TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Optimalisasi Optimalisasi berasal dari kata dasar optimal yang berarti yang terbaik. Jadi optimalisasi adalah proses pencapaian suatu pekerjaan dengan hasil dan keuntungan yang besar tanpa harus mengurangi mutu dan kualitas dari suatu pekerjaan. Pengertian optimalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah optimalisasi berasal dari kata optimal yang berarti terbaik, tertinggi jadi optimalisasi adalah suatu proses meninggikan atau meningkatkan. Pengertian Optimalisasi menurut wikipedia adalah proses untuk mencapai hasil yang ideal atau optimasi (nilai efektif yang dapat dicapai). Optimalisasi dapat diartikan sebagai suatu bentuk mengoptimalkan sesuatu hal yang ada ataupun merancang atau membuat sesuatu secara optimal.
2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan 2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen dari pelaku usaha untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraan karyawannya dan bertindak adil terhadap berbagai pihak yang terkait dengan aktivitasnya, serta dengan ikhlas menyisihkan sebagian dari hasil usahanya untuk membiayai dan secara langsung atau tidak langsung melakukan program-program yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat
setempat
sebagai
pemangku
kepentingan
utama
perusahaan yang dikelola (Siagian dan Suriadi, 2012). Berdasarkan defenisi yang dirumuskan secara sederhana tersebut, maka pelaku usaha harus memiliki niat atau komitmen yang kuat untuk menyisihkan
17
sebagian dari hasil usaha atau keuntungan perusahaannya. Lebih dari itu, pelaku usaha tidak cukup hanya memiliki niat dan kemauan menyisihkan sebagian dari hasl usaha atau keuntungan perusahaannya, tetapi juga harus bertanggung jawab dalam menjamin
perumusan
dan
implementasi
berbagai
program
pemberdayaan
masyarakat yang secaara nyata dapat meningkatnkan kesejahteraan masyarakat. Mallen Baker mengartikan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu hal bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pengelolaan terhadap proses ekonominya dalam rangka menghasilkan suatu dampak positif secara menyeluruh bagi masyarakat (Mallen Baker, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:10). Pandangan lain tentang defenisi tanggung jawab sosial perusahaan dikemukakan oleh Bank Dunia yang mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu persetujuan atau komitmen perususahaan agar bermanfaat bagi pembangunan ekonomi berkesinambungan, bekerja dengan para perwakilan dan perwakilan mereka, masyarakat setempat dan masyarakat dalam ukuran luas, untuk meningkatkan kualitas hidup dengan demikian eksistensi perusahaan tersebut akan baik bagi perusahaan itu sendiri dan bak pula bagi pembangunan (World Bank, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:12:10).
2.2.2 Manfaat dari Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan disadari makin penting karena mampu memberikan jawaban atas setiap permasalahan yang dihadapi perusahaan dalam hubungannya dengan masyarakat sekitar. Awalnya pemahaman bahwa CSR mampu mendongkrak popularitas kini bergeser seiring dengan berjalannya waktu. Pemahaman konsep pengembangan berkelanjutan menjadi bahasan utama dewasa ini jika membahas CSR. Dalam hal ini, perusahaan hanyalah menjalankan tanggung
18
jawab sosialnya dengan memperhatikan keberlanjutan, selebihnya masyarakat yang menilai komitmen perusahaan higga citra yang baik menjadi bonus bagi perusahaan. Suhandri (dalam Untung, 2008:6) mengemukakan pelaksanaan CSR memberikan manfaat bagi perusahaan adalah sebagai berikut: 1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi atau citra merek perusahaan. 2. Mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara sosial. 3. Mereduksi resiko demi kepentingan positif perusahaan. 4. Melebarkan akses sumber daya bagi operasional usaha. 5. Membuka peluang pasar yang luas. 6. Mereduksi biaya misalnya dengan pembuangan limbah. 7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders. 8. Memperbaiki hubungan dengan regulator. 9. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. 10. Peluang mendapatkan penghargaan. Pelaksanaan CSR memang tidak semata memberikan manfaat kepada perusahaan, namun juga memberikan manfaat bagi masyarakat yang menerimanya. Pelaksanaan CSR dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup sehingga tercapai kesejahteraan. Hal ini akan mengimbangi kemajuan yang dialami oleh perusahaan di lingkungan sekitar sehingga secara tidak langsung kesuksesan dan kemajuan perusahaan dapat terus dibina secara berkelanjutan.
2.2.3 Ruang Lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Kehadiran perusahaan dipastikan melahirkan cost yang harus ditanggung masyarakat sebagai akibat dari berbagai bentuk pencemaran yang ditimbulkan aktivitas ekonomi perusahaan sebagaimana telah dikemukakan. Oleh karena itu, cost
19
tersebut harus diimbangi dengan benefit bagi masyakat setempat. Adapun benefit bagi masyarakat diupayakan dengan cara menetapkan kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan sebagian dari keuntungan yang diperoleh yang akan digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan masyarakat setempat sehingga kesejahteraan perusahaan, khususnya pemilik perusahaan juga diikuti oleh kesejahteraan masyarakat setempat. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat dinyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan meliputi: 1. Bersedia menyisihkan sejumlah uang, misalnya 1 % dari keuntungan perusahan untuk kepentingan masyarakat setempat. 2. Uang tersebut diperuntukkan sebagai pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat setempat. 3. Program pemberdayaan masyarakat setempat yang dilakukan dijamin dapat digunakan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian harus dipahami bahwa tanggung jawab sosial perusahaan bukan sekedar kesediaan menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaan. Hal yang sangat substansial adalah penggunaan dana yang disediakan secara efektif harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang berkualitas, tepat dan berkesinambungan (Siagian, 2012: 180-181).
2.2.4 Dasar Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Pada awalnya tanggung jawab sosial perusahaan hanya dianggap sebagai tanggung jawab etis, yang berarti cenderung bersifat sukarela dan tidak bersifat
20
mengikat. Keadaan seperti ini mengakibatkan perusahaan tersebut dalam wujud belas
kasihan
atau
kedermawanan
sosial.
Segelintir
perusahaan
bersedia
menyisihkan keuntungannya dan diserahkan kepada masyarakat dalam bentuk kasihan atau kedermawanan sosial, bukan kewajiban. Kecenderungan ini ternyata secara umum tidak menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat setempat. Upaya meningkatkan efektivitas tanggung jawab sosial perusahaan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat antara lan ditempuh degan mengubah kesan dan sifat tanggung jawab sosial perusahaan itu dari sebelumnya bersifat etis atau sebagai etika (etika atau etika perusahaan) menjadi tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat wajib atau sebagai hukum. Khususnya di Indonesia, menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan dari masa ke masa telah diatur oleh perundang-undangan, antara lain: 1. Peraturan yang mengikat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana Keputusan Menteri BUMN No 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). 2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Dalam Pasal 74 disebutkan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, (2) tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dilanggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
21
3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. PP ini melaksanakan ketentuan Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007. 4. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007. Dalam pasal 15 (b) dinyatakan bahwa “Setiap penanam modal bekewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. 5. Peraturan CSR bagi perusahaan pengelola Minyak dan Gas (Migas), diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001. Dalam pasal 13 ayat 3 (p) disebutkan: Kontrak Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memuat
paling
sedikit
ketentuan-ketentuan
pokok
yaitu:
(p)
pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat”. 6. Undang-undang Nomor 13 tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, Undang-undang ini tidak membahas secara khusus peran dan fungsi perusahaan dalam menangani fakir miskin, melainkan terdapat klausul dalam pasal 36 ayat 1 “Sumber pendanaan dalam penanganan fakir miskin, meliputi: dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan”. 7. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 tahun 2012 tentang forum tanggung jawab dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial. b Dalam pasal 6 disebutkan ; (1) Forum Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha mempunyai tugas membangun kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat dalam mendukung keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. (2) Penyelengaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memprioritaskan pada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: (a) kemiskinan, (b) ketelantaran, (c) kecacatan, (d) keterpencilan, (e) ketunaan sosial dan
22
penyimpangan perilaku, (f) korban bencana dan/atau, (g) korban tindak kekerasan, ekspoitasi dan diskriminasi. Dalam Bab IV Pasal 19 mengenai Program Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha disebutkan;
tanggung
jawab
sosial
dunia
usaha
dilaksanakan
dengan
memprioritaskan program yang meliputi: (a) peningkatan/perbaikan penghasilan (income generation) bagi keluarga miskin, (b) pemberdayaan sosial (social empowerment) bagi keluarga bermasalah sosial psikologis dan keluarga bermasalah sosial ekonomis, (c) pelatihan keterampilan kerja (vocational training) bagi remaja putus sekolah, bagi wanita rawan sosial ekonomi, dan lainlain, (d) kajian dan pengembangan model program tanggung jawab sosial dunia usaha, (e) perbaikan rumah tidak layak huni, (f) rehabilitasi sosial terhadap penyandang cacat (difabel), (g) rehabilitasi sosial terhadap wanita tuna sosial, (h) rehabilitasi sosial terhadap anak nakal, (i) perlindungan sosial bagi anak terlantar, (j) home care bagi lanjut usia, (k) pemberdayaan komunitas adat terpencil, (l) penanganan korban bencana dan bencana sosial, dan (m) perlindungan sosial bagi korban tindak kekerasan.
