Tiongkok Lebih Cepat Cetak Miliader Meski Ekonomi Lesu?
Satu diskusi yang sangat menarik diantra cendekiawan, ... saya jadi kepingin ikut nimbrung sekalipun tanpa kejuruan apa-apa, sekadar cetusan dari pengamatan yang saya lihat secara langsung dan tidak langsung saja. Judul tulisan Fiki Ariyanti dibawah memang sangat menggelitik: “Kenapa Tiongkok Lebih Cepat Cetak Miliader Meski Ekonomi Lesu?” Hanya saja Ariyanti tidak memberikan jawaban konkrit kenapa? Disuruh pembacanya ikut memikirkan dan memberi jawabannya sendiri-sendiri saja? Menurut saya inilah hasil dari politik Deng Xiaoping, “Reformasi dan Keterbukaan" yang menjalankan “Memperkenankan Sementara Orang Kaya Lebih Dahulu”, yang dimulai tahun 1980 itu. Setiap orang diberi KESEMPATAN untuk berusaha menjadi kaya. Prinsip memperkenankan sementara orang kaya lebih dahulu ini, diambil karena kenyataan disatu masyarakat sangat miskin, tidak mungkin dirubah menjadi makmur secara bersamaan. Begitu juga didalam kesatuan keluarga yg terhimpit kemiskinan, tidaklah mungkin merubahnya menjadi makmur secara bersamaan. Harus diberi kesempatan salah-satu untuk maju, dari menyekolahkan dahulu atau memberikan modal untuk usaha, dan tentunya dengan sedikit memberatkan anggota keluarga yang lain. Itulah pengertian KESEMPATAN harus diberikan pada sebagian orang untuk kaya lebih dahulu, yang dijalankan RRT di 30 tahun pertama setelah jalankan “Reformasi dan Keterbukaan” ditahun 1980. Memang menarik kalau kita berani secara objektif menyaksikan, ternyata yang menjadi KAYA lebih dahulu itu, kebanyakan anak-anak kader/pejabat tinggi. Jelas, karena mereka yang mempunyai fasilitas istimewa, yang dilihat kekuasaan bapaknya, yang tidak ada dan bisa terjadi pada orang biasa. Sementara kita juga tetap bisa melihat ada perkecualian, bukankah beberapa tahun terakhir ini melejit Jack Ma, dengan Alibaba nya maju menjadi orang terkaya di Tiongkok!? Dimana dia jalankan hanya dengan TEKAD BAJA dan keyakinan tinggi apa yang dia cita-citakan dan jalankan itu BENAR, itulah perjuangan yang sesuai dengan arah perkembangan pasar dan teknologi! Kita juga bisa melihat, karena KESEMPATAN dibuka lebar, tanpa diikuti oleh KESADARAN ideologi yang baik, atau tidak ada MENTAL BAJA mengabdi RAKYAT, ... tidak sedikit penyelewengan terjadi. Pengusaha NAKAL, pejabat korup yang menyalah
1
gunakan kesempatan kaya lebih dahulu itu semata untuk kepeentingan diri sendiri tanpa peduli KEPENTINGAN RAKYAT yang dirugikan bahkan jadi KORBAN. Banyak orang tidak berhasil mengendalikan jiwa KESERAKAHAN yang menyodok keluar begitu kesempatan terbuka. Itulah jiwa manusia normal umumnya, ... dimana dalam diri seseorang selalu terkandung jiwa sosial dan jiwa egois dalam dirinya. Masalahnya, bisa tidak kita menguasai diri sebaik-baiknya, tidak membiarkan jiwa keserakahan itu mendominasi dirinya, ....! Nah, ternyata memang SULIT untuk menguasai keserakahan yang mencuat dalam diri kita, TIDAK SEMUA orang bisa mengatasi dengan baik begitu ada KESEMPATAN didepan mata. Begitulah banyak orang baik-baik, jatuh terjungkel setelah menjadi pejabat, setelah menjadi pengusaha yang mempunyai kesempatan untuk maju menjadi kaya dan lebih kaya lagi. Itulah sebab, dibutuhkan HUKUM untuk memberikan rambu-rambu, batasan yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun! Disini pula