasi tersebut adalah dengan adanya Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) Nomor 1 Tahun 1998, pada tanggal 22 April 1998 tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan. Perpu ini kemudian telah ditetapkan kembali dengan Undangundang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan. Terakhir Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 diubah dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, selanjutnya disebut UUK dan PKPU. Kehadiran Undang-undang Kepailitan ini akan sangat penting artinya bagi para kreditur, yang pada waktu itu diminta untuk menyetujui restrukturisasi utang para debitur sebagai jaminan kepastian bahwa utangnya akan dapat dibayar. Selain itu, bagi debitur kehadiran undang-undang ini tentunya diharapkan akan dapat
memberikan peluang kepada debitur untuk menghindari kepailitan, karena dapat menunda pembayaran utangnya.3 Dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tersebut, Pengadilan Niaga untuk pertama kali sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 Jo. Undang-undang No. 1 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut: Untuk pertama kali dengan undang-undang ini, Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pembentukan Pengadilan Niaga tersebut merupakan suatu implementasi dari bentuk pengadilan khusus yang berada di bawah Lingkungan Peradilan Umum.4 Dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294, yang di maksud dengan tundaan pembayaran utang adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Hakim Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak Kreditur dan Debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.5
3
Anton Suyatno, 2014, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai Upaya Mencegah Kepailitan, Cet. II, Kencana, Jakarta, hal. 21. 4
Jono, 2010, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 82.
5
Munir Fuady, 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Prektek, Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 171.
UUK memberikan 2 (dua) alternatif kepada perusahaan (debitur) yang tidak dapat membayar utangnya yang telah jatuh tempo, yaitu dinyatakan pailit atau utangnya telah jatuh tempo, yaitu dinyatakan pailit.6 Lebih lanjut dalam UUK kedua alternatif tersebut diatur sebagai berikut: 1. Debitur dapat dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan apabila mempunyai dua atau lebih kreditur tidak dapat membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dimana putusan pailit tersebut dapat dimohonkan oleh debitur sendiri atau atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Selain itu, permohonan pailit dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga tertentu, yaitu : Kejaksaan dimana untuk kepentingan umum, Bank Indonesia dimana untuk debitur yang merupakan bank, dan Badan Pengawas Pasar Modal dimana diperuntukan kepada debitur yang merupakan perusahaan efek. 2. Debitur dapat mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang ke Pengadilan Niaga, apabila tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Atau dapat pula dilakukan sebagai reaksi atas permohonan pailit yang diajukan oleh para krediturnya.
6
Anton Suyatno, op.cit..hal. 4.
Searah dengan upaya untuk memberikan perlindungan hukum debitur terhadap tuntutan kepailitan, maka pada Pasal 217 ayat (6) diatur tentang kedudukan yang lebih dipentingkan terhadap permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang daripada permohonan pernyataan pailit. Dalam Pasal tersebut disebutkan, bahwa apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.7 Penundaan pembayaran tidak berdasarkan keadaan dimana debitur tidak mampu membayar utangnya dan juga tidak dimaksudkan untuk dilakukan tindakan pemberesan (likuidasi) melainkan didasarkan pada kondisi debitur yang dalam keadaan sulit untuk memenuhi utang-utangnya secara penuh, misalnya sebagai akibat perusahaan mengalami kerugian atau terjadi kebakaran pabrik, ataupun resesnsi ekonomi yang membawa ketidakstabilan nilai tukar terhadap dollar. Kesulitan debitur yang seperti itu menjadi indikasi kebangkrutan (kepailitan). Jika debitor diberi tempo (waktu) besar kemungkinan Debitor akan sanggup untuk memenuhi atau melunasi utangnya secara penuh.8 PKPU yang diberikan kepada pemohon (debitur) dengan tujuan menyelesakan utang piutang dengan para krediturnya melalui proses PKPU kedua belah pihak akan membuat rencana perdamaian dengan didahului usulan proposal perdamaian yang diajukan oleh debitur. 7
8
Anton Suyatno, op.cit., hal. 6.
