TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baikyang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/ atau kondisi lingkungan lainnya yang
menyebabkan
rendahnya
tingkat
perkembangan
biota
pengurai.
Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986). Akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang mati dan sebagian mengalami perombakan, mengandung minimal 12 – 18% C organik dengan ketebalan minimal 50 cm. Secara taksonomi tanah disebut juga sebagai tanah gambut, Histosol atau Organosol bila memiliki ketebalan lapisan gambut > 40 cm, bila bulk density > 0,1 g/cm3 (Widjaja, 1986). Lahan gambut menyimpan karbon (C) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman
Universitas Sumatera Utara
pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral (Hairiah dan Subekti, 2007). Menurut Andriesse (1988), fungsi lingkungan lahan gambut antara lain berkaitan dengan masalah daur karbon, iklim global, hidrologi, perlindungan lingkungan, dan penyangga lingkungan. Gas CO2 merupakan salah satu gas utama (sekitar 55%) yang memberikan sumbangan terhadap efek rumah kaca, diantaranya menyebabkan terjadinya peningkatan suhu atmosfer global. Menurut Murdiyarso (1991, dalam Noor, 2001), bumi sudah kelebihan sebesar 1600 juta ton karbon per tahun dan 40 juta ton metan (CH4) per tahun, yang berarti sudah di luar batas daya tampung bumi. Menurut Notohadiprawiro (1997, dalam Noor, 2001),
gambut
mempunyai
peranan
penting
dalam
penyimpanan
atau
pemendaman karbon. Setiap lapisan 1 m gambut diperkirakan memendam sekitar 700 ton karbon tahun-1 hektar-1 (Noor, 2001). Akibat konversi hutan rawa gambut, di pulau Sumatera telah terjadi penyusutan karbon yang cukup besar di lahan gambutnya. Pada tahun 1990 terhitung sebanyak 22.283 juta ton C pada lahan gambut Sumatera dan berkurang menjadi 18.813 juta ton C pada tahun 2002. Dengan kata lain telah terjadi penyusutan cadangan karbon sebesar 3.470 juta ton atau 15,5% dari total cadangan karbon lahan gambut Sumatera dalam kurun waktu 12 tahun (Wahyunto, 2005 dalam Barchia, 2006).
Klasifikasi Gambut Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan
Universitas Sumatera Utara
berat jenis (BD) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survei Staff, 2003). Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi: 1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%. 2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%. 3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.
Ketebalan Gambut Di suatu hamparan, tingkat ketebalan gambutnya tidak sama. Penyebab tidak samanya ketebalan titik satu dengan titik lainnya pada sutu kawasan, dikarenakan variasi spasial yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Pada lahan gambut yang memiliki tingkat variasi spasial yang tinggi, kita harus mengambil banyak titik sampel untuk mengukur ketebalan lahan gambut. Data ketebalan gambut yang diperoleh dengan cara kita harus melakukan pengeboran ke bagian terdalam sampai ditemukannya tanah mineral. Tanah mineral yang ditemukan biasanya berwarna hitam ke abu-abuan (Kabar Hijau, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan bahan mineral dan basa-basa, bahan substratum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatra relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan. Berdasarkan lingkungan pembentukannya, gambut dibedakan atas: 1.
Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya dipengaruhi oleh air hujan
2.
Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen.
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi: 1.
Gambut dangkal (50 – 100 cm),
2.
Gambut sedang (100 – 200 cm),
3.
Gambut dalam (200 – 300 cm), dan
4.
