TINJAUAN UU N0. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN TERHADAP TINDAK PIDANA “DENGAN SENGAJA MENGEDARKAN SEDIAAN FARMASI YANG TIDAK MEMILIKI IJIN EDAR” (SUATU STUDI DI WILAYAH HUKUM PN SLEMAN)
OLEH ANNY RETNOWATI ABSTRACT This research was conducted to find out the functionalization of The Health Law No. 36, 2009 as an Administrative Penal Code in overcoming the crime of distributing pharmaceutical supplies without having distributing permit in the district of Sleman State Court. This research used normative method. The result showed that the law court sentenced six months imprisonment and Rp 1.000.000,fine in substitution of one month encirclement to the accused. Such a court sentence, although lower than the prosecution of the public prosecutor, was effective from the general prevention perspective. As a general prevention, this court sentence gives useful learning for the society that the one who is responsible for distributing pharmaceutical supplies is health provider. Those who are not health providers are not allowed to distribute pharmaceutical supplies and could be threathened and punished based on article 197 of The Health Law No. 36, 2009. Key Words: Health Law, Pharmaceutical supplies, Distributing permit, Health provider.
Di dalam konsiderans UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
antara lain
disebutkan bahwa setiap hal yang menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1, 2, 4 dan 5 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan diberikan definisi mengenai kesehatan, sumber daya di bidang
1
kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan. Kesehatan menurut Pasal 1 butir 1 adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Begitu pentingnya kesehatan bagi setiap orang, maka perlu dilakukan upaya pembangunan kesehatan yang menurut ketentuan Pasal 2 diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan noram-norma agama. Di dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tinginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Sumber daya di bidang kesehatan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 2 adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 di atas lebih lanjut diatur dalam Pasal 47 yang menentukan bahwa penyelengaraan upaya kesehatan tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilakukan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan melalui berbagai kegiatan yang disebutkan dalam Pasal 48 ayat (1) sebagai berikut: a. pelayanan kesehatan; b. pelayanan kesehatan tradisional; c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; 2
d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; kesehatan reproduksi; keluarga berencana; kesehatan sekolah; kesehatan olahraga; pelayanan kesehatan pada bencana; pelayanan darah; kesehatan gigi dan mulut; penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; kesehatan matra; pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; pengamanan makanan dan minuman; pengamanan zat adiktif; dan/atau bedah mayat. Salah satu kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang disebut dalam
Pasal 48 ayat (1) huruf n adalah pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Sediaan farmasi berdasarkan Pasal 1 butir 4 adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Sedangkan alat kesehatan menurut Pasal 1 butir 5 adalah instrumen, apparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan lebih lanjut diatur dalam Pasal 98, 99, 104, 105, 106, 107 dan 108
UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pada Bab XX undang-undang ini diatur mengenai ketentuan pidana dari Pasal 190 s.d. Pasal 201. Karena memuat ketentuan pidana, maka UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan termasuk hukum pidana administrasi, khususnya di bidang kesejahteraan sosial. Menurut Barda Nawawi Arief1, hukum pidana administrasi pada
1
Barda Nawawi, Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.15-16.
3
hakekatnya merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi. Jadi, merupakan bentuk “fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentali- sasi hukum pidana di bidang administrasi”. Barda Nawawi Arief2 selanjutnya menjelaskan bahwa masalah penggunaan hukum/sanksi pidana dalam hukum administrasi pada hakekatnya termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” („penal policy‟). Apabila bab “Ketentuan Pidana” UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Pasal 190 s.d. Pasal 201) diidentifikasi, maka akan ditemukan pola formulasi kebijakan penal sebagai berikut: 1. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menganut “single track system” (hanya sanksi pidana). 2. Dalam hal menggunakan sanksi pidana, digunakan pidana pokok dan pidana tambahan. 3. Pidana pokok yang digunakan adalah pidana penjara dan denda, sedangkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum {Pasal 201 ayat (2)}. 4. Perumusan sanksi pidana di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dilakukan secara tunggal dan kumulasi. 5. Pidana denda yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal yang bersangkutan {Pasal 201 ayat (1)}.
