BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Beban Kerja
2.1.1 Pengertian Beban Kerja Menurut Moekijat (2004) beban kerja adalah volume dari hasil kerja atau catatan tentang hasil pekerjaan yang dapat menunjukan volume yang dihasilkan oleh sejumlah pegawai dalam suatu bagian tertentu. Jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu atau beban kerja dapat dilihat pada sudut pandang obyektif dan subyektif. Secara obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan. Sedangkan beban kerja secara subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pernyataan tentang perasaan kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2004). Pengertian beban kerja dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu secara subyektif dan obyektif. Beban kerja secara obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan. Beban kerja subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pertanyaan tentang beban kerja yang diajukan, tentang perasaan kelebihan jam kerja, ukuran dan tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja (Marquis dan Huston, 2004). Menurut Caplan & Sadock (2006) beban kerja sebagai sumber ketidakpuasan disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif. Kelebihan beban kerja secara kuantitatif meliputi:
8
9
1) Harus melakukan observasi penderita secara ketat selama jam kerja. 2) Terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan keselamatan penderita. 3) Beragam jenis pekerjaan yang dilakukan demi kesehatan dan keselamatan penderita. 4) Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama 24 jam. 5) Kurangnya tenaga perawat dibanding jumlah penderita. Sedangkan beban kerja secara kualitatif mencakup: 1) Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan. 2) Tuntutan keluarga untuk kesehatan dan keselamatan penderita. 3) Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkwalitas. 4) Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat. 5) Tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan klien di ruangan. 6) Menghadapi pasien yang karakteristik tidak berdaya, koma, kondisi terminal. 7) Setiap saat melaksanakan tugas delegasi dari dokter. Beban kerja adalah jumlah pekerjaan yang
harus diselesaikan oleh
sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu dan sebagai sumber ketidakpuasan disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif (Caplan & Sadock, 2006). Sedangkan menurut Gde Wedayana (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “hubungan beban kerja perawat dengan penerapan dokumentasi proses asuhan keperawatan di Ruang Medical Surgical RSUP Sanglah Denpasar” menyebutkan bahwa beban kerja perawat adalah
10
kegiatan atau aktifitas yang dilakukan perawat sesuai dengan jenis pekerjaan dan beratnya pekerjaan dalam satuan waktu tertentu yang meliputi : time load, mental effort load, dan psychological stress load yang ditentukan berdasarkan kriteria pada tabel SWAT.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada sebuah unit pasien tertentu, manajer harus mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi beban kerja diantaranya (Caplan & Sadock, 2006); 1) Berapa banyak pasien yang dimasukkan ke unit perhari, bulan atau tahun 2) Kondisi pasien di unit tersebut 3) Rata-rata pasien menginap 4) Tindakan perawatan langsung dan tidak langsung yang akan dibutuhkan oleh masing-masing pasien 5) Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus dilakukan 6) Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan masing-masing tindakan perawatan langsung dan tak langsung
2.1.3 Prosedur Penghitungan Beban Kerja Menurut Asri (2006), menyebutkan bahwa secara terperinci prosedur perhitungan beban kerja tenaga dokter dan perawat dapat dibagi seperti langkahlangkah sebagai berikut : 1.
Mempersiapkan peralatan yang dipakai dalam perhitungan beban kerja. Alat utama yang dipakai adalah :
a. Stop watch yaitu alat mengukur waktu
11
b. Alat tulis yang digunakan untuk membuat catatan yang akan berguna dalam pengukuran 2.
Menetapkan metode kerja yang akan digunakan dalam perhitungan beban kerja terutama menetapkan metode standar seperti menyiapkan susunan tempat kerja yang akan diteliti, peralatan dan lain-lain.
3.
Memilih pekerja yang tepat, berpengalaman dan terlatih dalam bidangnya atau disebut sebagai pekerja normal
4.
Menyiapkan perlengkapan peralatan sehingga pengukuran tidak akan berhenti di tengah jalan
5.
Memperhatikan dan mencatat actual time (waktu nyata) setiap pekerjaan
6.
Menghitung waktu normal
7.
