TINJAUAN PUSTAKA Produksi, Harga dan Konsumsi Kopi Dunia Kopi merupakan salah satu minuman penyegar yang sangat populer di dunia yang dikonsumsi bukan sebagai sumber nutrisi tetapi terkait dengan cita rasa dan aroma yang khas. Aspek mutu yang berhubungan dengan sifat fisik, kimiawi, kontaminasi dan kebersihan biji kopi harus diawasi secara ketat karena berpengaruh pada cita rasa, dan kesehatan konsumen. Sebagai salah satu produsen kopi terbesar di dunia, Brasil memiliki peranan yang cukup dominan dalam perdagangan kopi sehingga sampai batas tertentu memiliki peranan yang signifikan dalam penentuan harga kopi dunia (Susila, 1999). Pada tahun 2008, produksi kopi Brasil mencapai 2315 ribu ton yang diikuti oleh Vietnam, Colombia, Indonesia dan India masing-masing sebesar 1018 ribu ton, 769 ribu ton, 361 ribu ton dan 277 ribu ton (Gambar 1). Perdagangan dan perkembangan industri kopi dunia, sedang dan akan terus mengalami perubahan sebagai akibat liberalisasi perdagangan yang berpangkal dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) Putaran Uruguay yang ditandatangani pada tanggal 15 Desember 1993. Secara garis besar perubahan produksi atau stok akan segera diikuti oleh perubahan harga. Perubahan harga umumnya tidak secara cepat dapat diikuti dan direspon dengan baik oleh perubahan produksi atau konsumsi. Arabika dan Robusta merupakan dua jenis kopi yang paling populer, baik di pasar domestik maupun internasional. Kopi Arabika dikenal memiliki cita rasa lebih baik jika dibandingkan dengan kopi Robusta. Namun demikian, kopi Robusta memiliki body atau kekentalan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kopi Arabika. Industri kopi pada umumnya menggunakan kedua jenis kopi tersebut dalam perbandingan tertentu agar diperoleh cita rasa yang prima. Kopi Arabika digunakan sebagai sumber cita rasa, sedangkan kopi Robusta digunakan sebagai campuran untuk memperkuat body (Ismayadi, 1998a, 1998b; Sulistyowati & Wahyudi, 1998). Dalam kurun waktu 11 tahun terakhir, harga biji kopi Arabika di pasar New York lebih tinggi 30 - 106 US cent/lb jika dibandingkan dengan harga kopi Robusta. Harga kopi Robusta dan Arabika tertinggi yang pernah dicapai
8
masing-masing sebesar 86.6 US cent/lb dan 106 US cent/lb, sedangkan harga terrendah masing-masing sebesar 27.5 US cent/lb dan 65.3 US cent/lb (Gambar 2). Tahun 2008 Produksi
Ekspor
% 100
Nilai, 000 ton ....
2.000
80 1.500 60 1.000 40 500
Nilai ekpor terhadap produksi, %.............
120
2.500
20
0
Brasil
Colombia
Vietnam
Indonesia
India
Gambar 1. Negara utama produsen kopi di dunia (AEKI, 2010)
200
Harga, US cents/lb .........
180
Arabika
Robusta
160 140 120 100 80 60 40 20 0 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun
Gambar 2. Harga kopi Arabika dan Robusta di pasar New York (ICO, 2010)
Konsumsi kopi dunia antara tahun 2003-2008 menunjukkan peningkatan sebesar 633 ribu ton dengan tingkat produksi yang berfluktuasi antara 6538-7738 ribu ton (Gambar 3). Hal tersebut menunjukkan adanya potensi dan peluang yang cukup besar dalam pemasaran produk kopi di pasaran internasional baik untuk jenis Arabika maupun Robusta.
9
Konsumsi dan produksi kopi dunia, 000 ton ...............
8.000 7.800
Konsumsi
Produksi dunia
7.600 7.400 7.200 7.000 6.800 6.600 6.400 6.200 6.000 5.800 2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 3. Konsumsi dan produksi kopi dunia (AEKI, 2010)
Produksi, Harga dan Konsumsi Kopi Indonesia Kopi merupakan salah satu penghasil sumber devisa Indonesia, dan memegang peranan penting dalam pengembangan industri perkebunan. Dalam kurun waktu 20 tahun luas areal dan produksi perkebunan kopi di Indonesia, khususnya perkebunan kopi rakyat mengalami perkembangan yang sangat signifikan (Gambar 4). Produksi kopi memiliki keterkaitan yang kuat dengan jumlah luas tanaman menghasilkan (Susila, 1999). Pada tahun 1980, luas areal dan produksi perkebunan kopi rakyat masing-masing sebesar 663 juta hektar dan 276 juta ton, dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan luas areal dan produksi yang cukup signifikan masingmasing sebesar 1241 juta hektar dan 676 juta ton (Ditjendbun, 2010).
