II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Salak Nangka Bali Salak nangka bali termasuk dalam suku palmae (Arecaceae) yang tumbuh
berumpun dan merupakan tanaman asli Indonesia. Buah salak merupakan salah satu jenis buah tropis asli Indonesia yang banyak digemari orang termasuk dari luar negeri karena mempunyai rasa yang khas (Rachmawati, 2010). Buah salak sama dengan hasil hortikultura lain yang cepat mengalami kerusakan selama penyimpanan, kerusakan tersebut dapat terjadi karena reaksi enzimatis, reaksi kimia dan aktifitas mikroorganisme (Nurul, 2010). Secara umum di Indonesia ada tiga jenis salak yang termasuk dalam kelompok Salacca edulis. Pembagiannya didasarkan pada bentuk tanaman, bentuk buah dan rasanya. Ketiga jenis salak ini, adalah Salak Padang Sidempuan, Salak Madura dan Salak Bali (Anarsis, 2006). Salak tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 700 meter di atas permukaan air laut (dpl) dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur, dan lembab, dengan derajat keasaman tanah (pH) 4,5-7,5 dan kondisi tanah yang kelembabannya tinggi. Buah salak dapat dipanen setelah matang benar dipohon, biasanya berumur enam bulan setelah bunga mekar. Hal ini ditandai oleh sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan bulubulunya telah hilang. Ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa lunak bila ditekan. Tanda buah yang sudah tua menurut sumber lain adalah warnanya mengkilat, bila dipetik mudah terlepas dari tangkai buah, dan aroma khas salak
5
6
cukup kuat. Pemanenan buah salak yakni dengan cara memotong tangkai tandannya (Nurul, 2010). Buah salak mempunyai bentuk bulat lonjong atau bulat segitiga, terdiri atas kulit, daging buah dan biji. Daging buah salak berwarna putih kekuningan atau putih kecoklatan, tidak berserat dan terdiri dari satu, dua atau tiga suku dengan atau tanpa anakan, yang masing-masing dilapisi kulit ari yang sangat tipis. Kulit salak tersusun atas sisik kulit berwama coklat, coklat kekuningan atau coklat kehitaman, dengan ujung sisik agak tajam (Purwantoro, 2005). Gambar Buah salak dapat dilihat pada Gambar 1. Buah salak pada umumnya mengandung nilai gizi yang cukup tinggi dan nilai gizinya dapat dilihat pada Tabel 1.
Gambar 1. Buah Salak Bali
7
Tabel 1. Komposisi kimia daging buah salak (pada total 100 g daging buah). Komponen
Kandungan Gizi
Kalori (kal) Air (g) Protein (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin C (mg) Vitamin B1 (mg) Sumber : Simanjuntak (1998)
77,0 78,0 0,4 20,9 28,9 18,0 4,2 2,0 0,04
Menurut Nurul (2010), salak merupakan sumber serat yang baik dan mengandung karbohidrat. Rasa buahnya manis dan memiliki bau dan rasa yang unik. Salak mengandung zat bioaktif antioksidan seperti vitamin A dan vitamin C, serta senyawa fenolik. Salak memiliki umur simpan kurang dari seminggu karena proses pematangan buahnya cepat dan mengandung kadar air yang cukup tinggi yakni sekitar 78%. Buah salak harus dipetik pada tingkat ketuaan yang optimum, sebab buah salak yang masih muda umumnya mempunyai rasa sepat yang menonjol. Pada tingkat ketuaan optimum rasa sepatnya hilang dan berubah menjadi manis dengan sedikit rasa asam serta mengeluarkan aroma yang harum. Kerusakan buah salak ditandai dengan bau busuk dan daging buah salak menjadi lembek dan menyusut serta berwarna hitam kecoklat-coklatan. Oleh karen itu, untuk menghambat kerusakan yang terjadi pada buah salak diperlukan penanganan yang meliputi pengumpulan, penyortiran, penggolongan, pengemasan dan pengangkutan (Soetomo dan Moch, 2001).
