5 TINJAUAN PUSTAKA
Pohon Gewang ( Corypha elata robx) dan Produksinya Pohon gewang (Corypha elata robx) merupakan genus palam-palaman. Khusus di Nusa Tenggara Timur, tanaman ini banyak dijumpai terutama di P. Timor dan Rote. Tumbuh baik pada dataran rendah (kurang dari 400 m dpl), tinggi batang mencapai 15 meter dan tumbuh secara tunggal, batang besar dan lurus, tahan kering dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah kurang subur dengan pH 6 – 8. Isi (empulur) batang gewang telah lama dikenal masyarakat setempat dengan nama putak dan digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat untuk ternak ruminansia maupun non ruminansia terutama ternak babi. Putak sangat potensil sebagai pakan karena tidak digunakan sebagai pangan, demikian juga jumlah dan ketersediaannya masih cukup terjamin. Berdasarkan data yang dilaporkan Ditjennak (2007) bahwa luas padang penggembalaan alam di P. Timor adalah 24 382 04 ha dan diperkirakan sekitar 5 – 10% dari luasan tersebut ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al. (1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 ), dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%). Waktu terbaik untuk pemotongan adalah saat tanaman menjelang berbunga yang dapat diketahui dari posisi pelepah daun paling bawah membentuk garis horisontal. Tingginya kadar serat kasar serta minimnya kandungan protein serta nutrisi lainnya menjadi kendala penggunaan pakan lokal ini sebagai sumber pakan alternatif yang prospektif. Penggunannya sebagai pakan masih sangat terbatas. Penelitian pemberian putak sebagai pakan juga terbatas baru pada ternak ruminansia yakni sebagai pakan sumber karbohidrat mudah tersedia yang dikombinasikan dengan penambahan urea sebagai sumber nitrogen. Pengolahan lainnya dengan membuat produk gabungan pati dari putak dengan urea (purea) serta pengolahan secara biologis melalui fermentasi sebagai pakan babi, namun pemanfaatannya sebagai pakan belum maksimal.
6
Gambar 1 Pohon gewang (Corypha elata robx)
Penerapan teknologi pengolahan untuk meminimalisir keterbatasan yang dimiliki putak yang pernah dilakukan misalnya, dengan penambahan urea; (Bamualim et al. 1993, Nulik et al. 1993, Kana Hau et al. 1993), pembuatan produk pemasakan putak-urea (Purea) (Wie Lawa 1996), semuanya sebagai pakan ruminansia, serta pengolahan secara biologis, yaitu fermentasi dengan Saccharomyces cereviciae (Ginting 2000) untuk pakan ternak babi. Bamualim et al. (1993) melaporkan penelitian yang dilakukan pada ternak sapi dengan pemberian putak dicampur urea sebanyak 30 g/e/h diperoleh tingkat penurunan bobot badan selama musim kemarau adalah sebesar -0.16 kg/e/h dibanding pemberian jerami yang mencapai -0.39 kg/e/h, sedangkan pada musim hujan tingkat pertambahan bobot badan mencapai 370 g/e/h vs jerami 170 g/e/h. Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Kana Hau et al. (1993) pada ternak kambing yang diberi jerami sebagai pakan dasar, suplemen putak dan urea tidak menyebabkan perbedaan konsumsi pakan dasar akan tetapi kecernaan bahan kering meningkat dari 45.1% menjadi 62.6%, dengan pertambahan bobot harian 42 g/e/h. Penelitian lain seperti dilakukan oleh Wie Lawa (1996) yakni membuat produk pemasakan putak-urea dapat meningkatkan nilai nutrisi in vitro dengan hasil terbaik adalah pada perlakuan lama pemasakan 2 jam dengan level penambahan urea 4% BK. Selanjutnya Hilakore et al. (1999) mencoba
7 penggunaan Purea (produk pemasakan putak-urea) pada ternak kambing jantan lokal yang diberi rumput alam sebagai hijauan tunggal dengan maksimal penggunaan purea 20% memberikan pertambahan bobot badan sebesar 36 g/e/h. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000). Level kultur terbaik adalah sel 0.75 x 106 unit sel, dan lama inkubasi 2 minggu menghasilkan kenaikan kadar protein kasar nyata lebih baik (8.92%) dari pada kontrol (2.63%), tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar serat kasar (12.01 % turun menjadi 11.97%). Maksimal penggunaannya untuk ternak babi adalah 10% menggantikan jagung.