Gambut sangat dalam (> 300 cm)
(Agus dan Made, 2008)
Nilai Bulk Density (Berat Isi) Tanah Gambut Berat isi, BI, adalah masa fase padat tanah (Ms) dibagi dengan volume total tanah (Vt). Volume total tanah adalah jumlah volume dari fase padat dan pori tanah dalam keadaan utuh seperti di lapangan. Penentuan BI untuk tanah gambut pada
prinsipnya
sama
dengan
penentuan
BI
pada
tanah
mineral
(Hairiah et al., 2011), namun penanganannya berbeda karena sifat tanah berbeda. Nilai Ms ditentukan dari berat kering oven dengan suhu 105oC selama 48 jam atau lebih hingga diperoleh berat tanah tetap (tidak terjadi lagi penurunan berat bila
Universitas Sumatera Utara
contoh tanah dikeringkan lebih lama). Seringkali contoh yang dibawa dari lapangan sangat basah dan jika diambil sub-sample (sebagian dari contoh) akan terjadi kesalahan yang cukup besar dalam pengukuran BI. Kesalahan dalam pengukuran BI dapat diantisipasi dengan cara semua contoh yang diambil dengan bor gambut tanpa nilai bulk density (BD) merupakan nilai Berat kering suatu volume tanah gambut dalam keadaan tidak terganggu (utuh) yang dinyatakan dalam satuan g/cc atau kg/m3. Tanah gambut memiliki nilai BD berkisar antara 0,03 - 0,3 g/cm3 dan dalam keadaan ekstrim bisa antara <0,01 dan >0,4 g/cm3 (Agus et al., 2011). Nilai BD menunjukkan kemampuan tanah gambut dalam meyerap air. Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho, et al., 1997; Widjaja, 1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm3 karena adanya pengaruh tanah mineral.
Pemetaan Lahan Gambut Lahan gambut merupakan lahan yang sangat mudah terbakar, selain disebabkan kandungan bahan organik yang sangat besar di lahan gambut disisi lain besarnya kandungan karbon yang terdapat di lahan gambut juga menjadi
Universitas Sumatera Utara
pemicu kebakaran itu sendiri. Page et al., (2002) dalam Onrizal, et al., (2011) menyebutkan kebakaran hutan dan gambut di Kalimantan tahun 1997 menghasilkan emisi sebesar 300 ton C/h. Kerusakan lahan gambut menurut Wetlands Internasional Indonesia Program (2004) mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan lahan gambut adalah: kegiatan konversi hutan, industri perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta perluasan lahan pertanian. Kejadian kebakaran hutan/ lahan meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar terjadi di lahan/ hutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak terlepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kebakaran di lahan gambut berlangsung lambat dan lama serta sukar dikendalikan karena api menjalar di bawah permukaan gambut. Penelitian Wetlands international (2006) dalam Peace (2007), menujukkan dampak yang dasyat atas perusakan lahan gambut terhadap perubahan iklim. Setiap tahun 2000 juta ton CO2 terlepas dari hutan, 600 juta ton diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering (sebuah proses yang akan terus berlangsung sampai seluruh gambut habis) dan 1400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Sebuah studi yang dilakukan Page (2002) menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan kehilangan karbon antara 810 sampai 2470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antara lain bahwa pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO2 di atmosfer (Peace, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Faktor lain yang menyebabkan perubahan lahan gambut adalah pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu ekosistem baru. Pembukaan lahan gambut harus memperhatikan atau memperhitungkan perubahan yang terjadi baik terhadap arah dinamika lahan maupun aras keuntungan berupa layanan jasanya terhadap lingkungan, hasil produksi dan nilai-nilai sosial lainnya (Noor, 2001). Kerusakan ekosistem gambut berdampak besar terhadap lingkungan setempat maupun lingkungan sekelilingnya. Kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut. Deforestasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam (> 30 cm) serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Noor, 2011).
