Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau dari Tempat Tinggal Tjwa Fenny Surya Fakultas Psikologi
[email protected] Abstrak: Kepuasan perkawinan merupakan hal penting karena ketika kepuasan perkawinan tidak tercapai salah satu dampaknya adalah perceraian. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan salah satunya hubungan dengan keluarga pasangan. Kepuasan perkawinan adalah evaluasi subjektif mencakup perasaan dan sikap didasarkan dari dalam diri yang memengaruhi interaksi perkawinan. Tinggal dengan mertua memungkinkan mertua terlibat dalam perkawinan pasangan tersebut yang dapat memunculkan konflik. Adanya konflik dengan mertua ini mempengaruhi kepuasan perkawinan pada istri. Tujuan penelitian adalah mengetahui perbedaan kepuasan perkawinan pada istri ditinjau dari tempat tinggal yaitu tinggal dengan mertua dan tinggal sendiri. Subjek penelitian adalah istri-istri pada usia dewasa awal (23-40 tahun) dan bertempat tinggal dirumah mertua dan tinggal dirumah sendiri. Metode pengumpulan subjek snowball dan pengambilan data menggunakan angket yang diadaptasi dari ENRICH Marital Satisfaction yang digunakan oleh Tommey (2002). Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan dari subjek yang tinggal dengan mertua dan subjek tinggal sendiri. Kepuasan perkawinan pada kedua kelompok subjek tergolong tinggi. Status tinggal dengan mertua ini membuat mertua terlibat dalam rumah tangga subjek dan memunculkan konflik dengan mertua namun sikap suami menjadi penegah dalam konflik tersebut juga membuat kepuasan perkawinannya tinggi, selain itu keterlibatan mertua tidak selalu membawa dampak negatif namun dengan adanya mertua pasangan terbantu secara finansial dan juga pengasuhan anaknya (cucu). Kata kunci: kepuasan perkawinan, tempat tinggal Abstract – Marital satisfaction is important issue ini marriage because when marital satisfaction is not achieved is one of the impact of divorce. There are many factor that influence marital satisfaction one of them is relationship with partner’s family. Marital satisfaction is the subjective evaluations based on feelings and attitudes of the self that influence marital interaction. Living with parent in-laws can get involved in the couple's marriage that lead to conflict with parent in-laws, especially motherlaws. There is a conflict with this mother-laws affects marital satisfaction. The purpose in this research objective was to know difference in marital satisfaction on wife who lived with mother-in laws and wife who not living with mother in-laws. Subjects in tihis research were wives of early adulthood ( age 23-40) and living in mother in-laws’s and not living with mother in-laws. Researcher used snowball method to collect subject and using a questionnaire adapted from the Enrich Marital
1
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
Satisfaction used by Tommey (2002).The results showed there is no difference in marital satisfaction on subjects who lived with mother in-laws and subject not lived with mothers in-laws . Marital satisfaction in both groups of subjects is high category. Living with mother in-laws will lead mother in-law to involed the household subject and generating conflict with mother in-law but when husband became to mediate the conflict has also led to higher marital satisfaction, in addition to the involvement of mother in-law did not always have a negative impact, but with living with parent inlaws wife and her husband can helped their financially and also helped take care their child. Keyword: marital satisfaction, residence (with mother in laws and not living with mother in laws) PENDAHULUAN Kepuasan perkawinan bagi semua pasangan suami istri merupakan salah satu hal yang penting dalam perjalanan perkawinannya. Menurut Pinsof dan Lebow (dalam Rini & Retnaningsih, 2008) kepuasan perkawinan merupakan pandangan subjektif mencakup perasaan dan sikap yang didasarkan pada faktor dari dalam diri individu yang memengaruhi interaksi atau hubungan dalam perkawinan. Dalam kepuasan perkawinan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi dan juga aspek-aspek kepuasan yang dirasakan oleh masing-masing pasangan seperti aspek finansial, waktu luang dari pasangan terkait waktu yang dihabiskan bersama, seksualitas terkait aktifitas seksual dari pasangan, komunikasi terkait keterbukaan dari masing-masing pasangan, resolusi konflik, pengasuhan anak, orientasi agama, dan keluarga terkait orang tua dari pasangan, ipar atau pun mertua. Beberapa faktor yang memengaruhinya yaitu socioeconomic, tingkat pendidikan, hubungan dengan keluarga, kehadiran anak, dan lama perkawinan. Pasangan yang telah menikah diharapkan keduanya dapat mandiri dan dapat bertanggung jawab dengan kehidupan mereka yang baru, membangun keluarga baru, berpisah dengan orang tua dan tinggal bersama pasangan. Namun fenomena sekarang ini masih ditemukan pasangan suami istri yang menikah tetapi tinggal dengan mertua, dengan berbagai alasan sehingga memutuskan untuk tinggal dengan orangtua salah satu pasangan (Dharma & Nikita, 2011). Alasan pasangan tinggal mertua adalah (1)
