TINJAUAN PUSTAKA
1. Botani Tanaman Pisang Pisang termasuk tanaman yang mudah beradaptasi dengan lingkungan yang beragam. Di Indonesia tanaman ini dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 2000 m dari permukaan laut (Munajim 1988 dan Rukmana 1999), namun untuk turnbuh dengan baik diperlukan lingkungan turnbuh yang sesuai. Pisang tumbuh baik di daerah tropis yang beriklim basah dengan curah hujan 14002500 rnrn per tahun yang merata sepanjang tahun. Tanah liat yang mengandung kapur dan tanah aluvial dengan pH antara 4.5 - 7.5, serta suhu sekitar 27 OC sangat baik dan merupakan kondisi optimum untuk tanaman pisang (Subakti dan Supriyanto 1996). Sejak mulai ditanam sampai berbuah dan dipetik, tanaman pisang memerlukan waktu kira-kira satu tahun. Setelah pohon induk berbuah dan dipetik, anak pohon pisang mulai berbunga. Tiga atau empat bulan kemudian pemetikan buah pisang yang kedua dapat dilakukan. Rata-rata setiap pohon dapat menghasilkan 5-10 kg buah, dimana dalarn satu pohon hanya dapat menghasilkan satu tandan (Rukmana 1999). Pemanenan dilakukan berkisar antara umur 90- 160 hari setelah berbunga, namun sering tergantung oleh banyak faktor diantaranya adalah waktu, jarak, dan tujuan pengiriman. Untuk tujuan ekspor, pisang biasanya dipanen urnur 80-90 hari setelah berbunga atau bentuk buahnya tiga perempat tua dan masih terlihat jelas sikusikunya. Pisang yang dipanen pada tingkat tersebut mutunya sangat rendah. Oleh
sebab itu saat ini untuk skala ekspor produsen dituntut untuk memanen pisang dengan
umur panen optimum yaitu berkisar 100-115 hari setelah bunga mekar, dengan memodifikasi ruang simpan dan teknik pemeraman sehingga pematangan dapat ditunda darn matang pada saat yang diinginkan. Tanaman pisang diklasifikasikan ke &lam famili Musuceae, srdo Scitaminue. Famili Musaceae mempunyai dua genera, yaitu Musa dan Ensete. Semua kultivar yang dapat dimakan dikelompokkan ke dalam genus Musa,
sedangkan yang
dimainfaatkan sebagai bahan penghasil serat, tepung, dan sebagai saywan yang dimasak dikelompokkan ke d a l m Ensete (Palmer 1971). Menurut Samson (1992) pisang dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelas besar berdasarkan golongan yang dapat dimakan yaitu: (1) pisang yang dapat dimakan langsung (banana) terdiri dari dua jenis yaitu Musa paradtstaca var. sapientum (L) kuntze (Ad sapientum var. purudisiuca Baker) clan h h u nana Lour (Adchinensis sweet, M. cavendish Lamb), dan ( 2 ) yang urnumnya dimakan setelah dimasak terlebih
dahulu atau disebut pisang kue (plantain),yaitu Musa paradisiaca var. normalis. Samson (1992) dan Edison et (11. (1996) mengatakan bahwa pisang yang enak dimakan yang ada sekarang ini adalah hasil turunan h i d m spesies liar, hlusa acumrnata yang mempunyai genom A dengan Musa balbisiana yang mempunyai
genom B. Persilangan alami satu dengan laimya menghasilkan beragarn jenis, yaitu AAB, ABB, AAAB, AABB, dan ABBB.
Berdasarkan susmm genom tersebut
pisang dibagi dalam 7 kelompsk ,yaitu diploid AA, triplsid AAA, tetraplsid AAAA, diploid AB, triploid AAB, ABB, dan tetraploid ABBB/AAAB/AABB.