Fermentasi dan Medium Fermentasi Fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk memperoleh energi yang dibutuhkan dalam metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan atau katabolisme terhadap senyawa-senyawa organik secara aerob dan anaerob, dimana enzim dari mikroorganisme menstimulasi reaksi oksidase, reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikrob penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermenasi menurut Winarno (1981), dapat menyebabkan perubahan sifat bahan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan (pangan) tersebut. Hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis substrat, macam mikroba dan kondisi sekelilingnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikrob tersebut. Menurut Rachman (1989), pemilihan jenis mikrob dalam proses fermentasi merupakan salah satu unsur penentu terhadap berhasil atau tidaknya proses fermentasi bersangkutan. Proses fermentasi akan terjadi apabila terdapat aktifitas enzim. Dalam proses fermentasi, peranan substrat yang digunakan sangat besar. Faktor yang ikut mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah ketersediaan, sifat fermentasi dan harga substrat (Fardiaz 1988). Selain itu senyawa-senyawa sumber karbon dan nitrogen merupakan komponen paling penting dalam medium
8 fermentasi, karena sel-sel mikroba dan berbagai produk fermentasi sebagian besar terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen. Makanan produk fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi dibanding bahan makanan asalnya. Hal ini disebabkan mikroba telah memecah komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna. Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan terhadap komposisi kimia antara lain kandungan lemak, karbohidrat, asam amino, mineral dan vitamin sebagai akibat dari aktifitas dan perkembang biakan mikroorganisme selama fermentasi berlangsung (Winarno 1992). Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua macam yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat adalah suatu jenis fermentasi yang menyerupai habitat alami dimana terjadi degradasi komponen kimia padat oleh mikrob dalam media yang cukup mengandung air tanpa ada air bebas dalam sistem fermentasi tersebut (Murthy et al. 1993, Correa et al. 1998). Selanjutnya, fermentasi media cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Fardiaz 1988). Pada dasarnya fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan ekosistem untuk pertumbuhan mikroba yang diinokulasikan. Sifat porositas medium merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan mikroba yang ditumbuhkan. Medium dengan porositas yang baik akan memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh bagian medium (Hardjo et al. 1989 ). Fermentasi media padat memiliki beberapa keuntungan seperti : a). menggunakan substrat tunggal seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang mengandung karbohidrat, protein dan lain-lain dan hanya ditambahkan air; b). kepekatan produk yang dihasilkan lebih tinggi; c) pertumbuhan kapang menyerupai habitatnya di alam; d) tidak diperlukan kontrol pH dan suhu yang teliti. Kelemahan jenis fermentasi ini adalah terbatasnya jenis mikrob yang dapat digunakan, kebutuhan inokulum cukup besar serta agak sulit dalam pengaturan kadar air, pH, dan lainnya (Muchtadi et al. 1992).
9 Beberapa keuntungan fermentasi medium padat dibanding medium cair adalah penggunaan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum lebih sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi, kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi inkubasi hampir menyerupai kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti dan aerasi dapat berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar, fermentasi media padat memiliki produktivitas yang tinggi serta hasil yang sama dapat terulang pada kondisi yang sama (Setiawiharja 1984, Hardjo et al. 1989 ). Knapp dan Howell (1975) mengemukakan bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan proses fermentasi medium padat adalah : 1) sifat medium, terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisasi dan polimerisasi 2). sifat organisme, karena masing-masing mikroba memiliki kemampuan yang berbeda dalam memecahkan komponen medium untuk keperluan metabolisme 3). kinetika metabolisme dan enzim, karena pada umumnya produksi enzim pada medium padat bersifat non konstitutif sehingga represi katabolik dan penghambatan oleh produk akhir menjadi aspek yang sangat penting dalam menguraikan medium. Proses fermentasi medium padat dapat dikatakan sebagai proses pengkayaan
protein
(protein
enrichment)
bahan
dengan
menggunakan
mikroorganisme tertentu. Proses pengkayaan protein identik dengan pembuatan protein sel tunggal akan tetapi pada pengkayaan tidak dilakukan pemisahan sel mikrob dari substrat (Gushairiyanto 2004). Secara umum medium fermentasi menyediakan semua nutrien yang dibutuhkan mikrob untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel dan biosintesa produk-produk metabolisme, tergantung kepada jenis mikroba dan produk yang akan dihasilkan maka setiap fermentasi memerlukan medium yang juga tertentu. Dalam pertumbuhannya, mikroorganisme membutuhkan zat-zat untuk sintesa komponen sel dan menghasilkan energi untuk menghasilkan ATP yang berasal dari karbohidrat dan atau protein. Menurut Peppler (1973), penambahan bahan-bahan sumber nutrien ke dalam media fermentasi dapat menyokong dan merangsang
pertumbuhan
mikroorganisme.
