TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Jagung ( Zea mays L. )
Menurut Purwono dan Hartono (2004), jagung diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Graminae
Famili
: Graminaceae
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L. Setelah perkecambahan, akar primer awal memulai pertumbuhan tanaman.
Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan tumbuh menyamping. Akar yang tumbuh relatif dangkal ini merupakan akar adventif dengan percabangan yang amat lebat (Rubaztky dan Yamaguchi, 1998). Batang tanaman jagung silindris dan tidak berlubang seperti halnya batang tanaman padi. Batang tanaman jagung yang masih muda (hijau) rasanya manis karena cukup banyak mengandung zat gula. Rata-rata panjang (tinggi) tanaman jagung antara satu sampai tiga meter di atas permukaan tanah (Warisno, 1998). Daun jagung tumbuh di setiap ruas batang. Daun ini berbentuk pipa, mempunyai lebar 4-15 cm dan panjang 30-150 cm, serta didukung oleh pelepah
Universitas Sumatera Utara
daun yang menyelubungi batang. Daun mempunyai dua jenis bunga yang berumah satu (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Pada setiap tanaman jagung terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah. Bunga jantan terdapat pada malai bunga di ujung tanaman, sedangkan bunga betina terdapat pada tongkol jagung. Bunga betina ini biasanya disebut tongkol selalu dibungkus kelopak-kelopak yang jumlahnya sekitar 6-14 helai. Tangkai kepala putik merupakan rambut atau benang yang terjumbai di ujung tongkol sehingga kepala putiknya menggantung di luar tongkol. Bunga jantan yang terdapat di ujung tanaman masak lebih dahulu daripada bunga betina (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Jagung memiliki buah matang berbiji tunggal yang disebut karyopsis. Buah ini gepeng dengan permukaan atas cembung atau cekung dan dasar runcing. Buah ini terdiri endosperma yang melindungi embrio lapisan aleuron dan jaringan perikarp
yang
merupakan
jaringan
pembungkus
(Rubaztky dan Yamaguchi, 1998).
Syarat Tumbuh Tanah Tanaman jagung toleran terhadap reaksi keasaman tanah pada kisaran pH 5,5 - 7,0. Tingkat keasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung adalah pada pH 6,8. Pada tanah yang memiliki keadaan pH 7,5 dan 5,7 produksi jagung cenderung turun (Wakman dan Burhanuddin, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Iklim Untuk pertumbuhan optimalnya jagung menghendaki penyinaran matahari yang penuh. Di tempat-tempat yang teduh pertumbuhan jagung akan merana dan tidak mampu membentuk buah. Di Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah dengan ketinggian antara 0 - 600 m dpl dan curah hujan optimal yang dihendaki antara 85 - 100 mm per bulan
merata sepanjang pertumbuhan tanaman
(Wakman dan Burhanuddin, 2007). Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim subtropis/tropis basah. Jagung dapat tumbuh baik di daerah yang terletak antara 50° LU - 40° LS. Pada lahan yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 85 - 200 mm/bulan selama masa pertumbuhan. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk pertumbuhan terbaiknya antara 27° - 32° C. Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu sekitar 30 °C (Anonimus d, 2010).
