5 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit Usaha peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit menghadapi berbagai kendala, salah satunya adalah gangguan penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Ganoderma boninense. Penyakit busuk pangkal batang merupakan penyakit penting di perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia (Susanto et al. 2002), telah menyebabkan kerugian yang cukup besar dimana tingkat kematian tanaman akibat serangan penyakit tersebut sebesar 50% atau lebih (Turner 1981). Infeksi terjadi pada pangkal batang, dan penularan penyakit pada umumnya terjadi melalui kontak akar atau bagian pangkal batang dengan sumber inokulum yang berada di tanah. Setelah infeksi, perkembangan penyakit pada jaringan tanaman relatif lambat. Hasil penelitian di rumah kaca menunjukkan bahwa gejala sakit mulai tampak 6 - 12 bulan setelah inokulasi dilakukan pada tanaman berumur satu tahun di dalam kantong plastik (Darmono et al. 1997). Sekarang ini pengendalian penyakit Ganoderma difokuskan pada penggunaan agen pengendalian hayati dan tanaman yang resisten. Berbagai kegiatan telah dilakukan antara lain dengan mencari agen hayati dari rhizosphere tanaman kelapa sawit. Beberapa agen hayati yang diisolasi yang terpenting yaitu T. harzianum, T. viride, Gliocladium viride, Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus sp. Percobaan di rumah kaca dan di lapang menunjukkan bahwa perlakuan dengan T. harzianum dan G. viride lebih baik dibanding dengan Bacillus sp. Selanjutnya pengujian pada skala yang luas memperlihatkan bahwa kejadian penyakit lebih rendah di lahan yang diberi perlakuan agen hayati dibanding dengan yang tidak diberikan perlakuan (Susanto 2002). Pengendalian Hayati Penyakit Pengendalian hayati patogen tanah pada tanaman dengan mikroorganisme antagonis merupakan teknik non kimiawi dalam mengendalikan penyakit tanaman. T. harzianum adalah mikroba parasit yang aktif dan dapat digunakan sebagai agen hayati. Trichoderma spp. dapat menekan berbagai cendawan patogen pada kebanyakan penyakit tanaman pangan (Elad et al. 1982). Trichoderma spp. merupakan mikroba tanah yang
6 digolongkan ke dalam cendawan imperfekti. Amastigomycota,
subdivisi
Genus ini tergolong ke dalam divisi
Deuteromycotyna,
kelas
Deuteromycetes,
subkelas
Hypomycetidae, ordo Moniliales, famili Moniliaceae (Alexopuolus dan Mims 1979). Cendawan ini membentuk koloni berwarna putih dan apabila telah terbentuk spora berubah menjadi hijau kekuningan dan hijau. Trichoderma spp. umumnya hidup sebagai saprofit di tanah atau kayu. Akan tetapi banyak pula ditemukan pada permukaan akar tanaman dan pada propagul cendawan lain. Cendawan ini menghasilkan zat antibiotik, bersifat hiperparasit dan mempunyai sifat kompetisi yang tinggi terhadap patogen lain. Sifat antagonistik Trichoderma terlihat dari kemampuannya melilit dan menembus (penetrasi) hifa cendawan lawan yang lisis, serta menghasilkan enzim perusak dinding sel hifa lawan, seperti kitinase, pektinase dan silanase (Dennis & Webster 1971 dalam Minarsih et al. 2000). Gambar 1 memperlihatkan mekanisme mikoparasitisme hifa Trichoderma harzianum di sekeliling patogen Pythium sp. (Harman 1993).