Pisang Ambon (Gros Michel) terrnasuk pisang meja (desert banana) digolongkan ke dalam genom triploid AAA yang merupakan persilangan dari M. acum~natadengan Macuminata. Tinggi pohon 2.5 m - 3.0 m dengan lingkar batang
0.4m - 0.6 m, berwarna hijau dengan bercak kehitaman. Panjang daun mencapai 2.1 m
-
3 m, lebar 40 cm- 60 cm, berwarna hijau. Panjang tandan buah 40-50 cm,
merunduk dan berbulu halus. Jantung berbentuk bulat telur, ujung kelopak jantung lancip, kelopak berwarna ungu sebelah luar dan merah jambu sebelah dalam. Sisir buah berjumlah 7-10 sisir dan tiap sisir berjumlah 10-16 buah. Buah berbentuk silinder, sedikit melengkung, panjang dan tidak berbiji. Kulit buah agak tebel(2.4-3.0 mm) dan warna daging buah putih atau putih kekuning-kuningan, rasanya manis dan beraroma. Berbunga pada urnur 11- 12 bulan, dan buah masak 4-5 bulan setelah berbunga (Rukmana 1999).
2. Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Buah Pisang Komponen utama penyusun buah pisang adalah air yang mencapai 75% pada buah yang telah matang. Karbohidrat merupakan komponen penyusun kedua setelah air, kandungannya sekitar 20-25% ( Simmonds 1966). Gula penyusun pada setiap tingkat pematangan secara garis besarnya terdapat dalarn rasio glukosa: fruktosa : sukrosa adalah 20: 15: 65. Satu-satunya jenis gula lain yang ditemukan dalam jurnlah sedikit adalah maltosa dalam kultivar Gros Michel dan trisakarida, fizlktosil sukrosa dalam kultivar Cavendish (Forsyth 1980). Jenis karbohidrat lain dalarn buah pisang adalah serat kasar dan pektin. Serat kasar terdiri dari 60% lignin, 25% selulosa dan 15% hemiselulosa. Daging buah
pisang mengmdung 0.5 % lignin, 0.21 % selulosa d m 0.12% hemiselulosa, pektin 0.5-0.7% (Loescke 1950). Senyawa lain yang terdapat dalarn pisang adalah tanin yang menyebabkan rasa sepat pada buah pisang mentah (Loescke 1950). Selama proses pematangan buah pisang, kandungan tanin mulai menurun pada saat timbulnya warm kulit pisang dari hijau menjadi kuning selama pematangan. Menurunnya kandungan tanin ini dapat diketahui dari berkurangnya rasa sepat pada pisang mentah (Simmond 1966). Pisang matang kaya akan vitamin dan mineral antara lain vitamin beta- karotin, vitamin B2, viramin B6, niasin
clan vitamin C. Sedangkan mineral utama yang
terdapat dalam pisang adalah fosfor, kalium, dan besi. Komposisi berbagai jenis pisang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi beberapa jenis buah pisang (tiap 100 g daging buah segar)
I
I
Kandungan gizi Kalori
(kal)
Vit. B1 Vit. C Air
(mg) (mg.) , "I
I
1
Ambon 99
Raja 120
0.08 3 72
0.06 10 65.8
1
(g) Surnber: Direktorat Gizi Depkes R.I(l992)
Jenis P i s a ~ g Raja Sere Uli 118 146
Mas 127
0.05 3 59.1
0.09 2 64.2
0 4 1 67
1
1
Disamping itu pisang matang juga mengandung komponen volatil yang sebagian besar terdiri dari campuran kompleks ester, alkohol, aldehid, keton, dan
senyawa arsrnatik (Nursen 1970 dulum Forsyth 1980). McCarihy et ul(1963) clukczm Forsyth (1980) menyatakan bahwa flavor seperti pisang ditentukan oleh ester amil dari asam asetat, propionat dan butirat.