Penyakit – penyakit Jagung di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi
1. Bulai ( Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw ) Biologi Patogen Peronosclerospora maydis (Rac.) Menurut Anonimus
C
(2010), klasifikasi dari patogen penyebab penyakit
bulai adalah: Kingdom
: Fungi
Filum
: Oomycota
Kelas
: Oomycetes
Ordo
: Sclerosoprales
Universitas Sumatera Utara
Famili
: Sclerosporaceae
Genus
: Peronosclerospora
Spesies
: Peronosclerospora maydis Rac (Shaw) Konidiofor berukuran 132 - 261 mikron, tipis. Konidianya hialin,
berdinding tipis, berukuran 24 - 46.6 x 12 - 20 mikron. Oogonianya berwarna coklat kemerahan, berbentuk elips tidak beraturan, berukuran
55 - 73 x 49 - 58
mikron (Singh, 1998). Pada umumnya konidiofor mempunyai percabangan tingkat tiga atau empat. Cabang tingkat terakhir membentuk sterigma. Konidium yang masih muda berbentuk bulat, sedang yang sudah masak dapat membentuk jorong. Konidium tumbuh dengan membentuk pembuluh kecambah (Semangun, 1993) (Gambar.1)
Gambar 1. P. maydis Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan Tanaman yang terserang mengalami gangguan pertumbuhan. Bentuk daunnya akan meruncing dan kecil. Bila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk buah. Buah sering mempunyai tangkai yang panjang, dengan kelobot yang tidak menutup di ujungnya dan hanya membentuk sedikit biji (Semangun, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Gejala yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah pertumbuhan terhambat, pada daun akan terlihat garis-garis klorotik. Penyakit akan terlihat jelas pada saat tanaman masih muda. Daun akan berwarna putih kekuningan mulai dari pangkalnya, infeksi kedua akan terlihat garis klorotik sempit disepanjang permukaan daun (Singh, 1998) (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala serangan P. maydis Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi Penyakit bulai pada jagung terutama terdapat di dataran rendah. Konidium yang paling baik berkecambah pada suhu 30 ºC. Infeksi hanya terjadi kalau ada air, baik ini air embun, air hujan. Infeksi sangat ditentukan oleh umur tanaman dan umur daun yang terinfeksi. Tanaman yang berumur lebih dari 3 minggu cukup tahan terhadap infeksi, dan makin muda tanaman, makin rentan pula (Semangun, 1993). Pembentukan konidia jamur ini menghendaki air bebas, gelap dan suhu tertentu yaitu 24 ºC. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling berbahaya.
Universitas Sumatera Utara
Penyebarannya
sangat
luas,
kehilangan
hasil
dapat
mencapai
90%
(Wakman dan Burhanuddin, 2007). Pengendalian Menurut Semangun (1993), pengendalian penyakit bulai yaitu: 1.
Penanaman varietas tahan seperti Arjuno, Pioner 12, Abimanyu
2.
Segera mencabut tanaman yang menunjukkan gejala penyakit
3.
Merawat benih dengan metalaksil (ridomil 35 SD) Tiga cara pengelolaan penyakit bulai dengan menggunakan kultur teknis,
penggunaan fungisida dan penanaman varietas tahan bulai. Hal yang paling baik dapat digunakan kombinasi dari ketiga pengandalian tersebut (Singh, 1998).
2. Karat (Puccinia sorghi Schw dan P. Polysora Underw) Biologi Patogen Menurut Anonimus
b
(2010), klasifikasi dari patogen penyebab karat ini
adalah: Kingdom
: Fungi
Filum
: Basidiomycota
Kelas
: Pucciniomycotina
Ordo
: Pucciniales
Famili
: Pucciniaceae
Genus
: Puccinia
Spesies
: Puccinia sorghi Schw Jamur mempunyai uredium pada kedua sisi daun dan upih daun, rapat atau
jarang, tersebar tidak menentu. Urediospora bulat atau jorong 24-29 x 22-29
Universitas Sumatera Utara
mikron, berdinding coklat kemerahan, berduri-duri halus. Jamur membentuk telium terbuka (Semangun, 1993). Tebal dinding spora 1-1,5 mikron dengan 4-5 lubang ekuator, ukuran 1827 x 29-41 mikron, mudah lepas, dua sel, timbul pada tangkai pendek ukuran 1030 mikron. Teliospora berwarna coklat, halus, elips, kedua ujungnya membulat, (Wakman dan Burhanuddin, 2007) (Gambar 3).
Gambar 3. Puccinia sp. Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan Gejala pada tanaman jagung yang terinfeksi penyakit karat adalah adanya bisul, terutama pada daun. Bisul terbentuk pada kedua permukaan daun bagian atas dan bawah. Bisul dengan warna coklat kemerahan tersebar pada permukaan daun dan berubah warna menjadi hitam kecoklatan setelah teliospora berkembang. Bisul ini dapat terlihat jelas dan bila dipegang akan terasa kasar (Gambar.4). Pada saat
terjadi
penularan
berat,
daun
menjadi
kering
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Di lapang kadang-kadang epidermis tetap menutupi urediosorus sampai matang. Tetapi adakalanya epidermis pecah dan massa spora dalam jumlah besar menjadi tampak (Semangun, 1993).