Selanjutnya
Fardiaz
(1988)
10 mengemukakan
bahwa
nitrogen
mempunyai
fungsi
fisiologis
bagi
mikroorganisme yaitu merupakan bagian dari protein, asam nukleat dan koenzim, sedangkan karbon merupakan bagian dari senyawa organik sel. Menurut Fardiaz (1988) bahwa laju pertumbuhan mikroorganisme dipengaruhi
oleh
konsentrasi
komponen-komponen
penyusun
media
pertumbuhannya. Karbon adalah elemen terbanyak dalam sel mikroorganisme meliputi kira-kira 50% dari biomassanya, karena itu sumber karbon merupakan bahan terbesar yang harus tersedia dalam media karena merupakan sumber nutrien utama dalam pertumbuhan mikrob. Dikemukakan oleh Wang et al. (1979) bahwa konsentrasi sumber nutrien juga mempunyai batas maksimum, garam ammonium dan nitrat mulai menimbulkan penghambatan pada konsentrasi lima gram per liter dan garam phospat pada 10 gram per liter. Oleh karena itu Litchfield (1979) menyarankan penambahan nutrien ke dalam substrat dilakukan pada range yang sesuai antara unsur karbon dan nitrogen. Dalam hubungan dengan peningkatan kadar protein substrat (PST), tergantung kepada jenis mikrob, dimana ratio C terhadap N (C : N ratio) dapat berkisar antara 20 : 1 tetapi ratio C : N yang paling sering digunakan adalah antara 5 : 1 hingga 15 : 1 Efisiensi penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat merubah bentuk fisik bahan padat dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik (Ginting 2000). Produk fermentasi menurut Gushairiyanto (2004) dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu sel mikrobia/biomassa sel, senyawa molekul besar/enzim, metabolit primer (asam amino, nukleatida, vitamin dan asam organik) dan metabolit sekunder (antibiotik, toksin,alkoloid dan hormon tanaman). Sel mikrob secara komersil dapat berfungsi sebagai : 1). makanan ternak atau yang dikenal sebagai protein sel tunggal (PST); 2). sebagai alat
11 konversi, proses yang dapat mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain oleh enzim yang dihasilkan oleh sel tersebut. Besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein menurut Wang et al. (1979), dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem fermentasi itu sendiri yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap pakai; dan c), proses pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia (R-NH3). Ketiga proses di atas harus terjadi sinergi dan serentak agar diperoleh hasil yang maksimal. Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam mencerna pakan terutama substrat berserat menurut Suhartati et al. (2003) adalah tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan lainnya. Selain itu secara ekonomis lebih murah dan penanganan lebih mudah. Sedangkan menurut Winarno (1992) bahwa keuntungan pengolahan dengan cara fermentasi yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi daripada asal.
Trichoderma reseei Trichoderma merupakan salah satu dari banyak kapang lain yang dapat menghasilkan enzim selulase dan telah digunakan dalam penelitian degradasi enzimatik bahan-bahan berselulosa menjadi glukosa. Menurut Frazier dan Westhoff (1978) bahwa Trichoderma aktif dalam proses dekomposisi selulosa. Bagian-bagian yang menjadi cirinya adalah miselium berseptat, konidiofora bercabang banyak, membentuk konidia bulat atau oval berwarna hijau terang dan membentuk bola-bola berlendir. Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikroba selulolitik yang potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan Oldman 1984).
Pada sistem selulase, enzim selulase yang dihasilkan genus
Trichoderma adalah endoglukanase, eksoglukanase atau selobiohidrolase serta sedikit selobiase atau β-glukosidase.