Simpanan Karbon Tanah Gambut Dalam keadaan hutan alami yang tidak terganggu, lahan gambut merupakan penyerap (sink) CO2. Menurut Agus (2008), simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada serasah. Masing-masing simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang selanjutnya mempercepat emisi CO2. Namun apabila hutan gambut terganggu, maka lahan gambut berubah fungsi dari penyerap menjadi sumber emisi gas rumah kaca (Agus dan Subiksa, 2008). Gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan
Universitas Sumatera Utara
(diemisikan) lahan gambut adalah CO2, CH4 (metan), dan N2O. Di antara ketiga gas tersebut CO2 merupakan GRK terpenting karena jumlahnya yang relatif besar, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Jumlah emisi dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut (Widyati, 2011). Tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan Karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Kemampuan tanah gambut yang sangat besar dalam meyerap karbon tersebut diketahui pada setiap satu gram gambut kering menyimpan sekitar 180-600 mg karbon, sedangkan jika dibandingkan dengan setiap satu gram tanah mineral hanya mengandung 5-80 mg kabon (Agus dan Subiksa, 2008). Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon atmosfer, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa (massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2007). Hutan gambut di Indonesia memiliki kemampuan menyimpan karbon di atas permukaan dalam jumlah yang cukup besar, berdasarkan penelitian dari Agus (2007) menyebutkan bahwa cadangan karbon di atas permukaan hutan gambut berkisar antara 200 ton C/ha. Nilai karbon atas permukaan ini diperoleh dari rataan dari semua tipe hutan gambut di Indonesia dengan menggunakan berbagai studi literatur yang ada. Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, serasah dibawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah
Universitas Sumatera Utara
gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut atas permukaan tersimpan pada biomassa dan nekromas. Sedangkan karbon di bawah permukaan (di dalam tanah) tersimpan dalam bentuk gambut, akar tanaman, dan mikrobia. Karbon tersimpan di dalam tanah gambut berkisar 18-60% bobot atau setara dengan 0,03-0,07 tm-3, bandingkan dengan tanah mineral yang berkisar 0.55% bobot atau setara dengan 0,005-0,050 tm-3 (Agus et al., 2009). Karbon pada tanah mineral terkonsentrasi pada 30-100 cm lapisan atas, sedangkan pada tanah gambut hampir merata pada seluruh kedalaman. Page et al., (2002) memperkirakan rata-rata besarnya simpanan karbon di lahan gambut sebesar 600 t C ha-1/ m-1. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral (Tabel 1). Tabel 1.Kandungan karbon pada hutan gambut dan hutan tanah mineral (t ha-1). Komponen
Hutan Gambut
Hutan Primer Tanah mineral
Atas Permukaan Tanah
150-200
200-350
Bawah Permukaan Tanah
300-6000
30-300
Sumber: Balai Penelitian Tanah dan Pengembangan Pertanian Bogor (2004)
Page et al., (2002) menyarankan nilai Cv rata-rata 0,06 t/m3. Namun berdasarkan pengamatan dari ratusan contoh gambut yang berasal dari Sumatera dan Kalimantan (Agus et al., 2011) ternyata nilai Cv tidak bisa diseragamkan. Nilainya sangat berbeda untuk gambut dengan kematangan berbeda. Cv berkisar antara 0,082±0,035 t/m3 untuk gambut dengan kematangan saprik, 0,057±0,026 untuk gambut berkematangan hemik dan 0,046±0,025 t/m3 untuk gambut
Universitas Sumatera Utara
berkematangan fibrik. Dengan demikian nilai yang disarankan Page et al., (2002) mendekati nilai untuk gambut berkematangan hemik (kematangan sedang). Penyeragaman nilai Cv mengakibatkan kesalahan yang besar dalam pendugaan emisi dan cadangan karbon yang diukur berdasarkan subsiden. Tabel 2. Nilai kisaran dan rerata bobot isi (BD) dan kadar Corganik pada tiap jenis/tingkat kematangan gambut di Sumatera Bobot Isi (BD) (gram/cc)
C-Organik (%)
No.