Sebelumnya ioesecke (1950) juga
rnerzjelasks~f-lbahwa u t u k pembent-&an aroma pisang mel2oatkm1 lebih ciari 350 macam senyawa volatil. 3. Perubahan Fisik dan Kimia Selama Proses Pematangan
Menurut Prabha dan Bhagyalakshmi (19981, selama proses pematangan daging buah dan kulit menjadi lunak karena terjadinya peiubahan komposisi dinding sel, dimana dinding sel menipis, ruang mtar sel aembesar. Total. kandmgm gula larut meningkat dari 1.8 menjadi 19% seiring dengan menurunya kandungan pati selama pematangan. Protopektin yang banyak terdapat dalarn buah yang masiin mer~tah,diubah meiljabi pektin yang larut selaf~~a proses pematangan bmh sehir~gga menyebabkan perubahan tekstur pa& buah (Winarno dan Aman 1981, Prabha dan Bhagyaiakshi 1998). Forsyth ( 1980) menambahkan bahwa, selama proses pematangan buah pisang, fraksi pektin larut air meningkat sedangkan pektin yang tidak larut (protopektin) menurun. Etilen rnerupakan senyawa hidrokarbon tick& jenuh yang pacia suhu k m a r berbentuk gas, dihasilkan buah dan sayuran selama proses pematangan dan dapat mempercepat
proses
praklimakterik
&PI
pematangan. Fembentuiran
menirlgkat koauernirauiiya
etiien terjadi
pada
saat
pa& saat pui~eak Mimaktefrik
(Winamo dim Aman 1981). Menurut Burg &n Burg (1969) dakum Kader (1985), menyatakan bahwa jurnlah COz yang tingg merupakan penghambat yang kompetitif dari kerja etilen sebab gas ini menunda kematangan buah dengan menggantikan etilen 9
dari tempat reseptomya. Oksigen justru dibutuhkan untuk mengaktifkan kerja etilen sehingga jika konsentrasi
0 2
diturunkan menjadi 2-5% maka produksi etilen dapat
berkurang menjadi setengahnya. Selama proses pematangan buah pisang, berat dagng buah akan meningkat sebanding dengan meningkatnya kadar air, tetapi berat kulit buah akan menurun sehingga nisbah daging - buah dan kulit- buah akan meningkat. Menurut Satuhu (1990), selama proses pematangan terjadi perubahan warna kulit buah pisang mulai dari hijau ketika masih mentah hingga menjadi kuning pada matang penuh dan akhirnya busuk. Deskripsi tingkat kematangan tersebut dapat digolongkan sesuai indeks kematangan sebagai berikut (Tabel 2). Tabel 2. Indeks kematangan buah pisang
I
Indeks Kematangan I I1 111
1
Keterangan
1
Hiiau masih mentah Hijau dengan sedikit bercak kuning,tekstur keras Hljau lebih banyak dari pada kuning, tekstur agak keras
I
Sumber: Satuhu (1990)
Selain knteria Satuhu (1990), Catalytic Generators (2002) juga memberikan kriteria indek kematangan buah berdasarkan warna kulit buah (Gambar 1).