Pemerintah yang berkuasa diuji, sampai dimana kesungguhan dan kemampuannya menegakkan HUKUM. Dan kenyataan yang bisa kita lihat, HUKUM di TIongkok juga belum ditegakkan dengan baik, ... sangat tertinggal dengan kecepatan kemajuan ekonomi yang melesat begitu dahsyatnya. Disatu pihak terjadi pejabat-korup, dipihak lain pengusaha NAKAL yang hanya mengejar keuntungan dengan cara apapun tanpa peduli halal-tidak halal. Terjadi persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, pembajakan merk, pemalsuan produksi, ... bahkan pemalsuan arak, obat, susu beracun sampai terakhir ini vaksinasi-kedaluarsa! Yang jelas bukan saja merugikan RAKYAT tapi mencelakakan jiwa RAKYAT! Itulah KENYATAAN OBJEKTIVE dari setiap proses perkembangan kemajuan, ... seiring dengan kemajuan dahsyat yang dicapai itu juga terjadi segi-negatif yang tidak kalah dahsyatnya! Tanpa menyadari dan berani melihat kenyataan objektif ini, tentu segera akan terjungkel! Beruntung, ... nampak jelas pimpinan utama RRT bukan saja berani mengakui KEKURANGAN dan KESALAHAN yang terjadi dalam proses kemajuan, tapi juga dengan ketegasan membenahi. Begaitulah kalau saya perhatikan, sejak tahun 2010 menetapkan TUGAS-utama PKT pada KEADILAN, mensejahterakan rakyat banyak. Dan dalam pengertian saya, sebagaimana sementara pejabat juga menyatakan, kalau RRT di 30 tahun pertama, masa Mao sejak tahun 1949 merupakan pembangunan DASAR-EKONOMI, lalu tahap-2, 30 tahun berikut sejak tahun 1980-2010 masa Deng membuka pintu deengan jalankan “Reformasi dan Keterbukaan” membuat sementara orang kaya lebih dahulu, maka sekarang ini, sejak tahun 2010-2040, masuk tahap-3, TAHAP pembangunan menitik beratkan pada KEADILAN, mensejahterakan
2
rakyat banyak. Begitulah Sidang Pleno-3, Kongres-18 PKT, kemudian Sidang Kongres Rakyat awal Maret kemarin ini menetapkan Plan-5 Tahun ke-13, berani menargetkan membebaskan 70 juta rakyat miskin yang tersisa di tahun 2020. Jadi, di tahun 2020 nanti RRT TIDAK ADA lagi orang miskin, memasuki masyarakat sedikit makmur. Mudah-mudahan saja kita masih cukup beruntung bisa meyaksikan sendiri kemakmuran yang dicapai RRT ditahun 2020. Lalu, bagaimana sesungguhnya kita harus meratakan kemakmuran, atau mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi? Mungkin ini problem yang lebih menarik dan harus kita pelajari lebih baik untuk mencapai kemajuan yang lebih cepat, bukan sebaliknya! Saya tidak membantah apa yang dikemukakan bung Salim, “Kita tidak perlu menjadi rasialis untuk mengakui kenyataan yang ada.” Hanya saja saya tidak hendak melihat didunia internasional, bagaimana Yahudi, tapi melihat bagaimana Tionghoa di Indonesia yang dalam kenyataan lebih maju dalam usaha dagang sejak kolonial Belanda. Bagaimana melihat kenyataan yang ada tanpa bersikap rasialis? Apakah lebih baik kita sisihkan, berusaha keras gantikan pengusaha Tionghoa yang sudah berhasil itu dengan yang dinamakan “pribumi”, atau sebaiknya menggunakan sebaik-baiknya pengusaha berhasil untuk menarik maju ekonomi nasional lebih baik dan lebih cepat? Ternyata justru sikap rasilaisme, berusaha menyingkirkan yang Tionghoa dan menggantikan dengan pengusaha “pribumi” yang terjadi sejak awal kemerdekaan tahun 1950, ... dan tetap berlanjut dimasa ORBA Soeharto dan, kenyataan sikap rasialis demikian ini justru TIDAK menguntungkan kemajuan