Menetapkan waktu cadangan (allowance)
8.
Menetapkan waktu standar
2.1.4 Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Seperti kita ketahui perawat merupakan proporsi tenaga yang paling besar di rumah sakit, diperkirakan sekitar 70% personel adalah perawat (Ilyas, 2004). Dengan dominannya jumlah perawat di rumah sakit , sejumlah peneliti, praktisi, dan asosiasi telah melakukan riset untuk dapat menghitung tenaga perawat dengan mengembangkan formula khusus untuk menghitung kebutuhan tenaga perawat. 1.
Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Gillies Menurut Gilles (1994), membagi tindakan keperawatan menjadi tindakan
keperawatan langsung, tidak langsung, dan penyuluhan kesehatan. Arti umum keperawatan langsung adalah perawatan yang diberikan anggota staf keperawatan
12
secara langsung kepada pasien tersebut dan perawatan tersebut dihubungkan secara khusus kepada kebutuhan fisik dan psikologisnya. Perawatan tidak langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama pasien tetapi di luar kehadiran pasien yang berhubungan kepada lingkungan pasien atau keberadaan finansial dan kesejahteraan sosial si pasien, perawatan tidak langsung termasuk kegiatan seperti perencanaan perawatan, penghimpunan peralatan dan perbekalan, diskusi dengan anggota tim kesehatan lain, penulisan dan pembacaan catatan kesehatan pasien, pelaporan kondisi pasien kepada rekan kerja, dan menyusun sebuah rencana bagi perawatan pasien. Pengajaran kesehatan mencakup semua usaha oleh anggota staf keperawatan untuk memberitahu, dan memotivasi pasien dan keluarganya menyangkut perawatan setelah keluar dari rumah sakit.
2.
Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Illyas Ilyas (2004) mengkatagorikan tindakan keperawatan sebagai berikut :
1) Kegiatan langsung : semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien, anamnesa pasien, mengukur tanda vital, menolong BAB/BAK, merawat luka, mengganti balutan, mengangkat jahitan, kompres, memberi suntikan/obat/imunisasi, penyuluhan kesehatan 2) Kegiatan tidak langsung : setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat yang berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung dengan pasien, seperti : menulis rekam medik, mencari kartu rekam medis pasien, meng update data rekam medis, dokumentasi asuhan keeprawatan.
13
3) Kegiatan tambahan : kegiatan pribadi yaitu semua kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan perawat yang diamati seperti makan, minum, pergi ke toilet: maupun bagian atau organisasi rumah sakit seperti menginput harga obat, ngamparah obat. Untuk menghitung beban kerja bukan sesuatu yang mudah. Selama ini kecenderungan kita dalam mengukur beban kerja berdasarkan keluhan dari personel bahwa mereka sangat sibuk dan menuntut diberikan waktu lembur (Ilyas, 2004). Sedangkan untuk menghitung beban kerja personel menurut Ilyas (2004) ada tiga cara yang dapat digunakan yaitu : 1) Work Sampling Tehnik ini dikembangkan pada dunia industri untuk melihat beban kerja yang dipangku oleh personil pada suatu unit, bidang ataupun jenis tenaga tertentu. Pada work sampling kita dapat mengamati sebagai berikut : a) Aktifitas yang sedang dikerjakan personil pada jam kerja b) Kaitan antara aktifitas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja c) Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak produktif d) Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja. Langkah-langkah yang dilakukan dalam work sampling adalah sebagai berikut : a)
Menentukan jenis personil yang diteliti
14
b) Melakukan pemilihan sample bila jumlah personil banyak. Dalam tahap ini dilakukan simple random sampling untuk mendapatkan presentasi populasi perawat yang akan diamati. c)
Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan produktif dan tidak produktif dapat dan
juga kegiatan
langsung yang berkaitan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak langsung. d) Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian. e)
Mengamati kegiatan perawat dilakukan dengan interval 2-15 menit tergantung kebutuhan peneliti
f)
Pada work sampling yang diamati adalah kegiatan dan penggunaan waktunya, tanpa memperhatikan kualitas kerjanya (Ilyas, 2004).
