Title Kasus Terorisme di Bumi Nusantara Author Rino Adibowo, S.IP Details [b][size:5]Bagaimana Analisa kalian mengenai kasus terorisme yang terjadi di Indonesia? apakah ada keterkaitan dengan jaringan teroris internasional? dan langkah apa atau solusi apa yang harus di lakukan oleh pemerintah indonesia? (jelaskan berdasarkan pendekatan/ perspektif yang sudah di pelajari).![/size][/b][justify][/justify] Modified Thu, 25 Mar 2010 03:22:53 GMT Author Comment naslen kulaleen Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama : Nasalen Merry Kulaleen Nim : 41706013 Tugas :analisa terorisme di Indonesia 1.Analisa kasus terorisme di Indonesia? Selama beberapa bulan terakhir kita masih mendengar penangkapan anggota jaringan teroris di beberapa tempat. Hal itu menggambarkan bahwa jaringan terorisme di Indonesia masih tetap aktif, dan bisa menjadi potensi ancaman yang berbahaya pada saatnya. Terorisme dalam dunia Islam bukanlah imajinasi semata. Perang terhadap terorisme yang digaungkan oleh dunia Barat sejatinya tidak digeneralisasi sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Aksi teror yang dilakukan oleh Amrozi dan kawan-kawan di Indonesia adalah bukti dari kenyataan tersebut. Sejauh ini memang ada beberapa tokoh Muslim yang menduga bahwa terorisme hanyalah skenario untuk melegitimasi benturan peradaban. Penilaian tersebut misalnya diperkuat melalui analisis kritis Hassan Hanafi, cendekiawan Muslim dari Mesir. Dalam bukunya Hanafi mengatakan bahwa epistemologi Barat berdasar pada subjek yang tunggal. Yakni “Aku” yang mengetahui dan mengakui diri melalui “yang lain” (the other). Dalam logika ini, Barat hendak menegaskan identitas dirinya melalui komparasi dan penghadapan dengan identitas lain. Pembandingan dengan the other, menurut Hanafi, membuat Barat terlihat superior. Namun analisis itu tidak serta merta mengatakan bahwa terorisme berjubah Islam adalah suatu proyek untuk menunjukkan keluhuran peradaban Barat. Terorisme memiliki fakta objektif. Bukankah pengadilan terhadap Amrozi dkk memberitahu kepada publik bahwa mereka melakukan tindakan teror di Bali atas dasar kesadaran yang penuh dan dilandasi oleh semangat juang keagamaan? Bahkan Imam Samudra, salah seorang pelaku Bom Bali I, menjelaskan dalam bukunya Aku Melawan Teroris bahwa kondisi saat ini membolehkan umat Islam untuk berjihad melawan bangsa Barat sekalipun dengan jalan kekerasan dan pembunuhan terhadap warga sipilnya . Terorisme adalah pilihan mantap yang dibuat oleh organisasi, bisa karena alasan strategi ataupun teologi. Dalam konteks Indonesia, terorisme digerakan oleh semangat ajaran agama. Menurut Martha Crenshaw, gerakan terorisme menunjukkan rasionalitas kolektif. Sebab terorisme dibuat berdasar pada kesepakatan bersama dalam organisasi. Setiap individu di dalamnya memiliki kesamaan pikiran bahwa aksi teror menjadi pilihan terbaik untuk mencapai tujuan. Tanpa kolektivitas, amat mustahil suatu kerjasama sistematis bisa berjalan secara mengesankan. Rasionalitas kolektif dibimbing oleh perasaan bersama yang terbangun dalam kondisi objektif yang juga relatif sama. Karena itu latar belakang para teroris biasanya memiliki kedekatan, baik secara geografis maupun ideologis. Kesamaan pandangan agama membuat para teroris di Indonesia memiliki kohesivitas yang cukup kuat. Ditambah dengan perasaan kebersamaan (ukhuwah) yang muncul tatkala menyaksikan keadaan di Palestina, Irak dan Afghanistan yang dipersepsikan sebagai penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, keberadaan terorisme tidak bisa diukur dari ledakan bom sebagai aksi teror. Perkembangan terorisme sulit diukur dengan pendekatan kuantitatif.
Indonesian Computer University's Scholars Repository
Amat boleh jadi tidak adanya teror bom beberapa bulan ini disebabkan para teroris itu sedang konsolidasi merapatkan barisan dan mematangkan rencana teror bom. Sejauh ini pemerintah negara-negara Barat, terutama AS sangat perduli dengan perkembangan terorisme di Indonesia. Kedatangan Presiden AS, George W Bush, tahun 2003 lalu misalnya, menunjukkan seriusnya perhatian tersebut. Kerjasama Indonesia dalam memerangi radikalisme agama dinilai sebagai dukungan terhadap kebijakan negara-negara Barat, selain juga memberikan kontribusi atas minimalisasi perkembangan terorisme. Ditambah lagi Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, ini bernilai strategis dalam konteks perkembangan politik di Timur Tengah atau dunia Islam lainnya. Oleh karena itu, sejatinya ada dua hal yang mesti menjadi perhatian pemerintah. Pertama, terkait dengan terorisme di dalam negeri, pemerintah Indonesia harus menekankan pada upaya dekonstruksi tafsir agama yang bernuansa kekerasan (teror). Dalam konteks ini reintepretasi dan pelurusan makna jihad harus terus diusung. Kedua, melihat secara jernih kasus Iran. Sungguhpun proyek nuklir Iran dapat disalahgunakan untuk menciptakan senjata yang menebarkan teror bagi seluruh dunia, namun kesimpulan dan dugaan itu harus didukung oleh fakta dan analisa yang akurat. Adalah tidak elok jika tekanan negara-negara Barat membuat Indonesia secara mendadak mengubah sikap awalnya terhadap kasus tersebut. Betapapun terorisme itu harus ditumpas, namun identifikasi dan kategorisasi tidak boleh dibuat berdasarkan kepentingan pragmatis. Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan dan perdamaian, begitupula kekeliruan dalam menanganinya. 2.Apakah ada keterkaitan terorisme yang terjadi di Indonesia dengan teroris internasional? Aksi-aksi teror, teroris dan terorisme antara Indonesia, Australia dan Amerika Serikat, jelas ada kaitan erat. Mari kita lihat kasus penggerebekan teroris di Aceh Naggroe Darussalam dan penembakan Dulmatin hingga tewas bersama dua pengawalnya –satu di antaranya menyamar sebagai perempuan bercadar– di dalamnya ada sedikitnya 3 faktor penentu yang mengiringinya dengan kejadian peristiwa yang hampir bersamaan, sungguhpun perburuan teroris dan terorisme sudah jauh hari dilakukan dan sampai saat ini masih terus dilanjutkan. Pertama, kita tahu bahwa pada saat heboh Sidang Paripurna DPR tentang Kasus Bank Century, aksi Densus 88 menggerebek Teroris di Aceh sudah dimulai. Hanya saja blow up media televisi saat itu sedang konsentrasi di Senayan. Penyergapan teroris di Aceh hampir bersamaan kejadiannya dengan penyerangan polisi terhadap kantor Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Makassar yang praktis menyurutkan berita panas Kasus Bank Century. Dan begitulah kasus demi kasu berlalu. Kedua, penyergapan teroris Dulmatin hingga tewas di Pamulang terjadi pada saat Presiden SBY berada di Australia, melakukan kunjungan kenegaraan sekaligus menyampaikan pidato di Parlemen Australia. Dengan sangat lantang, SBY menguraikan prestasi penembakan gembong teroris itu di hadapan perwakilan publik Australia; negara dengan korban terbanyak pada kasus Bom Bali. Konon, anggka 88 di belakang Densus diambil dari jumlah korban Bom Bali sebanyak 88 orang yang berasal dari Australia, dan angka 88 juga bisa berarti imbol Borgol, bukan Blogroll . Ketiga, Presiden Barack Obama akan datang ke Indonesia. Tewas dan berakhirnya langkah Dulmatin merupakan prestasi yang sangat berharga buat Indonesia di mata Amerika Serikat dengan prsonifikasi Obama. Kita sudah sangat paham bahwa Dulmatin jadi teroris yang paling dicari karena aksi teror, teroris dan terorisme yang dilakukannya. Pemerintah Amerika Serikat sampai-sampai menyediakan US$ 10 juta untuk siapapun yang bisa menangkap Dulmatin. Apakah kedatangan Obama ke Jakarta kelak akan “melunasi hutang” itu setelah si Dul telah Mati? Terorisme, Indonesia, Australia dan Amerika Serikat dengan demikian akan menjadi agenda penting hubungan ketiga negara ini di masa yang akan datang. Sepenting apa? Kita lihat saja perkembangannya di kemudian hari. Karena yang jelas, Indonesia sudah menjadi lahan aksi teror berskala internasional dengan musuh yang diidentifikasi sebagai sekaluer, Barat, musuh Islam dan seterusnya. Semakin tinggi intensitas perlawanan kelompok teroris, semakin Indonesia berpeluang menjadi lahan pertarungan ideologi sampai dengan pertumpahan darah. Ini bisa jadi hipotesis yang salah. Tapi mari kita lihat negara-negara yang sudah kadung diinvasi oleh Amerika Serikat dan Sekutunya seperti Irak dan Afghanistan. Mereka tak kunjung menemukan kedamaian. Dan kita tahu, para teroris yang ada di Indonesia banyak di antaranya dinyatakan sebagai Alumni Afghanistan. Jika Indonesia tidak mewaspadai semua kemungkinan yang
Indonesian Computer University's Scholars Repository
mengiringi, bukan tidak mungkin, Negeri Sejuta Bencana ini akan di-Afghanistan-kan. 3.Langkah atau solusi apa yang diambil atau dilakukan pemerintah Indonesia dilihat berdasarkan perspektif yang telah di pelajari? Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah khususnya langkah-langkah aparat keamanan dalam pengungkapan pelaku terorisme, mendapat tanggapan beranekaragam dikalangan masyarakat, khususnya kelompok umat Islam yang sensitif terhadap isu terorisme karena dikaitkan dengan agama islam. Menguatnya perbedaan sikap pro dan kontra sesuai tanpa memperdulikan kepentingan nasional, menimbulkan rasa saling curiga dikalangan masyarakat dan ketidak percayaan terhadap pemerintah khususnya aparat keamanan dalam menangani terorisme di Indonesia. Selain itu kerjasama tingkat ASEAN telah dilaksanakan. Sikap kehati-hatian pemerintah Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi teroris, dapat dilihat dari kebijakan dan langkah-langkah antisipatif, terkait dengan peristiwa Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam melakukan pencegahan dan penanggunalanan terorisme pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga khusus guna menghadapi terorisme yang berkembang di tanah air belakangan ini, lembaga-lembaga tersebut antara lain : a.Intelejen Aparat intelijen yang dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara (Keppres No. 6 Tahun 2003), yang telah melakukan kegiatan dan koordinasi intelijen dan bahkan telah membentuk Joint Analysist Terrorist (JAT) upaya untuk mengungkap jaringan teroris di Indonesia. b.TNI dan POLRI Telah meningkatkan kinerja satuan anti terornya. Upaya penangkapan terhadap mereka yang diduga sebagai jaringan terorisme di Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku masih mendapat reaksi kontroversial dari sebagian kelompok masyarakat dan diwarnai berbagai komentar melalui media massa yang mengarah kepada terbentuknya opini seolah-olah terdapat tekanan asing. c.Kerjasama internasional Berbagai upaya kerjasama telah dilakukan antara lain dengan beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia, bahkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Perancis, dan Jepang. Masalah ekstradisi antara pemerintah Singapura dan Indonesia belum terealisasi. Implikasi terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Kekhawatiran masyarakat terhadap bahaya teror bom masih ada. Hal ini apabila tidak segera ditangani secara bijak akan mempengaruhi roda perekonomian. Di sisi lain, penindakan, penangkapan atau pemeriksaan oleh aparat terhadap siapa dan organisasi yang ada di masyarakat perlu sikap hati-hati, agar tidak menimbulkan sentimen negatif di kalangan masyarakat itu sendiri, pemerintah diangapnya diskriminatif atau muncul berbias pada permasalahan baru yang bernuansa SARA. Permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme yaitu : Penegakan hukum terhadap sistem kejahatan terorisme masih lemah. Kualitas SDM mudah dimanfaatkan dan masih rentan terhadap aksi penggalangan menjadi simpatisan kelompok teroris. Tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap modus operandi teroris masih lemah. Kemampuan aparat keamanan dalam mendeteksi dini, menangkal, mencegah dan menangkap kelompok teroris masih terkendala baik peralatan maupun koordinasi di lapangan. Membendung langkah teroris di Indonesia, perlu melihat secara obyektif karakteristik daerah, potensi yang dimilki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme harus terukur dan teruji. Segala upaya untuk menghadang tindakan terorisme harus dilandasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional dan sensitifitas SARA, pada hakekatnya kemajemukan identitas NKRI harus tetap terjaga. Untuk menengarai, menuduh bahkan menangkap sekalipun terhadap seseorang atau kelompok orang adalah teroris, baik teroris lokal maupun teroris internasional tidak mudah. Memerlukan data akurat dan pencermatan indikasi-indikasi dalam kurun waktu yang relatif panjang. Dengan mencermati apa yang telah terjadi modus operandi tindak kejahatan terorisme berupa bom-bom yang sudah meledak, temuan bom yang belum meledak dan perangkat yang digunakan terorisme serta tempat persembunyian kaum teroris, ada beberapa rumusan masalah yang telah teridentifikasi pada pembahasan sebelumnya, yaitu : Penegakan hukum terhadap penanggulangan terorisme masih lemah.Teroris mudah memanfaatkan kualitas SDM masyarakat yang masih rendah untuk digalang menjadi simpatisan atau pelaku bom bunuh diri Kepedulian masyarakat terhadap kewaspadaan terhadap terorisme masih lemah.
Indonesian Computer University's Scholars Repository
Kemampuan aparat untuk mendeteksi, menangkal, mencegah, menangkap tokoh teroris belum optimal. Guna merumuskan konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam rangka menjaga tetap tegaknya keutuhan NKRI secara komprehensif dan integral, diperlukan analisis dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi. Analisis ini ditinjau dari aspek astagatra yang sementara ini menurut pandangan kita yang cukup mendekati pada pemecahan masalah. Ada beberapa aspek penting yang dapat membantu kita untuk menyelesaikan masalah teroris di Indonesia : a.Aspek politik Aksi teror tidak tidak mengenal diskriminatif target, membuat keharusan membangun sistem keamanan terhadap manusia dan obyek vital baik militer maupun non militer di banyak negara. Dampak terorisme di bidang politik, antara lain : Gangguan terhadap kehidupan demokrasi, roda pemerintahan tidak berjalan lancar, Pemerintah yang lemah bisa jatuh. Berbagai kerja sama internasional dikembangkan untuk mendesak langkah kooperatif dalam melawan terorisme. Perang melawan terorisme, perdebatan politik terjadi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, antara upaya membangun sistem keamanan dengan pembatasan kebebasan di satu sisi dan antara sistem keamanan nasional dengan multi nasional di sisi lainnya. Lepas dari pertarungan politik dalam dan luar negeri, sentimen baru melawan terorisme telah membuka babak baru perkembangan arah poltik dunia. Indonesia perlu mewaspadai dan harus ada upaya pencegahan adalah ketika para teroris internasional memanfaatkan kondisi politik atau sosial budaya dalam negeri saat ini, masih rentan terhadap SARA, keniscayaan kebhinekaan NKRI terancam. Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme berlangsung diwarnai nuansa politis. Hal demikian masih dalam kewajaran, karena masyarakat Indonesia sedang dalam transisi perubahan menuju masyarakat yang demokratis, bebas menyatakan pendapatnya. Wacana politik apapun yang terjadi, yang penting adalah politik kontrol tidak membiarkan peredaran bahan peledak, pengawasan keimigrasian dan kepabeanan merupakan langkah politik praktis yang tepat pada saat ini serta di masa datang. b.Aspek Ekonomi Jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel-sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya. Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka institusi intelijen sangat diperlukan di dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir. c.Aspek Sosial Budaya dan Agama Aksi terorisme belum dapat dihentikan, artinya sekalipun perang melawan terorisme gencar dilaksanakan dan agenda hubungan internasional untuk komitmen bersama melawannya, serangan terorisme terus berlangsung. Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun untuk melawan terorisme tidak salah bila menggunakan metoda lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan peneyebaran ajaran radikalisme. Keberhasilan Indonesia dalam membongkar sejumlah aksi teror selama ini, tidak berarti pada kesimpulan akhir bahwa penganut agama Islam memiliki pemiikiran sama terhadap pemahaman terorisme yang berkembang di Indonesia. Perang melawan terorisme harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah pada memenangkan pikiran dan hati masyarakat untuk tidak simpati dan tidak mendukung gagasan para teroris. Hal demikian harus dilaksanakan secara serempak dengan memusatkan faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial lainnya. Gerakan reformasi politik dan ekonomi sedang berlangsung di Indonesia, namun hasilnya belum maksimal bahkan aksi-aksi ketidak puasan terhadap tatanan politik dan ekonomi bermunculan berupa unjuk rasa anarkhis. d.Aspek Kemajuan Teknologi Bagi kaum teroris menjalin komunikasi dengan dunian luar melalui internet, merupakan sarana utamanya, melalui pembuatan situs online maka komunikasi lintas negara dapat dilakukan dengan leluasa tanpa diketahui siapa, apa dan bagaimana, kecuali hanya kelompok jaringannya yang dapat mengerti. Teknologi cyber (dunia maya) dimanfaatkan untuk tindak kejahatan cyber crime dengan istilah hacking, carding dan hosting serta penyebar luasan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
