Cara Jitu Mengendalikan Penyakit Busuk Pangkal Batang Pada Tanaman Wijen Oleh : Cece Suhara Salah satu kendala dalam pengusaha wijen adalah gangguan penyakit. Hasil inventarisasi di daerah pengembangan tanaman wijen ditemukan adanya penyakit dengan gejala keriting daun; becak batang, daun dan buah; busuk akar, batang dan buah; penyakit layu dan phylody. Kerugian yang ditimbulkan akibat gangguan berbagai patogen dapat menurunkan produksi 50%. Penyakit potensial yang sering merugikan ditemukan antara lain penyakit dengan gejala busuk pangkal batang, patogen penyebabnya adalah Phytophthora sp. Gejala serangan awal dari penyakit ini yakni menyebabkan polong berwarna hijau kusam ditumbuhi meselia halus berwarna putih, dalam perkembangan selanjutnya polong menjadi berwarna hitam. Apabila polong yang terserang menempel pada batang, maka bagian batang akan ikut terserang dan berwarna coklat. Biji buah yang terinfeksi berwarna kuning berbecak coklat. Patogen penyebabnya dapat pula menimbulkan kanker batang dari permukaan batang sampai titik tumbuh. Apabila yang terserang pangkal batang maka tanaman akan layu, sedangkan bila yang terserang bagian atas maka yang terpengaruh hanya bagian atasnya saja. Penyebab: Phytophthora yang ditemukan pada wijen di Indonesia belum diidentifikasi sehingga dinamai Phytophthora sp. Patogen ini termasuk tular tanah dan dapat menyebabkan rebah kecambah pada bibit, menyerang batang, bunga dan buah, sehingga sangat potensial menimbulkan kerugian. Uji terhadap buah, daun, bibit di rumah kasa menunjukkan bahwa patogenisitas cendawal ini tinggi karena semua bagian yang diinokulasi menunjukkan gejala dalam waktu kurang satu minggu. Penyakit berkembang cepat pada suhu 280 – 300 C. Peningkatan suhu akan menurunkan serangan. Daerah Penyebaran: Penyakit ini pertama kali dilaporkan di Peru, ditemukan pula di India, Nigeria dan di Indonesia. Khusus di Indonesia menurut Ibrahim et. al., (1996) penyakit ini telah ditemukan di Karangjati (Boyolali), Kebon (Ngawi), Kedawung dan Klakah (Lumajang). Pengendalian: Pengendalian penyakit secara kimiawi mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan microorganisme non target. Alternatif yang paling aman dengan menggunakan konsep pengendalian penyakit secara terpadu yang di dalamnya mengatasi tujuan tersebut yaitu dengan meningkatkan ketahanan varietas melalui program pemuliaan. Dari hasil penelitian Suhara et. al., (2004) telah diperoleh beberapa galur harapan 99001/9/1; 99001/9/3; 99001/9/7; 99001/10/9; 99001/12/6; 9900/14/8 dan varietas SBR-1 yang tahan terhadap penyakit busuk pangkal batang ini.
Menurut Holliday (1980) penyakit yang disebabkan oleh Phytophthora sp. Dapat dikendalikan dengan senyawa Copper dan Zineb. Song et. Al. (1987) mengatakan bahwa kombinasi metalaxyl + benomil + copper clorida (6,5+15+25%) adalah kombinasi tiga fungisida yang paling baik untuk mengendalian penyakit ini masih belum bisa dilakukan selain mencabut dan membuangnya kemudian dibakar agar tidak menulari tanaman sehat lainnya.
Cece Suhara Penulis dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang Dimuat pada Tabloid Sinar Tani, 17 Mei 2006
Berapa Jauh Indonesia dari Swasembada Kedelai ?
