6
TINJAUAN PUSTAKA Obesitas Obesitas adalah kelebihan bobot badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas sering disamakan dengan overweight, padahal keduanya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan kelebihan bobot badan. Overweight adalah kondisi dimana bobot badan melebihi bobot badan normal. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan lemak melebihi 18–23% (rata-rata 20%) pada pria dan 25–30% (ratarata 25%) pada wanita dari bobot badan (Drewnowski dan Specter 2004; Sylvia 1998). Obesitas dan overweight dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Juvenile obesity, misalnya adalah obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak). Orang yang menderita kegemukan pada usia muda memiliki resiko yang lebih tinggi menderita obesitas pada saat dewasa dibandingkan dengan orang yang memiliki bobot badan normal. Sementara itu, wanita terutama pada pascamonopause memiliki resiko mengalami obesitas tiga kali lebih besar daripada pria (Sylvia 1998). Berdasarkan distribusi lemak di dalam tubuh, ada dua jenis bentuk tubuh. Pertama, bentuk android (bentuk apel) adalah bentuk tubuh akibat timbunan lemak pada pinggang, rongga perut (visceral) dan bagian atas perut. Bentuk tubuh android lazim ditemukan pada pria. Timbunan lemak di bagian perut dapat mengakibatkan obesitas abdominal atau obesitas sentral. Kedua, bentuk gynecoid (bentuk pir), yaitu bentuk tubuh akibat tumpukan lemak di bagian bawah perut seperti pinggul, pantat, dan paha. Bentuk tubuh ini umumnya dialami oleh wanita. Selain itu juga dikenal obesitas hipertropik (hypertrophic obesity) yang diakibatkan oleh meningkatnya kandungan lipid adiposit. Obesitas hipertropik umumnya menimpa orang dewasa (Sylvia 1998; Adam 2006). Obesitas hiperplastik-hipertropik (hyperplastic-hypertrophic obesity) terjadi akibat meningkatnya jumlah sel lemak dan kandungan lipid sel lemak. Obesitas jenis ini umumnya dialami oleh orang yang sejak usia muda sudah gemuk.
7 Obesitas anak-anak (juvenile obesity) adalah hiperplastik (bertambahnya jumlah sel) (Sylvia 1998). Cara yang paling mudah untuk mengetahui obesitas yakni dengan menghitung indeks massa tubuh (body mass index). Indeks massa tubuh (IMT) dihitung dengan cara membagi bobot badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m). Badan kesehatan dunia (WHO, World Health Organization) telah mengeluarkan kategori IMT yang cocok untuk masyarakat Asia (Tabel 1). Tabel 1
Klasifikasi IMT menurut WHO
Kategori Kurus (underweight) Normal (Ideal) Overweight: Pre obes Obes I Obes II
IMT (kg/m2) <18,5 18,5–22,9 ≥23,0 23,0–24,9 25,0–29,9 ≥30,0
Riseko penyakit Rendah Rata-rata Meningkat Sedang Berbahanya
Menurut : World Health Organization’s diacu dalam Racette et al. 2003.
Faktor-faktor Penyebab Obesitas dan Dampaknya pada Kesehatan Beberapa faktor utama penyebab kegemukan yaitu genetik, lingkungan, psikologis, sosial, budaya, makanan dan perilaku (gaya hidup) (Jequier dan Tappy 1999; Racette et al. 2003; Misra dan Khurana 2008). Dua faktor terakhir adalah faktor yang dapat dimodifikasi untuk menurunkan bobot badan. Anak yang memiliki orang tua yang menderita kegemukan atau obesitas akan memiliki kemungkinan untuk menderita kegemukan atau obesitas yang lebih tinggi daripada anak yang orang tuanya tidak obes. Kemungkinan tersebut menjadi lebih besar apabila kedua orang tuanya menderita obesitas (Jequier dan Tappy 1999). Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Yang et al. 2007; Christakis dan Fowler 2007; Zametkin et al. 2004) 1. Faktor genetik. Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor genetik memberikan
8 pengaruh sebesar 6–85% terhadap bobot badan seseorang dan tergantung populasi yang diteliti (Yang et al. 2007). 2. Faktor lingkungan. Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya). Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat mengubah pola makan dan aktivitasnya (Christakis dan Fowler 2007). 3. Faktor psikis. Apa yang ada didalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap emosinya dengan makan. Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif. Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang menderita obesitas, dan bisa menimbulkan kesadaran yang berlebihan tentang kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial (Zametkin et al. 2004). Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, seseorang makan dalam jumlah sangat banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari (Haslam dan James 2005). Akibat faktor genetik akan meningkatkan kerentanan seseorang menderita obesitas ketika dia terpapar pada keadaan lingkungan yang mendorongnya untuk mengalami keseimbangan energi positif. Ada beberapa gen yang diketahui berkaitan dengan obesitas. Gen yang banyak mendapat perhatian para ahli dewasa ini adalah ob (obese) gen, studi pada hewan menunjukkan bahwa ob protein leptin merupakan suatu produk gen yang dapat mengendalikan asupan pangan dan pengeluaran energi. Tanpa leptin, tikus percobaan mengkonsumsi pakan secara
9 tak berlebih (tak terkendali) yang menghasilkan fenotipe yang obes. Mekanisme pengaturan bobot badan tubuh oleh leptin diduga melalui 2 cara, yaitu menurunkan asupan pangan dan meningkatkan pengeluaran energi (Jequier, Tappy 1999). Ahima et al. (1996) menyatakan bahwa leptin merupakan suatu hormon yang disekresikan oleh jaringan adipose, memiliki peran penting pada pengaturan asupan pangan dan termogenesis manusia. Leptin memberi isyarat status gizi dan tingkat simpanan energi ke pusat rangsangan asupan pangan (Feeding center) melalui aksinya pada ekspresi dan pelepasan neuropeptida orexigenic dan anorexigenic. Chen et al. (2002) bahwa leptin menyediakan informasi ke pusat saraf dalam mengatur tingkah laku makan, nafsu makan dan pengeluaran energi. Dan telah dilaporkan bahwa pada manusia, leptin berhubungan erat dengan konsumsi tubuh yakni berat tubuh dan total berat lemak tubuh. Hasil penelitian Chen et al. (2002) bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan sintesis dan sekresi leptin dari adiposit, tingginya resiko diabetes mellitus dan tingginya level hematosit. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan pola tersebut antara manusia dan cynomolgus monkeys (monyet ekor panjang), sehingga monyet ekor panjang merupakan hewan model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia. Hal ini didukung oleh Putra et al. (2006) bahwa gejala obesitas pada monyet, khususnya monyet ekor panjang (MEP) memiliki kemiripan dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yakni dengan adanya penimbunan lemak di sekitar perut. Pola makan memberikan andil yang besar terhadap kegemukan atau obesitas. Pola makan yang tinggi kalori dan lemak menyebabkan keseimbangan energi yang positif (terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak). Hal ini dapat diperberat dengan kurangnya aktivitas fisik (Siagian 2006). Perubahan tingkah laku pada individu yang sedikit melakukan aktivitas cenderung lebih mudah terjadinya obesitas bila dibandingkan dengan individu yang banyak melakukan aktivitas dan cenderung tidak terjadi obesitas (Racette et al. 2003). Diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah memiliki efek jangka panjang yang tidak baik (Siagian 2006). Larosa et al. (1980) menunjukkan bahwa pemberian diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah selama 12 minggu
10 berdampak pada meningkatnya uric acid dan low-density lipoprotein (LDL) cholesterol. Guyton (1996) bahwa bila seseorang mempunyai lebih banyak protein dalam dietnya daripada yang ada dalam jaringannya maka akan langsung digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut akan disimpan dalam bentuk lemak. Hal ini karena terdapatnya batas tertinggi jumlah protein yang dapat tertimbun dalam setiap jenis sel tertentu. Dan bila sel telah mencapai batas tersebut maka setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh dipecahkan dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak. Plantenga et al. (2001) melakukan penelitian pada laki-laki dewasa untuk melihat pengaruh leptin pada nafsu makan dan pengeluaran energi. Kelompok perlakuan menerima leptin injeksi mingguan dan kelompok placebo. Dari hasil yang diperoleh bahwa kelompok yang mendapatkan leptin mengalami nafsu makan atau rasa lapar yang menurun dibandingkan dengan kelompok placebo, disamping itu pula pemberian leptin selama 12 minggu menurunkan bobot badan sebesar rata-rata 4,3 dan 6,4 kg, masing-masing untuk kelompok perlakuan dan placebo. Dan disimpulkan bahwa penanganan obesitas dengan pemberian leptin dapat menurunkan nafsu makan, bukan bobot badan. Mars et al (2005) menemukan bahwa konsentrasi leptin puasa menurun pada pembatasan asupan energi jangka pendek. Karena konsentrasi glukosa rendah akibat dari pembatasan asupan energi, konsentrasi insulin juga menurun selama masa pembatasan asupan energi. Chen et al. (2002) melaporkan bahwa kejadian obesitas sebagai bentuk ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang digunakan, kelebihan energi yang tidak digunakan akan disimpan dalam bentuk lemak. Pada manusia hal ini dapat dilihat dari nilai kimia darah yakni adanya peningkatan kolesterol, trigliserida dan asam lemak bebas. Disisi lain bahwa nilai darah penting untuk dipertimbangkan dalam mengontrol nafsu makan dan metabolisme. Selain menyebabkan masalah emosional dan psikologis, misalnya berkurangnya kepercayaan diri berkaitan dengan penampilan fisik, obesitas juga berdampak pada masalah fisiologis, yaitu meningkatnya resiko menderita berbagai jenis penyakit (Pi-Sunyer 2002). Jia dan Lubetkin (2005), obesitas dapat menyebabkan penyakit kronis. Lebih lanjut Pi-Sunyer (2002), obesitas cenderung
11 menjadi
diabetogenik
(menyebabkan
diabetes),
terutama
apabila
sudah
berlangsung lama. Obesitas meningkatkan resiko menderita penyakit jantung koroner, hiperlipidemia, penyakit hati dan kantung empedu, osteoarthritis, kanker dan penyakit saluran pernafasan. Disamping itu menyebabkan diabetes Tipe 2, hipertensi, strok, gagal jantung, gout, apneu (kegagalan bernafas secara normal ketika sedang tidur menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah) maupun sindrom pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi dan ngantuk) (Haslam dan James 2005). Obesitas yang paling berbahaya adalah obesitas abdominal (timbunan lemak di sekitar rongga perut). Cara sederhana untuk mengetahui adanya obesitas abdominal
adalah
dengan
mengukur
panjang
lingkar
pinggang
(waist
circumference). Untuk masyarakat Asia, obesitas abdominal dianggap beresiko menderita penyakit apabila panjang lingkar pinggangnya ±80 cm pada wanita dan ±90 cm untuk pria (WHO 2000). Aspek Farmakologi dan Efek Nikotin sebagai Obat Struktur Kimia Nikotin Nikotin merupakan hasil metabolisme sekunder yang tergolong dalam alkaloid sejati. Alkaloid sejati dicirikan oleh senyawa nitrogen yang membentuk bagian dari sistem cincin heterosiklik dan disintesis dari prekursor asam amino. Alkaloid semu mengandung cincin heterosiklik nitrogen yang disintesis dari prekursor selain asam amino. Alkaloid tembakau; nikotin, anabasin dan anatabin disintesis dari asam nikotinik. Sintesis cincin pirolidin dari nikotin melibatkan putrescin bebas. Enzim yang berperan dalam sintesis pirolidin adalah ornitin dekarboksilase, putrescine N-methyltransferase dan N-methyl putrescine oksidase (Mann 2001). Struktur kimia nikotin menurut Hukkanen et al.( 2005) disajikan pada Gambar 2.