Gambar 4. Gejala Serangan Puccinia sp. Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi Urediospora Puccinia polysora paling banyak dipencarkan menjelang tengah hari. Perkecambahan spora adalah 27-28º C. Puccinia sorghi terutama terdapat pada suhu agak rendah di daerah pegnnungan, berkembang pada suhu 1623 ºC (Semangun, 1993). Perbedaan ras masing-masing spesies telah diketahui dari reaksi beberapa varietas jagung. Puccinia polysora tidak berkembang pada ketinggian 1200 m dan diketinggian kurang dari 900 m cocok bagi perkembangan penyakit karat (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Penyakit karat dapat dikendalikan dengan beberapa cara yaitu penanaman varietas tahan (arjuna, Bromo, Rama, Pioneer-3) dan aplikasi fungisida pada saat mulai tampak bisul pada karat daun (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
3.
Hawar Daun (Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs)
Biologi Patogen Menurut Anonimus
a
(2010), klasifikasi patogen penyebab hawar daun
yaitu: Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Kelas
: Dothideomycetes
Ordo
: Pleosporales
Famili
: Pleosporaceae
Genus
: Exserohilum
Spesies
: Exserohilum turcicum (Pass) Leonard et Suggs Miselium dari jamur ini adalah hijau gelap. Konidiofornya berukuran
(60-280 x 6-10 mikron), konidia berukuran (40-150 x 11-27 mikron) (Lucas at al, 1987). Ciri khusus dari jamur penyebab hawar daun ini yaitu konidiofor lurus atau lentur, kadang-kadang mempunyai bengkokan seperti lutut, berwarna coklat atau coklat tua, dekat ujungnya pucat. Konidium jelas bengkok berbentuk perahu,
coklat
pucat
sampai
coklat
emas
tua,
halus,
hilum
gelap
(Semangun, 1993) (Gambar 5).
Universitas Sumatera Utara
Gejala visual yang menunjukkan ciri khas serangan H. turcicum adalah bercak agak memanjang, bagian tengah agak melebar, makin ke pinggir makin kecil, berwarna cokelat keabuan, dikelilingi oleh warna kekuningan sejajar tulang daun. Isolat Helminthosporium turcicum yang ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA) berwarna putih keabuan dengan zonasi beraturan. Konidia mulai
terlihat
setelah
6
hari
dan
semakin
banyak
pada
12
hari
(Adipala dan Latigo, 1994).
Gambar 5. E. turcicum http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan Gejala awalnya muncul bercak-bercak kecil, jorong, hijau tua. Selanjutnya berubah warna menjadi coklat kehijauan, kemudian bercak membesar dan mempunyai bentuk yang khas. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak yang lebih besar sehingga dapat mematikan jaringan daun. Tanaman jagung yang terinfeksi penyakit hawar daun pada fase vegetatif menyebabkan tingkat penularan yang lebih berat dibanding bila penularan terjadi pada tanaman yang
Universitas Sumatera Utara
lebih
tua
dan
ini
akan
berpengaruh
terhadap
kehilangan
hasil
(Wakman dan Burhanuddin, 2007). Lebar bercak 1-2 cm dan panjang 5-10 cm, tetapi lebar dapat mencapai 5 cm dan panjang 15 cm. Sehabis hujan atau banyak embun pada kedua sisi bercak terbentuk banyak sporayang menyebabkan bercak tampak berwarna hijau tua berbeledu yang makin ke tepi warnanya makin muda. Pertanaman yang sakit keras tampak kering seperti habis terbakar (Gambar 6) (Semangun, 1993).
Gambar 6. Gejala Serangan E. turcicum Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi Konidium jamur disebarkan melalui angin. Suhu optimal untuk pertumbuhan, pembentukan dan perkecambahan konidia adalah 30 ºC. Tanaman jagung yang terinfeksi pada fase vegetatif menyebabkan tingkat penularan yang lebih
berat
dibandingkan
bila
terjadi
pada
tanaman
yang
lebih
tua
(Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Infeksi terutama berasal dari konidia yang terbawa oleh angin, ataupun curah hujan yang tinggi. Infeksi memerlukan waktu 6-18 jam pada suhu 18-27º C. Kondisi ideal untuk siklus hidup patogen ini adalah 60 - 70 hari (Lucas at al, 1987). Pengendalian Menurut Wakman dan Burhanuddin (2007), pengendalian dari penyakit hawar daun dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: ► Varietas tahan ► Sanitasilingkungan ► Pengaturan jarak tanam ► Fungisida dengan bahan aktif carbendazin,mankozeb ► Perlakuan benih dengan perendaman dengan Thiram dan Karboxin 4. Penyakit Gosong (Ustilago maydis (DC) Cda) BiologiPatogen Menurut Anonimus
d
(2010), klasifikasi dari patogen penyebab penyakit
gosong ini adalah: Kingdom
: Fungi
Filum
: Basidiomycota
Kelas
: Ustilaginomycetes
Ordo
: Ustilaginales
Famili
: Ustilaginaceae
Genus
: Ustilago
Spesies
: Ustilago maydis (DC) Cda
Universitas Sumatera Utara
Teliosporanya berbentuk bulat atau elips, berwarna coklat sampai hitam, diameter 8 - 11 mikron. Spora diploid ini tumbuh membentuk promiselium dengan empat atau lebih sporidia (Wakman dan Burhanuddin,2007). Dalam kelenjar jamur membentuk teliospora, yang berbentuk bulat atau jorong. Teliospora berkecambah dengan membentuk basidium atau promiselium, kemudian membentuk basidiospora atau sporidium (Semangun, 1993).