2) Study Time and Motion Tehnik ini dilaksanakan dengan mengamati secara cermat kegiatan yang dilakukan oleh personil yang sedang diamati. Pada time and motion study, kita juga dapat mengamati sebagai berikut : a) Aktifitas yang sedang dikerjakan personil pada jam kerja b) Kaitan antara petugas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja. c)
Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak produktif.
d) Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam time and motion study adalah sebagai berikut :
15
a) Menentukan jenis personil yang diteliti. b) Menentukan sampel dari perawat yang akan diteliti dengan cara purposive sampling c) Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan produktif atau tidak produktif dapat juga kegiatan langsung yang berkaiatan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak langsung. d) Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian. e) Pengamatan dapat dilakukan selama 24 jam (3 shift) secara terus menerus, bagaiman perawat
melakukan aktivitasnya dan bagaimana kualitasnya
menjadi faktor penting dalam time and motion study. Kualitas kerja dapat dilihat dari kesesuian antara kegiatan yang dilakukan dengan standar profesi (Ilyas, 2004). 3) Daily Log Daily log merupakan bentuk sederhana dari work sampling, dimana orangorang yang diteliti menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk kegiatan tersebut. Penggunaan tehnik ini sangat tergantung pada kerjasama dan kejujuran dari personel yang diteliti. Dengan meggunakan formulir kegiatan dapat dicatat jenis kegiatan, waktu, dan lamanya kegiatan dilakukan.
3.
Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Menurut Douglas Menurut Douglas (dalam Potter dan Perry, 2005) tentang jumlah tenaga
perawat di rumah sakit didapatkan jumlah perawat yang dibutuhkan pada pagi, sore, dan malam tergantung pada tingkat ketergantungan pasien. Tingkat ketergantungan pasien diklasifikasikan berdasarkan teori Dorothea Orem. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap
16
orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri) (Potter dan Perry, 2005). Klasifikasi tingkat ketergantungan pasien berdasarkan teori D. Orem (Nursalam, 2008) yaitu: 1) Minimal Care : a) Mampu naik turun tempat tidur b) Mampu ambulasi dan berjalan sendiri c) Mampu makan dan minum sendiri d) Mampu mandi sendiri/mandi sebagian dengan bantuan e) Mampu membersihkan mulut (sikat gigi sendiri) f) Mampu berpakaian dan berdandan dengan sedikit bantuan g) Mampu BAK dan BAB dengan sedikit bantuan h) Status psikologi stabil i) Pasien dirawat untuk prosedur diagnostic j) Operasi ringan 2) Partial Care a) Membutuhkan bantuan satu orang untuk naik turun tempat tidur b) Membutuhkan bantuan untuk ambulasi atau berjalan c) Membutuhkan bantuan dalam menyiapkan makanan d) Membutuhkan bantuan untuk makan atau disuap e) Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut f) Membutuhkan bantuan untuk berpakaian dan berdandan g) Membutuhkan bantuan untuk BAB dan BAK (tempat tidur/kamar mandi)
17
h) Pasca operasi minor (24 jam) i) Melewati fase akut dari pasca operasi mayor j) Fase awal dari penyembuhan k) Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam l) Gangguan emosional ringan 3) Total Care a) Membutuhkan dua orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat tidur b) Membutuhkan latihan pasif c) Kebutuhan nutrisi dan cairan dipenuhi melalui terapi intravena atau NGT d) Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut e) Membutuhkan bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan f) Dimandikan perawat g) Dalam keadaan inkontinensia, menggunakan kateter h) Keadaan pasien tidak stabil i) Perawatan kolostomi j) Menggunakan WSD k) Menggunakan alat traksi l) Irigasi kandung kemih secara terus menerus m) Menggunakan alat bantu respirator n) Pasien tidak sadar Menurut Douglas (dalam Ilyas, 2004) mengklasifikasikan ketergantungan pasien berdasarkan standar waktu pelayanan pasien rawat inap sebagai berikut :
18
a)
Keperawatan Mandiri (Self care) : 1-2 jam/hari dimana pasien masih mampu melakukan pergerakan atau berjalan, makan, mandi maupun eleminasi tanpa bantuan. Bantuan hanya diberikan terhadap tindakan khusus.