Anton Suyatno, op.cit., hal. 71
Perjanjian perdamaian dibuat untuk mengakhiri suatu sengketa dan dalam hal PKPU adalah penyelesaian sengketa utang yang telah jatuh tempo dengan cara-cara restrukturisasi utang pengurangan/potongan pokok pinjaman dan bunganya, pengurangan tingkat suku bunga, konversi utang kepada saham, penundaan pembayaran.9 Berdasarkan pada uraian di atas maka PKPU dapat dimanfaatkan sebagai sarana/alat hukum bagi debitur untuk menjadwalkan kembali penyelesaian utagnya sekaligus mencegah kepailitan. Dalam hal ini undang-undang memberikan tempo waktu 270 hari terhitung sejak putusan penundaan sementara pembayaran utang ditetapkan. Dalam pelaksanaan PKPU, sesuai dengan ketentuan Pasal 124 ayat (2) maka debitur tidak kehilangan haknya untuk mengalihkan dan mengurus harta, asalkan hal seperti itu dilakukan bersama-sama dengan pengurus. Kedudukan debitur seperti itu dilakukan bersama-sama dengan pengurus. Kedudukan debitur seperti ini tentunya dapat memberikan keuntungan baik dari pihak debitur maupun kreditur. Bagi debitur akan
membuka
kesempatan
untuk
memperbaiki
dan
mengatasi
kesulitan
likuiditasnya, sehingga usahanya dapat dipertahankan dan membayar utang-utangnya. Sedangkan bagi kreditur, adanya penundaan kewajiban pembayaran utang akan terbuka kemungkinan utang-utangya dapat dilunasi secara penuh.
9
Anton Suyatno, op.cit., hal 112
Hal demikianlah yang terjadi pada permohonan perdamaian yang diajukan PT. Exist Assetindo, Dimana kegiatan usaha utama adalah perdagangan asset atau property dengan mekanisme Repo property. Namun, dalam perjalanan kegiatan usahanya terjadi gangguan dan kesulitan arus kas atau cashflow yang disebabkan banyaknya pemodal yang menarik kembali danya dan tidak memperpanjang kerjasamanya dengan PT. Exist Assetindo serta adanya ketidakseimbangan antara jangka waktu yang terdapat dalam Repo property, hal tersebut mengakibatkan PT. Exist Assetindo tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada para pemodal. Namun, PT. Exist Assetindo dalam perdagangan property masih berjalan, banyak permintaan dan pemilik property yang ingin mejual propertinya. Dengan masih adanya prospek usaha yang baik tersebut, hal ini dijadikan dasar permohonan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang dengan harapan bahwa utang yang dimiliki PT. Exist Assetindo dapat direstrukturisasi dengan kegiatan usahanya masih tetap berjalan. Berdasarkan keuntungan PKPU yang lebih efektif dalam penyelesaian utang dibandingkan dengan kepailitan. Berdasarkan pemasalahan tersebut, sehingga tertarik untuk mengangkat skripsi dengan judul : “
MANFAAT
RENCANA
PERDAMAIAN
(AKKOORD)
DALAM
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG SEBAGAI UPAYA UNTUK
MENCEGAH
KEPAILITAN
(STUDI
KASUS
:
PUTUSAN
PENGADILAN
NIAGA
JAKARTA
PUSAT
NO.
:
11/PDT.SUS-
PKPU/2014/PN.NIAGA.JKT.PST.)” 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah faktor-faktor yang dapat mendorong keberhasilan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) sehingga debitur terhindar dari kepailitan? 2. Apakah manfaat perdamaian (akkoord) dalam PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) bagi debitur dan kreditur sebagai upaya mencegah kepailitan? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam setiap karya ilmiah diperlukan adanya suatu ketegasan tentang materi yang diuraikan, hal ini disebabkan untuk mencegah agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka untuk menghindari pembahasan agar jangan terlalu meluas, permasalahan dibatasi hanya pada pembahasan peranan Lembaga PKPU terhadap pelaku usaha untuk mencegah terjadinya kepailitan dan manfaat Lembaga PKPU bagi pelaku usaha dalam mencegah terjadinya kepailitan.
1.4. Orisinalitas No. 1.
Skripsi/Tesis Sriwijiastuti, Fakultas
Judul
Rumusan Masalah
2010, Lembaga PKPU Sebagai Hukum Sarana
Restrukturisasi Bagi
lembaga
PKPU
dapat
Universitas
Utang
Diponegoro,
Terhadap
Semarang.
