MULYADI ET AL.: EMISI DAN MITIGASI CH4 DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
Penekanan Emisi dan Mitigasi Gas CH 4 melalui Teknik Budi Daya Padi Walik Jerami di Lahan Sawah Tadah Hujan 1
1
2
1
Mulyadi , A. Wiharjaka , Shri Hari Mulya , I. Johari Sasa dan S. Partohardjono
3
1
Loka Penelitian Tanaman Pangan, Jakenan Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor 2
ABSTRACT. Emission and Mitigation of Methane Through Tillage, Variety and Organic Matter Application from Walik Jerami Rice in Rainfed Lowland Areas. Glasshouse gases such as CO 2, CH4, N2O can cause global warning. Emission of CO 2, CH4, N 2O contribute about 55, 15, 6% of total glasshouse effects. Atmospheric methane as glasshouse gas is more effective than CO 2. Therefore, cultural techniques for food crops that consider environment are necessary. A field experiment was conducted in Pati, Central Java during the 2001 dry season to determine the effect of soil tillage, rice variety, and organic matter application on emission and mitigation of methane. The experiment used split plot design replicated three times. Soil tillage treatment as the main plot consisted of zero tillage (t1) and maximum tillage (t2). Rice variety as sub plot consisted of Limboto (v1), Way Rarem (v2), and IR64 (v3); fertilization tested as sub-sub plot was 5 t straw/ha + 90 kg N/ha (n1), 5 t farmyard manure/ha + 90 kg N/ha (n2), 90 kg N/ha (n3). As nitrogen source, ammonium sulphate (ZA) was used. Zero tillage minimised methane emission, and gave insignificant grain and biomassa yields. Way Rarem variety that was transplanted using walik jerami system emitted methane lower than Lomboto which was tolerant to drought and IR64. Farmyard manure application in maximum tillage plot emitted methane lower than rice straw; on the other hand, rice straw in zero tillage plot emitted methane lower than farmyard manure. Key words: Methane, walik jerami, rainfed lowland areas, rice. ABSTRAK. Gas rumah kaca (CH 4, N2O dan CO2) merupakan salah satu penyebab pemanasan bumi. Emisi gas CO2, CH 4 (metan) dan N2O masing-masing menyumbang 55, 15 dan 6% dari total efek rumah kaca. Gas metan di atmosfer 25-35 kali lebih efektif daripada CO2 sebagai gas rumah kaca. Bertolak dari hal tersebut perlu dicari teknik budidaya tanaman pangan yang ramah lingkungan. Penelitian emisi dan mitigasi gas CH 4 melalui pengolahan tanah, pemilihan varietas dan pemberian bahan organik pada padi walik jerami dilaksanakan pada MK I 2001 di Pati Jawa Tengah, menggunakan rancangan petak petak terpisah dengan tiga ulangan. Petak utama adalah cara olah tanah: (t1) tanpa olah tanah, (t2) olah tanah sempurna. Anak petak adalah varietas: (v1) Limboto, (v2) Way Rarem dan (v3) IR64. Anakanak petak adalah pemupukan (n1) jerami 5 t + 90 kg N/ha (n2) pupuk kandang 5 t + 90 kg N/ha, dan (n3) 90 kg N/ha, pupuk ZA sebagai sumber N. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan tanpa olah tanah mampu menekan emisi gas CH 4. Padi gogo yang ditanam secara walik jerami (varietas Way Rarem), emisi gas CH4 lebih rendah di- banding padi sawah yang toleran kekeringan (varietas Limboto) mau- pun IR64. Pemberian pupuk kandang pada perlakuan olah tanah sempurna (OTS), emisi gas CH4 lebih rendah dari pemberian jerami. Pada TOT, pemberian jerami justru sebaliknya. Kata kunci: Gas CH 4, walik jerami, sawah tadah hujan.