Index Warna
1
Bjau
2 Hijau sedikit kuning
3 Lebih banyak hijau dari kuning
4 Lebih banyak kuning dari hijau
5 Hijau pada ujung buah
6 7 Kuning Kuning dengan bercak coklat
Gambar 1. Indek Kematangan buah pisang menurut Catalytic Generators (2002)
4. Laju Respirasi Buah Pisang Sebagai bahan hidup, buah pisang masih tetap melakukan kegiatan metaboliknya walaupun telah dipisahkan dari tumbuhan induknya sesudah panen. Diantara proses metabolisme yang terjadi, respirasi (pernapasan) merupakan kegiatan metabolik yang amat penting. Secara sederhana, proses respirasi dapat dlje1aska.n sebagai proses oksidasi dari glukosa dengan menggunakan oksigen (02) dari udara
-
serta melepaskan karbondioksida (C02), air (H20) dan sejumlah energi, seperti digambarkan pada persamaan berikut : C6HI2o6+ 6 0 2
6C02+ 6H20 + 673 kcal
Untuk mengukur laju respirasi dapat dilakukan dengan mengukur perubahan kandungan gula, jumlah ATP, jumlah
0 2
yang diserap dan jumlah CO2 yang
dihasilkan (Winarno dan Aman 1981). Dari ke-empat cara tersebut, pengukuran
dengan menglutung laju konsumsi
0 2
dan produksi C02 adalah cara yang lebih
sederhana dan praktis (Pantastico 1993). Untuk tujuan pengukuran laju respirasi tersebut diperlukan sampel gas sebagai hasil clan kegiatan respirasi. Sampel gas dapat diperoleh dari gas dalam jaringan (internal) atau dari gas yang ditimbulkan oleh jaringan (eksternal). Pengukuran laju respirasi dengan mengambil sarnpel gas secara internal telah dilakukan oleh Salveit (1982) dalam Hasbullah (1996). Diban&ngkan dengan cara internal, pengambilan sampel gas secara eksternal lebih sederhana dan tidak merusak bahan. Terdapat dua metode
dalam pengambilan sampel gas secara
eksternal, yaitu metode statis (sistem tertutup) dan metode dinamis (sistem terbuka). Dalam metode sistem tertutup bahan ditempatkan dalam suatu wadah tertutup dimana gas CO;?yang dihasilkan terakumulasi dan gas Oz yang dikonsumsi menjadi berkurang konsentrasinya. Laju respirasi dihitung dengan mengetahui berat bahan, volume bebas wadah dan perbedaan konsentrasi setelah waktu tertentu. Mannapperuma dan Singh (1987) dalam Hasbullah (1996) membuat persarnaan respirasi metode sistem tertutup pada suhu tertentu dengan satuan ml/kg/jam seperti pada persamaan (la) dan (lb). Sedangkan Haggar et al. (1992) membuat persamaan laju respirasi seperti pada persamaan (2a) dan (2b). R1= --Vdxl Wdt R2=-
Vdx2 Wdt
Rl=-- dxl MlPV dt lOOrWT
dimana : Laju respirasi (mllkgjam) Konsentrasi gas (%) Waktu ('jam) Berat molekul (kglmol) Tekanan dalam respiration chamber (Pa) Volume bebas respiration chamber (ml) Konstanta gas (8.314 Jlmol-IS) Berat bahan (kg) Suhu (K) Subsht 1 dan 2 masing-masing menyatakan gas 0 2 dan C 0 2 . Laju respirasi hpengaruhi oleh umur panen, suhu penyimpanan, komposisi udara, serta adanya luka dan komposisi kimia bahan. Hal yang menyebabkan laju respirasi lebih cepat adalah suhu penyimpanan yang tinggi, umur panen yang muda, ukuran buah yang lebih besar, adanya luka pada buah, dan kandungan gula yang tinggi pada awal produk. Setiap peningkatan suhu 10 OC maka laju respirasi akan meningkat 2 kali lipat, tetapi diatas suhu 35°C laju respirasi menurun akibat aktifitas enzim terganggu sehingga mengakibatkan difusi oksigen terhambat (Winarno dan Aman 1981). Rhodes (1970) mengemukakan bahwa pola respirasi buah dan sayuran dibedakan atas dua kelompok, yaitu klimakterik dan non klimakterik. Buah pisang terrnasuk kelompok klimakterik yang dicirikan dengan laju produksi C02 dan
konsumsi
0 2
rendah pada awalnya (praklimakterik), diikuti dengan kenaikan yang
mendadak (peningkatan klimakterik), tahap maksimurn (puncak klimakterik), dan tahap penurunan (postklimakterik).