2
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
pasangan belum memiliki dana untuk membangun rumah sendiri. (2) membutuhkan mertua untuk menjaga anak mereka (cucu). (3) faktor budaya tertentu, mertua mewajibkan anak lakinya tinggal bersama orangtua (Kompasiana, 2011). Tinggal dengan mertua dapat menguntungkan namun juga dapat merugikan, karena tinggal dengan mertua beresiko menimbulkan konflik, dan konflik yang sering terjadi adalah menantu perempuan dengan ibu mertua. Savitri (dalam Ariyani & Setiawan, 2007) mengatakan perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan yang mendasar pada pola pikir dan psikologis, dimana perempuan lebih sensitif dibandingkan dengan laki-laki dan bagi perempuan tahap atau fase paling berharga adalah keluarga, sehingga hal ini mungkin yang memunculkan adanya fenomena konflik antara ibu mertua dan menantu perempuan. Konflik yang terjadi dikarekan adanya keterlibatan mertua dalam rumah tangga menantunya. Kerlibatan yang paling sering terjadi adalah dalam hal pengasuhan anak atau cucu dan dalam hal finansial (TabloidNova, 2010). Hal ini juga didukung dari hasil survey awal yang didapatkan dengan melakukan wawancara pada 10 subjek yaitu 5 subjek yang tinggal dengan mertua dan 5 subjek tinggal sendiri, dan hasil memperlihatkan hasil pada subjek yang tinggal dengan mertua, tiga subjek mengaku mertua perempuan sering ikut andil dalam finansial dan pengasuhan anak, dan satu subjek karena intensitas komunikasi yang kurang, dan satu subjek karena konflik resolusi. Pada subjek tinggal sendiri Tiga subjek mengaku merasa tidak puas terkait finansial atau penghasilan pasangan, dan dua subjek mengatakan pengasuhan anak yang berbeda dan komunikasi antar pasangan yang tidak terbuka satu sama lain Status tinggal dengan mertua dapat memunculkan konflik yang dapat memengaruhi kepuasan perkawinan pada menantu atau istri. Penelitian yang dilakukan oleh Tsui Feng Wu, Kuang Hui Yeh, & dkk (2001) pada perempuan Taiwan menunjukkan istri yang memiliki tingkat konflik yang tinggi dengan mertua menunjukkan tingkat kepuasan perkawinan yang rendah. Secara konsisten tingkat
3
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
konflik yang tinggi dengan mertua membuat perempuan Taiwan memiliki tingkat stress yang tinggi. Pasangan yang menikah biasanya pada usia dewasa awal (18-40 tahun). Pada masa usia dewasa awal banyak terjadi perubahan peran. Menurut Hurlock (1980) dewasa awal adalah periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan, menjalankan peran menjadi suami atau istri, orang tua, pencari nafkah, mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas perkembangannya. Hurlock (1980) juga menambahkan dewasa awal tugas-tugas perkembangan yaitu salah satunya adalah belajar hidup dengan pasangan dan juga membesarkan anak-anak. Individu pada dewasa awal ini mengalami penyesuaian diri pada pola hidup baru, perubahan peran menjadi orang tua dan juga istri. Pada tahap ini individu belajar penyesuaian perkawinan dan juga penyesuaian hidup bersama dengan pasanganya. Namun ketika seseorang tinggal bersama mertua, penyesuain diri tidak dengan pasangan tetapi juga adanya penyesuaian diri dengan mertua. Status tinggal dengan mertua membuat mertua terlibat pada rumah tangga menantunya, dan biasanya keterlibatan mertua ini banyak pada hal pengasuhan cucunya (Purnomo,1994). Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan dewasa awal yaitu membesarkan dan mengasuh anak. Ketika istri tinggal dengan mertuanya dan mertua banyak terlibat dalam pengasuhan, tugas perkembangannya membesarkan anak tidak berjalan secara maksimal karena adanya keterlibatan mertua, keterlibatan mertua ini dapat memunculkan konflik, dan secara teori dan juga penelitian terdahulu menyebutkan konflik dengan mertua dapat memengaruhi tingkat kepuasan perkawinan. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas peneliti ingin mengetahui perbedaan kepuasan perkawinan pada pasangan terutama kepuasan perkawinan pada istri di tinjau dari tempat tinggalnya tinggal dengan dengan mertua dan yang tinggal sendiri (tanpa mertua) dan pada masa dewasa awal