2
Ibid., hlm. 15-18.
4
6. Di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tidak disebutkan kualifikasi deliknya (“kejahatan”/ “pelanggaran”). Dari pola formulasi kebijakan penal di dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diutarakan di atas, lebih jauh dapat dikatakan bahwa perumusan sanksi pidana secara kumulasi (pidana penjara dan denda) ditemukan dalam Pasal 190 ayat (1) dan (2), Pasal 191, Pasal 193, Pasal 194, Pasal 195, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 199 ayat (1), Pasal 200 dan Pasal 201 ayat (1). Sedangkan perumusan tunggal (hanya pidana denda) ditemukan dalam Pasal 198, Pasal 199 ayat (2) dan Pasal 201 ayat (1). Khusus mengenai kesengajaan/kejahatan/pelanggaran terhadap profesi yang berkaitan dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan diatur dalam Pasal 196, 197, dan 198 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menentukan: Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu liliar lima ratus juta rupiah). Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 5
Berkaitan dengan fungsi hukum pidana administrasi sebagaimana diutarakan di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan difungsionalisasikan, khususnya dalam penanggulangan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar” yang pernah diproses di PN Sleman dan bagaimana kinerja penegak hukum di wilayah hukum PN Sleman dalam upaya penanggulangannya dengan menggunakan perangkat hukum yang ada guna memberikan efek jera dalam rangka mengeliminir tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar” di Propinsi DIY di masa yang akan datang dan sekaligus memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut
Bambang Poernomo3, pada masa lalu sampai abad ke-19 pandangan
masyarakat tentang pola pengobatan tumbuh dari cara ritual-mistis karena orang sakit dianggap kutukan Tuhan, sehingga pengobatan tidak didasarkan secara rasional. Cara ritual mistis kemudian berubah ke cara paternalistis-karitatif karena pengobatan dilakukan oleh dokter yang dianggap orang pandai yang serba bisa, sehingga pengobatan dilakukan oleh dokter secara tertutup dan orang sakit dianggap berserah diri tanpa hak apapun untuk mengetahui permasalahan penyakit. Kedua cara ini mempunyai kelemahan karena pasien harus percaya begitu saja walaupun terjadi akibat kematian dan/atau cacat tetap sebagai si penderita tanpa hak untuk menggugat atau menuntut yang disebut “implied-waiver” dalam pengobatan.
3
Bambang Poernomo, 2001. Hukum Kesehatan, Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Magister Managemen Pelayanan Kesehatan , UGM, Yogyakarta, hlm. 1 - 2.
6
Sementara itu pada awal abad ke-20 tumbuh pula pandangan tentang gejala konsumerisme dan komersialisme dalam pelayanan
pengobatan baik di kalangan
masyarakat maupun di kalangan dokter yang berakibat merusak dasar filosofi bahwa “pengobatan adalah pelayanan untuk manusia dan kemanusiaan tanpa pamrih apapun”, sehingga masyarakat rentan yang lemah ekonomi nyaris tidak sanggup bersaing dalam pelayanan pengobatan dan etika/moral penyandang jasa pengobatan oleh sebagian besar dokter menunjukkan gejala merosot terbawa arus konsumerisme-komersialisme.