12
Gambar 2 Struktur kimia nikotin (Hukkanen et al. 2005) Nikotin memiliki nama kimia (S)-3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine, dengan rumus kimia C10H14N2 dan kepadatan 1,01 g/ml serta titik didih 247°C (477°F). Nikotin ditemukan secara alami dalam tembakau (Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan Nicotiana petunioides) dengan kandungan 0.5–8% dari berat kering tembakau yang berasal dari hasil biosintesis di akar dan diakumulasikan di daun. Nikotin merupakan racun syaraf yang potensial dan digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis insektisida (IPCS ICHEM 1991). Ada tiga masalah yang perlu diperhatikan tentang nikotin dari segi farmakologinya yakni absorpsi nikotin, keracunan nikotin dan daya kerja nikotin. Hal ini karena nikotin dapat diserap melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran pencernaan yang bernuansa basa (Gilman el al. 1980). Keracunan dapat terjadi karena pemakaian dosis yang kurang tepat dalam arti terlalu tinggi. Dengan kontrol yang ketat dan berhati-hati dalam pemakaian dosis, efek buruk nikotin dapat diatasi (Jones 1974). Gilman el al. (1980) bahwa pada dosis rendah, nikotin akan merangsang aktivitas urat syaraf dan otot-otot licin, tetapi pada dosis tinggi nikotin memblokir aktivitas organ-organ tersebut. Efek Nikotin sebagai Obat Nikotin sendiri merupakan obat yang manjur dan secara addictive juga dapat membantu meringankan gejala mental seperti parkinson dan Alzheimer dan depresi. Nikotin memiliki efek terapeutik dan dimasa mendatang, nikotin (bukan rokok) akan menjadi resep dokter untuk meringankan berbagai gejala penyakit skizofrenia dan alzeimer. Para ilmuwan dan dokter masih hati-hati untuk membicarakan tentang potensi keunggulan nikotin, karena resiko menggunakan
13 tembakau lebih penting dari keuntungannya. Nikotin dapat membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat “tetapi merokok merupakan cara yang berbahaya untuk memperoleh obat (nikotin)” (JRHF 2004). Sahakian et al. (1989) melakukan penelitian tentang efektivitas nikotin pada penderita alzheimer dan hasil yang diperoleh bahwa nikotin secara signifikan meningkatkan kepekaan dan daya ingat. Disimpulkan bahwa nikotin bertindak pada cortical yang terlibat dalam mekanisme visual untuk persepsi dan perhatian dan juga merupakan acetylcholine transmissionmodulates kewaspadaan dan diskriminasi. Nikotin juga dapat bermanfaat sebagai obat cacing, Karo-Karo (1990) melakukan penelitian efektivitas nikotin sebagai obat cacing pada kambing dan hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis nikotin (310,5 mg dalam 33 ml ekstrak) mengendalikan telur cacing sebesar 78%. Nikotin dapat dijadikan sebagai obat radang usus besar, selain itu nikotin dapat memperkuat syaraf pada hippocampus (struktur otak) yang berperan dalam proses belajar dan daya ingat (JRHF 2004). Pada dosis yang rendah nikotin memiliki efek merangsang, meningkatkan aktivitas, kewaspadaan dan daya ingat. Dosis mematikan pada nikotin yang dilaporkan dapat membunuh 50% populasi adalah 50 mg/kg bobot badan untuk tikus dan 3 mg/kg bobot badan untuk mencit (IPCS ICHEM 1991). Tembakau, juga digunakan untuk membuat obat anti malaria dan ini dapat menjadi bukti sebagai sumber therapies murah disamping itu tanaman tembakau telah diuji di laboratorium sebagai obat yang dapat digunakan untuk penyakit Goucher. Dosis yang tepat, nikotin adalah obat dan dapat memberikan beberapa keuntungan. Nikotin memiliki efek positif pada ulcerative colitis (peradangan pada usus besar), yang merupakan peradangan pada lapisan perut, meningkatkan DHEA yang merupakan hormon seks yang meningkatkan semangat hidup dan membantu menurunkan bobot badan (JRHF 2004). Nikotin juga digunakan sebagai agen theraupetik pasca merokok akibat ketergantungan dalam bentuk nikotin gum, nasal spray, dan nikotin transdermal (Berrettini dan Lerman 2005). Efek nikotin yang diakui oleh organisasi kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Nikotin memenuhi kriteria penyebab kecanduan atau ketergantungan seperti dorongan penggunaan
14 yang kuat meskipun ada hasrat dan upaya berulang-ulang untuk berhenti; pengaruh-pengaruh psikoaktif akibat bekerjanya zat-zat ini pada otak dan perilaku-perilaku yang dimotivasi oleh efek-efek “penguatan” zat psikoaktif (Chaloupka 2000). Nikotin dalam bentuk “nicotine lozenge” menunjukkan hasil yang bermanfaat dalam membantu untuk keluar dari merokok tembakau. Penggunaan 4-mg nicotine lozenge menjanjikan untuk perawatan klinis dan adanya gejala penarikan keinginan yang terkait dengan merokok tembakau pada perokok yang akan berhenti merokok tembakau. Namun penelitian ini belum menyelidiki kemanjuran dari nikotin lozenges yang diperlukan (Ebbert et al. 2007). Hasil yang berbeda dari Rubinstein et al. (2008) bahwa penggunaan nikotin nasal spray akan efektif dijadikan sebagai therapi untuk berhenti merokok bila ada keinginan dari penggunanya untuk berhenti merokok. Arabi (2006) bahwa terapi penggantian nikotin yang aman dan lebih dikontrol dapat beresiko tinggi pada perokok tembakau jika therapi penggantian nikotin gagal dilakukan. Nikotin telah diakui selama bertahun-tahun sebagai pharmacologically bertanggung jawab sebagai efek perangsang merokok. Efek dari nikotin pada aliran darah myocardial belum diketahui. Argaca et al. (2007) menguji pengaruh nikotin yang dapat mengganggu aliran darah myocardial yang merupakan resiko penyakit arteri koroner. Hasil yang diperoleh, nikotin meningkatkan tekanan darah sistolik dari 129±7 menjadi 134±7mmHg dan denyut jantung dari 67±2 menjadi 69±2 bpm. Nikotin cenderung meningkatkan aliran darah myocardial pada bagian arteri. Nikotin yang diberikan pada perokok dengan resiko kardiovaskuler
yang
tinggi
meningkatkan
kerja
myocardial
walaupun
autoregulation aliran darah myocardial dalam keadaan istirahat. Nikotin meningkatkan densitas kapiler di ischemic hind-limb seperti bFGF (Basic Fibroblast Growth Factor). Nikotin juga meningkat nilai angiographic, nilai tekan darah calf, intra-arterial Doppler flow, dan distribusi microsphere. Secara in vitro, nikotin merangsang adhesi dan transmigrasi monocyte. Nikotin meningkatkan molekul ekspresi adhesion monocyte (CD11b dan CD11a), ekspresi molekul adhesion endothelial intercellular adhesion molecule-1 dan endothelial monocyte chemoattractant protein-1 menjadi dua sampai tiga kali lipat. Dan
15 dalam jangka pendek, nikotin promote angiogenesis dan arteriogenesis berperan dalam pengaturan ischemia. Efek dari nikotin ini adalah sebagai media aktivasi interaksi endothelialmonocyte yang terlibat dalam arteriogenesis (Heeschen et al. 2003). Ford dan Zlabek (2005) bahwa terapi nikotin pengganti adalah therapi efektif untuk berhenti merokok. Hasil yang diperoleh bahwa nikotin pengganti tidak meningkatkan aktivitas kardiovaskular. Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh Nikotin masuk ke dalam tubuh dapat melalui tiga cara yakni saluran pernafasan, saluran pencernaan dan melalui kulit. Nikotin memiliki daya larut yang tinggi baik pada kondisi polar dan non polar, dengan berat molekul yang rendah (162,2 g/mol) membuatnya dapat terserap secara efisien. Pada dosis yang tinggi 30-60 mg/kg bobot badan untuk orang dewasa dapat menyebabkan toksit dan dapat memberikan efek kematian (Gosselin et al. 1984 diacu dalam Zorin et al. 1999). Dan dilaporkan bahwa penyerapan pada kulit dengan dosis yang berarti menimbulkan efek memabukan, muntah-muntah, meradang, dan dengan gejala keracunan serius. Keadaan tersebut menyebabkan nikotin perlu penanganan yang hati-hati sebelum digunakan (Zorin et al. 1999). Nikotin masuk ke darah melalui sirkulasi pulmonal, tidak melewati vena porta dan vena sistemik. Waktu yang dibutuhkan antara merokok sampai masuknya nikotin ke otak lebih pendek daripada bila dimasukkan secara intravena yaitu 7–9 detik. Nikotin masuk secara cepat ke otak kemudian turun secara cepat setelah beredar ke seluruh jaringan tubuh. Ekskresi nikotin di ginjal tergantung pada pH aliran urin sebanyak 35–80% berupa metabolit primer kotinin dan nikotin-N-oksid. Kedua zat ini mempunyai efek farmakologis (Yano 2005). Kandungan nikotin pada tembakau tanpa asap (smokless tabacco) akan meningkat jika berada dalam mulut selama 30 menit yakin sekitar 3,6 mg dari 2,5 g pada tembakau sedotan dan 4,6 g nikotin dari 7,9 tembakau sugi (chewing tabbaco). Umumnya tembakau sugi, sedotan dan permen karet nikotin pH-nya dapat diubah menjadi alkali sehingga dapat direabsorbsi melalui membran mukosa mulut dan kadarnya dalam darah akan meningkat selama 30 menit dan akan menetap serta
16 mengalami penurunan setelah 2 jam lebih tergantung pada besar dosisnya (Fenster et al. 1997). Daya serap nikotin melalui kulit dan melalui glove (sarun tangan) nitril dilaporkan oleh Zorin et al. (1999), hasil yang diperoleh bahwa waktu yang diperlukan nikotin untuk masuk ke dalam tubuh melalui kulit bervariasi yakni antara 3-5 menit. Pada konsentrasi yang tinggi 50% nikotin yang dilarutkan dalam air membutuhkan waktu 5 menit dan pada konsentrasi rendah 1% nikotin dalam air (dengan konsentrasi dari 1–100% dalam air) membutuhkan waktu 3 menit dan disarankan bila terkena tumpahan nikotin pada kulit agar dibilas dengan segera. Dan glove (sarun tangan) dengan ketebalan 0,114–0,100 mm yang terbuat dari nitril aman untuk mencegah nikotin terserap ke kulit (Zorin et al. 1999). Setelah diabsorpsi, nikotin masuk ke dalam aliran darah pada pH 7,4 dengan kondisi terionisasi sekitar 69 dan 31% pada kondisi tidak terionisasi. Dan kurang dari 5% terikat pada protein plasma, affinitas nikotin tertinggi ditemukan di dalam hati, ginjal, limpa, dan paru-paru dan terendah di dalam jaringan adipose (Hukkanen et al. 2005). Nikotin terikat ke sel-sel otak dengan affinitas yang tinggi dan kapasitas mengikat reseptornya lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan seseorang yang memperoleh nikotin tanpa merokok (Perry et al. 1999). Peningkatan dalam mengikat disebabkan oleh jumlah yang lebih tinggi dari reseptor nicotinic cholinergic di otak dari perokok. Nikotin terakumulasi secara nyata dalam getah lambung dan air liur (Lindell et al.1996). Akumulasi tersebut disebabkan oleh perangkap ion dari nikotin dalam getah lambung dan air liur. Nikotin juga terakumulasi dalam air susu ibu (Dahlstrom et al. 1990). Nikotin juga dapat melewati barrier plasenta dengan mudah, dan ada bukti bahwa nikotin terakumulasi pada serum ketuban dan dalam cairan di amnion sedikit lebih tinggi daripada konsentrasi dalam serum ibu (Dempsey dan Benowitz 2001). Efek farmakologi dari nikotin di dalam otak dan organ tubuh lainnya tergantung pada rute dan dosis. Merokok memberikan nikotin secara cepat ke sirkulasi pulmonari dan bergerak cepat ke bagian kiri dari bilik jantung dan ke arterial sistemik serta masuk sirkulasi yang menuju ke otak. Waktu yang diperlukan nikotin untuk mencapai otak dari saat mengisap rokok yakni sekitar