artikel melalui situs jihad. Sebagai contoh carding, pencurian data dan dana kartu kredit melalui jaringan internet. Inilah yang disebut pergeseran modus dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Untuk mencegah cybercrime antara lain dapat dilakukan dengan cyberpatrol di dunia maya juga. Namun hingga kini, aparat keamanan dan intelijen masih banyak kekurangan yang dihadapi, belum memiliki pegangan security management, termasuk peralatan pengamanannya. Disamping itu kelemahan lain yang harus ditinggalkan yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi lainnya seperti bea cukai, imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan sangat diperlukan guna pencegahan terorisme di Indonesia. e.Aspek Kebijakan Untuk melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran kewenangan maupun pelaksanaan kontra terorisme yang bersifat umum dan menyeluruh. Diperlukan cakupan dua bidang kebijakan namun bersamaan dalam melawan terorisme di Indonesia, yaitu : Kebijakan utama yang merupakan pencegahan untuk menghilangkan peluang bagi tumbuh suburnya terorisme di dalam sendi kehidupan masyarakat pada aspek keadilan, demokrasi, kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, budaya KKN, kekerasan dan sebagainya. Kebijakan yang melahirkan aturan-aturan untuk mempersempit peluang terjadinya aksi teror dalam artian mempersempit ruang maupun sumber daya teroris. Kebijakan yang merupakan instrumen yang menitik beratkan pada aspek penindakan diwujudkan dalam deteksi dini, cegah dini dan respon cepat terhadap indikasi dan aksi-aksi teror, yang menuntut profesionalitas dan proporsionalitas bagi instrumen penindak yang diberi wewenang. Penindakan terhadap teror harus dilakukan, namun tetap menjunjung tinggi regulasi mengenai code of conduct atau rule of engagement, sehingga apapun tindakan yang dilakukan melawan terorisme akan terbebas dari persoalan pro dan kontra dalam opini masyarakat. Kebijakan, strategi, metoda, teknik, taktik dan pendekatan untuk mengatasi terorisme yang diterapkan tentunya akan berbeda dari satu negara dibanding negara lainya, mengingat adanya perbedaan pula bentuk atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh adanya motif-motif terorisme seperti separatis, anarkhis, dissidents, nasionalis, marxist revolusioner atau religius. Perbedaan penanganan juga disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, budaya, adat/istiadat, hukum, sumber daya serta kemampuan satuan anti teror yang tersedia. Indonesia dalam memerangi terorisme harus mempertimbangkan kondisi yang berlaku terutama bidang hukum, sosial dan budaya bangsa, bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif. f.Aspek implementasi penanggulangan terorisme Impelementasi memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upaya-upaya reprsif, preventiv, preemtif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infra struktur pendukung. Terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan terorisme bahwa pertama, langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror di kawasan khususnya Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Kedua, adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum untuk menangani terorisme untuk kepentingan kelompok penguasa dalam rangka mengembalikan kekuasaan otoriter seperti sebelumnya. Kedua hal tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik memerangi terorisme. Diperlukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan bahwa pertama, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah adalah tidak diskriminatif, kedua, perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketiga, kerja sama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan agar tidak timbul korban yang tidak berdosa. Sebaliknya diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan bila menemukan indikasi atau kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan terorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yan dilakukan dalam implementasi strategi serta besaran, luas dan kompleksitas dampal teorisme, untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dan Organisasi/Satuan Anti Teror. Bahwa perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi
Indonesian Computer University's Scholars Repository
Pencegahan dan penanggulangan terorisme membutuhkan suatu kejasama secara menyeluruh. Selain kualitas dan kuantitas aparat yang telah dibentuk pemerintah juga perlu adanya dukungan terhadap kepedulian masyarakat, karena dengan melibatkan masyarakat penanggulanan dan pencegahan secara dini terhadap seluruh aksi atau kegiatan terorisme dapat dengan mudah diatasi. Sistem pertahanan dan keamanan semesta dimana TNI dan Polri merupakan elemen utama dalam menghadapi aksi kejahatan terotisme harus selalu melakukan koordinasi dengan instansi-instansi pemerintah lainnya atau dengan swasta atau elemen sipil lainnya karena dukungan dan koordinasi dalam mendeteksi dan mengatasi berbagai permasalah teroris akan mudah diatasi. Didalam pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia dibutuhkan suatu badan ekstra semacam lembaga anti terorisme nasional yang pengawakannya ditangani secara terpadu antara TNI dan Polri serta unsur masyarakat dengan dibawah satu komando pengendali. Selain peningkatan kerjasama baik antara lembaga didalam negeri perlu juga adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga anti terorisme yang berada diluar negeri yang tentunya didasari oleh kerangka hukum, karena dengan dasar hukum yang kokoh akan menjadi dasar kebijakan nasional dan tindakan kita dalam memerangi terorisme. Selain itu dengan dasar hukum yang kuat diharapkan mampu melindungi berbagai kepentingan baik kepentingan publik maupun hak-hak asasi manusia. Rangkaian tindakan terorisme di Indonesia telah menelan banyak korban jiwa dan harta serta menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Mengungkap dan mendeteksi secara dini setiap aksi terorisme disarankan : Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antara aparat baik TNI maupun Polri serta dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai tingkat RT dan RW. Pemerintah perlu melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman terorisme yang dimulai dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda serta kepada lapisan masyarakat paling bawah. Pemerintah bersama DPR perlu segera melakukan penyempurnaan-penyempurnaan undang-undang yang berkaitan dengan tindakan tindak pidana terorisme karena hal ini merupakan fondasi hukum yang kokoh dalam melindungi segala kepentingan masyarakat maupun hak-hak asasi manusia. Pemerintah perlu segera meningkatkan kerjasama dengan negara-negara didunia dalam mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan terorisme karena kegiatan terorisme di Indonesia sangat berkaitan dengan kegiatan terorisme internasional. Teori yang akan di pakai adalah : Teori massa/pluralisme memandang bahwa konfigirasi politik terdiri dari sekelompok orang yang kompeten dan saling berkompetisi. Kompetisi inilah yang meminimalkan monopoli kekuasaan oleh elit. Individu dan kelompok-kelompok massa dapat mempengaruhi kebijakan publik. Author Comment Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - [justify][justify]Nama: Irfan Hari Prayoga Nim: 41706001 Tugas: Analisa Terorisme di Indonesia Dalam kontek ketahanan nasional masalah ini ada upaya pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme secara preventif maupun represif dengan menindak tegas pelaku tindakan teror serta mendorong peran serta masyarakat telah mencapai hasil yang signifikan dengan ditandai oleh situasi keamanan yang kondusif dan dapat diminimalisirnya aksi terorisme seperti peledakan bom yang terjadi di daerah konflik khususnya di Poso. Hal ini merupakan suatu kemajuan yang cukup berarti dibandingkan dengan kondisi 4 tahun sebelumnya, dimana wilayah Indonesia sering terjadi aksi terorisme berupa peledakan bom dengan daya ledak yang cukup besar yang bernuansa internasional seperti bom Bali pada tahun 2002, bom di JW Marriot pada tahun 2003, bom di depan kedutaan besar Australia pada tahun 2004 dan bom Bali II pada tahun 2005. Situasi keamanan yang kondusif tersebut merupakan prestasi kinerja aparat keamanan dalam mencegah dan menanggulangi terorisme, melalui perburuan dan penangkapan para pelaku teror maupun terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam aksi terorisme termasuk terbunuhnya tokoh utama tindak terorisme Dr. Azhari pada tahun 2005. Peristiwa tersebut telah dapat mengungkap
Indonesian Computer University's Scholars Repository
lebih luas jaringan teroris di Indonesia termasuk kegiatan tokoh Nurdin M. Top yang telah mengembangkan sel-sel terorisme di berbagai daerah. Namun demikian, masih belum tertangkapnya semua tokoh utama terorisme menjadi tantangan bagi aparat keamanan dalam penanganan aksi terorisme. Untuk itu, upaya secara terus menerus pencegahan dan penanggulangan terorisme dengan memburu tokoh beserta jaringannya melalui penangkapan hidup atau mati para pelaku aksi terorisme, pemutusan sebagian jaringan teorisme, proses hukum pelaku terorisme, dan eksekusi penjara serta persiapan eksekusi mati bagi teroris merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam lingkup global, upaya penanganan terorisme masih menghadapi aksi-aksi teror yang terjadi di berbagai belahan dunia, terutama teror bom. Di London terjadi peledakan bom kereta bawah tanah pada tanggal 7 Juli 2005 dengan korban tewas 56 orang dan melukai sekitar 700 orang. Sedangkan di India aksi terorisme dilakukan dengan meledakkan sejumlah gerbong kereta di lintasan western railway yang menewaskan paling tidak sekitar 200 orang dan melukai lebih dari 700 orang, serta yang paling baru adalah pada tanggal 7 Maret 2006 di kota suci umat Hindu di Varansi yang menewaskan 28 orang dan melukai 100 orang. Meskipun beberapa aksi tersebut tidak terkait secara langsung dengan aktivitas terorisme di dalam negeri, namun dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan pencegahan dan penanggulangan terorisme di Indonesia terutama dalam hal pelaksanaan perang melawan terorisme global. Sebelum kita memasuki materi tentang Konsep Ketahanan Indonesia Dalam Mengatasi Masalah-Masalah Terorisme kita harus mengetahui apa yang di maksud dengan ketahanan nasional. Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan (TAHG), baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya. Konsepsi ketahanan nasional ini timbul dalam kurun waktu pasca kemerdekaan sebagai suatu paradigma dari suatu negara yang mampu mempertahankan eksistensinya terhadap segala ancaman dari dalam maupun luar negeri. Konsep ini timbul dari renungan terhadap sejarah nasional RI yang ternyata dalam perjalanannya selalu menghadapi berbagai masalah sebagai suatu negara nasional baru. Jika kita melakukan identifikasi terhadap kecenderungan global, maka tantangan ke depan yang mau tak mau harus dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sebagai berikut: 1.Faham kemanusiaan(humanism) 2.Isu demokrasi 3.Perdagangan bebas 4.Pembangunan yang berwawasan lingkungan 5.Pembentukan jaringan (network) Bangsa Indonesia sebagai bagian dari dunia global harus menerima tantangan tersebut. Pada saat yang sama masyarakat akan terpengaruh pula oleh perkembangan dunia global, sehingga tuntutan masyarakat juga akan mengglobal. Jika kelima hal tadi diasumsikan sebagai tantangan dari luar bangsa Indonesia di masa depan, maka tantangan dari dalam bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah tidak akan jauh dari persoalan vertikal antara negara (pemerintahan) dan masyarakat; dan persoalan horizontal yang bersifat kultural yang menyangkut ketegangan hubungan di antara berbagai kelompok etnis dalam masyarakat Indonesia sendiri. Persoalan yang menyangkut penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) di dalam negeri, terciptanya tatanan kehidupan pemerintahan yang demokratis, yang tidak hanya sekadar perluasan partisipasi rakyat dalam proses politik, juga distribusi kekuasaan dan kekayaan secara adil dan proporsional bagi daerah-daerah, disintegrasi, kesenjangan sosial, kerusuhan massa, yang dibumbui dengan isu SARA, akan menghiasi wacana pemerintahan kita di masa datang. Dengan memperhatikan berbagai kecenderungan itu, setidaknya bisa dirumuskan secara singkat hal-hal apa yang terpenting yang harus dilaksanakan untuk tetap menjaga keutuhan bangsa agar terhindar dari segala macam bentuk hambatan dan gangguan di dalam negeri, terutama sekali masalah-masalah disintegrasi bangsa, yang akhir-akhir ini sedang gencar-gencarnya ditiupkan oleh sebagian masyarakat daerah di Indonesia, sehingga pada akhirnya akan mengarah kepada perwujudan ketahanan nasional yang mantap. Agenda utama pemerintah Republik Indonesia Tahun 2004 – 2009 antara lain Peace, Justice, Democracy, Prosperity. Indonesia diharapkan dapat lebih aman dan damai dengan menjaga diantaranya :
Indonesian Computer University's Scholars Repository
1.NKRI tetap tegak dan utuh. 2.Integrasinasionalkokoh. 3.Hukum ditegakkan 4.KKN dan penyimpangan diberantas. 5.Pertumbuhan ekonomi terus didorong. 6.Pengangguran dan kemiskinan dikurangi. 7.Konstitusionalisme diperkuat. 8.Partisipasi politik didorong dan peran masyarakat ditingkatkan. Problemnya adalah bahwa agenda pemerintah tersebut menjadi kurang efektif dan tersendat implementasinya ketika di mata dunia citra NKRI belum sebagaimana diharapkan. [/justify][/justify] Author Comment rhika ratinastria Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama :Rhika Ratinastria Nim :41706009 Perkembangan kejahatan terorisme global telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan baik modus, kuantitas maupun kualitasnya, Indonesia tidak lepas dari sasaran terorisme. Terungkap fakta adanya keterkaitan jaringan militan lokal dengan jaringan internasional. Selain ancaman terorisme, ancaman non tradisional lainnya yang muncul saat ini telah merebak pula lewat pintu sendi kehidupan bangsa. Aktifitas teroris telah membidik dan memanfaatkan ideologi dan agama bagi masyarakat dunia sebagai garapan agar memihak kepada perjuangan mereka. Oleh sebab itu perlu ditangani secara bijak. Untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindakan dan kegiatan teroris, Pemerintah Indonesia menyikapi fenomena terorisme secara arif, menganilisis berbagai aspek kehidupan bangsa saat ini, guna memerangi aksi terorisme, bersama dunia internasional. Dengan memanfaatkan kemampuan teknologi modern saat ini teroris dapat menghancurkan sasaran yang diijinkan dari jarak jauh, seperti telepon genggam atau bom bunuh diri seperti yang terjadi di Bali. Sejumlah peristiwa terorisme menunjukkan adanya mata rantai antara kelompok dalam dan luar negeri. Dari hasil pengungkapan kasus di Indonesia merupakan jaringan teroris Internasional dimana keberadaanya dengan segala aktifitasnya tidak dapat terdeteksi secara dini sehingga sulit untuk dicegah dan ditangkal. Kejadian Menonjol,Berbagai peristiwa pengeboman memakan korban jiwa dan merusak sarana dan prasarana yang ada. Beberapa peristiwa aksi teroris yang terjadi signifikan di Indonesia antara lain : 1998, di Gedung Atrium Senin, Jakarta 1999, di Plaza Hayam Wuruk dan Masjid Istiqlal Jakarta. 2000, di Gereja GKPI dan Gereja Katolik Medan serta rumah Dubes Filipina 2000 dan 2001, Peledakan di beberapa Gereja di malam Natal. 2002, Peledakan di Kuta Bali, Mc Donald Makasar 2003, Peledakan di JW Marriot 2004, Peledakan di Kedubes Australia 2005. Peledakan bom Bali II Aksi teror tersebut bila terus berlanjut akan dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan yang pada gilirannya akan menghambat kelancaran pembangunan nasional. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah khususnya langkah-langkah aparat keamanan dalam pengungkapan pelaku terorisme, mendapat tanggapan beranekaragam dikalangan masyarakat, khususnya kelompok umat Islam yang sensitif terhadap isu terorisme karena dikaitkan dengan agama islam. Menguatnya perbedaan sikap pro dan kontra sesuai tanpa memperdulikan kepentingan nasional, menimbulkan rasa saling curiga dikalangan masyarakat dan ketidak percayaan terhadap pemerintah khususnya aparat keamanan dalam menangani terorisme di Indonesia. Selain itu kerjasama tingkat ASEAN telah dilaksanakan. Sikap kehati-hatian pemerintah Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi teroris, dapat dilihat dari kebijakan dan langkah-langkah antisipatif, terkait dengan peristiwa Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dalam melakukan pencegahan dan penanggunalanan terorisme pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga khusus guna menghadapi terorisme yang berkembang di tanah air belakangan ini, lembaga-lembaga tersebut antara lain : Intelijen. Aparat intelijen yang dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara (Keppres No. 6 Tahun 2003), yang telah melakukan kegiatan dan koordinasi intelijen dan bahkan telah membentuk Joint Analysist Terrorist (JAT) upaya untuk mengungkap jaringan teroris di Indonesia. TNI dan POLRI, Telah meningkatkan kinerja satuan anti terornya. Upaya penangkapan terhadap mereka yang diduga sebagai jaringan terorisme di Indonesia sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku masih mendapat reaksi kontroversial dari sebagian kelompok masyarakat dan diwarnai berbagai komentar melalui media
Indonesian Computer University's Scholars Repository
massa yang mengarah kepada terbentuknya opini seolah-olah terdapat tekanan asing. Kerjasama Internasional. Berbagai upaya kerjasama telah dilakukan antara lain dengan beberapa negara seperti Thailand, Singapura, Malaysia, Philipina, dan Australia, bahkan negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Perancis, dan Jepang. Masalah ekstradisi antara pemerintah Singapura dan Indonesia belum terealisasi. Implikasi terhadap Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Kekhawatiran masyarakat terhadap bahaya teror bom masih ada. Hal ini apabila tidak segera ditangani secara bijak akan mempengaruhi roda perekonomian. Di sisi lain, penindakan, penangkapan atau pemeriksaan oleh aparat terhadap siapa dan organisasi yang ada di masyarakat perlu sikap hati-hati, agar tidak menimbulkan sentimen negatif di kalangan masyarakat itu sendiri, pemerintah diangapnya diskriminatif atau muncul berbias pada permasalahan baru yang bernuansa SARA. Permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme yaitu : Penegakan hukum terhadap sistem kejahatan terorisme masih lemah. Kualitas SDM mudah dimanfaatkan dan masih rentan terhadap aksi penggalangan menjadi simpatisan kelompok teroris. Tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap modus operandi teroris masih lemah. Kemampuan aparat keamanan dalam mendeteksi dini, menangkal, mencegah dan menangkap kelompok teroris masih terkendala baik peralatan maupun koordinasi di lapangan. KONDISI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME YANG DIHARAPKAN. Pemerintah beserta aparat keamanan dan birokrasi memiliki sikap arif, penuh ketenangan berfikir sehingga mendapatkan cara-cara yang tepat dan akurat dalam menangani terorisme. Masyarakat telah menjadi kesatuan pandang dalam menyikapi melawan terorisme. Kemampuan aparat keamanan telah dapat kerjasama dengan seluruh komponen bangsa. Penegakan hukum dapat diwujudkan dan telah dilengkapi dengan perangkat peraturan perundang-undangan, kerjasama internasional tidak menimbulkan pro dan kontra pemahaman. Kesadaran masyarakat secara aktif berbuat dan melakukan deteksi dini, identifikasi dini dan penangkalan terhadap perkembangan ancaman terorisme yang dilandasi rasa tanggung jawab dan kesadaran yang tinggi, sebagai bangsa yang bermartabat. Dengan landasan Wawasan Nusantara yang tangguh, bangsa Indonesia diharapkan memiliki sikap mental dan perilaku yang mampu mendeteksi, mengidentifikasi, menilai dan menganalisis sejak dini secara hati-hati terhadap berbagai bentuk ancaman terutama teroris internasional di Indonesia. ANALISIS. Membendung langkah teroris di Indonesia, perlu melihat secara obyektif karakteristik daerah, potensi yang dimilki dan aspek yang mempengaruhi. Seberapa besar peranan masing-masing instansi terkait, aparat keamanan dan seluruh komponen masyarakat termasuk tingkat kewaspadaan bela lingkungan terhadap bahaya terorisme harus terukur dan teruji. Segala upaya untuk menghadang tindakan terorisme harus dilandasi tanpa mengorbankan kepentingan nasional dan sensitifitas SARA, pada hakekatnya kemajemukan identitas NKRI harus tetap terjaga. Untuk menengarai, menuduh bahkan menangkap sekalipun terhadap seseorang atau kelompok orang adalah teroris, baik teroris lokal maupun teroris internasional tidak mudah. Memerlukan data akurat dan pencermatan indikasi-indikasi dalam kurun waktu yang relatif panjang. Dengan mencermati apa yang telah terjadi modus operandi tindak kejahatan terorisme berupa bom-bom yang sudah meledak, temuan bom yang belum meledak dan perangkat yang digunakan terorisme serta tempat persembunyian kaum teroris, ada beberapa rumusan masalah yang telah teridentifikasi pada pembahasan sebelumnya, yaitu : Penegakan hukum terhadap penanggulangan terorisme masih lemah.Teroris mudah memanfaatkan kualitas SDM masyarakat yang masih rendah untuk digalang menjadi simpatisan atau pelaku bom bunuh diri Kepedulian masyarakat terhadap kewaspadaan terhadap terorisme masih lemah. Kemampuan aparat untuk mendeteksi, menangkal, mencegah, menangkap tokoh teroris belum optimal. Guna merumuskan konsepsi pencegahan dan penanggulangan terorisme dalam rangka menjaga tetap tegaknya keutuhan NKRI secara komprehensif dan integral, diperlukan analisis dari berbagai aspek tinjauan yang terkait dan saling mempengaruhi. Analisis dari penulisan ini ditinjau dari aspek astagatra yang sementara ini menurut pandangan penulis cukup mendekati pada pemecahan masalah. Tinjauan Dari Aspek Politik. Aksi teror tidak tidak mengenal diskriminatif target, membuat keharusan membangun sistem keamanan terhadap manusia dan obyek vital baik militer maupun non militer