Pada pertengahan abad ke-20 terjadi “revolusi kesehatan” untuk melawan dan menentang pola pengobatan paternalisits karitatif dan konsumersime/komersialisme dengan beramai-ramai melakukan gugatan atau penuntutan terhadap para dokter atau rumah sakit dengan cara mengajukan konflik yang tidak proporsional di muka pengadilan. Perkembangan konflik pengobatan yang tidak proporsional tersebut mengakibatkan para dokter dan rumah sakit menjadi tidak tenang dan diliputi was-was untuk bekerja melayani pengobatan, karena setiap kegagalan atau kematian atau cacat yang diakibatkan oleh jasa pengobatan yang merugikan pasien langsung dinyatakan sebagai “konflik hukum” dengan gugatan atau tuntutan hukum. Pada hal sesunguhnya pengobatan secara melekat “mengandung aspek resiko” baik terhadap pasien/masyarakat maupun terhadap dokter/rumah sakit. Oleh karena itu diperlukan “perlindungan hukum” bagi dokter dan rumah sakit di satu pihak, dan bagi pasien/masyarakat di pihak lain yang menempatkan konflik pengobatan secara proporsional mengandung aspek hak asasi dan kesejahteraan. Oleh karena itu masyarakat internasional sepakat mengadakan perlindungan hukum yang pada awalnya dinamakan “Hukum Kedokteran” dan selajutnya diperluas menjadi 7
“Hukum Kesehatan” untuk meredakan revolusi yang berawal dari Amerika Serikat dan Kanada dan terus melanda dunia di sekitar tahun 1950 – 1960. PBB memberikan dukungan fasilitas terhadap World Health Organization (WHO)
dan World Medical
Association (WMA) untuk mengembangkan hukum kedokteran (Medical Law) dan hukum kesehatan (Health Law) dengan cara mengorganisasi Negara anggota PBB untuk menyelenggarakan konggres atau seminar internasional agar hukum kedokteran/hukum kesehatan ditumbuh kembangkan di setiap negara anggota PBB termasuk negara Indonesia. Sehubungan dengan apa yang diutarakan di atas,
Alexandra Indriyati Dewi4
menegaskan bahwa di dalam ilmu kesehatan dikenal bebarapa asas sebagai berikut: 1. Sa science et sa conscience … ya ilmunya ya hati nuraninya, maksud dari pernyataan asas ini adalah bahwa
kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh
bertentangan dengan hati nurani dan kamunusiaannya. Biasanya digunakan pada pengaturan hak-hak dokter, dimana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.
2. Agroti Salus Lex Superma…keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. 3. Deminimis noncurat lex…hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini terkait
dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama
kelalaian
tersebut
tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan
menuntut.
4
Alexandra Indriyanti Dewi, 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Cetakan I, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, hlm.167.
8
4. Res Ipsa liquitur…faktanya telah berbicara. Digunakan dalam kasus-kasus mal praktek
dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut
karena faktanya terlihat jelas.
Keempat asas tersebut di atas jelas bersinggungan dengan kepentingan kehidupan manusia, khususnya upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan. Menurut Bahder Johan Nasution5, upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks. Hal ini sejalan dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional sebagai: A state of complete physical, mental, dan social, well being and not merely the absence of desease or infirmity. Bertolak dari batasan kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional, khususnya WHO sebagaimana disebutkan di atas, maka Soekidjo Notoatmodjo6
menegaskan
bahwa hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja, anak dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pension) atau usila, berlaku produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan, misalnya sekolah bagi atau kuliah
5
Bahder Johan Nasution, 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 1. 6 Soekidjo Notoatmodjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama, PT Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 3-4.
9
bagi anak dan remaja, dan kegiatan pelayanan sosial bagi usila. Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan itu bersifat holistik atau menyeluruh. Wujud atau indikator dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan individu antara lain sebagai berikut:
1. Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit dan memang secara klinis tidak sakit. Semua organ tubuh normal dan berfungsi normal atau tidak ada gangguan fungsi tubuh. 2. Kesehatan mental (jiwa) ini mencakup tiga komponen, yakni: pikiran, emosional dan spiritual. Pikiran yang sehat itu tercermin dari cara berpikir seseorang, yakni mampu berpikir logis (masuk akal) atau berpikir secara runtut. Emosional yang sehat
tercermin dari kemampuan
seseorang
untuk
mengeskpresikan
emosinya, misalnya takut, gembira, khawatir, sedih, dan sebagainya. Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau penyembahan terhadap sang pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha Kuasa). Secara mudah spiritual yang sehat ini dapat dilihat dari praktek keagamaan atau kepercayaannya, serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat. 3. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain secara baik, atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, saling menghargai dan toleransi.
