TINJAUAN PUSTAKA
Produksi dan Emisi Metan Dari Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktifitas manusia (Sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and Husin,1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi gas metan (Li et al., 2005). Konsentrasi metan (CH4) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan olah keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot (sink).
Ekosistem
dengan
kondisi
anaerob
dominan,
terutama
akibat
penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd dan Taylor, 1980). Pengenangan adalah kerakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi
tergenang,
kebutuhan
oksigen
yang
tinggi
dibandingkan
laju
penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau enaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978). Metan diproduksi sebagai hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses dekomposisi
bahan
organik
secara
anaerobik
oleh
bakteri
metanogen
Universitas Sumatera Utara
(Zehnder dan Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso and Husin 1994 ). Bakteri ini hanya aktif bila kondisi tanah dalam keadaan tergenang. Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi ; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam pembuluh
aerenkimia
untuk
selanjutnya
terlepas
ke
atmosfir
(Rennenberg et al., 1992). Teknik Budidaya Tanaman Padi Sawah Pertanian Konvensional Penerapan
pertanian
konvensional
di Indonesia
dimulai
sejak
digulirkannya sebuah program untuk meningkatkan produktivitas pertanian dimulai dengan Padi Sentra pada tahun 1959-1962. Kemudian dilanjutkan dengan Program Demonstrasi Massal (Demas) tahun 1963-1964 dengan Swasembada Bahan Makanan (SSBM). Program ini dimulai dengan mengenalkan “Panca Usaha Tani” yang meliputi penggunaan bibit unggul, perbaikan cara bercocok tanam, pemupukan yang baik, perbaikan pengairan, dan pengendalian hama dan penyakit. Kemudian program ini diadopsi menjadi bimbingan Massal (Bimas) pada tahun 1964 dengan melengkapi panca usaha tani dengan memasukkan kredit
Universitas Sumatera Utara
untuk pertanian di dalamnya. Program Intensifikasi Massal (Inmas) menyusul dikenalkan sejak tahun 1969, merupakan program Bimas tetapi tidak ada kredit. Intensifikasi Khusus (Insus) sejak tahun 1980 dilakukan secara berkelompok dalam suatu kelompok hamparan. Pada tahun 1987 Insus dilanjutkan dengan Supra Insus yang merupakan penyempurnaan Insus dengan penggunaan zat perangsang tumbuh serta kerjasama antar kelompok hamparan (Isnaini, 2006). Dipicu oleh kemampuan pupuk kimia meningkatkan produktivitas tanaman dan dapat mengakhiri kerawanan pangan dalam waktu relatif pendek, maka penggunaan pupuk N, P dan K mengalami kenaikan yang sangat tajam. Seperti dikemukakan oleh Wolf (1986) dalam Suhartini (2006) bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan bahan kimia. Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan produksi, produktivitas, dan luas panen padi terus meningkat walaupun relatif kecil. Peningkatan produktivitas padi dicapai antara lain karena pemakaian pupuk kimia dengan dosis yang semakin besar. Misalnya, rekomendasi pemakaian pupuk urea pada tahun 1970 sebesar 100-150 kg/ha, meningkat menjadi 200-250 kg/ha, dan pada tahun 1990 menjadi 300-350 kg/ha (Mulyadi, 2000). Pencemaran atas tanah dan air tanah yang bersumber dari suatu kegiatan yang terencana misalnya kegiatan pertanian,yaitu penggunanaan pupuk, pestisida, air irigasi yang berlebih dan mengandung pupuk, akan merembes ke dalam tanah dan mencemari tanah. Sumber lain dari kegiatan peternakan dimana pencemar berupa kotoran binatang yang mengandung zat-zat organik, bakteri dan virus (Notodarmojo, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Sistem pertanian konvensional merupakan suatu sistem budidaya pertanian yang mempraktikan kegiatan dan prosedur pertaniannya berdasarkan penggunaan pupuk dan pestisida kimiawi yang dilakukan secara berkala. Sistem pertanian konvensional dengan praktik revolusi hijaunya telah diakui banyak membawa kerugian bagi lingkungan hidup, maupun sosial ekonomi petani sendiri (Anonimous, 2003). Ketergantungan petani akan keberadaan benih, pupuk anorganik serta pestisida kimiawi menyebabkan kehidupan petani sebagai produsen utama bahan makanan pokok tidak pernah bertambah baik. Sementara itu harga pupuk anorganik semakin lama semakin mahal, sedangkan harga hasil panen dari petani tidak pernah bertambah baik (Anonimous, 2003). Di sisi lain kondisi lahan pertanian menjadi rusak akibat penerapan secara terus menerus berbagai pupuk anorganik ditambah dengan berbagai pestisida kimia telah merusak kondisi tanah baik secara fisik, kimia ataupun biologinya, yang akhirnya kondisi ini menyebabkan biaya produksi semakin tinggi (Anonimus, 2003).