Gejala Serangan Gejala awal berupa pembengkakan atau gall yang dibungkus dengan jaringan berwarna putih kehijauan sampai putih perak mengkilat. Bagian dalam gall berwarna gelap dan berubah menjadi massa tepung spora berwarna coklat sampai hitam. Apabila bunga jantan terinfeksi, maka semua tongkol pada tanaman tersebut terinfeksi penyakit gosong (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Biji-biji yang terinfeksi membengkak, membentuk kelenjar-kelenjar. Dengan makin membesarnya kelenjar-kelenjar,kelobot terdesak ke samping, sehingga sebagian dari kelenjar itu tampak dari luar (Gambar 7). Akhirnya kelenjar pecah dan spora jamur yang berwarna hitam terhambur keluar (Semangun, 1993).
Gambar 7. Gejala Serangan Gosong Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Universitas Sumatera Utara
Faktor yang mempengaruhi Penyakit ini lebih banyak terdapat di pegunungan. Pertanaman yang rapat membantu perkembangan penyakit. Makin panjang umur tanaman, biasanya makin besar pula kemungkinan untuk mendapatkan serangan (Semangun, 1993). Ustilago maydis meghendaki keadaan iklim kering dan suhu antara 26-34 ºC. Periode inkubasi dari infeksi sampai timbul gall sekitar 1 sampai beberapa minggu. Pemupukan N dan pupuk kandang meningkatkan penyakit ini (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Pengendalian Menurut Singh (1998), pengendalian penyakit gosong adalah rotasi tanaman, sanitasi lahan,dan perlakuan benih yang mungkin dapat membantu terjadinya infeksi. Menurut Semangun(1993), pengendalian yang tepat untuk penyakit ini adalah: o
Membakar atau memendam dalam tanah tanaman yang telah terinfeksi
o
Melakukan seed treatment
o
Penggunaan varietas tahan
Universitas Sumatera Utara
5. Bercak Daun (Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker) Biologi Patogen Menurut Anonimus
d
(2010), klasifikasi dari patogen penyebab bercak
daun adalah: Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Kelas
: Dothideomycetes
Ordo
: Pleosporales
Famili
: Pleosporaceae
Genus
: Bipolaris
Spesies
: Bipolaris maydis (Nisik) Shoemaker Miselium dan sporanya dapat bertahan hidup pada sisa tanaman dan biji
terinfeksi. Siklus hidup lengkapnya mencapai 60-72 jam. Konidia diterbangkan oleh angin atau terbawa percikan air untuk sampai ketanaman yang baru. Konidia mempunyai 6 sampai 8 sekat (Gambar 8) (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Gambar 8. Bipolaris maydis Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Universitas Sumatera Utara
Gejala Serangan
Pada daun terdapat halo kuning yang mengelilingi bercak, lama kelamaan bercak ini akan melebar dan berwarna kecoklatan. Dalam kondisi yang ideal, bercak akan berkembang dan dapat menyebabkan tanaman mati (Jardine, 1998). Lesio pada daun biasanya memanjang diantara tulang daun dengan warna coklat muda dan ukuran mencapai 1,2 x 2,7 cm, berbentuk elip. Lesio sering dikelilingi oleh warna coklat dan dapat terjadi di batang, upih daun dan tongkol (Gambar 9). Tanaman yang tumbuh dari biji yang terinfeksi akan layu dan mati pada umur 3 - 4 minggu (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Gambar 9. Gejala Serangan Bercak Daun Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Faktor yang mempengaruhi Jamur berkembang baik pada keadaan udara lembab dengan suhu 20-23 ºC. Umumnya dijumpai di daerah dataran rendah. Bercak daun ini selalu terjadi sepanjang tahun, dengan intensitas yang berfluktuasi karena pengaruh curah hujan (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Penyakit bercak daun ini dapat dikendalikan dengan varietas tahan, penanaman serempak, waktu tanam yang tepat dan eradikasi gulma inang (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Pengendalian yang tepat adalah dengan kombinasi rotasi tanaman, pengolahan tanah, aplikasi fungisida dan varietas tahan (Jardine, 1998).