10
4. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari produktivitas seseorang (dewasa) dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong hidupnya atau keluarganya secara finansial. Bagi anak, remaja, dan usila dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Bagi mereka, produktif di sini diartikan mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan nanti, misalnya sekolah atau kuliah bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan pelayanan atau keagamaan bagi para usila.
Sehubungan dengan keempat asas dalam ilmu kesehatan yang jelas bersinggungan dengan kepentingan kehidupan manusia, khususnya upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan sebagaimana dikemukakan oleh Alexandra Indriyati Dewi di atas, maka Bambang Poernomo7 memberikan beberapa penegasan sebagai berikut: 1. Pelayanan kesehatan yang mengandung “human services” untuk mewujudkan “human right” dan “human welfare” membawa konsekuensi bahwa “pelayanan kesehatan merupakan upaya kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan harus memperhatikan fungsi sosial dan tanggung jawab sosial” yang dapat diartikan mengedepankan pelayanan non-profit. Oleh karena itu pelayanan kesehatan harus berhati-hati dalam mengembangkan managemen kesehatan agar tidak terjebak oleh pengaruh bisnis/komersial yang menganggap kesehatan sebagai suatu usaha industri. Apabila pelayanan kesehatan akan dikembangkan ke rana bisnis/komersial, dikawatirkan timbul bahaya latent untuk terjadinya revolusi kedua seperti masa lalu (1950) yang akan menuai konflik hukum dalam bentuk gugat menggugat/tuntut
7
Bambang Poernomo, 2001. Op. cit. hlm. 4-5.
11
menuntut antara pihak pasien dan pihak dokter/rumah sakit sebagaimana telah dijelaskan di atas. 2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi “standar profesi dan menghormati hak pasien”. Standar profesi diartikan mengembangkan pedoman/petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Empat hak asasi pasien yang harus dihormati mencakup, a. hak informasi, b. hak untuk memberikan persetujuan, c. hak atas rahasia kedokteran, dan d. hak atas pendapat kedua (second opinion). 3. Tentang pembiayaan kesehatan menurut hukum kesehatan, berdasarkan standar internasional
harus dikembangkan pola “the system of payment for health care
providers and price regulation”. Pembiayan kesehatan ini harus dihubungkan dengan dasar “social security” (jaminan sosial) dalam deklarasi HAM yang telah disepakati secara internasional tentang, a. asuransi sosial kesehatan yang menyimpangi ketentuan hukum asuransi komersial, dan b. pengadaan produksi obat generik yang relatif murah karena menyimpangi ketentuan biaya lisensi perusahaan dan hak patent penemuan jenis obat tertentu untuk kepentingan kesehatan.
Obat generik yang relatif murah dan jenis obat tertentu untuk kepentingan kesehatan yang ditemukan dan perlu mendapat hak patent sebagaimana disebut dalam angka 3 butir b di atas termasuk dalam sediaan farmasi dan alat kesehatan yang hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan Pasal 106 ayat (1) UU No. 36 tentang Kesehatan. Apabila sediaan farmasi dan alat kesehatan diedarkan tanpa izin edar, maka
12
si pelaku melanggar Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan dapat dikenai sanksi pidana yang diancamkan dalam pasal tersebut. Bertolak dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui penerapan undang-undang ini di dalam praktek di pengadilan, khususnya di PN Sleman dalam penanganan perkara tindak pidana „dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟ dengan cara melakukan penelitian berjudul: “Tinjauan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Tindak Pidana