12 Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei dan meliputi lebih dari 80% protein selulase. Enzim ini memecah selulosa menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis. Selobiohidrolase dihambat secara kompetitif oleh selobiosa (Juhasz et al. 2003). Kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti endo dan eksoglukanase (selobiohidrolase) juga memberikan keuntungan dalam hal produksi protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara dengan 40 g/l
protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBH I) merupakan
komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang ke dalam substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan. Kondisi optimum yang dibutuhkan T.reesei untuk bertumbuh berbeda dengan untuk produksi enzim. Selama fase pertumbuhan, terjadi akumulasi massa sel dan setelah massa sel mencapai konsentrasi optimum, produksi enzim baru dimulai. Temperatur dan pH yang optimum pada kedua fase ini juga berbeda yakni untuk pertumbuhan adalah 31-35oC dan pH 4 sedangkan untuk produksi enzim 26-28oC dengan pH 3. Aerasi merupakan faktor yang sangat penting pada semua fase oleh karena oksigen diperlukan untuk metabolisme energi agar produk fermentasi yang dihasilkan maksimal (Tsao et al. 1983).
Aspergillus niger Aspergillus niger merupakan salah satu kapang genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Moniliales, dan subdivisi Eumycophyta yang bersifat aerobik sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup dan untuk pertumbuhan memerlukan suhu optimum sekitar 35 - 37oC (Frazier and Westhoff 1981) sedangkan untuk menghasilkan enzim selulase diperlukan suhu 25 - 28 oC (Enari 1983). Ditambahkan oleh Laskin dan Heuber ( 1978) bahwa A.niger disebut juga sebagai jamur hitam karena warnanya yang coklat kehitaman. Berkembang biak secara vegetatif dan generatif dengan spora (Dwidjoseputro 1984), serta dapat tumbuh pada suhu 35 – 37oC atau lebih dengan suhu maksimum 65oC dan pH 2.8 – 8.8. Untuk pertumbuhannya A. niger menggunakan nutrisi yang ada di
13 sekitarnya misalnya molekul-molekul sederhana seperti gula yang terlarut dapat langsung diserap oleh hifa, tetapi polimer-polimer seperti pati dan selulosa akan dipecah terlebih dahulu oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dihasilkannya menjadi molekul sederhana baru diserap (Moore and Landacker 1983). Miselium dapat bersifat vegetatif dan reproduktif. Sebagian besar miselium vegetatif menembus ke dalam medium untuk mendapatkan makanan sedangkan miselium reproduksi bertanggung jawab dalam pembentukan spora dan biasanya tumbuh menjulang ke udara (Pelczar 1986). Aspergillus niger merupakan jenis kapang yang menghasilkan banyak macam
enzim
ekstraseluler,
seperti
α-amilase,
glukoamilase,
α-
dan
β- glukosidase serta selulase (Saha 1991). Senada dengan hal di atas Kompiang et al. (1995) menyatakan bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. A. niger juga merupakan kapang aerobik yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk membantu pencernaan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Kompiang et al. 1994). Dalam kaitannya dengan enzim selulase, genus Trichoderma memproduksi enzim selobiohidrolase merupakan komponen terbanyak, sedangkan pada enzim selulase dari genus Aspergillus, komponen terbanyak adalah enzim β-glukosidase (Gong dan Tsao 1979). Enzim ini berperan dalam hirolisis selobiose menjadi glukosa. Moo-Young et al. (1983) melaporkan bahwa, fermentasi media padat dengan menggunakan kultur A.niger pada substrat beras menghasilkan 400 g protein serta aktifitas amylase 1380 U/ml pada lama inkubasi tiga hari. Konsentrasi ini 80 kali lebih tinggi dari pada yang dihasilkan dengan fermentasi terrendam. Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa dalam fermentasi yang bertujuan menghasilkan protein sel tunggal, maka penggunaan bahan yang mengandung pati adalah yang terbaik. Sedangkan A.niger merupakan kapang yang paling sering dipilih dalam fermentasi karena kemampuannya yang baik dalam biokonversi pati menjadi protein.