Gambar 1. Mekanisme mikoparasitisme Trichoderma harzianum pada patogen tanaman Pythium sp. (Harman 1993) Aktivitas kitinolitik ekstraselular dari berbagai jenis cendawan diketahui sebagai faktor utama dalam mekanisme mikoparasitismenya. Berbagai macam kitinase telah dimurnikan dan dikarakterisasi dari Trichoderma spp., demikian pula gen yang menyandikannya (Harman et al. 1993; Lorito et al. 1993). T. harzianum menghasilkan ekspresi aktivitas kitinase yang tinggi dan merupakan salah satu cendawan mikoparasit yang kuat (Fekete et al. 1996). Analisa in vitro protein endokitinase yang telah
7 dimurnikan menunjukkan aktivitas penghambatan pada perkecambahan dan perpanjangan hifa Botrytis cinerea (Lorito et al. 1993). Enzim kitinase T. harzianum Kitin merupakan salah satu senyawa utama penyusun dinding sel miselia cendawan. Dalam perkembangan teknologi pengendalian cendawan patogen, senyawa tersebut menjadi sasaran utama yang harus didegradasi atau dihambat sintesanya sehingga cendawan menjadi lemah atau mati (Priyatno et al. 1997).
Pemanfaatan
mikroba antagonistik penghasil kitinase telah terbukti efektif untuk mengendalikan beberapa cendawan patogen tanaman. Kitinase termasuk kelompok enzim hidrolase pendegradasi kitin yang banyak dihasilkan oleh mikroorganisme baik secara intra maupun ekstraseluler.
Enzim ini
diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan-bahan mengandung kitin yang merupakan sumber nutrisinya. Mikroorganisme prokariot penghasil kitinase berasal dari kelompok Pseudomonas, Vibrio, Photobacterium, bakteri enteric, actinomycetes, bacilli dan clostridia. Enzim ini juga dihasilkan oleh organisme eukariot seperti myxomycetes, zygomycetes, deuteromycetes, ascomycetes dan basidiomycetes (Gooday 1990). Berdasarkan nomenklatur yang ada, enzim kitinase dikelompokkan menjadi 3 tipe utama (Broadway et al. 1995) yaitu : a) N-acetyl-ß-D-glucosaminidase (EC 3.2.1.30) disingkat glucosaminidase yang memotong unit monomer pada ujung terminal dari kitin; b) exochitinase atau 1,4-ß-chitobiosidase disingkat chitobiosidase yang memotong unit dimmer pada ujung terminal dari kitin; c) endokitinase (EC 3.2.1.14) yang memotong secara random molekul kitin di bagian internal. Protein anti cendawan dapat dihasilkan oleh bakteri, cendawan maupun tanaman. Pada tanaman ditemukan berbagai protein yang berpotensi sebagai anti cendawan antara lain adalah enzim kitinase (EC 3.2.1.14) dan ß-1,3-glukanase (EC 3.2.1.39) yang masingmasing dapat merusak komponen utama dinding sel cendawan berupa kitin dan ß-1,3glukan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang mengekspresikan gen penyandi protein tersebut mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap serangan cendawan. Terakawa et al. (1997) melaporkan bahwa tanaman tembakau
8 transgenik yang mengekspresikan gen penyandi kitinase dan ß-1,3-glucanase terbukti lebih tahan terhadap cendawan Botrytis cinerea, Sclerotinia sclerotiorum serta R. solani. Ekspresi gen tersebut pada varietas gandum juga dilaporkan memberikan ketahanan terhadap penyakit karat daun serta cendawan R. solani (Broglie et al. 1991). Menurut Lorito et al. (1998), gen endokitinase T. harzianum lebih efektif dalam pengendalian penyakit dibandingkan gen kitinase tanaman. Terdapat beberapa nama yang diberikan pada gen endokitinase antara lain ech42 dan ThEn-42 yang semuanya berasal dari Trichoderma spp. (Garcia et al. 1994; Hayes et al. 1994) yang menyandi endochitinase berukuran 42-kDa. Sebenarnya gen ech-42 tersebut sebelumnya diberi nama ThEn-42 (Carsolio et al. 1994). Gen penyandi endochitinase merupakan gen dengan kopi tunggal (Garcia et al. 1994; Lora et al. 1995) dan biosintesis enzimnya terutama dikendalikan pada level transkripsi (Garcia et al. 1994; de la Cruz et al. 1995). Mekanisme antagonis utama oleh T. harzianum terhadap fungi patogen melalui pengeluaran enzim, termasuk β-1,4 glukanase, kitinase dan proteinase (Elad et al. 1982). T. harzianum memproduksi berbagai enzim kitinolitik termasuk N-acetyl-β-Dglukosaminode, 1,4-β kitobiosidase dan endokitinase (Harman et al. 1993). Ekspresi kitinase pada mekanisme mikoparasit T. harzianum secara in situ dimonitor dengan mengkonstruksi suatu galur yang mengandung fusi ”green fluorescent protein” (GFP) pada sekuen 5’ regulator dari
gen ech42.