2.2.5 Model Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam kajiannya tentang model pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan, Wibisono (2007) mengemukakan model dalam bentuk kerjasama yang melibatkan tiga pihak, yang secara singkat dinamakan dengan model tiga pihak. Adapun ketiga pihak tersebut adalah perusahaan-masyarakat-pemerintah. Melibatkan tiga pihak dalam bentuk kerjasama dalam proses pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan diharapkan dapat memaksimalkan kepuasaan bagi perusahaan dan masyarakat.
23
Hal yang sangat penting dipahami adalah antara perusahaan, masyarakat, dan pemerintah dalam konteks implementasi tanggung jawab sosial perusahaan dihubungkan garis kepentingan timbale balik. Setidaknya ada tiga bentuk kepentingan yang melibatkan tiga pihak tersebut dalam suatu kerjasama, yaitu: 1. Secara konstitusional perusahaan adalah mitra pemerintah dalam rangka memanfaatkan sumber daya alam, sebagaimana diatut dalam Pasal 33 UUD 1945. Sehubungan dengan praktek bisnisnya dalam mengelola sumber daya alam, maka perusahaan tergantung pada pemerintah, khususnya dalam rangka memperoleh izin usaha. 2. Perusahaan merupakan institusi yang senantiasa memberikan dukungan kepada pemerintah melalui pembayaran pajak dan kewajiban lainnya sehingga pemerintah
memiliki
biaya
operasional
dalam
melakukan
pengelolaan
pemerintahan dan pembangunan nasional. Artinya, sumber utama pemerintahan dan pembangunan nasional. Artinya, sumber utama penerimaan negara adalah pajak, dan sumber utama pajak adalah para pelaku usaha atau badan-badan usaha. 3. Kenyamanan aktivitas ekonomi bagi perusahaan sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat setempat terhadap perusahaan. Kondisi seperti ini semakin pekat di era demokrasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia. Selanjutnya perilaku masyarakat setempat terhadap perusahaan dipengaruhi pula oleh perilaku perusahaan dalam memberikan manfaat bagi keejahteraan masyarakat setempat. Dengan dukungan Bank Dunia, Tom Fox, Halina Ward dan Bruce Howard pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan di negara-negara berkembang yang memfokuskan diri pada
24
peran yang dilakukan pemerintah. Hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa setidaknya terdapat dua poros yang mungkin dilakukan pihak pemerintah sehubungan dengan praktek ekonomi dan implementasi tanggung jawab sosial perusahaan yaitu: Poros Pertama, meliputi: 1. Pembagian wewenang Peran pemerintah di sini beruapaya penyusunan standar minimum kinerja perusahaan yang diatur dalam peranturan perundang-undangan. 2. Memberikan kemudahan Peran pemerintah dalam hal ini adalah penciptaan kondisi yang mendukung, bahkan dorongan bagi perusahaan yang mengimplementasikan program tanggung jawab sosial secara efektif agar menjadi pendorong atas perbaikan kehidupan sosial dan lingkungan. 3. Kemitraan atau kerjasama Pihak pemerintah berperan sebagai unsure yang ikut terlibat dan menjadi fasilitator dalam pemecahan masalah-masalah sosial dan lingkungan. 4. Dukungan Pihak pemerintah harus memberikan dukungan politik, dukungan kebijakan, atau dukungan lainnya kepada perusahaan maupun masyarakat. Poros kedua adalah: 1. Menetapkan dan menjamin pencaipaian standar minimum. 2. Kebijakan umum yang berkenaan dengan peran ekonomi. 3. Pengelolaan perusahaan melalui hukum. 4. Penanaman modal yang mendukung dan bertanggung jawab. 5. Belas kasihan dan pengembangan masyarakat.
25
6. Penglibatan dan keterwakilan pemangku kepentingan. 7. Produksi dan konsumsi yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan. 8. Sertifikasi yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan, pemenhan tanggung jawab yang bernilai keagungan dan sistem manajemen. 9. Keterbukaan dan pelaporan yang mendukung tanggung jawab sosial perusahaan. 10. Proses yang melibatkan banyak pihak dalam rangka merumuskan pedoman dan menjadikan hal itu sebagai seseuatu yang diikuti di masa mendatang. Dalam upaya mencapai efektivitas implementasi tanggung jawab sosial perusahaan, Saidi dan Abidin mengemukakan sedikitnya ada empat model atau pola yang secara umum dapat dilaksanakan di Indonesia yaitu: 1. Model Keterlibatan Langsung Perusahaan sendiri yang secara langsung mengimplementasikan program tanggung jawab sosial perusahaannya, tanpa keterlibatan pihak lain. 2. Model Yayasan atau Organisasi Sosial Perusahaan Perusahaan sendiri mendirikan yayasan atau organisasi sosial. Yayasan atau organisasi inilah yang memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yang dananya bersumber dari perusahaan. 3. Model Mendukung atau Bergabung dalam Konsorsium Sejumlah perusahaan bekerjasama mendirikan organisasi Selanjutnya organisasi sosial inilah yang secara langsung bertanggung jawab dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan. Sehubungan dengan uraian di atas, ada satu pertanyaan kunci berkaitan dengan adanya beberapa alternatif model yang adanya beberapa alternatif model yang ada. Model manakah yang terbaik di antara model pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang ada? Meskipun jawaban atas pertanyaan ini sangat penting,
26
namun kita tidak akan menemukan jawaban itu dalam khasanah teoritis. Setidaknya ada dua alasan dari argumentasi seperti ini, yakni: 1. Model yang tebaik untuk diterapkan adalah model yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Sementara masyarakat Indonesia sangat beraneka ragam, baik ditinjau dari aspek budaya, wawasan dan pendidikan, keterampilan, sosial ekonomi, maupun kohesi sosialnya. Semua merupakan variabel pengaruh terhadap model implementasi program tanggung jawab sosial. 2. Penerapan suatu model implementasi program tanggung jawab sosial menuntut berbagai konsekwensi logis yang justru menjadi prasyarat implementasi tersebut.
2.2.6 Konsep-konsep Terkait 2.2.6.1 Pengelolaan Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) Konsep Good Corporate Governance antara lain menegaskan bahawa dapat melakukan aktivitas ekonominya, perusahaan tidak hanya memiliki kewajiban ekonomi dan hukum, tetapi segala aktivitas ekonomnya harus pula didasarkan pada etika. Berdasarkan pemikiran tersebut maka sekarang ini berkembang konsep etika perusahaan yang juga sering dinamakan pada etika bisnis. Konsep etika bisnis perusahaan oleh banyak pihak diperjuangkan sebagai suatu panduan perilaku bagi pelaku usaha (Siagian dan Suriadi, 2012: 51). Gagasan perlunya penerapan Good Corporate Governance diilhami oleh kajian tentang dampak dari sepak terjang para pelaku usaha yang sesungguhnya muncul sebagai jawaban terhadap persaingan yang semakin ketat dalam dunia usaha. Harus diakui bahwa persaingan di antara perusahaan-perusahaan semakin ketat. Oleh karena itu, seluruh elemen dari suatu perusahaan harus dikerahkan dan
27
diarahkan untuk mendukung perusahaan dalam rangka pencapaian keuntungan sebesar-besarnya demi kebaikan perusahaan itu sendiri. Terdapat lima prinsip pengelolaan perusahaan yang baik yang oleh para pelaku usaha dapat dijadikan sebagai acuan, yaitu: 1. Prinsip Keterbukaan (Transparency) Prinsip ini menuntut keterbukaan atas informasi. Dalam kaitan ini, maka seluruh perusahaan dituntut memiliki kerelaan dan kemampuan, memberikan informasi yang lengkap, benar atau akurat dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan. 2. Prinsip Akuntabilitas (Accountability) Prinsip ini menuntut perwujudan atas kejelasan berkenaan dengan fungsi, susunan, sistem, dan tanggung jawab tiap-tiap bagian yang ada dalam suatu perusahaan. Melalui implementasi asas ini akan mampu diwujudkan kejelasan fungsi, hak, kewajiban, dan kekuasaan serta tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan eksekutif perusahaan. 3. Prinsip Pertanggungjawaban (Responsibility) Prinsip ini menegaskan bahwa perusahaan harus memiliki kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan yang sah atau berlaku sah, seperti kepatuhan atas hukum yang perpajakan, hukum yang berkenaan dengan hubungan antara pelaku-pelaku industri dan para pekerjanya, hukum berkenaan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, hukum yang berkenaan dengan perlindungan
terhadap
lingkungan,
hukum
yang
berkenaan
dengan
pemeliharaan hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara pelakupelaku usaha dan masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian implementasi prinsip ini akan menyadarkan para pelaku usaha bahwa dalam tiap-tiap
28
operasional perusahaannya, mereka bukan hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham atau pemilik perusahaan, tetapi juga memiliki tanggung jawab kepada seluruh pemangku kepentingan. 4. Prinsip Kemandirian (Independency) Prinsip ini menegaskan perlunya pengelolaan perusahan secara professional tanpa adanya benturan-benturan kepentingan ataupun tekanan dan campur tangan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan berbagai hukum yang sah. Dengan demikian profesionalisasi pengelolaan perusahaan merupakan harga mati, dan berbagai variable yang menghalanginya harus dihindarkan. 5. Prinsip Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness) Prinsip ini menuntut, bahwa dalam semua aktivitas ekonominya perusahaan harus menghormati nilai-nilai keadilan, kepatuhan atau kewajaran dalam memenuhi hak setiap pemangku kepentingan dengan segala kepentingan masingmasing (Hasmadillah dalam Siagian dan Suriadi, 2012:54).