Penelitian Dominguez dan Vendrell (1993)
pada pisang Dwarf Cavendish menunjukkan adanya peningkatan laju respirasi dan laju produksi etilen pada proses pemasakan buah. Dalam waktu 48 jam, produksi CO2 meningkat dengan tajam dari 30 pg C02 /g bobot segarljam pada saat pra
-
klimakterik hingga mencapai 120 pg C02 /g bobot segarljam pada saat puncak klimakterik, kemudian turun hingga menjadi 90pg C02 /g bobot segarljam pada saat lewat klimakterik. Laju respirasi pada saat puncak klimakterik ternyata empat kali lebih besar dibandingkan dengan pada saat pra klimakterik. Peningkatan produksi etilen buah pisang terjadi sebelum atau bersamaan dengan saat terjadinya repirasi klimakterik. Namun demikian menurut Dominguez dan Vendrell (1993), puncak produksi etilen tercapai 24 jam sebelurn terjadinya respirasi klimakterik. Menurut Palmer (1971), bahwa buah pisang yang dipanen dan disimpan pada suhu 2 0 ' ~menunjukkan laju respirasi sebesar 20 mg C 0 2 kg/jam, kemudian setelah 2-4 hari dicapai puncak klimakterik dengan laju respirasi sebesar 125 mg C02kg/jam. Pantastico (1993) menyatakan bahwa, peningkatan konsentrasi CO2 bersamaan dengan terbentuknya gas etilen (C2&).
Peningkatan laju respirasi dan
produksi etilen pada masa klimakterik ini menunjukkan permulaan pemasakan. Oleh sebab itu untuk mentukan masa simpan buah pisang perlu memperhatikan periode praklimakteriknya. Kader (2002) mengatakan laju respirasi buah pisang lpengaruhi oleh suhu penyimpanan. Penyimpanan pada suhu 13" C laju respirasinya 10-30 ml
COz/kg/jam, pada suhu 15 "C laju respirasinya 12-40 ml C02/kg/jam, sedangkan pada suhu 18°C laju respirasinya 15-60 ml C02/kg/jam. Peningkatan suhu sampai 20°C meningkatkan laju respirasi menjadi 20-70 ml C02/kg/jam. Selama proses respirasi, beberapa perubahan fisik, kemik dan biologik terjadi misalnya proses pematangan, pembentukan aroma dan kemanisan, berkurangnya keasaman, melunaknya buah-buahan akibat degradasi pektin pada kulit buah, serta berkurangnya bobot karena kehilangan air. Bila proses respirasi berlanjut terus, buah-buahan akan mengalami pelayuan dan akhirnya terjadi pembusukan yang ditandai oleh hilangnya nilai gizi dan faktor mutu buah-buahan tersebut (Winarno dan Aman 1981). 5. Penyimpanan
Usaha memperpanjang urnur simpan buah-buahan segar pada prinsipnya adalah menekan serendah mungkin kegiatan respirasi setelah panen, karena meniadakan sama sekali respirasi ini adalah tidak mungkin.