Indonesian Computer University's Scholars Repository
di banyak negara. Dampak terorisme di bidang politik, antara lain : Gangguan terhadap kehidupan demokrasi, roda pemerintahan tidak berjalan lancar, Pemerintah yang lemah bisa jatuh. Berbagai kerja sama internasional dikembangkan untuk mendesak langkah kooperatif dalam melawan terorisme. Perang melawan terorisme, perdebatan politik terjadi di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, antara upaya membangun sistem keamanan dengan pembatasan kebebasan di satu sisi dan antara sistem keamanan nasional dengan multi nasional di sisi lainnya. Lepas dari pertarungan politik dalam dan luar negeri, sentimen baru melawan terorisme telah membuka babak baru perkembangan arah poltik dunia. Indonesia perlu mewaspadai dan harus ada upaya pencegahan adalah ketika para teroris internasional memanfaatkan kondisi politik atau sosial budaya dalam negeri saat ini, masih rentan terhadap SARA, keniscayaan kebhinekaan NKRI terancam. Perdebatan tentang adanya bahaya terorisme berlangsung diwarnai nuansa politis. Hal demikian masih dalam kewajaran, karena masyarakat Indonesia sedang dalam transisi perubahan menuju masyarakat yang demokratis, bebas menyatakan pendapatnya. Wacana politik apapun yang terjadi, yang penting adalah politik kontrol tidak membiarkan peredaran bahan peledak, pengawasan keimigrasian dan kepabeanan merupakan langkah politik praktis yang tepat pada saat ini serta di masa datang. Tinjauan Dari Aspek Ekonomi. Jaringan teroris sangat memerlukan sumber dana maupun sumber daya manusia untuk melakukan aksinya. Dana merupakan satu hal penting, bukan hanya untuk pembelian senjata, alat-alat penghancur bahan peledak untuk bom, tetapi juga untuk mempertahankan hidup sel-sel pengikutnya. Dana didapatkan dari kegiatan ilegal perdagangan, prostitusi, judi dan sebagainya. Melalui pencucian uang hasil kejahatan komersial, penyelundupan dan korupsi, dana menjadi bersih asal usulnya, sah dan sulit ditelusuri. Mengingat sangat kompleksnya masalah pencucian uang karena terkait dengan pendeteksian dini dan harus dilakukan secara tertutup, maka institusi intelijen sangat diperlukan di dalam perumusan pencegahan terhadap kejahatan terorganisir. Tinjauan Dari Aspek Sosial Budaya dan Agama. Aksi terorisme belum dapat dihentikan, artinya sekalipun perang melawan terorisme gencar dilaksanakan dan agenda hubungan internasional untuk komitmen bersama melawannya, serangan terorisme terus berlangsung. Terorisme tegas dinyatakan tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu, karena semua agama mengutuk terorisme. Namun untuk melawan terorisme tidak salah bila menggunakan metoda lain yaitu menggunakan soft power persuasif antara lain mengikut sertakan tokoh-tokoh agama dalam upaya menetralisir pembibitan dan peneyebaran ajaran radikalisme. Keberhasilan Indonesia dalam membongkar sejumlah aksi teror selama ini, tidak berarti pada kesimpulan akhir bahwa penganut agama Islam memiliki pemiikiran sama terhadap pemahaman terorisme yang berkembang di Indonesia. Perang melawan terorisme harus dilihat sebagai perang gagasan yang mengarah pada memenangkan pikiran dan hati masyarakat untuk tidak simpati dan tidak mendukung gagasan para teroris. Hal demikian harus dilaksanakan secara serempak dengan memusatkan faktor-faktor terkait seperti kemiskinan, pendidikan dan masalah sosial lainnya. Gerakan reformasi politik dan ekonomi sedang berlangsung di Indonesia, namun hasilnya belum maksimal bahkan aksi-aksi ketidak puasan terhadap tatanan politik dan ekonomi bermunculan berupa unjuk rasa anarkhis. Tinjauan Dari Aspek Kemajuan Teknologi. Bagi kaum teroris menjalin komunikasi dengan dunian luar melalui internet, merupakan sarana utamanya, melalui pembuatan situs online maka komunikasi lintas negara dapat dilakukan dengan leluasa tanpa diketahui siapa, apa dan bagaimana, kecuali hanya kelompok jaringannya yang dapat mengerti. Teknologi cyber (dunia maya) dimanfaatkan untuk tindak kejahatan cyber crime dengan istilah hacking, carding dan hosting serta penyebar luasan artikel melalui situs jihad. Sebagai contoh carding, pencurian data dan dana kartu kredit melalui jaringan internet. Inilah yang disebut pergeseran modus dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Untuk mencegah cybercrime antara lain dapat dilakukan dengan cyberpatrol di dunia maya juga. Namun hingga kini, aparat keamanan dan intelijen masih banyak kekurangan yang dihadapi, belum memiliki pegangan security management, termasuk peralatan pengamanannya. Disamping itu kelemahan lain yang harus ditinggalkan yaitu belum adanya konsistensi dan keseriusan dalam mencegah terjadinya aksi terorisme oleh semua pihak. Sinergitas instansi lainnya seperti bea cukai, imigrasi, perhubungan dan keuangan/perbankan sangat diperlukan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
guna pencegahan terorisme di Indonesia. Tinjauan Dari Aspek Kebijakan. Untuk melawan terorisme membutuhkan sebuah kebijakan penanggulangan terorisme yang bersifat komprehensif baik dalam tataran kewenangan maupun pelaksanaan kontra terorisme yang bersifat umum dan menyeluruh. Diperlukan cakupan dua bidang kebijakan namun bersamaan dalam melawan terorisme di Indonesia, yaitu : Kebijakan utama yang merupakan pencegahan untuk menghilangkan peluang bagi tumbuh suburnya terorisme di dalam sendi kehidupan masyarakat pada aspek keadilan, demokrasi, kesenjangan, pengangguran, kemiskinan, budaya KKN, kekerasan dan sebagainya. Kebijakan yang melahirkan aturan-aturan untuk mempersempit peluang terjadinya aksi teror dalam artian mempersempit ruang maupun sumber daya teroris. Kebijakan yang merupakan instrumen yang menitik beratkan pada aspek penindakan diwujudkan dalam deteksi dini, cegah dini dan respon cepat terhadap indikasi dan aksi-aksi teror, yang menuntut profesionalitas dan proporsionalitas bagi instrumen penindak yang diberi wewenang. Penindakan terhadap teror harus dilakukan, namun tetap menjunjung tinggi regulasi mengenai code of conduct atau rule of engagement, sehingga apapun tindakan yang dilakukan melawan terorisme akan terbebas dari persoalan pro dan kontra dalam opini masyarakat. Kebijakan, strategi, metoda, teknik, taktik dan pendekatan untuk mengatasi terorisme yang diterapkan tentunya akan berbeda dari satu negara dibanding negara lainya, mengingat adanya perbedaan pula bentuk atau style kelompok teroris yang disebabkan oleh adanya motif-motif terorisme seperti separatis, anarkhis, dissidents, nasionalis, marxist revolusioner atau religius. Perbedaan penanganan juga disebabkan oleh perbedaan kondisi daerah, budaya, adat/istiadat, hukum, sumber daya serta kemampuan satuan anti teror yang tersedia. Indonesia dalam memerangi terorisme harus mempertimbangkan kondisi yang berlaku terutama bidang hukum, sosial dan budaya bangsa, bila tidak justru akan menciptakan kondisi yang kontra produktif. Tinjauan Dari Aspek Implementasi Penanggulangan Terorisme. Impelementasi memerangi aksi terorisme dilakukan melalui upaya-upaya reprsif, preventiv, preemtif, resosialisasi dan rehabilitasi serta pengembangan infra struktur pendukung. Terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan terorisme bahwa pertama, langkah-langkah operasional penindakan terhadap aksi teror di kawasan khususnya Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat merupakan skenario yang dipaksakan oleh negara-negara maju kepada negara lemah dalam bidang politik, ekonomi, militer dan teknologi. Kedua, adanya trauma masa lalu berdasarkan pengalaman bahwa aparat keamanan dan sistem hukum untuk menangani terorisme untuk kepentingan kelompok penguasa dalam rangka mengembalikan kekuasaan otoriter seperti sebelumnya. Kedua hal tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik memerangi terorisme. Diperlukan resosialisasi, reintegrasi dan sekaligus keteladanan bahwa pertama, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah adalah tidak diskriminatif, kedua, perang melawan terorisme adalah kebutuhan mendesak untuk melindungi WNI sesuai tujuan nasional yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ketiga, kerja sama dengan pihak asing dalam memberantas terorisme adalah keharusan agar tidak timbul korban yang tidak berdosa. Sebaliknya diperlukan keberanian masyarakat luas untuk segera melaporkan bila menemukan indikasi atau kejadian-kejadian yang mengarah pada tindakan terorisme. Bertolak dari berbagai kegiatan yan dilakukan dalam implementasi strategi serta besaran, luas dan kompleksitas dampal teorisme, untuk dapat mengatasinya dipersyaratkan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dan Organisasi/Satuan Anti Teror. Bahwa perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional dan secara simultan bersifat represif, preventif, preemtif maupun rehabilitasi KONSEPSI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TERORISME Kebijakan. ”Pemerintah melakukan pencegahan dan penanggulangan ancaman terorisme internasional maupun lokal yang berkolaborasi dengan terorisme internasional dalam rangka melindungi keselamatan WNI, dengan : - menghormati HAM, - meninjau kembali Undang-Undang Pemberantasan Terorisme untuk mencapai kepastian hukum, - tindakan yang tidak diskriminatif tanpa melihat etnis maupun agama, - melakukan kerja sama internasional, - meningkatkan kewaspadaan dan keberanian masyarakat luas untuk melaporkan indikasi kegiatan terorisme, - melakukan koordinasi lintas instansi, lintas nasional secara silmultan melalui langkah represif, preventif, preemtif maupun
Indonesian Computer University's Scholars Repository
rehabilitasi, - dan menyentuh akar terorisme melalui langkah resosialisasi dan reintegrasi para pelaku terorisme ke dalam masyarakat” Strategi. Dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas dan untuk mewujudkan kemampuan segenap komponen bangsa dalam deteksi dini, penangkalan dini, dan pencegahan dini serta tindakan dini terhadap segala bentuk ancaman aksi Terorisme, maka dikembangkan strategi digunakan : Strategi Jangka Pendek : Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan deteksi dan penangkalan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah: 1) Terwujudnya kesamaan dan kesatuan persepsi tentang Terorisme 2) Terbentuknya kepribadian komponen bangsa yang pancasilais, 3) Terbentuknya jiwa nasionalisme yang tinggi 4) Terwujudnya disiplin nasional Strategi Jangka Panjang : Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penindakan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai dalam penerapan strategi ini adalah: 1) Meningkatnya sikap keberanian dan kemampuan segenap komponen bangsa. 2) Terbentuknya komitmen yang kuat untuk melakukan langkah-langkah penindakan dini. 3) Terwujudnya perangkat nasional yang mampu menjalankan fungsi dan peranannya sesuai dengan kewenangan. 4) Meningkatnya peran serta segenap komponen bangsa terhadap aksi Terorisme di Indonesia. 5) Meningkatnya kerjasama internasional. Upaya dalam Strategi Jangka Pendek : Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat pemerintah. 1) Untuk mewujudkan kesamaan persepsi bangsa tentang Terorisme. a) Pemerintah dengan tegas segera mengeluarkan statement secara resmi dalam rangka menghadapi Terorisme di Indonesia seperti “Pernyataan perang melawan Segala bentuk ancaman Terorisme di dunia. b) Pemerintah melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman Terorisme di Indonesia. c) Pemerintah melakukan pemekaran daerah di beberapa propinsi untuk mempermudah pengawasan. 2) Untuk membentuk kepribadian komponen bangsa yang pancasilais, diupayakan melalui: a) Edukasi formal, sejak dini mulai dan pendidikan pra sekolah hingga Perguruan Tinggi b) Edukasi non formal, melalui kegiatan penyuluhan dan sosialisasi 3) Untuk membentuk jiwa nasionalisme diupayakan melalui kegiatan: a) Pendidikan formal, harus dilakukan oleh Pemerintah terhadap masyarakat sejak pra sekolah sampai Perguruan Tinggi b) Pendidikan non formal, Pemerintah melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi 4) Untuk mewujudkan Disiplin Nasional diupayakan melalui: a) Pendidikan formal, harus dilakukan pemerintah dengan memberikan muatan materi pengetahuan pada kurikulum pendidikan meliputi mata pelajaran Kewarganegaraan, Kewiraan, Tata Krama dan Budi Pekerti sesuai dengan tingkat pendidikan mulai dan tingkat pendidikan dasar sampai dengan universitas b) Pendidikan non formal, dilakukan oleh pemerintah dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi dengan materi penyajian tentang Peraturan Perundang-Undangan Upaya dlm Strategi Jangka Panjang : Peningkatan kualitas dan kapasitas aparat dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dini terhadap perkembangan ancaman Terorisme di Indonesia. 1) Untuk memelihara dan meningkatkan keberanian komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan: a) Sosialisasi tentang bahaya dan ancaman Terorisme b) Melakukan dialog interaktif dan komunikasi secara intensif 2) Untuk membentuk komitmen yang kuat bagi segenap komponen bangsa, diupayakan melalui kegiatan: a) Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang prosedur pencegahan dan penindakan dini b) Menyelenggarakan pelatihan pencegahan dan penindakan dini c) Membangun kesadaran akan tanggung jawab dan komitmen bersama. d) Melakukan pengawasan dan pengaturan kegiatan e) Meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa f) Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat dieksploitasi g) Meningkatkan pengamanan dan pengawasan h) Melakukan pengetatan pemberian dokumen i) Melaksanakan penertiban administrasi 3) Mewujudkan perangkat nasional yang mampu menjalankan fungsi dan peranannya dengan melakukan refungsionalisasi dan revitalisasi sebagai berikut: a) Aparat Intelijen. Refungsionalisasi dan revitalisasi aparat Intelijen dengan membuat aturan perundang-undangan yang mengatur masalah tentang InteIen di Indonesia. b) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Diperlukan kekuatan hukum, sarana prasarana, anggaran yang memadai didukung dengan mekanisme dan prosedur operasional yang jelas. c) Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perlu diupayakan peningkatan kemampuan profesionalisme Polri
Indonesian Computer University's Scholars Repository
khususnya pencegahan dan penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, d) Criminal Justice System (CJS) dengan kegiatan: (1)Melakukan langkah-langkah untuk penyamaan persepsi (2) Melaksanakan pelatihan, pertemuan, seminar dan dialog (3) Meningkatkan kerjasama penanganan kasus. e) Desk Koordinasi Pemberantas-an Terorisme (DKPT). Melalui upaya : (1) Mengkoordinasikan dan mengendalikan operasional lembaga-lembaga nasional yang bertugas, berkewajiban dan berwenang memberantas Terorisme di Indonesia. (2) Perlu disusun peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir semua kepentingan perangkat nasional dan dapat dioperasionalkan secara Iebih terkoordinasi, sinergik dan holistik dalam rangka pemberantasan Terorisme di Indonesia. f) Memperkuat dan memperta-hankan serta meningkatkan kerjasama g) Melakukan pengawasan terhadap lalu lintas serta mendeteksi terhadap kemungkinan para teroris memperoleh bahan peledak dan senjata. h) Memutus hubungan para teroris dengan sindikat kriminal lainnya. i) Mengembangkan prosedur dan mekanisme untuk mencegah adanya tempat pelarian dan tempat persembunyian para teroris. j) Meningkatkan pengamanan pada kepentingan-kepentingan internasional,. k) Memperluas pelaksanaan kerjasama dibidang investigasi, penuntutan dan ekstradiksi. 4) Untuk meningkatkan peran serta segenap komponen bangsa ditempuh melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kegiatan: a) Melakukan komunikasi dan dialog b) Menggalakkan Siskamswakara di seluruh wilayah Indonesia dengan upaya: (1) Meningkatkan penertiban administrasi (2) Menggalakkan ketentuan wajib lapor (3) Membina sistem pengamanan swakarsa, (4) Menyiagakan perangkat tanggap darurat (5) Meningkatkan kerjasama internasional, c) Menjelaskan secara bijak dan diplomatis kepada dunia Internasional d) Menindaklanjuti MOU yang telah disepakati bersama Author Comment Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama : Asep Supriatna Nim : 41706005 Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, yang bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringan-jaringan teroris. Pengaruh terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik segi keamanan dan keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan parawisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan untuk pencegahan dan penanggulangannya. Aksi terorisme masih menjadi ancaman potensial bagi stabilitas keamanan nasional, meskipun pascapenangkapan Dr. Azhari dan sejumlah tokoh utama kelompok Jamaah Islamiyah (JI), aksi-aksi terror dari kelompok tersebut cenderung menurun. Hal ini dibuktikan dalam kurun waktu hampir 5 tahun tidak ada aksi terror bom yang berdampak nasional maupun internasional. Demikian juga pelaksanaan eksekusi mati terhadap 3 terpidana kasus bom Bali (Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudera) yang dikhawatirkan akan ada reaksi balas dendam dari kelompok radikal tersebut, ternyata tidak sampai menjadi kenyataan. Namun dengan adanya peledakan bom di Hotel JW. Marriot dan Ritz Carlton yang menelan korban 9 orang dan puluhan luka-luka, menunjukkan bahwa kelompokkelompok teroris masih terus bekerja dan melanjutkan aksinya di Indonesia. Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh belum adanya payung hukum yang kuat bagi kegiatan intelijen untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme. Sulitnya menyusun payung hokum tersebut karena adanya pemahaman sempit sementara kalangan umat beragama, bahwa perang melawan terorisme dianggap memerangi Islam. Kondisi masyarakat tradisional yang menghadapi persoalan ekonomi dan sosial sangat mudah
Indonesian Computer University's Scholars Repository