b) Keperawatan Sebagian (Partial Care) : 3-4 jam/hari dimana pasien masih punya kemampuan sebagian tetapi untuk melakukan pergerakan secara penuh seperti berjalan, bangun, makan, mandi dan eleminasi perlu dibantu oleh seorang perawat. c)
Keperawatan Total (Total Care) : 5-7 jam/hari dimana pasien memerlukan bantuan secara penuh, atau tingkat ketergantungan pasien terhadap perawat sangat tinggi, seperti pasien yang tidak sadar, atau yang sangat lemah dan tidak mampu melakukan pergerakan, mandi dan eleminasi perlu dibantu dan pada umumnya memerlukan dua perawat.
Tabel 2.1 Jumlah Tenaga Keperawatan Berdasarkan Klasifikasi Ketergantungan Pasien Waktu Klasifikasi
Kebutuhan
Perawat
Pagi
Perawat Sore
Minimal
0,17
0,14
0,07
Intermediate
0,27
0,15
0,10
Maksimal
0,36
0,30
0,20
Malam
Douglas (dalam PPE, 2004)
4.
Subjective Workload Assessment Technique ( SWAT ) Metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) pertama kali dikembangkan oleh Gary Reid dari Divisi Human Engineering pada Armstrong Laboratory, Ohio USA digunakan analisis beban kerja yang dihadapi oleh seseorang yang harus melakukan aktivitas baik yang merupakan beban kerja fisik maupun mental yang bermacam-macam dan muncul akibat meningkatnya
19
kebutuhan akan pengukuran subjektif yang dapat digunakan dalam lingkungan yang sebenarnya (real world environment). Dalam penerapannya SWAT akan memberikan penskalaan subjektif yang sederhana dan mudah dilakukan untuk mengkuantitatifkan beban kerja dari aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja. SWAT akan menggambarkan sistem kerja sebagai model multi dimensional dari beban kerja, yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time load), beban mental (mental effort load), dan beban psikologis (psychological stress load). Masing-masing terdiri dari 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Sritomo,2007). Yang dimaksud dengan dimensi secara definisi adalah sebagai berikut : 1) Time Load : adalah yang menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas. Beban waktu rendah, beban waktu sedang, beban waktu tinggi) 2) Mental Effort Load : adalah menduga atau memperkirakan seberapa banyak usaha mental dalam perencanaan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas (beban usaha mental rendah, beban usaha mental sedang, beban usaha mental tinggi) 3) Psychological Stress Load : adalah mengukur jumlah resiko, kebingungan, frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau penampilan tugas (Beban tekanan psikologis rendah, beban tekanan psikologis sedang, beban tekanan psikologis tinggi). Prosedur penerapan metode SWAT terdiri dari 2 tahapan, yaitu tahap penskalaan (scale development) dan tahap penilaian (event scoring). Pada langkah pertama 27 kombinasi tingkatan tingkatan beban kerja mental diurutkan dengan
20
dari 27 kartu kombinasi dari urutan beban kerja terendah sampai dengan beban kerja tertinggi, menurut persepsi masing-masing pekerja. Dalam pengurutan kartu tersebut tidak ada suatu aturan mana yang benar atau yang salah. Dalam hal ini pengurutan kartu yang benar adalah yang dilakukan menurut intuisi dan preferensi yang dipahami oleh responden. Dari hasil pengurutan kemudian ditransformasikan ke dalam sebuah skala interval dari beban kerja dengan range 0-100 (dapat dilihat pada tabel 2.2). Pada kedua tahap penilaian sebuah aktivitas atau kejadian akan dinilai dengan menggunakan rating 1-3 (rendah, sedang dan tinggi) untuk setiap tiga dimensi atau faktor yang ada. Nilai skala yang berkaitan dengan kombinasi tersebut yang dapat dari tahap penskalaan kemudian dipakai sebagai beban kerja untuk aktivitas yang bersangkutan (Wignjosoebroto, 2007). Hasil dari konversi ini maka dapat diketahui beban kerja masing-masing pekerja, adapun kategori beban kerja dari masing-masing pekerja adalah sebagai berikut ; 1) Beban kerja rendah ratingnya berada di nilai 40 ke bawah 2) Beban kerja sedang jika ratingnya berada pada nilai 41 sampai 60 3) Beban kerja tinggi jika nilai SWAT ratingnya berada di nilai 61 sampai 100.
