TINJAUAN PUSTAKA Singkong Singkong atau ubi kayu, tergolong dalam famili Euphorbiaceae, genus Manihot dengan spesies esculenta Crantz dengan berbagai varietas (Henry, 2007). Bagian tanaman yang biasanya dimanfaatkan adalah umbi (akar), batang, dan daunnya. Menurut Devendra (1977), produk utama tanaman ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu daun 6%, batang 44%, dan umbi 50%. Singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80%-90% dengan pati sebagai komponen utamanya. Tanaman ini tidak dapat langsung dikonsumi ternak dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, dan penghancuran atau beberapa proses lainnya untuk mengurangi asam sianida yang bersifat racun yang terkandung dalam semua varietas singkong. Tanaman singkong mulai menghasilkan umbi pada umur 6 bulan (Prihatman, 2000). Umbi yang dihasilkan banyak digunakan untuk bahan baku produk olahan seperti tapioka dan produk tanaman lainnya. Tanaman singkong (Manihot esculenta) merupakan salah satu tanaman yang memiliki nilai strategis, selain sebagai bahan pangan dan pakan juga sebagai bahan baku industri dan termasuk sebagai bahan bakar nabati, seperti etanol. Daun muda tanaman singkong sering digunakan sebagai sayur, batang tanaman singkong dapat digunakan untuk kayu bakar bahkan sebagai pagar hidup (Prihatman, 2000). Tanaman singkong juga potensial sebagai pakan ternak, dapat menghasilkan biomassa sumber energi pada bagian umbi dan protein pada daun (Kustantinah et al., 2005). Kandungan nutrien dalam singkong disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong (dalam As Fed) BK
Bahan b
Daun Batang a Umbi b Kulit b
25,3 30,8 29,6
PK 25,10 10,90 2,30 4,90
LK 12,70 1,40 1,30
SK
BETN
Ca
P
% 11,40 22,60 3,40 16,60
46,10 47,90 88,90 68,50
1,1-1,4 0,31 0,31 0,02-0,3
0,25-0,30 0,34 0,07-0.46 0,13
Sumber : a. Devendra (1977), b. Ramli dan Rismawati (2007)
Menurut Hasanah (2008), pada daun singkong (per 100 g) terkandung vitamin A sebesar 11.000 SI, vitamin C 275 mg, vitamin B1 0,12 mg, kalsium sekitar 3
165 mg, kalori 73 kal, fosfor 54 mg, protein 6,8 g, lemak 1,2 g, hidrat arang sebesar 13 g, zat besi 2 mg, dan asam amino metionin. Pada bagian buah atau umbi singkong memiliki kandungan vitamin B1 sebesar 0,06 mg dan vitamin C sebesar 30 mg, yang lebih rendah dibandingkan yang terdapat pada daun. Sedangkan pada kulit batang mengandung tanin, enzim peroksidase, glikosida, dan kalsium oksalat yang membatasi konsumsinya pada ternak-ternak tertentu. Berdasarkan data statistik Indonesia (Deptan, 2011), luas areal tanaman singkong sekitar 1,3 juta ha. Selain umbi, produksi daun singkong juga cukup besar yaitu 0,92 ton/ ha/ tahun bahan kering. Setiap tahun terdapat lebih dari 1,2 juta ton limbah dari tanaman singkong yang belum dimanfaatkan secara optimal. Asam sianida Beberapa jenis tanaman mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik, salah satunya singkong yang mengandung asam sianida. Senyawa ini berbahaya karena jika termakan akan cepat terserap oleh alat pencernaan dan masuk ke aliran darah. Tergantung kadarnya, hidrogen sianida dapat menyebabkan sakit bahkan menimbulkan kematian (Osweiler et al., 1976). Adanya senyawa ini menyebabkan pemakaian singkong secara luas untuk ternak menjadi terbatas (Oluremi dan Nwosu, 2002). Kandungan sianida dalam singkong sangat bervariasi, rata-rata dalam singkong manis kurang dari 50 mg/ kg umbi, sedangkan pada jenis singkong pahit diatas 50 mg/ kg umbi (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Tinggi rendahnya asam sianida yang dihasilkan pada proses hidrolisis glukosida tergantung pada varietas tanaman, genetik tanaman, umur tanaman, tingkat kematangan, dan kesuburan tanah (Cardoso et al., 2005). Kandungan glukosida sianogenik tersebar pada setiap bagian tanaman dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Siritunga et al. (2003) menjelaskan bahwa glukosida sianogenik disintesa di daun kemudian ditranslokasi ke umbi dan bagian lain dari tanaman singkong. Kadar glukosida tertinggi pada daun, sedangkan terendah pada umbi (Cardoso et al., 2005). Kadar glukosida sianogenik pada daun berkisar 2001300 ppm HCN per kg berat segar dan umbi sebesar 10-500 ppm HCN per kg berat segar (Siritunga et al., 2003). Hasil analisa Purwanti (2005) menunjukkan nilai HCN dalam kulit singkong yaitu sebesar 143,3 mg/ kg bahan segar. Sedangkan menurut