14 Fermentasi Kultur Campuran Penggunaan dua atau lebih mikroba sebagai inokulum dalam proses fermentasi disebut sebagai biakan campuran, yang diklasifikasikan oleh Hesseltine (1991) ke dalam empat jenis yakni : (1) monokultur; bila hanya satu strain mikrob yang digunakan; (2) multikultur, bila menggunakan lebih dari satu mikrob termasuk bila digunakan dua spesies yang berbeda; (3) unimultikultur, bila menggunakan dua atau lebih strain dari spesies yang sama; (4) polikultur, bila menggunakan banyak mikrob yang berbeda. Menurut Hesseltine (1991), penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Organisme-organisme tersebut hidup bersama dalam hubungan yang bisa saling merugikan, juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Selanjutnya Correa et al. (1999) memberi contoh pada fermentasi pangan oriental sebagai contoh terbaik dalam menggambarkan kelebihan fermentasi kultur campuran. Menurut Correa et al. (1999), kesesuaian atau kecocokan strain dan kebutuhan nutrien yang sama merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan biakan campuran karena interaksi sinergis antara pasangan mikrob yang sesuai dapat mengatasi keterbatasan nutrisi substrat. Fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masing-masing mikrob dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikrob-mikrob tersebut (Hesseltine 1991). Ditambahkan selanjutnya bahwa ada beberapa keuntungan dari biakan campuran seperti: a) memberikan peningkatan hasil yang lebih baik; b) lebih stabil dan dengan cepat akan normal kembali bila kondisi tumbuhnya terganggu; c) resisten terhadap kontaminan; d) lebih mampu menggunakan substrat berkualitas sangat rendah. Sedangkan kerugiannya adalah : a) produk dari kultur campuran lebih bervariasi dalam jumlah dan komposisi; b) sulit mendeteksi terjadinya kontaminasi; c) sulit mengontrol keseimbangan optimum antara mikrob yang terlibat.
15 Penggunaan polisakarida seperti selulosa, hemiselulosa dan pati dalam fermentasi campuran untuk menghasilkan enzim, protein sel tunggal, etanol, biogas dan sebagainya yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa ada berragam enzim yang dibutuhkan dalam degradasi polisakarida dan bekerja secara sinergis dalam degradasi bahan-bahan tersebut secara efisien. Disamping itu produk akhir dari masing-masing mikrob dalam medium dapat membatasi proses fermentasi, dan dalam kultur campuran pengaruh tersebut dapat diminimalisir karena masingmasing mikroba dapat memanfaatkan produk akhir yang dihasilkan sehingga proses fermentasi akan berlangsung pada kondisi yang lebih sesuai. Komponen utama tanaman seperti selulosa dan hemiselulosa dapat didegradasi secara efisien oleh enzim selulase yakni endo-β-glukanase, exo-βglukanase dan β-glukosidase. T.reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan enzim endo- dan exo-glukanase tetapi jumlah β-glukosidase lebih sedikit dari pada yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa yang efisien menjadi glukosa (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Selanjutnya Saha (1991) dan Juhasz et al. (2003 ) menyatakan bahwa A.niger memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan β-glukosidase. Menurut Enari (1983) bahwa enzim selobiase atau β-glukosidase yang dihasilkan oleh T.reesei sangat sensitif terhadap inhibisi produk akhir dibandingkan enzim yang sama dari A.niger. Dengan demikian maka kombinasi kedua kapang ini akan meningkatkan efisiensi degradasi selulosa yang pada gilirannya meningkatkan kualitas substrat. Laporan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan penggunaan kedua mikrob di atas dalam kultur campuran, ternyata memberikan hasil yang lebih baik daripada kultur tunggal. Jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dengan substrat bagas tebu (Correa et al. 1999). Demikian juga halnya dengan laju pertumbuhan kapang T. reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah (Panda et al. 1989). Viesturs et al. (1980) dalam Moo-Young (1983), memperoleh kadar 18% protein murni pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%. Penelitian lain oleh Saha (1991)
16 menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Mishra et al. (2004) melaporkan, pada pengolahan air limbah industri kentang, biomassa sel biakan campuran A.foetidus dan A. niger lebih tinggi dibanding pada masing-masing kultur tunggal.