Teknik Budidaya SRI (The System of Rice Intensification)
Tujuan
dalam
produksi
tanaman
budidaya
moderen
adalah
memaksimalkan laju pertumbuhan dan hasil panen melalui manipulasi genetik dan lingkungan.
Genotipe dapat diubah melalui pemuliaan dan seleksi tanaman.
Iklim mikro dapat diubah dengan banyak cara, antara lain pemilihan tempat, irigasi, drainase, pemupukan, pengendalian gulma, dan hama (Gardner, Pearce, and Mitchell, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Upaya meningkatkan hasil padi sudah banyak dilakukan, salah satunya dengan metode The System of Rice Intensification (SRI). SRI dapat meningkatkan hasil sampai 2 kali lipat bahkan lebih. SRI pertama kali dicobakan di Madagaskar tahun 1980 oleh Fr. Hendri de Laudanie. Kemudian berkembang ke Negara Myanmar, Kamboja, Laos, India, Thailand, Philipina, bahkan ke Indonesia. Penelitian Norman Uphoff di Sukamandi pada musim tanam 1999-2000 menghasilkan 9,5 ton/ha sedangkan hasil padi pada tingkat petani sekitar 5,9 – 6,9 ton/ha, hasil padi pada musim tanam yang sama di Cianjur 6,3 ton/ha dan 6,8 ton/ha pada petani sekitar 4,1 ton/ha dan 5,4 ton/ha, terdapat peningkatan hasil sekitar 1,4 sampai 2,3 ton/ha. Di Kamboja peningkatan hasil padi 150% dari konvensional dan di Thailand sekitar 20% dari konvensional (Uphoff, et al, 2002). Meotode SRI adalah sistem intensifikasi padi yang membuat sinergis tiga faktor pertumbuhan padi untuk mencapai produktivitas maksimal. Ketiga faktor tersebut adalah maksimalisasi jumlah anakan, maksimalisasi pertumbuhan akar, dan maksimalisasi pertumbuhan dengan pemberian suplai makanan, air, dan oksigen yang cukup pada tanaman padi (Armansyah, dkk, 2009). Dengan metode SRI pengelolaan tanaman, tanah, air, pengaturan hara, kanopi dan sistem perakaran padi menjadi lebih luas. Hal ini memungkinkan menghasilkan lebih banyak eksudates dan peningkatan deposit akar. Hasil-hasil penelitian selama ini, sebagian besar padi ditanam pada kondisi tergenang. Di dalam tanah anaerobik, banyak dari proses pertumbuhan padi dihambat atau ditekan. Perlu juga dipertimbangkan kontribusi mikrobiologi tanah dalam meningkatkan produksi padi yang akhirnya menjadikan areal tersebut sebagai
Universitas Sumatera Utara
tempat yang menjanjikan untuk penelitian dan perbaikan kegiatan produksi (Uphoff, 2003). Keuntungan penerapan metode SRI : (a) hasil panen yang lebih tinggi peningkatan 50-200% dengan hasil 4-8 ton/ha bahkan ada sampai 10 ton/ha. (b) lebih hemat air, penghematan air sampai dengan 50% dengan produktivitas yang lebih tinggi per volume air. (c) perbaikan mutu tanah dan pemakaian pupuk yang lebih efisien baik organik maupun an organik. (d) kebutuhan benih yang lebih sedikit, 5-10 kg/ha benih yang dipakai atau 5-10 kali lipat lebih sedikit dari jumlah yang biasa dipakai ini membuat pemakaian benih unggul dan benih hibrida jauh lebih murah dari para petani. (e) kebutuhan atas input yang di beri lebih sedikit air, pupuk, benih dan pestisida. (f) mutu benih yang lebih bagus memungkinkan peningkatan hasil jenis padi tradisional yang dibudidayakan tanpa masukan pupuk kimia dan hasilnya dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, ketersediaan benih unggul dari pembiakan lebih cepat karena jauh lebih banyak benih dapat dihasilkan oleh satu tanaman saja. (g) keuntungan bagi lingkungan hidup sebagai dampak berkurangnya kebutuhan atas air dan berkurangnya pemakaian pupuk kimia atau pestisida atau tidak menggunakannya sama sekali (Uphoff and Erick, 2003). Tanah sawah yang tidak tergenang (lembab) menyebabkan sistem perakaran dapat berkembang secara maksimal karena tanah sawah pada kondisi tersebut mampu menyediakan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk proses respirasi.