Menurut Zadry (2007), pengukuran beban kerja dengan metode SWAT dapat digunakan pada dunia penerbangan, sektor industri, seperti pada pabrikpabrik tekstil, pabrik-pabrik (perakitan) kendaraan bermotor, perusahaan penyedia jasa, dan pabrik-apbrik (perusahaan) yang memerlukan tingkat kecermatan yang tinggi, sektor perhubungan, seperti untuk meneliti tingkat beban kerja bagi para pengemudi bus jarak jauh atau para masinis kereta api.
21
Selain itu Zadry (2007), juga mengungkapkan tentang cara pelaksanaan SWAT sebagai berikut : 1) Memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pengukuran kepada subjek (orang) yang akan diteliti. 2) Memberikan kartu SWAT sebanyak 27 kartu yang harus diurutkan oleh subjek menurut urutan kartu yang menyatakan kombinasi workload yang terendah hingga tertinggi menurut persepsi ataupun intuisi dari tiap subjek. 3) Melakukan pencatatan urutan kartu yang dibuat oleh subjek, kemudian di‘download’ di computer-program SWAT sehingga didapatkan nilai dari SWAT score untuk tiap subjek. 4) Berdasarkan
nilai-nilai
SWAT
tersebut,
komputer
mengkonversikan
performansi kerja dari subjek tersebut dengan nilai kombinasi dari beban kerjanya (workload), yang terdiri dari : a) Time Load (T) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3). b) Mental Effort Load (E) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3). c) Psychological Stress Load (S) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3). Bila nilai konversi dari SWAT scale terhadap SWAT rating berada < 40, maka performansi kerja subjek tersebut berada pada level optimal. Bila SWAT rating-nya berada antara 40-100, maka beban kerjanya (workload) tinggi, artinya subjek pada saat itu tidak bisa diberikan jenis pekerjaan tambahan lain. 5) Meng-assess pekerjaan kepada subjek, kemudian ditanyakan apakah pekerjaan yang sedang dilakukan pada saat tersebut beban kerjanya (kombinasi dari Time Load, Mental Effort, dan Stress Load) dikategorikan
22
sebagai pekerjaan dengan beban kerja rendah (1), menengah (2), atau tinggi (3) menurut yang bersangkutan. 6) Ulangi kembali langkah 4 untuk melihat apakah pekerjaan tersebut termasuk ke dalam kategori beban kerja rendah atau beban kerja tinggi, sehingga dapat diantisipasi langkah selanjutnya.
2.2 Keselamatan Pasien 2.2.1 Pengertian Menurut Depkes (2006) mendefinisikan keselamatan pasien ( patient safety ) rumah sakit sebagai suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman bagi pasien (Dep.Kes. R.I., 2006). Keselamatan pasien merupakan suatu system untuk mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Tim KP-RS RSUP Sanglah Denpasar, 2011). Taylor, et al. (1993) mengungkapkan bahwa keperawatan merupakan profesi yang berfokus kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien mencapai kesehatannya secara optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan mengedepankan keselamatan. Perawat harus memiliki kesadaran akan adanya potensi bahaya yang terdapat di lingkungan pasien melalui pengidentifikasian bahaya yang mungkin terjadi selama berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh, karena keselamatan pasien dan pencegahan terjadinya cedera merupakan salah satu tanggung jawab perawat selama pemberian asuhan keperawatan berlangsung.