Hasil menunjukkan bahwa gen ech42
diekspresikan sebelum kontak dengan R. solani dan diinduksi oleh kitooligosakarida terlarut yang dihasilkan oleh aktivitas konstitutif Chit42 (Zeilinger et al. 1999). Ekspresi gen ech42 dilaporkan konsisten terjadi pada konfrontasi antara T. atroviride dan R. Solani (Kullnig et al. 2000). Ekspresi ech-42 meningkat sangat kuat selama interaksi langsung mikoparasit T. harzianum dengan cendawan patogenik apabila dikonfrontir secara in vitro dan dengan ditumbuhkan dalam media minimal yang mengandung kitin sebagai sumber karbon tunggal (Carsolio et al. 1994). Namun demikian pada studi ekspresi dua gen utama kitinase yaitu nag1 (penyandi CHIT73, N-acetyl-β-D-glucosaminidase) dan ech42 (penyandi CHIT42, endochitinase) dari Trichoderma atroviride (T. harzianum P1) menunjukkan bahwa mekanisme regulasi nag1 dan ech42 sangat berbeda. Gen nag1 diinduksi oleh kitooligosakarida dengan berat molekul rendah dan ini adalah hasil dari
9 kataboliknya sendiri, sedangkan ekspresi ech42 nampaknya tidak langsung diinduksi oleh kitin murni atau kitooligosakarida tetapi oleh keterbatasan karbon dan kondisi stres yang terdapat dalam media tumbuhnya (Mach et al. 1999). Konstruksi, Transformasi dan Overekspresi Gen Kitinase Perkembangan bioteknologi telah memungkinkan dilakukannya upaya-upaya peningkatan aktivitas biologis pada organisme melalui teknik kloning gen. Kloning gen yang dilakukan dengan teknologi DNA rekombinan yang merupakan bagian dari sejumlah percobaan untuk mentransfer informasi genetik (DNA) dari satu organisme ke organisme yang lain. Percobaan DNA rekombinan meliputi : (i) isolasi DNA yang berfungsi sebagai DNA donor, DNA terklon, DNA tersisip maupun DNA asing; (ii) pemotongan dan penyambungan secara enzimatis ke dalam DNA vektor membentuk molekul DNA rekombinan; (iii) transfer hasil konstruksi vektor-DNA sisipan ke dalam suatu sel inang; (iv) identifikasi sel-sel inang yang menangkap dan membawa konstruksi gen sisipan (Glick dan Pasternak 1994). Vektor sebagai wahana dalam teknik transfer gen harus mempunyai karakteristik tertentu diantaranya yaitu memiliki origin of replication (ori), memiliki penanda seleksi yang biasanya merupakan gen-gen penyandi resistensi terhadap senyawa antibiotik dan tersedianya situs-situs endonuklease restriksi untuk situs kloning sisipan DNA (Brown 1990). Penanda seleksi yang dominan penting dalam pelaksanaan transformasi, dimana sistem tersebut dapat digunakan secara langsung dalam strain liar, tanpa harus terjadi mutasi pada strain liar tersebut.