Produksi perkebunan kopi
Luas area perkebunan kopi
1.200
90
800
80
700
40
600
30 400 20 200
PR
PBN/PBS
10 -
1980 1982
1984 1986
1988 1990 1992
1994 1996
Tahun
1998 2000 2002
2004 2006
2008 2010
35 PR, 000 ton ...
50
600
PBN/PBS, 000 hasss
PR, 000 ha ....
60 800
45 40
70 1.000
50
500
30
400
25 20
300
15 200 10 100
PR
PBN/PBS
5
-
1980
1982 1984 1986
1988 1990
1992 1994
1996 1998
2000 2002
2004 2006 2008
Tahun
Gambar 4. Luas area dan produksi perkebunan kopi di Indonesia
2010
PBN/PBS, 000 ton .....
1.400
10
Perkembangan luas areal dan produksi juga terjadi pada perkebunan negara maupun swasta nasional, namun dengan laju pertumbuhan yang masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan perkembangan perkebunan kopi rakyat (Gambar 4). Peningkatan luas areal terjadi pada tahun 1998 sebesar 85 ribu hektar, namun luasan tersebut kembali menurun pada tahun-tahun berikutnya sampai pada kisaran luas lahan 50-60 ribu hektar sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 1975, ekspor kopi Indonesia sebesar 128 401 ton dengan nilai USD 777.53 per ton biji kopi. Walaupun terjadi peningkatan jumlah ekspor yang terjadi pada tahun 2005 sebesar 445 829 ton, namun nilai jual biji kopi pada tahun tersebut sebesar USD 1130.11 per ton biji kopi masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai jual biji kopi pada tahun 1977 dengan nilai USD 3737.02 per ton biji kopi (Ditjenbun, 2010). Zuhri (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2009, volume ekspor kopi Indonesia mencapai 410 000 ton dengan nilai US$ 777 juta, lebih rendah jika dibandingkan dengan volume ekspor tahun 2008 yang mencapai 469 000 ton dengan nilai US$ 991 juta. Lebih lanjut Yusianto et al. (2005) melaporkan bahwa ekspor kopi Arabika Indonesia mencapai 28 ribu ton/tahun atau hanya 8.28% dari total ekspor kopi Indonesia. Delapan puluh dua persen luasan areal perkebunan kopi Indonesia didominasi oleh kopi jenis Robusta, sedangkan sisanya sebesar 18% berupa kopi Arabika. AEKI (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2003-2007 total ekspor kopi Arabika Indonesia mencapai 255 ribu ton dengan nilai US$ 553 juta, dan 1177 ribu ton dengan nilai US$ 1145 juta (Gambar 5). Harga kopi Robusta di pasaran domestik maupun internasional lebih murah jika dibandingkan dengan kopi Arabika (Gambar 6), kendati volume Arabika di pasar dunia mencapai 70%, sedangkan kopi Robusta hanya 30%. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, produksi kopi Robusta mencapai 80%, sedangkan Arabika hanya 20% dari total produksi kopi (Barani, 2009). Biji kopi yang dihasilkan oleh petani kopi Indonesia dikenal dengan sebutan ”kopi asalan” karena umumnya memiliki mutu yang rendah dengan nilai cacat lebih dari 225 (Misnawi & Sulistyowati, 2006). Wijaya (2003) melaporkan bahwa dari 280 405 ton kopi Robusta yang diekspor Indonesia ke mancanegara dalam kurun waktu 1997-2001, sebanyak 35354 ton/tahun atau 12.6% diantaranya
11
bermutu grade VI yang mulai dilarang diperdagangkan di pasar internasional berdasarkan resolusi ICO (International Coffee Organization) No.147. 400
2003
2004
2005
2006
2007
350 300 250 200 150 100 50 0 Volume, ton
Nilai, 000US$
Volume, ton
Robusta
Nilai, 000US$ Arabika
Gambar 5. Volume dan nilai ekspor kopi Indonesia (AEKI,2010) Harga kopi di pasar domestik 18.000
25.000
16.000 14.000 12.000 15.000 10.000 8.000 10.000
Robusta, Rp/kg .....
Arabika, Rp/kg .......