6.
Busuk Tongkol (Diplodia maydis Schwabe, Gibberella zeae Schw) Biologi Patogen Menurut Anonimus
d
(2010), klasifikasi dari pathogen penyebab
busuk tongkol adalah: Kingdom
: Fungi
Filum
: Ascomycota
Kelas
: Sordariomycetes
Ordo
: Hypocreales
Famili
: Nectriaceae
Genus
: Diplodia
Spesies
: Diplodia maydis Schwabe Konidium teratur seperti jari, berbentuk sabit (Gambar 10). Klamidospora
interkalar, bulat, berdinding tebal, hialin atau coklat pucat dengan dinding luar licin atau agak kasar, dengan garis tengah 10-12 mikron, membentuk rantai atau kumpulan (Semangun, 1993).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 10. Diplodia maydis Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Gejala Serangan Tanaman jagung tampak layu atau seluruh daun menguning. Gejala pada daun terdapat bercak yang ditengahnya seperti mata (Gambar 11). Gejala tersebut umumnya terjadi pada stadia generative, yaitu setelah fase pembungaan. Pangkal batang yang terinfeksi berubah warna dari hijau menjadi kecoklatan, bagian dalam busuk, sehingga mudah rebah dan bagian kulit luarnya tipis. Pada pangkal batang yang terinfeksi tersebut terlihat warna merah jambu, merah kecoklatan atau coklat (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Infeksi dimulai pada dasar tongkol, berkembang ke bonggol, kemudian merambat ke permukaan biji dan menutupi kelobot. Tongkol menjadi busuk dan kelobotnya saling menempel erat pada tongkol (Gambar 11) (Semangun, 1993). Gejala busuk tongkol Diplodia adalah kelobot yang terinfeksi pada umumnya berwarna coklat. Infeksi pada kelobot setelah dua minggu keluar rambut jagung menyebabkan biji berubah menjadi coklat, kisut dan busuk.
Universitas Sumatera Utara
Miselium berwarna putih. Piknidia berwarna hitam tersebar pada kelobot. Gejala busuk tongkol Gibberella adalah tongkol menjadi busuk dan kelobotnya saling menempel erat pada tongkol, buah berwarna biru hitam di permukaan kelobot dan bongkol (CIMMYT, 2004). Busuk tongkol yang disebabkan oleh Gibberella zeae sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang sejuk sedangkan busuk tongkol yang disebabkan oleh Fusarium graminarium terjadi di daerah yang panas yang juga dipengaruhi oleh luka yang diakibatkan oleh serangga pada kernel jagung (Ali at al, 2005).
Gambar 11. Gejala Serangan Diplodia maydis pada daun
Gambar 12. Gejala Serangan Busuk Tongkol Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Universitas Sumatera Utara
Faktor yang mempengaruhi Penyakit ini terutama berkembang setelah tanaman membentuk benang sari. Banyak infeksi terjadi pada suhu 16-20 °C. Penyakit lebih banyak terjadi di pegunungan pada musim hujan (Semangun, 1993). Infeksi awal dapat melalui luka atau membentuk sejenis appresoria yang mampu berpenetrasi ke jaringan tanaman. Spora/konidia yang terbawa angin dapat menginfeksi ke tongkol. Biji yang terinfeksi bila ditanam dapat menyebabkan penyakit busuk batang (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Pengendalian Menurut Anonimus b (2010), pengeloloaan penyakit ini adalah: 1. Teknik bercocok tanam - Menanam varietas unggul - Pergiliran tanaman - Mengatur jarak tanam - Seed dressing 2.Aplikasi Fungisida
7. Penyakit Virus Kerdil Khlorotik Jagung (Maize Chlorotic Dwarf Virus Disease Virus = MCDV) Gejala Serangan Gejala awal ditandai oleh warna khlorose pada daun muda di pucuk tanaman. Klorotik garis diantara tulang daun sering tampak. Daun menguning
Universitas Sumatera Utara
atau
kemerahan
dan
pemendekan
ruas
batang
umum
terjadi
(Wakman dan Burhanuddin, 2007) (Gambar 13).