T
otal emisi gas metan (CH4) di lahan sawah di Indonesia berkisar antara 2,54-9,8 Tg/tahun (Japan Environmental Agency, 1992; Bachelet
dan Neue, 1992 dan ALGAS, 1998). Emisi gas rumah kaca pada lahan sawah dipengaruhi oleh kondisi oksidasi dan reduksi. Emisi gas metan lebih tinggi pada kondisi sawah. Sebaliknya, emisi gas N2O lebih tinggi pada kondisi kering. Akhir-akhir ini pengurangan pemakaian pupuk anorganik dilakukan karena harganya relatif mahal dan dalam jangka panjang kurang menguntungkan bagi lingkungan. Pengurangan penggunaan pupuk anorganik perlu diimbangi oleh pemberian pupuk organik. Pupuk organik di samping merupakan sumber unsur hara juga dapat meningkatkan kadar bahan organik tanah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan oleh mikroba tanah sebagai sumber energi (Wihardjaka et al., 1999). Pupuk organik merupakan sumber karbon yang dapat menyumbang pembentukan gas metan tetapi mendukung upaya peningkatan produktivitas tanah. Gas metan lepas ke atmosfer melalui degadrasi anaerobik bahan organik (biogenik) dan nonbiogenik (Cicerone and Oremland, 1988). Proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik menghasilkan gas N2, H2, CH4, C 2H6, propana dan sebagainya. Ketersediaan gas CO2, CH4, dan N 2 lebih besar dalam tanah yang tergenang (Neue and Scharpensell, 1990). Pemilihan varietas umur pendek dan toleran kekeringan diperlukan dalam pola tanam padi-palawija di lahan sawah tadah hujan, karena distribusi dan intensitas curah hujan pada agroekosistem ini tidak menentu. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data volume emisi gas CH4 melalui pengaturan pengolahan tanah, varietas dan bahan organik dalam upaya menekan emisi gas tersebut tanpa mengurangi hasil padi walik jerami di lahan sawah tadah hujan.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan jenis tanah Inceptisol di Pati, Jawa Tengah, pada MK 2001, (Maret - Juni). Penelitian menggunakan rancangan petak petak terpisah, dengan tiga ulangan. Ukuran petak percobaan 5 x 4 m. Petak utama adalah 33
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
HASIL DAN PEMBAHASAN
bakteri methanogen dalam pembentukan gas CH4. Gas CH4 terbentuk secara optimal pada nilai Eh rata-rata kurang dari -200 mV, karena pada kondisi tersebut bakteri methanogen sebagai penghasil gas metan sangat aktif sehingga proses dekomposisi bahan organik berlangsung cepat (Alexander, 1977).
12 Emisi gas CH4 (ugm2./menit)
cara olah tanah yang terdiri atas tanpa olah tanah dan olah tanah sempurna. Anak petak adalah varietas yang meliputi Limboto, Way Rarem dan IR64, sedangkan anak-anak petak adalah penggunaan jerami 5 t + 90 kg N/ha, pupuk kandang 5 t + 90 kg N/ha, dan 90 kg N/ha. Sebagai sumber N adalah pupuk ZA. Parameter yang diamati meliputi emisi gas CH4 dan N2O, C organik tanah dan bahan organik, N total tanah dan tanaman, Eh dan pH tanah, tinggi tanaman, jumlah anakan, komponen hasil, hasil, dan iklim. Contoh gas diambil dua minggu sekali dan dilaksanakan pada pukul 06.00. Contoh gas ditampung dalam boks yang terbuat dari feksiglas ukuran 40 x 40 x 60 cm (boks kecil) dan 40 x 40 x 110 cm (boks besar). Penggunaan boks disesuaikan dengan fase pertumbuhan tanaman. Contoh gas diambil dengan menggunakan jarum suntik ukuran 6 ml dengan interval waktu 5’, 10’, 15’, dan 20’. Contoh gas dianalisis dengan menggunakan gas kromatografi pada suhu injektor 110oC dan suhu kolom 92oC.