8
2.2
Kerusakan Buah Salak Bali Buah salak setelah fase matang mengalami fase penuaan (senescence)
yang disusul dengan kerusakan karena merosotnya ketahanan terhadap mikroba pembusuk. Kerusakan dapat disebabkan oleh kerusakan fisiologis, kerusakan fisiologis dapat terjadi karena adanya respon terhadap keadaan lingkungan yang kurang menguntungkan terutama terhadap suhu atau defisiensi zat makanan selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Selain itu, dapat terjadi kerusakan patologis yang disebabkan oleh mikroba yang dapat terjadi mulai saat dipanen sampai setelah panen. Beberapa jenis mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan
seperti,
Alternaria,
Botrytis,
Diplodia,
Monilia,
Penicillium,
Phomopsis, Rhizopus, dan Sclerotinia (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2008). Perubahan lain yang cukup merugikan adalah terjadinya perubahan warna daging buah secara enzimatis karena kandungan tanin (reaksi browning enzimatis). Kandungan tanin ini memberikan rasa sepat asam buah salak serta jika terkena udara maka akan menghasilkan perubahan warna coklat. Perubahan warna coklat tersebut juga umum dialami oleh buah-buahan yang mengandung kadar karbohidrat tinggi sebagai reaksi dari kandungan gula. Perubahan warna ini hanya bisa dihambat dengan penambahan sulfur dioksida sebagai bahan antioksidan. Selain itu pertumbuhan jamur juga bisa terjadi apabila kulit atau daging buah salak terluka sehingga daging akan berubah menjadi lunak dan berbau busuk. Hal ini menyebabkan daya simpan salak segar menjadi relatif singkat hanya 7 hari saja (Rachmawati, 2010).
9
2.3
Pengawetan Buah Salak Bali Pengawetan buah bertujuan untuk mencapai umur simpan maksimal.
Usaha yang sering dilakukan untuk dapat memperlambat pematangan buah adalah memperlambat respirasi (Adirahmanto, 2013). Penelitian yang sudah dilakukan untuk mempertahankan kualitas buah salak masih terbatas pada penggunaan bahan pengemas, penyimpanan suhu rendah, atmosfer terkendali, modifikasi atmosfer, penggunaan zat kimia berupa CaCO3 dan pelapisan kulit buah dengan emulsi lilin (Rachmawati, 2010). a. Pelapisan dengan lilin Pelapisan lilin bertujuan untuk memberikan perlindungan buah dari mikroba pembusuk, menutup kerusakan kecil misalnya luka akibat goresan, memberikan penampakan yang lebih baik pada permukaan kulit buah, menghambat laju respirasi, mengurangi laju kehilangan air 30-50% sehingga dapat memperlambat kelayuan, dan memperpanjang umur simpan, ini sangat sesuai untuk daerah-daerah yang tidak mempunyai fasilitas penyimpanan dingin (Sudjatha dan Wisaniyasa, 2008). Lilin yang biasa digunakan adalah lilin lebah, dengan bahan sarang lebah, benlate 50, trietanolamin, asam oleat, amilum 1%, iodium 0,01N, NaOH 0,1N, penolphtalen, dan aquades. Lilin lebah diperoleh dengan merebus sarang lebah pada suhu 65oC, lilin lebah akan mengapung di permukaan air. Lilin lebah tersebut selanjutnya dipindahkan pada wadah perebus lain, direbus lagi pada suhu 90oC dan didinginkan sehingga diperoleh lilin lebah yang lebih murni dan bersih. Emulsi lilin ini dapat diencerkan sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan dengan menambahkan air panas (Coggeshall dan Morse, 1984).