20.000
6.000 4.000
5.000 Arabika
Robusta
2.000 -
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 6. Harga kopi Arabika dan Robusta di pasar domestik
Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 225 juta jiwa, dan beberapa kawasan wisata yang cukup banyak tersebar di beberapa wilayah merupakan dua sumber utama yang dapat meningkatkan peluang pasar kopi domestik. Tingkat konsumsi kopi per kapita penduduk Indonesia sampai dengan tahun 1999 diperkirakan hanya berkisar 0.5-0.65 kg/jiwa per tahun atau setara dengan 70000 ton/tahun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi penduduk di negara Denmark, Swedia, dan Norwegia yang telah mencapai 8-15 kg/jiwa per
12
tahun. Sedangkan tingkat konsumsi kopi penduduk Jepang 5 kg/jiwa pertahun, dan Brazil 4-5 kg/jiwa per tahun. Negara lain dengan tingkat konsumsi 1-3.5 kg per kapita per tahun antara lain Eropa Timur, Kanada, Inggris, dan Jepang (USDA, 2000). Dewasa ini kalangan pengusaha kopi memperkirakan tingkat konsumsi kopi di Indonesia telah mencapai 800 gram/kapita/tahun, dan dalam kurun waktu 20 tahun ke depan diperkirakan konsumsi kopi telah mencapai 1300 gram/kapita/tahun (Indonesian Business Today, 2010). Peningkatan luas areal dan produksi kopi Indonesia yang didominasi oleh kopi Robusta dari perkebunan rakyat serta peluang pasar dunia merupakan potensi besar dalam peningkatan kesejahteraan petani Indonesia. Resistensi produk terhadap fluktuasi harga pasar kopi internasional perlu ditingkatkan dengan pengembangan diversifikasi produk kopi yang memberikan bernilai tambah. Bahan baku yang tersedia cukup dan relatif murah serta semakin banyaknya produk impor di pasaran domestik, upaya diversifikasi kopi perlu segera dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya lokal agar memiliki harga produk yang kompetitif dan bernilai tambah. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah, harga produk yang lebih terjangkau pada level menengah ke bawah, semakin meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah wisata Indonesia, dan segmen pasar penikmat kopi yang rentan terhadap kafein belum dapat menikmati kopi karena alasan kesehatan merupakan potensi serapan pasar produk kopi di dalam negeri.
Kopi Rendah Kafein Paradigma baru penikmat dan peminum kopi adalah sebagai minuman yang dapat memberikan rasa nikmat, segar dan menyehatkan. Kesadaran manusia terhadap kesehatan berdampak pada penurunan minat untuk mengkonsumsi kopi. Kopi mengandung kafein yang diduga mempunyai efek yang kurang baik bagi kesehatan, terutama bagi penikmat kopi yang rentan terhadap kafein (Ensminger et al., 1995; Dua, 2000; Wahyuni, 2005). Bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi tinggi, kafein akan bermanfaat sebagai perangsang dalam melakukan berbagai aktivitas (Depkes, 2006; Rozanah, 2004; Widyotomo & Mulato, 2003).
13
Kopi bubuk dapat dikatakan rendah kafein jika memiliki kadar kafein antara 0.1-0.3% (Charley & Weaver, 1998). Ditjenbun (2010) melaporkan bahwa pada tahun 2008 volume ekspor Indonesia untuk biji kopi rendah kafein, dan bubuk kopi rendah kafein masing-masing sebesar 33 ton dan 185 ton dengan nilai US$ 99 ribu dan US$ 652 ribu. Sedangkan volume dan nilai impor produk yang sama masing-masing sebesar 4 ton biji kopi rendah kafein bernilai US$ 16 ribu, dan 19 ton bubuk kopi rendah kafein bernilai US$ 46 ribu (Gambar 7). 1200 Decafein
Kopi Bubuk
Kopi Bubuk decafein
1000
Nilai ...
800
600
400
200
0 Volume, ton
Nilai, 000 US$ Ekspor
Volume, ton
Nilai, 000 US$ Impor
Gambar 7. Nilai ekspor-impor kopi rendah kafein tahun 2008 (Ditjendbun, 2010)
Salah satu upaya strategi untuk mengurangi ketergantungan pasar komoditas kopi primer terhadap rendahnya harga di pasaran luar negeri adalah perluasan pasar melalui pendekatan pengembangan diversifikasi produknya. Pengembangan diversifikasi produk kopi dinilai akan memberikan insentif ekonomis bagi negara antara lain peningkatan nilai tambah yang lebih besar pada produk-produk pertanian, peluang lapangan kerja di pedesaan, pengembangan industri terkait dan peningkatan konsumsi per kapita di dalam negeri yang saat ini masih rendah. Nilai tambah dapat diperoleh dengan cara mengkonversi biji kopi asalan yang semula bernilai Rp. 9 000,- - Rp. 12 000,-/kg menjadi produk kopi rendah kafein. Kopi rendah kafein impor tersedia di Indonesia, tetapi harganya tidak terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah. Selama ini teknologi proses dekafeinasi bersumber dari teknologi impor baik dari aspek hardware dan software-nya. Hal tersebut menyebabkan harga kopi rendah kafein di dalam negeri sangat mahal dan kemungkinan berdampak pada menurunnya minat untuk minum
14
kopi. Hasil survey di pasaran lokal menunjukkan bahwa harga 100 g kopi instan rendah kafein sebesar Rp. 76 500,-. Daya saing yang lebih tinggi akan dimiliki oleh kopi rendah kafein produk lokal jika dibandingkan dengan produk impor karena bahan baku tersedia cukup banyak dan murah, proses produksi semaksimal mungkin memanfaatkan sumber daya lokal, nilai tambah lain dapat diperoleh berupa senyawa kafein, dan memperluas pasar dengan memberikan alternatif bagi peminum kopi yang rentan terhadap kafein.