ekonomi nasional, justru sangat merugikan rakyat banyak! Politik Benteng Prof. Sumitro maupun kelanjutannya dengan usulan Asaat jelas berbau rasis, rasialis! Mereka berusaha meng-ASLI-kan atau pribumisasi ekonomi, menggantikan pengusaha Tionghoa menjadi yang dinamakan ASLI atau PRIBUMI itu. Mereka-mereka itu masih saja meneruskan cara berpikiran kolonial Belanda yang membagi-bagi warga berdasarkan ras, suku dan etnis. Hanya saja dengan membalik warga inlander yang dikatakan asli atau pribumi itu dari yang paling rendah dijaman kolonial, menjadi harus didahulukan, sedang etnis Tionghoa yang klas ke-2 harus dikebawahkan. Pengusaha-pengusaha Tionghoa yang sudah maju lebih dahulu, hendak mereka ganti dengan pengusaha yang ASLI atau Pribumi. Jadi, pemikiran Prof. Soemitro dan Asaat bukan bagaimana lebih dahulu mendorong maju ekonomi nasional dengan lebih baik, dengan sebaik-baiknya menggunakan pengusaha-pengusaha yang sudah berjalan dan maju lebih dahulu, sekalipun lebih banyak dari etnis Tionghoa, bahkan ada WN-Tiongkok. Bagaimanapun juga sekalipun kenyataan
3
ada pengusaha Tionghoa yang WN TIongkok, keuntungan yang didapat dari usaha yang dijalankan sudah turun temurun di Nusantara ini, lebih banyak akan tetap berputar dan digunakan di Indonesia. Berbeda dengan modal monopoli asing macam Shell, Unilever dan Caltex dimana semua keuntungan usaha dibawa kembali kenegara masing-masing. Asaat tidak berusaha membatasi modal asing, malah mengganjel usaha modal domestik yang sudah berjalan baik dan seharusnya bisa digunakan meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Yang menjadi pusat perhatian, mengambil oper kekuatan ekonomi yang semula dipegang Tionghoa menjadi ASLI. Dan dalam kenyataan merugikan dan menghambat perkembangan ekonomi nasional secara sehat. Sehubungan dengan Asaat ini, saya kutipkan sepenggal bagaimana pendapat Siauw Giok Tjhan dalam tulisannya "Lima Jaman": "Dalam konggres ekonomi nasional seluruh Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “KENSI“ Mr. Assaat telah dipilih sebagai ketuanya, KENSI ini menuntut supaya ketentuan ekonomi lemah dan ekonomi kuat berdasarkan pada ukuran “asli“ dan “tidak asli“ tanpa penjelasan syarat apakah harus dipenuhi untuk dinyatakan “asli“. Akibatnya yalah berlakunya kembali pembagian golongan penduduk ala kolonial yang sudah dinyatakan hapus dengan proklamasi kemerdekaan dengan adanya UU kewarga negaraan RI. Lebih aneh lagi yalah gerakan itu dipimpin oleh seorang seperti Mr. Assaat yang mestinya aktif memperjuangkan pelaksanaan janji negara dalam maklumat politik RI November 45. Di dalam penelitian ternyata bahwa gerakan itu juga salah sangka, gerakan itu tidak mengetahui jumlah importir dan eksportir milik pernakan Tionghoa ketika itu ternyata tidak banyak. Disamping itu ternyata tidak atau kurang dipikirkan masalah sasaran revolusi dalam tahap revolusi pada ketika itu dalam rangka perjuangan melaksanakan UUD Sementara RI pasal 38 (pasal 33 UUD 1945) tidak pernah ada jawaban tegas pada persoalan : Apakah dalam tahap revolusi ketika itu tidak perlu diusahakan pembatasan ke arah likwidasi modal monopoli raksasa di Indonesia? Apakah untuk keperluan ini tidak perlu dikerahkan pengalaman kerja, entrepreneurship, pengusaha-pengusaha Tionghoa yang belum mencapai tingkat kekuasaan modal monopoli?