4
Shreve (2002), sianida akan bersifat racun pada level 300-500 ppm bila dimakan ternak. Peranan Waktu Panen Waktu panen berkaitan dengan penerimaan cahaya matahari terhadap tumbuhan. Energi matahari merupakan sumber energi utama bagi makhluk hidup terutama tumbuhan. Tumbuhan dapat melakukan fotosintesis dengan merubah energi dari matahari (cahaya) menjadi gula dengan bantuan air dan CO2. Jika intensitas cahaya rendah maka pertumbuhan akan terhambat. Penghambatan terjadi melalui berkurangnya aktivitas fotosintesis. Pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas, kualitas, lamanya penyinaran (perioditas), dan arah cahaya. Energi cahaya bertanggung jawab terhadap kegiatan fotosintesis dan sejumlah pengikatan nitrogen melalui reaksi kimia (Yana, 2011). Cahaya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dikarenakan hubungannya dengan proses fotosintesis, pembukaan dan penutupan stomata, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan unsur hara, aktivitas enzim, koagulasi protein, dan sintesa klorofil (Yana, 2011). Peranan beda waktu panen memiliki pengaruh terhadap kualitas fisik, pH, dan kandungan WSC (Water Soluble Carbohydrate) pada hijauan (Rijali, 2010). Silase Silase adalah makanan ternak yang dihasilkan melalui proses fermentasi. Silase merupakan pakan produk fermentasi hijauan dengan kadar air tinggi yang diawetkan dalam kondisi anaerob (McDonald et al., 1991). Bolsen et al. (2000) menjelaskan bahwa silase adalah bahan pakan yang diproduksi melalui proses fermentasi, bahan tersebut berupa tanaman, hijauan, bahkan limbah pertanian yang memiliki kandungan kadar air di atas 50%. Secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh tingkat kematangan hijauan, kadar air, ukuran partikel bahan, penyimpanan pada saat proses fermentasi, dan pemakaian aditif (Rijali, 2010). Pembuatan silase bertujuan untuk mengawetkan dan mengurangi kehilangan zat makanan untuk dimanfaatkan pada masa mendatang serta menurunkan sianida (Sandi et al., 2010). Teknik silase dirasakan selain mengawetkan limbah pertanian, juga lebih aman dan dapat memberikan nilai nutrisi yang lebih baik (Nevy, 1999). 5
Menurut Coblentz (2003), ada beberapa hal penting untuk memperoleh kondisi silase yang baik yaitu menghilangkan udara dengan cepat, menghasilkan asam laktat yang membantu menurunkan pH, mencegah masuknya oksigen ke dalam silo, dan menghambat jamur selama penyimpanan. Proses ensilase secara garis besar terdiri dari empat fase yaitu fase aerob, fermentasi, fase stabil, dan fase pengeluaran untuk diberikan kepada ternak (Sandi et al., 2010). Fase fermentasi terjadi ketika keadaan anaerob dicapai dan mikroorganisme berkembang terutama bakteri asam laktat. Mikroorganisme seperti Clostridia dan Enterobacteria tidak diharapkan karena memberikan pengaruh negatif terhadap proses ensilase. Mikroorganisme ini akan bersaing dengan bakteri asam laktat dalam memfermentasi karbohidrat (Bolsen et al., 2000). Pada fase fermentasi diawali dengan pertumbuhan bakteri asam asetat. Bakteri ini menggunakan karbohidrat terlarut dan menghasilkan asam asetat yang kemudian akan menurunkan pH, dan pertumbuhannya akan terhambat pada pH dibawah 5. Penurunan pH akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya jumlah bakteri asam laktat. Bakteri ini akan terhambat pertumbuhannya saat pH dibawah 4 dan berakhir aktivitasnya karena berkurangnya WSC, kemudian ensilase memasuki fase stabil. Pada fase ini, bakteri asam laktat memfermentasi gula yang berasal dari perombakan hemiselulosa dan penurunan pH mulai melambat (Bolsen et al., 2000). Ensilase merupakan salah satu cara pengawetan daun singkong sebagai pakan ternak dan efektif menurunkan kandungan sianida (HCN) pada ubi kayu setelah tiga bulan ensilase yaitu dari 289 mg/ kg menjadi 20,1 mg/ kg (Kavana et al., 2005). Kualitas Silase Pengamatan fisik silase seperti warna, bau, dan penampakan lainnya hanya menggambarkan nilai nutrisi secara umum (Macaulay, 2004). Pengukuran bahan kering, pH, kandungan protein, amonia, asam organik, kadar gula, serta jumlah mikrobial merupakan parameter yang umum dijadikan untuk menggambarkan kualitas fermentatif silase (Macaulay, 2004). Kualitas fisik meliputi warna, bau atau aroma, tekstur, kelembaban, dan keberadaan jamur. Warna hasil silase dapat mengindikasikan permasalahan yang mungkin terjadi selama fermentasi. Silase yang terlalu banyak kandungan asam asetat akan menghasilkan berwarna kekuning-kuningan, sementara kalau kelebihan asam butirat 6