10
b. Edible Coating Edible coating merupakan suatu metode yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu dari buah-buahan pada suhu ruang. Edible coating adalah lapisan tipis yang bertujuan untuk memberikan penahanan yang selektif terhadap perpindahan massa dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Baldwin, 2007). Edible film adalah lapisan tipis yang menyatu dengan bahan pangan, layak dimakan dan dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Edible film dibentuk sebagai coating pada permukaan bahan makanan atau bagian bahan yang berbeda. Edible film berfungsi sebagai barrier untuk menghambat absorbsi atau transfer uap air dan gas (CO2, O2), memperbaiki struktur mekanika bahan pangan dan sebagai bahan tambahan pangan yang memberi efek anti mikrobia dan flavour (Kester dan Fennema, 1996). Edible film dari jenis chitosan merupakan lapisan semi permiabel yang mampu memodifikasi atmosfer internal pada buah untuk menahan laju transpirasi sehingga dapat memperpanjang masa simpan (Nisperos dan Baldwin, 1996). Penggunaan pelapisan chitosan dengan konsentrasi 1,5% pada buah strawberry yang disimpan pada suhu 13oC terbukti mampu menekan kerusakan buah selama penyimpanan (El Graouth, 1991). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa strawberry yang diberi pelapisan chitosan lebih tinggi tingkat kekerasannya, produksi antosianin dan total asamnya daripada strawberry tanpa pelapisan chitosan maupun strawberry yang diberi fungisida. Karena chitosan mampu berfungsi sebagai anti fungal sehingga buah-buahan yang dilapisi dengan chitosan tidak mudah rusak selama pengangkutan dan penyimpanan. Selain itu bahan baku
11
yang digunakan untuk membuat chitosan banyak terdapat di alam Indonesia, karena chitin dan chitosan berasal dari sisa buangan industri kepiting dan udang. c. Asam Oleat Salah satu jenis asam lemak tak jenuh adalah asam oleat, asam oleat merupakan asam lemak yang paling banyak ditemukan di hampir seluruh bahan makanan baik hewani maupun nabati. Asam oleat merupakan komponen utama penyusun minyak zaitun. Asam oleat dapat dikategorikan sebagai asam lemak esensial, yang berarti kehadirannya dibutuhkan oleh tubuh namun asam oleat tidak dapat diproduksi di dalam tubuh dan hanya bisa didapat melalui sumber eksternal tubuh (Lu dkk, 2009). Asam oleat adalah senyawa kimia yang merupakan komponen penyusun lemak pada umumnya, pertama ditemukan oleh Chevreul dalam Recherches sur les corps gras tahun 1815. Kata oleat berasal dari kata “olein” yang berarti berasal dari olive karena minyak zaitun merupakan sumber utama dari asam oleat. Klasifikasi asam oleat dilakukan berdasarkan sumbernya dan jumlah ikatan rangkap yang dimilikinya. Kandungan asam oleat terdapat dalam bahan makanan secara alami. Oleh karena itu, asam oleat dapat dikategorikan sebagai natural fatty acid, atau asam lemak yang bersumber dari alam. Asam oleat memiliki rumus molekul C18H34O2, merupakan asam lemak rantai lurus beratom karbon 18 yang memiliki satu buah gugus karboksilat pada salah satu ujungnya. Asam oleat termasuk monosaturated fatty acid, merupakan asam lemak tak jenuh yang memiliki satu buah ikatan rangkap yang berada antara atom karbon nomor 9 dan 10. Pada Gambar 2 disajikan struktur molekul asam oleat (Mora, 2013).
12
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
H |
O
H3C—C —C —C —C —C —C —C —C —C —C —C —C —C —C — C — C — C | | | | | | | | | | | | | | O H H H H H H H H H H H H H H
Gambar 2. Struktur Molekul Asam Oleat (Mora, 2013) Asam oleat seperti senyawa-senyawa kimia lainnya memiliki sifat-sifat fisik dan kimia yang khas dan berbeda dengan senyawa lain. Sifat-sifat fisik asam oleat disajikan pada Tabel 2. Sedangkan sifat-sifat kimia asam oleat disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Sifat-sifat Fisik Asam Oleat Variabel Berat molekul Wujud Kelarutan Titik lebur Titik didih Densitas Viskositas mPa.s (oC) Panas spesifik J/g (oC) Sumber : Ketaren (2008)
Sifat 282,4614 g/mol Cairan berwarna kuning pucat atau kuning kecoklatan Tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter, dan beberapa pelarut organic 13-14oC 360 oC (760 mmHg) 0,895 g/Ml 27,64 (25), 4,85 (90) 2,046 (50)
Tabel 3. Sifat Kimia Asam Oleat Variabel Karsinogenisitas Batas eksplosivitas Stabilitas Reaktif terhadap Produk samping yang berbahaya Polimerisasi yang berbahaya Sumber : Ketaren (2008)
Sifat Tidak ada LEL : 3,3% UEL : 19% Stabil Kelembaban, logam alkali, ammonia, agen pengoksidasi, peroksida Karbon dioksida, karbon monoksida Tidak akan muncul
13
d. Asam Stearat Asam stearat adalah asam lemak jenuh yang mudah diperoleh dari lemak hewani. Kata stearat berasal dari bahasa Yunani stear, yang berarti lemak padat. Asam stearat diproses dengan memperlakukan lemak hewan dengan air pada suhu dan tekanan tinggi. Asam ini dapat pula diperoleh dari hidrogenasi minyak nabati. Dalam bidang industri asam stearat dipakai sebagai bahan pembuatan lilin, sabun, plastik, kosmetika, dan untuk melunakkan karet. Senyawa ini juga banyak digunakan untuk mengubah konsistensi atau suhu leleh suatu produk, sebagai pelumas, atau mencegah oksidasi. Salah satu penggunaan paling popular asam stearat adalah dalam produksi lilin (Santi, 2012). Struktur molekul asam stearat dapat dilihat pada Gambar 3 dan sifat fisik asam stearat dapat dilihat pada Tabel 4.