(Studi Kasus Pada PT.
restrukturisasi utang
Anugerah Tiara Sejahtera)
bagi
Para
Debitor
1. Apakah
Kreditor
digunakan
sebagai
sarana
debitro
terhadap
para
kreditornya
pada
keputusan Pengadilan
Niaga
telah sesuai dengan UUK
dan
PKPU
(Pada Kasus PT> Anugerah
Tiara
Sejahtera)? 2. Apakah kepentingan
para
pihak (kreditor dan debitor)
dalam
PKPU
telah
mendapat perlindungan hukum (Pada Kasus PT. Anugerah Tiara Sejahtera)? 2.
Ni
Komang
Widhi Kedudukan
Wahyu Suartini, 2013, Konkuren Fakultas
Dalam
Hukum Penundaan
Universitas Udayana, Pembayaran Denpasar.
Kreditor
Kewajiban Utang
1. Apakah penyelesaian utang piutang
melalui
PKPU
dapat
Berdasarkan UU No. 37
menjamin
kreditor
Tahun
konkuren
dalam
2004
Tentang
Kepailitan dan Penundaan
memperoleh
Kewajiban
pelunasan
Utang
Pembayaran
pembayaran piutangnya? 2. Bagaimanakah akibat terhadap
hukum kreditor
konkuren dalam hal permohonan PKPU
dikabulkan? 3.
Putu Nindya Krishna Manfaat Prasanti, Fakultas
Putusan 1. Apakah faktor-faktor
2015, Perdamaian
(Akkoord)
Hukum Dalam
Penundaan
Universitas Udayana, Kewajiban Denpasar.
Utang
Pembayaran
Sebagai
Mencegah (Studi
Kepailitan
Kasus:
Pengadilan
Upaya
yang mendorong
keberhasilan PKPU sehingga debitor dari kepailitan?
Putusan 2. Apakah
Niaga
No.:
dapat
manfaat
perdamaian (akkord)
11/Pdt.Sus-
dalam PKPU bagi
PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.
debitor dan kreditor
Pst)
sebagai
upaya
mencegah kepailitan?
1.5. Tujuan Penelitian a.
Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai
konsep penyelesaian utang piutang melalui PKPU. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang
harus dilakukan apabila ingin mengadakan proses penyelesaian utang piutang melalui PKPU. b.
Tujuan khusus a. Untuk Mengetahui faktor-faktor yang dapat mendorong keberhasilan PKPU dalam upaya terhindar dari kepailitan. b. Untuk mengatahui manfaat perdamaian (akkoord) dalam PKPU bagi Debitur maupun Kreditur sebagai upaya mencegah kepailitan.
1.6. Manfaat Penelitian a.
Manfaat teoritis Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menambah pustaka di bidang ilmu
hukum perdata khususnya di dalam hukum kepailitan b.
Manfaat praktis a. Bagi mahasiswa : sebagai referensi dalam menyelesaikan tugas maupun penelitian mengenai hukum kepailitan. b. Bagi dosen hukum kepailitan : sebagai bahan diskusi di kelas mengenai menfaat perdamaian dalam PKPU bagi perusahaan yang teridentifikasi mengalami kepailitan. c. Bagi kreditur, kuasa hukum kreditur, debitur, dan kuasa hukum debitur : sebagai bahan masukan dalam membuat permohonan pernyataan pailit dan mempersiapkan bukti-bukti yang deperlukan selama persidangan.
d. Bagi masyarakat : sebagai bahan bacaan hukum kepailitan yang kebenaran isinya dapet dipertanggungjawabkan, mengingat kebanyakan berita yang beredar luas di masyarakat belum dapat dibuktikan kebenarannya dan bersifat menguntungkan salah satu pihak. 1.7. Landasan Teoritis Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada Pasal 222 sampai 294, yang dimaksud dengan tundaan pembayaran utang (Suspension of Payment atau Surseance van Betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Hakim Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak Kreditur dan Debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut, jadi penundaan kewajiban pembayaran utang sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.10 Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didasarkan pada beberapa asas, yaitu: -
Asas keseimbangan, dalam undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
10
Munir Fuady, loc.cit.
penyalah gunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepeilitan oleh krditur yang tidak beritikad baik. -
Asas Kelangsungan Usaha, dimana terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
-
Asas Keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihakpenagih yang mengusahakan pemayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitur, dengan tidak mempedulikan Kreditur lainnya.