akan berlendir dan berwarna hijau-kebiruan. Penentuan kualitas suatu fermentasi juga dapat ditentukan melalui bau. Pada fermentasi asam laktat hampir tidak mengeluarkan bau, sementara fermentasi asam propionat menimbulkan aroma wangi yang menyengat, sedangkan fermentasi Clostridia akan menghasilkan bau busuk (Saun dan Heinrichs, 2008). Sementara Kung dan Nylon (2001) menyatakan bahwa pH adalah salah satu faktor penentu keberhasilan fermentasi. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Macaulay (2004), kualitas silase dapat digolongkan menjadi empat kriteria berdasarkan pH yaitu baik sekali dengan pH 3,2-4,2, baik pH 4,2-4,5, sedang pH 4,54,8, dan buruk pH >4,8. Salah satu tujuan ensilase adalah meminimalisasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh aktivitas enzim tanaman atau mikroorganisme lain terutama jenis Clostridium. Sejumlah komponen NPN meningkat dengan adanya aktivitas proteolisis. Akibatnya pH silase meningkat dan beberapa komponen NPN seperti amin dapat menurunkan konsumsi pakan (Saun dan Heinrichs, 2008). Tabel 2. Kriteria Kualitas Silase Kriteria
Baik Sekali
Baik
Sedang
Buruk
Warna
Hijau tua
Hijau kecoklatan Hijau kecoklatan
Tidak hijau
Cendawan
Tidak ada
Sedikit
Lebih banyak
Banyak
Bau
Asam
Asam
Kurang asam
Busuk
pH
3,2-4,2
4,2-4,5
4,5-4,8
>4,8
N-NH3
<10% total N
10-15% total N
>20% total N
>20% total N
(Wilkins, 1988)
Amonia Amonia (NH3) merupakan indikator kualitas silase yang menunjukkan kerusakan silase. Kandungan amonia silase menunjukkan perombakan protein pakan. Kadar amonia silase berasal dari perombakan oleh Enterobakteria selama proses ensilase yang berkompetisi dengan bakteri asam laktat dalam menggunakan WSC sehingga terjadinya degradasi protein. Selain itu, kadar NH3 dalam rumen dapat digunakan sebagai indikator fermentabilitas protein pakan. Kadar N-NH3 yang normal pada silase yaitu kurang dari 10% (Saun dan Heinrichs, 2008). Faktor utama yang mempengaruhi penggunaan NH3 adalah ketersediaan karbohidrat dalam ransum yang berfungsi sebagai sumber energi untuk pembentukan 7
protein mikroba. Besarnya protein yang didegradasi dalam rumen dapat mencapai 70%-80% dan besarnya protein yang sulit dicerna sekitar 30%-40%. Jika terjadi degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba maka amonia terakumulasi dan tinggi kadarnya. Amonia optimum dalam rumen berkisar 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Sedangkan menurut Satter dan Slyter (1974), konsentrasi amonia cairan rumen yang optimal untuk aktifitas mikroba rumen adalah 3,57-15 mM. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larutnya yang berkaitan dengan kenaikan kadar NH3. Volatile Fatty Acid (VFA) Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan senyawa yang diproduksi bila pakan atau ransum mengalami fermentasi. VFA diproduksi dari hasil fermentasi karbohidrat dan protein (Mathius et al., 1984). Proses pencernaan karbohidrat pada ensilase atau pada saat pakan berada di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi berupa VFA antara lain yang utama asetat, propionat, dan butirat dari proses fermentasi protein berupa asam lemak rantai cabang (asam isobutirat, asam valerat, dan asam isovalerat). Chamberlain dan Wilkinson (1996) menyatakan bahwa konsentrasi VFA merupakan refleksi dari fementasi yang tidak efisien atau terjadinya fermentasi sekunder dimana asam laktat berubah menjadi asam butirat, degradasi asam amino menghasilkan amonia, dan produksi asam asetat dari rantai karbon asam amino. Konsentrasi VFA yang terdiri dari asam asetat, propionat, dan butirat memiliki persentase yang berbeda dari proses fermentasi dipengaruhi jenis pakan. Konsentrasi VFA pada silase yang ideal adalah <20% dari total asam, sedangkan konsentrasi VFA yang dihasilkan di dalam rumen bervariasi yaitu antara 200-1500 mg/ 100 ml cairan rumen (Bampidis dan Robinson, 2006) atau berkisar antara 70-150 mmol/ l (McDonald, 1995) dan menurut Bergman (1983) yaitu sekitar 79-150 mM.
8