Dekafeinasi Kopi Biji kopi atau sering disebut sebagai kopi beras (green beans) dalam dunia perdagangan merupakan bentuk akhir dari proses pengolahan primer (Clarke & Macrae, 1989). Kafein (C8H10N4O2) atau 1.3.7-trimetil-2.6 dioksipurin merupakan salah satu senyawa alkaloid yang sangat penting yang terdapat di dalam biji kopi. Kafein yang terkandung di dalam biji kopi kering Robusta dan Arabika masingmasing sebesar 1.16-3.27% bobot kering, dan 0.58-1.7% bobot kering. Sedangkan kafein yang terkandung di dalam biji kopi sangrai sebesar 2% bobot kering untuk kopi Robusta, dan 1% bobot kering untuk kopi Arabika (Clifford, 1985; Wilbaux, 1963; Spiller, 1999). Clarke & Macrae (1989), dan Sivetz & Desroiser (1979) melaporkan bahwa kafein tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aroma kopi, dan hanya memberikan rasa pahit sekitar 10-30% dari seduhan kopi (Morton, 1984). Johnson & Peterson (1974) melaporkan bahwa kafein dalam kondisi murni berupa serbuk putih berbentuk kristal prisma hexagonal, dan merupakan senyawa tidak berbau, serta berasa pahit (Sivetz & Desroiser, 1979). Kafein berbentuk kristal panjang mirip benang kusut, berwarna putih, mengkilat, mudah larut dalam pelarut organik (kloroform, eter, benzene), tetapi sukar larut dalam petroleum eter. Kristal kafein akan meleleh pada suhu 236°C, mulai menyublim pada suhu 120°C, dan sempurna pada suhu 178°C pada tekanan atmosfer. Kafein dapat membentuk kristal dengan satu molekul air, dan anhidrous jika dipanaskan pada suhu di atas 80°C (Spiller, 1999). Kafein dalam bentuk hidrous (hydrate) akan stabil pada suhu di bawah 52°C, dan pada bentuk anhidrous akan stabil pada suhu di atas 52°C. Kafein mudah larut dalam air, dan
15
mudah bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air dan alkohol (Macrae, 1985). Kafein yang bereaksi dengan basa akan membentuk presipitat garam. Presipitat yang tidak larut juga terbentuk jika kafein bereaksi dengan garam dari logam berat seperti Hg dan Pt (Hadiyanto, 1994). Kafein dapat berkaitan dengan potasium klorogenat menjadi garam klorogenat secara kompleks yang memiliki sifat tidak larut dalam air (Mabbett, 1999). Kafein berbentuk dasar heterosiklis yang memiliki sifat pharmakologi (Sivetz & Desrosier, 1979). Rumus bangun kafein dapat dilihat pada Gambar 8, dan keberadaan kafein terdeteksi di dalam sitoplasma disekitar lipid (Gambar 9).
Gambar 8. Rumus bangun kafein (C8H10N4O2) (Clarke & Macrae, 1989)
Gambar 9. Keberadaan kafein terdeteksi sebagai spot-spot kecil (↑ ↑) dalam sitoplasma di sekitar lipid (Clifford & Willson, 1985). Proses pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi diawali oleh pemecahan ikatan senyawa komplek kafein, dan asam klorogenat akibat perlakuan panas. Senyawa kafein menjadi bebas dengan ukuran, dan berat molekul yang lebih kecil. Kafein menjadi mudah bergerak, mudah berdifusi melalui dinding sel,
16
dan selanjutnya larut dalam air. Kafein yang terdapat di dalam sitoplasma dalam keadaan bebas (Sivetz & Desroiser, 1979), sedang selebihnya terdapat dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik (Clifford, 1985). Ikatan komplek ini menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi (Baumann et al., 1993; Horman & Viani, 1971). Pengaruh energi panas dapat menyebabkan ikatan tersebut terputus sehingga mudah larut dalam air. Pada industri pangan, proses dekafeinasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut air, organik, dan anorganik (Toledo, 1999). Katz (1997) melaporkan bahwa proses dekafeinasi pertama kali dilakukan di Jerman pada tahun 1990 dengan menggunakan pelarut kloroform, benzene, dan metil klorida. Namun pelarut tersebut ternyata dapat bersifat racun (toksik). Proses dekafeinasi yang dilakukan di Swiss menggunakan pelarut air yang dibuat jenuh dengan gula dari peptida. Daya larut kafein dalam pelarut sintetik relatif tinggi, namun dengan alasan harga, potensi polusi lingkungan, dan pengaruh negatif terhadap kesehatan menyebabkan pelarut sintetik harus digunakan secara cermat (Clarke & Macrae, 1989; Katz, 1997). Sivertz & Desroiser (1979) melaporkan bahwa proses dekafeinasi telah dilakukan dengan pelarut organik seperti metilen klorida, 1.2diklor etana, asam karboksilat 5-hidroksi triptamida, mono-diester gliserol-tri asetat, ester polihidrik alkohol, asam karboksilat, di-tri klor etana, asam asetat, ester etilen, triklortrifluroetan, PE, n-heksan, dan flouronasi-HC. Sedangkan proses dekafeinasi dengan pelarut anorganik dilakukan dengan menggunakan CO2 cair, gas NO2, gabungan air dan CO2 cair. Di Indonesia, proses dekafeinasi dengan sistem perebusan menggunakan pelarut alkali telah banyak dilakukan (Cahyono, 1987; Ratna & Anisah, 2000; Rusmantri, 2002). Cahyono (1987) melaporkan bahwa dengan semakin tinggi penggunaan alkali (NaOH), maka penurunan kafein akan semakin besar. Penurunan kadar kafein terbesar yaitu 37.7% diperoleh pada pelarut alkali 2%. Ratna & Anisah (2000) melaporkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kadar kafein dalam biji kopi sebesar 69.5% atau dalam kopi bubuk