10 8
TOT OTS
6 4 2 0 24
40
54
68
82
89
96
Hari setelah tanam (HST)
Gambar 1. Pola emisi gas CH4 harian pada perlakuan tanpa olah tanah padi walik jerami, Jakenan, MK 2001.
Emisi gas CH4
34
Emisi gas CH4 (/m2/menit)
16 Limboto Wayrarem IR64
12
8 4
0 24
40
54
68
82
89
96
HST (hari setelah tanam)
Gambar 2. Pola emisi gas CH4 harian dari berbagai varietas padi walik jerami. Jakenan, MK 2001.
10 Emisi gas CH4 (ug/m2/menit)
Pola emisi gas CH4 harian diamati dengan interval dua minggu sekali, kemudian dilanjutkan pengamatan setiap minggu setelah tanaman berumur 82 hari setelah tanam (HST) hingga menjelang panen. Emisi gas CH4 pada perlakuan tanpa olah tanah (TOT) lebih rendah dari olah tanah sempurna (OTS). Pada varietas IR64, emisi gas CH4 cenderung lebih tinggi dari Limboto dan Way Rarem. Pemberian bahan organik berupa jerami maupun pupuk kandang menyebabkan emisi harian lebih tinggi dibanding tanpa bahan organik. Rata-rata fluk harian metan pada sistem olah tanah, varietas dan bahan organik dari pengamatan awal 26 HST sampai umur 68 HST relatif tinggi, kemudian menurun hingga menjelang panen (Gambar 1, 2 dan 3). Hal ini berkaitan dengan tergenangnya lahan selama pertumbuhan tanaman yang berpengaruh terhadap nilai redoks potensial (Eh tanah). Redoks potensial merupakan ukuran intensitas oksidasi atau reduksi. Tanah tergenang dicirikan oleh Eh tanah yang rendah atau negatif. Pada tanah yang tidak tergenang (kondisi oksidasi), nilai Eh berkisar antara +400 sampai +700 mV, sedangkan pada kondisi reduksi -250 sampai -350 mV (Ponnamperuna, 1972). Selama pertumbuhan tanaman, lahan sawah dalam kondisi tergenang, kecuali menjelang panen. Hal ini terlihat dari nilai Eh tanah yang berkisar antara -169 sampai -5 (Gambar 4). Kondisi reduksi menguntungkan
8
Jerami 5 t/ha P. kandang 5 t/ha 90 kg N/ha
6 4 2 0 24
40
54
68
82
89
96
HST (hari setelah tanam)
Gambar 3. Pola emisi gas CH4 harian dari perlakuan bahan organik pada padi walik jerami. Jakenan, MK 2001.
MULYADI ET AL.: EMISI DAN MITIGASI CH4 DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN
240 26
40
68
82
HST (hari setelah tanam)
-80 -120
OTS TOT
-160
167.1
160 103.6
120
74.9 80
58.4
47.9
86.7 63.9
66.1
40.4
40 0
-200
Limboto
Gambar 4. Redoks potensial tanah dari perlakuan olah tanah pada padi walik jerami. Jakenan, MK 2001.
8 7 6 pH tanah
Jerami 5 t/ha P. kandang 5 t/ha 90 kg N/ha
200
5 4
TOT OTS
3 2 1
HST (hari setelah tanam)
0 26
40
54
68
82
Wayrarem
IR 64
Gambar 6. Emisi gas CH4 pada perlakuan TOT padi walik jerami. Jakenan, MK 2001.
Emisi gas CH4 (kg/ha/musim)
Eh tanah
-40
54
Emisi gas CH4 kg/ha/musim
0
200 150
Jerami 5 t/ha P. Kandang 5 t/ha 90 kg N/ha
100 50 0 Limboto
Wayrarem
IR64
Gambar 5. Nilai pH tanah pada perlakuan tanpa olah tanah pada padi walik jerami. Jakenan, MK 2001.