„Dengan Sengaja
Mengedarkan Sediaan Farmasi Yang Tidak Memiliki Ijin Edar‟; Suatu Studi Di Wilayah Hukum PN Sleman” sebagaimana tercantum dalam judul penelitian di atas.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan cara mengkaji kaidah-kaidah, konsep, pandangan, doktrin-doktrin hukum yang diperoleh dari bahan hukum sekunder, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sebagai bahan hukum primer. Selain itu juga digunakan pendekatan kasus sebagai cara untuk mengetahui bagaimana
bahan-bahan
hukum
yang
mengatur
tentang
masalah
kesehatan
difungsionalisasikan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Sleman oleh para penegak hukum yang berwenang dalam penangulangan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar,” ditambah pendapat hukum dengan cara mewawancarai Hakim yang pernah menangani perkara yang menjadi obyek
13
penelitian dan Jaksa yang pernah menangani perkara sejenis. Setelah bahan hukum yang diperlukan terkumpul, diadakan pengolahan data dengan menggunakan metode kualitatif. Menurut F. Sugeng Istanto8, analisis kualitatif adalah analisis data yang didasarkan atas kualitas, nilai, atau keadaan data yang diperoleh. Dengan kata lain pencarian kebenaran dalam penelitian itu didasarkan atau diukur dengan kualitas, nilai atau keadaan data yang bersangkutan. Analisis kualitatif dalam penelitian harus mendapat kebenaran dengan mengukur data yang diperoleh dengan unsur-unsur ketentuan hukum
yang
berlaku. Dalam penelitian ini kebenaran akan ditentukan berdasarkan kualitas data. Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan dengan mengelompokkan data yang berupa berkas putusan perkara tindak pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟, norma hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟ sebagaimana diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan perundang-undangan lainnya yang digunakan dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟. Analisis ini dilakukan dengan cara: a) Perbandingan data b) Ukuran berdasarkan prinsip hukum
sebagaimana terdapat
di
dalam UUK
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.
F. Sugeng Istanto, 1999. “Teknik dan Metode Penelitian Hukum”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penelitian Intensif Terfokus, Lembaga Penelitian UAJY, Yogyakarta, 10 Juli, hlm 6.
8
14
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deduksi. Menurut F. Sugeng Istanto9, metode deduksi adalah suatu cara mengungkap suatu kebenaran dengan mengukur kesesuaian suatu spesies dengan genusnya. Di dalam pembahasan tentang penerapan hukum positif ini, yang merupakan genus adalah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berlaku umum, sedang spesiesnya adalah peristiwa „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟, yang merupakan realisasi ketentuan hukum yang berlaku umum tersebut. Hasil dan Pembahasan Identitas Terdakwa dalam Putusan Perkara Pidana No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN. “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” Pengadilan Negeri Sleman yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana yang diajukan dengan acara biasa pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara terdakwa: Nama Lengkap
: Basuki Alias Bontet.
Tempat Lahir
: Sleman.
Umur/tanggal lahir
: 28/19 Nopember 1987.
Jenis Kelamin
: Laki-laki.
Kebangsaan
: Indonesia.
Tempat tinggal
: Dusun Meijing Lor, Rt 03/RW 01,
Ambarketawang,
Gamping, Sleman. Agama
: Islam.
Pekerjaan
: Swasta.
Pendidikan 9
: SMP (tidak lulus).