Banyak metode yang dapat
diterapkan untuk menurunkan respirasi tersebut dan yang umurn digunakan adalah penyimpanan dingin karena sederhana dan efektif. Metode ini bekerja pada prinsip menurunkan laju reaksi oksida selama respirasi. Namun demikian penyimpanan dingm harus dilakukan pada suhu yang tepat karena adanya kemungknan kerusakan komoditi selama penyimpanan akibat suhu rendah (chilling injury), karena tiap jenis buah-buahan memiliki batas ketahanan tertentu pada suhu dingin. Hal ini perlu diperhatikan, khususnya terhadap buah-buahan tropika yang sensitif terhadap suhu rendah (Kays, 1991)
Laju respirsi sangat tergantung pada kondisi lingkungan tempat buah-buahan tersebut disimpan, dimana suhu adalah salah satu faktor yang sangat penting. Untuk beberapa produk hasil pertanian, dengan kenaikan suhu penyimpanan sebesar 10°C akan mengakibatkan naiknya laju respirasi sebesar 2 sampai 2.5 kalinya (Kays 1991). Pengontrolan suhu dalam rangka pengendalian laju respirasi dari produk sangat penting artinya sehubungan dengan usaha memperpanjang umur simpan dari suatu komoditas yang disimpan. Eliyasmi (1993) melaporkan hasil penelitiannya bahwa penyimpanan pisang Raja Serai dengan teknik MAS dengan komposisi gas CO 2-5% 0 2 2-4% pada suhu 14-15 OC dan RH 85-95% + KrnnO,
dapat memeperpanjang umur simpan
sampai dengan 26 hari, sementara pada suhu kamar umur simpan pisang hanya bertahan 4 hari. Suhu rendah dibawah 14' C menyebabkan chilling injury. Palmer (1971) menyatakan bahwa penyimpanan pisang hijau pada suhu antara -1 OC - ' 7 ' ~ menyebabkan buah pisang luka setelah 12 jam. Beberapa pisang dapat tahan pada suhu 10-11°c selama 2 minggu, tetapi yang lainnya memperlihatkan kerusakan pada beberapa jam saja.
Penylmpanan pada suhu 7' C selama 2 minggu, akan
menyebabkan kemunduran mutu daging buah, timbulnya bercak hitam dan twunnya penerimaan konsumen (Winarno 1993). Chilling injury disebabkan oleh suhu rendah di bawah suhu optimum pada
penylmpanan yang dicirikan oleh bintik-bintik hitam atau cokelat pada kulit buah, pembentukan warna kulit yang tidak sempurna dan pemasakan yang tidak normal. Pisang Raja Serai disimpan pada suhu 5 ' ~selama 5 hari kemudian diperam pada suhu 2 0 ' ~mengalami chilling injury (Kosiyashindo 1990).
Kader (1988) menyatakan bahwa pisang yang disimpan pada suhu 12-15% OC, dengan konsentrasi 0 2 dan CO;! sebesar 2-5%, memberikan hasil yang memuaskan. Wardlaw (1940) dalam Pantastico (1993) menyatakan bahwa konsentrasi
0 2
dan
CO2 sebesar 5% pada suhu 11.6 "C, memberikan hasil yang baik untuk buah pisang Gross Michael yang disimpan selama 20 hari. Efendi (1993) berhasil menyimpan pisang Lampung hingga mencapai 69.4 hari pada suhu penyimpanan 15°C. Mianto (2001) melaporkan hasil penelitiannya bahwa penyimpanan pisang dibawah suhu 10 O
C
sampai hari ke-8 menyebabkan buah pisang belum menjadi matang dan
penarnpilannya menjadi rusak dengan adanya tanda-tanda chilling injury. 6. Pematangan Buatan
Pematangan buatan (artificial ripening) dapat diartikan sebagai suatu usaha rnengatur proses pematangan sehingga tidak hanya mengandalkan proses pematangan alami.
Pematangan buatan dilakukan secara komersial untuk dapat memenuhi
permintaan pasar terhadap buah yang masak optimum pada saat yang terjadwal, bisa diartikan mempercepat atau memperlambat proses pematangan tersebut. Untuk mempercepat proses pematangan, yang dalam ha1 ini adalah mempercepat proses respirasi, dapat dilakukan dengan jalan menaikan suhu ruang penyimpanan pada suatu tingkat tertentu tanpa menimbulkan kerusakan buah-buahan tersebut. Proses menaikan suhu untuk pematangan ini biasanya dikenal dengan tahap pematangan (ripening) pada penanganan pasca panen buah-buahan, dimana tingkat suhu pernatangan inipun sangat khas untuk tiap jenis buah (Tucker 1993). Pematangan buah pear varietas La France Sutrisno (1994) menyarankan melakukan pengkondisian dengan menaikan suhu penyimpanan dari 1°C menjadi 5°C 17
selama 5 hari sebelurn dilakukan pematangan dengan dosis etilen sebesar 200 ppm dengan suhu pemeraman bertahap 15"C, 13°C dan 10°C masing-masing selama 2 hari. Catalytic Generators (2002), memberikan jadwal pentahapan suhu pemeraman
4 - 8 hari. Namun pada jadwal tersebut tidak dijelaskan keunggulan mutu buah hasil pemeraman dengan pentahapan suhu clan indek kematangan yang dicapai pada setiap tingkat penjadwalan (Tabel 3).