Gambar 7. Emisi gas CH4 pada perlakuan OTS pada padi walik jerami. Jakenan, MK 2001.
Pada tanah masam, penggenangan akan meningkatkan pH tanah, sedangkan pada tanah alkalin akan menurunkan pH tanah. Selanjutnya, selama 4-12 minggu penggenangan, nilai pH akan stabil berkisar antara 6,5-7,0. Pada perlakuan TOT, dari awal pengamatan sampai 54 HST, pH meningkat dari 4,8 menjadi 7,1, selanjutnya menurun pada kisaran 5-6 (Gambar 5). Hal ini berkaitan dengan Fe (OH)2 atau Fe (OH)8 dan bahan tereduksi lainnya. Selanjutnya Neue (1993) menyatakan, fluk emisi gas CH4 tertinggi terjadi pada saat tanaman berumur 54 HST. Pembentukan gas CH4 pada tanah masam terjadi 5-6 minggu setelah penggenangan. Menurut Sanchez (1976), peningkatan pH terjadi karena karena adanya pelepasan ion hidroksida ketika Fe (OH)3 dengan senyawa oksida lainnya direduksi menjadi aktivitas bakteri methanogen optimal sebagai penghasil gas CH4 pada kisaran pH tanah antara 6-8. Penambahan pupuk N pada tanah secara langsung akan dihidrolisis oleh enzim urease menjadi CO2 dan NH3, sehingga pH tanah cenderung naik yang diikuti oleh turunnya Eh tanah. Nilai pH tanah pada OTS justru sebaliknya, turunnya Eh tanah diikuti oleh turunnya pH tanah.
Pada perlakuan kombinasi antara pengolahan tanah dan varietas, besarnya emisi gas CH4 berbeda. Varietas Way Rarem mengemisi gas CH4 lebih rendah dibanding Limboto dan IR64 dalam perlakuan TOT, masing-masing 59,73; 69,96 dan 106,6 kg/ha/musim, sedangkan pada perlakuan OTS sebesar 123,5; 128,5 dan 138,8 kg/ha/musim (Gambar 6). Masing-masing varietas memiliki umur, sifat dan aktivitas akar yang berbeda. Ini berkaitan dengan volume emisi gas metan. Eksudat akar merupakan karbohidrat, asam organik dan asam amino yang mu+ dah berfermentasi menjadi asetat atau CO 2 + H yang kemudian menjadi gas metan dengan bantuan bakteri methanogen (Yagi and Minami, 1990). Kombinasi jerami + ZA pada perlakuan TOT ratarata mengemisi gas CH4 lebih rendah dibanding pemberian pupuk kandang + ZA maupun dipupuk ZA saja, yaitu sebesar 51,4; 115,2 dan 69,6 kg/ ha/musim. Pada perlakuan OTS, pemberian jerami mengemisi gas CH4 lebih tinggi dibanding pemberian pupuk kandang namun masih lebih rendah jika dipupuk ZA saja, masingmasing 154,5; 121,3 dan 115 kg/ha/musim (Gambar 7). Tingginya emisi gas CH 4 dari pupuk kandang pada
35
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
perlakuan TOT disebabkan karena bahan organik diberikan dengan cara tebar di permukaan tanah, sehingga pupuk kandang lebih cepat terdekomposisi yang menghasilkan hara dan juga karbon yang merupakan unsur utama pembentukan CH4. Sedangkan proses dekomposisi jerami membutuhkan waktu yang lama. Dilaporkan oleh Ponnamperuna (1984) bahwa meskipun laju mineralisasi bahan organik pada kondisi anaerob lebih lambat, tetapi jumlah bahan organik yang termineralisir lebih besar karena yang terimobilisasi lebih kecil, dapat mencapai sekitar dua kali lipat daripada kondisi