17 10-20 detik. Konsentrasi nikotin dalam darah arterial setelah merokok cukup tinggi dan dapat mencapai 100 ng/ml, tetapi biasanya berkisar antara 20 dan 60 ng/ml (Henningfield et al. 1993; Gourlay dan Benowitz 1997; Lunell et al. 2000). Interval waktu yang singkat dari nikotin memasuki otak juga memungkinkan pada perokok yang diberi nikotin dosis titrate yang dikehendaki. Namun sebaliknya, waktu yang dibutuhkan tersebut akan lambat jika pemberian nikotin melalui sistem transdermal (Henningfield dan Keenan, 1993). Metabolisme Nikotin pada Tubuh Nikotin secara umum dimetabolisme di hati. Ada enam metabolisme utama dari nikotin yang telah diidentifikasi dan secara kuantitatif yang paling penting dari metabolisme nikotin yang berhubungan dengan hewan menyusui adalah turunan kotinin. Pada manusia, sekitar 70-80% dari nikotin dikonversi menjadi kotinin (Benowitz dan Jacob 1994). Transformasi ini melibatkan dua langkah. Yang pertama adalah mediasi dari cytochrome P450 yang merupakan sistem untuk menghasilkan nikotin-∆1’(5’)-iminium-ion yang equilibrium dengan 5hydroxynicotine (Murphy 1973; Peterson et al. 1987). Langkah kedua adalah katalisasi dari cytoplasmic aldehyde oxidase (Gorrod dan Hibberd, 1982). Nikotin iminium ion cukup menarik karena merupakan agen alkylating dan dapat berperan dalam farmakologi dari nikotin (Jacob et al. 1997). Metabolisme utama yang lain dari nikotin adalah nikotin N’-oksida dan sekitar 4 sampai 7% nikotin diserap oleh perokok melalui jalur metabolisme ini (Byrd et al. 1992). Konversi dari nikotin ke N’-oksida melibatkan flavinmonooxygenase-3 (FMO3) (Cashman et al. 1992). Pada manusia, jalan ini sangat selektif untuk isomer trans (Cashman et al. 1992). Hanya isomer trans dari nikotin N’-oksida terdeteksi dalam urin setelah pemberian nikotin melalui infusi darah, transdermal, atau merokok. Pengurangan nikotin N’-oksida pada manusia dilakukan oleh bakteri dalam usus besar. Pemberian nikotin melalui mulut dalam bentuk nikotin N’-oksida menghasilkan kotinin dalam urin dan feses (Park et al. 1993). Meskipun rata-rata sekitar 70 sampai 80% dari nikotin yang dimetobolisme melalui jalur kotinin pada manusia, terdapat 10 sampai 15% dari nikotin tersebut diserap oleh perokok yang muncul dalam urin dan tidak berubah menjadi kotinin
18 atau dengan kata lain sebagian besar metabolisme nikotin dalam urin berasal dari kotinin. Konversi nikotin menjadi kotinin terutama dalam bentuk trans-3’hydroxycotinine sekitar (33-40%), trans-3’-hydroxycotinine glucuronide sekitar (7-9%) dan cotinine glucuronide sekitar (12-17%) (Benowitz et al. 1994). Nikotin di hati diubah menjadi kotinin oleh enzim cytochrome P450 dan secara invitro dan invivo bahwa CYP2A6 merupakan enzim yang bertanggung jawab dalam oksidasi nikotin dan kotinin, enzim ini secara mendasar mengurangi jumlah nikotin dan kurang lebih 80% metabolisme nikotin oleh enzim CP2A6 yang merupakan kunci utama dalam kasus-kasus adiksi perokok dengan pengurangan level rasio nikotin dalam darah (Hukkanen et al. 2005; Yano 2005). Nikotin dimetabolisme terutama dalam hati. Selain itu pula metabolisme nikotin juga terjadi secara ekstrahepatik seperti di paru-paru, ginjal, mukosa hidung dan otak (Jacob et al. 1997). Disamping itu pula juga terjadi pada ketuban, paru-paru, dan epithelium cabang tenggorokan (Boyland dan de Kock, 1966). Faktor yang berpengaruh dalam metabolisme nikotin yakni diet dan makanan. Aktivitas fisiologis, seperti makan, sikap, olahraga, atau obat meningkatkan aliran darah hepatik, dan diduga mempengaruhi tingkat metabolisme nikotin. Konsumsi makanan selama infusi nikotin mengakibatkan penurunan konsentrasi nikotin, efeknya secara maksimal mulai 30 sampai 60 menit setelah akhir makan (Gries et al. 1996). Dan peningkatan aliran darah hepatik sekitar 30% dan nikotin meningkat sekitar 40% setelah makan. Disamping itu pula umur dan jenis kelamin mempengaruhi metabolisme dari nikotin (Benowitz dan Jacob 1994). Mekanisme Nikotin pada Saraf Narahashi et al. (2000) menyimpulkan bahwa nikotin telah lama diketahui memiliki interaksi dengan reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) dan mekanisme aksi nikotin tersebut meliputi tiga variasi yakni molekuler, fisiologi dan tingkah laku. Shao dan Feldman (2001) bahwa reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) memiliki peranan dalam kontrol pusat respirasi yang memegang peranan penting dalam
pernapasan.
Aktivasi
dari
reseptor
nikotinik
asetilkolin
(ACh)
meningkatkan kemampuan input synaptik perasaan senang pada saraf inspirasi
19 dalam hal ini saraf pacemaker, dan waktu yang sama menghambat fase hubungan diantara saraf yang memegang peranan dalam membawa perasaan senang. Nikotin
memiliki
dampak
dengan
ciri-ciri
yang
mirip
dengan
ketergantungan pada obat-obatan lainnya, menghirup nikotin menghasilkan perubahan pada otak dan dianggap dapat menyebabkan sindrom withdrawal yang diamati pada perokok yang berhenti secara tiba-tiba. Secara farmakologi, nikotin pada prinsipnya adalah suatu stimulan psikomotor seperti halnya amphetamin atau kokain. Nikotin juga memiliki efek psikoparmakologi lain, terutama anti depresi dan kegelisahan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang (Balfour et al. 2000). Nikotin memiliki efek kompleks pada jalur saraf otak dengan merangsang reseptor dari kelompok saraf nikotinik. Efek ini seperti mekanisme saraf pada kompleks underpin nikotin seperti halnya efek ketergantungan narkoba, khususnya efek psychostimulant mirip dengan efek nikotin yakni dengan merangsang atau meningkatkan pelepasan dopamine (DA) utamanya dari terminal sistem mesolimbik, nukleus accumbens, dan konsensus bahwa obat ini memainkan peran penting dalam neurobiologi yang berpotensi menimbulkan ketergantungan (Balfour 2008). Nikotin setelah melalui metabolisme di hati, secara sistemik didistribusikan ke jaringan neuron preganglionik autonomik, neuromuscular junction somatic (N1) dan neural (N2). Kemudian secara langsung menstimulasi norepineprin (NE) melalui signal β3 adrenergik dalam sel mitokondria dan melalui mekanisme siklus cREB (cAMP respons element binding) protein mengekspresikan protein-1 (uncoupling protein-1; UCP-1) dan bersama derivat proteinase inhibitor (PAI-1) berperan dalam proses aterosklerosis (Blanc et al. 2003). Efek Nikotin pada Penurunan Obesitas Nikotin memiliki dampak negatif, yaitu dapat menekan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak berpengaruh pada tikus betina pada masa pertumbuhan.
Penghentian
pemberian
nikotin
dapat
meningkatkan konsumsi pakan dan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak pada tikus betina. Selain itu nikotin memiliki manfaat positif yaitu dapat membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan
20 perasaan senang pada penderita alzeimer dan Parkinson serta mengurangi stress (Grunberg 2007). Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan dapat mengurangi nafsu makan sehingga hal ini dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung memiliki bobot badan lebih rendah daripada bukan perokok. Namun sebaliknya, perokok berat cenderung memiliki bobot badan lebih besar dibandingkan perokok ringan atau yang tidak merokok. Sebagaimana dijelaskan bahwa merokok cenderung menurunkan bobot badan dibanding yang tidak merokok, hal ini sebagai efek nikotin yang sudah dilaporkan. Nikotin memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan. Selain itu, nikotin memiliki efek langsung pada metabolisme jaringan adipose. Leptin, ghrelin dan neuropeptide Y merupakan zat yang mungkin merupakan faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan indeks massa tubuh, walaupun peran mereka sebagai penentu atau konsekuensi dari hubungan ini belum ditentukan (Chatkin dan Chatkin 2007). Nikotin mengaktifkan sistem endogenous cannabinoid yang merupakan alat modulasi metabolisme selama masa remaja dan penggunaan nikotin dapat menyebabkan eksposur dalam jangka panjang pada regulasi metabolisme dan mengubah modulasi cannabinoid untuk metabolisme dan pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan bobot badan (Lamota et al. 2008). Peningkatan bobot badan karena berhenti merokok sebagai akibat peningkatan lemak tubuh khususnya pada bagian subkutan. Disamping itu pula adanya mekanisme peningkatan energi, penurunan tingkat metabolisme istirahat, penurunan aktivitas fisik dan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase. Nikotin, sebagai agen sekresi kuat, diharapkan dapat mempengaruhi tingkat dan ekspresi dari berbagai kelas neurotransmitters, serta dari selaput sel konstituen yang terhubung ke neurotransmission, termasuk sinyal transducers yang terkait dengan efektor. Potensi molekul yang dapat terlibat dengan aksi yang berhubungan dengan konsumsi nikotin terutama neuropeptides dan hormon peptida yang
21 berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi seperti leptin, neuropeptide Y (NPY) dan orexins (Filozof et al. 2004). Leptin, hormon yang disekresi oleh lemak merupakan adalah regulator negatif dari asupan makanan dan energi positif pada regulator pengeluaran. Efek nikotin pada plasma leptin kontradiktif dalam studi yang menggunakan objek manusia. Dari dua studi epidemiologi pada berbagai kelompok etnis menunjukkan bahwa plasma leptin signifikan pada perokok dan lebih rendah dibandingkan tidak merokok. Selain itu, penurunan konsentrasi plasma leptin secara signifikan dari adiposit juga telah dilaporkan pada ibu-ibu yang melahirkan dan merokok selama kehamilan dibandingkan dengan yang tidak merokok. Nikotin menggunakan mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi bobot badan. NPY juga sebagai stimulator kuat dari makanan, penurunan dari ekspresi NPY dipengaruhi nikotin. Peningkatan NPY mRNA dan peptide setelah pemberian nikotin dimana peningkatan NPY dipengaruhi reseptor hypothalamic yang mengikat Y1/Y4/Y5 pada situs ligand. Mirip dengan NPY, orexins merupakan regulator positif terhadap asupan makanan. Oleh karena itu, dapat diharapkan penurunan orexin akibat pemberian nikotin. Akan tetapi dosis preproorexin mRNA dalam meningkatkan produksi setelah pemberian nikotin. Pemberian nikotin berafinitas dan mengurangi kepadatan orexin-binding site pada anterior hypothalamus dari otak (Filozof et al. 2004), dan aksi leptin guna penurunan nafsu makan dan peningkatan pengeluaran energi disajikan pada Gambar 3
↑ metabolisme
↓ asupan makan
glukosa
Sekresi leptin Jaringan adipose putih
↑ metabolisme
↑ pengeluaran
lemak
engeri
↓↑ fungsi neuroendokrin
Gambar 3
Skema aksi leptin (Mantzoros 1999).