17
sebesar 0.57% dalam proses dekafeinasi dengan pelarut alkali (NaOH) 0.6% adalah selama 15 menit (Spiller, 1999). Kelarutan kafein dalam air maupun dalam pelarut organik akan meningkat dengan naiknya suhu. Kelarutan kafein dalam air pada berbagai suhu dapat dilihat pada Gambar 10. Spiller (1999) melaporkan bahwa kafein juga dapat larut dalam suasana alkalis, dan kelarutan kafein akan meningkat pada pH di atas 6. Rusmantri (2002) melaporkan bahwa dengan semakin tinggi suhu perebusan yang digunakan dalam proses dekafeinasi, maka akan semakin tinggi pula tingkat pelarutan kafein. Perebusan pada suhu 100°C dengan pH pelarut 8 akan dapat menurunkan kafein dalam kopi bubuk sebesar 70.32%, tetapi pada pH pelarut 9 penurunan kafein lebih rendah yaitu 55.89%. Senyawa alkali yang digunakan untuk memberikan kondisi basa berupa air kapur, dan larutan kapur tersebut memiliki sifat penghambat rambatan panas, sehingga pada perlakuan pH pelarut 9 maka proses dekafeinasi menjadi kurang efektif. 80
Kelarutan kafein, g/100g H2 O
70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
Suhu air, °C
Gambar 10. Kurva kelarutan kafein dalam air (Macrae, 1985; Spiller, 1999)
Reaktor Kolom Tunggal Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia telah melakukan kegiatan penelitian produksi kopi rendah kafein dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah biji kopi, memperluas pasar dan meningkatkan konsumsi domestik serta untuk mendapatkan paket teknologi dari segi alat dan proses yang mudah dan murah agar produk yang dihasilkan dari aspek harga dapat terjangkau oleh konsumen secara luas (Widyotomo et al., 2009; Mulato et al., 2004).
18
Penelitian proses dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal secara intensif telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (Widyotomo et al., 2009; Purwadaria et al., 2007, 2008; Mulato et al., 2004). Reaktor kolom tunggal terdiri dari dua komponen utama. Komponen pertama adalah kompartemen untuk menempatkan biji kopi yang akan diproses, dan dihubungkan langsung dengan komponen kedua, yaitu kompartemen pembangkit uap air panas pada tahapan pengukusan (steaming) yang sekaligus sebagai tempat senyawa pelarut pada tahapan pelarutan (leaching). Proses dekafeinasi dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama adalah pengukusan biji kopi di dalam kolom pada suhu 100°C selama beberapa menit. Tahap berikutnya adalah pelarutan kafein dari dalam biji kopi yang telah mengembang dengan menyemprotkan pelarut pada tumpukan biji kopi dengan pelarut air pada suhu 100oC (Mulato et al., 2004), atau sirkulasi pelarut yang dijaga secara kontinu dengan menggunakan pompa sirkulasi (Widyotomo et al., 2009). Teknik dekafeinasi dengan menggunakan pelarut air memiliki beberapa keuntungan, antara lain : rata-rata hasil ekstraksi cukup tinggi, kafein yang diperoleh lebih murni, dan penggunaan panas lebih rendah. Apabila dekafeinasi dengan menggunakan uap air, maka harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kontak langsung antara uap air dengan udara luar. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya oksidasi (Sivetz & Desroiser, 1979). Dekafeinasi biji kopi dalam reaktor kolom tunggal telah dilakukan dengan ratio berat biji kopi dan pelarut air sebesar 1 : 2. Kadar kafein dalam biji kopi yang semula 2.46 % turun menjadi 0.45 % setelah proses berlangsung 6 jam. Pemanasan lanjut mampu menurunkan kadar kafein sampai 0.30 %, namun cita rasa dan aroma seduhan kopinya juga berubah negatif secara signifikan (Mulato et al., 2004; Lestari, 2004). Pengembangan proses dilakukan oleh Widyotomo et al. (2009) dengan menggunakan pelarut organik etil asetat teknis konsentrasi 10%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kafein 0.3% diperoleh setelah proses dekafeinasi berlangsung antara 8-12 jam tergantung pada suhu pelarut dan ukuran biji kopi.