aerob. Neue (1985) melaporkan bahwa selama proses dekomposisi pada minggu pertama, N anorganik banyak lepas. Pada kondisi anaerob dan nisbah C/N tinggi, pelepasan N masih terus berjalan, tetapi remineralisasi N yang terimobilisasi lebih lambat. Selanjutnya produk akhir dari proses dekomposisi anaerobik adalah: CH4, CO2, H2, H2S, NH3, R-COOH, RNH2, RSH dan sisa-sisa yang tahan. Selanjutnya Ponnamperuna (1984) melaporkan, pembenaman jerami ke dalam tanah secara anaerobik akan meningkatkan pro- duksi CH4, kandungan C dan N organik. Nisbah C/N yang tinggi pada bahan organik berkaitan erat dengan perkembangan bakteri methanogen dalam mem- produksi CH4. Besarnya kadar C organik dan N
total jerami dan pupuk kandang disajikan dalam Tabel 1. Hasil dan Komponen Hasil Hasil analisis sidik ragam menunjukkan ada interaksi yang nyata perlakuan olah tanah, varietas, dan bahan organik hanya terjadi pada bobot jerami dan jumlah gabah hampa (Tabel 2). Varietas nyata mempengaruhi komponen hasil padi walik jerami, antara lain jumlah gabah hampa, panjang malai, jumlah malai, dan bobot 1000 butir. Pemberian bahan organik hanya nyata mempengaruhi hasil gabah. Pada perlakuan olah tanah sempurna, hasil meningkat lebih tinggi dibandingkan tanpa olah tanah. Tanah yang diolah sempurna menghasilkan gabah 0,60 t/ha lebih tinggi daripada tanpa olah tanah (Tabel 3). Varietas IR64 menghasilkan gabah lebih tinggi daripada Way Rarem dan Limboto. Tanpa penambahan bahan organik ke dalam tanah, varietas Limboto dan Way Rarem menghasilkan gabah relatif rendah. Namun dengan pemberian bahan organik, hasil kedua varietas meningkatkan. Penambahan bahan organik dapat meningkatkan kapasitas menahan air dan memperbaiki struktur tanah, sehingga akar berkembang lebih baik dalam menyerap air dan hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Tanggap padi walik jerami terhadap pemberian bahan organik nyata pada perlakuan olah tanah. Peningkatan hasil sebesar 17% jika diberikan pupuk kandang. Pemberian jerami segar hanya meningkatkan hasil 10%, dan tidak beda nyata dibanding hasil pada perlakuan tanpa bahan organik. Pengembalian jerami
Tabel 1. Kadar C organik dan N total jerami dan pupuk kandang pada padi walik jerami, Jakenan MK. 2001. Bahan organik Jerami padi Pupuk kandang
C organik Bahan (%) organik (%) 30,31 7,28
52,25 12,56
N total (%)
Nisbah C/N
0,93 0,26
32,7 28,3
Tabel 2. Uji F beberapa parameter hasil dan komponen hasil pada padi walik jerami, Jakenan MK. 2001. Nilai F hitung Sumber Keragaman Ulangan Olah tanah (T) Galat (a) Varietas (V) TXV Galat (b) Bahan organik (o) TxO VxO TxVxO Galat (c) KK (a)% KK (a)% KK (a)%
Derajat bebas 2 1 2 2 2 8 2 2 4 4 24
Hasil gabah
Bobot jerami
Gabah hampa
Gabah isi
Bobot 1000 butir
Panjang malai
Jumlah malai
-
-
-
-
-
-
-
1,87 tn 1,31 tn
1,06 tn <1 tn
39,43 ** 5,47 *
<1 tn 1,05 tn
12,35 ** 1,41 tn
8,94 ** 1,38 tn
36,60 ** <1 tn
3,45 * 1,40 tn <1 tn <1 tn
1,91 tn <1 tn 1,43 tn 4,61 **