Perkembangan akar yang maksimal adalah kunci penyerapan hara,
sedangkan penyerapan hara maksimal adalah kunci pertumbuhan tanaman, baik vegetatif (anakan) maupun generatif (gabah) yang akhirnya bersinergis
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan produksi tanaman padi Pada sawah yang tergenang, tanaman padi membutuhkan sejumlah besar energi untuk pembentukan dan aktivitas sel aerenchym untuk memasok oksigen, akibatnya energi berkurang untuk pertumbuhan anakan tanaman, sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila dibandingkan dengan kondisi air yang tidak tergenang (Sunadi, 2008). Hasil penelitian menunjukkan jumlah anakan dengan metode SRI lebih banyak dibandingkan dengan cara konvensional. Anakan yang terbentuk antara 60 – 125 batang. Tabel 1. Perbedaan Sistem Konvensional dan Sistem SRI Komponen Konvensional Metode SRI 1. Kebutuhan benih 1. 30-40 kg/ha 1. 5-7 kg/ha 2. Pengujian benih 2. tidak dilakukan 2. dilakukan pengujian 3. Umur di persemaian 3. 20-30 HSS 3. 7-10 HSS 4. Pengolahan tanah 4. 2-3 kali (struktur 4. 3 kali (struktur 5. Jumlah tanaman / lumpur) lumpur dan rata) lubang 5. Rata-rata 5 pohon 5. 1 pohon/lubang 6. Posisi akar waktu 6. tidak teratur 6. posisi akar horizontal tanam 7. terus digenangi (L) 7. Pengairan 8. mengutamkan 7. disesuaikan dengan pupuk 8. Pemupukan kebutuhan 9. kimia 8. hanya dengan pupuk 9. Penyiangan 10. Rendemen 10. diarahkan kepaa organik pemberantasan 9. diarahkan kepada gulma 50-60% pengolahan perakaran 10. 60-70% (Mutakin, 2005).
Pengaruh Pemberian Jerami Terhadap Emisi Metan (CH4)
Bahan organik berupa jerami merupakan bahan amelioran penting dalam menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan organik. Bahan organik juga merupakan salah satu sumber hara mikro tanaman, selain sebagai sumber
Universitas Sumatera Utara
energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran tersebut, bahan organik sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya.
Sumber dan susunan unsur hara bahan organik dari jerami segar dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 2. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami Segar. Unsur Hara Jerami .......................(%)......................... N 0.64 P 0.05 K 2.03 Ca 0.29 Mg 0.14 Zn 0.02 Si 8.8 Sumber : Dinas Pertanian (2008) dalam Perdana (2008) Kompos jerami padi merupakan sisa panen tanaman padi sawah yang telah didekomposisi oleh mikrobia perombak. Hasil penelitian Nuraini (2009) menunjukkan bahwa
kompos
jerami memiliki kandungan N-organik 0,91%;
N-NH4 0,06%; N-total 1,03%; P2O5 0,69%; C-organik 19,09% dan air 9,22%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan yang nyata antara kompos yang dibuat dengan menggunakan dekomposer dengan kompos tanpa dekomposer, namun pembuatan kompos yang menggunakan dekomposer lebih cepat dibandingkan dengan tanpa dekomposer. Jerami yang mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi bakteri metanogenik dalam membentuk CH di lahan sawah. Neue (1993), menghitung total emisi 4
CH dari lahan sawah dari total biomassa kalau dikembalikan ke dalam tanah. Dengan 4
asumsi rata-rata 15% jerami, 50% gulma tanah dan seluruh akar tanaman ditambah biomassa aquatik (algae dan gulma); jumlah yang dikembalikan itu setiap tahun (kurang lebih setara 390 juta ton biomassa atau setara 156 juta t-1 karbon), dan 30% karbon yang
Universitas Sumatera Utara
dikembalikan tersebut diubah menjadi CH , maka sekitar 62,4 Tg (terra gram = 1012 g) 4
CH4 akan dihasilkan dari lahan sawah setiap tahunnya di seluruh dunia. Schutz et al. (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering 3 ton/ha menghasilkan emisi CH 0,5 kali lebih tinggi dibanding dengan tanpa pemberian jerami, 4
dua kali lebih tinggi pada penambahan 5 ton/ha, dan 2,4 kali lebih tinggi pada penambahan 12 ton/ha. Sedangkan penambahan 60 ton/ha jerami memberikan emisi yang sama dengan pemberian 12 ton/ ha. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan pula bahwa lahan sawah dengan penambahan jerami, urea dan amonium sulfat memberi emisi yang lebih tinggi dibanding lahan yang hanya sekedar diberi jerami (tanpa pemupukan). Yagi and Minami (1990) menemukan bahwa penambahan jerami 6 ton/ha dapat meningkatkan emisi CH4 1,8 - 3,3 kali lebih besar dibanding hanya pemberian pupuk anorganik. Pada penambahan 9 ton/ha emisi CH yang dihasilkan 3,5 kali lebih besar. Hal yang menarik 4
dari penelitian ini adalah bahwa penambahan jerami yang sudah menjadi kompos (terhumifikasi) tidak memberi emisi yang tinggi.