F. Sugeng Istanto, Penelitian Hukum, Cet. Ke 1, CV GANDA, Yogyakarta, hlm. 36.
15
Kasus Posisi Putusan perkara No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN. yang
berkaitan
dengan tindak
pidana „„dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar‟‟ berawal dari perbuatan terdakwa Basuki alias Bonet 29 Nopember
pada hari Minggu
tanggal
sekitar pukul 22.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada suatu waktu
dalam tahun 2009, bertempat di rumah terdakwa di Dusun Meijing Lor RT 03/RW 01 Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, tidaknya di suatu tempat yang masih termasuk
Kabupaten Sleman atau setidak-
dalam wilayah hukum
Pengadilan
Negeri Sleman, dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut: Pada hari Senin Sore tanggal 29 Nopember 2009 sekitar pukul 21.30 WIB, terdakwa Basuki alias Bontet telah membeli obat keras pil Trihexypenidyl dari saksi Erick Irawan (diberkas tersendiri) di Gampingan, Pekuncen, Wirobrajan, Yogyakarta sebanyak 9 (sembilan) butir dengan harga Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Setelah terdakwa mendapatkan pil Trihexypenidyl, pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009 sekitar pukul 22.00 WIB bertempat di rumah terdakwa di Dusun Meijing Lor RT 03, Rw 01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, pil Trihexypenidyl dijual oleh terdakwa kepada saksi Danang Novi Ardian seharga RP 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah), kemudian
pil Trihexypenidyl tersebut oleh saksi Danang Novi Ardian digunakan
sebanyak 1 (satu) butir. Pada tanggal 29 Nopember 2009 sekitar pukul 22.00 pada saat berada di utara perempatan lampu merah Sidoluhur, Godean, Sleman saksi Danang Novi Ardian
16
ditangkap oleh Sat Narkoba Polres Sleman. Setelah dilakukan penggeledahan badan dan pakaian, ditemukan 8 (delapan) butir pil Trihexypenidyl yang berada di dalam saku celananya sebelah depan, yang menurut pengakuan terdakwa pil tersebut miliknya dan diperoleh dari terdakwa dengan cara dibeli. Selanjutnya petugas melakukan penangkapan terhadap terdakwa di rumahnya, namun setelah dilakukan penggeledahan badan dan pakaian serta rumah tidak ditemukan apa-apa. Pada saat mengedarkan sediaan farmasi terdakwa tidak memiliki ijin dari pihak berwenang dan tanpa ijin edarnya. Pada tanggal 16 Desember 2009 dilakukan pemeriksaan terhadap barang bukti di Laboratorium Kriminalistik Cabang Semarang Nomor Lab.1365/KNF/XII/2009 yang ditandatangani Setijani Dwi Astuti, S.K.M. B. Nrcahyo, S.Si.M. Biotech dan Ibu Sutarto, ST. selaku pemeriksa pada laboratorium Forensik, dan diperoleh kesimpulan bahwa barang bukti nomor: BB. 2513/2009 berupa 8 (delapan) butir tablet Trihexyhenidyl warna putih tersebut di atas mengandung Trihexyhenidyl HCL yang termasuk dalam daftar Obat Keras/Daftar G. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Atas perbuatan terdakwa Basuki Alias Bontet yang telah mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki ijin edar, maka Jaksa Penuntut Umum membuat dakwaan alternatif sebagai berikut: Kesatu: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 197 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Kedua: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a jo Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Obat Keras 1949.
17
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan dakwaan tersebut di atas, maka Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang memeriksa perkara ini: 1. menyatakan terdakwa Basuki alias Bontet bersalah melakukan tindak pidana „„dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009, dan diancam pidana dalam Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan. 3. Menyatakan barang bukti berupa: - 8 butir pil holly Trihexyhenidyl diambil 8 (delapan) butir warna putih dirampas untuk dimusnahkan. 4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan. 5. Menetapkan terdakwa tetap ditahan. 6. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,(seribu rupiah).