Tetapi di kalangan KENSI ternyata yang lebih utama bukan menjamin lancarnya peralihan masyarakat kolonial ke masyarakat nasional menurut cita-cita proklamasi melainkan bagaimana mereka bisa cepat mengganti kedudukan pengusaha-pengusaha Tionghoa di Pintu Kecil Jakarta, sebagai importir dan eksportir. Melawan kedudukan pengusaha-pengusaha multi nasional mereka merasa tidak mampu, mereka menjadikan pengusaha Tionghoa sebagai sasaran karena 4
mereka merasa sudah sanggup untuk menggantikan kedudukan mereka itu. Bagi KENSI revolusi Indonesia sudah terlaksana bila orang-orang anggota KENSI sudah bisa mengganti kedudukan pengusaha-pengusaha Tionghoa di Indonesia, masalah terbentuk tidaknya ekonomi nasional yang tidak lagi mengenal adanya pengangguran dianggap bukan masalah KENSI tetapi masalah pemerintah.
Menghadapi gerakan KENSI yang menonjolkan kepentingan golongan pengusaha yang ingin menjadi importir dan eksportir, Baperki telah mengeluarkan pendapat bahwa Baperki selalu lebih mendahulukan kepentingan Rakyat terbanyak daripada kepentingan golongan ini disebabkan karena Baperki yakin bila kepentingan Rakyat terbanyak jadi kepentingan nasional terjamin tentu sekaligus ikut terjamin kepentingan golongan. Menurut Baperki bila dicapai ekonomi nasional sehat seperti menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan, sehingga tidak dikenal lagi adanya pengangguran dan fakir miskin, tiap orang warga negara tentu terjamin penghidupan bebas dari segala macam rasa ketakutan terutama takut akan menderita kemiskinan. Pengertian ekonomi nasional tentu saja bukan mengantikan pengusaha-pengusaha import dan eksport dengan orang-orang anggota KENSI, seperti dikehendaki oleh KENSI melainkan ekonomi yang menjamin keadilan dan kemakmuran yang merata kepada seluruh Rakyat Indonesia, sehingga tiap orang warga negara Indonesia dapat menuntut penghidupan layak sebagai manusia dalam suasana adil dan makmur pula.
Tentu saja menarik perhatian bahwa yang paling ngotot dalam perjuangan “mengaslikan“ pengusaha import dan eksport ternyata adalah mereka yang paling gigih meyatakan tidak mengenal adanya perjuangan “klas“ tetapi dalam prakteknya merekalah yang paling gigih memperjuangkan klasnya, yaitu klas usahawan, nasib golongan lain, golongan rakyat masa bodoh bagi mereka bukan menjadi urusan mereka.
Ternyata oleh kalangan KENSI tidak disadari bahwa tanpa tingkat kemakmuran Rakyat diperbaiki dalam arti daya beli Rakyat terbanyak dipertinggi, perusahaan-perusahaan import dan eksport tidak mungkin bisa maju baik “asli“ maupun “tidak asli“, tanpa tujuan memperbaiki daya beli Rakyat terbanyak pengusaha import dan eksport baik “asli“ maupun “tidak asli“ tentu meluncur menjadi komprador modal monopoli asing menjadi antek-antek korporasi multi nasional.
Mengenai masalah dwi kewarga-negaraan dijadikan alasan untuk menuduh
5
memiliki loyalitas ganda dan oleh karenanya beralasan untuk di diskriminasi, tentu baik sekali diperhatikan pengalaman Indonesia sendiri. Penjajah Belanda dalam usaha memulihkan kekuasaan menjajahnya justru mencari dan memperoleh bantuan dari mereka yang dikenal sebagai “asli“, mereka tentu saja bukan dwi-kewarganegaraan, tetapi menurut kenyataan mereka itu yang dibilang "asli", seperti Abdul Kadir Widjojoatmodjo yang menjadi wakil Lt.G.G., dia justru tidak merasa menjadi warga negara Indonesia sekalipun orang tidak dapat menyangkal bahwa ia adalah “asli“.