4
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
METODE Kepuasan perkawinan pada penelitian diukur dengan menggunakan aspekaspek dari Enrich Marital Satisfaction yang terdiri dari 11 aspek yang terdiri dari Communication, Leisure Activity, Conflict Resolution, Sexual Relationship, Financial Management, Children and Parenting, Family and Friend, Equalitarian Roles, Religion Orientation, Personality Issue,Idealistic Distortion. Angket tersebut diisi oleh istri-istri pada usia 23-40 tahun Pengambilan subjek menggunakan teknik snowball (menggunakan beberapa responden awal yang nantinya diharapkan responden awal dapat menjangkau responden lainnya), yaitu istri-stri berusia 23-40 tahun dan bertempat tinggal dengan mertua (rumah mertua) dan tinggal sendiri. Pengambilan data menggunakan angket Enrich Marital Satisfaction yang diciptakan oleh Olson, D. H & Fower, B. J (1989). Peneliti mengadopsi dan menerjemahkan alat ukur ENRICH dari peneliti sebelumnya yaitu Toomey, A. L (2002). Peneliti menggunakan uji t-tes untuk mengetahui apakah ada perbedaan kepuasan perkawinan pada subjek yang tinggal sendiri dan tinggal dengan mertua. Peneliti menggunakan norma ideal berdasarkan angket penelitian dan kemudian mengubahnya menjadi kategori sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Peneliti juga melakukan analisis tambahan yaitu analisis regresi linier untuk mengetahui aspek-aspek yang paling berpengaruh pada variabel kepuasan perkawinan. Uji hipotesis t-test menggunakan pedoman sig < 0,05 berarti ada perbedaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan pada subjek yang tinggal sendiri dan tinggal dengan mertua. Berdasarkan hasil norma ideal juga didapatkan hasil bahwa
kepuasan perkawinan kedua kategori subjek ada pada
kategori Tinggi
5
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
Tabel 1. uji t-test untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kepuasan perkawinan
Mean Tinggal dengan mertua Tinggal Sendiri
112,7000
Sig. Levene’s Test Statistic
t
Sig. t-test
0,840
-0,367
0,715
114,1000
Tabel 2.norma ideal dari kepuasan perkawinan
Kepuasan
Tinggal dengan mertua
Tinggal Sendiri
Perkawinan
f
%
f
%
Sangat Tinggi
5
8,3
6
10,0
Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah TOTAL
19 6 0 0 30
31,7 10,0 0 0 100,0
16 8 0 0 30
26,7 13,3 0 0 100,0
Berdasarkan hasil uji t-test didapatkan sig t-test 0,715 yang berarti tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan karena sig > 0,05. Berdasarkan tabel 2 juga menunjukkan antara subjek tinggal dengan mertua dan subjek tinggal sendiri kepuasan perkawinnya tergolong tinggi. Tidak adanya perbedaan kepuasan perkawinan pada kedua kategori subjek dikarenakan kepuasan perkawinannya sama yaitu pada kategori tinggi. Kesamaan kepuasan perkawinan yang tinggi ini bisa dikarenakan secara teori keterlibatan mertua dalam hubungan perkawinan dapat memunculkan konflik dan pada akhirnya konflik ini memengaruhi kepuasan perkawinan. Pada subjek yang tinggal dengan mertua didapatkan hasil pada subjek tinggal dengan mertua mertuanya lebih banyak terlibat pada rumah tangga subjek yaitu sebanyak 16 (53,3) orang dan
6
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
subjek tinggal dengan mertua juga lebih banyak berkonflik dengan mertuanya dengan jumlah sebanyak 15 (50,0) orang. Namun dari hasil tabulasi silang antara kepuasan perkawinan dan konflik dengan mertua menunjukkan subjek yang tinggal dengan mertua dan pernah berkonflik dengan mertuanya memiliki kepuasan perkawinan yang tinggi, hal tersebut terjadi karena meskipun subjek berkonflik dengan mertuanya sikap suami subjek yang selalu menjadi penengah sehingga dengan adanya sikap suami yang adil ini konflik dengan mertua ini tidak terlalu memengaruhi kepuasan perkawinan subjek. Hal ini juga di didukung oleh pernyataan dari Purnomo (1994) bahwa ketika istri berkonflik dengan mertua diperlukan perlakuan adil suami subjek yaitu menjadi penengah. Faktor lainnya yang membuat subjek tinggal dengan mertua memiliki kepuasan perkawinan tinggi adalah hubungan kedekatan subjek dengan mertuanya, pada subjek yang tinggal dengan mertua memiliki hubungan yang dekat dengan mertuanya yaitu sebanyak 25 (83,3) orang. Subjek yang tinggal dengan mertua lebih dekat dengan mertuanya karena satu rumah dengan mertua sehingga banyak kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, dan dari hasil yang didapatkan juga menunjukkan subjek tinggal dengan mertua lebih banyak melakukan kegiatan bersama dengan mertuanya seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga (40,8) dan jalan-jalan (32,7). Adanya hubungan dekat ini membuat dengan mertua ini juga yang memengaruhi kepuasan perkawinan subjek, hal ini sesuai dengan faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan yaitu hubungan dengan keluarga pasangan,