23
Isu mengenai keselamatan pasien
dalam keperawatan sebenarnya bukan
merupakan suatu hal yang baru. Pada setiap diri siswa perawat sudah sejak dini ditanamkan pentingnya memberikan pelayanan keperawatan yang aman sebagai wujud tanggung jawabnya. Taylor, et al. (1993) menjelaskan bahwa dalam memberikan pelayanan keperawatan yang aman, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan pada pasien, antara lain tahapan tumbuh kembang pasien, gaya hidup yang dianut pasien, mobilitas, persepsi sensori, pengetahuan, kemampuan untuk berkomunikasi, status kesehatan pasien dan status psikososial.
2.2.2
Indikator Keselamatan Pasien
Laporan IOM tahun 1999 menyangkut masalah keselamatan pasien yang menghebohkan dunia kesehatan mendorong banyak pihak berupaya melakukan hal untuk memperbaiki kualitas pelayanan terutama yang berhubungan dengan keselamatan pasien. Mulai dari mendefinisikan secara tepat apa itu keselamatan pasien sampai merumuskan apa yang seharusnya diukur sebagai indikator. Walau telah banyak penelitian yang dilakukan dan banyak agensi maupun lembaga yang berupaya untuk mengembangkan alat ukur yang tepat dalam mengevaluasi kualitas dan keamanan dalam pemberian perawatan, sampai dengan saat ini hasilnya masih sulit untuk dinilai validitasnya dan biasanya dilakukan pada populasi yang terbatas sehingga hasilnya sulit untuk digeneralisasi (Berenholtz dan Pronovost, 2007). .
Para peneliti dalam bidang keperawatan berusaha mengembangkan
indikator mutu pelayanan keperawatan yang potensial bersifat sensitif terhadap staffing. Needleman, et al. (2006) melakukan penelitian mengenai staffing dan
24
adverse outcomes. Pada penelitian tersebut dilakukan analisis regresi untuk mengetahui hubungan variabel-variabelnya dan ditemukan adanya hubungan antara (1) lama tinggal/ lengths-of-stay , infeksi saluran kemih, pneumonia yang diperoleh di rumah sakit, perdarahan saluran pencernaan atas, renjatan, atau henti jantung pada pasien-pasien penyakit dalam, dan (2) failure to rescue , yang didefinisikan sebagai kematian pasien yang disebabkan oleh salah satu komplikasi yang mengancam kehidupan yaitu pneumonia, renjatan atau henti jantung, perdarahan saluran pencernaan atas, sepsis atau thrombosis vena dalam pada pasien-pasien bedah. Penelitian yang dilakukan oleh Hickam, et al. (2003) terhadap 115 literatur mengenai pengaruh kondisi beban kerja terhadap insiden keselamatan pasien menemukan bahwa kejadian merugikan yang paling sering dialami oleh pasien adalah ulkus dekubitus, infeksi yang diperoleh di rumah sakit dan pasien jatuh. Kesemua literatur mengemukakan bahwa kejadian merugikan yang dialami pasien berhubungan dengan kurangnya jumlah tenaga perawat. Sedangkan Stanton dan Rutherford (2004) mengemukan beberapa kejadian merugikan yang paling sering dialami oleh pasien sebagai akibat dari kurangnya jumlah perawat (nurse sensitive patient outcomes) antara lain pneumonia, perdarahan saluran pencernaan atas, shock/henti jantung, infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus dan failure to rescue. Indikator mutu layanan keperawatan yang sensitif terhadap staffing pada saat ini secara terus menerus dikembangkan. Banyak lembaga yang berupaya membuat indikator mutu, namun banyak dari indikator tersebut kurang mencerminkan pengaruh pelayanan keperawatan terhadap keselamatan pasien, karena hanya dianggap sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan (ANA, 1995; Institute of
25
Medicine , 1999, 2001, 2005; Joint Commision , 2007 dalam Montalvo, 2007). Mulai tahun 2007, WHO Collaborating Center For Patient Safety berupaya menetapkan
Sembilan
Solusi
keselamatan
pasien
untuk
mempermudah
pendeteksian terjadinya masalah pada keselamatan pasien di Rumah Sakit, yaitu : (1) Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names). (2) Pastikan Identifikasi pasien, (3) Komunikasi secara benar saat serah terima pasien, (4) Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar, (5) Kendalikan cairan elektrolit pekat, (6) Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan, (7) Hindari salah cateter dan salah sambung gelamng, (8) Gunakan alat injeksi sekali pakai, dan (9) Tingkatkan kebersihan tangan unuk pencegahan infeksi nosokomial.