19
Cita rasa biji kopi rendah kafein yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan pelarut air (Widyotomo et al., 2010)
Limbah Cair Pengolahan Kakao Indonesia merupakan salah satu produsen utama kakao di dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Pada tahun 2005, areal perkebunan kakao Indonesia telah mencapai 1 167 046 ha dengan produksi sebanyak 748 828 ton biji kakao kering. Pada tahun 2006 diperkirakan akan naik menjadi 1 191 742 ha dengan produksi 779 474 ton biji kakao kering (Ditjendbun, 2010). Adanya program Gerakan Nasional Pengembangan Tanaman dan Mutu Kakao, maka produksi kakao Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Mataserv, 2010). Dampak negatif limbah pengolahan yang muncul perlu dikelola dengan baik agar tidak merusak lingkungan, namun memberikan manfaat positif terhadap petani kakao Indonesia. Standar Prosedur Operasional penanganan biji kakao menyebutkan bahwa fermentasi harus dilaksanakan dengan benar agar diperoleh mutu bahan baku makanan dan minuman cokelat yang baik (Rohan, 1963; Wahyudi, 1988; Clapperton, 1990; Wahyudi, 2003; Ditjen PPHP, 2006; Widyotomo & Mulato, 2007). Lapisan lendir atau pulpa yang menyelimuti permukaan biji kakao basah mengandung senyawa gula antara 8-14%, dan air 80-90% (Wood & Lass, 1985). Proses fermentasi akan berjalan dengan baik jika tersedia cukup oksigen, dan akan muncul panas yang merupakan hasil oksidasi senyawa gula di dalam pulpa. Reaksi dalam proses fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Mikroba memanfaatkan senyawa gula tersebut sebagai media tumbuh sehingga lapisan pulpa terurai menjadi cairan yang encer dan keluar lewat lubang-lubang di dasar dan dinding peti fermentasi (Rohan, 1963). Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH) dan berlanjut menjadi asam asetat (CH3COOH). Fermentasi biji kakao dalam peti fermentasi berkapasitas 625 kg/batch (shallow boxess) selama 5 hari dengan pembalikan dilakukan satu kali setelah 48 jam proses berlangsung akan menghasilkan limbah cair sebanyak 20% (Mulato, 2001).
20
C6 H12O6 ( glukosa ) Oksidasi → C2 H 5OH (ethanol ) Oksidasi → CH 3COOH (asam asetat )
Fermentasi pulpa kakao secara langsung telah dilakukan pada skala labortorium. Usaha memperoleh pulpa dari permukaan biji kakao dapat dilakukan secara mekanis, dan beberapa keuntungan yang dapat diperoleh antara lain pengurangan pulpa dapat dilakukan lebih cepat, tingkat pengurangan pulpa dapat ditentukan dengan lebih teliti, tidak memerlukan lahan yang luas, dan pulpa hasil pengurangan terkumpul dalam suatu wadah sehingga mudah diolah menjadi produk lain yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi (Atmawinata et al, 1998). Fermentasi pulpa kakao menjadi etanol dengan sistem fed-batch dalam bioreaktor selama 144 jam dengan variasi konsentrasi gula antara 16-28% (b/v) menghasilkan etanol antara 9.15-12.74% (v/v). Fermentasi pulpa kakao dengan sistem batch dalam bioreaktor dengan penambahan gula sebanyak 28% (b/v) selama 120 jam menghasilkan etanol sebanyak 13.46% (v/v). Pada fase eksponensial fermentasi pulp kakao oleh Saccharomyces cerevisiae dihasilkan laju spesifik pertumbuhan (µ) 0.0318/jam (Petrus, 2008). Fermentasi pulpa kakao secara batch dengan penambahan konsentrasi gula 15% dan penggunaan ragi roti 20% akan menghasilkan alkohol 10%. Dengan perlakuan aerasi, kadar asam asetat 4.3% akan diperoleh setelah 14 hari, dan kadar asam asetat 2.6% akan diperoleh setelah 21 hari tanpa aerasi (Haumasse, 2009). Produksi asam asam asetat sebesar 7.8% dihasilkan dari substrat etanol hasil fermentasi alkohol pada medium pulpa kakao secara kultur fed-batch (Pairunan, 2009). Aplikasi metode fermentasi pulpa kakao untuk menghasilkan pelarut tersier skala laboratorium masih terkendala jika dilakukan pada skala praktek di lapangan karena diperlukan scalling up peralatan dan proses serta uji kelayakan yang lebih mendalam. Pengembangan proses fermentasi pulpa kakao menjadi larutan tersier pulpa kakao harus terus dilakukan sampai diperoleh tahapan yang sederhana sehingga dapat diterapkan dengan mudah pada skala praktek di lapangan (Widyotomo et al., 2011; Widyotomo, 2008).