Sistem transformasi berdasarkan seleksi resistensi
terhadap higromisin B menggunakan sekuen regulator heterologus telah banyak dilaporkan dalam cendawan fitopatogen seperti Ascomycetes seperti Fulvia fulva, R. secalis. Sekuen regulator dari Aspergillus nidulans yang digunakan dalam transformasi beberapa basidiomycetes jarang dilakukan dan penggunaan sekuen homologus terbukti lebih efisien. Sistem transformasi melalui Agrobacterium memiliki beberapa kelebihan dibanding sistem transformasi lainnya. Dengan menggunakan satu plasmid Ti dari Agrobacterium, maka multiple transgen dapat digabung dan ditempatkan di antara batas atau border T-DNA dan selanjutnya diintegrasikan kedalam genom tanaman. Hal penting
10 dalam proses transformasi melalui A. tumefaciens ini adalah transfer T-DNA ke inti tanaman target, integrasi T-DNA tersebut kedalam genom tanaman target yang diinduksi oleh ekspresi gen-gen vir serta ekspresi gen-gen yang tertransformasi (Chang et al. 1992). Selain itu, integrasi T-DNA yang membawa transgen ke dalam genom resipien, akan mengalami sedikit pengaturan kembali secara intra dan intermolekuler, untuk memulihkan sistem transkripsi dan translasi genom tanaman resipiennya. Transformasi melalui Agrobacterium lebih menjamin kestabilan genom tanaman resipien (Sheng dan Citovsky 1996). Peningkatan efisiensi biokontrol dari Trichoderma spp. telah berhasil dilakukan dengan membuat transformasi gen penyandi protease (Flores et al. 1997) maupun gen penyandi glukanase (Miggeli et al. 1998).
Strategi peningkatan jumlah kopi gen
penyandi endochitinase diharapkan dapat pula meningkatkan produksi enzim kitinasenya dan selanjutnya akan menambah aktivitas penghambatan terhadap patogen target. Produksi enzim ektraselular seperti ß-1,3 glukanase, kitinase dan proteinase merupakan mekanisme antagonistik T. harzianum terhadap cendawan patogen (Kullnig et al. 2000). Peningkatan
aktivitas
biokontrol
Trichoderma
sp.
dapat
dilakukan
dengan
mengintroduksikan gen asing ke dalam genomnya. Introduksi gen kitinase dipilih karena kitin merupakan komponen utama dinding sel dari berbagai cendawan patogen (Haran et al. 1993) sehingga mudah dirombak oleh enzim kitinase. Pengembangan T. harzianum sebagai agen pengendali hayati yang lebih efektif telah dilakukan dengan mentransformasi gen kitinase yang berasal dari berbagai sumber. Salah satunya berasal dari Serratia marcescens, bakteri tanah yang diketahui mempunyai aktivitas kitinolitik yang kuat. Dua transforman menunjukkan aktivitas kitinase yang meningkat dan pengujian aktivitas antagonis terhadap patogen Sclerotium rolfsii menunjukkan zona litik yang lebih luas dibanding non transforman (Haran et al. 1993). Overekspresi
β-1,6-endoglukanase
pada
T.
longibrachiatum
meningkatkan
kemampuannya untuk mengendalikan Pythium ultimum (Migheli et al. 1998). Kloning gen kitinase dari Trichoderma sp. galur DT41 isolat lokal telah berhasil dilakukan dengan menggunakan primer yang didesain berdasarkan sekuen gen endokitinase yang dipublikasikan oleh Hayes et al. (1994). Amplikon berukuran sekitar 1.5 kb disekuen dan menghasilkan homologi yang tinggi dengan gen kitinase pada
11 database (Purwantara 2003). Gen kitinase 1.5 kb (chi) yang berasal dari T. harzianum isolat lokal DT41 ini mempunyai homologi yang tinggi dengan gen kitinase yang berasal dari T. harzianum isolat DT38 (Lusitawati 2005). Kedua sekuen gen kitinase yang berasal dari T. harzianum DT38 dan DT41 masing-masing terdapat 3 bagian intron dengan posisi yang sedikit berbeda dan bagian eksonnya menyandikan 424 asam amino. Gen kitinase 1.5 kb (chi) yang berasal dari T. harzianum isolat lokal DT41 diklon di antara promoter glyceraldehydes-3-phosphate dehydrogenase (gpd) dan terminator transkripsi tryptophan synthetase (trpC) dari A. nidulans pada situs EcoRV dan BamHI dalam pTrpCPT yang dikonstruksi oleh D. Gardiner, Universitas Melbourne, Australia (Purwantara 2003). Selanjutnya kaset gen dalam pTrpCPT diklon ke dalam vektor biner pPK2 (Gambar 2).
Gambar 2. Peta plasmid biner pPK2-Trp-Chi (Purwantara 2003)