Sumber Nutrien pada Ternak Ruminansia Kelompok ternak ruminansia memiliki keunikan dalam hal pemanfaatan sumber-sumber pakan yang sangat beragam secara kualitas. Proses pencernaan fermentatif yang terjadi di dalam lambung depan dan dengan kapasitas yang sangat besar sangat menguntungkan ternak ini karena : (1) pakan dapat diubah dan tersedia dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap, (2) ternak ruminansia menjadi mampu memanfaatkan pakan serat dalam jumlah lebih banyak dan lebih efisien. Kebutuhan nutrien pada ternak ruminansia dipenuhi dari 3 sumber, yakni : nutrien hasil fermentasi rumen, nutrien pakan yang lolos degradasi rumen, serta dari mikroba rumen yang masuk usus halus dan mengalami pencernaan. Ternak yang mendapat ransum dengan bahan utama pakan serat berkualitas rendah, pemenuhan kebutuhan nutrien diharapkan berasal dari mikroba rumen dan produk fermentasi seperti asam lemak volatil (VFA) ( Sutardi 1995). Oleh karena itu ternak yang mendapat ransum pakan serat berkualitas rendah, salah satu aspek penting yang perlu ditingkatkan adalah pertumbuhan mikroba. Untuk pertumbuhan mikroba yang optimal, semua nutrien prekursor seperti energi, nitrogen, asam-asam amino, mineral dan vitamin harus tersedia dalam konsentrasi yang optimum di dalam rumen. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Huber dan Kung (1981) bahwa efisiensi fermentasi dan sintesis protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua nutrien prekursor tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini bermakna suplementasi suatu nutrien harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien lainnya. Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung pada ketersediaan karbohidrat dan nitrogen. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba rumen karena disamping sebagai sumber kerangka karbon juga merupakan sumber energi. Produk fermentasi pencernaan
17 karbohidrat oleh mikroba rumen yakni VFA merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Kadar VFA antara 8 –16 Mmol/100 ml cairan rumen telah mencukupi kebutuhan sintesis protein mikrob rumen yang optimal (Sutardi 1995). Kandungan nitrogen, baik yang bersumber dari nitrogen bukan protein (NPN) maupun protein murni, juga sangat berguna untuk merangsang pertumbuhan mikroba. Konsentasi NH3 rumen sebesar 5 mg% atau 3,57 mM cukup untuk pertumbuhan mikroba (Satter dan Roffler 1976).
Metabolisme Protein pada Ruminansia Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung kepada ketersediaan karbohidrat dan sumber nitrogen yang tersedia dalam rumen. Laju pencernaan unsur-unsur tersebut merupakan faktor penentu produksi protein mikroba. Menurut Sutardi (1979), protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis menjadi asam-asam amino dan oligopeptida. Selanjutnya asam amino akan mengalami katabolisme dan menghasilkan amonia, VFA dan CO2. Proses proteolisis oleh mikrob rumen menghasilkan peptida dan asam amino (Nolan 1993) yang bisa digunakan oleh sebagian mikrob rumen untuk pertumbuhannya (Wallace dan Cotta 1988). Oleh karena tidak semua peptida dan asam amino yang terbentuk dalam rumen digunakan oleh mikroba, sebagian akan mengalir ke usus halus. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Russel et al. (1992) bahwa pemberian ransum yang berkualitas tinggi pada sapi perah, 30% dari NAN (Non Amonia Nitrogen) yang masuk ke dalam usus halus dalam bentuk peptida dan asam amino. Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi dan proses sintesis protein oleh mikrob rumen. Jika pakan defisiensi protein atau proteinnya tahan degradasi, konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan pertumbuhan mikrob rumen menjadi lambat sehingga menyebabkan turunnya kecernaan pakan (McDonalld et al. 1988). Bila kecepatan degradasi melebihi kecepatan sintesis protein mikrob akan terjadi akumulasi NH3 dalam rumen. Amonia yang berlebihan akan diserap oleh dinding rumen masuk ke dalam aliran darah, sebagian akan difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urine dan sebagian lagi masuk ke rumen melalui dinding rumen dan saliva, yang kemudian
18 akan menjadi sumber nitrogen lagi pada sintesis protein mikrob (Preston and Leng 1987, Tillman et al. 1988, Preston and Leng 1987, Nolan 1993 ).