21
Difusi Massa Dalam Proses Pelarutan Kafein Pada proses perpindahan massa air dalam proses pengeringan bahan pertanian dapat dikelompokkan menjadi periode laju pengeringan konstan, dan periode pengeringan menurun. Periode laju pengeringan konstan terjadi ketika hambatan internal terhadap perpindahan air lebih kecil daripada hambatan eksternal perpindahan uap air pada permukaan bahan. Perpindahan air tersebut dikendalikan melalui mekanisme konveksi. Selama periode pengeringan menurun hambatan internal perpindahan air lebih besar daripada hambatan eksternal. Perpindahan tersebut dikendalikan oleh mekanisme difusi. Proses perpindahan massa tersebut sama dengan pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi yang dikendalikan dengan mekanisme difusi (Gambar 12). Difusi molekuler adalah perpindahan molekul dari komponen campuran yang dipengaruhi perbedaan konsentrasi dalam suatu sistem fluida. Pada sistem phase tunggal, laju perpindahan massa yang disebabkan adanya difusi molekular dijabarkan dalam hukum difusi Fick (Doran, 1995; Crank, 1975; Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar et al., 1983).
Gambar 11. Gradien konsentrasi komponen A berpindah melalui luasan area Ap
∂c A N A ∂c = = − DAB A dt Ap dy
(2.1)
Dalam hal ini ∂cA/dt adalah laju perpindahan massa komponen A per unit area (g.mol/det.m2), NA adalah laju perpindahan massa komponen A (g.mol/det),
22
Ap adalah luas penampang perpindahan massa (m2), DAB adalah koefisien difusi biner atau difusivitas komponen A dalam campuran (m2/det), cA konsentrasi komponen A (g.mol/m3), y adalah jarak, dan ∂cA/dy adalah perubahan konsentrasi komponen A dalam jarak y. Koefisien difusi berubah tergantung pada bentuk geometri dan volume partikel/bahan (Ghosh et al., 2004). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui nilai difusivitas kopi pada beberapa kondisi proses. Sfredo et al. (2005) melaporkan bahwa diffusivitas efektif air pada buah kopi yang dikeringkan dengan pengering tipe tray getar adalah antara 0.1– 1×10−10 m2/detik pada suhu 45 °C, dan antara 0.3 – 3×10−10 m2/detik pada suhu 60 °C. Bichsel (1979) melaporkan bahwa pada kondisi percobaan optimum dekafeinasi diperoleh nilai difusivitas dalam biji kopi Robusta antara 0.5–1.3×10-6 cm2/detik. Anderson et al. (2003) melakukan penelitian kinetika difusi karbondioksida biji kopi dan kopi sangrai dengan menggunakan hukum Fick pada kondisi tak-tunak (unsteady state). Diffusivitas efektif rata-rata sebesar 5.30×10−13 m2/detik dari kisaran nilai 3.05–10.37×10−13 m2/detik. Nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai diffusivitas yang diperoleh Bichsel (1979) dan Spiro & Chong (1997) yaitu 2–20×10−11 m2/detik untuk diffusi kafein di dalam biji kopi selama proses dekafeinasi. Dekafeinasi kopi merupakan proses ekstraksi phase padat-cair, yaitu perpindahan senyawa kafein dari matrik padatan biji kopi ke pelarut. Representasi matematika dari proses dekafeinasi biji kopi masih sangat terbatas untuk memperkirakan difusi kafein dengan menggunakan solusi analitik hukum Fick kedua (Bichsel, 1979; Hulbert et al., 1998; Spiro & Selwood, 1984; Udaya-Sankar et al., 1983). Persamaan yang digunakan untuk memprediksi perubahan konsentrasi kafein di dalam biji kopi berbentuk bulat selama proses perpindahan massa kafein adalah : cβ − cβe cβ 0 − cβe
=
6
∞
1 − Dβ .n 2.π 2 .t / R 2 ∑ e π 2 n =1 n 2
(2.2)
Dalam hal ini 〈cβ〉 adalah konsentrasi kafein rata-rata (g/m3), cβe adalah konsentrasi kafein setimbang (g/m3), cβ0 adalah konsentrasi kafein awal (g/m3), Dβ
23
adalah difusivitas massa (m2/detik), t adalah waktu proses (detik), dan R adalah jari-jari equivalen biji (m). Espinoza-Espinoza-Perez et al. (2007) melakukan pengembangan model matematika kinetika kafein selama proses ekstraksi phase padat-cair dalam biji kopi dengan asumsi bentuk lempeng (slab). Persamaan yang digunakan untuk memprediksi perubahan konsentrasi
kafein di dalam biji selama proses
dekafeinasi adalah : cβ − cβ i cβ 0 − cβi
=
8
π
2
∞
1
∑ (2n −1) n =1
2
e
( 2 n −1) 2 .π 2 .a ss . Ld . D β .t − 4 (1 − ε ) L2
(2.3)
Dalam hal ini 〈cβ〉 adalah konsentrasi kafein rata-rata (g/m3), cβi adalah konsentrasi kafein interface (g/m3), cβ0 adalah konsentrasi kafein awal (g/m3), Dβ adalah difusivitas massa (m2/detik), ass adalah specific surface perpindahan massa (m2/m3), ε adalah fraksi volume pelarut, t adalah waktu proses (detik), dan Ld adalah karakteristik panjang diffusi (m).