<1 tn <1 tn 2,76 tn 2,50 tn
1,28 tn 1,38 tn 1,29 tn <1 tn
1,15 tn 1,68 tn <1 tn 1,22 tn
<1 tn 1,87 tn 1,64 tn <1 tn
<1 tn 1,97 tn <1 tn <1 tn
24,1 9,8
28,1 13,8
15,9 23,7
19,1 29,2
3,5 2,9
6,9 3,2
17,3 15,0
** Nyata pada taraf 1%; * Nyata pada taraf 5%; tn tidak nyata
36
MULYADI ET AL.: EMISI DAN MITIGASI CH4 DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Tabel 3. Hasil dan komponen hasil dari berbagai olah tanah, varietas dan bahan organik pada padi walik jerami, Jakenan MK. 2001. Tanpa olah tanah
Tanpa olah tanah
Varietas Jerami 5 t/ha +
Pukan 5 t/ha +
90 kg N/ha
Jerami 5 t/ha +
Pukan 5 t/ha +
90 kg
90 kg N/ha
90 kg N/ha
3,27 a 3,42 a 3,95 a
3,41 a 3,44 a 3,96 a
3,06 a 3,33 a 4,11 a
N/ha 90 kg N/ha
90 kg N/ha
Limboto Wayrarem IR64
3,19 a 2,81 a 2,94 a
3,31 a 2,84 a 3,33 a
2,85 a 2,38 a 2,89 a
Limboto Wayrarem IR64
8,27 a 8,80 a 7,82 a
9,33 a 6,53 b 5,71 b
Bobot jerami (t/ha) 6,21 a 9,78 a 6,13 a 8,12 ab 7,27 a 7,81 b
8,23 a 9,59 a 8,95 a
8,04 a 8,53 a 8,01 a
Limboto Wayrarem IR64
251 a 256 a 149 b
245 b 198 c 278 a
Jumlah gabah hampa/rumpun 123 b 251 a 141 a 204 a 143 a 238 a
225 a 177 c 180 b
108 c 166 b 172 a
Limboto Wayrarem IR64
449 a 446 a 520 a
453 b 457 b 550 a
Jumlah isi hampa/rumpun 367 b 455 a 340 c 510 a 457 a 552 a
568 a 414 c 537 b
469 c 486 b 621 a
Limboto Wayrarem IR64
22,8 a 22,8 a 22,3 a
24,8 a 24,1 a 24,1 a
Panjang malai (cm) 21,6 a 23,3 a 21,2 a 23,6 a 21,3 a 23,1 a
24,9 a 24,1 a 25,6 a
22,9 a 24,0 a 23,7 a
Limboto Wayrarem IR64
26,8 a 27,4 a 26,9 a
25,7 a 25,2 a 25,8 a
Bobot 1000 butir (g) 24,9 a 27,2 a 25,0 a 27,0 a 25,2 a 26,7 a
25,9 a 27,1 a 26,0 a
25,9 a 26,5 a 25,4 a
Limboto Wayrarem IR64
6,7 a 7,3 a 5,9 a
7,3 a 6,9 a 7,1 a
Jumlah malai/rumpun 10,4 a 6,8 a 10,2 a 6,1 a 9,1 a 6,6 a
7,5 a 6,7 a 7,5 a
9,8 a 10,6 a 11,5 a
Angka dalam lajur diikuti huruf yang sama tidak bebeda nyata pada taraf 5 % menurut Uji DMRT Pukan = pupuk kandang
ke dalam tanah relatif tidak meningkatkan hasil. Hal ini diduga karena proses imobilisasi dan dihasilkannya asam-asam organik slama proses perombakan yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman padi. Varietas Limboto dan Way Rarem cenderung menghasilkan jerami lebih tinggi daripada IR64. Hasil jerami kedua varietas tersebut nyata lebih tinggi pada perlakuan tanpa olah tanah dengan pemberian bahan organik, baik berupa jerami segar maupun pupuk kandang . Interaksi perlakuan olah tanah dan varietas mempengaruhi jumlah gabah hampa. Jumlah gabah hampa varietas IR64 nyata lebih rendah daripada Limboto dan Way Rarem, baik pada perlakuan tanpa olah tanah maupun olah tanah sempurna. Menurut Yoshida (1981), kekeringan terutama pada saat tanaman ber-
bunga menyebabkan banyak gabah yang hampa akibat tidak terbentuknya asimilat berupa karbohidrat dalam gabah selama fotosintesis. Varietas IR64 juga memberikan panjang malai dan bobot 1000 butir lebih rendah daripada Way Rarem dan Limboto, namun jumlah malai dari IR64 nyata lebih banyak.