Gambar 3. Struktur molekul asam stearat (Santi, 2012). Tabel 4. Sifat Fisik Asam Stearat Variabel Berat molekul Titik lebur Titik didih Densitas
Sifat 284.478 g/mol 69.6°C 2910C 0.847 g/cm 3 at 70 °C Merupakan asam lemak jenuh
Sumber : Ketaren (2008).
e. Asam Palmitat Asam palmitat adalah salah satu dari banyaknya asam lemak jenuh yang ditemukan dalam hewan dan tumbuh-tumbuhan. Seperti namanya, asam palmitat
14
adalah komponen utama dari minyak yang berasal dari pohon palm. Asam palmitat adalah asam lemak pertama yang diproduksi melalui lipogenesis (sintesis asam lemak) (Pasaribu, 2004). Asam palmitat adalah asam lemak jenuh yang tersusun dari 16 atom karbon (CH3(CH2)14COOH). Pada suhu ruang, asam palmitat berwujud padat berwarna putih. Titik leburnya 63,1°C. Dalam dunia industri asam palmitat banyak dimanfaatkan dalam bidang kosmetika dan pewarnaan. Dari segi gizi, asam palmitat merupakan sumber kalori penting namun memiliki daya antioksidasi yang rendah. Struktur molekul asam palmitat dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Molekul Asam Palmitat (Santi, 2012) 2.4
Emulsi Emulsi adalah campuran antara partikel-partikel suatu zat cair (fase
terdispersi) dengan zat cair lainnya (fase pendispersi) dengan satu campuran yang terdiri dari dua bahan tak dapat bercampur dengan satu bahan tersebar di dalam fasa yang lain. Setiap bahan pangan memiliki jenis emulsi dan pengaruh jenis emulsi yang berbeda-beda, karena setiap bahan pangan memilki karakteristik masing-masing. Salah satu dari zat cair tersebut tersebar berbentuk butiranbutiran kecil kedalam zat cair yang lain distabilkan dengan zat pengemulsi/ emulgator (Febrina, 2007). Emulsi tersusun atas tiga komponen utama, yaitu fase terdispersi (zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil ke dalam zat cair lain (fase internal), fase
15
pendispersi (zat cair yang berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung) dari emulsi tersebut (fase eksternal), emulgator (zat yang digunakan dalam kestabilan emulsi). Dalam penelitian ini yang bertindak sebagai emulgator adalah tween 80 dan NaHCO3. Emulgator merupakan suatu zat yang digunakan untuk meningkatkan kemudahan membentuk emulsi atau untuk meningkatkan kestabilan emulsi (Anief, 1999). Sistem emulsi, minyak dalam air (M/A) adalah sistem dengan fasa terdispersinya (fasa diskontinyu) adalah minyak dan fasa pendispersinya (fasa kontinyu) adala air. Sebaliknya, emulsi air dalam minyak (A/M) adalah emulsi dengan air sebagai fasa terdispersi dan minyak sebagai fasa pendispersinya. Selain dua tipe emulsi yang telah disebutkan sebelumnya, ada suatu sistem emulsi yang lebih kompleks yang dikenal dengan emulsi ganda misalnya pada emulsi M/A, di dalam globul minyak yang terdispersi dalam fase air terdapat globul air sehingga membentuk emulsi A/M/A. Sebaliknya, apabila terdapat globul minyak di dalam air pada emulsi A/M akan membentuk emulsi M/A/M. Pembuatan emulsi ganda ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk memperpanjang kerja obat, untuk makanan, dan untuk kosmetik (Martin, 1993).