Protein pakan
Protein endogen
RUMEN Asam amino
NH3 diabsorbsi
Tak terdegradasi
Protein mikrob
Protein pakan
Protein endogen
Protein mikrob
USUS HALUS Asam amino
diabsorbsi
Protein tak tercerna Protein endogen NH3 diabsorbsi Protein mikrob SEKUM
feses
Gambar 2 Metabolisme protein pada ruminansia (Kempton et al. 1978)
19 Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi sintesis asam amino pada mikroorganisme rumen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi protein ternak ruminansia sangat tergantung kepada proses sintesis protein mikrob rumen. Protein mikrob rumen mempunyai kualitas yang sangat baik, dan menurut Sniffen dan Robinson (1987) bahwa sumbangan protein asal mikrob rumen terhadap kebutuhan asam amino ternak ruminansia mencapai 40–80% dan fraksi nitrogen total asam-asam amino (TAAN= total amino acids nitrogen) yang masuk usus sebagian besar berasal dari protein mikrob rumen. Artinya bahwa keberhasilan memacu pertumbuhan mikrob rumen akan sangat besar pengaruhnya terhadap terpenuhinya kebutuhan asam amino ternak inang. Kebutuhan asam amino ternak ruminansia dipenuhi dari protein pakan yang lolos degradasi dalam rumen kemudian mengalami pencernaan dan diserap dalam usus. Selain itu juga berasal dari protein mikrob rumen yang tercerna dan terserap dalam usus, serta berasal dari cadangan protein tubuh (protein endogenous). Menurut Buttery (1976) jumlah protein pakan yang mengalami degradasi dalam rumen cukup banyak dan laju degradasi tergantung kepada kelarutan protein dan laju aliran digesta. Variasi derajat ketahanan protein terhadap degradasi mikrob rumen sangat besar yakni antara 12-90%.
Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia Karbohidrat merupakan komponen utama dalam ransum ruminansia yakni mencapai 60 – 75% dari total bahan kering ransum dimana dalam makanan kasar (hijauan) sebagian besar terdapat dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa, sedangkan dalam konsentrat umumnya terdapat dalam bentuk pati (Sutardi 1979). Senada dengan pernyataan tersebut Russel dan Hespel (1981) menyatakan bahwa pakan ternak ruminansia sebagian besar berupa polimer kompleks seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, pati dan lain-lain sehingga menyebabkan jenis pakan ruminansia memiliki nilai kelarutan yang rendah. Proses metabolisme yang terjadi dalam retikulorumen sangat kompleks. Partikel pakan yang terutama berupa polimer karbohidrat, mengalami degradasi (hidrolisis) menjadi bentuk monomer. Bentuk monomer tersebut oleh mikroba
20 rumen difermentasi menjadi piruvat melalui lintasan Embden Meyerhoff dan lintasan pentosa fosfat. Piruvat adalah bentuk produk intermedier yang
akan
segera dimetabolis untuk membentuk produk utama pencernaan fermentatif dalam rumen, yaitu asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids) atau lebih dikenal sebagai asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) (France dan Siddons 1993). Karbohidrat dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan yaitu pencernaan oleh enzim ekstraseluler dan intraseluler mikrob. Tahap pencernaan oleh enzim ekstraseluler, karbohidrat yang masuk rumen difermentasi menjadi monomer berupa oligosakarida, disakarida dan gula sederhana. Tahap kedua, monomer difermentasi lebih lanjut oleh enzim intraseluler membentuk piruvat melalui jalur Embden Meyerhoff dan pentosa fosfat (Baldwin dan Allison 1983, France dan Siddons 1993). Piruvat merupakan produk intermedier akan dimetabolisasi menjadi VFA. Perubahan asam piruvat menjadi VFA melalui beberapa lintasan. Oksidasi asam piruvat menjadi asam asetat dan butirat terjadi melalui lintasan asetil-KoA, untuk pembentukan asam propionat ada dua lintasan yaitu lintasan suksinat dan laktat atau akrilat (Baldwin dan Allison 1983, France dan Siddons 1993). Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam bentuk VFA mencapai 80% dan 20% merupakan energi yang terbuang dalam bentuk gas CO2, CH4 dan energi dalam bentuk ATP (France dan Siddons 1993). Energi dalam bentuk ATP hanya 6.2% dari total energi yang hilang. Hanya energi dalam bentuk ATP ini yang digunakan oleh mikrob rumen untuk pertumbuhannya sedangkan VFA merupakan produk sampingan dari aktifitas mikrob rumen (Hvelpund 1991). Menurut Clark dan Davis (1983) dalam Erwanto (1995), pada kondisi pola produksi VFA utama dalam cairan rumen 65% asetat, 25% propionat dan 10% butirat, maka energi yang berasal dari pakan (heksosa) yang muncul dalam bentuk VFA mencapai 75%, sisanya berupa gas metan 12.4%, sebagai panas fermentasi 6.4% dan sekitar 6.2% dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi dalam bentuk ATP. Hal tersebut menurut Sutardi (1995) mencerminkan bahwa mikroba rumen memproduksi VFA bukan untuk kepentingannya melainkan sebagai proses electron sink dalam menjaga potensial
21 redoks dalam rumen, sehingga tetap berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan dan perkembangan mikrob rumen sendiri. Laju pertumbuhan mikrob rumen sangat tergantung kepada ketersediaan karbohidrat. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber kerangka karbon, karbohidrat adalah sumber energi bagi mikrob rumen dalam bentuk ATP (Adenosine Tryphosphate) (Sutardi 1979).