Tabel 3. Suhu Pemeraman Pisang Menurut Catalytic Generators (2002) Jadwal pemeraman (hari)
suhu ("C)
Keterangan: Etilen untuk pemeraman 100-150 ppm Setelah 24 jam ventilasi ruangan pemeraman dibuka selama 15-20 menit Suhu transportasi buah 58 O F Amano et al. (1993) melakukan penelitian pemeraman pisang, dlmana suhu pemeraman yang diperoleh adalah 18°C dengan dosis pemberian etilen sebesar 200 ppm untuk jenis pisang Cavendish. Sedangkan Aini (1994) melaporkan hasil penelitiannya bahwa, pemeraman pisang Ambon Putih pada suhu 1 5 ' ~dengan konsentrasi etilen 300 ppm, memperlihatkan penampilan terbaik dibandingkan dengan konsentrasi etilen 50 dan 200 ppm.
Proses pematangan pisang yang dilakukan pada kisaran suhu 13.9-32.2
CO
berpengaruh terhadap mutu, tingkat pembentukan kulit luar, kesegaran, kekerasan daging buah dan kehilangan berat (Sabari 1989 ).
Menurut Satuhu (1990) suhu
pemeraman yang terlalu tinggi dapat menghasilkan warna kulit pisang yang kusam, cepat rusak clan flavor yang kurang baik. Berdasarkan hasil penelititan Dasuki (1989) buah pisang yang diperam pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar selama 4 hari akan mengalami kelainan fisiologis pada hari keempat setelah disimpan. Suhu pemeraman yang terlalu rendah dapat menyebabkan daging buah rusak poda saat matang, disarnping pengaruh rangsangan etilen terhadap respirasi menjadi berkurang. Keadaan suhu yang menurun menyebabkan berkurangnya tingkat respon etilen yang sebanding dengan penununan tingkat respirasi. Gas etilen (C2&) adalah salah satu jenis bahan yang banyak digunakan sebagai pemicu (trigger) proses pematangan, dimana jumlah dan waktu yang tepat dalam pemberiannya juga sangat khas untuk tiap jenis buah-buahan
Metode pematangan
dengan pemberian etilen ini secara tradisional telah banyak dilakukan oleh petani atau pedagang buah-buahan, yang dikenal dengan istilah "pengkarbitan"
atau
"pengemposan" karena menggunakan bahan karbid sebagai penghasil gas etilen. Efek fisiologik dan biokemik dari etilen terhadap produk terpanen antara lain adalah
menaikan
laju
respirasi;
menaikan
aktivitas
enzim
misalnya
polygalakturonase, perixidase, lipoxidase, alpha amilase, polyphenol oxidase dan phenylalanin ammonialyase (PAL) dan proses-proses fisiologik lainnya.
Baik
kelompok buah klimakterik maupun non-klimakterik akan memberikan respon terhadap pemberian etilen, walaupun efeknya berbeda (Kader 1985).
Tucker (1993) menjelaskan, bahwa pada buah-buahan non-klimakterik efek pemberian gas etilen adalah menaikkan laju respirasi yang mengakibatkan naiknya laju pematangan buah-buahan tersebut. Efek ini sangat erat kaitannya dengan jumlah/konsentrasi gas yang diberikan, dan tidak berpengaruh terhadap waktu terjadinya puncak klimakterik tersebut. Sedangkan pada buah-buahan klimakterik, pengaruh pemberian etilen adalah mempercepat tercapainya puncak klimakterik, tanpa berpengaruh terhadap tingginya laju resepirasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini:
Klimakterik
Waktu
Non- klimakterik
Waktu
Gambar 2. Pengaruh etilen terhadap pola respirasi buah klimakterik dan nonklimakterik (Tucker 1993).