Asal keturunan tentu juga tidak menentukan loyalitas seseorang, inipun menjadi pengalaman dibanyak negeri. Loyalitas seseorang terhadap tanah airnya dikembangkan oleh banyak macam faktor lain, dimana loyalitas itu dapat berkembang secara positif bila seseorang diperlakukan baik-baik dengan adil sama hak dan kewajiban sebagai warga di negara itu. Sebaliknya, bagaimana loyalitas itu bisa tumbuh baik seandainya dirinya diperlakukan sebagai anak tiri yang melukai perasaannya?" (kutipan selesai) Salam, ChanCT
From: Salim Said Sent: Friday, March 25, 2016 6:39 AM Subject: Re: [alumnas-OOT] Re: Kenapa Tiongkok Lebih Cepat Cetak Miliarder Meski Ekonomi Lesu?
Sdr.Andreas Yth, Saya belum mengenal latar belakang pendidikan dan disiplin yang Anda ajarkan di berbagai perguruan tinggi. Tapi saya memberanikan diri menebak Anda tidak dengan cukup baik mempelajari sejarah Indonesia (terutama di zaman penjajahan Belanda). Stratifikasi masyarakat yang diciptakan pemerintahan Kolonial masa itu jelas sangat berdampak pada pembagian rejeki di Indonesia sekarang. Dan itu berdampak juga pada kemampuan mendapatkan pendidikan bagus bagi anak-anak Indonesia sekarang. Kita tidak perlu menjadi rasialis untuk mengakui ketika melihat kenyataan mengenai bankir-bankir terkemua dunia yang didominasi orang Yahudi. Keterampilan mengelola duit dan juga keunggulan dalam ilmu pengetahuan bukan karena orang Yahudi manusia pilihan Tuhan., melainkan "pilihan" masyarakat Eropa yang pada 6
dasarnya anti Semitik
yang menutup jalan bagi orang Yahudi memasuki
bidang-bidang lain (pemerintahan,misalnya) hingga mereka "terpaksa" menjadi bankir dan ilmuwan. Di Indonesia kebijakan sosial penjajah Belanda tidak didasarkan pada rasialisme (meski akibatnya demikian). Pemerintah Kolonial Belanda adalah pemerintahan dagang (ingat VOC, MNC yang bersenjata) dengan cara mengeruk sebanyak mungkin hasil bumi Indonesia yang laku di pasar dunia. Untuk itu mereka memerlukan sebanyak mungkin kuli. Ini berbeda dengan Inggris yang kebijakan kolonialnya berdasarkan posisi mereka sebagai industrialis. Kalau Belanda memperlakukan penduduk pribumi sebagai hanya kuli, Inggris menciptakan klas menengah di India agar mereka bisa menyerap hasil industri Inggris (ingat gerakan boikot Mahatma Gandi?). Sayangnya pemerintahan Republik Indonesia hingga saat ini belum juga berhasil menghapuskan sisa stratifikasi sosial pemerintahan Kolonial Belanda, jadi mayoritas pribumi (maaf, saya sebenarnya sangat tidak senang dengan istilah ini) masih tetap miskin. Bung Salim.