Dalam hal perkedelaian bangsa Indonesia sebenarnya pantas bersyukur atas pemilikan teknologi pengolahan yang dapat mendatangkan nilai tambah (added value) terhadap bahan baku kedelai, serta tersedianya konsumen atau pasar produk olahan kedelai, dalam bentuk tempe, tahu dan kecap yang besar dan berkelanjutan. Stabilitas dan pertumbuhan permintaan akan produk tersebut hampir dapat disejajarkan dengan permintaan akan beras, hanya jumlahnya yang lebih kecil. Proses peningkatan nilai tambah kedelai menjadi produk olahan dapat disetarakan dengan proses olahan produk primer impor CPO (minyak sawit mentah) oleh negara-negara Eropa yang kemudian diolah menjadi berbagai produk olahan sekunder dan tertier, berupa sabun, bahan kosmeti, dan sebagainya. Jadi dapat mengimpor bahan mentah kedelai yang harganya relatif murah, kemudian mengubah menjadi produk olahan menggunakan asli pedesaan (indigenous tecnology). Namun permasalahannya, bahan baku kedelai yang sebenarnya dapat diproduksi oleh petani indonesia sendiri sebagian besar masih harus diimpor. Adanya industri olahan primer kedelai dan ditambah dengan kebutuhan bungkil kedelai ( biji kedelai yang telah diambil minyaknya) sebagai pakan ternak, sebenarnya merupakan peluang pendapatan tunai bagi petani kecil di seluruh Indonesia. Berdasarkan perkiraan data kasar, Indonesia masih harus mengimpor 1,5 juta ton kedelai dan 1 juta ton bungkil kedelai, serta 1,2 juta ton kedelai biji, atau impor kedelai total 2,2 juta ton per tahun. Hargakedelai dipasar internasional sekitar US$ 6,- per bushel atau (6xRp 9.500,-) per 27 kg. Atau Rp 2.111,per kg (bushel kedelai = Rp 4.644.200 juta atau Rp 4,6 triliun per tahun tersebut dibelanjakan kepada petani kedelai di lahan pertanian ”bukaan baru” di Sumatera atau Kalimantan, betapa besar perputaran ekonomi pedesaan di ”Wilayah baru pengandaian” itu. Sayang sekali bahwa wilayah bukaan baru untuk kedelai hingga kini belum (tidak) ada, dan wilayah baru kedelai tadi untuk sementara menggunakan ladang kedelai petani Brasil, Argentina, atau Amerika Serikat. Sejarah Impor Kedelai Indonesia Impor kedelai Indonesia menurut laporan Blokhuis dan Von Libbenstein (1932) sudah terjadi sejak tahun 1928 bersal dari Manchuria, walaupun jumlahnya tidak banyak, 63.000 ton/tahun. Pada sekitar tahun 1934 oleh adanya imbas resesi ekonomi dunia, Pemerintah kolonial Belanda melarang impor kedelai dan sebagain gantinya membuat program peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Pada waktu itu jumlah penduduk masih sedikit, lahan pertanian di jawa masih banyak yang diberakan, atau hanya ditanami padi sekali setahun. Program peningkatan produksi kedelai dilakukan dengan membagikan benih kepada petani di wilayah yang belum pernah menanam kedelai. Walaupun produksi kedelai per ha saat itu hanya sekitar 6 kuintal, tetapi kebutuhan kedelai dalam negeri dapat dicukupi hingga tahun 1950- an. Kekurangan kedelai baru mulai lagi awal tahun 1960-an, sehingga Pemerintah Orla dalam program pembangunan semesta berencana mencanangkan peningkatan produksi kedelai pada tahun 1964, atas hasil rumusan lokakarya kedelai di bogor pada tahun 1964.
Pada tahun 1950-1970an jumlah konsumen tahu dan tempe masih terbatas pada (terutama) orang Jawa, Sunda, Madura dan penduduk kota kota besar masih relatif kecil. Oleh karena itu dari tahun 1950-1975, selain impor, Indonesia juga menjadi pengekspor kedelai. Tercatat pada tahun 1951 Indonesia impor kedelai 325 ton senilai Rp 128.455,tetapi pada tahun 1953 mengekspor 6.866 ton senilai Rp 10 juta (Hadi Saputro,1964). Sejarah penaman kedelai di Indonesia walaupun tidak setua di China, sebenarnya telah dilakukan jaum sebelum Ameriks,brazil, Argentina, atu Australia. Laporan Rumphius pada tahun 1750 menyebutkan bahwa petani di Jawa dan Bali. Bali telah banyak menanam kedelai, dan sejak tahun 1892 menurut Romburgh kedelai sudah menjadi tanaman penting, di samping padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Bandingkan Amerika Serikat baru memulai menanam kedelai pada tahun 1950-an, dan Brazil-Argentina baru mulai pada tahun 1970-1980-an. India memperluas areal tanam kedelainya baru pada tahun 1990-an. Jadi, dari segi pengalaman budidaya, petani Indonesia (khususnya petani di P. Jawa-Bali) sudah sangat berpengalaman panjang secara turun-temurun.