dipengaruhi atau direkrut menjadi anggota kelompok teroris. Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal menjadi moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran berbagai bahan pembuat bom, menyebabkan para teroris masih leluasa melakukan perakitan bom yang jika tidak terdeteksi dapat menimbulkan kekacauan di berbagai tempat. Jaringan teroris yang sulit terlacak dan memiliki akses yang luas membuat permasalahan terorisme sulit untuk diselesaikan. Anggota teroris dapat memanfaatkan berbagai kemajuan teknologi global, seperti internet dan telepon seluler untuk mempermudah berkomunikasi dengan kelompoknya. Di samping itu, para teroris juga mempunyai kemudahan untuk melakukan perjalanan dan transportasi lintas batas negara sehingga sangat sulit untuk memutuskan rantai jaringan terorisme global tersebut. Oleh karena itu, kualitas dan kapasitas institusi dan aparat intelijen perlu ditingkatkan agar dapat menghadapi tantangan teknologi aksi terorisme dan skala ancaman yang semakin meningkat. Selanjutnya kondisi kemiskinan dan kesenjangan social yang merupakan media subur tumbuh dan berkembangnya sel-sel dan jaringan teroris, perlu menjadi perhatian utama pemerintah dengan program-program yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. langkah - langkah yang harus ditempuh dalam rangka mencegah dan menanggulangi kejahatan terorisme pada saat ini adalah sebagai berikut: 1. penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah. 2. peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan teroris, terutama satuan kewilayahan 3. pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara dini potensi aksi terorisme 4. penguatan peran aktif masyarakat dan pengintensifan dialog dengan kelompok masyarakat yang radikal 5. peningkatan pengamanan terhadap area publik dan daerah strategis yang menjadi target kegiatan terorisme 6. sosialisasi dan upaya perlindungan masyarakat terhadap aksi terorisme 7. pemantapan deradikalisasi melalui upaya-upaya pembinaan (soft approach) untuk mencegah rekrutmen kelompok teroris serta merehabilitasi pelaku terror yang telah tertangkap Dalam rangka mencegah dan menanggulangi ancaman terorisme di dalam negeri, Pemerintah telah menempuh berbagai cara, terutama dengan mengambil tindakan-tindakan yang sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pemerintah, melalui aparat terkait, telah melakukan pendekatan melalui tokoh masyarakat, tokoh agama moderat dan yang cenderung radikal guna mengubah pemikiran radikal menjadi moderat, yakni dengan memberikan pengertian sesungguhnya tentang istilah jihad yang selama ini disalahartikan. Sementara itu, penegakan hukum dalam memerangi terorisme dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tanpa pandang bulu, serta tidak mengarah pada penciptaan citra negatif kepada kelompok masyarakat tertentu. Sementara itu, perang melawan terorisme didasari upaya untuk menegakkan ketertiban umum dan melindungi masyarakat bukan atas tekanan dan pengaruh negara asing ataupun kelompok tertentu dan dilakukan melalui koordinasi antar instansi terkait dan komunitas intelijen serta partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat. Di samping itu, diterapkannya strategi demokrasi serta diberikannya kesempatan kepada masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya secara positif dan terbuka sesuai dengan koridor hukum. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah tertangkapnya pelaku terorisme, termasuk dua tokoh utamanya, Dr. Azahari dan Abu Dujana pada tahun 2005 dan 2007. Selanjutnya, pada tahun 2006 Polri berhasil melakukan penggerebekan tempat persembunyian anak buah Noordin M. Top di Wonosobo, yaitu Jabir, Abdul Hadi (kepercayaan dr. Azhari), Solehudin dan Mustarifin. Pada tahun 2008 berbagai operasi yang dilakukan oleh densus 88 atau Bareskrim Polri berhasil menangkap 28 orang pelaku terorisme di Indonesia. Tahun 2009 Polri berhasil menangkap beberapa tersangka kelompok teroris di Palembang, Lampung dan Jawa Tengah yang diperkirakan terlibat dalam rencana aksi teroris di dalam negeri dan luar negeri. Tertangkapnya sebagian anggota jaringan teroris tersebut yang diperkirakan merupakan kelompok Noordin M. Top, menandakan bahwa tugas pemberantasan terorisme belum tuntas dan ke depan tetap memerlukan kewaspadaan yang tinggi. Terbunuhnya seorang teroris yang diduga sebagai Nurdin M. Top dalam sebuah penyergapan di desa Beji Temanggung, merupakan kunci keberhasilan aparat keamanan dalam pengungkapan peledakan Hotel Ritz-Carlton dan J.W. Marriot tanggal
Indonesian Computer University's Scholars Repository
17 Juli 2009. Keberhasilan ini diharapkan sebagai rangkaian akhir penyelesaian masalah terorisme di Indonesia, paling tidak dalam jangka waktu tertentu. Penanggulangan terorisme di Indonesia dilakukan dengan strategi yang terarah dan komprehensif melalui strategi nasional yang memuat sasaran dan arah kebijakan untuk menanggulangi terorisme berdasarkan perangkat peraturan dan undang-undang yang ada. Program pencegahan dan penanggulangan terorisme melibatkan berbagai instansi pemerintahan dan seluruh komponen kekuatan bangsa dengan diadakannya pengembangan kapasitas berbagai instansi tersebut yang terlibat dalam penanganan terorisme. Permasalahan terorisme hanya dapat diselesaikan melalui kerja sama dan koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan (stake holder), baik instansi pemerintah maupun masyarakat. Untuk itu, TNI dan Polri terus melakukan latihan gabungan mengingat pentingnya kerja sama TNI-Polri untuk terorisme. Untuk membantu penanganan kasus yang berhubungan dengan terorisme, Kejaksaan Agung membentuk satuan tugas penanganan tindak pidana terorisme dan tindak pidana lintas negara sehingga diharapkan penyelesaian kasus terorisme dapat dilakukan dengan lebih baik. cara yang harus dilakukan dalam menanggulangi teroris Pemerintah tetap berpedoman pada prinsip yang telah diambil sebelumnya, yakni melakukan secara preventif dan represif yang didukung oleh upaya pemantapan kerangka hukum sebagai dasar tindakan proaktif dalam menangani aktivitas, terutama dalam mengungkap jaringan terorisme. Peningkatan kerja sama intelijen, baik dalam negeri maupun dengan intelijen asing, melalui tukar-menukar informasi dan bantuan-bantuan lainnya, terus ditingkatkan. Untuk mempersempit ruang gerak pelaku kegiatan terorisme, Pemerintah akan terus mendorong instansi berwenang untuk meningkatkan penertiban dan pengawasan terhadap lalu lintas orang dan barang di bandara, pelabuhan laut, dan wilayah perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana, baik domestik maupun antarnegara. Penertiban dan pengawasan juga akan dilakukan terhadap tata niaga dan penggunaan bahan peledak, bahan kimia, senjata api dan amunisi di lingkungan TNI, Polisi, dan instansi pemerintah. Selain itu, TNI, Polisi, dan instansi pemerintah juga terus melakukan pengkajian mendalam bekerja sama dengan akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Di samping itu, diselenggarakannya gelar budaya dan ceramah-ceramah mengenai wawasan kebangsaan dan penyebaran buku-buku terorisme dapat mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap langkah Pemerintah untuk memerangi terorisme di Indonesia. Peningkatan kemampuan berbagai satuan anti teror dan intelijen dalam menggunakan sumber-sumber primer dan jaringan informasi diperlukan agar dapat membentuk aparat anti teror yang profesional dan terpadu dari TNI, Polri, dan BIN. Selanjutnya, kerja sama internasional sangat perlu untuk ditingkatkan karena terorisme merupakan permasalahan lintas batas yang memiliki jaringan dan jalur tidak hanya di Indonesia. Author Comment Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama : Ferry Setiawan Indriyanto Nim : 41706012 [justify][/justify]TNI-POLRI Adakan Latihan Penanggulangan Anti Teror TNI- POLRI melakukan kerjasama latihan kesiapsiagaan pasukan anti teror untuk penanggulangan kemungkinan terjadinya terorisme di Indonesia. Kemitraan dalammengatasi aksi terorisme ini merupakan tindak lanjut yang pernah dilakukan oleh kedua institusi TNI-POLRI sebelumnya. Unsur -unsur yang terlibat dari POLRI adalah seperti dari Intelijen, Bareskrim ( Densus 88,Pusident dan Puslabfor ), sedangkan dari TNI seperti Satuan Intelijen TNI, Satuan Komando Kewilayahan Kotamaops TNI dan Satuan Penanggulangan Teror TNI ( Satuan 81 Gultor, DenJaka dan Den Bravo 90 ). Panglima TNI, Jenderal TNI Joko Santoso usai upacara pembukaan Latihan Kesiapsiagaan dan Ketanggapsegeraan TNI - POLRI dalam Penanggulangan Aksi terror 2010 dengan sandi ‘’ Waspada Nusa II ‘’ Kamis (11/3) di Jakarta menegaskan latihan ini didasarkan untuk lebih mengetahui sejauh mana kesiapan pasukan penanggulangan Teror TNI-POLRI dalam menyelenggarakan operasi secara bersama untuk mengatasi serangan teroris. Dikatakan, kerjasama antara TNI-POLRI Melalui Latihan Gabungan Terpadu Penanggulangan Teror ini
Indonesian Computer University's Scholars Repository
secara professional siap menghadapi setiap bentuk serangan teroris yang berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Hal ini menandakan bahwa kedua lembaga pemerintah ini sangat pro aktif dan tanggap dalam mengatasi dan menanggulangi bahaya terorisme yang dapat merugikan bangsa. Hal senada juga disampaikan Kapolri , Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri bahwa dalam upaya menganggulangi aksi terorisme perlu dilakukan dari waktu ke waktu secara terus menerus agar menghasilkan sesuatu yang berarti demi keamanan negara. Menurut Kapolri melalui kerjasama latihan anti teror ini TNI-POLRI tidak ingin bangsa dan negara ini ternodai dan tercerai berai oleh berbagai aksi yang berupaya mengganggu stabilitas dan kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya terhadap ancaman terorisme yang menjadi musuh bersama seluruh bangsa. Ia menegaskan melalui latihan Kesiapsiagaa TNI-POLRI dalam Penanggulangan Aksi terror ini merupakan bukti nyata bahwa TNI dan POLRI yang tidak akan mau berkompromi dengan berbagai bentuk aksi terorisme. Lip/fsl/pri/ LPP RRI Menurut saya mengenai teroris dilihat dari kesigapan TNI-POLRI jelas ada tindakannya dikarenakan memang bagian dari tanggungjawabnya, tetapi mengapa tindakan dilakukan setelah ada kejadian ? Agar Indonesia terbebas dari teroris lebih baik ditingkatkan lagi pertahanan dan keamanannya. Author Comment Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Terorisme sebagai musuh Internasional. Sejak peristiwa ultimate sudden attack, jaringan teroris di Indonesia yang tadinya aktif memprovokasi konflik antaragama akhirnya putar haluan. Kegiatan menyebarkan kebencian terhadap Amerika dan sekutunya menjadi sebuah prime goal. Sejak itu, hingga saat ini serangan teroris tidak terkait dengan isu dalam negeri, tetapi bagian dari jihad perang Universal Osama bin Laden melawan Amerika dan Sekutunya. Silang pendapat juga masih banyak terjadi dimasyarakat kita diskenariokan maupun tidak, karena sesuatu penyelidikan apabila ada negara yang berpengaruh seakan akan kita mudah untuk mengikuti kemuan mereka. Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002, menyebabkan korban dari sipil terbesar di dunia, yang menewaskan 184 orang dan 300 orang lebih luka luka. Tertembaknya Dr Azhari Husin dalam operasi pemberantasan terorisme oleh Densus 88 di Jawa Timur, menandai babak baru perkembangan aksi teroris di negeri ini. Masyarakat mendapatkan bukti yang konkret bahwa "Teroris" itu betul-betul ada. Azahari maupun Noordin M. Top merupakan model utuh manusia dalam definisi teroris yang dikeluarkan Amerika Serikat. Azahari tokoh yang memiliki kecerdasan, ekstremis, pelaku pengeboman, dan terkait jaringan terorisme global. Para teroris yang sekarang namanya banyak disebut-sebut dan dikenal masyarakat, berdalih bahwa pemboman yang mereka lakukan atas nama agama dan ajaran mereka, yaitu Islam. Dengan jelas mereka mengatakan, bahwa yang mereka lakukan adalah jihad fi sabiilillah. Jihad berasal dr bahasa arab “jihada – yajhadu - jihadan” artinya “bersungguh-sungguh”. Dalam konsep Islam, jihad memiliki makna yang luas yaitu segala bentuk usaha yang maksimal untuk penerapan ajaran Islam dan memberantas kejahatan serta kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat. (pengertian umumnya bisa kalian lihat di surat an-Nahl: 110, an-Nur: 53, al-Furqan: 52 dan al Fatir: 43). Menurut pendapat saya dalam kasus ini, para terorisme mengidentifikasi “jihad” sebagai perang secara fisik. Memang benar hal itu ada dalam Islam. Seperti yang diungkapkan oleh para Ulama seperti imam Syafi’i yang memaknai jihad sebagai langkah dalam memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam. Tetapi, para teroris itu seharus jeli untuk memahami konsep perang ini. Dasarnya apa? Tujuannya apa? Dan tekniknya bagaimana? Melihat fakta sejarah, perang (jihad) yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah didasari oleh izin Allah yang tercantum dalam surat Al Hajj ayat 39 “Telah diizinkan (berperang bagi orang-orang yang diperangi, karna sesungguhnya mereka telah dianiyaya, dan sesungguhnya Allah benar-benar maha kuasa menolong mereka.” Setelah turunnya ayat ini, Rasul pun mulai melakukan pembelaan atau pertahanan kebenaran agamanya dengan berperang. Para ulama pun menyimpulkan alasan-alasan diperlukannya perang yaitu: 1.Mempertahankan diri, kehormatan, harta dan negara dari tindak kesewenang-wrnangan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
musuh. 2.Memberantas kedzaliman. 3.Menghilangkan fitnah yang ditimpakkan kpd umat Islam. 4.Membantu yang lemah. 5.wujudkan keadilan dan kebenaran. Beberapa alasan di atas didasari ayat2 dlm Al Qur’an, yaitu surat an-Nisa: 75, at-Taubah: 13-15. Dan tujuannya adalah agar terlaksananya syari’at Islam dalam arti sebenarnya serta terciptanya suasana damai dan tentram. (an-Nisa: 90) Dalam jihad yang satu ini, diberlakukan persyaratan yang ketat, diantaranya: 1.Harus bersifat defensif (bertahan, membela) bukan menyerang ( Q.S. 2:90). 2.Untuk menghilangkan fitnah (QS. 2:193). 3. harus untuk menciptakan perdamaian (QS. 60: 8). Selain itu, ada norma-norma atau etika yang berlaku dalam jihad mutlaq konsep Islam ini, yaitu: perang tidak dibenarkan kalau dilakukan untuk memaksa ajaran Islam kpd umat non-islam. Perang tersebut salah jika tujuannya adalah perbudakan, penjajahan dan perampasan harta kekayaan. sehingga dilarang untuk membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan tersebut, seperti wanita, anak2, juga orang tua. Oleh karena itu, Teror dan Jihad yang berbentuk perang sangatlah jauh berbeda. Perang tentunya dilakukan berdasarkan pernyataan mutlak dari dua belah pihak yang akan berperang. Dan tentunya, pernyataan perang tidak bisa dikatakan oleh satu pihak atau satu orang. sementara teror, adalah penyerangan radikal secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh beberapa gelintir atau kelompok orang saja. (sangat tidak elegant dan gentle). Terorisme yang dilakukan dengan peledakan bom seperti Marriot dan Ritz C, menewaskan korban-korban yang tidak jelas, karena mereka belum tentu ada hubungannya dengan si peneror atau tidak. Terorisme yang ada saat ini, tidak memiliki dasar yang jelas, tujuan yang jelas, bahkan tekniknya pun jauh berbeda dengan konsep Jihad dalam Islam. Jadi pada kesimpulannya, Jika terorisme yang terjadi di negeri kita dituduhkan pada Islam, menurut saya “salah”. Author Comment Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama : Neri.F Nim : 41706022 [justify]Semenjak tragedi kemanusiaan atas menara kembar WTC 11 September 2001 di Amerika Serikat yang diikuti dengan tragedi nasional bom Bali setahun setelahnya serta peristiwa pemboman di tanah air beberapa waktu kemudian. Isu terorisme merupakan hal yang menjadi pusat perhatian publik. Media massa berupaya keras dalam memberikan liputan yang sekomprehensif mungkin. Tindak pidana terorisme oleh beberapa ahli hukum dikatakan sebagai political criminal di mana aktivitas kejahatannya dilakukan untuk tujuan-tujuan yang bersifat ideologis. Kejahatan tersebut dilakukan bukan atas dasar motivasi nafsu dan keinginan pribadi, tetapi atas keyakinan pelaku bahwa mereka sedang memperjuangkan atau mempercayai suatu moralitas yang dianggap lebih tinggi agar dapat menggantikan moralitas pada masyarakat dan rezim yang ada. Secara umum yang terrnasuk terorisme menurut prespektif Amerika Serikat (Barat) adalah organisasi-organisasi asing yang memiliki ciri-ciri: organisasi yang terlibat dalam aktivitas teroris atau yang memiliki kemampuan dan niat untuk melakukan aktivitas teroris atau terorisme dan aktivitas teroris organisasi tersebut mengancam keamanan warga AS atau keamanan nasional. Terorisme di dalam syariat Islam termasuk bagian kecil dari kejahatan. Hudud hirabah, yaitu perbuatan yang menimbulkan kekacauan di masyarakat sehingga mengganggu ketenteraman umum seperti membuat kerusuhan, menghasut orang lain agar melakukan tindakan kekerasan, provokator, aktor intelektual, koruptor kakap yang menggoncang perekonomian nasional, dan tentunya pelaku peledakan bom. Terorisme dalam perspektif hukum nasional yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pengganti Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2002 adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas Internasional. Dilihat dari tujuan dan ciri-cirinya, Wilkinson (Wilkinson, Paul, Terrorism and the Liberal State, (London: The Macmillan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