2016-03-24 16:15 GMT+07:00 andreas raharso
[email protected] Pak Jaya, Saya merasakan kerisauan anda, untuk kasus kesenjangan kemakmuran di Indonesia sebenarnya Pak Harya telah mrmberikan uraian terbaik yg pernah saya baca yaitu kesenjangan yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial. Kelas sosial dapat diisi oleh orang dari berbagai suku, ras, atau agama. Kelas sosial atas di Indonesia dalam evolusinya memiliki kinerja lebih baik daripada kelas sosial bawah yang berakibat membesarnya kesenjangan sosial. Fenomena yg sama terjadi di tingkat dunia, dimana pada saat ini segelintir orang menguasai sebagian besar aset dunia. Kenapa ini bisa terjadi, bisa dilihat dari bapak. Misalnya ada seorang di desa ingin menjadi pianis kelas dunia, sangat sulit baginya untuk mengikuti jejak bapak yang dapat memgeyam pendidikan musik yg terbaik di Jerman dan berpuncak pada penampilan bapak di Carnegie Hall. Sangat sulit bagi dia untuk menjadi seperti bapak karena kesenjangan pencapaian
7
(prestasi) musik yang begitu besar yg harus ditaklukkannya. Upaya saya pribadi mengurangi kesenjangan ini adalah melalui pendidikan, saya selalu berusaha menjadi guru dimana saya berada. Dulu di Indonesia saya mengajar di UI dan Binus, saat ini di Singapura saya mengajar di NUS. Akhirnya kesenjangan kemakmuran di Indonesia bukan karena faktor Pribumi dan Non-Pribumi namun karena Kelas Sosial atas di Indonesia memiliki kinerja yang jauh lebih baik dari kelas sosial lainnya. Sebagian besar anggota milis ini adalah Kelas sosial atas di Indonesia. Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan. Salam, Andreas Sent from my iPhone 2016-03-24 9:32 GMT+07:00 <
[email protected]>: Pak Bekto yang saya hormati, saya tahu bahwa anda tahu namun anda bijak utk tidak mengungkap hal yg bisa menyinggung perasaan pihak tertentu. Yang kini sedang saya risaukan adalah masalah kesenjangan kemakmuran yang tidak selaras asas keadilan sosial di tanah air udara tercinta kita yang kemarin dulu 22 maret 2016 ibarat bisul mulai meledak ke permukaan kehidupan bangsa Indonesia . Salam risau dari jaya suprana Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Indosat network. From: Bekto Suprapto Sent: Thursday, March 24, 2016 09:16 Subject: Re: Kenapa Tiongkok Lebih Cepat Cetak Miliarder Meski Ekonomi Lesu?
Pak Jaya Suprana ysh Sangat setuju dengan pendapat bapak. Karena yang bapak lihat juga saya lihat dan rasakan sendiri pada waktu saya mencoba menelusuri jalur sutera di empat Provinsi Tiongkok bagian Barat. Banyak diantara kita hanya kagum dengan sampul yang mengkilat, tidak melihat didalam sampul yang begitu banyak masalah. Pertanyaan saya sebelumnya untuk menyadarkan kita 8
tentang bagaimana begitu banyak persoalan di RRC dan belum dapat diselesaikan, yang sewaktu-waktu bisa menjadi bom waktu disana. Bapak jauh lebih lugas daripada saya. Salam hormat, Bekto Suprapto Sent from my iPhone On 24 Mar 2016, at 09.03, Jaya Suprana <
[email protected]> wrote: Pak Bekto yang saya hormati, di Tibet saya melihat kemiskinan masih lebih merata ketimbang kemakmuran. Di Chengdu saya melihat mobil-mobil super mewah berkeliaran di jalan raya sementara petugas dinas pariwisata yang menjemput naik mobil reyot yang bukan miliknya sebab sang petugas mengaku punyanya sepeda. Masyarakat Uighur resah sebab sumber daya ekonomi dikuasai pendatang dari luar daerah. Sanak keluarga saya yang hijrah ke daratan China mau pun Hongkong belum ada yang miliarder malah seorang sepupu saya yang pianis berbakat kedua belah tangannya dihancur-leburkan dengan popor bedil di masa revolusi kebudayaan. Yang perlu dipelajari dari Republik Rakyat China adalah bagaimana secara psikososiopolitik kalau perlu dengan ketegasan ( = teror kekerasan ragawi) mampu mencegah ( = menekan ) gejolak konflik sosial akibat kesenjangan kemakmuran yang masih jauh dari keadilan sosial . Salam hormat dari jaya suprana
jaya suprana
From: Bekto Suprapto <
[email protected]> Date: 2016-03-24 8:03 GMT+07:00
Pak Jaya Suprana ysh Memang sangat menarik melihat fenomena RRC. Pertanyaan saya adalah mengapa kita hanya terpesona melihat kemajuan ekonomi dan milyader baru saja ? Saya juga tertarik
9
bagaimana
RRC
berupaya
mengurangi
kesenjangan
timur-pedalaman, generasi tua-generasi muda. Bagaimana Pemerintah RRC menjamin ketersediaan masyarakatnya ?