2.2.6.2 Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan sebagai pembangunan yang memiliki kemampuan dalam menjamin kebersinambungan pembangunan. Hal mana dilakukan dengan cara berikhtiar memenuhi keperluan masa sekarang tanpa membahayakan peluang generasi yang akan datang dalam memenuhi berbagai keperluan hidupnya nanti. Dengan demikian, konsep pembangunan berkelanjutan memberikan perhatian terhadap kepentingan masa sekarang dan kepentingan masa mendatang. Para pelaku industri di negara-negara maju dan di negara-negara sedang membangun dengan bebas melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang
29
tidak dapat diperbaharui. Praktek ini berlangsung dalam jangka waktu yang berkepanjangan. Sedangkan negara-negara miskin tidak mempunyai pilihan lain. Mereka dipaksa menjual sumber daya alam mereka dalam jumlah yang sangat besar dalam rangka membayar hutang kepada bangsa-bangsa lain. Dampak eksploitasi secara berlebihan terhadap sumber daya ala mini justru mengakibatkan penurunan secara tajam daya dukung alam terhadap kehidupan manusia. Akibat yang muncul selanjutnya adalah pemanasan global, kepunahan berbagai spesies tumbuhan dan satwa, penurunan kualitas tanah dan makin berkurangnya hamparan hutan, meluasnya wabah penyakit, masalah kekeringan yang seterusna mengakibatkan masalah kelaparan,banjir dan lain-lain. Semua keadaan buruk yang terjadi adalah wujud daripada penolakan alam terhadap tindakan merusak yang dilakukan manusia (World Business Council Development, 2000). Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan Konferensi khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED). Konferensi ini lebih dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Riode Janeiro, Brazil (Tinto, dalam Siagian dan Suriadi, 2012). Konferensi ini mengangkat slogan “berpikir mendunia, bertindak sesuai keadaam setempat”. Slogan ini berupaya menggambarkan perlunya bertindak bijaksana terhadap lingkungan. Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Bumi ini berupaya menyadarkan perlunya menumbuhkan semangat kebersamaan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan oleh benturan antara kelompokkelompok pelaku pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan dengan kelompok pelaku pembangunan yang memperhatikan lingkungan. Hasil utama implementasi Konferensi Tingkat Tinggi Bumi antara lain adalah berupaya kesepakatan para pemimpin negara-negara di dunia ini untuk
30
menyetujui berbagai rancangan besar yang berkaitan dengan pembangunan berkesinambungan yang didasarkan atas pemeliharaan lingkungan. Pembangunan ekonomi dan sosial yang dimasukkan dalam tiga dokumen yang secara wajib berlaku atau mengikat dan tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat. Adapun tiga persetujuan tersebut meliputi: 1. Persetujuan Perserikatan Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati. Konferensi ini bertujuan melestarikan beraneka ragam sumber daya genetika, semua makhluk hidup, habitat dan sistem lingkungan dan menjamin pendayagunaan berbagai sumber daya hayati secara berkesinambungan demi menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil. 2. Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim Global. Persetujuan ini bertujuan untuk menyeimbangkan kepekatan gas rumah kaca di atmosfer hingga pada tingkat yang dapat mencegak campur tangan manusia yang berbahaya yang berkaitan dengan iklim. 3. Persetujuan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
tentang
Penyelesaian
Masalah
penurunan Kualitas Tanah. Persetujuan ini berupaya mencipta pemecahan terhadap masalah rusaknya tanah. Penurunan kualitas tanah ini telah mengurangi secara signifikan daya dukung suatu kawasan bagi kehidupan manusia yang mendiaminya (Soejachmoen, dalam Siagian dan Suriadi, 2012). Selanjutnya tiga dokumen lainnya yang secara hukum tidak mengikat merangkum dua kesepakatan, yaitu: 1. Pendeklarasian Rio berkenaan dengan asas yang menekankan antara lingkungan dan pembangunan. Asas tersebut dapat dilaksanakan secara umum dalam rangka menjamin pemeliharaan lingkungan dan pembangunan yang bertanggung jawab.
31
2. Dasar-dasar kebenaran pengelolaan hutan, yaitu pernyataan yang mengikat tentang dasar-dasar kebenaran bagi satu persetujuan dunia tentang pengelolaan, pelestarian, dan pembangunan berkesinambungan dari semua jenis hutan. Dasardasar ini menegaskan bahwa hutan adalah suatu unsure penting dalam pembangunan ekonomi, penyerap karbon atmosfer, pemeliharaan keragaman hayati, dan pengelolaan daerah aliran sungai (Soejachmoen, dalam Siagian dan Suriadi, 2012). 3. Agenda 21 yang merupakan rancangan lengkap tentang program pembangunan berkesinambungan saat memasuki abad ke-21. Dalam Agenda 21 disebutkan, bahwa selain pemerintah bangsa-bangsa di duna, badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional lainnya, maka seluruh lapisan masyarakat perlu memahami konsep pembangunan berkesinambungan. Ditegaskan pula, bahwa terdapat Sembilan kelompok utama yang diharapkan terlibat dalam program ini, yaitu organisasi non pemerintah (NGO/LSM), pemuda, pekerja, petani dan nelayan, pemerintah lokal, pelaku usaha, perempuan, ilmuwan dan pemuka adat (Siagian dan Suriadi, 2012:62).
2.2.6.3 Millenium Development Goals (MDGs) Millenium Development Goals terjadi karena adanya kesamaan kemauan dan perhatian terhadap kemiskinan yang diderita oleh masyarakat dari berbagai negara, terutama negara-negara mskin dan sedang berkembang antara lain terwujud dengan kehadiran Pernyataan Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu Millenium Development Goals, yang disepakati 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Konferensi Tingkat Tinggi Millennium (Millenium Summit) pada September tahun 2000.
32
Terdapat delapan tujuan yang dirangkum dalam Millenium Development Goals yang harus dicapai sebelum tahun 2015, yaitu: 1. Menghapuskan tinkat kemiskinan dan kelaparan yang parah. 2. Pencapaian Sekolah Dasar secara umum. 3. Membangun kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 4. Mengurangi tingkat kematian anak. 5. Meningkatkan kesehatan ibu. 6. Perlawanan terhadap HIV/AIDS, malaria, dan penyakit serius lainnya. 7. Menjamin kesinambungan pembangunan lingkungan. 8. Mengembangkan kerjasama global bagi pembangunan. Kaitan Millenium Development Goals dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: 1. Sebagai negara yang memiliki keterbatasan finasisal dan selama ini masih memerlukan dukungan dana dari lembaga-lembaga keuangan inetrbasional, maka perusahaan-perusahaan harus dimnafaatkan sebagai sumber keuangan alternatif, yang sangat signifikan melalui implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan. 2. Millenium Development Goals sesungguhnya memberi pelajaran kepada umat manusia, bahwa seluruh makhluk hidup berada atau hdup dalam planet yang sama. Oleh karena itu, tidak satu pun dari kelompok makhluk bumi ini yang hidup sendiri atau terpisah dari makhluk lain. Pelaku usaha sebagai salah satu elemen dalam planet yang sama senantiasa mempengaruhi dan dipengaruhi ti ndakan kecil ataupun yang dilakukan oleh elemen manapun juga. MDGs
menempatkan
pembangunan
manusia
sebagai
focus
utama
pembangunan, memiliki tengat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan
33
pada konsensus dan kemitraan global sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka. Sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut. Manfaat dari MDGs tidak semata-mata untuk mengukur target dan menentukan indikator dari berbagai bidang pembangunan yang menjadi tujuan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana tujuan pembangunan millenium diindikatorkan pelaksanaannya (Siagian dan Suriadi, 2012).
2.2.6.4 Tiga Garis Dasar (Triple Bottom Line) Upaya membatasi meluasnya sikap egosentris dari para pelaku usaha secara tajam datang dari John Elkington. Melalui bukunya berjudul Cannibaks with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, Elkington (1997) mengenalkan konsep tiga garis dasar (Triple Bottom Line). Dalam bukunya tersebut Elkington mencoba menyadarkan para pelaku usaha, bahwa jika para pelaku ingin aktivitas ekonomi perusahaannya berkesinambungan dan berjalan baik, maka para pelaku usaha tidak boleh hanya beorientasi pada satu fokus berupa keuntungan, melainkan harus menjadikan tiga focus sebagai orientasi aktivitas ekonomi, yang boleh Elkington dinamakan dengan konsep “3P”. Cakupan yang harus menjadi pusat perhatian para pelaku usaha adalah selain mengejar keuntungan perusahaan (Profit), pihak pelaku usaha juga harus memperhatikan dan terlibat secara sungguh-sungguh dalam upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat (People), serta turut berperan aktif dalam menjamin pemeliharaan dan pelestarian lingkungan (Planet). Suatu perusahaan tidak boleh lagi diperhadapkan dengan unsur tanggung jawab yang berpihak pada suatu garis dasar saja, yaitu berupa aspek ekonomi yang
34
senantiasa hanya diukur berdasarkan keadaan keuangan sebagi gambaran dari tingkat danbesarnya
keuntungan
perusahaan.