22 Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa leptin bertindak secara langsung atau dengan mengaktifkan bagian spesifik pada sistem saraf pusat yang mengatur pengurangan asupan makanan, peningkatan pengeluaran energi, metabolisme glukosa dan lemak dan mengubah fungsi neuroendokrin (Mantzoros 1999). Lebih lanjut Mantzoros (1999) menyatakan bahwa leptin, suatu hormon adipost, yang beredar di dalam serum dalam bentuk bebas atau dalam bentuk leptin terikat pada protein, mengaktifkan sel yang spesifik pada hipotalamus, dan mengubah ekspresi beberapa neuropeptida yang kemudian mengurangi selera, peningkatan pembelanjaan energi dengan meningkatakan sinyal saraf simpatis dan menurunkan sinyal saraf parasimpatik serta mengubah fungsi neuroendokrin. Peningkatan level leptin mengaktifkan hormone tiroid, hormon pertumbuhan, dan gonad serta menekan poros adrenal-pituitari. Leptin, secara langsung atau secara tidak langsung (mengubah level hormone dan neuropeptida lain), juga mempengaruhi
hemopoiesis
dan
fungsi
kekebalan
serta
meningkatkan
metabolisme glukosa dan lemak. Yang pada akhirnya, mengubah produksi dan leve hormon dan sitokin serta produksi leptin pada adiposit. Efek umpan balik dari leptin ini disajikan pada Gambar 4. Otak selera
Fungsi imun hemopoiesis
Gonad
Korteks adrenal
β-sel langerhans
↑ saraf simpatis ↓ saraf parasimpatis
Sistem IGF
Androgen Estrogen
Katekolamin
Gen leptin Adiposit putih
Gambar 4
Skema aksi umpan balik dari leptin (Mantzoros 1999).
23 Leptin mengatur homeostasis energi, makanan yang masuk ke tubuh; disimpan dan digunakan, mengatur fertilitas dan fungsi imun untuk menekan NPY yang disekresikan oleh hipotalamus. Pada pemberian nikotin, Leptin akan meningkatkan neuron simpatik pada brown adipose tissue (BAT) dan diduga menurunkan nafsu makan dan mengurangi bobot badan. Peran lipoprotein merupakan kombinasi kompleks sferis dari lipid dan apoprotein yang juga berfungsi menstabilisasi emulsi lipid serta fungsi ligan untuk proses yang dapat dimediasi reseptor nikotin. Metabolisme lipoprotein melibatkan proses biokimia kompleks pembentukan berbagai sekresi, transport, proses dan klirens lipoprotein tersebut (Hodge et al. 1997). Disamping itu pula nikotin mempengaruhi jaringan adipose coklat (BAT: brown adipose tissue) yang mengatur panas tubuh, status makan dan cadangan energi tubuh yang berpusat pada area ventromedial nucleus hipotalamus (VMN) hindbrain. Telah diketahui bila terjadi peningkatan pembakaran cadangan makanan dalam tubuh maka akan meningkatkan panas tubuh yang kemudian memberikan signal simpatis pada reseptor adrenergic nervus system jaringan sel adipose (Cannon dan Nedergaard 2004). Fungsi utama brown adipose tissue (BAT) adalah untuk menciptakan panas melalui mekanisme termogenesis nonshivering. Dan nonepineprin menjadi faktor yang berperan penting dalam termogenesis ini. NE yang menstimulasi β-oksidasi (β-ox) pada mitokondria melalui reseptor β3-adrenergic pada adiposit coklat yang diaktivasi oleh cAMP dan protein kinase-A (PKA)-mediated untuk lipolisis dan β-oksidasi asam lemak bebas (FFA) dari trigliserida (TG) untuk membentuk acyl-CoA. Jalur ini merupakan produksi dari mitokondria pada superoksida intraseluler sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5 (Brees et al. 2008).
24
panas
Gambar 5
Mekanisme molekular termogenesis pada jaringan adiposit coklat (Brees et al. 2008).
Nikotin memiliki efek pada peningkatan termogenesis. Mekanisme tersebut melalui stimulasi pada sistem saraf simpatik yang mengarah pada peningkatan NE. Stimulasi ini memberikan efek langsung pada reseptor nicotinic acetylcholine (nAChR) yang memberikan stimulasi modulasi secara langsung atau tidak langsung terhadap penurunan suhu tubuh (Rezvani dan Levin, 2004). Nikotin meningkatkan pengeluaran NE dan mengikat guanosine 5'-diphosphate (sinyal termogenesis) pada mitokondria dalam waktu tiga jam serta meningkatkan ekspresi UCP-1 (Arai et al. 2001). Monyet Ekor Panjang Karakteristik Monyet Ekor Panjang Monyet ekor panjang merupakan kelompok monyet dunia lama (Old World Monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut; kelas Mammalia, ordo Primates, subordo Anthropoidea, infraordo Catarrhini, superfamili Cercopithecoidea, famili Cercopithecidae,
subfamili Cercopithecinae,
genus
Macaca
dan
spesies
fasicularis (Lekagul dan McNeely 1977; Napier dan Napier 1985; Dolhinow dan Fuentes 1999). Monyet ekor panjang memiliki bobot badan yang bervariasi antara 3–12 kg pada jantan dan 3–10 kg pada betina (Putra et al. 2006). Dengan lama hidup 25– 30 tahun, umur dewasa 4,5–6,5 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
25 Collinge (1993) menyatakan bahwa penentuan umur pada genus Macaca sp dapat ditentukan melalui masa dewasa kelamin dan pertumbuhan. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dewasa memiliki susunan gigi dengan dua premolar dan jumlah gigi keseluruhan adalah 32 buah dengan susunan sebagai berikut: I C PM M
2 2
Keterangan:
I C PM M
1 1
2 2
3 3
x2
: incisisor (gigi seri), : canine (gigi taring), : premolar (gigi geraham depan), dan : molar (gigi geraham belakang).
Warna tubuh utama monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yakni coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna menurut musim, umur dan lokasi (Lekagul dan McNeely 1977). Disamping itu pula perbedaan habitat mempengaruhi warna tubuh, individu yang menghuni kawasan hutan umumnya lebih gelap dan mengkilap, sedangkan individu yang menghuni kawasan pantai pada umumnya mempunyai warna lebih cerah. Hal ini dipengaruhi oleh udara lembab yang mengandung garam dan sinar matahari (Medway 1969). Secara umum warna rambut monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) mulai dari abu-abu sampai kecoklatan dengan bagian ventral putih, pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan bagian dada dan perut, rambut kepala agak pendek tertarik ke belakang dahi, rambut-rambut sekeliling wajahnya berbentuk jambang yang lebat dengan ekor tertutup rambut yang halus (Napier dan Napier 1967; Supriatna dan Wahyono 2000). Disamping itu rambut pada bagian pipi monyet jantan lebih lebat dibandingkan dengan monyet betina (Krisnawan 2000). Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Model Obes Monyet ekor panjang sebagai salah satu satwa primata merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, khususnya sebagai hewan model dalam penelitian biomedis dibandingkan hewan model lainnya seperti mencit, tikus putih besar, hamster dan kelinci. Hal ini disebabkan karena secara anatomi dan fisiologis mempunyai banyak kemiripan dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1997; Roth et al. 2004). Dengan nilai ilmiah satwa primata, selain persamaan ciri
26 anatomi dan fisiologis juga kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek (Bennet et al. 1995). Satwa primata adalah hewan model yang sesuai untuk penelitian biomedis, khususnya obesitas didasari atas kesamaan karakteristik tersebut. Disamping itu pula, ukurannya yang besar dan jangka waktu hidupnya lebih lama dibanding hewan model lainnya memungkinkan pengambilan sampel untuk waktu yang lama (Wagner et al. 1996). Penggunaan monyet ekor panjang sebagai hewan model untuk manusia juga sangat beralasan karena bentuk anatominya serta fungsi hepar, kesamaan pankreas namun ukurannya lebih kecil serta vaskularisasi yang sama dengan manusia (Sabbatini 2001). Penggunaan satwa primata sebagai hewan model dalam penelitian biomedis khususnya penelitian obesitas telah dilakukan antara lain Kemnitsz et al. (1989) yang menggunakan monyet rhesus (Macaca mulatta) pada penelitian obesitas dengan melihat ukuran tubuh dan distribusi lemak tubuh, toleransi glukosa, serum lipid, insulin, dan androgen. Anthony et al. (2003) yang melakukan penelitian studi genetika pada obesitas yang menggunakan baboon. Kaufman et al. (2007) yang melihat stres sebagai salah satu faktor penyebab obesitas, diabetes Tipe 2 dan hipertensi dan munculnya retensi insulin yang menggunakan monyet bonnet (Macaca radiata) juvenile, Chen et al. (2002; 2003) menggunakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk melihat level dua hormon adipocyte yakni leptin dan adiponectin, serta hubungan hormon ini dengan insulin, protein total, glukosa, kolesterol total dan trigliserida, serta persentase lemak tubuh termasuk nilai hematologinya. Adanya kesamaan pola ekspresi hormon yang terlibat dalam obesitas serta gambaran lainnya menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia. Disamping itu pula bahwa pola obesitas pada monyet ekor panjang memiliki kemiripan dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yang dapat terjadi pada jantan maupun betina baik dewasa maupun sub dewasa dengan pola yakni adanya penimbunan lemak di sekitar perut, serta BMI (Body Mass Index) sampai 61,57 kg/m2 pada jantan dan pada betina 60,07 kg/m2 yang ditemukan pada kawasan wisata di Bali (Putra et al. 2006).