Perubahan Senyawa Kimia Pelarutan senyawa kafein biji kopi dalam reaktor kolom tunggal dilakukan dengan pelarut asam asetat, limbah cair fermentasi biji kakao dan pelarut tersier pulpa kakao yang didominasi oleh air dan senyawa alhokol, dan asam asetat. Kafein adalah senyawa organik yang memiliki rumus kimia C8H10N4O2 atau nama kimia lain 1.3.7 trimetil 2.6 dioksipurin dengan massa molekul 194 (Ensminger et al., 1995). Posisi kafein di dalam biji kopi terdapat di bagian dinding sel dan di sitoplasma (Clifford & Willson, 1985). Kafein yang terdapat di dalam sitoplasma dalam keadaan bebas (Sivetz & Desroiser, 1979), sedangkan selebihnya terdapat pada sel dalam kondisi terikat sebagai senyawa alkaloid dalam bentuk senyawa garam komplek kalium klorogenat dengan ikatan ionik (Clifford, 1985). Proses pelarutan senyawa kafein dari dalam biji kopi diawali oleh pemecahan ikatan senyawa komplek kafein dan asam klorogenat akibat perlakuan panas. Senyawa kafein menjadi bebas dengan ukuran yang kecil (Mulato et al., 2004). Ikatan komplek tersebut menyebabkan kafein tidak dapat bergerak bebas di dalam jaringan biji kopi (Baumann et al., 1993; Horman & Viani, 1971). Pengaruh
24
energi panas dapat menyababkan ikatan tersebut terputus sehingga kafein mudah larut dalam pelarut. Berkurangnya
kadar
asam
klorogenat
selain
merupakan
indikasi
menurunnya jumlah kafein dalam biji kopi juga akan berpengaruh pada citarasa seduhan kopinya. Oleh karena komposisi senyawa kimia di dalam biji kopi telah berubah, maka nilai uji citarasa biji kopi hasil proses dekafeinasi berubah dan mengalami penurunan (Mulato et al., 2004). Dengan semakin lama proses pemanasan, maka biji kopi akan semakin mengembang sehingga akan membantu proses pelarutan kafein yang berada di dalam sitoplasma dan dinding sel. Asam klorogenat merupakan salah satu antioksidan yang terdapat di dalam biji kopi dan merupakan turunan dari 5-coffeoyllquuuc acid dengan cinamic acid, o-hydroksinamic acid, p-hidroksinarnic acid, caffeic acid, ferulic acid, isoferulic acid, dan sinapic acid (asam cinnamat, asam o-hidroksicinamat, asam phidroksicinamat, asam kaffeat, asam ferrulat, asam isoferulat, dan asam sinapat). Asam klorogenat merupakan salah satu komponen yang memberikan kontribusi terhadap sifat keasaman pada minuman kopi. Kadar asam klorogenat pada biji kopi Arabika bervariasi antara 6 - 7%, sedangkan pada Robusta sekitar 7-11%. Kadar asam klorogenat di dalam biji kopi meningkat seiring dengan peningkatan kadar kafein (Anonim, 2008; NFA, 2007; Ky et al., 2001). Perlakuan panas selama proses dekafeinasi mengakibatkan asam klorogenat mengalami hidrolisa menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah, kemudian diikuti dengan dekomposisi asam klorogenat menjadi senyawa organik lain dan mempunyai sifat mudah terlarut dalam pelarut (Koeing, 1980). Hal tersebut menyebabkan kadar asam klorogenat dalam biji kopi turun secara bertahap selama berlangsungnya proses dekafeinasi dengan pola penurunan mirip yang terjadi dengan penurunan kadar kafein (Widyotomo et al., 2009; Mulato et al., 2004).