KESIMPULAN Emisi gas CH4 harian meningkat seiring dengan turunnya redok potensial tanah, emisi CH4 meningkat pada 54 dan 68 HST. Perlakuan TOT menekan emisi gas CH4 sebesar 65% lebih rendah dari OTS.
37
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 21 NO. 1 2002
Varietas padi gogo Way Rarem dan Limboto dapat menekan emisi gas CH4 sebesar 34% dan 24% tetapi hasil gabah kedua varietas lebih rendah 0,5 t dan 0,3 t/ha daripada IR64. Pemberian pupuk kandang pada perlakuan OTS, dapat menekan emisi gas CH 4 27% dibandinkan jerami. Pada perlakuan TOT, pemberian jerami justru dapat menekan emisi gas CH4 sebesar 124% dibanding pem- berian pupuk kandang.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1977. Introduction to soil microbiology. Second edition John Wiley & Sons. Nw York. 467 p. ALGAS. 1998. National report on Asean least-cost greenhause gas abatement strategy for agricultural sector. Bachelet, D dan H.U. Neue. 1992. Methane emission from wetland rices areas of Asia Chemosphere (in press). Cicerone, R.J. dan R.S. Oremland. 1988. Biogeochemical aspect of atmospheric methane. Global Biogeochem Cycles 2:299-327. Japan Enviromental Agency 1992. The basic study on strategic response against the global warning climate change and their adverse effect. Ministry of population and environmet of Indonesia, Jakarta. Neue, H.U. 1985. Organic matter dynamics in wetland soils. p.109-122. In: Wetland soils: Characterization, classification. and utilization. IRRI, Los Banos, Philipines.
38
Neue, H.U. 1993. Methane emission from rice fields: Wetland rice fields may make a major contribution to global warning. Bio Science 43. Neue, H.U. and H.W. Scharpenseel. 1990. Gaseous product of the decomposition of organic matter in sub mergend soils. In: Organic matter & soil. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. p. 311-328. Ponnamperuna, F.N. 1972. The Chemistry on submerged soils. Adv. In Agron. 24: 29-66. Ponnamperuna, F.N. 1984. Straw as a soerce of nutrients for wetland rice, In: Organic matter and rice. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. p. 311-328. Sanchez, P.A. 1976. Properties and Management of soils in the tropics. Departement of Soil Science North Carolina State University. John Wiley and Sons, New York, London, Toronro, Sydney. Schultz. 1989. A three years continuous record of the influence of daytime, season and fertilizer treatment on methane emission rates from an Italian rice paddy field. J. Geophys. Res. 94:16405 Wiharjaka, A, P. Setyanto dan A. Karim Makarim, 1999. Pengaruh penggunaan bahan organik terhadap hasil padi dan emisi gas metan pada padi sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah, Puslitbangtan, Bogor. Yagi , K. and Minami. 1990. Effect of organik matter application of methane emission from some Japanese paddy fields. Soil Sci. Plant Nutr. 36: 599-610. Yoshida,S. 1981. Fundamentals of rice crop science science crop science. International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, Philippines.