Penelitian Wihardjaka (2001) juga dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari pemberian pupuk kandang, pemberian jerami segar, kompos jerami dan tanpa bahan organik Tabel 3. Emisi CH4 dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang dan Jerami Padi yang Ditanam di Indonesia Per Musim Tanam Emisi CH4 Hasil Perlakuan
(kg/ha) Pupuk Kandang
Gabah (ton/ha)
146
6.3
Jerami Segar
132
4,9
Kompos Jerami
129
6.4
65
2.1
Tanpa BahanOrganik
*Hanya Dilakukan Satu Musim Tanam Sumber : Wihardjaka et al. (2001)) dan Setyanto et al, (2004).
Universitas Sumatera Utara
Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktifitas manusia (Sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and Husin,1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi gas metan (Li, et al., 2005). Konsentrasi metan (CH4) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di atmosfir ditentukan olah keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot (sink).
Ekosistem
dengan
kondisi
anaerob
dominan,
terutama
akibat
penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd and Taylor, 1980). Pengenangan adalah kerakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada kondisi
tergenang,
kebutuhan
oksigen
yang
tinggi
dibandingkan
laju
penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau enaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978). Metan diproduksi sebagai hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen (Zehnder and Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso dan Husin 1994; Ohta., 2006). Bakteri ini hanya aktif bila kondisi tanah dalam keadaan tergenang.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi ; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam pembuluh
aerenkimia
untuk
selanjutnya
terlepas
ke
atmosfir
(Rennenberg, et al., 1992).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Metan (CH4) 1. Potensi reduksi-oksidasi (redoks) tanah Potensi redoks (Eh) tanah merupakan faktor penting dalam produksi metan. Potensial redoks (Eh) menunjukkan status reaksi oksidasi dan reduksi oksidan-oksidan tanah sebagai penyedia oksigen dalam tanah. Aktifitas bakteri metanogen dan metanotrof sangat tergantung dengan ketersediaan oksigen dalam kondisi tanah jenuh air. Berkaitan dengan kondisi reduktif, produksi CH4 terjadi pada kisaran nilai Eh -150 mV (Hou et al., 2000) dan bergerak sampai di bawah -300 mV (Minamikawa et al., 2006) karena bekteri metanogen sebagai penghasil CH4 bekerja optimal pada nilai Eh kurang dari -150 mV (Setiyanto, 2004). Produksi CH4 tertinggi pada kisaran Eh -200 mV (Minamikawa and Sakai, 2005), dan
Universitas Sumatera Utara
menurut Husin (1994) laju emisi CH4 tertinggi pada nilai Eh tersebut untuk berbagai perlakuan pengelolaan air berbeda-beda. Kisaran laju emisi CH4 maksimum dan macak-macak berturut-turut 45, 20 dan 30 mg/m2/jam. Pada perubahan kadar air tanah dari kondisi jenuh dan tidak jenuh Eh bergerak antara +600 dan -300 mV (Li, et al., 2005). 2. pH tanah Sifat reaksi tanah yang dinyatakan dengan pH didasarkan pada jumlah ion H+ atau OH- dalam larutan tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat netrofilik, yaitu hidup pada kisaran pH antar 6 sampai 8 (Setyanto, 2004). Pembentukan CH4 maksimum terjadi pada pH 6,9 hingga 7,1 (Wang, 1993), sedangkan waktu yang dibutuhkan pada tiap jenis tanah berbeda. Pada tanah sawah di daerah tropis dimana suhu tanah berkisar 25-30oC, pembentukan CH4 dan NO terjadi paling cepat pada tanah alkali dan berkapur, yaitu beberapa jam hingga beberapa hari setelah penggenangan. Pada tenah netral setelah 2-3 minggu setelah penggenangan, sedangkan tanah masam setelah 5 minggu atau lebih (Nue, 1993). 3. Suhu Tanah Suhu tanah berkaitan erat dengan aktifitas mikroba di dalam tanah. Sebagian besar bakteri metanogen bersifat mesofolik yang beraktifitas optimal pada suhu 30-40oC (Vogels, et al., 1988). Suhu tanah pada lapisan atas yaitu pada kedalaman antara 1 dan 10 cm berkaitan erat dengan laju emisi metan (Holzapfel pschorn and Seiler, 1986 dalam Husin, 1994). Sedangkan pada kedalaman 15 cm tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan suhu akan mempengaruhi produksi metan pada tanah sawah. Pada kondisi tersedia cukup substrat, peningkatan suhu dari 170C ke 300 C menyebabkan peningkatan produksi metan 2,5 sampai 3,5 kali lipat. 4. Varietas Padi Tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CH4