Press Ltd, 1977), hal 56-57 dan lihat juga F. Budi Hardiman, “Terorisme: Paradigma dan Defenisi”, dalam Rusdi Marpaung dan Al Araf (Ed.), Terorisme: Defenisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial2003)) membedakan dan menggolongkan terorisme menjadi: 1.Terorisme epifenomel (teror dari bawah) yakni terorisme dengan tanpa tujuan khusus, suatu hasil samping kekerasan horisontal berskala besar dengan ciri-ciri tak terencana rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang sengit; 2.Terorisme revolusioner (teror dari bawah), memiliki tujuan memutarbalikan tatanan secara total/revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada dengan ciri-ciri selalu merupakan fenomena kelompok, adanya struktur kepemimpinan, program ideologi, konspirasi, elemen paramiliter; 3.Terorisme subrevolusioner (teror dari bawah) dengan tujuan motif politis, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang politis dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu. Terorisme jenis ini memiliki ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisajuga individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau kriminal; 4.Terorisme represif (teror dari atas atau terorisme negara) dengan tujuan menindas individu atau kelompok (oposisi) yang tak dikehendaki oleh penindas (rezim otoriter/totaliter) dengan cara likuidasi. Terorisme jenis ini memiliki ciri-ciri berkembang menjadi teror masa, ada aparat teror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa curiga di kalangan rakyat, wahana untuk paranoia para pemimpin. Penegakan hukum terhadap terorisme di Indonesia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu : 1.Tindakan Preventif yaitu kegiatan penanggulangan anti teror ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aksi teror. Kegiatan ini meliputi teknik pencegahan kejahatan murni yang ditujukan untuk memperkuat target serta prosedur untuk mendeteksi aksi teror yang terencana. Perencanaan dan latihan adalah unsur penting dalam progralll penanggulangan teror, 2.Tindakan Refresif yaitu segala usaha dan tindakan untuk menggunakan segala daya yang ada meliputi penggunaan alat utama sistem senjata dan sistim sosial yang ada untuk menghancurkan aksi teror. [emo:11] [/justify] Author Comment restiawati Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - [justify] Nama : Restiawati Nim : 41706007 [emo:9] menurut pendapat saya Teroris selalu meningkatkan kecanggihan dan kemampuan mereka di hampir semua aspek operasi dan dukungan mereka. Selalu berupaya menggunakan teknologi modern untuk pengelolaan informasi, komunikasi, dan intelijen. Hal ini terbukti telah meningkatkan efisiensi kegiatan mereka. Apalagi jenis senjata yang modern serta teknologi lebih mudah didapatkan dan tersedia tersedia di mana saja. Begitu juga kemampuan daya beli organisasi teroris selalu meningkat. Ketersediaan teknologi dan personil yang terlatih untuk mengoperasikannya serta dengan dana yang cukup akan memungkinkan teroris mampu mengatasi bahkan melebihi kecanggihan dari ‘counter terorism’ yang dilancarkan oleh pemerintah. Salah satu upaya mengatasi terorisme adalah melakukan ‘deradikalisasi’ sistemik terhadap gerakan yang menganut paham tertentu dan berujung kekerasan mendesak segera diwujudkan. Tanpa upaya itu, pemberantasan terorisme melalui penegakan hukum hanya menciptakan lingkaran vendetta cycle (pembalasan dendam). Jika hanya bicara tentang proses pidana, jatuhnya hanya vendetta cycle. Para pelaku terorisme yang dihukum dianggap ’syuhada’ oleh sebagian masyarakat, dan hukuman mati itu justru diklaim mereka sebagai kisah sukses perjuangan. Ini tidak berkesudahan. Ada tiga alasan, mengapa teroris memilih Indonesia sebagai tempat melakukan aksinya. Ketiga ancaman itu adalah lemahnya hukum, rendahnya pendidikan dan suburnya kemiskinan. Mengikuti logika awam, kita memang bisa sangat emosional dengan kejahatan terorisme di Indonesia yang ddidalangi Dr Azahari dan Noordin M Top. Mereka tidak mungkin dapat dengan leluasa beroperasi di Indonesia tanpa berbagai kemudahan. Berbagai kemudahan itulah yang harus menjadi pelajaran atas kejahatan yang diotaki dua warga Malaysia itu. Kita dapat berdebat panjang tentang kebenaran ketiga alasan tersebut, namun juga tidak sepenuhnya meleset. Pendidikan yang rendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi, jelas merupakan ladang yang empuk bagi siapapun untuk berjualan ideologi, keyakinan atau bahkan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
mimpi-mimpi. Pelaku teroris di Indonesia memiliki sifat dan ciri tersendiri. Aksi teroris dianggap sebagai perjuangan menegakkan aqidah, perang jihad melawan negara-negara kafir dengan menggunakan sel terputus. Ketika selesai melakukan aksinya tidak berani secara terbuka untuk mengklaim bahwa dialah sebagai pelakunya seperti halnya pelaku teror di luar negeri. Selain itu, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sering digunakan sebagai kedok untuk melakukan perjuangannya dengan berbaur bersama masyarakat dalam rangka penyamaran sehingga pelaku teroris sulit ditangkap dan terkadang dilindungi oleh kelompok-kelompok masyarakat yang berpaham sama. Hal lain yang dilakukan kelompok teroris ini adalah dengan sengaja menggunakan tameng Islam agar terjadi benturan antar negara. Negara barat akan menuduh pelaku teror adalah kelompok Islam sehingga disaat demikian akan muncul solidaritas Islam di seluruh dunia untuk melakukan perlawanan dalam bentuk apapun terhadap negara-negara barat. Di Indonesia sendiri, hal ini menjadi polemik di kalangan masyarakat yang pada akhirnya masyarakat menjadi kurang bahu-membahu untuk turut serta dalam memberantas dan mencegah aksi terorisme. Kemiskinan dan kesenjangan ternyata menjadi masalah sosial yang mampu memantik terorisme. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi 2 macam: kemiskinan natural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan natural bisa dibilang “miskin dari sononya”. Orang yang tinggal di tanah subur akan cenderung lebih makmur dibanding yang berdiam di lahan tandus. Sedang kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang dibuat. Ini terjadi ketika penguasa justru mengeluarkan kebijakan yang malah memiskinkan rakyatnya. Jenis kemiskinan kedua punya potensi lebih tinggi bagi munculnya terorisme. Tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu bangsa yang ingin memerdekan diri. Menebar teror akhirnya digunakan pula sebagai satu cara untuk mencapai tujuan atau alat perjuangan. Sasarannya jelas, yaitu etnis atau bangsa lain yang sedang diperangi.Bom-bom yang dipasang di keramaian atau tempat umum lain menjadi contoh paling sering. Aksi teror semacam ini bersifat acak, korban yang jatuh pun bisa siapa saja. Negara non demokrasi juga disinyalir sebagai tempat tumbuh suburnya terorisme. Di negara demokratis, semua warga negara memiliki kesempatan untuk menyalurkan semua pandangan politiknya. Iklim demokratis menjadikan rakyat sebagai representasi kekuasaan tertinggi dalam pengaturan negara. Artinya, rakyat merasa dilibatkan dalam pengelolaan negara.Hal serupa tentu tidak terjadi di negara non demokratis. Selain tidak memberikan kesempatan partisipasi masyarakat, penguasa non demokratis sangat mungkin juga melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya. Keterkungkungan ini menjadi kultur subur bagi tumbuhnya benih-benih terorisme. Aksi teror akan muncul jika ada diskriminasi antar etnis atau kelompok dalam masyarakat. Ini terjadi saat ada satu kelompok diperlakukan tidak sama hanya karena warna kulit, agama, atau lainnya.Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar mereka didengar, diakui, dan diperlakukan sama dengan yang lain. Atmosfer seperti ini lagi-lagi akan mendorong berkembang biaknya teror. Terorisme tejadi juga akibat dari adanya "paham sesat" yg kadang membawa nama agama (yg tentu bertentangan dengan ajaran sebenarnya), bahwa musuh mereka adalah halal untuk dibunuh dan bila kebetulan ada korban lain yg terbunuh maka korban itu akan masuk surga. Terorisme tidak bisa diatasi secara tuntas hanya dari visi keamanannya, tetapi juga dari aspek hulunya yakni bagaimana menjadikan orang Indonesia tidak berjiwa ekstrem dan radikal. langkah-langkah yang diambil pemerintah dari segi keamanan dari para pengacau atau teroris antara lain dengan membentuk Satuan Tugas yang melibatkan gabungan aparat TNI dan Polri. Keterkaitan terorisme di indonesia dengan jaringan internasional tentu ada kaitannya salah satunya kegiatan teroris di Aceh merupakan kabar buruk. Terutama bagi iklim bisnis dan investasi. Buruk, karena Aceh merupakan daerah tujuan bisnis dan investasi. Buruk, sebab Indonesia oleh AS sudah terlanjur diberi label sebagai negara yang menjadi sarang teroris (internasional). Situasi menjadi lebih buruk karena yang memperjelas label itu justru pihak Indonesia. Keadaannya bertambah buruk berhubung kabar terbongkarnya jaringan teroris dalam negeri itu, bersamaan dengan waktu persiapan kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia. Selama ini hanya AS yang menuduh sepihak tentang adanya jaringan teroris (Al Qaeda) di Indonesia. Bahkan dalam hal penemuan teroris di Aceh, pemerintah buru-buru membuat bantahan. Teroris Aceh disebutkan tidak ada kaitan dengan jaringan Al Qaeda ataupun
Indonesian Computer University's Scholars Repository
GAM. Ironisnya bantahan kita itu tidak mempan. Citra buruk Indonesia sebagai negara pemukiman teroris tetap kuat. Selama ini, setelah terjadi perdamaian antara GAM dan pemerintah Jakarta, ada kesan provinsi di bagian paling barat Indonesia itu sudah kondusif. Sekalipun GAM bukanlah organisasi teroris, tetapi dari sudut keamanan, GAM selalu menjadi momok bagi tuntutan standar keamanan. Dengan status Aceh yang baru, pasca-rekonsiliasi antara GAM dan pemerintah RI, pemerintah daerah dan rakyat Aceh memperoleh banyak perlakuan istimewa. Namun menghadapi temuan teroris ini, masyarakat Aceh sudah seharusnya bersikap. Pemerintah Jakarta juga wajar menuntut tanggung jawab Pemda Aceh menjadikan provinsi itu sebagai kawasan kondusif. Gubernur Aceh yang kebetulan pernah menjadi anggota organisasi pengganggu keamanan NKRI karena menjadi pejuang GAM, sudah seharusnya mengerahkan segala pengaruh untuk menghentikan teroris di Aceh. Karena pada dasarnya kegiatan teroris tidak hanya menganggu keamanan Aceh melainkan, NKRI secara keseluruhan. Aceh memiliki catatan tersendiri dalam bidang keamanan. Selama lebih dari 30 tahun keamanan Aceh diganggu GAM. Para pendiri GAM selama periode itu sekalipun kebanyakan bermukim di luar negeri, tetapi pemerintah dan rakyat Indonesia diam-diam meyakini, di dalam negeri GAM memiliki pendukung yang tidak kelihatan. Keyakinan itu didasarkan pada pengalaman dan temuan bahwa hubungan kekerabatan antara anggota GAM dengan rakyat Aceh sangat kuat. Bahkan ada aksioma yang mengatakan sulit membedakan siapa sesungguhnya yang menjadi pendukung GAM ataupun rumit mencari tahu hubungan dan jaringan GAM di kalangan warga Aceh. Jika benar anggota teroris yang dihadapi Polri di Aceh saat ini berasal dari masyarakat lokal, sangat wajar apabila pemda dan seluruh kekuatan yang ada di Aceh ikut membantu kepolisian. Di masa Orde Baru, sejumlah putera asal Aceh ditengarai pernah mengikuti program pelatihan separatis di Libya. Mereka bergabung dengan pejuang Front Pembebasan Nasional Moro di Filipina Selatan. Dugaan ini secara empiris tidak pernah terbukti atau berhasil dibuktikan. Kabar keterlibatan itu laku menghilang bersamaan tercapainya perdamaian antara pemerintah Filipina dan MNLF, pimpinan Nur Misuari di akhir 1980-an. Pasca-Perang Indochina di pertengahan 1970-an, sejumlah media internasional melaporkan adanya berbagai senjata peninggalan pasukan AS di Vietnam dan Kamboja yang dijual di Birma, Thailand Selatan, dan Aceh. Wilayah yang menjadi tempat transaksi jalur Selat Malaka. Bahkan perompakan sejumlah kapal yang melintasi Selat Malaka beberapa kali dikaitkan dengan GAM. Selat Malaka saat ini kembali dinyatakan sebagai jalur internasional yang rawan perompakan, bahkan berubah sebagai jalur penghadangan kelompok teroris. Semua paparan di atas memberi peringatan kepada semua kalangan yang cinta pada perdamaian NKRI untuk melihat terbongkarnya sarang teroris di Aceh sebagai peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Upaya-upaya strategis yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi jaringan teroris sebagai berikut : a. Mengalahkan teroris dan organisasinya dengan menghancurkan persembunyiannya, kepemimpinannyya, komando, kontrol, komunikasi dukungan materiil dan keuangan. Kita harus bekerjasama dan mengembangkan kemitraan baik di luar maupun di dalam negeri untuk mengisolasi teroris. Mendorong instansi terkait untuk mengembangkan upaya penegakkan hukum, dengan didukung oleh intelijen dan instansi terkait lainnya serta mengembangkan mekanisme pananganan aksi teror dalam suatu sistem keterpaduan dan koordinasi staf. b. Meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan semua komponen bangsa terhadap ancaman terorisme untuk mencegah dijadikannya wilayah tanah air Indonesia sebagai tempat persembunyian para teroris dan tempat tumbuh suburnya ideologi terorisme. c. Menghilangkan faktor-faktor korelatif penyebab yang dapat dieksploitasi menjadi alasan pembenaran aksi teroris seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik politik dan SARA. d. Melindungi bangsa, warga negara dan kepentingan nasional. Kemenangan perang melawan terorisme dapat dicapai melalui upaya berkelanjutan dengan menekan ruang lingkup dan kapabilitas organisasi teroris, mengisolasi teroris dan menghancurkannya. Kemenangan hanya dapat dicapai selama pemerintah dan rakyat memelihara kesiap-siagaan dan bekerja tanpa mengenal lelah untuk mencegah teroris mekukan tindakan yang membawa bencana. Author Comment
Indonesian Computer University's Scholars Repository
siti aisyah Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama :Siti Aisyah Nim :41706017 menurut sepengetahuan saya mengenai kasus terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh grup teror Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-Qaeda. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara Barat" telah diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia. Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002. Selama ini selalu saja kita terlalu mendiktekan diri untuk selalu mengikuti apa yang diopinikan Barat. Selama itu pula, sebenarnya, penanganan kasus terorisme tak pernah berujung. Jaringan yang semula diyakini telah pupus… dalam segala keterbatasannya mampu bermetamorfosa membentuk sel-sel baru yang lebih berbahaya. Pola seperti ini tak pernah putus, bahkan di Barat sekalipun. Korban yang seharusnya tidak perlu, terus berjatuhan. Karena itu, sudah saatnya kita evaluasi penanganan aksi terorisme di negeri ini. Apakah cukup hanya dengan pendekatan hukum—tangkap, interograsi, siksa, adili dan kurung atau tembak mati—seperti selama ini, atau diperlukan metode lain. Ini persoalan bersama bangsa. Sudah saatnya semua elemen yang berkepentingan duduk bersama dengan kepala dingin untuk mencari solusi. Bukan dengan amarah apalagi nafsu untuk memuaskan kepentingan asing. Sebab, persoalan ideologi tak segampang menyelesaikan sebuah kasus kriminal. Sekali lagi, tanpa mengganggu proses pengusutan dan penegakan hukum bagi pelaku teror, suatu pendekatan alternatif perlu digagas. Tentu, terlebih dahulu kita harus bersepakat bahwa masalah ini adalah milik bangsa kita. Segala macam metode penanganan yang ditawarkan harus mengacu kepada kepentingan bangsa kita. Bukan demi memuaskan keinginan Barat. Sebab, selama kita tak berani keluar dari cengkraman kepentingan mereka, selama itu pula masalah pelik ini akan membelit kita. Entah sampai kapan berakhir. a. apakah ada keterkaitan dengan jaringan teroris internasional? Aksi para teroris dan terorisme antara Indonesia, Australia dan Amerika Serikat, jelas ada kaitan erat. sekarang kita lihat kasus penggerebekan teroris di Aceh Naggroe Darussalam dan penembakan Dulmatin hingga tewas bersama dua pengawalnya –satu di antaranya menyamar sebagai perempuan bercadar di dalamnya ada sedikitnya 3 faktor penentu yang mengiringinya dengan kejadian peristiwa yang hampir bersamaan, sungguhpun perburuan teroris dan terorisme sudah jauh hari dilakukan dan sampai saat ini masih terus dilanjutkan. b.langkah atau solusi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah indonesia? kasus terorisme harus dilakukan cepat. Sebab, harus berkejaran dengan aksi-aksi terorisme di Indonesia yang terus terjadi. Untuk mengubah ideologi pelaku teror yang sangat militan tersebut sangat sulit, apalagi militansi tidak bisa dihindari. c. bagaimana bersasarkan pendekatan perspektif yang sudah dipelajari? konflik memberikan perspektif mengenai kehidupan social. Berbeda dengan fungsionalis, yang memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang harminis, dengan bagian-bagian yang bekerja sama. Sosiolog mempelajari bagaimana konflik menembus setiap lapis masyarakat, entah itu kelompok kecil, suatu organisasi, suatu komunitas, atau seluruh masyarakat. Jika orang dalam suatu posisi berwenang mencoba menegakkan konformitas, yang harus mereka lakukan, terciptalah kemarahan dan perlawanan. Hal ini terjadi di Indonesia, konflik antara teroris dan masyarakat berkembang ketika terjadi bom bali pertama dan pengeboman yang terjadi selanjutnya. Peristiwa ini sangat membuat geram para keluarga korban, kaum muslimin dan masyarakat. Karena peristiwa tersebut telah mencoreng nama islam dan bangsa Indonesia. Para teroris membawa masalah agama dalam aksinya, apalagi setelah terjadinya serangkaian bom, nama islam sangat rendah dimata dunia. Karena dianggap sebagai agama teroris yang selalu menyebarkan rasa tidak aman. Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konkuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung. [emo:9]
Indonesian Computer University's Scholars Repository
[emo:9] [emo:9] Author Comment siti aisyah Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - [justify]Nama :Siti Aisyah Nim :41706017 menurut sepengetahuan saya mengenai kasus terorisme di Indonesia merupakan terorisme di Indonesia yang dilakukan oleh grup teror Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan al-Qaeda. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara Barat" telah diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia. Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002. Selama ini selalu saja kita terlalu mendiktekan diri untuk selalu mengikuti apa yang diopinikan Barat. Selama itu pula, sebenarnya, penanganan kasus terorisme tak pernah berujung. Jaringan yang semula diyakini telah pupus… dalam segala keterbatasannya mampu bermetamorfosa membentuk sel-sel baru yang lebih berbahaya. Pola seperti ini tak pernah putus, bahkan di Barat sekalipun. Korban yang seharusnya tidak perlu, terus berjatuhan. Karena itu, sudah saatnya kita evaluasi penanganan aksi terorisme di negeri ini. Apakah cukup hanya dengan pendekatan hukum—tangkap, interograsi, siksa, adili dan kurung atau tembak mati—seperti selama ini, atau diperlukan metode lain. Ini persoalan bersama bangsa. Sudah saatnya semua elemen yang berkepentingan duduk bersama dengan kepala dingin untuk mencari solusi. Bukan dengan amarah apalagi nafsu untuk memuaskan kepentingan asing. Sebab, persoalan ideologi tak segampang menyelesaikan sebuah kasus kriminal. Sekali lagi, tanpa mengganggu proses pengusutan dan penegakan hukum bagi pelaku teror, suatu pendekatan alternatif perlu digagas. Tentu, terlebih dahulu kita harus bersepakat bahwa masalah ini adalah milik bangsa kita. Segala macam metode penanganan yang ditawarkan harus mengacu kepada kepentingan bangsa kita. Bukan demi memuaskan keinginan Barat. Sebab, selama kita tak berani keluar dari cengkraman kepentingan mereka, selama itu pula masalah pelik ini akan membelit kita. Entah sampai kapan berakhir. a. apakah ada keterkaitan dengan jaringan teroris internasional? Aksi para teroris dan terorisme antara Indonesia, Australia dan Amerika Serikat, jelas ada kaitan erat. sekarang kita lihat kasus penggerebekan teroris di Aceh Naggroe Darussalam dan penembakan Dulmatin hingga tewas bersama dua pengawalnya –satu di antaranya menyamar sebagai perempuan bercadar di dalamnya ada sedikitnya 3 faktor penentu yang mengiringinya dengan kejadian peristiwa yang hampir bersamaan, sungguhpun perburuan teroris dan terorisme sudah jauh hari dilakukan dan sampai saat ini masih terus dilanjutkan. b.langkah atau solusi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah indonesia? kasus terorisme harus dilakukan cepat. Sebab, harus berkejaran dengan aksi-aksi terorisme di Indonesia yang terus terjadi. Untuk mengubah ideologi pelaku teror yang sangat militan tersebut sangat sulit, apalagi militansi tidak bisa dihindari. c. bagaimana bersasarkan pendekatan perspektif yang sudah dipelajari? konflik memberikan perspektif mengenai kehidupan social. Berbeda dengan fungsionalis, yang memandang masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang harminis, dengan bagian-bagian yang bekerja sama. Sosiolog mempelajari bagaimana konflik menembus setiap lapis masyarakat, entah itu kelompok kecil, suatu organisasi, suatu komunitas, atau seluruh masyarakat. Jika orang dalam suatu posisi berwenang mencoba menegakkan konformitas, yang harus mereka lakukan, terciptalah kemarahan dan perlawanan. Hal ini terjadi di Indonesia, konflik antara teroris dan masyarakat berkembang ketika terjadi bom bali pertama dan pengeboman yang terjadi selanjutnya. Peristiwa ini sangat membuat geram para keluarga korban, kaum muslimin dan masyarakat. Karena peristiwa tersebut telah mencoreng nama islam dan bangsa Indonesia. Para teroris membawa masalah agama dalam aksinya, apalagi setelah terjadinya serangkaian bom, nama islam sangat rendah dimata dunia. Karena dianggap sebagai agama teroris yang selalu menyebarkan rasa tidak aman. Terorisme sebagai sebuah paham memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia, baik dulu maupun yang mutakhir. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konkuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung. [emo:9] [emo:9] [emo:9] Author Comment dini rachman pujiono Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama : Dini Rachman Pujiono Nim : 41706023 tugas : Analisis Terorisme Indonesia Bagaimana Analisa kalian mengenai kasus terorisme yang terjadi di Indonesia? [justify]Ada satu gejala yang luput dari pengamatan banyak orang. Polri telah sangat "barbarian" dan sembrono dalam menetapkan dan menghukum orang yang diduga (sekali lagi, "diduga", karena belum ada putusan pengadilan) pelaku terorisme. Ada orang di Bekasi dan Temanggung yang "diduga sebagai pelaku teror". Jangan sebut mereka sebagai "pelaku" (offender/criminal), sebab itu hanya dugaan, dan dugaan ini belum dibuktikan secara hukum. Tapi polisi langsung menggerebek dan akhirnya membunuh mereka. Tidak ada masyarakat yang protes, karena masyarakat telah beropini (lebih tepatnya dibuat beropini) bahwa mereka adalah teroris yang harusnya dibunuh. Ada cerita lain tentang pelaku yang bernama Yayan/Suryana/Gepeng. Kapolri menyatakan secara resmi bahwa dia dapat dipastikan termasuk jaringan teroris dan calon "pengantin" pada rencana bom selanjutnya. Dia ditangkap, lalu dilepaskan lagi, karena ternyata bukan teroris, atau keterlibatannya dianggap belum begitu dalam. Yayan pernah "diopinikan" sebagai teroris, tapi kemudian opini itu dihapus lagi. Marilah kita berandai: kalau saja setelah Yayan diopinikan sebagai teroris, lalu dia digerebek dan dibunuh, adakah masyarakat yang protes? Saya yakin tidak..!! Dalam kasus terorisme: ukuran boleh/tidaknya eksekusi mati bukanlah putusan pengadilan, tapi apakah orang itu sudah distigma/belum. Artinya, kalau sudah distigma maka boleh dibunuh. Atau bisa juga, silahkan Densus 88 langsung membunuh saja, nanti setelah mati baru dibuatkan stigma "teroris" agar masyarakat bisa menerima. Di sinilah, yang namanya "law of evidence" atau hukum pembuktian dalam "criminal justice system" telah begitu diabaikan. Padahal, kalau kita kembalikan ke teori hukum pidana, pembuktian merupakan hal yang sangat rumit. Dalam masalah pembuktian seorang itu bersalah atau tidak, setidaknya ada 4 aliran yang mengemuka: 1.Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime). Pembuktian adalah berdasarkan keyakinan hakim semata. Meskipun tak ada alat bukti, asalkan hakim yakin, maka bisa diputuskan. Kelemahannya: keyakinan bisa salah. 2.Sistem pembuktian menurut UU secara positif (positif wettelijk). Ini adalah kebalikan dari conviction. Jika tuntutan alat bukti yang ada dalam UU sudah terpenuhi, maka bisa diputuskan, meskipun di hati hakim tidak ada keyakinan. Kelemahannya: terkadang yang salah punya bukti lebih kuat dibanding yang benar, sehingga dia harus diputuskan menang. 3.Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee). Keyakinan hakim harus didukung oleh alasan rasional, meskipun tidak harus dengan alat bukti yang kuat/sah. Kelemahan: membuka peluang subyektivitas hakim yang terlalu besar, dan bisa disalahgunakan oleh hakim. 4.Sistem pembuktian menurut UU secara negatif (negatif wettelijk stelsel). "Negatif" berarti harus ada keyakinan, dan "wettelijk" berarti alat bukti UU harus terpenuhi. Dengan demikian, hakim hanya boleh memutuskan dengan syarat dua hal: (a) jika ia merasa "yakin", dan (b) keyakinannya itu "didasarkan kepada alat bukti" yang sah menurut UU. Setelah berlakunya Kitab UU Hukum Acara Pidana, Indonesia menganut sistem yang keempat: negatif wettelijk. Ketika para pembuat UU (law-giver) menentukan "negatif wettelijk", sesungguhnya ini mengisyaratkan keinginan para ahli hukum di Indonesia untuk sangat berhati-hati dalam memutuskan perkara pidana. Lalu apa saja yang dianggap bukti dalam hukum acara pidana? Dalam KUHAP, yang bisa dianggap alat bukti yang sah adalah: 1.Keterangan saksi 2.Keterangan Ahli 3.Surat 4.Petunjuk 5.Keterangan terdakwa Namun ketentuan tersebut disimpangi dalam UU Terorisme (UU 15/2003). Pasal 26 menyatakan bahwa "informasi intelejen" bisa dijadikan bukti awal untuk melakukan penahanan selama 7x24 jam. Sekali lagi, melakukan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
penahanan, bukan eksekusi. Kalau akan kita perdalam, informasi dalam dunia intelejen biasanya dibedakan berdasarkan dua kategori: KATEGORI SUMBER BERITA A = sangat dipercaya B = dapat dipercaya C = biasanya dapat dipercaya D = diragukan E = tidak dapat dipercaya F = tidak dapat dinilai bisa dipercaya/tidak KATEGORI KETELITIAN INFORMASI 1 = berita yang dibenarkan dengan adanya berita serupa 2 = beritanya mengandung kebenaran 3 = beritanya kemungkinan mengandung kebenaran 4 = kebenaran berita diragukan 5 = kebenaran berita tidak dapat dinilai Nah, kalaupun yang dimaksud oleh Pasal 26 adalah informasi yang nilainya "A-1" (sangat dipercaya dan dibenarkan oleh berita lain yang serupa), itupun menurut saya masih riskan dan membuka peluang disalahgunakan. Apalagi Pasal 26 tidak memberi batasan informasi intelejen kategori apa, sehingga boleh saja informasi bernilai "F-5" (yang artinya adalah "khayalan iseng" intelejen) dijadikan bukti permulaan untuk menangkap dan menahan seseorang. Pasal "obscure" (kabur) seperti ini jelas menyalahi prinsip ilmu perundang-undangan, terlebih lagi dalam hukum pidana yang salah satu asas terpentingnya adalah: "Nullum crimen, nulla poena sine lege certa" (prohibition of unclear terms in criminal statutes). Pada kenyataannya, informasi intelejen sering meleset. Kita masih ingat, beberapa saat setelah penggerebekan di Temanggung, Kepala Badan Intelejen Negara, Hendropriyono menyatakan bahwa setelah ada informasi intelejen, Noordin akhirnya bisa digerebek di Temanggung. Tapi ucapan itu terbukti meleset: yang tertangkap ternyata cuma "Noordin-Noordinan", bukan Noordin sungguhan. Ini berarti bahwa informasi intelejen itu juga "informasi-informasian" dan bukan informasi sungguhan yang layak dijadikan bukti permulaan. Orang yang dibunuh (Ibrohim) adalah orang yang "diinformasikan" sebagai teroris. Apa jaminan bahwa informasi ini juga bukan "informasi-informasian"? Padahal akibatnya sangat fatal: terbunuhnya seorang warga negara Indonesia yang harusnya punya hak sama di depan hukum (equality before the law) dan harus dihormati hak-haknya. Ringkasnya, dari segi hukum, sebenarnya langkah Densus 88 untuk membasmi teroris dengan cara yang main sergap dan tembak, tidak kalah bahayanya dengan terorisme itu sendiri. Ini bukan soal apakah ketika menggerebek, Densus terpaksa menembak atau tidak. Yang jelas, fakta di lapangan adalah: bahwa siapa saja yang "diinformasikan" sebagai teroris, maka ia layak ditindak dengan tindakan apapun, termasuk dibunuh. Warga negara Indonesia sekarang cuma bisa berharap bahwa dirinya, keluarganya, atau temannya tidak "diinformasikan" seperti itu. Warga negara ini sesungguhnya terancam oleh dua hal: (a) aksi terorisme itu sendiri, dan (b) langkah pemerintah dalam membasmi terorisme. Terorisme memang kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime), dan harus ditangani secara luar biasa dan dengan hukum yang luar biasa, tapi bukan berarti tanpa aturan dan bisa semena-mena. ADAKAH KEMUNGKINAN KONSPIRASI? Ada gejala aneh dalam kasus terorisme kali ini. Presiden SBY pernah mengatakan dirinya ditarget oleh teroris, lalu beliau menunjukkan beberapa buah foto bukti latihannya para teroris. Mereka yang agak paham dengan persoalan-seperti halnya Permadi, tentu saja tersenyum geli melihat itu semua. Fotonya adalah foto lama, dan kalau memang foto itu benar, harusnya yang mengambil foto itu tahu pelakunya, lalu kenapa tidak ditangkap sekalian? Kenapa para intel kita hanya jadi "fotografer" atau "kolektor foto" saja? Kemungkinannya adalah: intelejen sudah tahu, tapi tetap "membiarkan" (atau bahkan "merestui" untuk sementara waktu), sehingga terjadilah peristiwa pengeboman dan ditemukannya berbagai bom. SBY kemudian dikritik oleh banyak pihak, karena dianggap "tergesa-gesa" mempercayai informasi intelejen. Setelah dikritik demikian, tidak lama kemudian ada bahan peledak yang ditemukan di Jatiasih, yang konon akan digunakan untuk mengebom kediaman SBY. Saya jadi bertanya: itu bom dari para pelaku, ataukah sekedar "proyek" dari sementara pihak untuk membuktikan bahwa statemen presiden SBY yang dikecam itu benar? Kalau bom itu dari pelaku, kenapa tertangkapnya kok "nunggu" statemen SBY jadi kontroversi? Kita harus ingat, sebelumnya kantor KPU pernah diancam akan dibom. Kadang saya jadi berandai: kalau saja isu bom KPU menjadi kontroversi, mungkin akan ada "bukti" berupa ditemukannya bom di sekitar kantor KPU. Tapi karena isu bom KPU tidak menjadi isu besar, maka ancaman itu tidak perlu dibuktikan dengan ditemukannya bom di sekitar kantor KPU. Bomnya cukup ditemukan di area Jatiasih saja, karena ini yang jadi kontroversi. Lalu kalau yang ditarget memang SBY dan kekacauan hasil Pilpres, harusnya para teroris itu langsung saja
Indonesian Computer University's Scholars Repository
menarget SBY. Tidak perlu mereka melakukan aksi di Ritz Carlton terlebih dahulu, yang justru membuat "keruh", sehingga aparat semakin ketat dan kemudian SBY dijaga lapis tiga. Ibarat mau memancing ikan, tapi airnya diobok-obok dulu, ikannya ya jelas lari. Teroris yang demikian adalah teroris super bodoh. Jadi, sebenarnya ada banyak kejanggalan dari aksi terorisme kali ini di Indonesia. Sekedar perbadingan, di Amerika, Dick Cheney, mantan wakil presiden, sedang mulai digugat, karena pernah merestui cara kotor CIA untuk menangani teroris dan menyuruh intelejen berbohong pada Kongres tentang justifikasi serangan ke Irak. Atas restu Cheney, CIA melakukan penangkapan tanpa prosedur, interogasi brutal, penahanan yang tidak manusiawi, dan sekian banyak pelanggaran lain terhadap secara massive orang-orang yang diduga terkait dengan terorisme. Namun apakah Cheney jadi dituntut? Kemungkinan tidak, karena kalau dia dituntut, akan ada konflik antara Partai Demokrat dan Republik yang tentunya bisa sangat destruktif akibatnya bagi suhu politik di Amerika. Semua masalah dipendam secara konspiratif demi stabilitas bersama. Anehnya lagi, CIA yang sudah jelas-jelas banyak berbohong dalam data dan penyidikannya itu masih dipercaya oleh Indonesia. Amerika menawarkan "informasi" seputar jaringan pelaku teror kepada Indonesia. Tidak ada kabar jelas sikap Indonesia bagaimana. Yang jelas, "database" Densus 88 menurut beberapa pihak sama dengan datanya CIA. Kalau meminjam istilah anak sekolah yang sedang ujian, mungkin Densus 88 "nyontek" terhadap CIA, seorang murid yang suka berbohong. Kejanggalan lain adalah tidak pernah adanya persidangan yang bersifat pasti dan komprehensif dalam terorisme. Yang ada adalah informasi yang disebarkan sedemikian rupa ke seluruh dunia, bahwa "imam" terbesar teroris adalah Osama bin Laden. Osama punya bawahan banyak, lalu sampai ke Hambali dan Noordin, sampai ke Ibrahim dan Yayan. Entah bagaimana, masyarakat dunia sangat percaya dengan narasi semacam ini. Saya jadi ingat Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, yang mengatakan: "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya...!!!" Karena semua media informasi menyebarkan cerita yang seragam tentang terorisme, Osama, dan Noordin, maka masyarakat pun akhirnya percaya. Entah berita itu benar atau tidak, yang penting mereka percaya. Selain itu, pengungkapan kasus terorisme tidak akan pernah sampai pada "supplier" (pemasok). Hanya pelaku, para "pengantin", dan orang yang merekrut pelaku/merakit bom. Tapi dari mana bahan baku bom itu didapat, siapa yang melatih perakitan, dan siapa sumber dana utamanya tidak pernah diungkap. Kalaupun disebut nama, maka itu hanya untuk cerita saja, dan orangnya tidak akan pernah tertangkap. Bagaimana mungkin AS tidak bisa menangkap Osama, padahal mencari Saddam Hussein yang ada di dalam bunker bawah tanah saja mereka mampu. Maka ketika semua televisi memberitakan penangkapan Noordin, saya sudah tidak percaya dari awal, sebab kalau Noordin sampai tertangkap, semua "proyek" juga akan selesai, padahal "proyek" itu masih perlu. Teroris mungkin ada, dan mereka punya muatan ideologi tertentu. Tapi terdapat kemungkinan besar bahwa ada pihak yang "memelihara" mereka, meskipun para teroris itu sendiri mungkin tidak sadar sedang "dipelihara". Kita harus ingat bahwa segala sesuatu di muka bumi ini tidak ada yang kebetulan. Terorisme juga ada bukan karena kebetulan. Ia punya setting yang melingkupi. Ada pendorong, ada penyokong, ada penggerak, ada pendukung, ada pihak kontra yang tujuannya hanya memicu aksi teror, dll. Pada wilayah inilah kemungkinan terjadi konspirasi yang sangat rumit. Yang disebut teror adalah aksi kejahatan yang menimbulkan ketakutan publik (public fear). Ketakutan publik ini dasar utamanya seringkali bukan "aksi teror"-nya itu sendiri, tapi "pemberitaan" dan "reaksi" terhadap aksi tersebut. Kalau dilihat dari jumlah korban, bom Marriot yang terakhir tentu kalah jumlah dengan korban pesawat yang jatuh atau bencana lain. Bom Marriot yang terakhir tidak akan mungkin bisa menimbulkan "public fear", kecuali jika kasus tersebut dikemas dan diberitakan secara heboh, kemudian pemerintah terlihat "serius" menanganinya. Agar aksi teror benar-benar menjadi "teror" bagi masyarakat, maka perlu "kerjasama" antara pelaku, media massa, dan pemerintah untuk bersama-sama membuat takut terhadap masyarakat. Tanpa pemberitaan yang heboh dan reaksi berlebihan dari pemerintah, maka terorisme hanya akan menjadi kejahatan biasa yang tidak begitu menakutkan. Penggerebekan di Temanggung adalah penggerebekan yang "heboh" dan tidak lazim. Rumah Muzahri dikepung selama 17 jam, oleh 600 lebih personel Densus 88, yang ternyata hanya untuk
Indonesian Computer University's Scholars Repository
mengepung satu orang, itupun akhirnya ditangkap dalam keadaan mati. Penggerebekan dibuat lama dan "heboh" agar asyik untuk diberitakan, sehingga mirip "reality show". Tidakkah kita menilai berlebihan terhadap penggerebekan satu orang oleh 600 personel bersenjata lengkap? Tidakkah berlebihan pengepungan selama 17 jam, kalau akhirnya toh ditembak mati juga? Kalau ujungnya korban itu mati, menurut saya cukup 5 personel, rumahnya dilempar bom skala kecil, pasti beres dalam 3 menit. Tragisnya lagi, yang dibunuh ternyata bukanlah Noordin..!! Di Purwokerto ada mobil Xenia yang diparkir di pinggir jalan sudah 2 hari lebih. Dalam mobil tersebut ada plastik kresek hitam yang "diduga" adalah bom. Maka polisi pun heboh. Banyak personel diturunkan ke lapangan. Lalu untuk mengambil tas kresek tersebut, kaca mobil dipecahkan dengan peluru/bahan peledak skala kecil (ada dua versi berita). Saya pun tersenyum geli. Untuk memecahkan kaca mobil Xenia sebenarnya bisa dipukul dengan batu kecil saja, kenapa harus memakai tembakan/peledak? Jawabannya sederhana: kalau dengan batu kecil, nanti kurang heboh, nuansa terornya tidak terasa. Kemudian yang paling menggelikan dari itu semua adalah pernyataan Pangdam Diponegoro: "Kalau melihat orang asing memakai surban, jubah, serta berjenggot, laporkan saja!!" Identifikasi "suspected terrrorist" yang seperti ini tentu saja sangat janggal dan tidak masuk akal. Kalau teroris sungguhan, tentu saja penampilannya tidak akan selugu itu, tapi akan berkamuflase. Selain itu, statemen yang seperti itu sangat melukai perasaan golongan yang konsisten dengan ajaran Islam. Lebih dalam lagi, statemen itu berarti bahwa siapa saja yang menjalankan Islam secara teguh, maka potensial teroris. Padahal logika bahwa Islam=terorisme adalah logika yang kacau. Saya bisa setuju dengan logika ini, jika memang kita boleh mengatakan bahwa jabatan=korupsi, lalu dibuatkan statemen: "kalau melihat orang pake seragam pejabat PNS, laporkan saja ke KPK..!!" Akhirnya, hanya ada dua kemungkinan arti dari pernyataan itu: Pertama, aparat sangat "lugu" dalam memahami terorisme. Dikiranya teroris adalah orang-orang polos yang akan selalu ngaku ketika ditanya dan pake "seragam" tertentu seperti anak sekolah agar mudah dikenali oleh siapa saja, lalu di atas sakunya ada "tempelan" nama Noordin, Ibrahim, Azhari, dll. Kedua, aparat tahu bahwa teroris itu cerdik, sebab aparat kita sudah berpengalaman menangani berbagai kejahatan. Tapi mereka tetap saja memakai cara yang lugu dan "heboh" untuk menyikapi terorisme, sebab yang dituju oleh pemerintah bukanlah tertangkapnya teroris, tapi "kehebohan" yang timbul di masyarakat, ada konflik horizontal, dan perpecahan di kalangan warga negara. Dengan demikian, maka masyarakat jadi teralihkan perhatiannya dari isu lain yang lebih penting (sengketa suara Pilpres, KPK yang sedang digembosi, Lapindo yang tambah ruwet, dll). Jadi, terorisme lebih merupakan "proyek" untuk kepentingan tertentu. Menurut Anda, dari kedua kemungkinan itu, kira-kira mana yang lebih masuk akal?? Inti dari paparan di atas adalah, kasus terorisme yang ada sebenarnya mengundang kecurigaan tentang adanya konspirasi. Sebab di dunia ini sesungguhnya ada dua kekuatan egois yang saling memaksakan diri. Pertama, adalah Amerika. Ia memaksa semua warga dunia untuk mengikuti visinya tentang demokrasi, ekonomi, dan tata dunia. Kalau ada yang tidak setuju, maka akan diperangi (kasus Afganistan dan Irak). You are either with us or against us..!! Kalian semua akan bersama kami, atau akan melawan kami..!!, itulah semboyan mereka. Tidak boleh ada sikap netral. Yang kedua, adalah Osama bin Laden CS (yang serba tidak jelas informasinya), yang ingin memaksa warga dunia agar tunduk dengan Islam. Dua-duanya sama-sama jahat dan berbahaya, karena tidak mungkin memaksa warga dunia yang beragam ini ke dalam satu visi/model/hukum/apapun. Demikian dikatakan oleh Prof. Werner Mensky, Guru Besar Hukum di London University. Namun kita juga pantas curiga, bahwa kekuatannya sebenarnya hanya satu, yaitu Amerika. Tapi kalau Amerika bergerak sendiri ke berbagai negara tanpa musuh, maka ini akan terlihat kurang etis. Agar terlihat etis, maka Amerika memerlukan "musuh" yang bisa dijadikan legitimasi untuk menyerang, mengintervensi, dan masuk ke kedaulatan negara lain, baik dengan cara yang halus maupun kasar. Musuh ini kemudian disebut sebagai "terorisme". Bisa jadi, musuh ini adalah ciptaan Amerika, baik secara langsung maupun tidak, dengan cara yang penuh dengan intrik dan konspirasi. Dengan demikian, teroris yang merupakan hasil "proyek pembuatan musuh" buatan Amerika ini sebenarnya lebih layak untuk dikatakan sebagai "victim" (korban) ketimbang "criminal" (penjahat), sebab mereka sebenarnya tidak sadar sedang masuk dalam irama yang penuh permainan dan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