7
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
hubungan yang harmonis dengan keluarga pasangan salah satunya adalah orang tua pasangan akan mempengaruhi kepuasan perkawinan, interaksi yang intens dengan subjek yang tinggal dengan mertua memunculkan kedekatan dengan mertua yang pada akhirnya memengaruhi kepuasan perkawinan menjadi tinggi. Pada subjek yang tinggal sendiri menunjukkan tidak pernah berkonflik dengan mertuanya dan merasa mertuanya juga tidak terlibat dalam rumah tangganya sehingga pada subjek yang tinggal sendiri juga memiliki kepuasan perkawinan yang tinggi. Kepuasan perkawinan kedua subjek tinggi juga adanya faktor pengasuhan. Pada subjek tinggal dengan mertua dan subjek tinggal sendiri pembagian peran dalam pengasuhan seimbang antara suami dan istri. Peran pengasuhan masih dilakukan bersama-sama dan suami subjek juga masih berkontribusi dalam mengasuh anakanaknya sehingga hal ini juga memengaruhi kepuasan perkawinan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Saxton (1986) dalam hubungan suami istri harus ada hubungan timbal balik, melakukan suatu peran dan menunjukannya kepada pasangannya. Adanya peran pengasuhan yang sama dan seimbang dimana pasangan juga dapat berbagi peran ini memengaruhi kepuasan perkawinan pada kedua subjek. Selain itu, adanya bantuan dari orang lain yaitu pembantu rumah tangga dalam mengasuh anak juga ikut memengaruhi karena beban pengasuhan tidak dilakukan oleh istri saja tapi juga ada bantuan dari pembantu rumah tangga. Faktor lain yang membuat kepuasan perkawinannya sama adalah dalam hal finansial. Subjek yang tinggal dengan mertua penghasilan suami lebih besar dari penghasilan istri begitu pula dengan subjek tinggal sendiri. Penghasilan yang tinggi
8
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
pada ini juga memengaruhi kepuasan perkawinan. Menurut Dakin & Wampler (2008) penghasilan pasangan memengaruhi kepuasan perkawinan seperti terkait penghasilan dari pasangan yang rendah akan membuat kepuasan perkawinan yang rendah pula. Faktor lain yang memengaruhi kepuasan perkawinan tinggi pada kedua subjek adalah pada subjek yang tinggal dengan mertua dan tinggal sendiri memiliki keselarasan agama dengan pasangannya yaitu masing-masing sebanyak 29 (96,7) dan hal ini didukung tabulasi silang antara kepuasan perkawinan dengan keselarasan agama hasilnya menunjukkan keduanya memiliki kepuasan perkawinan yang tinggi bila memiliki keselaran agama dengan pasangannya. Berdasarkan analisis butir menunjukan pada subjek tinggal dengan mertua aspek kepuasan tertinggi dengan jawaban puas dan sangat puas terdapat pada aspek Religion Orientation yaitu dengan persentase total sebanyak 86,6, dan aspek lainnya yaitu Sexual Relationship dan Family and Friends dengan total persentase yang sama yaitu 83,4, dan aspek Children and Parenting yaitu 83,3. hal ini menunjukkan status tinggal dengan mertua tidak terlalu memengaruhi kepuasan perkawinan subjek. Pada aspek Children and Parenting memiliki persentase yang tinggi juga dikarenakan subjek yang tinggal dengan mertua dalam hal pengasuhan masih terbantu dengan kontribusi pasangan dalam pengasuhan dan juga pembantu rumah tangganya juga cukup berperan Pada subjek tinggal sendiri aspek kepuasan tertinggi yaitu juga pada aspek Religion Orientation dan Sexual Relationship yaitu dengan persentase total dari jawaban puas dan tidak puas yaitu 93,3. Aspek lain yang memiliki total persentase
9
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
yang tinggi yaitu Family and Friends yaitu 90, dan aspek lainnya adalah Children and Parenting dan Communication yaitu dengan persentase total 86,7. Pasangan yang tinggal dengan mertua ini masih banyak ditemui dikeluargakeluarga di Indonesia. Faktor budaya dalam masyarakat Indonesia yang bersifat kolektif tinggal bersama mertua masih dianggap suatu hal yang wajar sehingga masih banyak pasangan yang menikah dan memilih untuk tinggal bersama dengan mertuanya.