yang
dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir, melalui pembuluh aerenkimia daun, batang dan akar padi. Selanjutnya CH4 akan dilepas melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian bawah. Varietass padi mempunyai bentuk, kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkimia yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi meneruskan metan. Biomass akar dan tanaman juga berpengaruh terhadap emisi metan terutama pada stadium awal. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme karbon oleh tanaman (Setyanto, 2004). Semakin banyak eksudat akar emisi metan makin tinggi. Jumlah biomass akar juga mempengaruhi emisi metan. Makin banyak biomass akar yang terbentuk maka emisi metan makin tinggi pula. Jumlah anakan juga merupakan faktor penentu besarnya pelepasan metan. Semakin banyak anakan maka kerapatan dan jumlah pembuluh aremkimia meningkat (Wihardjaka,2001). 5. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah memberikan sumbangan terhadap kesuburan pertumbuhan tanaman baik secara fisik, kimia dan biologis. Bahan organik merupakan penyedia unsur-unsur N, P dan S untuk tanaman. Ketersediaan
Universitas Sumatera Utara
substrat organik mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam tanah karena bertindak sebagai sumber energi. Secara fisik berperan dalam memperbaiki struktur tanah. Sumber
bahan
organik
yang
ditambahkan
sangat
menentukan
pembentukan metan di lahan sawah. Penelitian Wihardjaka (2001) dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari penambahan pupuk kandang, diikuti berturut-turut jerami segar, kompos dan tanpa bahan organik. Menurut Hadi (2001), pengomposan jerami padi dapat mereduksi emisi metan sampai separuhnya. Berkaitan dengan bahan organik tanah, potensial redoks (Eh) tanah akan rendah jika tersedia karbon organik tanah dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan terbentuknya CH4 (Hou et al, 2000). Pengukuran Fluks Emisi CH4 di Lapangan Pengukuran fluks emisi CH4 di lapangan dilaksanakan dengan metode sungkup statik yang terbuat dari polycarbonat yang berukukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm yan dilengkapi dengan termometer untuk mengukur suhu di dalam sungkup, serta fan kecil untuk mempertahankan agar udara di dalam sungkup homogen. Jarum suntik digunakan untuk mengambil sampel gas dari dalam sungkup. Sampel gas CH4 diambil pada 40, 60, 90 dan 120 HST, masing-masing gas CH4diambil setelah tanaman padi disungkupi selama 10 menit untuk setiap perlakuan. Dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00 – 09.00 karena pada saat itu akar tanaman akan menghasilkan gas CH4 dalam jumlah yang besar. Fluks
Universitas Sumatera Utara
emisi pada pukul 07.00 – 09.00 wib merupakan fluks rata-rata. Saat pengukuran fluks emisi CH4, sungkup diletakkan di atas alas aluminium dengan hati-hati. Saat petak dalam kondisi ada genangan, bagian bawah sungkup yang diletakkan pada alas aluminium berada di bawah permukaan air. Saat pengukuran dalam kondisi tanpa genangan, alas aluminium diberi air sebelum sungkup dipasangkan di atasnya. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi udara dalam sungkup terhadap pengaruh udara dari luar. Pengambilan sampel gas CH4 dari dalam sungkup dilakukan dengan jarum suntik ukuran 10 ml. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas, jarum suntik ditutup dengan sumbat karet dan kemudian dibungkus dengan kertas aluminium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan contoh gas CH4. Jarum suntik tersebut selanjutnya disimpan di dalam wadah tertutup yang berisi es batu agar tidak terpengaruh udara luar dan untuk mempertahankan suhu tetap di bawah 50C karena gas CH4 akan menguap pada suhu di atas 50C. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilakukan dengan menggunakan peralatan Gas Chromatography, dengan mengirimkan sampel gas tersebut ke laboratorium GRK.
Universitas Sumatera Utara