27 Oktarina (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diberi pakan berenergi tinggi dan lemak tinggi guna mendapatkan hewan model obes. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa formula pakan yang mengandung tallow (lemak hewan) ditambah kuning telur menjadikan monyet ekor panjang menjadi obes. Secara morfometrik bahwa ukuran lingkar paha, lingkar pinggul, lingkar pinggang, lingkar dada, tebal telapak tangan, tebal telapak kaki, tebal lipatan kulit perut, tebal lipatan kulit lengan belakang, tebal lipatan kulit punggung menandai terjadinya proses obesitas Tipe 1 pada monyet ekor panjang. Dengan penciri bahwa lingkar pinggang, lingkar pinggul dan lingkar dada merupakan bagian tubuh yang memiliki kaitan paling erat dengan bobot badan sehingga lingkar pinggang, lingkar pinggul dan lingkar dada dapat dijadikan penciri terjadinya obesitas pada monyet ekor panjang (Caraka I 2008). Hematopoiesis Hematopoiesis atau hemopoiesis adalah proses pembuatan darah, khususnya sel darah. Sistem hematopoitik tersebar di dalam tubuh, organ atau jaringan hematopoiteik ialah: sumsum tulang, hati, limpoglandula, retikuloendotelia, usus, pankreas, thimus, ginjal dan limpa (Tortora dan Anagnostakos 1990). Setelah hewan lahir, hematopoiesis pada sebagian besar mamalia terpusat pada sumsun tulang, sedangkan hati dan limpa biasanya tidak aktif. Disaat kebutuhan akan pertumbuhan tubuh mulai meningkat, maka hematopoiesis biasanya akan kembali ke bagian ujung (metaphyse) tulang panjang, ke tulang pipih dan pelvis, rusuk dan tulang belakang. Dari sini akan meluas lagi ke dalam lubang sumsum tulang, juga terjadi hematopoiesis extramedulla yaitu di dalam hati, limpa dan kelenjar pertahanan (lymphoglandula) terutama bila terjadi kebutuhan yang meningkat misalnya ada hipoplasia atau aplasia dari sumsum tulang atau pada penyakit-penyakit dimana sumsum tulang rusak atau mengalami fibrosis (Ganong 1983). Sistem hematopoietik dimonitor secara klinik oleh pemeriksaan sirkulasi darah dan sumsum tulang. Pemeriksaan hematologi adalah merupakan suatu bagian rutin dari beberapa pemeriksaan klinik, dan adanya perbedaan status
28 normal, akan menjadi indikasi adanya suatu respon penyesuaian terhadap kerusakan sistem lainnya, atau adanya penyakit primer pada sistem hematopoietik itu sendiri. Juga dalam keadaan hemorrhagi yang akut atau anemia hemolitika, maka pusat haemopoietik terangsang untuk meningkatkan produksi sel yang dibutuhkan. Ini berarti bahwa untuk setiap tipe sel ada suatu rangsangan berupa mekanisme umpan balik (feedback) yang berespon terhadap menurunnya jumlah sel. Sumsum tulang berisi sedikit sel primitif yang berespon terhadap kebutuhan ini. Kemudian sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel progenitor yang bertambah banyak (multiply) dan menjadi sel dewasa (mature). Penilaian in vitro dan in vivo telah menyatakan adanya tingkatan struktur dari stem sel multipotensial, oligopotensial dan unipotensial di dalam sumsum tulang. Walaupun identitas morfologi stem sel ini masih tidak pasti, namun tampaknya adalah mononuclear dengan beberapa ciri khas dari limfosit peralihan (Ganong 1983). Sel progenitor unipotensial akan berkembang menjadi sel precursor yaitu: rubriblast, myeloblast, monoblast, lymphoblast dan megakaryoblast (Tortora dan Anagnostakos 1990). Stem Sel Pluripotensial Konsep aktual dari hematopoiesis didasarkan pada monophylactic atau teori unitarian dari pembentukan eritrosit, pertimbangan produksi eritrosit, semua bentuk limfosit, makrofag, sel mast dan megakaryosit dari stem sel pluripotensial (Jain 1993). Selama kehidupan intra uterin, sel punca ini pada mulanya berasal dari kuning telur embrio (embryonic yolk sac), kemudian oleh hati fetus, limpa dan sumsum tulang. Dalam kehidupan dewasa pada kebanyakan spesies, sumsum tulang merupakan sumber utama. Sedikit sel punca dapat dijumpai di dalam darah perifer (1/100.000 leukosit). Migrasi dari sel progenitor granulosit ke dalam darah dapat diinduksi oleh bermacam-macam stimuli misalnya: exercise, ACTH, deksametason, epineprin, endotoksin, antigenik, exposure, hipoksia dan iradiasi lokal (Jain 1993). Sejumlah penyakit hematologik dapat berasal dari gangguan neoplastik (tumor) dan non-neoplastik pada stem sel. Tumor hematopoietik adalah gangguan/kerusakan stem sel, termasuk leukimia myelogenous yang akut dan
29 kronis, essensial trombositopenia dan polycytemia. Gangguan/kerusakan nonneoplastik adalah akibat dari disfungsi stem sel, misalnya Cyclic hematopoiesis pada anjing Collie abu-abu; aplasia eritrosit dan anemia aplastik (pancytopenia) pada manusia. Beberapa keberhasilan telah dicapai dalam pengobatan untuk memperbaiki
gangguan
non-neoplastik
ini
yaitu
dengan
menggunakan
transplantasi sumsum tulang. Hematopoiesis, baik secara in vivo maupun in vitro amat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor endogen dan eksogen. Dalam hal ini termasuk juga lingkungan mikro dari sumsum (marrow), serta faktor humoral setempat (Robinson dan Huxtable 1988). Eritropoiesis Darah amat penting bagi kehidupan makhluk yang mempunyai banyak sel, disebabkan oleh perannya untuk transpor oksigen, air, elektrolit, zat makanan dan hormon-hormon ke setiap sel, juga untuk transpor hasil atau sisa metabolisme ke organ-organ pembuangan. Pembentukan sel darah merah (eritropoiesis) merupakan suatu pengaturan umpan balik (feedback). Pembentukan ini dihambat oleh kenaikan jumlah sel darah merah dalam sirkulasi yang mencapai nilai diatas normal, dan distimulasi oleh anemia. Eritropoiesis diatur oleh hormon glikogen yang beredar yang dinamakan erytropoetin yang dibentuk oleh kerja dari faktor ginjal pada globulin plasma (Ganong 1983). Erytropoietin adalah suatu glikoprotein yang dibentuk terutama oleh ginjal sebagai respon terhadap kurangnya oksigen dalam jaringan ikat ginjal (renal tissue hypoxia). Sebagian eritropoietin juga disentisis di hati. Eritropoietin diperlukan untuk pembentukan sel darah merah termasuk juga diferensiasi sel progenitor, multiplikasi dan pematangan melalui berbagai tahapan (Jain 1993). Sel darah merah, sel darah putih dan platelet/thrombosit merupakan bagian dari elemen darah, sedangkan berbagai faktor koagulasi/zat pembekuan serta imunoglobulin adalah unsur penting dari Protein Plasma Total. Fungsi utama sel darah merah ialah mengikat haemoglobin untuk transport oksigen, sedangkan sel darah putih peran utamanya ialah dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi mikrobial. Platelet/thrombosit dan protein koagulasi adalah penting untuk mempertahankan hemostasis, juga untuk mencegah kehilangan banyak darah akibat terjadinya luka bulu darah. Imunoglobulin merupakan unsur penting dari
30 humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah hewan dari agen infeksi. Sedangkan protein-protein lain yang ada dalam darah mempunyai peranan biologis yang bervariasi yaitu mempertahankan kesehatan tubuh. Berbagai faktor mungkin akan mempengaruhi data nilai normal darah dari berbagai spesies hewan (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990). Secara umum keberadaan darah dalam tubuh dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu (1) faktor eksogen yang terdiri dari agen penyebab infeksi dan perubahan lingkungan dan (2) faktor endogen yang terdiri dari pertambahan umur, status gizi, kesehatan, stres, siklus estrus dan suhu tubuh (Guyton dan Hall 1997). Darah yang beredar dalam tubuh memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai alat transport, mempertahankan lingkungan dalam tubuh agar terjaga konstan (homeostatis), ekskresi dan berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap bahan-bahan asing (Harper et al. 1979). Darah dengan komposisi yang meliputi 46–63% plasma dan 37–54% sel darah (Martini 1995) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2
Komposisi darah manusia
No Darah persentase Komposisi persentase Keterangan 1. Elemen-elemen yang 37–54 terbentuk o Sel darah merah 99,9 o Platelet (trombosit) 0,1 o Sel darah putih 2. Komposisi plasma 46–63 o Plasma protein 7 Albumin 60 Utamanya menyumbangkan pada konsentrasi osmotik plasma; transpor lemak, hormon steroid Globulin 35 Transpor ion, hormon, lemak, fungsi imun Fibrinogen 4 Komponen esensial sistem pembekuan darah; termasuk fibrin yang tidak terlarut Pengaturan < 1 Enzim, proenzim, hormon protein o Cairan lain 1 Elektrolit Komposisi ion pada cairan extraseluler esensial untuk aktivitas seluler yang vital. Ion yang berperan dalam tekanan osmotik + , Ca2+, Mg2+, Cl–, cairan–tubuh yakni Na 2– 2– HCO3 , HPO4 , SO4 Nutrisi Digunakan untuk produksi ATP, pertumbuhan dan perawatan sel; meliputi lipid (asam lemak, kolesterol, gliserida), karbohidrat (terutama glukosa) dan asam amino Zat-zat Membawa ketempat perusakan atau sisa ekskresi; meliputi urea, asam urat, kreatinin, bilirubin dan ion ammonium o Air 92 Transpor molekul organik dan inorganik, elemen-elemen yang terbentuk dan panas
Sumber : Martini 1995
Nilai normal hematologi terjadi perbedaan diantara peneliti, khusunya penelitian yang berhubungan hematologi. Perbedaan ini terjadi karena beberapa
31 faktor antara lain: jumlah, sumber, umur, jenis kelamin, bangsa hewan, kesehatan dan pakan hewan yang digunakan, juga metode pengambilan darah serta teknik hematologi yang digunakan. Adanya perbedaan fisiologis seperti eksitasi, aktifitas otot, waktu pengambilan sampel, suhu udara sekitar, keseimbangan air dan ketinggian, mungkin juga memberikan perbedaan nyata. Variasi regional mungkin juga menyebabkan perbedaan nilai hematologi terutama parameter sel darah merah (Aliambar 1999). Variasi nilai hematologi pada primata ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3
Nilai hematologi pada primata
Parameter Schermer 1967 * Hematologi Sel Darah Merah (juta) 4–7 Hemoglobin (Sahli) (%) 60–100 Trombosit (butir) 86.700–265.000 Sel Darah Putih (butir) 5.500–12.000 Netrofil (%) 21–47 Eosonofil (%) 0–6 Basofil (%) 0–2 Limposit (%) 47–75 Monosit (%) 0,1–1,5 * Kisaran nilai hematologi dari beberapa peneliti ** diacu dalam (Fridman 2002)
Bourne et al. 1973 ** Monyet Rhesus Manusia 4,46–5,60 4,5–5,5 11,0–19,0 g/dL 14,0–10,0 g/dL 5.300–12.300 20,0–55,0 1,0–6,0 ±1,0 40,0–76,0 1,0–2,0
6.000–10.000 65–75 2–3 ±0,5 20–30 1–2
Nilai hematologi yang dilaporkan Andrade et al. (2004) pada Macaca fascicularis baik jantan dan betina dewasa dari pusat primata Fiocruz dengan pembanding dari beberapa peneliti ditampilkan pada Tabel 4, 5 dan 6. Tabel 4
Nilai hematologi pada Macaca mulatta dewasa
Parameter Sel Darah Merah (x106/ml) Hematokrit (%) Hemoglobin (g/dl) MCV (fl) MCHC (%) MCH (pg) Sel Darah Putih (x103/ml) Neutropil (%) Limposit (%) Eosinopil (%) Basopil (%) Monosit (%) Mielosit (%) Metamiemosit (%) Kolesterol (mg/dl) Lipid (mg/dl) AST (IU/l) ALT (IU/l) Total protein (mg/dl) Albumin (mg/dl) Urea nitrogen (mg/dl)
Pusat Primata Fiocruz 5,062 ± 0,539 37,55 ± 3,23 12,76 ± 1,097 74,46 ± 5,11 34 ± 0 25,34 ± 1,74 7,89 ± 3,53 60,11 ± 13,28 36,70 ± 12,76 0,66 ± 0,88 0,11 ± 0,32 1,556 ± 1,55 0 0 108 ± 76,52 596,6 ± 210,2 32,86 ± 19,5 37,57 ± 28,6 7,46 ± 1,12 4,475 ± 0,75 31,18 ± 10,4