18
Pembelaan diri (Pleidoi) terdakwa Terdakwa secara lisan mengajukan pembelaan yang
pada pokoknya berisi
pengakuan bersalah dan penyesalan atas perbuatannya serta janji untuk tidak lagi melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu terdakwa memohon agar hukuman yang seringan-ringannya
dijatuhi
dengan alasan terdakwa tidak lagi mengulangi
melakukan perbuatan pidana. Putusan Perkara Pidana No. 80/Pid.B/2010/PN.SLMN. Sebelum menjatuhkan pidana terhadap terdakwa terlebih dahulu Mejelis Hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan sebagai berikut: Yang meringankan: - Terdakwa berlaku sopan di persidangan dan mengakui terus terang perbuatannya sehingga tidak mempersulit jalannya sidang; - Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanya. Yang memberatkan: - Perbuatan
terdakwa
bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan terdakwa. Mengingat dan memperhatikan Undang-undang yang bersangkutan terutama Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan; MENGADILI 1. Menyatakan bahwa meyakinkan bersalah
terdakwa
Basuki alias Bontet
terbukti secara sah dan
melakukan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan
sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar”;
19
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (empat) bulan dan denda sebesar Rp 1.000,000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan kurungan; 3. Menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan; 5. Menetapkan barang bukti berupa: - 8 butir pil holly Trihexyhenidyl diambil 8 (delapan) butir warna putih dirampas untuk dimusnahkan. 6. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 2.000- (dua ribu rupiah). Demikianlah dijatuhkan putusan ini pada hari: Selasa, tanggal 23 Maret
2010
dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang terdiri dari:
Ujianti
SH., MH.,
sebagai Ketua Majelis, Anton Budi Santosa, SH., dan
Nuryanto, SH., masing-masing sebagai Hakim Anggota,
yang diucapkan
dalam
sidang terbuka untuk umum, oleh Ketua Majelis tersebut dengan dihadiri Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Eka Surya Setiawan, SH., sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Sleman, serta dihadiri oleh Sadiyo, SH., Jaksa Penuntut Umum serta Terdakwa. Dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan adanya barang-barang bukti yang diajukan dalam perkara ini, maka kesalahan terdakwa dapat dibuktikan yakni melanggar Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam dakwaan kesatu Jaksa Penuntut Umum. Oleh karena itu Majelis Hakim PN Sleman yang memeriksa dan
20
mengadili perkara ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 6 (empat) bulan dikurangi masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dan denda sebesar Rp 1.000,000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan 1 (satu) bulan kurungan. Kesalahan terdakwa tersebut dapat disimpulkan setelah Majelis Hakim menemukan adanya fakta-fakta hukum yang mengindikasikan adanya pelanggaran hukum sebagaimana dituduhkan kepada terdakwa. Fakta-fakta hukum tersebut adalah: 1. Pada
hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 21.30 WIB, di
Gampingan WB 1/726 Rt. 045 Rw. 010, Pecuncen, Wirobrajan, Yogyakarta, terdakwa telah membeli Pil Trihexypenidyl
sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp
20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dari Erick Irawan alias Erick Tato. 2. Pada
hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 22.00 WIB, di
dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa telah menjual Pil Trihexypenidyl
sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah) kepada Danang Novi Ardian. 3. Pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 22.45 WIB di dusun Meijing Lor
Rt.03. Rw.01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa
ditangkap oleh Petugas Sat narkoba Polres Sleman dan terdakwa mengakui telah membawa/menjual/mengedarkan Pil Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang berwenang. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa telah terjadi suatu peristiwa berupa perbuatan terdakwa Basuki alias Bontet pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 21.30 WIB, di Gampingan WB
21
1/726 Rt. 045 Rw. 010, Pecuncen, Wirobrajan, Yogyakarta, telah membeli Trihexypenidyl
Pil
sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah)
dari Erick Irawan alias Erick Tato, dan kemudian pada
hari Minggu tanggal 29
Nopember 2009, sekitar pukul 22.00 WIB, di dusun Meijing Lor Rt.03. Rw.01, Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa telah menjual Pil Trihexypenidyl sebanyak 9 (sembilan) seharga Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) kepada Danang Novi Ardian. Sebagai akibat perbuatan tersebut maka pada hari Minggu tanggal 29 Nopember 2009, sekitar pukul 22.45 WIB di dusun Meijing Lor
Rt.03. Rw.01,
Ambarketawang, Gamping, Sleman, terdakwa ditangkap oleh Petugas Sat Narkoba Polres Sleman
dan terdakwa mengakui telah membawa/menjual/mengedarkan Pil
Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang berwenang. Untuk memperoleh keyakinan bahwa peristiwa tersebut merupakan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar,” Majelis Hakim mempertimbangkan unsur-unsur dari pasal yang paling sesuai dengan perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa yaitu Pasal 197 UU No. 36 tentang Kesehatan yang menentukan: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Dari konstruksi pasal tersebut di atas, ada dua unsur yang harus dibuktikan oleh Majelis hakim dalam penyelesaian perkara ini yaitu: 1. barang siapa; dan
22
2. dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar. Adanya kedua unsur ini telah dapat dibuktikan oleh Majelis Hakim. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan para saksi dan terdakwa, serta dihubungkan pula dengan barang bukti yang diajukan di persidangan, maka Majelis Hakim telah mendapat cukup bukti yang sah dan menyakinkan menurut hukum, bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana: “dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Berdasarkan doktrin hukum pidana10,
yang dimaksud dengan sengaja adalah
adanya kehendak atau sikap batin terdakwa untuk melakukan suatu perbuatan, serta mengerti dan menginsafi perbuatan tersebut. Ada tiga corak kesengajaan dalam teori hukum pidana, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian, dan kenengajaan sebagai kemungkinan. Corak kesengajaan yang dapat dibuktikan oleh Majelis Hakim adalah kesengajaan dengan maksud. Dikatakan demikian karena berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan
bahwa
ketika
dilakukan
penggeledahan,
tidak
ditemukan
Pil
Trihexypenidyl di badan, pakaian dan rumah terdakwa, tetapi terdakwa mengakui telah membawa/menjual/mengedarkan Pil Trihexypenidyl tanpa ijin edar dari pihak yang berwenang. Obat jenis Trihexypenidyl termasuk obat yang menurut Pasal 1 angka 4 UU No. 36 tentang Kesehatan merupakan sediaan farmasi yang berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) untuk mengedarkannya harus ada ijin edar. Terdakwa mengakui 10
Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 191.
23
bahwa dia tidak memiliki ijin untuk mengedarkan sediaan farmasi berupa pil Trihexypenidyl namun dalam kenyataannya terdakwa telah membeli pil tersebut dari Erick Irawan alias Erick Tato dan
mengedarkannya dengan cara menjual kepada
Danang Novi Ardian tanpa izin edar atas sediaan farmasi tersebut, dan memang hal inilah yang menjadi maksud terdakwa. Dengan adanya pertimbangan terhadap hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, maka dapat dipahami bahwa pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena terdakwa dituntut pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara
selama
6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa
dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan. Bila putusan ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal Pasal 197 UU No. 36 tentang Kesehatan yang memuat ketentuan pidana penjara paling lama paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah), maka menurut peneliti putusan tersebut sudah layak dan pantas dijatuhkan kepada terdakwa, karena peneliti setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim yang memberatkan terdakwa yaitu bahwa
perbuatan tedakwa perbuatan
bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
terdakwa
yang seharusnya
tidak boleh dilakukan terdakwa.
24
Pertimbangan yang demikian itu benar karena mengedarkan sediaan farmasi hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Simpulan dan Saran Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam perkara ini Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) susidair 1 (bulan) kurungan, karena terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana “dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa. Bertolak dari kesimpulan di atas disarankan agar Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan proaktif dalam memberikan pembinaan dan melakukan pengawasan sesuai dengan ketentuan Pasal 178 dan 179 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan agar timbul kesadaran dalam masyarakat bahwa yang dapat diberi ijin untuk mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan adalah Tenaga Kesehatan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hal ini diperlukan untuk mencegah hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat pada umumnya.
25
DAFTAR PUSTAKA
Indriyanti Dewi, Alexandra. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Cetakan I,
Istanto, Sugeng. 1999. “Teknik dan Metode Penelitian Hukum”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penelitian Intensif Terfokus, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UAJY, 10 Juli. ______________. 2007. Penelitian Hukum, Cet. Ke 1, Yogyakarta: CV G A N D A. Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: PT Rineka Cipta. Nasution, Bahder Johan. 2005. Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: PT Rineka Cipta. Nawawi Arief, Barda. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Notoatmodjo, Soekidjo 2003. Pendidikan dan Pertama, Jakarta : PT Rineka Cipta.
Perilaku
Kesehatan,
Cetakan
Poernomo, Bambang. 2001. Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Magister Managemen Pelayanan Kesehatan, UGM. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. PP No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
26
27
28