konspirasi dari sang predator dunia: Amerika. Apa yang saya tuliskan di atas hanyalah sekedar unek-unek dan terkaan saja, yang memang tidak ada jaminan benar. Namun kita juga harus ingat, bahwa berita televisi, stigma teroris, dan klaim tentang motif serta otak terorisme yang digembor-gemborkan selama ini juga tidak ada jaminan benarnya. Dunia ini memang penuh dengan misteri, dan terorisme termasuk salah satu misterinya. Terakhir, sekedar untuk perenungan, pada zaman dahulu di Perancis terdapat peristiwa yang sangat menggemparkan masyarakat, yaitu kasus Jean Calas de Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri, Mauriac Antonie Calas. Jean Calas dituduh membunuh Mauriac karena anaknya itu ditemukan mati di rumah Jean Calas. Jean Calas tetap tidak mengakui, tapi hakim yakin ia bersalah, karena bukti mayat ada di rumahnya, sehingga Jean Calas akhirnya dijatuhi hukuman mati, yang pelaksanaannya dengan pisau guillotine. [Mungkin ini mirip dengan tuduhan teroris terhadap sebagian orang, hanya karena di rumah yang ia tempati ada bahan peledak.] Voltaire mengecam keras putusan itu, dan meminta pemeriksaan ulang terhadap kasus tersebut. Setelah diadakan pemeriksaan ulang, ternyata hasilnya menyatakan bahwa Mauriac mati karena bunuh diri, bukan dibunuh oleh Jean Calas. Karena itulah, untuk menetapkan bersalah dan menghukum seseorang, tidak cukup dengan keyakinan saja. Tapi harus ada "keyakinan" dan "bukti yang sah menurut hukum", yang itu ditetapkan melalui persidangan yang fair. Tidak cukup kita menghukum/menstigma seseorang hanya berdasarkan informasi intelejen dan berita televisi. Sebab mungkin saja para teroris yang telah ditembak mati sesungguhnya adalah "Jean Calas" versi Indonesia. Sangat mungkin juga orang-orang yang dituduh teroris di negara kita ini adalah para calon "Jean Calas". Semoga kita bisa lebih bijaksana dalam memahami terorisme dan teroris. apakah ada keterkaitan dengan jaringan teroris internasional? Kepolisian RI baru saja membongkar jaringan teroris di Nangroe Aceh Darusalam. Tidak jelas sudah berapa lama kegiatan teroris beroperasi di Aceh, sejak kapan Polri melancarkan operasi penghancuran jaringan teroris di sana, serta bagaimana kekuatan teroris itu. Yang pasti tidak kurang dari 14 teroris ditangkap Densus 88, brigade kesatuan antiteroris kepolisian RI. Keberhasilan polisi ini tentu saja dapat disebut sebagai prestasi. Selain jumlahnya relatif cukup banyak, setidaknya Polri mampu mengorek berbagai informasi penting dari mereka. Sehingga penghancuran basis teroris dapat dilakukan secara efektif sekaligus menghilangkan perasaan was-was masyarakat maupun pemerintah. Keberhasilan Polri patut diapresiasi. Setidaknya keberhasilan itu membukakan mata semua pihak bahwa tugas polri kini semakin berat. Citra Polri sebagai pengayom dan pemberi rasa aman kepada masyarakat pun semakin terbentuk. Namun apapun ceritanya, kegiatan teroris di Aceh merupakan kabar buruk. Terutama bagi iklim bisnis dan investasi. Buruk, karena Aceh merupakan daerah tujuan bisnis dan investasi. Buruk, sebab Indonesia oleh AS sudah terlanjur diberi label sebagai negara yang menjadi sarang teroris (internasional). Situasi menjadi lebih buruk karena yang memperjelas label itu justru pihak Indonesia. Keadaannya bertambah buruk berhubung kabar terbongkarnya jaringan teroris dalam negeri itu, bersamaan dengan waktu persiapan kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia. Selama ini hanya AS yang menuduh sepihak tentang adanya jaringan teroris (Al Qaeda) di Indonesia. Bahkan dalam hal penemuan teroris di Aceh, pemerintah buru-buru membuat bantahan. Teroris Aceh disebutkan tidak ada kaitan dengan jaringan Al Qaeda ataupun GAM. Ironisnya bantahan kita itu tidak mempan. Citra buruk Indonesia sebagai negara pemukiman teroris tetap kuat. Selama ini, setelah terjadi perdamaian antara GAM dan pemerintah Jakarta, ada kesan provinsi di bagian paling barat Indonesia itu sudah kondusif. Sekalipun GAM bukanlah organisasi teroris, tetapi dari sudut keamanan, GAM selalu menjadi momok bagi tuntutan standar keamanan. Sehingga wajar kalau timbul pertanyaan apa yang sedang terjadi di Aceh, ataupun ada apa dengan saudara-saudara kita Aceh? Atau mengapa setelah GAM tidak lagi menjadi penganggu keamanan lalu muncul pengganggu baru berbentuk teroris? Dengan status Aceh yang baru, pasca-rekonsiliasi antara GAM dan pemerintah RI, pemerintah daerah dan rakyat Aceh memperoleh banyak perlakuan istimewa. Namun menghadapi temuan teroris ini, masyarakat Aceh sudah seharusnya bersikap. Pemerintah Jakarta juga wajar menuntut tanggung jawab Pemda Aceh menjadikan provinsi itu sebagai kawasan kondusif. Gubernur Aceh yang kebetulan pernah menjadi anggota organisasi pengganggu keamanan NKRI karena menjadi pejuang GAM,
Indonesian Computer University's Scholars Repository
sudah seharusnya mengerahkan segala pengaruh untuk menghentikan teroris di Aceh. Karena pada dasarnya kegiatan teroris tidak hanya menganggu keamanan Aceh melainkan, NKRI secara keseluruhan. Aceh memiliki catatan tersendiri dalam bidang keamanan. Selama lebih dari 30 tahun keamanan Aceh diganggu GAM. Para pendiri GAM selama periode itu sekalipun kebanyakan bermukim di luar negeri, tetapi pemerintah dan rakyat Indonesia diam-diam meyakini, di dalam negeri GAM memiliki pendukung yang tidak kelihatan. Keyakinan itu didasarkan pada pengalaman dan temuan bahwa hubungan kekerabatan antara anggota GAM dengan rakyat Aceh sangat kuat. Bahkan ada aksioma yang mengatakan sulit membedakan siapa sesungguhnya yang menjadi pendukung GAM ataupun rumit mencari tahu hubungan dan jaringan GAM di kalangan warga Aceh. Jika benar anggota teroris yang dihadapi Polri di Aceh saat ini berasal dari masyarakat lokal, sangat wajar apabila pemda dan seluruh kekuatan yang ada di Aceh ikut membantu kepolisian. Di masa Orde Baru, sejumlah putera asal Aceh ditengarai pernah mengikuti program pelatihan separatis di Libya. Mereka bergabung dengan pejuang Front Pembebasan Nasional Moro di Filipina Selatan. Dugaan ini secara empiris tidak pernah terbukti atau berhasil dibuktikan. Kabar keterlibatan itu laku menghilang bersamaan tercapainya perdamaian antara pemerintah Filipina dan MNLF, pimpinan Nur Misuari di akhir 1980-an. Pasca-Perang Indochina di pertengahan 1970-an, sejumlah media internasional melaporkan adanya berbagai senjata peninggalan pasukan AS di Vietnam dan Kamboja yang dijual di Birma, Thailand Selatan, dan Aceh. Wilayah yang menjadi tempat transaksi jalur Selat Malaka. Bahkan perompakan sejumlah kapal yang melintasi Selat Malaka beberapa kali dikaitkan dengan GAM. Selat Malaka saat ini kembali dinyatakan sebagai jalur internasional yang rawan perompakan, bahkan berubah sebagai jalur penghadangan kelompok teroris. Semua paparan di atas memberi peringatan kepada semua kalangan yang cinta pada perdamaian NKRI untuk melihat terbongkarnya sarang teroris di Aceh sebagai peristiwa yang tidak berdiri sendiri. langkah apa atau solusi apa yang harus di lakukan oleh pemerintah indonesia dalam pemberantasan korupsi? Untuk meningkatkan koordinasi langkah-langkah pemberantasan terorisme, saat ini dibentuk desk koordinasi pemberantasan terorisme yang merupakan fasilitas staf yang bersifat nonstruktural di bawah Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan. Pembentukan desk ini merupakan salah satu langkah dari tiga langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah menyusul diterbitkannya Inpres No. 4 Tahun 2002. Inpres ini menunjuk Menko Polkam sebagai tim koordinator antiteror. Fungsi utama desak ini meliputi koordinasi intelijen, penegakan hukum, kerja sama internasional, informasi dan hubungan masyarakat serta perencanaan dan evaluasi. “Desk ini bukan badan pelaksana dan tidak memberikan otoritas untuk melakukan eksekusi kebijakan secara otonom,” kata Yudhoyono. Dengan demikian, lanjutnya, fungsi desk hanya sebagai salah satu fasilitas pemikiran, perencanaan, dan pengkoordinasian bagi Menko Polkam untuk melaksanan tugasnya sesuai Inpres. Langkah lainnya adalah mendorong penghapusan sifat darurat dari perpu dengan menggantinya dalam bentuk UU Pemberantasan Terorisme. Diharapkan, pembentukan ini tidak akan melanggar demokrasi, sementara pemerintah juga tetap mempunyai kekuasaan yang efektif untuk memerangi terorisme. Pemerintah juga mendorong terbentuknya UU intelejen yang diperlukan untuk membuat standar kerja dan aturan main yang pasti. “Karena kita memang memerlukan aparat intelejen yang memiliki kekuasan dan kapabilitas yang memadai akibat tersembunyinya jaringan terorisme serta bahaya yang diakibatkannya. Langkah terakhir yang dilakukan pemerintah adalah dengan melibatkan partisipasi publik dengan cara membuka homepage di internet. Melalui homepage ini, publik dapat mengikuti apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan pemerintah dalam memerangi terorisme. Dalam homepage itu juga dibuat email di mana publik dapat memberi masukan bagi pemerintah untuk menyempurnakan kinerjanya. Selain itu, pemerintah juga berencana membuka mail box di mana publik dapat memberikan informasi tentang adanya rencana terorisme ataupun tentang pelaku teror. Pihaknya akan menjaga dan memberi perlindungan terhadap pemberi informasi. Selain itu, pemerintah juga membuka diri untuk bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat soal terorisme dalam sebuah program yang akan dipikirkan secara bersama-sama. Author Comment
Indonesian Computer University's Scholars Repository
megi agiyani Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama: Megi Agiyani NIM: 41706027 [emo:16] Terorisme dan teroris merupakan seseorang yang terlibat dalam terorisme. Istilah teroris dari kata “Teror" berasal dari bahasa Latin yang berarti terrere yaitu untuk menakut-nakuti. Definisi yang diberikan oleh Carsten Bockstette di George C. Marshall Pusat Studi Keamanan Eropa, menggaris bawahi aspek psikologis dan taktis terorisme: “Terorisme didefinisikan sebagai kekerasan politik dalam konflik asimetris yang dirancang untuk menimbulkan ketakutan dan psikis takut (kadang-kadang tanpa pandang bulu) melalui kekerasan korban dan kehancuran noncombatant target (kadang-kadang ikon simbol). Tindakan seperti itu dimaksudkan untuk mengirim pesan dari organisasi klandestin yang gelap. " Tujuan dari terorisme adalah untuk memanfaatkan media dalam rangka mencapai dicapai maksimum publisitas sebagai pengganda kekuatan memperkuat untuk mempengaruhi audiens yang ditargetkan (s) dalam rangka mencapai paruh waktu pendek dan politik tujuan dan / atau yang dikehendaki akhir jangka panjang negara-negara . " (http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Terrori sm) Menurut pendapat di atas, tindakan terorisme merupakan suatu tindakan kekerasan dan ancaman ketakutan. Ancaman yang dilakukan oleh terorisme menimbulkan ketakutan psikis melalui ancaman-ancaman dan ledakan bom. Pesan yang dilakukan terorisme untuk menghancurkan target dapat dilakukan dengan kata-kata simbol. Tindakan pesan tersebut dimaksudkan untuk mengirim pesan kepada kepada organisasi teroris lainnya. Terorisme yang dilakukan di Indonesia dilakukan oleh kelompok Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan Al-Qaeda. Jadi menurut saya tindakan terorisme di lihat dari perspektif struktural yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara tersembunyi, aturan-aturan permainan yang menimbulkan aksi. Aturan permainan yang dilakukan oleh teroris adalah dengan memberikan ancaman, rasa takut dengan melakukan bom bunuh diri. Terorisme yang di indonesia berdasarkan perspektif strukturali yaitu kelompok teroris yang ada di Indonesia yang merupakan suatu sistem yang saling berhubungan dimana system tersebut terdiri dari sub-sub system yang saling mempengaruhi. Teroris yang di Indonesia jelas memiliki kelompok-kelompok dalam bidang masing-masing seperti yang merakit bom, merekrut anggota untuk dijadikan “pengantin” maksudnya yaitu orang yang melakukan bom bunuh diri, yang mendanai, yang melakukan survei lokasi pengeboman dsb. Jadi kegiatan terortisme sangat terstruktur dan tersembunyi dalam menghancurkan target. Teroris di Indonesia merupakan jaringan internasional salah satunya Dulmatin yang di tewas di Pamulang oleh Densus 88 yang merupakan jaringan internasional yang dicari-cari oleh Amerika dan terkait dengan bom yang terjadi di Indonesia. Pelaku terror atau Mujahid asal Indonesia pada umumnya adalah orang-orang sederhana yang ingin mengabdikan hidupnya untuk tegaknya agama Islam. Berarti para Mujahid tersebut bukan orang miskin dan berpendidikan rendah. Seharusnya para Mujahid tersebut dapat mencerna apa Islam yang sesungguhnya, jangan mengorbankan terorisme atas nama Islam. [emo:9] [emo:6] [emo:9] Menurut saya langkah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah meningkatkan pengamanan dalam negeri tidak hanya pada saat terjadi pengebomam atau ancaman terror saja tetapi dilakukan secara berkala agar mempersempit ruang gerak terorisme bail mulai dari lingkup keci seperti RW/RW sampai kepada lingkup besar yaitu Negara. Pasukan khusus antiteror harus sering mengagendakan strategi penangulangan antiteror serta melakukan simulasi operasi antiteror. Dan kepada masyarakat untuk tetap waspada, melindungi keluarga agar tidak terjadi penyimpangan mengenai ajaran Islam. Author Comment NurhayatiNingsih Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama: Nurhayati Ningsih NIM: 41706018 Dalam
Indonesian Computer University's Scholars Repository
penangan kasus teror di Indonesia Ada dua elemen anti teror di mabes Polri yaitu Densus-88 AT yang bertugas menyelenggarakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana serta tugas lain di bidang tindak pidana terorisme dan Sat-1 Gegana Brimob Polri. Terorisme merupakan masalah besar yang harus dihadapi negaradanbangsalndonesia. Banyak akademisi yang menyum-bang pemikirannya untuk menang-gulangi terorisme termasuk latar belakang dan akar permasalahannya. Terdapat berbagai jenis terorisme dilihat dari pelaku, motif, instrument persenjataan yang diperguna-kan, dan modus operandi. Untuk kasus-kasus peledakan yang terjadi semenjak kurang lebih tahun 2000-an sampai yang terakhir, beberapa elemen tersebut menunjukkan ada-nya kesamaan. Hal ini mengindi-kasikan bahwa para pelaku berada dalam jaringan yang sama, baik hanya karena keterkaitan secara ideologis maupun dalam ikatan organisatoris. Akar permasalahannya relatif kompleks, meskipun dapat diseder-hanakan. Khusus untuk rangkaian peledakan yang dilatarbelakangi motif spiritual/ agama yang menguasai hampir semua kejadian terorisme di tanah air pada waktu belakangan, akar permasalahannya terletak pada penafsiran teks keagamaan bersifat sempit, rigid dan subyektif. Dalam kaitan ini, sikap radikal lahir dari pemahaman terhadap situasi yang berkembang, yang kemudian dilanjutkan dengan penafsiran terhadap teks keagamaan untuk peristiwa yang dihadapi tersebut. Dalam pembahasan terorisme ini jika dibahas secara global isu teroris dimulai sejak peledakan gedung WTC kemudian dilanjutkan dengan serangan Amerika dkk ke Irak dan Afganistan. Serangan terhadap Amerika yang ditujukan pada simbol-simbol kekuatan negara adikuasa tersebut, oleh pelakunya tidak dipandang sebagai teror, melainkan sebagai perang. Bahwa tindakan itu dimasukan sebagai kejahatan, oleh para pelaku disadari sebagai persoalan stigma dari mereka yang dipandang sebagai musuh. Pada tataran ini berlaku apa yang disebut dengan relativitas kejahatan. Da¬lam konteks ini tindakan agresi ke Irak dan Afghanistan oleh pihak AS ditempatkan sebagai perang, bahkan war on terrorism, sementara pada sisi lain dapat disebut sebagai State Terrorism. Dalam kasus bom bunuh diri di Bali I dan 2 serta JW Marriot ada transaksi uang yang berasal dari beberapa Arab, misalnya, kasus JW Marriot dua yang tertangkap salah seorang broker yang dia menjadi fasilitator pendanaan dari negara Yaman ke Indonesia untuk membiayai aksi-aksi itu. Peristiwa ini mempunyai hubungan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Terorisme memiliki dampak Nasional sehingga sepatutnya jangan lagi mengatakan bahwa terorisme itu hanya gangguan Kamtibmas sehingga hanya domain Polri saja akan tetapi harus kita sadari bahwa dampak dari teror yg terjadi di Indonesia secara langsung berdampak kepada perekonomian, Parawisata, Image negara, Keamanan Nasional secara umum.Tentu dalam mengatasinya harus ada langkah strategi yang bersifat preemtiv, Preventif dan represif dan langkah professional. Angkatan bersenjata harus selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Hal itu mengakibatkan ada kemungkinan Angkatan bersenjata atau militer bukan hanya terlibat dalam operasi militer sebagaimana dikenal selama ini dan Hal ini telah diterapkan di Amerika serikat dengan peran Militer dalam mengatasi terorisme domestic dan global. [/justify] Author Comment Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama : Fuad Hasan NIM : 41706019 Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam. Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama. Rentetan pengeboman menunjukkan, modus aksi terorisme mengalami pergeseran dan peningkatan sehingga kian sulit terdeteksi intelijen dan aparat keamanan lainnya. Jika pada beberapa kasus bom bunuh diri pelaku memakai mobil atau datang dari luar lokasi pengeboman dengan menggendong bomnya, kini dalam kasus terakhir di Marriott dan Ritz Carlton dilakukan dari dalam hotel itu sendiri. Jika sebelumnya bom yang sudah siap meledak dirakit di luar, kini justru dibuat di dalam hotel itu sendiri. Ini sebuah modus baru yang belum terantisipasi sekuritas hotel ataupun aparat kepolisian dan bukan tidak mungkin muncul pula modus-modus baru usai Marriot dan Ritz Carlton. Sementara itu, sel-sel teroris yang 'tersisa' kian mempercanggih modus dan metode terornya, tetapi pengamanan untuk mengantisipasi dan mencegah terorisme hampir tidak berubah sejak pengamanan ketat diberlakukan dalam beberapa tahun terakhir ini di hotel-hotel, mal-mal, gedung publik, dan tempat strategis lainnya. Pemeriksaan nyaris telah menjadi kerutinan belaka. Kita semua bisa menyaksikan dan mengalami rutinitas pemeriksaan seperti itu sehingga patut dipertanyakan efektivitasnya. Aparat pengamanan pun tidak bisa terlalu berani melakukan pemeriksaan menyeluruh karena ada resistensi dari yang diperiksa. Jika dilihat dari persfektif aktor jelas sudah bahwa, setiap tinakan atau kegiatan yang akan mereka lakukan tidak lepas dari orang-orang yang mempunyai kendali atau kekuatan yang cukup besar guna melindungi dan atau mendukung semua kegiatan-kegiatan terselubung tersebut. Karena tanpa adaya pendukung tentunya saya yakin tidak akan terkordinasi dengan baik dari setiap langkah - langkah nya yang sangat meresahkan dan membuat rasa yang waswas bagi masyarakat pada umumnya Lagkah yang harus dilakukan adalah dibutuhkanya suatu kerja sama seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, aparat keamanan, ormas, dan kepemimpinan sosial sangat mutlak dalam pemberantasan terorisme. Terorisme atas alasan apa pun tidak bisa dibenarkan dan terorisme adalah salah satu bentuk paling telanjang dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Bersama-sama bahu-membahu memberantas terorisme merupakan usaha mulia untuk melindungi kemanusiaan. Author Comment Rachmat Hidayatullah Comments RE:Kasus Terorisme di Bumi Nusantara - Nama : Rachmat Hidayatullah Nim : 41703843 Tugas : analisa terorisme di Indonesia 1. Analisa kasus terorisme di Indonesia? Aksi Terorisme di Indonesia; Muncul Karena Ketimpangan Ekonomi dan Pengetahuan. Jombang – Aksi terorisme yang kerap dihubungkan dengan persoalan jihad muncul karena adanya ketimpangan ekonomi dan pengetahuan. Selain itu, masih kuatnya persoalan ketidakadilan di negeri ini membuat praktek terror kian marak. Direktur Yayasan Trukajaya, NGO yang bergerak pada peningkatan pendapatan masyarakat dan demokratisasi pedesaan di Salatiga, Suwarto Adi, mengatakan, maraknya aksi terorisme di Indonesia akhir-akhir ini bersumber dari berbagai ketimpangan yang ada di negeri ini. Ketimpangan paling kentara menurut Suwarto, adalah ketimpangan ekonomi dan pengetahuan yang makin menyuburkan praktek radikalisme agama di Indonesia. “Terorisme sekarang ini sedikit banyak karena persoalan ketimpangan, yang dianggap sebagai persoalan ketidakadilan,” katanya Suwarto meyakini, pada dasarnya setiap agama tidak mengajarkan perilaku kekerasan pada umat. Menurutnya, terorisme dapat muncul karena kuatnya faktor ketimpangan dan ketidakadilan. Karena itu, lanjut Suwarto, untuk memerangi terorisme di Indonesia, seluruh komponen umat beragama perlu memerangi ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada saat ini. “Tugas kita bersama sebagai umat beragama dalam mengurangi ketimpangan itu, dan dengan itu juga memerangi terorisme. Salah Tafsir Ayat Jihad. Sementara itu, Sosiolog ke-Islam-an, Prof Dr Nur Ahmad Fadhil Lubis, mengatakan, munculnya aksi terorisme dengan cara melakukan bom bunuh diri karena kelemahan pelaku memahami makna ayat Al-Qur’an. Pria yang menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera
Indonesian Computer University's Scholars Repository
Utara ini mengungkapkan, dari berbagai kasus terorisme yang pernah terjadi di Indonesia, diyakini telah terjadi salah penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadist tentang jihad yang dilakukan kelompok teroris sehingga menjadikannya sebagai landasan aksi. Namun, ada juga kemungkinan jihad dijadikan 'kambing hitam' untuk membenarkan aksi terorisme. Menurut Fadhil Lubis, dalam Al-Qur’an dan Hadist terdapat beberapa ayat yang menceritakan tentang perlunya jihad di kalangan umat Islam. Namun, dalam Al-Qur’an dan Hadist juga dijelaskan mengenai situasi yang dibutuhkan untuk melakukan jihad. Sekaligus, secara umum ajaran islam mengajarkan umatnya agar selalu menjaga kedamaian yang telah tercipta. Fadhil Lubis menduga, kelompok yang terlibat dalam aksi terorisme itu hanya membaca ayat tentang jihad dalam perang tetapi melupakan ketentuan lain dalam Al-Qur’an mengenai masa damai. “Namun, ada juga indikasi kelompok teroris itu menggunakan istilah jihad untuk membenarkan aksi mereka. 2. Apakah ada keterkaitan terorisme yang terjadi di Indonesia dengan teroris internasional? Terorismeinternasional yang mulai dibentuk dan bergerak pada tahun 1974 kini sudahberkembang menjadi 27 (dupuluh tujuh) organisasi yang tersebar di beberapanegara seperti di negara-negara Timur Tengah, Asia dan Eropa. Terorismeinternasional yang berkembang di negara-negara timur tengah pada prinsipnyabertujuan untuk menyingkirkan Amerika Serikat dan pengikutnya darinegara-negara Arab. Pada umumnya kehadiran terorisme internasionaldilatarbelakangi oleh tujuan-tujuan yang bersifat etnis, politis, agama, danras. Tidak ada satupun dari organisasi terorisme intenasional tersebut yangdilatarbelakangi oleh tujuan mencapai keuntungan materiel. Denganlatarbelakang tujuan tersebut maka tidaklah heran jika organisasi terorismeinternasional tersebut memiliki karakteristik yang sangat terorganisasi,tangguh, ekstrim,ekslusif, tertutup, memiliki komitmen yang sangat tinggi, danmemiliki pasukan khusus serta di dukung oleh keuangan dan dana yang sangatbesar. Organisasi terorisme internasional tidak bertujuan atau bercita-citamembentuk suatu negara baru/pemerintahan baru melainkan bagaimana menciptakankeadaan khaos dan tidak terkontrol suatu pemerintahan yang menjadi sasarannyasehingga pemerintahan itu tunduk dan menyerah terhadap idealismenya. Berbagaicara pemaksaan kehendak dan tuntutan yang sering dilakukannya sepertipenjanderaan, pembajakan udara, pemboman, perusakan instalasi strategis danfasilitas publik, pembunuhan kepala negara atau tokoh politik atraukeluarganya, dan pemerasan. Bagi organisasi terorisme internasional tersebuttujuan menghalalkan segala cara sekalipun harus menimbulkan korban penduduksipil yang tidak berdosa. Peristiwa pemboman, pembajakan udara disertai dengantuntutan dan jatuhnya korban-korban terorisme internasional sudah seringterjadi dan terakhir peristiwa sebelas september 2001 di Amerika Serikat yangpada tahun 1993 gedung WTC di New York tersebut pernah dijadikan objek pembomanoleh organisasi terorisme internasional. Pemerintah Indonesia perlu menyikapi masalah terorisme internasional ini apalagi sejak terjadinya pemboman dibeberapa wilayah Ibukota sejak tahun 1999 yang lalu dan di beberapa kota besar lainnya. Tidak ada klaim dari organisasi terorisme internasional atauorganisasi terorisme domestik atas kejadian-kejadian di Indonesia. Namundemikian jelas bahwa kejadian-kejadian di Indonesia tersebut merupakan sinyalbahwa Indonesia telah merupakan salah satu target operasi organisasi terorismebaik internasional maupun domestik. Meningkatkan kewaspadaan secara fisiksemata-mata tidaklah cukup untuk menghadapi organisasi terorisme internasionalkarena secara organisatoris kelompok tersebut sudah memiliki perencanaan danpersiapan yang sangat diperhitungkan baik segi operasional, personil, maupundukungan infrastruktur dan pendanaan termasuk dukungan para ahli hukum danakuntan yang disewanya yang memiliki reputasi internasional. Disamping ituorganisasi terorisme internasional juga merupakan nasabah perbankan nasional dibeberapa negara. Melihat kerapihanorganisasi terorisme internasional tersebut maka sangatlah naif jika sikappemerintah menyamakan organisasi terorisme internasional ini dengan menghadapipara penjahat perorangan, kelompok artau terorganisasi yang semata-mata mencarikeuntungan materiel. Namun seyogyanya kita menyikapinya dengan sangathati-hati, terencana baik, terkoordinasi dan didukung oleh sarana peraturanperundang-undangan yang kuat dan tangguh serta dukungan dana yang memadai. Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan atau sekedar tambal sulam maka jangandiharapkan pemerintah Indonesia dapat menjaga dengan optimal kedaulatan
Indonesian Computer University's Scholars Repository
wilayahnegaranya dan melindungi warga negara dari sasaran organsisasi terorisme tersebut. PemerintahIndonesia sejak tahun 1999 telah menyusun naskah Rancangan Undang-undangtentang Pemberantasan Terorisme(draft ke I)dengan pertimbangan bahwa,Pemerintah RI sudah memiliki UU Narkotika dan UU Psikotropika dan bersamaandengan UU tersebut sedang disusun juga Rancangan Undang-undang tentangPemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketiga subjek tersebut berkaitansatu sama lain yaitu hasil perdagangan ilegal narkotika dan psikotropikainternasional sering digunakan untuk pembelian senjata untuk keperluanorganisasi terorisme internasional seperti di Afganistan termasuk pusat candudi ASIA dikenal dengan bulan sabit emas dan di daerah segitiga emas dikawasan ASEAN. Keterkaitan antara penjualan narkotika ilegal dan pembeliansenjata untuk organisasi terorisme internasional ini digolongkan ke dalamkegiatan yang disebut narco-terorism. Selain itu, terhadap hasil penjualancandu dan narkotika lainnya juga dilakukan pencucian uang dan ditanam dalamkegiatan bisnis legal atau disimpan di bank. Ketiga subjek kegiatan yangbersifat internasional tersebut satu sama lain saling berhubungan danberkepentingan sehingga sangatlah sulit jika dihadapi secara satu persatusehingga diperlukan suatu pendekatan yang bersifat komprehensif. Pendekatan yang bersifatkomprehensif ini memerlukan juga perubahan mendasar tentang paradigma yangsudah lama dianut dalam politik hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukumpidana di Indonesia. Perubahan paradigma dalam politiik hukum pidana ini sangatmendesak karena ketiga subjek di atas saling memupuk kekuatan dengansolidaritas yang tinggi sehingga jika tidak diwaspadai akan merupakan virusperusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari sisi keajegan dankelanjutan kehidupan suatu pemerintahan maupun dari sisi kesejahteraan bangsa. Perubahan paradigma politik hukum pidana memerlukan pengkajian secara seriuskarena berkaitan dengan pertanyaan apakah kita tetap akan mempertahankan"due process of law" secara mutlak dan tidak terbatas atau mengenyampingkannyaatau membatasi sedemikian rupa sehingga perlindungan hak asasi rakyat luas yangsangat potensial menjadi korban ketiga virus perusak tersebut terutamaorganisasi terorisme internasional, akan lebih dikedepankan/diutamakan daripadaperlindungan hak asasi tersangka in casu terorisme internasional ? Tim PenyusunRancangan Undang-undang Pemberantasan Terorisme pada waktu itu memilihalternatif kedua dengan dasar pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas.Pertimbangan lain yang perlu disampaikan ialah bahwa dengan berkaca kepadapengalaman pemerintah Inggeris dan akhir-akhir ini pemerintah AS. PemerintahInggeris di bawah kecaman pendukung HAM tetap mencabut "hak untuk tidakmenjawab"(the right to remain silent) dari tersangka terorisme selamamenjalani pemeriksaan pendahuluan (diatur dalam UU Hukum Acara Pidana, 1976).Kemudian baru-baru ini ternyata Pemerintah AS demi perlindungan atas warganegaranya dan aset-aset di seluruh dunia telah memberlakukan kebijakan yangmerampas Hak Asasi tersangka pelaku terorisme asing seperti: hak untuk diadili oleh Grand Jury; pemeriksaan tertutup; laporan intelijen diakui sebagai alatbukti; pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka disadap; tersangkadiancam dengan pidana mati. Selain itu, seluruh keuangan tersangka teroris danorganisasi teroris yang disimpan di perbankan di AS dibekukan dan disita tanpamempertimbangkan lagi undang-undang tentang kerahasiaan bank. Kebijakan keduapemerintah tersebut yang dikenal sebagai pendukung dan pelopor HAM ternyata tidak dipersoalkan masyarakat internasional atau objek penyelidikan komisi HakAsasi Manusia PBB. Sedangkan secara nyata bahwa kebijakan politik hukum pidanatersebut penuh dengan pelanggaran atas konvensi internasional tentang HAMbahkan bertentangan pula dengan Konsitusi negara-negara tersebut. Tim Penyusun draftke I Rancangan UU Pemberantasan Terorisme telah mengambil sikap yang palingekstrim dari kedua negara tersebut dengan pertimbangan bahwa, pertama, negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang jauh lebih sulit kendali dan pengawasannyaapalagi infrastruktur yang dimiliki belum secanggih di kedua negara tersebut.Kedua, Undang-undang Dasar 1945 disusun terutama untuk menciptakan kesejaheraanbangsa Indonesia dan sekaligus melindunginya sehingga tidak ada hak-hakkonstitusional untuk melindungi warga negara asing yang melakukan kegiatanterorisme di Indonesia apalagi di tengah keadaan krisis multi dimensi yangsedang melanda Indonesia
Indonesian Computer University's Scholars Repository
terutama di bidang penegakan hukum. Kegiatan terorisme internasional di Indonesia jelas memperparah keadaan yang sudah buruktersebut. Ketiga, KUHAP yang berlaku terlalu menitikberatkan kepadaperlindungan HAK-HAK Tersangka dan kurang memberikan perlindungan terhadapKORBAN kejahatan apalagi untuk Korban pelaku terorisme sehingga akan terjadiketidakseimbangan yang signifikan antara hak tersangka pelaku teroris di satusisi dan hak korban rakyat yang tidak berdosa di sisi lain. Selain itu KUHAPtidak mengakui sarana telekomunikasi dan sarana teknologi canggih lainnyasebagai alat bukti sedangkan kegiatan terorisme tidak dapat dideteksi tanpamempergunakan sarana-sarana tersebut. Keempat, KUHPidana sebagai hukum materielsangat lemah dan kurang berfungsi sebagai deteren dan refresip terhadap pelakuterorisme internasional karena ancaman hukuman minimal satu hari dan praktikperadilan pidana terbukti telah menimbulkan kekecewaan masyarakat luasterutama dalam kasus-kasus yang menyentuh dan merugikan kepentingan rakyatseperti korupsi apalagi untuk kasus terorisme dengan korban yang konkrit dankontan saat itu juga di mana peristiwa teror terjadi . Untuk melaksanakanfungsi koordinasi dan tertata secara baik dalam menghadapi terorismeinternasional diperlukan suatu badan nasional anti terorisme di bawah danbertanggung jawab kepada Presiden RI yang diatur dalam RUU ini, sehinggajelas tugas dan wewenangnya dan pembatasannya dalam menghadapi kegiatanterorisme dan para pelakunya. Kegiatan terorismeinternasional sudah terbukti sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara dimana korban mati atau luka berat sangat masif dan kerusakan bangunan danfasilitas publik tidak dapat dihindarkan sehingga sulit untuk tidak memberikanbeban pertanggungjawaban yang sangat berat terhadap para pelaku terorismeinternasional tersebut. Kelima, kegiatan terrorisme internasional telah diaturdalam beberapa konvensi internasional menentang terorisme internasional danpemerintah Indonesia termasuk negara penandatangan konvensi internasionaltentang pemberantasan pendanaan untuk terorisme(1999) dan terikat kepadaResolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1373 tahun 2001 yang menegaskan kewajibanseluruh negara anggota PBB termasuk Indonesia untuk antara lain melakukanpembekuan tanpa ditunda-tunda seluruh aset dan keuangan dan yang memfasilitasikegiatan terorisme. Di dalam Konvensi Internasional tentang PemberantasanPendanaan Terorisme(1999) dan Kovensi Internasional tentang PemberantasanPemboman oleh Teroris(1997) telah dibedakan antara terorisme internasional danterorisme domestik di mana ketentuan Pasal 3 dari kedua konvensi tersebutmenegaskan bahwa ketentuan dalam konvensi tidak berlaku terhadap kegiatan teroryang terjadi di satu negara dan dilakukan oleh warga negara ybs kecualiterlibat yurisdiksi negara lain di dalamnya. Bertitik tolak dari perkembanganinstrrumen internasional tersebut maka pemerintah RI seyogyanya segera menganitispasinyadengan merevisi kembali RUU tentang Pemberantasan Terorisme disesuaikan denganstandar internasional tersebut di atas sehingga pemerintah sudah memiliki satuundang-undang yang dapat melindungi kedaulatan wilayahnya dan warga negaranya. 3. Langkah atau solusi apa yang diambil atau dilakukan pemerintah Indonesia dilihat berdasarkan perspektif yang telah di pelajari? Cukup banyak kalangan yang mempergunakan istilah "kecolongan" terkait dengan kasus bom yang meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pekan lalu. Jika benar kepolisian, sebagai pihak yang secara intens berinteraksi dengan kelompok teroris di Indonesia, dalam hal ini telah kecolongan, mengapa bisa terjadi? Tulisan ini lebih mempergunakan perspektif aparat keamanan ketimbang perspektif pelaku teror. Dengan secara terfokus mempergunakan perspektif tersebut, diharapkan akan terlihat gambaran bahwa berhasil-tidaknya aktivitas pelaku teror cukup banyak bergantung pada kinerja aparat keamanan itu sendiri. Sejak era reformasi mulai bergulir pada 1998, Polri adalah pihak yang "dimajukan" dalam rangka penanganan teror di Indonesia. Ini berbeda jauh dengan masa-masa sebelumnya, ketika TNI-lah yang memegang peranan. Mengapa Polri dikedepankan, tentunya seiring dengan upaya negara dan masyarakat memperkuat demokrasi dan supremasi hukum. Dalam kaitan itu, sejak terjadi rentetan kasus teror di Indonesia, dimulai dari kasus bom di malam Natal tahun 2000, sebenarnya prestasi Polri amat baik. Walau Indonesia berkali-kali diguncang bom, secara umum Polri mampu mengupayakan terbongkarnya kasus pengeboman tersebut satu per satu. Sudah lebih dari 200 orang ditahan dan kemudian dipidana berkat kerja keras Polri. Demikian pula ratusan senjata, ratusan kilogram bahan peledak, dan berbagai perangkat teror disita oleh
Indonesian Computer University's Scholars Repository
polisi dalam ratusan kali penyergapan selama lima tahun. Tak lupa polisi juga pernah menyita berkarung-karung dokumen dan bacaan yang dibuat oleh kelompok yang belakangan populer dengan sebutan JI itu. Terkait dengan unit dalam Polri yang menangani kasus teror, terdapat dua satuan kerja yang secara bergantian menorehkan prestasi: Satuan Tugas Anti-Teror dan Bom (disebut pula Satgas ATB) dan Detasemen Khusus 88 (disingkat Densus 88). Kalau pasukan khusus TNI menunggu perintah dari pemimpin tertinggi TNI, yakni presiden, sebenarnya ada kemungkinan perintah itu tidak akan datang atau (kalaupun ada) sulit sampai kepada kesatuan yang akan diberi perintah, mengingat jalur otoritasnya sesungguhnya amat kompleks di Indonesia. Sesungguhnya tidak pernah jelas di Indonesia, siapa sebenarnya yang menjadi komandan pengendali lapangan ketika terjadi serangan teroris. Hal ini bermula dari tidak adanya organisasi yang menjadi pusat pengendali terkait dengan kegiatan kontrateror tersebut. Jika dewasa ini disebut-sebut Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, praktis yang ada di kantor di bawah Kantor Kementerian Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu memang hanya desk alias meja-meja kosong saja. Ini mengindikasikan tidak adanya kekuatan dari desk tersebut untuk mengkoordinasikan pihak-pihak terkait, apalagi menggerakkannya guna menanggulangi suatu aksi teror teror tertentu. Dalam konteks inilah beberapa kalangan melihat kebutuhan bagi pemerintah untuk membentuk suatu badan, katakanlah namanya Badan Anti-Teror Nasional, sehingga memiliki cukup bobot untuk menjadi penjuru bagi semua instansi terkait dengan kegiatan kontrateror sekaligus menjadi tangan presiden tatkala hendak melakukan suatu tindakan atau membuat kebijakan tertentu. Namun, ide tersebut tampaknya tidak pernah populer. Telah diperlihatkan oleh penulis bahwa, betapapun kita menghadapi bahaya teror yang laten dan amat serius, sebenarnya platform kita dalam rangka menghadapinya tidaklah ideal. Jika dikatakan kita berperang melawan teror, modalitas yang diperlihatkan oleh negara untuk itu sebenarnya amat tidak seimbang. Kebijakan sama sekali tidak mencukupi, apalagi sumber daya yang telah dikeluarkan. Jika demikian, bagaimana memahami keberhasilan Polri selama ini mengungkap berbagai kasus teror? Dalam amatan penulis, hal itu lebih mungkin terjadi karena kapasitas individual atau pribadi-pribadi petugasnya. Dengan kata lain, bukan karena sistem yang menunjang individu petugas. Jika itu berlangsung terus, bisa dibayangkan bahwa setiap individu akan memiliki batas daya tahan. Jika batas itu terlampaui, praktis kemampuan kita bertahan dari serangan teror akan menjadi nol alias tidak ada sama sekali.
Indonesian Computer University's Scholars Repository