KESIMPULAN DAN SARAN Pada penelitian ini dapat simpulkan tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan ditinjau dari status tinggalnya karena kedua kategori subjek memiliki kepuasan perkawinan yang tergolong tinggi, begitu pula dengan subjek yang tinggal sendiri. Status tinggal dengan mertua mungkin terjadi konflik dan dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan. Namun penentu kepuasan perkawinan tidak hanya ditinjau dari tempat tinggalnya namun ada aspek-aspek lain yang dirasakan seperti komunikasi dengan pasangan, kepuasan dalam hal menjalankan praktik agama, dan hubungan seksual dengan pasangan. Tinggal dengan mertua tidak selalu memiliki dampak yang negatif karena tinggal dengan mertua istri dapat belajar terkait peran menjadi istri dan juga menjadi ibu. Faktor budaya masyarakat di Indonesia yang kolektif tinggal dengan mertua adalah hal yang wajar Saran yang dapat diberikan adalah untuk istri-istri yang tinggal dengan mertua diupayakan untuk bisa saling memahami dan menjaga hubungan dengan mertua
10
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
agar tercapainya kepuasan dan keinginan bersama misalnya mengkomunikasikan keinginan bersama terkait tugas dalam rumah tangga, pola pengasuhan pada anak (cucu) sehingga mencapai kesepakatan bersama dan pada suami yang tinggal bersama orang tuanya dan tidak memihak kepada siapapun dan bersikap adil. Suami juga disarankan untuk bisa berperan setara dengan istri.
11
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
PUSTAKA ACUAN
Aryani, D. R & Setiawan, J. L. (2007). Pola relasi dan konflik interpersonal antara menantu perempuan dan ibu mertua. Arke, vol. 12, pp. 77-90 Dharma, I & Nikita. (2011). Meredam "Perang" mertua VS Menantu. Diunduh 1 Juni 2012 dari http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Pasangan/MeredamPerang-mertua-VS-Menantu Hasto (2010). Meredam Konflik Mertua Vs Menantu. Diunduh 28 Maret 2012 dari http://www.tabloidnova.com/Nova/Tips/Meredam-Konflik-Mertua-VsMenantu Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga Olson, D. H & Fowers, B. J. (1989). Enrich Marital Inventory: A discriminant Validity and Cross-Validity Assessment. Journal of Marital and Family Therapy, vol. 15, pp. 65-79 Purnomo, H. B. (1994). Pondok mertua indah : Suatu tinjauan psikologis hubungan menantu dan mertua. Bandung : Mandar Maju Perceraian di Jember Terbanyak Ketiga Se- Jawa Timur (2001, 11 April). Kompas. (online). Diunduh 28 Maret 2012 dari http://www.kompas.com. Rini, Q. K & Retnaningsih. (2007). Kontribusi Self-Disclosure pada kepuasan perkawinan pria dewasa awal. Jurnal Penelitian Psikologi, vol. 12, pp. 1-2 Rini, Q. K & Retnaningsih. (2008). Keterbukaan diri dan kepuasan perkawinan pada pria dewasa awal. Jurnal Psikologi. vol. 1 (2) Saxton, L. (1986). The Individual, Marriage, and The Family (6 ed). USA: Wadsworth. Inc Tommey, A. L. (2002). Typological shift among newly married couples following completion of marital enrichment program. Diunduh pada 1 Oktober 2012 dari http://dc.library.okstate.edu/cdm/singleitem/collection/theses/id/3929/rec/20
12
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.2 No.1 (2013)
Tsui, F. W., Kuang, H. Y., Cross, S. E., Larson, L. M., Wang, Y. C., & Yi, L. Y. (2001). Conflict with Mothers-in-Law and Taiwanese women’s marital satisfaction: The moderating role of husband support. Major Section on Asian and Asian Americans, vol. 38, pp. 514
13