Bagaimanapun
perusahaan
senantiasa
dihadapkan pada tanggung jawab yang berpihak pada tiga garis dasar yang mana dua garis petanggungjawaban lainnya adalah memperhatikan aspek sosial, khususnya kesejahteraan masyarakt lokal dan pemeliharaan serta pelestarian lingkungan sebagi umpan balik dari eksploitasi sumber daya alam (Elkington, dalam Siagian dan Suriadi, 2012). Meningkatkan keuntungan dan pertumbuhan ekonomi memang sangatlah penting. Namun demikian, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah memperhatikan pemeliharaan lingkungan. Dalam kaitan inilah sangat sesuai dan diperlukan implementasi konsep tiga dasar atau “3P” yang dikembangkan Elkington. Dengan demikian, para pelaku usaha harus menyadari bahwa jantung hati aktivitas ekonomi mereka bukan hanya keuntungan, melainkan juga masyarakat dengan segala keperluannya dan lingkungan dengan segala keperluannya juga.
2.3 Pemberdayaan Masyarakat 2.3.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyakarat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai (Siagian, 2012:165).
35
Pemberdayaan
masyarakat
sebenarnya
mengacu
pada
upaya
untuk
mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat member peranan kepada individu sebagai objek tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan secara umum (Setiana, 2005:6). Pemberdayaan masyarakat secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses pengupayaan masyarakt yang di dalamnya terkandung gagasan dan maksud kesadaran tentang meartabat dan harga diri, hak-hak masyarakat mengambil sikap, membuat keputusan dan selanjutnya secara aktif melibatkan diri dalam menangani perubahan (Bahari dalam Siagian dan Suriadi, 2012:152). Dalam tulisan yang berjudul Community Development and Postmodernism of Resistance, Mary Lane (dalam Pease dan Fook, 2002) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu seni yang melakukan aktifitasnya melalui pengembangan hubungan, mendorong masyarakat adalah suatu seni yang melakukan aktivitasnya melalui pengembangan hubungan, masyarakat untuk bertemu, membentuk jaringan kerja dan mengemukakan kepentingan, keinginan, dan harapan mereka melalui bentuk pengukapan yang kreatif. Dari defenisi yang dikemukakan Mary Lane, masyarakat diletakkan sebagai subjek dan objek. Dalam proses implementasi pemeberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi dan pendekaan intervensi sosial, maka masyarakat harus dilibatkan secara aktif. Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi peningkatan kualitas
36
hidup masyarakat dengan mengutamakan pengembangan kapasitas internal masyarakat, sehingga pogram tersebut benar-benar dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pada prakteknya ruang lingkup program pemberdayaan masyarakat dapat diawali dari ikhtiar sederhana dalam suatu kelompok kecil. Ikhtiar tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi program dan aktivitas yang lebih luas, dan pada kelompok sasar yang lebih luas pula. Efektivitas pemberdayaan masyarakat dapat dicapai jika dirancang dalam masa panjang, melalui rancangan ang tepat, menyeluruh dan akurat, mengembangkan ikhtiar dan dukungan anggota masyarakat sebagai kelompok sasar, menguntungkan masyarakat, dan berakhir pada pengalaman yang berkesan (Smith, dalam Siagian dan Suriadi, 2012:153). Pemikiran Smith tersebut secara keseluruhan sesuai dengan asas-asas dan kaidah-kaidah yang dikembangkan dalam pendekatan dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial. Semua metode pekerjaan sosial, baik yang utama maupun pendukung senantiasa meletakkan manusia, baik secara pribadi, kelompok ataupun masyarakat sebagai fokus utama. Mereka tidak menerima begitu saja program dari pihak lain atau pihak luar, tetapi dilibatkan dalam proses supaya mereka berubah. Efektivitas program pemberdayaan masyarakat hanya akan tercapai muatan program tersebut berisikan peluang dan masyarakat bersikap tanggap. Selanjutnya masyarakat sadar atas kemampuan dan keterbatasannya dan mau bertindak bersama untuk mencapai keuntungan bersama, dan semua perubahan yang terjadi diatnggapi secara positif (Smith dalam Siagian dan Suriadi, 2012:154).
2.3.2 Konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat
37
Pemberdayaan masyarakat dengan berbagai aktivitas yang mengikutinya tidak menempatkan masyarakat sebagai penerima program dan bantuan, lalu dicemooh dan disindir karena dikatakan mempunyai mental subsidi dan terlalu tergantung kepada belas kasihan pihak berkuasa. Sebaliknya konsep pemberdayaan masyarakat justru menempatkan masyakarat secara sentral, dan kepentingan masyarakat senantiasa menjadi variabel utama dalam proses penyusunan unit-unit aktivitas yang akan dilaksanakan. Ginanjar Kartasasmita mengemukakan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pengembangan masyarakat dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community-based development). Menurutnya, pemberdayaan masyarakat adalah suatu aktivitas memampukan dan memandirikan masyarakat, dengan demikian masyarakat akan meningkat derajatnya (Kartasasmita, dalam Siagian dan Suriadi, 2012; 158). Ada dua hal utama dari defenisi yang dikembangkan Kartasasmita. Pertama, pemberdayaan masyarakat bertumpu pada masyarakat. Hal ini berarti bahwa fokus dan pusat pembangunan itu adalah manusia, tegasnya masyarakat, dan bukan pemerintah, daam arti alat pencitraan bagi pemerintah. Kedua, indikato keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah peningkatan kemampuan masyarakat dalam memenuhi keperluan hidupnya sehingga mampu hidup secara mandiri. Dengan demikian yang paling utama adalah kapasitas masyarakat dalam mensejahterakan diri sendiri. Suatu proses pemberdayaan pada intinya ditujukan guna membantu klien memeperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menetukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
38
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne, dalam Adi, 2003:54). Dalam proses implemntasi pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pekerjaan sosial, seorang pekerja sosial harus menetapkan berbagai prinsip, seperti (Ismawan dalam Siagian dan Suriadi, 2012:54) : 1. Pemahaman atas masyarakat secara mendalam sebagai kelompok sasar. Untuk itu, data yang bekaitan dengan masyarakat sebagai kelompok sasar merupakan model awal bagi pekerja sosial dalam menjalankan perannya. 2. Belajar dari kisah efektifitas program pemberdayaan masayarakat sebelumnya. Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat perlu dukungan keberhasilan yang pernah dicapai. Oleh karena itu, adopsi metode dan asas-asas dari program pemberdayaan masyarakat yang nyata telah berhasil diterapkan perlu dilakukan. 3. Belajar dari kegagalan melaksanakan program pemberdayaan masyarakatyang pernah dilakukan. Harus diakui bahwa implementasi program pemberdayaan masyarakat tidak serta merta mencapai keberhasilan. Oleh karena itu, pekerja sosial senantiasa harus belajar dari pengalaman pelaksanaan program pemebrdayaan masyarakar sebelumnya, baik oleh diri sendiri maupun oleh pihak lain. 4. Melibatkan seluruh anggota masyarat dengan semua pengetahuan dan kemampuan mereka. Masyarakat adalag pihak yang paling tahu akan kebutuhan dan masalah sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan dan kemampuan mereka harus digali dan dimanfaatkan dalam rangka pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.
39
5. Memberi tanggapan yang senantiasa lentur sesuai dengan keadaan dan masalah yang ada. Pekerja sosial harus mampu menerima bagaimanapn kondisi masyarakat. Bahkan harus belajar dari kondisi yang ada.
2.3.3 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat Prinsip-prinsip
yang
sebaiknya
dalam
pemberdayaan
masyarakat
(berdasarkan acuan dari ACSD, 2004) : 1. Kerja sama, bertanggung jawab, mengetengahkan aktivitas komunitas yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Mobilisasi individu-individu untuk tujuan saling tolong-menolong, memecahkan masalah, integrasi sosial dan tindakan sosial. 2. Pada tingkat paling bawah, partisipasi harus ditingkatkan dan mengedepankan demokrasi ideal dan partisipatori dalam kaitannya dengan sifat apatis, frustasi dan perasaan-perasaan yang sering muncul berupa ketidakmampuan dan tekanan akibat kekuatan struktural. 3. Sebanyak mungkin ada kemungkinan dan kesesuaian, community development harus mempercayakan dan bersandar pada kapasitas dan inisiatif dari kelompok relevan
dan
komunitas
lokal
untuk mengidentifikasi
masalah-masalah,
merencanakan dan melaksanakan pelatihan tentang tindakan. Dalam hal ini tujuannya adalah mengarah pada kepercayaan diri dalam kepemimpinan komunitas, meningkatkan kompetensi dan mengurangi ketergantungan kepada negara, lembaga dan intervensi profesional. 4. Sumber daya komunitas (manusia, teknik, dan finansial) dan kemungkinan sumber daya dari luar komunitas (dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah,
40
lembaga-lembaga
dan
kelompok
finansial)
harus
dimobilisasikan
dan
kemungkinan untuk diseimbangakn dalam bentuk kesinambungan pembangunan. 5. Kebersamaan komunitas harus dipromosikan dalam bentuk dua tipe hubungan yaitu: (1) hubungan sosial dalam keberadaan kelompok dipisahkan melalui kelas sosial atau perbedaan yang signifikan dalam status ekonomi, suku, bangsa, identitas ras, agama, gender, usia, lamanya tinggal atau karakteristik lainnya yang mungkin menyebabkan peningkatan atau membuka konflik, (2) hubungan struktural antara pranata-pranata tersebut. 6. Aktivitas-aktivitas seperti meningkatkan perasaan solidaritas di antara kelompok marginal dengan mengaitkan perkembangan dalam sektor-sektor dan kelas sosial untuk mencari kesempatan ekonomi, sosial, dan alternatif politik (Ambadar, 2008:44).