2.2.3
Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga
oleh
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International(JCI). RSUP Sanglah Denpasar merupakan Rumah Sakit pendidikan Tipe A dengan sumber manusia (dokter, perawat, dan lain-lain) yang cukup dan telah mempunyai berbagai peralatan canggih yang memadai dan telah terakreditasi Joint Commission International(JCI) (Tim KP-RS RSUP Sanglah Denpasar,2011)
26
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh. Menurut Tim KP-RS RSUP Sanglah Denpasar (2011) terdapat enam sasaran keselamatan pasien yang menjadi prioritas gerakan keselamatan pasien. Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut : a.
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/meningkatkan
ketelitian identifikasi pasien. Maksud dan Tujuan Sasaran I Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien
yang dalam
keadaan terbius/tersedasi,
mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan
dan/atau
prosedur
yang
secara
kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya
27
pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi. Elemen Penilaian Sasaran I 1)
Pasien diidentifikasi menggunakan gelang identitas sedikitnya dua identitas pasien, Nama dan tanggal lahir atau nomer RM.
2)
Pasien diidentifikasi dengan warna gelang, biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan, merah untuk alergi dan kuning untuk risiko jatuh
3)
Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
4)
Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.
5)
Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.
28
b.
Sasaran II : Peningkatan Komunikasi yang Efektif Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas
komunikasi antar para pemberi layanan. Maksud dan Tujuan Sasaran II Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk : mencatat (atau memasukkan ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh
penerima
perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU. Elemen Penilaian Sasaran II 1)
Melakukan ‘READ BACK’ pada saat menerima order lisan atau menerima intruksi lewat telepon dan pasang stiker ’SIGN HERE’ sebagai pengingat dokter harus tanda tangan.
29
2)
Menggunakan metode komunikasi SBAR saat melaporkan pasien kritis, melaksanakan serah terima pasien antara shift (hand off) dan melaksanakan serah terima pasien antar ruangan dengan menggunakan singkatan yang telah ditentukan.
c.
Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki
keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Maksud dan Tujuan Sasaran III Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event),
obat
yang
berisiko
tinggi
menyebabkan
dampak
yang
tidak
diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2 meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan
30
gawat
darurat.
mengeliminasi pengelolaan
Cara kejadian
obat-obat
yang
paling
tersebut yang
efektif
adalah
perlu
untuk
dengan
diwaspadai
mengurangi
meningkatkan termasuk
atau proses
memindahkan
elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan
suatu
kebijakan
dan/atau prosedur
untuk
membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja
yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di
IGD atau kamar
operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hati-hati. Elemen Penilaian Sasaran III 1)
Sosialisasi dan waspada obat Look Like dan Sound Alike (LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip (NORUM)
2)
Menerapkan DOUBLE CHECK dan COUNTER SIGN setiap distribusi dan pemberian obat.
3)
Menerapkan agar Obat HIGH ALERT berada di tempat yang aman
4)
Menjalankan Prinsip 8 Benar untuk pendelegasian Obat (Benar Instruksi Medikasi, Benar Pasien, Benar Obat, Benar Masa Berlaku Obat, Benar Dosis, Benar Waktu, Benar Cara, dan Benar Dokumentasi).
d.
Sasaran IV : Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi
31
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat- pasien. Maksud dan Tujuan Sasaran IV Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah sesuatu yang menkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara
anggota
tim
bedah,
kurang/tidak
melibatkan
pasien
di
dalam
penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan
ulang
catatan
medis
tidak
adekuat,
budaya
yang
tidak
mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator/orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi
32
(laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk: memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar; memastikan
bahwa
semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant2 yang dibutuhkan. Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist. Elemen Penilaian Sasaran IV 1)
Memberi Tanda Spidol Skin Marker pada sisi operasi (Surgical Site Marking) yang tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan libatkan pasien dalam hal ini (Informed Consent)
e.