:
kaya-miskin,
pangan
dan
pantai
energi
bagi
Barangkali itu juga kita perlukan untuk belajar. Salam hormat, Bekto Suprapto Sent from my iPhone On 24 Mar 2016, at 05.07,
[email protected] wrote: menyeimbangkan pertumbuhan kemakmuran individual dengan pengurangan kesenjangan sosial . Hormat jaya suprana Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Indosat network.
---------- Forwarded message ---------From: Chan CT <
[email protected]> Date: 2016-03-23 14:40 GMT+07:00 Subject: Kenapa Tiongkok Lebih Cepat Cetak Miliarder Meski Ekonomi Lesu? To: GELORA_In
Kenapa Tiongkok Lebih Cepat Cetak Miliarder Meski Ekonomi Lesu? By Fiki Ariyanti on 22 Mar 2016 at 10:18 WIB http://bisnis.liputan6.com/read/2464744/kenapa-tiongkok-lebih-cepat-cetak-miliarder-meski-ekonomi-lesu
Liputan6.com,
Jakarta
- Tiongkok
merupakan
negara
paling
cepat
mencetak
paramiliarder. Bahkan Negeri Tirai Bambu ini berhasil melahirkan miliarder baru setiap minggunya walaupun ekonomi Tiongkok melambat.
10
Dalam catatan majalah Forbes, Tiongkok menyumbang 70 miliarder baru sepanjang 2016. Pantaslah bila Tiongkok mendapat predikat rumah kedua bagi kelompok tajir setelah Amerika Serikat (AS). Menurut Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk, Anton Gunawan, fenomena ini tidak terlepas dari perbedaan kondisi dan situasi perekonomian dulu dengan sekarang. Ia menggambarkan mengenai perlambatan ekonomi ketika krisis keuangan Asia 1997 dengan saat ini. "Kita lihat perlambatan ekonomi ini lebih kepada apa. Krisis 1997-1998, ekonomi memang melambat, tapi siapa yang utamanya terkena dampak? Orang yang kaya dan sektor keuangan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (22/3/2016). BACA JUGA 10 Kota dengan Jumlah Miliarder Paling Banyak Para Miliarder Dunia Jadi Lebih Miskin di 2015 Ribuan Orang Kaya China Pilih Menetap di Luar Negeri Sementara perlambatan ekonomi saat ini, Anton mengakui, sangat berdampak terhadap masyarakat kelas bawah. Daya beli mereka tergerus, sehingga menurunkan konsumsi yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional. "Kalau perlambatan ekonomi sekarang, orang miskin kena, buruh, petani. Apalagi buruh pertambangan di daerah banyak yang merasakan dampaknya. Tapi kepada pemilik (perusahaan) belum kena. Makanya ketimpangan meningkat, kalau 1997-1998 gini rasio membaik," ujar Anton. Ia mengungkapkan, dengan pertumbuhan jumlah miliarder di Tiongkok yang semakin pesat, sangat menguntungkan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Di saat ekonomi China lesu, para pemilik modal besar ini mengalirkan dananya ke negara berkembang dalam bentuk investasi langsung maupun tidak langsung. "Sudah mulai kelihatan (investasi Tiongkok) yang masuk ke Indonesia. Termasuk dari negara lain, karena kita masih punya banyak proyek infrastruktur yang perlu dibiayai. Walaupun saya tidak setuju dengan kereta cepat," kata Anton. (Fik/Ahm)
11