Gambar 13. Gejala Serangan MCDV Sumber.http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/satutujuh.pdf
Penularan Virus ditularkan oleh serangga vektor, wereng daun jagung Granminella nigrifrons (Forbes) dan G. Sonora (Ball) secara semipersisten. Wereng mesih infektif sampai 8 jam setelah mengisap cairan tanaman yang terinfeksi (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Pengendalian Penyakit
virus kerdil klorotik
jagung dapat
dikendalikan dengan
pemberantasan rumput inang dengan herbisida dan pemberantasan serangga vektor dengan insektisida (Wakman dan Burhanuddin, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Peranan Lingkungan Dalam Proses Epidemiologi Konsep segitiga penyakit merupakan hubungan antara tiga faktor, yaitu inang, patogen dan lingkungan. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Dari konsep tersebut jelas sekali bahwa perubahan salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul (Wiyono, 2007). Penyakit sporadis merupakan penyakit epifitotik yang tidak selalu terjadi setiap musim dan dengan interval yang tidak teratur. Adapun penyakit ”endemik” menggambarkan suatu penyakit yang terbatas pada wilayah geografis tertentu, atau penyakit yang selalu terdapat di daerah tertentu dengan menimbulkan kerusakan ringan sampai berat (Wiyono, 2007). Secara ideal, wilayah pertanaman dapat dibagi menjadi sejumlah daerah agroklimat
yang seragam tanggapannya seperti sifat tanah dan cuaca
(Petersen, 1994). Masing – masing agroklimat dibutuhkan oleh patogen – patogen tertentu dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga menjadi penyebab penyakit pada tanaman jagung. Beberapa penyakit yang sering menyerang tanaman jagung adalah bulai, bercak daun, hawar daun, karat daun, busuk batang bakteri (Wakman dan Burhanuddin, 2007), bercak abu – abu, busuk tongkol Diplodia dan busuk tongkol Gibberella (CIMMYT, 2004). Lingkungan dapat
mempengaruhi kemampuan,
pertumbuhan,
dan
kerentanan genetik inang. Faktor lingkungan yang sangat penting yang mempengarui perkembangan epidemi penyakit tumbuhan adalah kelembapan,
Universitas Sumatera Utara
suhu, curah hujan, lama penyinaran matahari, angin. Kelembapan akan meningkatkan sporulasi jamur, pelepasan spora, perbanyakan bakteri. Begitu juga dengan suhu, pengaruh yang paling umum suhu terhadap epidemi yaitu pengaruhnya terhadap patogen selama stadia patogenitas yang berbeda, seperti pada perkecambahan spora, penetrasi inang, pertumbuhan dan reproduksi patogen, invasi inang dan sporulasi (Abadi, 2003). Ketiga golongan lingkungan (makro, meso dan mikro) berubah-ubah setiap saat. Dalam skala mikro pengaruh perubahan iklim terhadap proses epidemiologi diukur dalam detik. Dalam lingkungan meso ukuran proses epidemi lebih panjang, mungkin dalam jam atau mungkin hari. Sedangkan skala makro diukur dalam hari, minggu, musim atau malah bulan dan tahun (Oka, 2003). Hampir sebagian besar penyebab penyakit tanaman, terutama golongan jamur akan berkembang dengan pesat pada kelembapan yang tinggi. Begitu juga halnya dengan curah hujan. Tumbukan air hujan ke permukaan tanah akan menimbulkan cipratan-cipratan. Patogen yang ada pada tanah ikut terlempar, lalu menempel pada bagian tanaman yang lunak, terutama tanaman muda atau tanaman semusim kemudian memarasit tanaman tersebut. Tanah yang mempunyai pH rendah juga disukai oleh sebagian besar jamur. Pada tanah masam, jamur berkembang pesat dan banyak menimbulkan kerugian (Wiyono, 2007).
Universitas Sumatera Utara