Tingkat Kematangan Gambut
1
Fibrik
Kisaran 0,1012-0,12
Rerata 0,1028
Kisaran -
Rerata 53,31
2
Hemik
0,1325-0,29
0,1716
38,97-51,87
48,00
3
Saprik
0,2492-0,37
0,2794
28,96-53,89
44,95
4
Peat/ mineral bergambut
0,2152-0,6878
0,3402
28,96-39,81
35,12
sangat dangkal
Sumber: Wetlands Indonesia (2004) Kawasan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kawasan gambut yang memiliki kandungan penyimpanan karbon yang besar dibandingkan dengan tanah mineral di kabupaten tersebut. Nilai kandungan karbon bawah permukaan memiliki perbedaan dengan kandungan karbon pada areal lain, gambut di areal ini merupakan gambut dengan tipe gambut topogen. Penelitian yanga dilakukan Nurlaili (2003) pada kawasan gambut di Kecamatan Lintong Ni Huta yang dahulu masuk ke Kabupaten Tapanuli Utara menunjukkan data bahwa areal gambut di daerah ini termasuk kedalam tipe gambut topogen. Jenis gambut ini kandungan airnya berasal dari permukaan tanah, yang diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari unsur-unsur hara yang terbawa oleh air permukaan tanah. nilai persen (%) karbon
Universitas Sumatera Utara
yang diperoleh pada penelitian tersebut berkisar antara 5,50-26,66 dengan ketebalan endapan gambut bervariasi antara 0,5-9,6 meter.
Penginderaan Jarak Jauh Penginderaan jauh merupakan suatau teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Tujuan utama penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya (Lo, 1995). Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra satelit seperti Landsat TM mampu mendeteksi pola penggunaan lahan di muka bumi. Informasi yang diperoleh dari citra satelit tersebut dapat digabungkan dengan data-data lain yang mendukung kedalam suatu system informasi geografis (SIG). Hambatan dalam pemantauan penutupan lahan dapat dikurangi dengan adanya teknologi penginderaan jauh (remote sensing) (Sulistiyono, 2008). Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu cara yang efektif dalam melakukan pemantauan penutupan lahan dari waktu kewaktu. Integrasi data perubahan tutupan vegetasi dengan data hasil pengukuran cadangan karbon pada skala plot dapat memberikan pendugaan perubahan cadangan karbon pada skala lanskap. Secara umum dua metode yang akan dilakukan suatu penelitian adalah: 1.
Pendekatan yang dilakukan dengan membangun relasi kuantitatif antara informasi dari skala piksel pada citra satelit dengan cadangan karbon. Relasi ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan ekstrapolasi spasial.
Universitas Sumatera Utara
2.
Pendekatan yang dilakukan dengan mengklasifikasikan kelas-kelas penutupan lahan menjadi kelas-kelas penggunaan
lahan yang kemudian dikonversi
menjadi kelas cadangan karbon berdasarkan atribut cadangan karbon dari kelas penggunaan lahan tersebut. Potensi karbon hutan dapat juga ditaksir dengan menggunakan instrumeninstrumen penginderaan jauh, walaupun tidak ada satupun citra penginderaan jauh yang dapat mengukur potensi karbon hutan secara langsung (Rosenqvist et al., 2003a, Drake et al., 2003). Metode penginderaan jauh telah lebih berhasil mengukur potensi karbon pada wilayah utara dan hutan beriklim sedang dan pada tegakan muda dengan kepadatan‐kepadatan karbon hutan yang lebih rendah (Rosenqvist et al., 2003b). Beberapa instrumen penginderaan jauh yang digunakan dalam penaksiran karbon dikelompokkan menjadi : 1. Optical remote sensing data. Citra satelit yang termasuk dalam kelompok ini,seperti Landsat, SPOT, AVHRR dan MODIS, dapat digunakan untuk menaksir karbon persediaan hutan tropis walaupun tidak dapat dilakukan secara langsung. Untuk menaksir potensi karbon hutan secara tidak langsung dengan citra satelit tersebut, dilakukan pengembangan hubungan‐hubungan statistik antara pengukuran lapangan dengan data indek vegetasi yang ada pada citra satelit. Tetapi metode ini pada umumnya menghasilkan nilai potensi karbon yang underestimate terutama pada hutan tropis, satelit berbasis optik tidak dapat menembus tajuk hutan yang lebat (Waring et al., 1995). Sehingga diperlukan bantuan pengukuran lapangan dengan jumlah sampling yang cukup.