Jantan Buchl & Stanley & Howard 1997 Cramer 1968 6,9 ± 0,34a 5,86 ± 0,52a 42,2 ± 2,5a 42,1 ± 2,1a 13,6 ± 0,7a 13,8 ± 1,0a 70,7 ± 2,2a 72 32,2 ± 0,8a 32,8 22,8 ± 0,9a 24 11,8 ± 2,9a 8,2 ± 3,25 67,0 ± 6,03a 34,5 ± 14,3a 31,0 ± 1,84a 61,3 ± 14,3a 0,9 ± 1,59 – < 0,01 – 3,8 ± 2,56a – – – – – 155 ± 22a – – – – – – – 7,8 ± 0,5 – 4,5 ± 0,4 – 20 ± 3a –
Betina Pusat Primata Buchl & Fiocruz Howard 1997 5,077 ± 0,53 5,7 ± 0,4a 36,74 ± 3,51 40,3 12,53 ± 1,21 12,9 ± 0,8 72,73 ± 6,36 70,5 ± 3,6 34,07 ± 1,08 31,9 ± 0,6a 24,97 ± 2,25 22,4 ± 1,3a 10,01 ± 5,07 10,3 ± 3,3 60,32 ± 12,56 67,2 ± 31b 36,01 ± 13,06 35,4 ± 57,1 0,91 ± 0,97 0,01 ± 0,02a 0,06 ± 0,27 < 0,01 1,70 ± 1,42 0,02 ± 0,03a 0 – 0 – 108 ± 76,52 150 ± 34a 596,6 ± 210,2 – 32,86 ± 19,49 – 37,57 ± 28,65 – – 7,8 ± 0,9 – 4,5 ± 0,4 – –
Stanley & Cramer 1968 4,35 ± 0,55a 39,9 ± 3,1a 12,4 ± 1,6 93,5 ± 12,7a 31,3 ± 3,20a 29,1 ± 4,15a 11,6 ± 5,1b 23,7 ± 10,9a 67,3 ± 11,3a 5,1 ± 6,2a 0,2 ± 0,6b 4,3 ± 2,9a – – 219 ± 52,4a – 26,6 ± 9,9b 18,5 ± 12,0a – – –
32 Tabel 5
Nilai hematologi pada Macaca fascicularis dewasa
Parameter
Pusat Primata Fiocruz Sel Darah Merah (x106/ml) 6,3 ± 0,6 Hematokrit (%) 39,8 ± 2,7 Hemoglobin (g/dl) 13,6 ± 0,91 MCV (fl) 63,7 ± 6,51 MCH (pg) 21,57 ± 2,11 MCHC (%) 34,09 ± 0,30 Sel Darah Putih (x103/ml) 9,75 ± 2,67 Neutropil (%) 65,38 ± 8,93 Limposit (%) 31,04 ± 8,96 Eosinopil (%) 1,33 ± 0,8 Basopil (%) 0,05 ± 0,22 Monosit (%) 1,95 ± 1,32 Kolesterol (mg/dl) 148,09 ± 44,6 Total protein (mg/dl) 5,99 ± 0,95 Albumin (mg/dl) 3,6 ± 0,57 Lipids (mg/dl) 659,9 ± 106,5 Urea nitrogen (mg/dl) 26,38 ± 9,22
Tabel 6 Parameter
Jantan Betina Matsumoto Altshuler Pusat Primata Matsumoto Yoshida & et al.1980 et al.1971 Fiocruz et al.1980 Katsuta 1989 6,86 ± 0,39 – 6,16 ± 0,52 6,70 ± 0,71b 6,08 ± 0,63 43,3 ± 2,9a – 37 ± 3,95 41,6 ± 3,8b 40,8 ± 4,5a 12,1 ± 0,9a – 12,6 ± 1,32 11,7 ± 1,2 11,3 ± 1,3a 63,1 ± 3,5 – 60,08 ± 3,88 62,2 ± 3,5 67 ± 5a 17,6 ± 0,8a – 20,31± 1,49 17,4 ± 0,9a – 27,9 ± 1,1a – 34,15 ± 0,55 28,0 ± 0,6a – 15,3 ± 5,0a – 8,03 ± 1,9 12,7 ± 3,6a 9,7 ± 2,8b – – 68,15 ± 12,08 – – – – 27,92 ± 9,76 – – – – 0,85 ± 1,07 – – – – 0 – – – – 1,61 ± 1,32 – – 186 ± 35 126,32 ± 38,5a 178 ± 33a 115,8 ± 17,9a 185,74 ± 45,99 9,9 ± 0,8a 8,13 ± 0,64a – – – 5,6 ± 0,2a 3,17 ± 0,3a – – – – – 460,70 ± 127,7 – – 20 ± 3a 23,07 27,3 ± 9,87 19 ± 2b 20,26 ± 5,36a
Nilai hematologi pada Saimiri sciureus dewasa Pusat Primata Fiocruz
Sel Darah Merah (x106/ml) 6,81 ± 0,42 Hematokrit (%) 41,9 ± 3,93 Hemoglobin (g/dl) 14,06 ± 1,23 MCV (fl) 61,74 ± 5,75 MCH (pg) 20,68 ± 2,0 MCHC (%) 33,68 ± 1,68 6,826 ± 1,64 Sel Darah Putih (x103/ml) Neutropil (%) 65,94 ± 7,9 Limposit (%) 28,63 ± 5,68 Eosinopil (%) 1,05 ± 1,22 Basopil (%) 0 Monosit (%) 4,47 ± 2,2 Kolesterol (mg/dl) 129,74 ± 39,9 Total protein (mg/dl) 5,91 ± 0,34 Albumin (mg/dl) 3,55 ± 0,34 Chlorider (mEq/l) 96,71 ± 20,83 Urea nitrogen (mg/dl) 28,37 ± 7,18
Jantan Beland et al. 1979, Suzuki 1981 7,5 ± 0,6 b 46,5 ± 4,0 b 14,6 ± 1,2 – – – 11,5 ± 4,32 b 43,6 ± 15,2 a 52,3 ± 15,2 a 2,2 ± 2,5 0,2 ± 0,4 2,2 ± 1,6 b 137 ± 29 6,6 ± 0,5 b 4,2 ± 0,4 c 104 ± 4 46 ± 12 c
Betina Kakoma et al. 1985
Pusat Primata Fiocruz
7,12 ± 0,1 a 44 ± 0,64 13,8 ± 0,18 61,9 ± 0,64 1 9,4 ± 0,19 b 31,5 ± 0,23 10,5 ± 0,64 a 35 ± 3,2 a 61 ± 3,1 a 1 ± 0,2 0 ± 0,2 2 ± 0,3 a – – – – –
6,13 ± 0,86 39,03 ± 3,53 13,27 ± 1,18 64,16 ± 5,19 21,77 ± 1,73 33,96 ± 0,18 7,26 ± 1,56 69,32 ± 7,89 25,77 ± 8,69 0,87 ± 1,11 0,03 ± 0,18 2,9 ± 1,74 116,74 ± 29,2 5,91 ± 0,34 3,55 ± 0,34 101,37 ± 17,3 27,35 ± 5,65
Beland et al. 1979, Suzuki 1981 7,61 ± 0,7 a 45,1 ± 4,2 a 14,5 ± 1,1 a – – – 10,3 ± 3,6 a 44,9 ± 15,1 a 49,2 ± 16,0 a 3,6 ± 6,1 b 0,7 ± 4,4 1,5 ± 0,1 a 144 ± 24 c 6,4 ± 0,5 b 4,2 ± 0,4c 105 ± 5 48 ± 12 c
Parameter nilai hematologi antara baboon dan manusia (hemoglobin, hematokrit, trombosit dan jumlah sel) memiliki kesamaan begitupula antara manusia dan Callithrix jacchus (Fridman 2002). Bobot tubuh sangat berhubungan erat dengan nilai hematologi terutama konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, konsentrasi hematokrit dalam sel darah merah (MCV, mean corpuscular volume) dan jumlah sel darah merah (Chen et al. 2002) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 7 berikut.
33
Tabel 7
Bobot badan dan nilai hematologi Macaca fascicularis dewasa Uraian
Bobot badan Hematologi : Sel Darah Putih Sel Darah Merah Hemoglobin Hematokrit MCV Platelet
satuan (kg)
Rata-rata±SD 4,49±1,06
(x102/ml) (x104/ml) (g/dl) (%) (fl) (x104/ml)
81,20±28,4 591±68 11,5±1,6 40,3±4,4 68,4±56 37,8±8,9
Sel Darah Merah Sel darah merah (SDM, eritrosit/red blood cells/RBC) membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Pada umumnya SDM hewan mamalia tidak mempunyai inti dan bentuknya biconcave disc, sedangkan SDM yang berbentuk elips dan berinti, amat khas pada satwa burung, reptil dan amphibia. Adanya variasi bentuk SDM (poikilositosis) bisa bersifat fisiologik ataupun patologik (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999). Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih dan tak beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa dan dari sumsum dalam batang iga dan dari seternum. Perkembangan sel darah merah dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah (Pearce 2006). Jumlah sel darah merah normal pada manusia 5,4 juta/mm3 pada laki-laki dan 4,8 juta/mm3 pada perempuan dengan diamater sekitar 7,5 µm dan tebalnya 2 µm dengan lama hidup dalam sirkulasi darah sekitar 120 hari (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada nonhuman primata jumlah SDM bervariasi antara 3,6–7,2 juta/mm3 dengan diameter 7,1–7,5 µm atau rata-rata 7,5 µm (Fridman 2002). Nilai hematologi antara nonhuman primata dan manusia dapat dilihat pada Tabel 2, begitupula nilai hematologi pada Macaca mulatta, Macaca fascicularis dan Saimiri sciureus dapat dilihata pada Tabel 4, 5 dan 6 (Andrade et al. 2004).
34 Hematokrit Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase sel darah merah dalam darah. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah. Uji ini biasa digunakan untuk mendiagnosa anemia dan polycythemia (peningkatan persentase sel darah merah) (Tortora dan Anagnostakos 1990). Perhitungan hematokrit dilakukan setelah darah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan dan disentrifuse sehingga sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung. Sedangkan plasma, suatu cairan yang berwarna kekuning-kuningan akan naik ke atas. Jumlah sel-selnya adalah 45% dari volume darah total, dan nilai ini dinamakan Packed Cell Volume (PCV) atau Hematokrit (HCT), yang dinyatakan dalam persen (Aliambar 1999). Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan berdasarkan metode mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah perlu untuk mengurangi plasma yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada kambing dan domba, metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse yang lebih lama (10–20 menit), sedangkan spesies lainnya cukup 5 menit saja. Pada kambing, parameter darah merah yaitu SDM, HB, dan HCT nilainya lebih tinggi di akhir musim panas dan musim gugur dibandingkan pada musim dingin dan musim semi. Sedangkan pada sapi, nilainya paling tinggi selama bulan-bulan paling dingin dan paling rendah selama bulan-bulan terhangat di tahun tersebut. Perbedaan nilai ini dapat pula terjadi akibat kesalahan teknik terutama yang disebabkan oleh metode pengambilan darah, tipe dan konsentrasi antikoagulan serta metode yang dipakai untuk determinasi perhitungan SDM dan SDP, konsentrasi HB dan HCT (Aliambar 1999). Nilai hematokrit pada wanita berkisar 38–46% dengan rata-rata 42% sedangkan pada pria berkisar 40–54% dengan rata-rata 47%. Nilai hematokrit juga berbeda berdasarkan ketinggian, individu yang tinggal dipegunungan memiliki nilai hematokrit yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tinggal ditepi pantai (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada macaque, nilai hematokrit Macaca mulatta yakni 37,55±3,23% pada jantan dan 36,74±3,51% pada betina, Macaca fascicularis yakni 39,8±2,7% pada jantan dan 37,74±3,95% pada betina dan Saimiri sciureus yakni 41,9±3,93% pada jantan dan 39,03±3,53% pada betina dan perbedaan nilai hematokrit pada beberapa peneliti dapat dilihata pada Tabel 4, 5 dan 6 (Andrade et al. 2004).
35 Hemoglobin Hemoglobin (HB) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Protein hemoglobin adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme. Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi. Konsentrasi hemoglobin normal pada manusia dewasa adalah 14–16 g/dl darah atau rata-rata 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut 100 persen (Ganong 1983; Pearce 2006). Dan diperkirakan terdapat kira-kira 750 gram hemoglobin dalam seluruh darah yang beredar. Hemoglobin (HB) sangat penting untuk mempertahankan kehidupan sebab ia membawa dan mengirim oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul hemoglobin ada dalam sel darah merah dan meliputi 95% dari berat keringnya. Sedangkan sintesis hemoglobin dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan adanya gangguan pada salah satunya dapat menimbulkan gangguan hematologis yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999).
Gambar 6
Skema tahapan katabolisme haemoglobin (Jain 1993).
Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme. Setiap gram hemoglobin berisi 3,34 mg zat besi dan membawa 1,34 ml oksigen. Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unit dan masing-masing bergabung dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara
36 hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan oleh agen penyebab hemolisis. Hemoglobin yang bebas dalam plasma amat cepat terbuang, dengan oksidasi menjadi bentuk yang tak berguna, hilang melalui ginjal atau dimusnahkan oleh MPS. Hemoglobin dilepaskan dari sel darah merah, dimusnahkan oleh macrophage dalam MPS, kemudian dikatabolisme secara bertahap (Aliambar 1999). Sel darah merah hidup sekitar 120 hari. Bilamana eritrosit dirusak, maka bagian porfirin hemoglobin dipecahkan dan membentuk pigmen empedu billiverdin dan billirubin, yang dibawa ke hati untuk diekskresi ke dalam usus melalui empedu. Skema proses pemecahan hemoglobin menjadi biliverdin dan billirubin serta ekskresinya ke usus melalui empedu dapat dilihat pada Gambar 6 (Tortora dan Anagnostakos 1990). Indeks Eritrosit Perhitungan diagnosis banding terhadap anemia dapat dilakukan melalui perhitungan yang berasal dari konsentrasi Hb, jumlah SDM, dan Hematokrit dengan tiga indeks sel darah merah. Hubungan secara skematis antara masingmasing indeks SDM ini (MCV, MCH, MCHC) dan hematokrit, jumlah SDM dan konsentrasi HB diperlihatkan dalam Gambar 7 (Robinson dan Huxtable 1988). Volume eritrosit rata-rata (MCV, mean cell volume)
Sel darah merah yang belum dewasa (reticulocytes) Hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah
Jumlah sel darah merah Penilaian kuantitatif sel darah merah Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (MCH, mean corpuscular hemoglobin)
Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata (MCHC, mean corpuscular hemoglobin concentration) Konsentrasi Hemoglobin
Gambar 7
Evaluasi kuantitatif sel darah merah (Schermer 1967).