2.4 Komunitas Adat Terpencil 2.4.1 Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT) Sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini masih ada yang menjalani kehidupan sangat memprihatinkan. Mereka mendiami tempat-tempat yang secara geografis relatif sulit dijangkau, seperti di pedalaman, pantai, rawa-rawa dan pulaupulau terpencil. Selain dari mereka ada yang menjalani kedidupan secara nomaden yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu pulau ke pulau lain dan bahkan dari satu perairan ke perairan lain. Mereka itu oleh Departemen Sosial diperkenalkan sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT). Sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Sosial Komunitas Adat Terpencil, yang dimaksud dengan komunitas adat terpencil adalah kelompok masyarakat dengan sosial budaya yang bersifat lokal yang kurang
41
atau belum terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi maupun politik (Kementerian Sosial RI, 2014). Dengan pengertian tersebut maka komunitas ini dipahami sebagai komunitas yang memiliki budaya atau adat tertentu yang berbeda atau unik. Komunitas ini biasanya adalah komunitas lokal asli yang memiliki berbagai kelebihan yang harus dipertahankan seperti kerjasama masyarakat, budaya, serta keguyuban interaksi sosialnya. Akan tetapi karena situasi dan kondisi tertentu, komunitas ini kurang terlibat dalam jaringan pelayanan sosial, ekonomi, maupun politik. KAT merupakan istilah yang baru diperkenalkan pada tahun 1999 oleh pemerintah (Direktorat Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial RI) untuk menggantikan istilah masyarakat terasing atau suku terasing yang selama 30 tahun tahun digunakan dalam pelaksanaan pembangunan nasional maupun daerah dimana masyarakat terasing didefenisikan sebagai kelompok-kelompok masyarakat yang bertempat tinggal atau berkelana di tempat-tempat yang secara gegrafis terpencil dan terisolasi dan secara sosial budaya terasing dan atau masih terbelakang dibandingkan dengan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya. Istilah terasing dalam defenisi yang dimaksud yaitu sebagai satu kondisi kehidupan yang lamban berubahnya disebabkan letaknya yang terpencil (terisolasi) dari kehidupan dan penghidupan masyarakat luar yang lebih maju sehingga kurang terjadi interaksi yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka ke arah perubahan dan kemajuan. Komunitas Adat Terpencil (KAT) sebagi bagian dari masyarakat Indonesia yang merupakan lapisan paling bawah dalam struktur masyarakat. Secara geografis bertempat tinggal di daerah terisolisir dan sulit dijangkau. Pranata sosial yang berkembang dalam komunitas adat terpencil pada umumnya bertumpu pada
42
hubungan kekerabatan dimana kegiatan mereka sehari-hari masih didasarkan pada hubungan darah dan ikatan tali perkawinan (Departemen Sosial RI, 2003). Komunitas Adat Terpencil (KAT) pada umumnya merupakan kelompok masyarakt yang termarginalisasi dan belum terpenuhi hal-haknya baik dari segi ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Marginalisasi terhadap komunitas adat terpencil muncul sebagai akibat dari melemahnya posisi tawar (bargaining position) mereka dalam menghadapi persolan yang dihadapinya. Komunitas Adat Terpencil (KAT) sering kali menjadi korban dari konflik kepentingan ekonomi wilayah dimana eksloitasi sumber daya alam oleh pendatang yang memiliki kekuatan ekonomi besar di wilayah pedalaman menjadikan hak-hak ulayat masyarakat atas tanah mereka hilang, lunturnya sistem budaya kearifan lokal dan rusaknya lingkungan tempat mereka hidup. Selain itu, rendahnya aksesibilitas wilayah tempat tinggal komunitas adat terpencil menyebabkan sulitnya mereka menjangkau fasilitas layanan publik yang disediakan pemerintah.
2.4.2 Kriteria dan Habitat Komunitas Adat Terpencil Komunitas adat terpencil mempunyai kriteria atau ciri-ciri sebagai berikut: a. Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen. Komunitas adat terpencil umumnya hidup dalam kelompok kecil dengan tingkat komunikasi yang terbatas dengan pihak luar. Disamping itu, kelompok komunitas adat terpencil. b. Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan. Pranata sosial yang ada dan perkembangan dalam komunitas adat terpencil pada umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan dimana kegiatan mereka seharihari didasarkan pada hubungan darah dan ikatan tali perkawinan.
43
Pranata sosial yang ada tersebut meliputi antara lain pranata ekonomi, pranata kesehatan, pranata hukum, pranata agama, pranata kepercayaan, pranata politik, pranata pendidikan, pranata ilmu pengetahuan, pranata ruang waktu, pranata hubungan sosial, pranata kekerabatan, pranata sistem organisasi sosial. c. Pada umumnya terpencil secara geografis dan sulit dijangkau. Secara geografis, komunitas adat terpencil umumnya berada di daerah pedalaman, hutan, pegunungan, perbukitan, laut, daerah pantai yang sulit dijangkau. Kesulitan ini diperkuat oleh terbatasnya sarana dan prasarana transportasi, baik ke atau dari kampung komunitas adat terpencil. Kondisi ini mempengearuhi dan menghambat upaya pemerintah dan pihak luar dalam memberikan pelayanan pembangunan secara efektif dan terpadu. d. Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten. Aktivitas kegiatan ekonomi warga komunitas adat terpencil sehari-hari hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri (kebutuhan sehari-hari). e. Peralatan teknologinya sederhana. Dalam upaya memanfaatkan dan mengolah sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari baik dalam kegiatan pertanian, berburu maupun kegiatan lainnya, komunitas adat terpencil masih menggunakan peralatan yang sederhana yang diwariskan secara turun-temurun. f. Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi. Kehidupan komunitas adat terpencil sangat menggantungkan kehidupan kesehariannya baik itu fisik, mental dan spiritual pada lingkungan alam seperti umumnya aktivitas keseharian warga berorientasi pada kondisi alam seperti
44
umumnya aktivitas keseharian warga berorientasi pada kondisi alam atau berbagai kejadian dan gejala alam. g. Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Sebagaimana konsekuensi logis dari keterpencilan, berbagai akses pelayanan sosial ekonomi dan politik yang tersedia di lokasi atau sekitar lokasi tidak ada atau sangat terbatas sehingga menyebabkan sulitnya waga komunitas adat terpencil untuk memperolehnya dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya (Kementerian Sosial RI, 2014). Komunitas Adat Terpencil (KAT) mendiami lokasi yang terpencil secara geografis serta sulit dijangkau. Ditinjau dari segi habitatnya, komunitas adat terpencil yang bermukim dapat dikelompokkan menjadi: a. Komunitas adat yang tertinggal di dataran tinggi dan/atau daerah pegunungan. b. Komunitas adat yang tertinggal di daerah dataran rendah dan/atau daerah rawa. c. Komunitas adat yang tertinggal di daerah pedalaman dan/atau daerah perbatasan. d. Komunitas adat tertinggal di atas perahu dan/atau daerah pinggir pantai (Kementerian Sosial RI, 2014). Keberadaan komunitas adat terpencil pada masa yang akan datang tidak terbatas dilihat pada lingkungan habitatnya seperti di dataran tinggi, dataran rendah/rawa-rawa, pedalaman/pegunungan dan berada di pesisir pantai atau pulaupulau terluar. Akan tetapi perlu dilihat pula pada dimensi lain seperti letak atau posisi geografisnya yaitu komunitas adat terpencil yang berada di wilayah pemekaran daerah baik provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa yang di wilayah industri, wilayah konflik dan kerusuhan serta wilayah perbatasan antarnegara. Pertimbangan lainnya adalah masih ditemukannya warga komunitas adat terpencil
45
yang masih hidup berpindah-pindah, terpencar, terpencil dan terisolisir sehingga sulit dijangkau. Kementerian Sosial RI juga memberikan tiga kategori KAT berdasarkan mobiltas yaitu: a. Kategori I (Kelana) Warga KAT ini biasanya hidup dengan cara berburu dan meramu dari berbagai potensi sumberdaya alam setempat. Pemberdayaan KAT pada kategori I ini dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut. b. Kategori II (Menetap Sementara) Warga KAT ini biasanya hidup dengan cara peladang berpindah tergantung pada potensi sumberdaya alam setempat yang menjadi orbitasinya. Pemberdayaan KAT pada kategori II ini dilaksanakan selama 2 (dua) tahun berturut-turut. c. Kategori III ( Menetap) Warga KAT ini biasanya hidup dengan cara bertani dan/atau berkebun. Pemberdayaan KAT pada kategori III ini dilaksanakan selama 1 (satu) tahun (Kementerian Sosial RI, 2014).
2.4.3 Permasalahan Komunitas Adat Terpencil (KAT) Permasalahan yang dihadapi Komunitas Adat Terpencil sangat kompleks karena menyangkut banyak aspek baik aspek sosial, budaya, politik, hukum, lingkungan, ekonomi maupun HAM (Departemen Sosial RI, 2005:67-68). Sejumlah permasalahan tersebut saling berkaitan satu sama lain dan secara umum bermuara kepada dua permasalahan mendasar yaitu permasalahan internal yang berasal dari Komunitas Adat Terpencil dan permasalahan eksternal yang menyangkut pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.