-
Asas Integrasi, asas ini dalam undang-undang mengandung pengertian bahwa system hukum formil dan hukum meterilnya merupakan satu-kesatuan yang ututh dari system hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
PKPU adalah prosedur hukum atau (upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo, untuk memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditur.11 Hal ini berbeda sifatnya dengan kepailitan, dimana Debitur kehilangan haknya untuk mengalihkan dan mengurus harta kekayaannya. Jika ditinjau dari sifatnya,
11
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Kepailitan, Ghalia Indonesia, Bogor, hal.37.
maka dalam PKPU lebih ringan dibandingkan dengan kepailitan. Karena dalam penundaan kewajiban pembayaran utang debitur tetap berwenang melakukan perbuatan pengalihan dan pengurusan harta kekayaannya asalkan hal itu dilakkan bersama-sama dengan pengurus.12 Tidak semua permohonan PKPU dapat diajukan. Permohonan tersebut hanya dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu, yaitu : 1. PKPU hanya dapat diajukan oleh Debitur. Permohonan tersebut dapat dilakukan sebagai reaksi
permohonan pernyataan yang diajukan oleh
Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur. 2. Dalam hal permohonan dilakukan sebagai reaksi atas permohonan penyertaan pailit, maka perlua diperhatikan bahwa putusan penundaan kewajiban pembayaran uhanya boleh diberikan dalam hal putusan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga. 3. Penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 UUK beserta surat-surat bukti selakyaknya. Surat-surat tersebut perlu dan agar dari surat-surat tersebut dapat diketahui apakah ada harapan bahwa debitur dekemudian hari dapat memuaskan kreditur-krediturnya.
12
Rahayu Hertini, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan PengadilanNiaga & lembaga Arbitrase, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal. 71.
PKPU yang telah ditetapkan oleh Pengadilan mengakibatkan diberhentikannya untuk sementara kewajiban pembayaran utang Debitor yang telah jatuh tempo sampai dengan dicapaiya kesepakatan baru antara Kreditor dan Debitor mengenai syaratsyarat dan tata cara pembayaran baru yang disetujui bersama, penundaan pembayaran tidak menghapuskan kewajiban untuk melakukan pembayaran utang, tidak juga mengurangi besarnya utang yang wajib dibayar oleh Debitor, melainkan bersifat penundaan sementara untuk mencapai penjadwalan baru atas utang-utagnya yangtelah jatuh tempo, PKPU baik yang sementara maupun yang tetap berikut perapnjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratud tujuh puluh) hari, yang dihitung dari tanggal sejak putusan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang ditetapkan.13 Dalam UUK dan PKPU memberikan peluang bagi debitur maupun kreditur untuk mengajukan upaya perdamaian. Upaya perdamaian (akkoor) dapat diajukan oleh salah satu pihak guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perdamaian dalam pemberesan harta pailit berbeda karakteristiknya dengan perdamaian dalam PKPU. Perdamaian dalam kepailitan lebih mengarah pada proses penyelesaian utang-utang debitur melalui pemberesan harta pailit, sedangkan
13
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2004, Kepailitan, Cet. IV, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 116.