37 1. Mean Cell Volume atau Mean Corpuscular Volume (MCV), yang dapat dihitung dengan membagi hematokrit dengan jumlah sel darah merah, atau dapat
diukur
langsung
dengan
cara
elektronik
menggunakan
spektrophotometer. MCV ini dinilai dengan femto liter. Bilamana MCV berada dalam kisaran normal, disebut normocytic state, bila berada dibawah disebut microcytic state dan bila diatas disebut macrocytic state (Robinson dan Huxtable 1988). 2. Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), yang dapat dihitung dengan membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan jumlah sel darah merah (SDM) dan dinilai dengan picogram. Nilai MCH ini sangat bergantung pada jumlah SDM sehingga nilai normalnya sangat bervariasi diantara spesies hewan (Robinson dan Huxtable 1988). 3. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), didapat dengan membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan Hematokrit. Nilai MCHC ini cukup stabil diantara spesies yaitu 330–350 g/l. Bilamana MCHC berada dalam kisaran ini, disebut normochromic state dan bila dibawah disebut hypochromic state. Akan tetapi nilai MCHC ini tidak akan berada diatas nilai konsentrasi maksimum Hb eritrosit (Robinson dan Huxtable 1988). Limfopoiesis Limfopoiesies terjadi pada jaringan berbeda (sumsum tulang, thymus, limpa dan limpoglandula) dan mencakup beberapa fase seluler. Sel progenitor limfoid dan turunannya diidentifikasi tidak berdasarkan morfologinya tetapi terutama oleh permukaan selnya sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan, diferensiasi dan multiplikasi dari sel progenitor limfoid ini sangatlah kompleks. Juga lingkungan mikro di sekitarnya (lokal), interleukin dan antigen dipercaya mempunyai peranan yang penting. Interleukin adalah merupakan salah satu limfosit growth factor yang sudah dikenal (Jain 1993). Sel Darah Putih Sel darah putih (SDP, WBC, Leukosit) warnanya bening, bentuknya lebih besar dibandingkan dengan sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Sel darah putih dibuat pada sumsum tulang merah dan berisi sebuah inti yang
38 berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir karena itu disebut sel berbulir granulosit (Irianto 2005; Pearce 2006). Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk diagnosis leukemia serta penyakit lainnya. Dalam evaluasi sebuah leukogram, amat perlu diketahui bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya, tetapi untuk menetapkan adanya perubahan morfologi SDP maka informasi tentang komponen darah lainnya harus ada. Juga protein plasma total dan konsentrasi fibrinogen, parameter darah merah (HCT, HB, SDM) dan SDM berinti serta jumlah retikulosit secara tak langsung membantu dalam interpretasi leukogram. Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies hewan dan hal ini dipengaruhi oleh umur hewan. Saat hewan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2–12 bulan. Meningkatnya jumlah leukosit
disebut
leukositosis
sedangkan
penurunan
disebut
leukopenia.
Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi “ephinephrine” dimana neutrofil dan limfosit dimobilisasi ke dalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering terjadi pada hewan muda dan biasanya akibat pengaruh emosional, stress, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Sedangkan leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990). Kecernaan Zat-zat Makanan dan Metabolisme Kecernaan Zat-zat Makanan Kecernaan merupakan banyaknya zat-zat makanan yang terdapat dalam makanan yang dapat dicerna dan diabsorbsi untuk metabolisme tubuh (Linder 2006). Sutardi (1980) menyatakan bahwa kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makan menjadi butir-butir atau partikel kecil atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kecernaan bahan makanan erat hubungannya dengan komposisi kimiawinya dan
39 serat kasarnya mempunyai pengaruh paling besar terhadap kecernaan dimana kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan nilai pakan. Kecernaan zat-zat makanan tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan, kondisi hewan, dan faktor pemberian makanan (McDonal et al. 2002). Selain komposisi zat-zat makanan, genetik, aspek lingkungan dan gangguan tubuh yang mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi kecernaan zat-zat makanan (Linder 2006). Pada monyet ekor panjang dewasa dengan bobot badan 5,7 kg dan umur 9– 10 tahun membutuhkan konsumsi bahan kering 30,0 g x BWkg-1 dengan EM 110,0 kkal BWkg-1 (NRC 2002). Kecernaan yang rendah akan mengurangi konsumsi, semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan atau semakin tebal dan semakin tahan dinding selnya mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan tersebut (Parakkasi 1999). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan dan komposisi zat-zat yang terkandung dalam bahan makanan (Anggorodi 1995). Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa tingkat energi dalam bahan makanan akan mempengaruhi banyaknya makanan yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum yang dipengaruhi oleh faktor dari hewan itu sendiri, makanan yang diberikan dan lingkungan sekitarnya (Parakkasi 1999). Kebutuhan protein bagi satwa dapat dilihat dari nitrogen yang dihasilkan dalam urin, dalam hal ini nitrogen pada urin merupakan hasil dari proses katabolisme dalam jaringan tubuh (Moen 1973). Dalam metabolisme basal, perbandingan N (mg) yang terdapat dalam urin (Endogenous Urine Nitrogen, EUN) dengan kebutuhan energi dalam kcal adalah 2 atau setiap 1.000 kalori yang digunakan oleh proses fisiologi tubuh satwa akan menghasilkan 2 mg N dalam urinnya, dimana W adalah bobot badan dalam kg. Banyaknya EUN (Qeun) setiap hari (g) dalam keadaan metabolisme basal: 2 x 70 (W.kg 0.75 ) Qeun = (Moen 1973) 1000
40 Metabolisme basal merupakan aktivitas metabolik yang dibutuhkan untuk pemeliharaan tubuh yang hidup dan fungsi pokok sestabil mungkin. Perhitungan penggunaan energi basal dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen (dan produksi CO2 dan ekskresi N) setelah hewan dipuasakan (Linder 2006). Metabolisme Metabolisme merupakan semua reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh, yang memerlukan dan melepaskan energi sehingga terjadi keseimbangan antara pembentukan
(anabolisme)
dan
penguraian
(katabolisme)
(Tortora
dan
Anagnostakos 1990). Proses penguraian dan pembentukan kembali zat makanan di dalam tubuh tersebut dimulai dengan tahap pemasukan zat gizi yang dalam keadaan normal melalui proses makan (Irianto 2005). Piliang dan Djojosoebagio (2006) menyatakan bahwa metabolisme dalam tubuh berfungsi menghasilkan energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari dan untuk produktivitas. Kebanyakan nutrisi dalam makanan harus dibuat lebih kecil, dipecah atau dibuat lebih larut sebelum diabsorbsi oleh saluran pencernaan. Nutrisi utama dalam makanan yang dibutuhkan tubuh yakni karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin dan air (Beyer 2004). Nutrisi tersebut merupakan substansi kimia dalam makanan yang menyediakan energi, pembentuk komponent tubuh yang baru, atau membantu berbagai proses fungsi tubuh (Tortora dan Anagnostakos 1990). Metabolisme Lipid Lipid yang terdapat dalam makanan sebagian besar berupa lemak, sehingga metabolismenya merupakan metabolisme lemak. Pada dasarnya lipid merupakan konduktor panas yang jelek, sehingga lipid dalam tubuh mempunyai fungsi untuk mencegah terjadinya kehilangan panas dari tubuh. Makin banyak lemak, makin baik fungsinya mempertahankan panas dalam tubuh. Selain itu lemak mempunyai fungsi melindungi organ-organ tubuh tertentu dari kerusakan akibat benturan dan goncangan. Lemak juga merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung vitamin A, D, E dan K serta merupakan sumber energi setelah karbohidrat (Winarno 1992; Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007).
41 Sebagian besar lemak dalam diet merupakan lemak netral yang juga dikenal sebagai trigliserida, masing-masing molekul terdiri atas satu inti gliserol dan tiga asam lemak. Lemak netral ditemukan dalam makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam diet biasa juga terdapat sejumlah kecil fosfolipid, kolesterol dan ester-ester kolesterol. Fosfolipid dan ester kolesterol mengandung asam lemak dan karena itu, dapat dianggap sebagai lemak sendiri. Sebaliknya, kolesterol merupakan senyawa sterol yang tidak mengandung asam lemak, tetapi ia menunjukkan beberapa sifat fisika dan kimia lemak, ia berasal dari lemak dan dimetabolisme sama seperti lemak. Oleh karena itu, kolesterol dipandang dari segi makanan sehari-hari, dianggap merupakan lemak (Guyton 1996). Lemak yang dapat dicerna di dalam lambung di bawah pengaruh lipase lambung, 95–99% dari seluruh pencernaan lemak terjadi di dalam usus halus, terutama di bawah pengaruh lipase pankreas. Emulsifikasi lemak oleh asam-asam empedu
merupakan
langkah
pertama pencernaan
lemak
yakni
dengan
memecahkan butir-butir lemak menjadi ukuran-ukuran kecil sehingga enzimenzim pencernaan yang tidak larut dalam lemak dapat bekerja pada permukaan butiran. Proses ini dinamakan emulsifakasi lemak dan dicapai dibawah pengaruh empedu yang disekresikan ke dalam empedu oleh hati. Garam empedu berlaku sebagai deterjen yang sangat menurunkan tegangan antar permukaan lemak. Dengan tegangan antar permukaan yang rendah, gerakan mencampur saluran pencernaan berangsur-rangsur dapat memecah globulus lemak menjadi partikel yang lebih halus, disertai luas permukaan total lemak yang meningkat dua kali, setiap kali terjadi penurunan diameter globulus lemak menjadi setengahnya (Guyton 1996). Dibawah pengaruh lipase pankreas, kebanyakan lemak dipecah menjadi monogliserida, asam-asam lemak dan gliserol. Walau lemak dalam jumlah sedang hanya dicerna sampai stadium gliserida, dengan berlanjutnya proses hidrolisis lemak, maka absorpsi lemak akan lebih baik, seperti tercantum pada Gambar 8 (Guyton 1996).
42
Gambar 8
Pencernaan lemak (Guyton 1996).