46
Permasalahan internal Komunitas Adat Terpencil antara lain: 1. Kesenjangan sistem sosial budaya dengan masyarakat umumnya. 2. Ketertinggalan dalam sistem sosial, teknologi dan ideologi, 3. Pemenuhan kebutuhan dasar (basic human needs) seperti sandang, pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan, agama, pekerjaan, rasa aman masih jauh dan memadai. 4. Belum menerima pelayanan pembangunan sehingga kebijakan pemerataan pembangunan belum dapat menjangkau mereka. 5. Pemborosan dalam pemanfaatan dan belum berdayagunanya sumber daya alam serta manusia dalam kegiatan produksi. 6. Belum sepenuhnya terjadi integrasi sosial ke dalam sistem kemasyarakatan sekitarnya. 7. Dapat mengurangi citra keberhasilan pembangunan karena masih adanya kesenjangan yang begitu besar. Permasalahan eksternal yang berkaitan dengan pemberdayaan antara lain, meliputi: 1. Kurang akuratnya data tentang Komunitas Adat Terpencil dengan berbagai latar belakang sosial budaya. 2. Terbatasnya pengetahuan dan pemahaman tentang nilai-nilai sosial budaya dan aspirasi Komunitas Adat Terpencil yang menjadi sasaran pemberdayaan. 3. Belum mantapnya keterpaduan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dengan instansi sektoral melalui Forum Koordinasi atau kelompok Kerja baik di tingkat pusat maupun daerah. 4. Masih lemahnya jaringan kerja pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil baik lokal, nasional maupun daerah.
47
5. Jumlah dan kualitas pendamping sosial atau petugas lapangan belum seimbang dengan jumlah populasi dan kebutuhan pendampingan di lokasi Komunitas Adat Terpencil. 6. Rendahnya partisipasi dan kualifikasi tenaga lapangan, Orsos, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. 7. Anggaran pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil relatif masih kecil dan belum seimbang dengan tantangan dan permasalahan. 8. Belum efektifnya tindak lanjut pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang telah dialihkan kepada Pemda setempat sehingga keberhasilannya yang telah diperoleh belum dapat dimaksimalkan (Kementerian Sosial RI, 2014).
2.4.4 Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Komunitas Adat Terpencil (KAT) Faktor pendukung dalam Komunitas Adat Terpencil adalah sebagai berikut yaitu 1. Adanya komitmen yang kuat dari aparat kesejahteraan sosial pemerintah daerah untuk selalu meningkatkan kualitas penanganan masalah kesejahteraan sosial Komunitas Adat Terpencil. 2. Tersedianya daya dukung ekonomi (APBD dan dana dekonsentrasi) dalam program intervensi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 3. Adanya kemampuan keras dari pendamping sosial/aparat sosial terkait untuk meningkatkan kapasitas kinerja untuk memberikan solusi terbaik kepada Komunitas Adat Terpencil yang menjadi bidang tugasnya,
48
4. Tumbuhnya perhatian dan partisipasi dan kalangan masyarakat umum, khususnya masyarakat sekitar Komunitas Adat Terpencil untuk terlibat dalam kegiatan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 5. Berkembangnya komitmen
lembaga-lembaga
non
pemerintah,
Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), tokoh masyarakat, dunia usaha, kalangan praktisi, dan akademi untuk berpartisipasi menangani permasalahan kesejahteraan sosial Komunitas Adat Terpencil. Faktor penghambat dalam Komunitas Adat Terpencil yaitu 1. Secara geografis, keberadaan Komunitas Adat Terpencil sangat sulit dijangkau oleh sarana transportasi/perhubungan, mereka bermukim di pegunungan, pedalama dan kawasan pulau-pulau terpencil. Mereka juga kurang memiliki akses informasi sehingga menjadikan Komunitas Adat Terpencil menjadi sangat tertinggal. 2. Sebagian Komunitas Adat Terpencil cenderung memiliki budaya tertutup dari luar dan menolak berbagai pengaruh budaya dari luar komunitasnya, masih terisolir (tidak memiliki akses transportasi), tertinggal dan miskin. Hal ini berimplikasi pada usaha memberdayakan memerlukan waktu yang relatif lama, perlu tenaga pemberdaya yang benar-benar profesional dan dana yang relatif besar. 3. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil cenderung masih dilaksanakan secara sektoral oleh instansi terkait yang didasarkan pada tugas dan tanggungjawab masing-masing instansi. Akibatnya koordinasi melalui kerjasama melalui jaringan kerja (network) antarsektor dan antarwilayah secara terpadu kurang berjalan baik dan mengahsilkan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan Komunitas Adat Terpencil.
49
4. Terbatasnya tenaga pelaksana pemberdaya Komunitas Adat Terpencil baik secara kuantitas dan kualitas dibandingkan dengan kompleksitas permasalahan Komunitas Adat Terpencil. 5. Kerjasama dengan pihak non pemerintaha, akdemisi dan LSM yang belum terjalin dengan baik. 6. Peran dan fungsi pendamping sosial yang dibutuhkan Komunitas Adat Terpencil untuk mengentaskan masalah kesejahteraan sosial masih belum maksimal. Hal ini disebabakan antara lain masih dijumpai adanya pendampingan sosial bagi Komunitas Adat Terpencil. 7. Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil masih difokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar Komunitas Adat Terpencil terutama menyangkut kebutuhan ekonomi. 8. Meskipun program pemberdayaan mengacu pada kearifan lokal, namun dalam implemenmtasinya masih dijumpai dengan praktik pendekatan top down dan sistem target sehingga semua masalah dan kebutuhan Komunitas Adat Terpencil belum terakomodasikan dalam rencana intervensi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 9. Belum maksimalnya daya dukung infrastruktur yang dapat mendukung pelaksanaan program Komunitas Adat Terpencil. Kondisi ini berimbas pada kualitas penanganan Komunitas Adat Terpencil (Cahyono, 2009:44).
50
2.5 Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil 2.5.1 Ruang Lingkup Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) adalah pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada KAT untuk menentukan sendiri nasib dan berbagai bentuk program kegiatan pembangunan serta kebutuhan mereka melalui upaya perlindungan, penguatan, pengembangan, konsultasi dan advokasi guna peningkatan taraf kesejahteraan sosialnya. Dalam konteks ini, pemberdayaan KAT merupakan proses pembelajaran sosial dengan menghargai inisiatif dan kreativitas KAT terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi sehingga masyarakat secara mandiri dapat mengaktualisasikan dirinya dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mampu memcahkan permasalahannya. (Kementerian Sosial RI, 2012:6) Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial No. 020.A/PS/KPTS/VI/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dikatakan bahwa Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) merupakan salah satu bentuk kepedulian dan komitmen pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan pada mereka yang masih belum tersentuh proses pembangunan nasional yang umumnya berada pada daerah-daerah yang sulit dijangkau. Kementerian Sosial RI, melalui program komunitas adat terpencil mengkhususkan memberdayakan mereka agar bersama-sama dengan masyarakat Indonesia lainnya ikut dalam proses pembangunan sebagaimana yang dicita-citakan dalam amanat UUD 1945. Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil merupakan program yang diarahkan pada upaya pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada masyarakat dengan ketegori terpencil. Melalui program ini diharapkan masyarakat dapat menemukan masalah dan kebutuhan beserta upaya pemecahannya berdasarkan
51
kekuatan dan kemampuannya sendiri sehingga tercipta peningakatan mutu hidup, terlindungi hak dasarnya serta terpeliharanya budaya lokal. Dalam konteks Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, yang menjadi fokus perhatiannya adalah mereka yang berada di daerah yang terpencil baik secara geografis, sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Kekhawatiran akibat dari keterpencilan tersebut menjadikan mereka terhambat perkembangannya dalam semua aspek kehidupan sebagai sebuah masyarakat yang berdampak semakin tertinggalnya mereka dari masyarakat lainnya yang telah mendapatkan akses pelayanan sosial dasar. Jika dilihat dari pengertian operasionalnya, pemberdayaan komunitas adat terpencil merupakan upaya penguatan mereka untuk menentukan sendiri pemenuhan kebutuhannya dengan telaahan dan penyusunan berbagai bentuk program/kegiatan pembangunan melalui upaya perlindungan, penguatan dan pengembangan guna peningkatan taraf kesejahteraan sosialnya (Departemen Sosial RI, 2003). Visi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil yang mandiri di dalam berbagai aspek kehdupan dan penghidupan. Sedangkan Misi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil antara lain: 1. Meningkatkan harkat dan martabat komunitas adat terpencil. 2. Meningkatkan kualitas hidup komunitas adat terpencil. 3. Memperkuat pranata dalam jaringan sosial. 4. Mengembangkan sistem kehidupan dan penghidupan yang berlaku pada komunitas adat terpencil. 5. Meningkatkan peran serta dan tanggung jawab sosial masyarakat dalam proses pemberdayaan komunitas adat terpencil.
52
Tujuan pemberdayaan komunitas adat terpencil adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil dalam segala aspek jasmani, rohani dan sosial. Berdasarkan tujuan tersebut maka ada empat aspek yang saling terkait satu sama lainnya meliputi: 1. Aspek fisik : segala hal yang menyangkut kebutuhan fisil/jasmani seperti pangan, sandang, papan dan lingkungan. 2. Aspek mental (rohani) : seperti pengetahuan, pendidikan, kesehatan dan interaksi dengan masyarakat luas. 3. Aspek sosial : meliputi pengenalan tentang perlindungan yang optimal terhadap hak-hak yang melekat pada komunitas adat terpencil, meningkatnya interaksi dan komunikasi antarwarga komunitas adat terpencil, terciptanya jaringan kerja, berkembangnya kelembagaan
pranata masyarakat
sosial agar
yang
diarahkan
mampu
untuk
penegmbangan
mengaktualisasikan
diri
dan
megartikulasikan kepentingan dan kebutuhan komunitas adat terpencil tersebut. 4. Aspek ekonomi : meliputi penguatan ekonomi komunitas adat terpencil yang disesuaikan dengan potensi dan kebiasaan yang sudah ada untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat secara umum sehingga disamping memberdayakan warga komunitas adat terpencil juga mencegah terjadinya eksploitasi terhadap warga komunitas adat terpencil tersebut. Secara umum pemberdayaan komunitas adat terpencil dilaksanakan agar warga komunitas adat terpencil tercegah dari kerentanan disintegrasi sosial, terlindungi dari eksploitasi sosial dan ekonomi, terjaminnya hak dan terlaksananya kewajiban warga komunitas adat terpencil sebagaimana yang seharusnya diberikan dan dilaksanakan oleh warga negara lainnya di luar komunitas adat terpencil.