7. Model Matematika Respirasi Buah dan Sayuran
Model matematika secara luas dapat didefinisikan sebagai forrnulasi atau persamaan yang mengungkapkan segi utama suatu sistem atau proses fisika dalam istilah matematika (Chapra 1991). Pendekatan matematis umumnya dilakukan melalui dua tahapan pokok yaitu : 1) Penyusunan persamaan matematis yang dapat mendekati peristiwa yang ditinjau (pemodelan) dan 2) Penyelesaian persamaan-persamaan matematis yang telah disusun. Tahapan pertama memerlukan penguasaan konsep-konsep dasar peristiwa yang ditinjau, pemahaman konsep matematika, kemampuan imajinasi dan kemampuan menyederhanakan (asumsi). Tahapan kedua dapat dilakukan secara analitis atau secara numerik dengan operasi aritmatika. Cara analitis memerlukan kemampuan yang tinggi dalam manipulasi matematis dan terbatas hanya untuk model matematika sederhana.
Sebaliknya cara numeris hanya memberikan jawaban
pendekatan (aproksimasi), namun tidak memerlukan kemampuan matematika yang tinggi melainkan memerlukan jumlah hitungan yang lebih banyak dengan bantuan komputer (Chapra 1991). Beberapa peneliti telah merumuskan model matematika untuk pendugaan konsentrasi 02, C02 dan laju respirasi pada penyimpanan buah segar. Gane (1936) dulum Simmonds (1966) merumuskan laju respirasi (mg CO2/kg/jarn)pra klimakterik
buah pisang setelah periode penyimpanan &ngin pada skala suhu 0-20 "C dapat dihubungkan secara eksponensial terhadap suhu ("C ) yaitu log R = 0.843+ 0.0348T7 dengan Qlo = 2.23. Selanjutnya Lee et al. (1992) merumuskan model respirasi buah
segar pada ruang penyimpanan tertutup dengan memakai prinsip kinetika enzim. Cameron et al. (1994) dengan model pendugaan respirasi dan tekanan parsial
0 2
kemasan sebagai fimgsi terhadap suhu. Model tersebut menggunakan persamaan Michaelis-Menten untuk mendeskripsikan hubungan laju konsumsi
02
terhadap
konsentrasi 0 2 dan teori Arrhenius sebagai penghubung terhadap suhu. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh hasil pendugaan bahwa kemasan MA dengan jenis film yang memiliki energi aktivasi terhadap perrneabilitas 0 2 yang sangat tinggr (misalnya > 70 Wmol) akan mengalami respirasi anaerob pada selang suhu 0-25°C. Namun
belum banyak yang merumuskan model respirasi pada pematangan buah. Model matematika yang dikembangkan untuk pendugaan konsumsi O2 dan produksi C02 umumnya dalam kemasan modified atmosfir, sebagian besar disusun berdasarkan proses difusi dengan pendekatan hikum Fick tentang pindah massa akibat gradien konsentrasi massa dari konsentrasi tinggi ke rendah (Cameron et al. 1995). Hal tersebut disebabkan oleh karena proses respirasi buah segar dalam kemasan modified atmosfir sangat dipengaruhi oleh difusi udara dari dan keluar kemasan. Namun kondisi tersebut sulit diterapkan pada kondisi pematangan buatan dengan sistem tertutup (closed system), seperti yang banyak dilakukan dalarn praktek pematangan buatan secara komersial. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan modifikasi dan analisa beberapa model yang cocok untuk mewakili sistem pematangan buatan.