Universitas Sumatera Utara
2. Very high‐resolution aerial imagery
Detil spasial citra optik dari sensor airbone (resolusi sampai 10 pixel cm)
dapat digunakan secara langsung untuk mengukur tinggi pohon dan diameter tajuk. Hubungan-hubungan alometrik antara pengukuran karbon pohon di lapangan dengan atau tanpa data tinggi pohon dapat diberlakukan bagi perkiraan karbon hutan dengan akurasi yang tinggi pada metode ini. (Rosenqvist et al., 2003b, Shimada et al., 2009). Sebagai perbandingan dalam penggunaan citra satelit dalam pendeteksi keberadaan gambut, Wahyunto (1989), mendeteksi keberadaan lahan rawa gambut dan penyebarannya melalui analisis citra satelit di daerah Jambi untuk keperluan pemetaan tanah tinjau skala 1:250.000. Pengenalan lahan rawa gambut dilakukan melalui pendekatan analisis fisiografi/ landform dengan ditunjang oleh data/ informasi topografi dan geologi. Hal yang sama juga dilakukan di daerah Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan Pulau Kalimantan (Wahyunto et al., 1992, 1995). Indikator yang digunakan dalam mendeteksi keberadaan lahan rawa gambut pada citra satelit antara lain: kondisi drainase permukaan (wetness), pola aliran, relief/ topografi dan tipe penggunaan lahan/ vegetasi penutup. Dari hasil analisis citra satelit ini kemudian dilakukan pengecekan lapangan pada daerah pewakil (key areas). Tingkat penyimpangan hasil analisis dengan kondisi lapangan bervariasi antara 20 sampai 30 %. Dalam analisis citra satelit untuk identifikasi lahan rawa gambut hanya faktor lingkungan yang dipelajari dan diklasifikasikan, dan faktor lingkungan tersebut pada umumnya mempunyai hubungan dengan sifat-sifat tanahnya (Gossen, 1967; Van Zuidam, 1978 dalam Wahyunto et al., 2005). Melalui analisis
Universitas Sumatera Utara
secara visual, digital dan multi temporal, dan hasil pengamatan lapangan akan didapatkan informasi tentang tipe dan penyebaran lahan rawa gambut serta memantau perubahan kondisinya dari waktu ke waktu yang terjadi disuatu kawasan.
Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Georafis atau Georaphic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini merekam, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisis statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisis yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainya yang membuatnya menjadi berguna berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi (Sukojo dan Diah, 2003). Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah cukup lama dikenal sejak awal tahun 1960 di Kanada dan Amerika Serikat, yang saat itu banyak digunakan untuk keperluan Land Information System. Saat ini SIG sudah banyak digunakan untuk keperluan lain seperti pengembangan wilayah, perpetaan, lingkungan dan sebagainya. SIG mulai dimanfaatkan di Indonesia pada awal tahun 1980 terutama dalam pembuatan peta, pengelolaan wilayah, analisis lingkungan dan agraria (Subaryono et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian estimasi biomassa yang telah banyak dilakukan sebelumnya terfokus pada biomassa di atas permukaan (Above-Ground Biomass, AGB) (Lu 2006). Beberapa teknik pendugaan biomassa yang berbeda: Berdasarkan (1) pengukuran lapangan, (2) remote sensing, dan (3) GIS. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974). Pengukuran biomassa pada dasarnya mengacu pada empat teknik pengukuran (Lu 2006): (a) teknik pemetaan pemanenan atau teknik sampling destruktif (b) teknik sampling non-destruktif (c) pengukuran berdasarkan data remote sensing yang dihasilkan oleh sistem airborne/ spaceborne, dan (d) estimasi menggunakan model.
Universitas Sumatera Utara