53
Pemberdayaan
komunitas
adat
terpencil
diarahkan
pada
upaya
penegmbangan kemandirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak dan wajar sehingga mampu mananggapi berbagai perubahan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun jenis kegiatan dalam pemberdayaan komunitas adat terpencil meliputi: a. Penyuluhan merupakan suatu upaya berkesinambungan untuk membimbing komunitas adat terpencil khususnya dengan masyarakat luas baik perorangan atau lembaga kea rah kesadaran terhadap arti penting pemberdayaan sosial komunitas adat terpencil. b. Bimbingan merupakan suatu proses terencana dan terorganisasi untuk menumbuh-kembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk menindaklanjuti hasil penyuluhan sosial pada komunitas adat terpencil, lingkungan sosial dan masyarakat luas. c. Pelayanan merupakan usaha untuk memfasilitasi dan atau bantuan kepada warga komunitas adat terpencil baik secara perorangan, kelompok, maupun secara keseluruhan guna terlaksananya tujuan program pemberdayaan. d. Perlindungan merupakan upaya mempertahankan dan melindungi adat-istiadat dan atau lingkungan sosial budaya berdasarkan perspektif sosial budaya yang berlaku secara universal dan terhindarnya dari berbagai bentuk eksploitasi terhadap warga komunitas adat terpencil (Departemen Sosial RI, 2003). Dalam pelaksanaan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, tak jarang dijumpai beberapa permasalahan teknis di dalam pelaksanaan tugas pemberdayaan komunitas adat terpencil. Permasalahan tersebut antara lain: a. Lokasi keberadaan komunitas adat terpencil sulit dijangkau.
54
b. Alat transportasi menuju ke lokasi sangat terbatas. c. Belum optimalnya kesamaan persepsi instansi terkait dan masih terbatasnya pelaksanaan kerjasam antarsektoral. d. Anggaran yang tersedia masih terbatas. 2.5.2 Dasar Hukum Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Yang menjadi dasar hukum Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil antara lain : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal 18 B (2) : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beerta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; Pasal 27 : tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 28 1 (3) : Identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan perubahan; 2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5: Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakt yang rentan berjak memperoleh
perlakuan
dan
perlindungan
lebih
berkenaan
dengan
kekhususannya. 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004. Nomor 104). 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839).
55
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33). 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 2009 No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 4967). 7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara No. 5235). 8. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Mimimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4584). 9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4337). 10. Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 68 Lembaran Negara Nomor 5294). 11. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. 12. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 09 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (Berita Negara Republik Indoneisa Tahun 2012 Nomor 579).
56
13. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 129/ HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM) Bidang Sosial Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota. 14. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 111/Hukl2009 Tentang Indikator Kinerja Pembangunan Kesejahteraan Sosial. 15. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 184 Tahun 2011 tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial. 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. 17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal. 18. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. 19. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 06/PEGHUK/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 20. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 30/HUK/2010 Tentang Unit Kerja Percepatan dan Pengendalian Program Kementerian Sosial (UKP3KS) Tahun 2010. 21. Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Nomor 020.A/PS/KPTS/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 22. Keputusan
Direktur
Jenderal
Pemberdayaan
Sosial
Nomor
82/PS.4/KPTS/2009tentang Pola Kerjasana dan Keterpaduan Pemberdayaan. 23. Keputusan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Nomor 021/PS/KPTS/2002 tentang Pola Kerjasama Pengembangan Sosial Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil secara Terpadu.
57
2.5.3 Tahap Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil T-0 : Persiapan Prinsip-prinsip : 1. INFORMED; Data/informasi tersaji lengkap, jelas, aktual valid, akurat 2. FREE; Bebas dari tekanan, adanya kesadaran dan kemauan untuk berubah 3. PRIOR; Menyusun prioritas masalah dan kebutuhan nyata warga KAT 4. CONTRACT; Adanya kesepakatan dalam proses pemberdayaan Kegiatan-kegiatan : a. Pemetaan Sosial (PS); Identifikasi keberadaan KAT b. Penjajagan Awal (PA); Penentuan kategorisasi KAT c. Studi Kelayakan (SK); Identifikasi masalah dan kebutuhan warga KAT d. Penyusunan Rencana Program (PRP); Penyusunan rencana pemberdayaan e. Penyiapan Kondisi Masyarakat (PKM); Pemantapan warga dan calon lokasi T-1 : Pemukiman Baru Prinsip-prinsip : 1. Penetapan tipe pemukiman sesuai dengan kriteria-kriteria. 2. Memperhatikan fungsi-fungsi lingkungan . 3. Sistem zonasi pemukiman sosial . 4. Sustainable (TRIBINA; manusia, lingkungan, dan usaha ekonomi). Kegiatan-kegiatan : a. Penyuluhan interaksi sosial. b. Bimbingan Sosial Dasar (perorangan, kelompok, dan komunitas). c. Pelayanan (kesehatan, pendidikan, air bersih, MCK, adminduk, agama). d. Bantuan (perumahan, jaminan hidup, bibit lahan pekarangan, alat kerja).
58
T-2 : Pengembangan Pemukiman Prinsip-prinsip : 1. Penataan lingkungan dan komunitas 2. Diversifikasi usaha 3. Pembentukan embrio KUBE 4. Sustainable (TRIBINA; manusia, lingkungan, dan usaha ekonomi) Kegiatan-kegiatan : a. Penyuluhan jaringan hubungan sosial b. Bimbingan Sosial Pengembangan (perorangan, kelompok, dan komunitas) c. Pelayanan (kesehatan, pendidikan, air bersih, MCK, administrasi penduduk, agama) d. Bantuan (usaha kelompok, kelembagaan) (Kementerian Sosial, 2014).
2.5.4 Sasaran Program Kegiatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Adapun yang menjadi sasaran program pemberdayaan komunitas adat terpencil adalah: 1. Komunitas adat terpencil yang belum dan sedang diberdayakan. 2. Masyarakat di sekitar lokasi permukiman sosial. 3. Instansi terkait, lembaga sosial kemasyarakatan, perorangan (pakar, praktisi atau pemerhati) dan dunia usaha. Program kegiatan pemberdayaan komunitas adat terpencil dilakukan dalam lingkup: 1. Penataan perumahan dan permukiman, meliputi: a. Penataan pembangunan rumah sederhana.
59
b. Penataan pembangunan sarana lingkungan sosial yang dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi objektif setempat secara cermat. 2. Administrasi kependudukan meliputi: a. Pendataan penduduk. b. Pembuatan KTP. c. Pengenalan administrasi pemerintahan. 3. Kehidupan beragama meliputi: a. Pelayanan kerukunan kehidupan beragama. b. Bantuan paket-paket buku agama dan sarana-sarana kepercayaan masingmasing. 4. Pendidikan meliputi: a. Pendidikan dasar yang berbasisikan pengetahuan lokal. b. Kejar Paket A dan Kejar Paket B. c. Beasiswa bagi warga komunitas adat terpencil yang berkeinginan melanjutkan pendidikan formal. 5. Kesehatan meliputi pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan lingkungan (sanitasi). 6. Peningkataan pendapatan meliputi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan. 7. Kesejahteraan sosial meliputi: a. Penyuluhan dan Bimbingan Sosial b. Perlindungan hak-hak komunitas adat terpecil meliputi hak atas tanah, hak akan adat-istiadat, hak akan hukum adat. c. Bantuan/fasilitas pemberdayaan sumber daya manusia, usaha dan lingkungan sosial kemasyarakatan.
60
d. Pelayanan sosial yang meliputi penanganan masalah-masalah kesejahteraan sosial yang rentan dalam warga komunitas adat terpencil. e. Pengembangan organisasi lokal, jaringan kerja dan pranata adat meliputi: 1. Pemahaman tentang organisasi kelompok. 2. Pembuatan akses untuk kontak sosial dengan warga di luar komunitas adat terpencil. f. Penguatan ekonomi komunitas adat terpencil meliputi: 1. Pelatihan keterampilan dasar 2. Usaha ekonomis produktif g. Peningkatan peran perempuan komunias adat terpencil meliputi: 1. Pelibatan perempuan komunitas adat terpencil dalam proses kegiatan pembangunan di lokasi komunitas adat terpencil. 2. Penguatan kepada keikutsertaan perempuan komunitas adat terpencil dalam menentukan arah kegiatan yang dilaksanakan di lokasi komunitas adat terpencil. h. Generasi muda meliputi: 1. Pelatihan keterampilan berdasarkan kepada potensi yang ada. 2. Pelatihan kader pembangunan komunitas adat terpencil. 3. Pembentukan organisasi pemuda komunitas adat terpencil yang berorientasi kepada peningkatan usaha kesejahteraan sosial
61
2.5.5 Lokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Sumatera Utara Tabel 2.1 Rencana Lokasi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Provinsi Sumatera Utara di Tahun 2015
No.