Sasaran V : Mengurangi Risiko Infeksi Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Maksud dan Tujuan Sasaran V Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi
yang
berhubungan
dengan
pelayanan
kesehatan
merupakan
keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan.
33
Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat
dari
eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit. Elemen Penilaian Sasaran V 1)
Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Hand Hygiene Five Moment.
2)
Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan training cuci tangan efektif.
3)
Memberikan tanggal setiap melakukan prosedur invasif (infuse, dower cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)
f.
Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko
pasien dari cedera karena jatuh. Maksud dan Tujuan Sasaran VI Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko
34
pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit. Elemen Penilaian Sasaran VI 1)
Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien.
2)
Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jatuh.
3)
Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna kuning dan kode jatuh
2.3 Hubungan Antara Beban Kerja dengan Keselamatan Pasien Beban kerja yang dialami oleh perawat dapat menimbulkan beberapa pengaruh yang kurang baik. Trinkoff, et al. (2008) menyatakan bahwa jadwal dinas yang memanjang dan meningkatnya kecepatan kerja yang diikuti oleh tuntutan fisik dan psikologis berhubungan dengan cidera dan kelainan pada muskuloskeletal seperti cidera punggung. Vahey, et al. (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh lingkungan kerja terhadap kejenuhan
yang
dirasakan oleh perawat dan keinginan untuk berpindah karier di 40 rumah sakit negara bagian Pennsylvania, AS. Ia menemukan adanya pengaruh yang sangat kuat lingkungan kerja yang kurang memadai (dinilai dari segi rasio perawat dengan pasien, dukungan administratif, dan hubungan perawat dengan dokter) dengan kejenuhan yang dialami oleh perawat dan keinginan mereka untuk berganti karier.
35
Dalam penelitian Shinta Prawitasari (2009) yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang beban kerja perawat pelaksana dengan keselamatan pasien di Rumah Sakit Husada Jakarta didapatkan sampel yang berjumlah 93 data dinas perawat pelaksana dan 93 dokumen rekam medik. Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap unit penyakit dalam dan unit bedah kelas I – II. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan pengumpulan data secara restrospective, descriptive cross sectional terhadap data administratif rumah sakit khususnya data dinas perawat pelaksana dan data pasien pulang rawat inap. Penelitian ini menyimpulkan bahwa beban kerja perawat pelaksana tinggi, masih ada masalah keselamatan pasien yang buruk dan terdapat hubungan yang bermakna antara beban kerja perawat pelaksana dengan keselamatan pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Padilha, et al. (2007) pada 200 pasien di 4 rumah sakit swasta di Sao Paulo, Brazil menemukan bahwa angka skor aktivitas perawat (nurse activity score/NAS) yang tinggi
berhubungan dengan lama
tinggal/Length of Stay ( p-value : 0.015) dan kematian pasien (p-value : 0.006). Studi yang dilakukan oleh Rothberg, et al. (2005) di Amerika mengenai biaya yang paling efektif (cost-effective) terhadap rasio perawat-pasien, menemukan bahwa semakin tinggi rasio perawat-pasien, maka semakin tinggi angka mortalitasnya. Semakin tinggi rasio perawat-pasien, maka semakin besar biaya yang dibutuhkan untuk menyelamatkan 1 jiwa, sehingga disarankan bahwa rasio perawat - pasien yang cukup rasional adalah 1 : 4 Menurut model sistem kerja yang disebut dengan System Engineering Initiative for Patient safety (SEIPS) berbagai hasil pelayanan dipengaruhi oleh
36
karakteristik sistem kerja yang saling berhubungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa berbagai dimensi beban kerja dapat mempengaruhi lebih dari 1 hasil pelayanan dan setiap hasil pelayanan juga saling berkaitan. Sebagai contoh, perawat yang mengalami nyeri punggung akibat beban kerja fisik yang berlebihan dapat dipastikan tidak mampu berkonsentrasi penuh terhadap tugas-tugasnya (beban kerja kognitif) sehingga lebih mudah melakukan kesalahan. Sehingga pengukuran beban kerja perlu dilakukan secara sistemik (Carayon, et al., 2006).