Selanjutnya menurut
Russel dan
Wallace (1988) bahwa pertumbuhan mikrob rumen proporsional terhadap jumlah ATP yang dihasilkan dari katabolisme energi. Maksimum sintesis sel mikrob yang dihasilkan dalam rumen mendekati 25 gram per mol ATP. Selulosa
Pati
Hemiselulosa
Pektin
Pentosa Heksosasa LINTASAN EMBDEN MEYERHOFF
LINTASAN PENTOSA
Piruvat Format Asetil Ko-A CO2 + H2O
LINTASAN AKRILAT
LINTASAN SUKSINAT Metan
Asetat
Butirat
Propionat
Gambar 3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia (France and Siddons 1993)
22 Asam lemak terbang rumen terdiri dari asam asetat (CH3COOH), asam propionat (CH3CH2COOH), asam butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat (CH3(CH2)3COOH) dan asam-asam lemak rantai cabang (asam iso-butirat, asam 2-metilbutiat dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang berasal dari katabolisme protein. Gas produk fermentasi meliputi gas CO2, CH4 dan H2 akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Sutardi 1979). Ternak kambing memproduksi gas CO2 sekitar 90 liter dan gas CH4 sekitar 30 liter per hari (Czerkawski 1986).
Ternak Kambing Kacang Kambing kacang adalah kambing lokal yang banyak terdapat di Indonesia, termasuk tipe daging dengan bobot badan dewasa jantan sekitar 25 kg dan betina 20 kg. Kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan dan pakan sangat baik, serta lebih efisien dalam menggunakan pakan menjadikan ternak ini sangat digemari untuk diternakkan (Devendra dan Burns 1994). Selain merumput, kambing juga memakan berbagai jenis hijauan sehingga membedakannya dengan sapi maupun domba. Kambing juga mampu merumput di padang dengan rumput yang terlalu pendek bagi ternak sapi dan di tempat-tempat yang kurang tersedia pakan atau hijauan berkualitas baik bahkan mengkonsumsi serat kasar yang tidak dapat dicerna oleh domba (Devendra dan Burns 1994). Konsumsi bahan kering ternak kambing relatif lebih banyak untuk ukuran tubuhnya yakni 5 – 7% dari bobot badan, juga lebih efisien dalam mencerna pakan yang mengandung serat kasar dibanding sapi dan domba (Luginbuhl dan Poore 2005). Konsumsi bahan kering kambing pedaging daerah tropis beragam antara 1.8 – 3.8% bobot badan, atau setara dengan konsumsi bahan kering 40.5 – 127.3 g/kg bobot badan0.75. Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh pemberian hijauan saja atau bersama dengan konsentrat, oleh karena penambahan konsentrat protein tinggi pada hijauan rendah protein berpengaruh terhadap konsumsi. Konsumsi bahan kering kambing kacang yang hanya diberi hijauan berkisar antara 1.4 – 1.7% bobot badan atau setara dengan 43.5 – 46.9g/kg bobot badan , sedangkan bila ditambah konsentrat maka konsumsi dapat mencapai 2.5% bobot badan atau 63.4 g/kg bobot badan0.75 (Devendra dan Burns 1994).
23 Menurut NRC (1981), konsumsi bahan kering ternak kambing berkisar antara 2 – 3%, sedangkan menurut Peterson (2005) adalah 3.5 – 5.0% namun pada umumnya antara
3.0 – 3.8% bobot badan.