Provinsi
Jumlah Lokasi PKAT
KET (KK)
1.
Sumatera Pemberdayaan Tahun I Utara 1. Lok. Dusun III Pansur Natolu, Ds. Dolok Pantis, Kec. Sorkam,
50
Kabupten Tapanuli Tengah Pemberdayaan Tahun II 1. Lok Huta Godang & Kumban Sihobuk, Ds. Liat Tondung, Kec.
50
Nassau, Kab. Toba Samosir 2. Lok. Huta Tinggi Saribu, Ds. Bahapal Raya, Kec. Raya, Kab.
40
Simalungun Sumber: Direktorat Pemberdayaan KAT, Kementerian Sosial RI, 2014
62
BBR
Tabel 2.2 Lokasi Komunitas Adat Terpencil Purna Bina Provinsi Sumatera Utara di Tahun 2015
No.
Provinsi
Jumlah
Tahun
Tahun
(KK)
Awal
Akhir
50
2013
2014
Lokasi PKAT
2 Lokasi Huta tonga-Tonga, Sumatera Desa Meranti Barat Kec. Silaen,
1. Utara
Kab. Tobasa. Sumber: Direktorat Pemberdayaan KAT, Kementerian Sosial RI, 2014.
2.6 Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara Dinas Kesejahteraan dan Sosial merupakan salah satu instansi pemerinthan yang menyelenggarakan Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Sumatera Utara. Perlu dikemukakan bahwa bidang tugas Departemen Sosial pada saat terbit PP. No. 5 Tahun 1958 adalah sebagai berikut: a. Research b. Rehabilitasi penyandang Cacat c. Urusan Korban Perang d. Urusan Perumahan e. Urusan Transmigrasi f. Urusan Bimbingan dan Perbaikan Sosial Adapun yang menjadi Visi dan Misi dari Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara adalah:
63
a. Meningkatkan pelayanan sosial bagi penyandang masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). b. Meningkatkan sumber daya manusia yang professional dalam bidang kesejahteraan sosial. c. Meningkatkan keterjangkauan dan mutu pelayanan sosial. d. Meningkatkan peran serta dan kepedulian masyarajat terhadap pelenggaraan pelayanan sosial dasar. e. Meningkatkan fasilitasi dan koordinasi pembangunan kesejahteraan sosial. f. Melestarikan fasilitas dan koordinasi pembangunan kesejahteraan sosial. g. Melestarikan nilai-nilai keperintisan, kepahlawanan dan kejuangan. h. Meningkatkan upaya pengurangan resiko bencana.
2.7 Kerangka Pemikiran Pemerintah menunjukkan perhatian dan komitmen dalam hal pemerataan pembangunan di Indonesia salah satunya lewat program pemberdayaan komunitas adat terpencil. Program ini ditujukan bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil dan tertinggal. Kondisi komunitas adat terpencil yang memprihatinkan memunculkan usaha-usaha peningkatan taraf hidup yang digagas dalam sebuah program pemberdayaan. Gagasan akan program ini muncul dengan tujuan menumbuhkembangkan kemandirian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Dinas Kesejahteraan dan Sosial selanjutnya menjadi perpanjangan tangan pemerintah sebagai satu-satunya instansi pelaksana program pemberdayaan komunitas adat terpencil. Walaupun begitu Dinas Kesejahteraan dan Sosial tidak bekerja sendiri. Mereka juga menggandeng pemerintah daerah setempat dalam
64
proses pelaksanaannya karena pemerintah daerah dinilai lebih paham akan kebutuhan dan masalah yang dihadapi warganya. Kabupaten Toba Samosir terpilih menjadi salah satu lokasi pemberdayaan komunitas adat terpencil di Sumatera Utara. Sejak tahun 2013 pemerintah provinsi Sumatera Utara sudah melaksanakan proses pemberdayaan dan berakhir pada tahun 2014 silam. Program pemberdayaan komunitas adat terpencil bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial warganya dengan terlebih dahulu memberdayakan segala aspek kehidupan dan penghidupan yang mereka punya. Dengan sumber daya alam dan potensi kearifan lokal yang dimiliki, diharapkan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan komunitas adat terpencil meningkat, hak-hak komunitas adat terpencil terlindungi serta meningkatnya kemitraan dengan masyarakat diluarnya. Dalam Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung Jawab Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Permensos menegaskan pentingnya Peran Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan Pembangunan Kesejahteraan Sosial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 mengenai Program Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha yang dilaksanakan dengan memprioritaskan salah satu program yang meliputi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Pada awalnya perusahaan-perusahaan hanya memperhatikan aspek ekonomi perusahaan yaitu pencapaian keuntungan yang sebesar-besarnya. Kecenderungan ini memunculkan berbagai akibat negatif terhadap lingkungan fisik maupun kehidupan sosial, khususnya kehidupan masyarakat setempat. Sebahagian kecil daripada perusahaan menghadapi masalah dengan masyarakat setempat, dalam bentuk penolakan dan perlawanan terhadap tingkah
65
laku dan tindakan perusahaan, tetapi tidak terlalu berarti. Menghadapi masalah tersebut, perusahaan melakukan perubahan, yakni dengan mulai menampilkan sikap kemurahan hati dan melakukan aktifitas yang bersifat kedermawanan sosial. Aktifitas tersebut ternyata tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada perkembangan selanjutnya aktifitas kedermawanan sosial dipengaruhi berbagai konsep dan isu seperti pengelolaan perusahaan yang baik, pembangunan berkelanjutan, tujuan pembangunan milenium, tiga garis dasar dan pendirian organisasi standar internasional. Berbagai konsep dan isu tersebut menuntut perubahan dalam kebijakan dan program perusahaan terhadap masyarakat setempat, yaitu tidak hanya sekadar kedermawanan sosial, tetapi suatu program khusus yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan secara profesional sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Aktivitas tersebut kemudian dikenal dengan istilah tanggungjawab sosial perusahaan. PT. Toba Pulp Lestari dan PT. Indonesia Aquafarm Nusantara merupakan sebuah perusahaan yang turut serta dalam melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan diwujudkan dengan berbagai bentuk program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung Jawab Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, diperlukan peran tanggung jawab sosial perusahaan dalam percepatan pemberdayaan komunitas adat terpencil di Kabupaten Toba Samosir. Oleh karena itu, dalam mendukung percepatan pemberdayaan KAT di Kabupatem Toba Samosir diperlukan optimalisasi peran tanggung jawab sosial perusahaan.
66
BAGAN ALUR PEMIKIRAN
Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara
Perusahaan-Perusahaan Besar di Kabupaten Tobasa
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)
Program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
Optimalisasi Peran CSR dalam Percepatan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
Indikator Optimalisasi Peran CSR dalam Percepatan Pemberdayaan KAT. 1. Koordinasi perusahan-perusahan. 2. Pemetaan perusahaan-perusahaan pemberi CSR dan Pengklusterannya berdasarkan dampak yang dihasilkan dan usaha kerja perusahaan. 3. Perencanaan arahan pembiayaan Pemberdayan KAT dengan menggunakan dana CSR.
67
2.8 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional 2.8.1 Defenisi Konsep Defenisi konsep merupakan sejumlah pengertian atau ciri-ciri yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, obyek, kondisi, situasi dan hal-hal lain yang sejenis. Konsep diciptakan dengan mengelompokkan obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan meyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian (Silalahi, 2009: 112). Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan obyek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan peneliti harus menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai batasan arti. Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138). Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah: a.
Optimalisasi dalam penelitian ini adalah sebuah suatu proses meninggikan atau meningkatkansuatu pekerjaan untuk mencapai hasil yang ideal.
b.
Tanggung jawab sosial perusahaan dalam penelitian ini adalah komitmen dari pelaku usaha untuk memberikan perhatian terhadap pemberdayaan komunitas adat terpencil dan kesejahteraan warga komunitas adat terpencil di Kabupaten Toba Samosir serta ikhlas menyisihkan sebagian dari hasil usahanya untuk membiayai dan secara langsung atau tidak langsung melakukan program pemberdayan komunitas adat terpencil kesejahteraan masyarakat setempat.
68
yang bermanfaat bagi peningkatan
c.
Pemberdayaan komunitas adat terpencil dalam penelitian ini adalah salah satu bentuk kepedulian dan komitmen pemerintah dalam mempercepat proses pembangunan pada mereka yang masih belum tersentuh proses pembangunan nasional yang umumnya berada pada daerah-daerah yang sulit dijangkau
d.
Kabupaten Toba Samosir dalam penelitian ini adalah lokasi pemberdayaan komunitas adat terpencil di Sumatera Utara dan lokasi perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan.
2.8.2 Defenisi Operasional Perumusan defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Defenisi operasional sering disebut sebagai proses operasionalisasi konsep. Operasionalisasi konsep berarti menjadikan konsep yang semula bersifat statis menjadi dinamis. Defenisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel dapat diukur (Siagian, 2011: 141). Adapun yang menjadi indikator dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Koordinasi perusahan-perusahan. 2. Pemetaan
perusahaan-perusahaan
pemberi
CSR
dan
pengklusterannya
berdasarkan dampak yang dihasilkan dan usaha kerja perusahaan. 3. Perencanaan arahan pembiayaan Pemberdayan KAT dengan menggunakan dana CSR.
69