Sel epitel usus halus mengandung sejumlah kecil lipase, yang dikenal sebagai lipase usus, memberikan pengaruh yang sedikit dalam pencernaan lemak. Dalam proses pencernaan lemak menjadi misel, peranan garam-garam empedu dalam mempercepat proses pencernaan tersebut penting. Hidrolisis trigliserida merupakan proses yang sangat reversible, oleh karena itu penimbunan monogliserida dan asam lemak bebas sekitar lemak yang dicernakan sangat cepat menghambat pencernaan lebih lanjut. adanya garam empedu yang memegang peranan penting dalam menyingkirkan monogliserida dan asam lemak bebas dari sekitar butiran lemak yang sedang dicernakan hampir secepat hasil akhir pencernaan dibentuk (Guyton 1996). Selama pencernaan trigliserida, secepat pembentukan monogliserida dan asam lemak bebas, mereka larut dalam bagian lemak misel yang segera membuang hasil akhir pencernaan ini dari sekitar butiran lemak yang sedang dicernakan. Akibatnya, proses pencernaan dapat berlangsung tanpa ada yang menghambat. Misel garam empedu juga bekerja sebagai media transpor untuk membawa monogliserida dan asam lemak bebas ke brush border sel epitel. Di sini monogliserida dan asam lemak bebas diabsorpsi. Setelah mengangkut zat-zat tersebut ke brush border garam empedu sekali lagi kembali lagi masuk kimus untuk digunakan berkali-kali dalam prose pengangkut tersebut (Guyton 1996). Lemak yang dicernakan membentuk monogliserida dan asam lemak bebas, kedua zat hasil akhir pencernaan ini terutama larut dalam bagian lipid misel asam empedu. Karena ukuran molekul misel ini dan juga karena muatannya yang sangat besar dibagian luar menyebabkan larut dalam kimus. Dalam bentuk ini, monogliserida dan asam lemak ditranspor ke permukaan sel epitel. Waktu kontak dengan permukaan ini, monogliserida dan asam lemak, keduanya dengan cepat
43 berdifusi melalui membran epitel, meninggalkan misel sedangkan asam empedu tetap dalam kimus. Misel ini kemudian berdifusi kembali ke dalam kimus dan terus mengabsorpsi monogliserida dan asam lemak, dan hal yang sama juga menstranspor zat-zat ini ke sel epitel. Jadi, asam empedu melakukan fungsi pengangkut yang sangat penting untuk absorpsi lemak. Dengan adanya banyak asam empedu, kira-kira 97% lemak di absorpsi; tanpa adanya asam empedu, hanya 50–60% yang diabsorpsi dalam keadaan normal (Guyton 1996). Mekanisme absorpsi monogliserida dan asam lemak melalui brush border didasarkan bukti bahwa kedua zat tersebut sangat larut dalam lemak. Oleh karena itu, mereka larut dalam membran dan berdifusi ke bagian dalam sel. Setelah masuk ke dalam sel epitel, banyak monogliserida dicernakan lebih lanjut menjadi gliserol dan asam lemak oleh lipase sel epitel. Kemudian, asam lemak bebas dibentuk kembali oleh retikulum endoplasma menjadi trigliserida. Hampir semua gliserol yang digunakan untuk tujuan ini disintesis denovo dari alfa-gliserofosfat. Akan tetapi, sejumlah kecil gliserol asli dari monogliserida terdapat dalam trigliserida yang baru disintesis. Setelah terbentuk, trigliserida terkumpul dalam butiran bersama dengan kolesterol yang diabsorpsi, fosfolipid yang diabsorpsi dan fosfolipid yang baru disintesis. Masing-masing zat tersebut diliputi oleh selubung protein, β lipoprotein yang digunakan juga disintesis oleh retikulum endoplasma. Massa berbutir ini, bersama dengan selubung protein, dikeluarkan dari sisi sel epitel masuk ruang intersel dan dari sini berjalan masuk lakteal sentral vili. Butiran seperti ini dinamakan kilomikron. Selubung protein kilomikron membuat mereka hidrofilik, memungkinkan stabilitas suspensi yang layak dalam cairan ekstrasel (Guyton 1996). Metabolisme Protein Protein yang terdapat dalam makanan dicerna dalam lambung dan usus menjadi asam-asam amino, yang diabsorbsi dan dibawa oleh darah ke hati. Sebagian asam amino diambil oleh hati, sebagian lagi diedarkan ke dalam jaringan-jaringan di luar hati. Protein dalam sel-sel tubuh dibentuk dari asam amino. Bila ada kelebihan asam amino dari jumlah yang digunakan untuk biosintesis protein, kelebihan asam amino akan diubah menjadi asam keto yang
44 dapat masuk ke dalam siklus asam sitrat atau diubah menjadi urea (Poedjiadi dan Supriyanti 2007). Pencernaan protein yang dimulai di dalam lambung dengan enzim pepsin yang memecah protein menjadi pentosa, pepton dan polipeptida besar. Enzim ini hanya berfungsi dalam medium yang sangat asam yakni pada pH 2, sehingga sekresi asam hidroklorida dalam lambung sangat penting untuk proses pencernaan ini (Guyton 1996), seperti tercantum pada Gambar 9.
Gambar 9
Pencernaan protein (Guyton 1996).
Pepsin penting karena kesanggupannya untuk memecah kolagen, suatu albuminoid yang sedikit dipengaruhi oleh enzim pencernaan lain. Protein dicerna lebih lanjut di dalam usus halus dibawah pengaruh enzim pankreas yakni tripsin, kimotripsin dan karboksipolipeptidase. Produk akhir pencernaan ini adalah polipeptida kecil ditambah beberapa asam amino yang kemudian polipeptida kecil ini dicerna menjadi asam amino sewaktu berkontak dengan sel epitel usus halus. Karena sel ini mengandung beberapa enzim (peptidase) yang mengkonversi produksi protein sisanya menjadi protein (Guyton 1996). Selain mensintesis jaringan untuk membangun (pertumbuhan) dan memperbaiki sel yang rusak, protein juga dapat menjadi sumber energi jika persediaan asam amino dalam tubuh melebihi kebutuhan, maka kelebihannya dapat digunakan untuk menghasilkan energi, dimana tiap gram protein menghasilkan 4 kkal (Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007). Estimasi kebutuhan protein dapat dilakukan dengan: (a) pengukuran N normal yang keluar melalui feses, urin, kulit, keringat, rambut untuk memperkirakan kebutuhan minimal, dan (b) penelitian neraca dimana konsumsi
45 relatif dan yang hilang dibandingkan pada berbagai level konsumsi protein rendah untuk mengekstrapolasi menjadi kebutuhan minimal (Linder 2006). Metabolisme Karbohidrat Dalam makanan, sumber utama karbohidrat yakni sukrosa yang merupakan disakarida yang telah dikenal sebagai gula tebu; laktosa yang merupaka disakarida dalam susu dan pati yang merupaka polisakarida besar yang terdapat hampir pada semua makanan dan khususnya dalam padi-padian. Pencernaan karbohidrat yakni dengan menghidrolisis pati menjadi maltosa (isomaltosa) yang merupakan disakarida dan bersama disakarida utama lain, laktosa dan sukrosa dihidrolisis menjadi monosakarida glukosa, galaktosa dan fruktosa (Gambar 10) (Guyton 1996).
Gambar 10 Pencernaan karbohidrat (Guyton 1996). Hidrolisis pati dimulai di dalam mulut dibawah pengaruh enzim ptialin yang disekresikan di dalam saliva dari glandula parotidea. Asam hidroklorida lambung melakukan sedikit hidrolis tambahan yang akhirnya bagian utama hidrolisis terjadi di dalam bagian atas usus halus dibawah pengaruh enzim amilase pankreas. Enzim lakatase, sukrase, maltase dan isomatase untuk pemecahan disakarida terletak dalam mikrovili brus border sel epitel. Disakarida ini dicerna menjadi monosakarida sewaktu berkontak dengan mikrovili sewaktu berdifusi ke dalam mikrovili. Produk pencernaan, monosakarida glukosa, galaktosa dan fruktosa kemudian segera diabsorbsi ke dalam darah porta (Guyton 1996).
46 Tingkah Laku Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam tubuh maupun faktor luar. Tingkah laku tersebut perlu diamati agar dapat diketahui bagaimana hewan bereaksi atas suatu perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennet et al. 1995). Monyet ekor panjang merupakan hewan diurnal yang seluruh aktivitasnya dilakukan pada siang hari. Lindburg (1980) diacu dalam Pijoh (2006) mengklasifikasikan aktivitas harian monyet di alam sebagai berikut: 1) makan: aktivitas yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan dilakukan pada pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi pergerakan di antara sumber makanan, biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak melakukan aktivitas apapun, hanya diam atau tiduran; 4) berkelahi: aktivitas ini ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu dan baku hantam: 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri maupun dari tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan dari betina setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu, terutama anak monyet. Bila orang memberi perlakuan menatap lama pada seekor monyet, maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang tersebut akan menyerangnya sehingga monyet akan memberi respon dengan cara balas menatap dengan mulut terbuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil berteriak, memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka menunjukkan reaksi patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis ketakutan (Vandenberg 2000 diacu dalam Pijoh 2006). Tingkah laku sebagai ekspresi suatu hewan yang disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor eksogenus, endogenus, pengalaman dan fisiologis (Suratmo 1979 diacu dalam Sari 2004). Aktivitas tingkah laku hewan di alam dan di kandang akan berbeda. Di kandang pola tersebut akan memunculkan tingkah laku abnormal dari hewan seperti stereotipe, melukai diri sendiri maupun hiperagresif dan pola ini sangat berkaitan erat dengan ukuran dari kandang yang digunakan, dimana ukuran kandang yang kecil lebih tinggi ditemukan tingkah laku abnormal dibandingkan dengan kandang yang
47 memiliki ukuran yang lebih kompleks (Kitchen dan Martin 1996). Röder dan Timmermans (2002) bahwa untuk mereduksi tingkah laku abnormal maka perlu pengkayaan laboratorium meliputi kondisi sosial, ketentuan kandang, dan teknik penyajian makanan. Honess et al. (2004) yang melakukan studi mengenai respon tingkah laku Macaca fascicularis pada transportasi melalui udara dan rehousing, hasil penelitian dari tiga fase pengamatan menunjukkan bahwa tingkah laku yang paling dominan ditunjukkan yakni tingkah laku eksplorasi dan affiliatif (meliputi: presenting, allogroming, bermain dengan air dan di tempat duduk, bermain dengan mainan, manipulasi kadang/lingkungan) perawatan diri sendiri (meliputi: self groming, minum dan makan) dan tingkah laku lainnya (meliputi: memperhatikan hewan lainnya, urinasi, defekasi, bersin, memperhatikan sekitarnya, vokalisasi dan bersembunyi. Chrousos dan Gold (1992) diacu dalam Habib et al. (2000) bahwa poros kelenjar hipotalamus-adrenal dan sistem saraf simpatis memegang peranan dalam mengaktifkan pengaturan metabolisme dan kardiovaskular. Dan pada waktu yang sama berperan mengatur fungsi neurovegetative saat terjadi penurunan kemampuan bertahan hidup pada situasi yang terancam, mekanisme endokrin untuk pertumbuhan dan reproduksi termasuk penggunaan energi untuk menghindari keadaan yang membahayakan. Disamping itu beberapa substrat neuroanatomik dan sistem hormonal memberikan kontribusi yang lebih besar pada tingkah laku, neuroendokrin, autonomik dan respon neurovegetative pada stres (Behan et al. 1996 diacu dalam Habib et al. 2000). Habib et al. (2000) melihat peranan sistem hormonal dalam hubungannya dengan tingkah laku stres khususnya efek dari pemberian antalarmin untuk menghambat reseptor Corticotropin Releasing Hormon (CRH) tipe-1 dalam hubungannya dengan tingkah laku, neuroendokrin dan komponen autonomi pada respon stres dari monyet rhesus (Macaca mulatta). Hasil yang diperoleh bahwa pemberian antalarmin secara nyata menghambat tingkah laku yang berhubungan dengan kecemasan dan rasa takut seperti menggigil, menyeringai, gigi berdecak, urinasi dan defekasi terutama pada situasi dengan tingkat stres yang tinggi, meningkatkan ekplorasi dan tingkah laku seksual dibandingkan tekanan stres
48 secara normal. Lebih lanjut disimpulkan bahwa CRH memiliki peranan yang besar pada respon fisiologis terutama cekaman psikologis pada primata serta menghambat peran reseptor CRH tipe-1 yang memiliki nilai tereupatik pada psikologi, reproduksi dan kardiovaskuler pada manusia yang berhubungan dengan sistem hiperaktivitas dari CRH yang tidak teratur. Tingkah laku dari hewan juga sangat dipengaruhi oleh makanan, sebagaimana Kaplan et al. (1994) melakukan penelitian untuk melihat hubungan antara makan berkolesterol, aktivitas pusat serotogenik dan tingkah laku sosial pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) remaja. Hasil yang diperoleh bahwa hewan yang mengkonsumsi makanan rendah kolesterol lebih agresif, kurang affiliatif dan mempunyai konsentrasi cairan cerebrospinal yang rendah dibandingkah dengan yang menkonsumsi makanan kolesterol tinggi dengan perbedaan yang nyata. Penelitian yang serupa dengan menggunakan spesies yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda pula dan sebagai tambahan bahwa makanan yang mengandung protein dapat mempengaruhi tingkah laku dan neurokimia otak, fenomena ini relevan dengan pemahaman bahwa peningkatan kematian akibat kejadian kekerasan dan menyakiti diri sendiri ditemukan pada percobaan yang rendah koleterol.