perdamaian dalam PKPU lebih ditekankan pada rencana penawaran pembayaran atau melakukan testrukturisasi pembayaran utang. Pasal 149 UUK dan PKPU ditentukan bahwa Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut. Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 149 UUK dan PKPU, mereka menjadi Kreditor konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa upaya perdamaian hanya berlaku terhadap kreditor konkuren (bersaing). Kreditor separatis, kreditor preferen dengan hak untuk didahulukan tidak berhak memberikan suaranya dalam rapat tentang rencana perdamaian tersebut. Jika kreditor separatis dan kreditor preferen memberikan suaranya dalam rapat rencana perdamaian, maka berarti bahwa kreditor tersebut telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagaimana dalam KUH Perdata dan selanjutnya berubah menjadi
kreditor konkuren, meskipun jika pada akhirnya rencana perdamaian tersebut tidak diterima, kreditor ini tetap menjadi kreditor konkuren.14 Bahwa dalam pengajuan perdamaian pada PKPU berbeda dengan pengajuan perdamaian dalam kepailitan. Perbedaan perdamaian antara perdamaian pada PKPU dan perdamaian pada kepailitan dapat dilihat dari segi waktu, penyelesaian, syarat penerimaan, dan kekuatan mengikat. Dari segi waktu, perdamaian pada PKPU diajukan diajukan pada saat atau setelah permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan pailit dari majelis hakim pengadilan niaga. Dari segi penyelesaian, pembicaraan penyelesaian perdamaian dilakukan pada sidang pengadilan yang memeriksa permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan dibicarakan pada saat verifikasi (rapat pencocokan piutang) yaitu setelah adanya putusan pailit. Dari segi syarat penerimaan, syarat penerimaan perdamaian pada PKPU harus disetujui 2/3 jumlah kreditor yang diakui dan mewakili 3/4 dari jumlah piutang.Sedangkan perdamaian dalam kepailitan harus disetujui oleh 1/2 kreditor konkuren yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui.Dari segi kekuatan mengikat perdamaian pada PKPU
14
Bernadette Waluyo, 1999, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung, hal. 59.
berlaku pada semua kreditor sedangkan perdamaian pada kepailitan hanya berlaku bagi kreditor konkuren saja.15 1.8. Metode Penelitian a.
Jenis penelitian Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, ciri khas ilmu hukum adalah sifatnya
yang normatif dan metode kajiannya yang khas, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian ini pula dapat dikatakan penelitian hukum klinis, penelitian hukum klinis merupakan usaha untuk menemukan apakah hukum yang diterapkan sesuai untuk penyelesaian perkara atau masalah tertentu (in-concerto).16 b.
Sifat penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sifat penelitian
deksriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.17
15
Hadi Shubhan, 2008, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan,1 Kencana, Jakarta, hal. 150. 16
Amiruddin dan H. Zainal Asikin,2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. 125. 17
Amiruddin dan zainal asikin, op.cit, hal. 25.
c.
Jenis pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis pendekatan
perundang-undangan (The Statue Approach) dan jenis pendekatan kasus (The Case Approach) selain itu digunakan pula jenis pendekatan analisis konsep hukum (Analitical
&The
Conceptual
Approach).
Pendekatan
perundang-undangan
merupakan pendekatan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum/kaidah-kaidah yang berhubungan dengan penyelesaian utangpiutang melalui penundaan kewajiban pembayaran utang. Pendekatan kasus merupakan pendekatan yang berdasarkan kasus yang terjadi dalam hal kepailitan dan penyelesaian utang piutang melalui PKPU. Pendekatan analisis konsep hukum merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan yang jelas tentang penyelesaian utang-piutang melalui perjanjian perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang. d.
Sumber bahan hukum Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan
kepustakaan yang penggunaannya berdasarkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu:
1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat.18 Bahan-bahan hukum primer terdiri dari : a. KUH Perdata b. Peraturan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. c. Putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. : 11/Pdt.Sus-PKPU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. d. Peraturan-Peraturan hukum yang terkait lainnya. 2. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengnai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah lieratur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literature-literatur hukum buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer), pendapat para sarjana, jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian maupun literature non hukum.19
18
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 170. 19
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, Cet. V, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 1.
3. Bahan hukum tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk meupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia, dan kamus hukum.
e. Teknik pengumpulan bahan hukum Mengenai teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document). Telaah kepustakaan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. f. Teknik analisis bahan hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.20 Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang apa saja yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan rencana yang memerlukan evaluasi.
20
Burhan Ashshofa, 2007, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Bineka Cipta, Jakarta, hal. 61.
Metode interprestatif adalah metode yang menfsirkan peraturan perundangundangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undan lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.Karena suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Metode argumentatif adalah alasan berupa uraian penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum dan penemuan hukum,yang berkaitan dengan obyeknya.